You are on page 1of 24

Memperdebatkan Status Fiqih Lintas Agama (Analisis terhadap Pembaharuan Hukum Interreligious Marriage dalam Pasar Teologi Indonesia)

Tholhatul Khoir
*

Abstrak: Selain dapat dianggap sebagai revolusi dalam fiqih munakahat yang sudah baku, perkawinan beda agama sebagai konsekuensi dari upaya mengusung Fiqih Lintas Agama telah memicu pro dan kontra. Tulisan dengan pendekatan teologis dan kebahasaan ini menggugat perdebatan yang terjadi antara Paramadina dan Majlis Mujahidin Indonesia. Berbeda dengan pembaharuan hukum Islam khas Indonesia pada umumnya, Fiqih Lintas Agama digagas oleh Paramadina untuk memperjuangkan hak minoritas dalam sistem kewarganegaraan dan diharapkan menjadi mediator yang merekatkan kembali hubungan antar agama. Hanya saja muncul penolakan dari Majlis Mujahidin Indonesia yang menjadi agen utama pemertahanan institusi agama dari segala pengaruh perubahan dan mengagungkan masa tertentu (baca: as-salaf ashshalih) sebagai standar kebenaran bagi setiap pemikiran dan aksi umat Islam generasi berikutnya. Kata kunci: fiqih, interreligious marriage, pembaharuan hukum

Pendahuluan Hukum Islam yang bersifat universal, pada level praktis ternyata tidak bisa menghindar dari keniscayaan perubahan yang menjadi ciri fundamental kehidupan sosial. Hal ini setidaknya diperkuat oleh hasil penelitian tentang hukum keluarga yang secara jelas menggambarkan terjadinya reformasi hukum yang signifikan.1
Penulis adalah Staf Pengajar IAIN Walisongo Semarang diperbantukan di Universitas Wahid Hasyim Semarang, Alumnus Fakultas Syari`ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang sedang menyelesaikan Program Doktor Hukum Islam di IAIN Sunan Ampel Surabaya. 1 Lihat misalnya Abdullahi A. an-Naim (ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book, (London: Zed Books, 2002).
*

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

28

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

Menjadikan interreligous marriage (baca: perkawinan beda agama) sebagai isu sentral tentu bukan tanpa alasan. Selain dapat dianggap sebagai revolusi besar terhadap fiqih munakahat yang sudah baku sepanjang sejarah, perkawinan beda agama sebagai konsekuensi dari upaya mengusung Fiqih Lintas Agama itu telah memicu pro dan kontra berbagai kalangan. Sudah siapkah umat beragama di Indonesia, khususnya Islam, menerima pemikiran baru hukum Islam itu berikut implikasi dan konsekuensinya dalam tataran praktis? Tulisan ini adalah gugatan awal terhadap pembaharuan hukum perkawinan beda agama yang masih merupakan tantangan bagi umat Islam Indonesia itu. Sebagai pendekatan, isu perkawinan beda agama ini memang mengandaikan kajian teologis yang panjang. Hal ini karena tidak mungkin fiqih yang pluralis dan inklusif lahir tanpa teologi dan paham keimanan yang pluralis pula. Tulisan ini sengaja membandingkan kajian teologis dari kelompok Pluralis di satu sisi dan kelompok Salafi di sisi lain. Beberapa informasi perspektif HAM dan dogma-dogma dari agama di luar Islam sengaja disertakan, barangkali dapat menguatkan gugatan yang sedang diusung tulisan ini. Paramadina vs Mujahidin: Mengurai Titik Seteru Liberalis dan Literalis Pasca Orde Baru, gerakan-gerakan Islam di Indonesia menampilkan artikulasi yang berwarna-warni. Mengikuti Yudi Latif, Islam literal di satu pihak, dan Islam liberal2 di pihak lain,
2

Harus diakui, sejauh ini belum ada penjelasan memadai mengenai basis epistimologis apa yang disebut Islam liberal. Paling tidak, ada dua buku yang secara agak panjang lebar menjelaskan hal ini, yaitu apa yang ditulis Leonard Binder, Islamic Liberalisme: A Critique of Development Ideologies, (Chicago: The University of Chicago Press, 1988); dan tulisan Charles Kurzman dalam pengantar buku, Liberal Islam, A Sourcebook, (Oxford: Oxford University Press, 1998). Pengertian Islamic Liberalism-nya Leonard Binder dan Liberal Islam-nya Charles Kurzman sebenarnya mempunyai pengertian dan sudut pandang berbeda. Sebagaimana diakui sendiri oleh Kurzman, Binder menggunakan sudut pandang "Islam bagian dari liberalisme" (a subset of liberalism), sedangkan Kurzman menggunakan pendekatan bahwa "liberalisme sebagai bagian dari Islam" (a subset of Islam).

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

29

keduanya adalah anak kandung modernitas yang masing-masing mengandung bibit-bibit fundamentalismenya sendiri.3 Dalam konteks isu perkawinan beda agama, buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis Tim Paramadina telah menjadi bahan utama forum debat antara Paramadina yang diwakili Zuhairi Misrawi dan Zainun Kamal di satu sisi dan Majelis Mujahidin Indonesia yang diwakili Muhammad Thalib, di UIN Jakarta pada 15 Januari 2004. Buku-buku yang kemudian menolak pendapat Paramadina itu ialah Agus Hasan Bashori, Koreksi Total Buku Fikih Lintas Agama: Membongkar Kepalsuan Paham Inklusif Pluralis, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), Hartono Ahmad Jaiz, Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004),4 Tim Editor Mujahidin, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina: Dari Debat Publik Fiqih Lintas Agama Majelis Mujahidin versus Tim Penulis Paramadina, (Yogyakarta, Wihdah Press, 2004),5 Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2005) dan Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005).
3 Lihat disertasi Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of Its Emergence in the 20th Century, (Australian National University, 2002). 4 Buku yang ditulis oleh Hartono Ahmad Jaiz, Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, hanyalah catatan-catatan yang ditulis berkenaan dengan debat antara Paramadina dan MMI itu. Ia mencoba membuktikan kelemahan dan penyimpangan para penulis Fiqih Lintas Agama (FLA). Sebagai peserta dalam debat tersebut dan bukan panelis, ia merasa banyak hal yang menjengkelkan yang kemudian harus ia tumpahkan dalam bukunya itu. 5 Buku Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina (KBSP) yang ditulis oleh MMI juga merupakan laporan perdebatan antara MMI dengan Paramadina yang diadakan di UIN Jakarta itu, ditambah dengan beberapa lampiran artikel yang membahas permasalahan di atas. Menurut kesan MMI, dalam buku ini Paramadina cenderung bersikap mengasingkan diri dan menutup mata hati terhadap hujah-hujah yang dikemukakan oleh tim MMI. Sikap mengasingkan diri itu muncul sejak awal perdebatan dengan pernyataan bahwa keyakinan (aqidah, teologi) mereka memang berbeda dengan keyakinan mayoritas umat Islam.(KBSP hlm,37). Atas dasar keyakinan yang berbeda ini, maka dengan cepat tim MMI memberi hukum (vonis) kafir dan musyrik kepada tim Paramadina (p. 134). Tim Editor Mujahidin: Muhammad Thalib, Irfan S. Awwas, M. Shabbarin Syakur, Fauzan Al-Anshari, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2004).

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

30

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

Namun, dimana sebenarnya posisi para penulis Majlis Mujahidin Indonesia dalam belantika pemikiran hukum di Indonesia? Pertanyaan ini mungkin terasa lebih penting daripada isu perkawinan beda agama itu sendiri, untuk mengurai perseteruan yang terjadi. Hartono Ahmad Jaiz, penulis MMI paling getol itu misalnya, adalah pengasuh rubrik Islamika di Majalah Media Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Ketua Lajnah Ilmiah LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) di Jakarta. Sedang Agus Hasan Bashori adalah seorang instruktur pada Yayasan Qalbun Salim Malang Jawa Timur. Sebagaimana dilaporkan International Crisis Group, DDII, LIPIA dan beberapa lembaga pendidikan di Yogyakarta adalah pusat munculnya gerakan Salafi. Kelompok ini kemudian menyebar lewat pesantren-pesantren, masjid-masjid dan program-program kemasyarakatan. Dalam perkembangan berikutnya, memang terjadi perpecahan antara Ja`far Umar Thalib dengan Yusuf Baisa yang kemudian memunculkan Laskar Jihad dan Forum Komukasi Ahli Sunnah wal Jamah. Yayasan Qabun Salim Malang sendiri adalah satu di antara lima puluh lima pesatren di Indonesia yang yang berasosiasi dengan Forum Komunikasi Ahlussunnah wal jama`ah yang dipimpin oleh Ja`far Umar Thalib itu. Pada prinsipnya Salafi ini adalah gerakan kembali kepada ajaran yang dilaksanakan Nabi dan dua generasi setelahnya dan menolak bid`ah. Salafi adalah oraganisasi keagamaan bukan aktivis politik. Mereka menolak tunduk kepada satu pemimpin sental seperti Jama`ah Islamiyyah (JI). Mereka tidak ingin memberontak pemimpin yang sah, berbeda dengan JI dan Darul Islam; dan yang terakhir Jihad adalah terma defensif untuk membela umat Islam yang tertindas.6 Menariknya, banyak pendukung gerakan literal Islam yang merupakan musuh Islam Liberal ini juga merasa berutang secara intelektual dan menemukan akar gerakan mereka kepada
6

Lebih lengkap lihat International Crisis Group Asia Report N83, Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don't Mix, 13 September 20004, p. 3.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

31

tokoh-tokoh yang sama.7 Oleh karena itu bisa dikatakan meskipun memang bisa diperdebatkan bahwa pembagian liberal dan literal hanya superfisial dan performatif. Sebagai contoh, baik kaum liberal maupun literal, tampaknya memiliki pendekatan serupa terhadap teks. Keduanya sama-sama setuju bahwa teks dapat dipahami hanya dengan akal. Keduanya pun sepakat bahwa pintu ijtihad harus selalu dibuka dan bahwa semua orang boleh melakukan ijtihad dan, dengan demikian fatwa bisa saja dikeluarkan oleh siapa saja. Kemerdekaan dari kungkungan otoritas tradisi serta kebebasan untuk melakukan penafsiran merupakan prinsip yang sama-sama dipegang teguh baik oleh kaum literal maupun liberal. Kalau boleh disimpulkan secara kasar, maka baik kaum liberal maupun literal sama-sama tekstual dan sama-sama kontekstual. Keduanya adalah anak kandung modernitas dengan bias logosentrisme yang masing-masing mengandung bibit-bibit fundamentalismenya tersendiri.8 Oleh karena itu, fundamentalisme literal dan fundamentalisme liberal harus dihindari karena keduanya saling mengucilkan dan saling mengalahkan. Hanya penulis menyadari bahwa yang mengkhawatirkan dalam usulan ini adalah bahwa seringkali kompromi akan menghilangkan kesungguhan yang biasanya ada dalam ketegangan akibat persaingan dua cara pandang yang bertentangan. Fiqh Maqashid sebagai Titik Tolak Perbedaan masalah fur (baca: pernikahan beda agama) ini ternyata berimbas kepada, atau sebaliknya disebabkan oleh, perdebatan substansial menyangkut dasar perumusan ushl. Para
7

Secara genealogis, meski beberapa di antara mereka menyatakan berutang pada kaum rasionalis dan gerakan teologi liberal Mutazilah abad ke-8, banyak pula yang menganggap bahwa benih gerakan liberal juga ditemukan dalam pemikiran intelektual Muslim seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, dan juga Sayyid Qutb. Lihat Kurzman, C., Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2004), p. 4. 8 Geertz, Clifford, Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia, (New Haven: Yale University, 1971), p. 16.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

32

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

penulis Fiqih Lintas Agama menggunakan maqashid asy-syari`ah sebagai titik tolak pembaharuan mereka. Ide Fiqih Lintas Agama ini, yang menurut penulis, banyak didorong oleh fakta di lapangan berkaitan dengan konflik antarumat beragama yang beberapa waktu lalu, menjadikan konflik antara umat beragama itu -mungkin mengikuti anjuran Alwi Syihab dalam Islam Inklusifsebagai alasan bahwa maqasid asy-syari`ah sedang dilupakan. Dengan meletakkan maqashid (tujuan) di atas, maka mereka beranggapan segala cara perlu dilakukan agar tujuan tersebut tercapai. Atas dasar ini langkah-langkah yang diambil adalah mengembalikan syariah kepada maqashid, fiqh kepada ushul alfiqh.9 Kenapa harus mulai dari maqashid, para penulis menyadari bahwa dalam rangka memperharui fiqih perlu melihat syari`ah sebagai sumber nilai dan etika, bukan hanya sekedar sumber hukum, seperti selama ini terjadi. Karena itu, mereka mengajukan beberapa langkah: pertama, pembaharuan pada level metodologis yaitu dengan dekonstruksi dan rekonstruksi; kedua, pembaharuan pada level etis sehingga dapat menghadirkan fiqih sebagai etika sosial yang melindungi al-kuliyyah al-khams semua manusia, apapun ras, agama dan sukunya; dan ketiga, pembaharuan pada level filosofis yaitu dengan menjadikan filsafat dan teori-teori sosial modern sebagai rujukan dalam mengambil sebuah hukum.10 Tentunya yang menjadi keberatan kelompok Salafi adalah penggunaan fiqh al- maqashid Imam al-Shatibi tanpa batasan (bila qawaid wala dhawabith). Ini mengarah kepada freedom of religious interpretation (kebebasan dalam menafsirkan agama). Kesan yang timbul adalah bahwa Islam harus bertanggungjawab karena telah melahirkan permusuhan antar agama. Islam harus dirubah untuk disesuaikan dengan kerangka pluralis inklusif.11
9

Tim Penulis Paramadina, Fiqih. p. 9. Ibid., p. 13-15. 11 Ini membuktikan sikap apologetik para penulis itu. Mereka berusaha menonjolkan wajah mesra Islam yang bagi mereka selama ini ditutup oleh golongan konservatif fundamentalis. Mereka menerjang rambu-rambu agama demi menciptakan teologi pluralis yang sekarang ini disambut baik oleh
10

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

33

Lepas dari perdebatan tentang maqashid di atas, sebenarnya ada dua metodologi yang sedang bersaing dalam pemikiran Islam pada umumnya. Cara pandang pertama (baca: kelompok Salafi) menggunakan metodologi yang berangkat dari dan berusat pada wahyu. Sedang cara pandang kedua (baca: kelompok liberal) menitikberatkan pada kemanusiaan wacana dan historitasnya.12 Menempatkan Islam dalam relativitas ruang dan waktu bukanlah hal yang baru dalam sejarah pemikiran Islam. Tapi harus pula dipahami bahwa pemikiran ini memang selalu mengundang kontroversi, karena oleh para oponennya dikhawatirkan akan melahirkan ketidakpastian dalam ajwan agama. Batas antara yang kekal (contiunity) dan yang berubah (change) menjadi tidak jelas. Dalam fenomena hukum Islam, tarik ulur antara dua ekstrem tidak akan pernah selesai (N.J. Coulson, Conflict and Tension in Islamic Law). Karena itu, membedakan mana dari aspek agama
kalangan Barat. Seseorang dengan mudah dapat menilai penyimpangan yang dilakukan para penulis itu hanya dengan memperhatikan kata-kata berikut: agama harus ditafsirkan secara emansipatoris untuk mengakselerisasikan (mempercepat) demokrasi dan civil society. Lihat Tim Penulis Paramadina, Fiqih, p.175. Persoalan yang perlu ditanyakan kepada golongan itu adalah: Dimanakah mereka memposisikan agama berbanding dengan demokrasi dan civil society? Dari kalimat di atas, bukankah agama bagi mereka sama saja dengan demokrasi dan produk-produk manusia lainnya? Mengikuti worldview Barat, agama memang buatan manusia. Mereka tidak dapat memisahkan antara agama dengan culture (budaya). Kritik Agus Bashori yang menarik untuk dicermati adalah bahwa para penulis itu telah menggunakan nama para ulama seperti al-Syatibi, Ibn al-Qayyim, dan al-Qardhawi untuk menjustifikasi pandangan liberal mereka. Lihat, Agus Hasan Bashori, Koreksi Total., p. 68,116, dan 122. 12 Cara pandang ini dapat dikatakan sebagai perlawanan terhadap kekuasaan para ulama dan penguasa yang mengunggulkan ortodoksi, atau meminjam istilah Gunawan Muhammad, anggubel sarengat. Cara pandang ini dapat dikatakan tidak mau tunduk terhadap hukum, karena hukum membuat manusia dilepaskan dari konteks. Hukum bertolak dari asumsi bahwa dalam menjalankan imannya, manusia bisa diseragamkan. Gunawan Muhammad, Jenar Untuk Ulil Abshar Abdalla, dalam Ulil Abshar Abdalla dkk., Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta, Elsaq Press, 2007), p. 28.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

34

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

yang rigid dan mana yang fleksibel terhadap perubahan bukan pekerjaan yang mudah. Cara pandang pertama memang dapat dikatakan mengingkari realitas. Sedang cara pandang kedua barangkali dapat memberikan solusi bagi masalah yang timbul (baca: konflik antar agama), namun menurut penulis, kemudian dapat dipertanyakan apakah solusi itu dapat efektif bagi kaum muslimin, ketika mereka tidak dapat diyakinkah bahwa solusi itu adalah solusi Islam. Keterputusannya dengan tradisi menimbulkan keanehan yang tidak mudah dapat diterima. Islam dan Pluralisme Agama Pembaharun hukum yang diusung para penggagas Fiqih Lintas Agama adalah mengucapkan salam kepada non-Muslim, mengucapkan selamat Natal dan hari raya agama lain, menghadiri perayaan hari besar agama lain, doa bersama, mengijinkan nonMuslim masuk masjid, konsep ahl adz-dzimmah, jizyah, perkawin beda agama dan waris beda agama. Pada prinsipnya, fiqih lama harus diperbaharui agar dapat menerima agama lain, peka terhadap keragaman ritualnya, dan pada akhirnya dapat membangun sinergi dan meretas kerja sama lintas agama. Karena itu, sebelumnya harus dibangun teologi yang inklusif, minimal dengan: pertama, menyadari bahwa setiap umat itu mempunyai nabi; kedua, mempercayai semua nabi-nabi itu tanpa membedakan; ketiga, mengerti ada seruan al-Qur`an kepada agama-agama Kitab Suci untuk menuju kepada ajaran yang sama antara semuanya; keempat, menyadari bahwa sebaik-baik agama adalah ajaran kehanifan yang lapang; dan kelima, mengapresiasi Islam dalam makna generik, bukan sektarian dan komunal. Tanpa mengadopsi paham keimanan yang pluralis itu semua, fiqih lintas agama menjadi omong kosong. Atau bisa juga sebaliknya, tanpa menawarkan produk-produk fiqih yang inklusif, paham keimanan Islam yang pluralis menjadi omong kosong.13

Disarikan dari Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis.

13

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

35

Bagaimana sebenarnya hubungan Islam dengan pluralisme itu sendiri? Adakah kalangan yang menyangsikan paham ini jika dijadikan pijakan bagi produk hukum fiqih lintas agama dan citacita Islam yang inklusif? Secara historis, pemikiran pluralisme agama sebenarnya muncul pada masa yang disebut dengan Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncul suatu paham yang dikenal dengan liberalisme, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.14 Jika ditelusuri lebih jauh dalam peta peradaban agamaagama dunia, kecenderungan pluralis, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sebenarnya bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama telah muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) pendiri Sikhisme. Hanya saja, pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas geografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi semakin menipiskan pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual hampir secara universal.15

14 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif Kelompok GEMA INSAN, 2005), p. 16-17. Buku Anis ini merupakan buku yang sangat komprehensif dan kritis dalam membahas tren pluralisme agama. 15 Ibid., p. 20-21.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

36

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

Yang perlu digarisbawahi di sini, gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakangerakan pembaruan sosio-religius di wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir yang berbangsa India.16 Dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama masih baru dan belum mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang muncul akibat proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam baru muncul pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat. Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim, seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon17 (Isa Nuruddin Ahmad). Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syiah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggungjawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional.18 Dalam Kristen memang John Hick-lah yang paling

16 17

Ibid., p. 21-22. Dalam idenya Trancendent Unity of Religion, Fritchof Schuon berpendapat bahwa esensi semua agama adalah sama sebab agama-agama itu didasarkan kepada sumber yang sama, Yang Mutlak. Bentuknya bisa berbeda karena manifestasi yang berbeda ketika menanggapi yang Mutlak. Tapi, semua agama dapat bertemu pada level esoteris, kondisi internal atau batin, dan berbeda dalam bentuk lahirnya (eksoteris) saja. Semua agama adalah jalan untuk mencapai Yang Mutlak. Lihat Fritchof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, (Wheaton: The Philosophical Publishing House, 1984). 18 Ibid., p. 23.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

37

bertanggungjawab dalam menyebarkan paham pluralisme agama ini.19 Di Indonesia, pluralisme agama ini diasong oleh beberapa pemikir Muslim liberal sekular. Untuk meluluskan dan menggolkan idenya, mereka kemudian bekerja keras dan bahumembahu mencarikan legitimasinya dalam teks-teks suci (nushsh) al-Quran dan Sunnah.20 Salah satu penyebar aktif paham ini adalah Budhy Munawar Rahman, yang menulis satu artikel berjudul Memudarnya Kerukunan Hidup Beragama, AgamaAgama Harus Berdialog. Berikut ini kutipan agak panjang dari artikel tersebut: Teologi pluralis melihat agama-agama lain sebanding dengan agamaagama sendiri, sebagaimana dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B. Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengekspresikan adanya The One in the many (Seyyed Hossein Nasr). Di sini jelas teologi pluralis menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada kecenderungan opresif.21 Alwi Shihab dalam bukunya, Islam Inklusif, menolak pendapat bahwa syari`ah Nabi Muhammad adalah syari`ah pamungkas yang menghapus syari`ah-syari`ah sebelumnya. Dalam bukunya itu, Alwi menyadari bahwa ayat al-Quran yang selalu digunakan untuk mengklaim dan mendukung ekslusivisme Islam adalah: QS. Ali Imran: 85, Barangsiapa yang mencari selain
19 Salah satu buku yang mencoba untuk mencari legitimasi paham Pluralisme Agama adalah karya Andrew D. Clarke & Bruce W. Winter (penyunting), Satu Allah Satu Tuhan: Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, terj. Martin B. Dainton, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2006), cet. VI. Bagian buku ini yang membahas tentang paham Pluralisme Agama adalah tulisan-tulisan: (1) Bruce C. Winter, Orang Kristen mula-mula dan Pluralisme Agama (p. 75-98); dan (2) Thorsten Moritz, Pluralisme Agama dalam Surat Efesus (p. 111-135). 20 Buku paling baru yang mengasongkan faham ini di Indonesia adalah Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006) dan Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, (Jakarta: Serambi, 2008). 21 www.islamlib.com pada 13 Januari 2002.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

38

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

agama Islam sebagai agama (dn), maka mereka tertolak. Baginya, Islam tetap saja tidak diperuntukkan bagi kaum Muslim saja, tetapi juga mereka yang percaya kepada Tuhan sepanjang sejarah umat manusia.22 Sukidi misalnya, seorang aktivis Muhammadiyah, pernah menulis: Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama.23 Sumanto Al Qurtuby, dalam bukunya Lubang Hitam Agama, menulis: Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surgaNya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!24 Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) juga pernah mengatakan: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.25 Meski bukan termasuk penulis Fiqih Lintas Agama, pada akhirnya Ulil juga mengatakan dalam artikelnya yang lain, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki nonIslam, sudah tidak relevan lagi.26 Minimal dengan dasar teologis inilah, perkawinan beda agama menemukan pijakannya yang kuat. Namun, sebagaimana diindikasikan Alwi Syihab, tidak sedikit pemikir yang meragukan dasar teologis ini. Islam, bagi kelompok yang hendak didiskusi nanti, adalah nama sebuah agama. Islam tidak diartikan sebagaimana makna generiknya. Alasannya adalah teks-teks

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), p. 103. 23 Jawa Pos, 11 Januari 2004. 24 Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005), p. 45. 25 GATRA, 21 Desember 2002. 26 Kompas, 18 November 2002.

22

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

39

agama yaitu QS. Ali Imran: 19, QS. Ali Imran: 85, hadits Nabi ketika menafsiri QS. al-Fatihah dan QS. Zumar: 3.27 Khusus terhadap QS. Ali Imran: 85, kelompok yang terakhir ini menyitir Ibnu Katsir yang memberikan penafsiran: Barangsiapa yang melalui jalan selain yang disyariatkan oleh Allah, maka tertolak (tidak diterima darinya) [wa huwa f al-khirati min alkhsirn]. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi saw dalam hadits shahh: Barangsiapa yang beramal tidak berdasarkan perintah (ajaran) kami, maka ia tertolak. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits Nabi dari Abu Hurayrah Rasulullah bersabda: Seluruh amalan datang pada Hari Kiamat. Maka datanglah shalat, lalu berkata: Wahai Rabb, aku shalat. Kemudian Allah berfirman: Engkau baik. Kemudian datang sedekah dan berkata: Ya Rabb, aku sedekah. Engkau baik, kata Allah. Lalu datang puasa dan berkata: Ya Rabb, aku puasa. Engkau baik, kata Allah. Seluruh amal datang dan semua dikatakan oleh Allah dalam keadaan baik. Kemudian datang Islam dan berkata: Wahai Allah, engkau adalah keselamatan (al-Salm) dan aku adalah Islam. Lalu Allah berfirman: Engkau baik. Pada hari ini aku memberi siksa karena engkau, dan memberi pahala karena engkau. Allah befirman di dalam kitab-Nya: [wa man yabtaghi ghayra al-Islm dnan falan yuqbala minhu wa huwa f al-khirati min al-khsirn].28 Perkawinan Beda Agama: Implikasi dan Konsekuensi Dalam kasus perkawinan beda agama, para penulis pluralis sampai pada kesimpulan: pertama, wanita Muslimah boleh menikah dengan lelaki Ahli Kitab dengan alasan tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak jelas kedudukannya, yaitu sabda Nabi, Kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah). Jadi, soal pernikahan laki-laki non-Muslim
Lihat misalnya Ringkasan Ceramah Ali Hasan al-Halabi dari Yordania di IAIN Sunan Ampel Surabaya, 6-10 Desember 2004 dengan moderator Agus Hasan Bashori. Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), p. 144-149. 28 Ibnu Katsr, Tafsr al-Qurn al-Azhm, takhrj hadits: Mahmud ibn al-Jaml, Wald ibn Muhammad ibn Salmah dan Khlid ibn Muhammad ibn Utsmn, (Cairo: Maktabah al-Shaf, 2004), cet. I, Juz 2, p. 42.
27

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

40

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu dimana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.29 Kedua, amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa pernikahan beda agama secara lebih luas dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa Al-Qur'an sendiri: pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan.30 Kedua, tujuan pernikahan adalah membangun kasih sayang. Dalam hal rentannya konflik antar agama, kawin beda agama justru menjadi wahana toleransi.31 Ketiga, semangat Islam adalah pembebasan. Sikap al-Qur`an yang bertahap mulai dengan larangan menikah dengan orang musyrik sampai bolehnya menikah dengan Ahli Kitab merupakan evolusi yang pada gilirannya mengandaikan pemahaman bahwa agama lain bukanlah kelas dua atau ahl adz-dzimmah.32 Untuk sampai kepada kesimpulan di atas, pertama, mereka harus mencari alasan bahwa orang Islam secara umum boleh menikah dengan non-Muslim. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) bukanlah orang musyrik yang secara jelas diharamkan menjalin hubungan pernikahan dengan orang Islam. Karena secara jelas difirmankan bahwa lelaki Muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab. Kedua, mereka harus mencari alasan bagaimana agar lelaki ahli kitab dapat menikah dengan wanita muslim. Dalam hal ini mereka
Tim Penulis Paramadina, Fiqih, p. 163. Pendapat ini berdasarkan QS. al-Baqarah: 62. Ibid. p. 164. 31 Pendapat ini berdasarkan QS. al-Hujurat: 13. Ibid. 32 Para penulis Fiqih Lintas Agama tertarik kepada pemikiran Fahmi Huwaydi, seorang kolumnis Harian al-Ahram dan Jurnal Kebudayaan, Wijhah Nadzar, Kairo Mesir, yang juga menulis sejumlah buku antara lain: At-Tadayyun alManqush, Al-Islam wa ad-Dimoqratiyyah, Al-Maqalat al-Mahzhurah, Al-Qur`an wa as-Sulthan, Muwathinun la Dzimmiyyun dan lain-lain. Pemikiran di atas, mereka temukan dalam Fahmi Huwaydi, Muwathinun la Dzimmiyyun, (Kairo: Dar elShorouq, 1999), cet. III, p. 112.
30 29

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

41

mengatakan bahwa hadits Nabi tentang larangan lelaki Ahlul Kitab menikah dengan perempuan Muslim adalah hadis mawquf (terputus). Ketiga, mereka harus mencari alasan bahwa orangorang diluar agama Yahudi dan Nasrani juga termasuk ahli kitab sehingga orang Islam dapat menikah dengan non-Muslim secara keseluruhan. Dalam hal ini mereka mengikuti pendapat Rasyid Ridha bahwa pengertian ahli kitab sebenarnya tidak boleh dibatasi hanya pada kaum Yahudi dan Nasrani semata, tetapi juga harus meliputi kaum Sabi`in dan Majusi, serta kaum Hindu, Budha dan Konghucu. Kenapa al-Qur`an hanya menyebut kaum Sabi`in dan Majusi karena mereka telah dikenal bangsa Arab yang menjadi alamat al-Qur`an. Selain itu, mereka juga berdekatan. Di sisi lain, orang Arab kala itu belum pernah melakukan perjalanan sampai ke India dan Cina. Tujuan ayat suci dianggap telah tercapai dengan menyebut keterangan yang dikenal dan tidak menyebut hal-hal yang asing bagi mereka.33 Sebaliknya, kelompok Salafi berpendapat bahwa wanita Muslimah tetap tidak boleh menikah dengan lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan alasan bahwa Ahli Kitab sama dengan orang kafir. Ayat al-Qur`an yang menjadi dasar adalah QS. al-Bayyinah: 634 dan dan QS. al-Baqarah: 221.35 Dan lelaki kafir tidak boleh menikah dengan wanita muslimah disarikan dari QS. al-Mumtahanah: 1036 yang kesimpulannya adalah: jika
Disarikan dari Tim Penulis Paramadina, Fiqih.., p. 42-54 dan 153-165. "Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburukburuk makhluk." (QS. al-Bayyinah: 6). 35 "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman." (QS. al-Baqarah: 221). 36 "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
34 33

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

42

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

seorang isteri telah masuk Islam berarti sejak ia masuk Islam itu telah bercerai dengan suaminya yang kafir, karena itu ia tidak boleh kembali kepada suaminya. Menurut kelompok Salafi, dalam mengemukakan larangan wanita muslimah menikah dengan lelaki Ahli Kitab atau nonMuslim itu, para ulama cukup dengan menyebutnya musyrik atau kafir karena maknanya sudah jelas bahwa kafir atau musyrik itu mencakup Ahli Kitab juga. Selain kenyataan itu, setelah QS. alMumtanah: 10 juga tidak ada ayat atau hadits yang membolehkan lelaki kafir baik Ahli Kitab ataupun musyrik menikahi Muslimah, sehingga tidak ada keraguan lagi, walaupun hanya disebut kafir atau musyrik, sudah langsung mencakup Ahli Kitab. Bahkan dengan kata musyrik saja, para ulama sudah memasukkan seluruh non-Muslim dalam hal dilarangnya menikah dengan wanita Muslimah. Muhammad Ali As-Shabuni juga menjelaskan bahwa musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam termasuk penyembah berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang murtad. Kelompok Salafi juga mengklarifikasi apakah ath-Thabari benar-benar mengemukakan hadits yang tidak jelas kedudukannya itu sebagai alasan ketidak jelasan larangan bagi lelaki Ahli Kitab menikah dengan wanita Muslimah. Setelah diklarifikasi, ternyata pembicaraan Imam Ath-Thabari bukan mengenai larangan lelaki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah (karena sudah jelas haramnya), namun mengenai riwayat-riwayat tentang wanita muhshanat (wanita merdeka yang menjaga diri dan kehormatannya) dari kalangan Ahli Kitab. Ini berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat para mufassir dalam hal wanita musyrik dalam QS. Al-Baqarah: 221 yang haram dinikahi, apakah di dalamnya termasuk wanita Ahli Kitab atau tidak? Dan karena ada riwayat tentang Umar bin Al-Khathab yang menyuruh beberapa orang sahabat (Hudzaifah dan Thalhah) untuk menceraikan wanita Ahli Kitab yang dinikahinya. Berikut ini
yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. al-Mumtahanah: 10).

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

43

uraian Imam Ath-Thabari yang dikutip dengan diringkas dari Fathul Qadir-nya Imam Asy-Syaukani (yang sudah dibuat lebih komunikatif), dan bisa dirujuk ke Tafsir Ath-Thabari juz 2 halaman: 378. Abu Ja'far Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata, para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai ayat ini (QS. 2: 221); Apakah ayat itu diturunkan dengan maksud setiap wanita musyrik (dilarang dinikahi) atau maksud hukumnya mengenai sebagian wanita musyrik saja, bukan yang lain? Dan apakah ada sesuatu yang dinasakh (dihapus) setelah adanya larangan itu atau tidak? Akhirnya, Abu Ja'far Ath-Thabari berkesimpulan bahwa yang paling utama dari pendapat-pendapat penafsiran ayat ini adalah pendapat Qatadah yang mengatakan bahwa Allah SWT berfirman, "Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman," adalah orang yang bukan Ahli Kitab dari wanitawanita musyrik. Ayat itu umum secara lahir tetapi khusus secara batin, tidak ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya), dan wanita-wanita Ahli Kitab tidak termasuk di dalamnya. Karena itu, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ma'idah: 5, "Dan wanitawanita muhshanat dari kalangan orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu," yang membolehkan laki-laki mukmin menikah dengan wanita-wanita muhshan (yang menjaga diri dan kehormatan) dari mereka, seperti yang dibolehkannya lelaki mukmimn menikah dengan wanita-wanita mukmin. Selanjutnya riwayat al-Hasan, dari Jabir bin Abdullah tentang sabda Nabi, Kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan mereka tidak menikahi wanita-wanita kami, walaupun dalam sanadnya ada sesuatu, maka ath-Thabari tetap berpendapat dengannya karena kesepakatan keseluruhan. Itu lebih utama daripada khabar dari Abdul Hamid bin Bahram dari Syahr bin Husyib tentang Umar memisahkan Thalhah dan Hudzaifah dengan isterinya karena isteri itu wanita Ahli Kitab. Maka arti pembicaraan itu, kira-kiran menjadi: "Wahai orang-orang Mukmin, janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, selain wanita Ahli Kitab, sehingga mereka beriman lalu membenarkan Allah, Rasul-Nya, dan apa yang diturunkan kepadanya.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

44

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

Demikian upaya yang dilakukan kelompok Salafi hingga sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya ath-Thabari tidak meriwayatkan hadits yang kedudukannya masih ada masalah itu untuk membahas masih diragukannya keharaman lelaki non Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kafin lainnya) menikah dengan wanita muslim, tetapi ternyata membahas tentang wanita muhshan Ahli Kitab dan sama sekali tidak membicarakan lelaki Ahli Kitab. Selain itu, dalam kitab Shahih al-Bukhari dikemukakan bahwa apabila wanita musyrik atau Nasrani masuk Islam di bawah (suami) kafir dzimmi atau kafir harbi (musuh), ia menjadi haram bagi suaminya. Ibnu Hajar menjelaskan atsar yang dikutip Imam Bukhari tersebut dalam kitab Fathul Bari bahwa athThahawi mentakhrij dari jalan Ayub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengenai wanita Yahudi atau Nasrani yang berada di bawah (suami) Yahudi atau Nasrani lain, yang kemudian masuk Islam, maka dia (Ibnu Abbas) berkata, "Dipisahkan antara keduanya (suami isteri) oleh Islam, dan Islam itu tinggi dan tidak diungguli atasnya.37 Lepas dari semua perdebatan itu, di Indonesia UU Perkawinan memang tidak memberi larangan tegas terhadap perkawinan beda agama ini. Namun perkawinan jenis ini hanya dianggap sah jika dilakukan berdasarkan agama atau keyakinan salah satu pihak. Biasanya, bedasarkan beberapa penelitian, satu di antara empat cara di bawah ini populer ditempuh oleh pasangan beda agama agar perkawinannya dapat dilangsungkan: pertama, dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan; kedua, dilakukan menurut masing-masing agama; ketiga, penundukan sementara kepada salah satu agama; dan keempat, dilakukan di luar negeri.38

Disarikan dari Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan ., p. 42, 43, 135-138 dan 189-199. 38 http://hukumonline.com/detail.asp?id=15655&cl=Berita.

37

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

45

Dalam perspektif HAM, menurut penulis, Indonesia sebagai sebuah negara hukum,39 seharusnya memang menganut prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan HAM itu diberikan tanpa melakukan diskriminasi. Selanjutnya prinsip-prinsip HAM itu harus digabungkan ke dalam hukum positif,40 walaupun dengan catatan harus sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Pemerintah berkewajiban melindungi dan menegakkan HAM agar menjadi norma yang diterima sebagai landasan bagi warga negara. Adanya penolakan perkawinan beda agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip HAM itu sendiri. Menurut pasal 10 ayat (2) UU HAM secara tegas dinyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Namun kenyataannya, menurut UU Perkawinan, perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing pihak. Artinya pria dan wanita beda agama tidak boleh melakukan perkawinan berdasar hukum positif Indonesia. Bila warga negara sendiri tidak diperbolehkan melakukan perkawinan beda agama, tentu muncul pertanyaan mengapa perkawinan campuran atau perkawinan di luar negeri diakui oleh negara. Alhasil, secara filosofis, hak-hak yang terkait dengan agama tetap merupakan hak asasi dan tidak dapat dikurangi. Diskriminasi terhadap perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia itu sendiri. Sedang secara yuridis, UU Perkawinan memang tidak melarang secara tegas perkawinan beda agama. Bahkan UU itu, secara tidak langsung, memberikan ruang terjadinya perkawinan jenis ini yaitu dengan memanfaatkan pasal 56 UU Perkawinan. Dan secara sosiologis, perkawinan beda agama juga masih diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar Pembentukannya, (Yogyakarta, Kanisius, 2006), cet. 11, p. 128. 40 Slamet Marta Wardaya, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, H. Muladi (ed.), (Bandung: PT Rafika Aditama, 2005), p. 6.
39

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

46

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

Tapi yang lebih penting dari itu semua, sudah siapkah umat Islam menerimanya? Bukankah setiap agama semitik mengenal perkawinan sebagai bentuk inherent goods yang melampaui pilihan atau perjanjian-perjanjian yang tersebut dalam akad kedua pihak, sehingga idealitas perkawinan dari tiap tradisi agama itu tidak lain adalah bagiamana mengekalkan keimanan, bukan sekedar memelihara ritus agama rumah tangga berdua semata, tetapi juga bagaimana kedua pihak itu menjadi pengasuh yang siap mengajarkan anak-anak mereka agar menjadi penggembala, biarawan-biarawati atau khairu ummah? Bukankah dalam sejarah ketiga tradisi agama itu selalu menghindari terjadinya perkawinan antara umatnya dengan umat lain?41 Selain itu, dalam tradisi Katolik misalnya, bukankah setiap umat yang hendak melaksanakan perkawinan beda agama harus terlebih dahulu melaksanakan the Catholic Party untuk menyatakan bahwa dirinya siap menepis segala hal yang merusak imannya dan melakukan ajaran agamanya itu sekuat tenaga, baru kemudian melaksanakan upacara lain dengan catatan tetap menyertakan janjinya dalam the Catholic Party itu dan menyatakan bahwa ia benar-benar sadar janji dan kewajiban-kewajiban dari upacara pertama itu.42 Seorang Kevin J. Coldwell, misalnya ketika meneliti pengaruh agama terhadap tingkat keberfungsian keluarga,
41 Tentang pendidikan agama bagi anak-anak dari perkawinan beda agama adalah tema yang beritu jarang dibicarakan dalam kitab-kitab Yahudi. Aturanaturan itu memang tidak hanya perlindungan fundamental melawan asimilasi budaya, tetapi juga kondisi yang esensi bagi masyarakat Yahudi untuk meneruskan pertumbuhan meskipun itu adalah upaya itu adalah bentuk keengganan terhadap paham ikuti agama baru. Ini sama dengan masyarakat Nasrani dan Islam yang juga menolak perkawinan agama, apalagi ketika mereka adalah kelompok minoritas seperti orang-orang Katolik abad ke-19, atau Muslim dan Gereja Ortodok abad ke-21 di Amerika. Lihat artikel-artikel Novak, Broyde dan Jocelyn Hellig dalam John Witte dan Richard Martin (ed.), Sharing The Book: Religious Perspectives on The Rights and Wrongs of Proselytism, (Maryknoll New York: Orbis, 1999) p. 17-78. 42 Lihat Code of Canon Law, canon 1125, sebagaimana dikutip dalam Diocese of San Diego, Guidelines for Marriage Preparation, (ttp: Marriage & Family Live,2000), p. 3.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

47

menyatakan data-data yang ia dapatkan mengarah kepada kesimpulan bahwa perkawinan dalam satu agama lebih seimbang dibanding dengan perkawinan beda agama. Bahkan jika salah satu pasangan tidak bisa menerima sepenuhnya keyakinan yang lain maka hal ini adalah penyebab tersebar bagi perceraian.43 Penutup Reformasi hukum Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari ide pembaharuan Islam secara umum. Reformasi hukum Islam di Indonesia diproyeksikan untuk lebih mengakrabkan fiqh dengan realitas keindonesiaan. Melangkah sedikit ke depan, fiqh juga diproyeksikan sebagai sebuah sarana untuk menjembatani terciptanya dialog dan kerjasama yang baik antarumat beragama di Indonesia. Dengan demikian, reformasi hukum Islam tidak saja berorientasi ke dalam (umat Islam saja), tapi juga ke luar, yakni demi tercapainya masyarakat yang plural dan toleran. Pembaharuan Hukum Islam dalam bidang perkawinan beda agama telah mengundang dua pendekatan: fundamentalisme literal dan fundamentalisme liberal, harus keduanya harus dihindari karena keduanya bermuara dan berutang secara intelektual serta menemukan akar gerakan mereka kepada tokoh-tokoh yang sama. Pendekatan yang pertama memang dapat dikatakan mengingkari realitas. Sedang pendekatan kedua barangkali dapat memberikan solusi bagi masalah yang timbul (baca: konflik antar agama), namun menurut penulis, kemudian dapat dipertanyakan apakah solusi itu dapat efektif bagi kaum muslimin, ketika mereka tidak dapat diyakinkah bahwa solusi itu adalah solusi Islam. Umat Islam Indonesia ditantang oleh pemikiran baru hukum Islam ini dan jawabannya terletak pada siapkah mereka

Kesimpulan ini paralel dengan temuan Landis J.T., (1949), dalam Marriages of Mixed and Non Mixed Religious Faith, American Sociological Review, 14, 201-207 dan Bumpass dan Sweet, (1972), Differential in Marital Instability: 1970, American Sociological Review, 37, 754-766.

43

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

48

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

seandainya anak cucu mereka dibesarkan dalam tradisi agama yang berbeda. Daftar Pustaka Anderson, J.N.D., Islamic Law in the Modern World, Connecticut: Greenwood Press, 1975. Asmin, Yudian W., Reorientasi Fiqh Indonesia, dalam Sudarnoto Abdul Hakim (penyunting), Islam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1995. Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999. Binder, Leonard, Islamic Liberalisme: A Critique of Development Ideologies, Chicago: The University of Chicago Press, 1988 Bumpass dan Sweet, Differential in Marital Instability: 1970, American Sociological Review, 37, 754-766, 1972. Clarke, Andrew D., & Bruce W. Winter (penyunting), Satu Allah Satu Tuhan: Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, terj. Martin B. Dainton, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2006. Coulson, N.J., A History of Islamic Law Edinburgh: Edinburgh University Press, 1971. Diocese of San Diego, Guidelines for Marriage Preparation, ttp: Marriage & Family Live,2000. Huwaydi, Fahmi, Muwathinun la Dzimmiyyun, Kairo: Dar elShorouq, 1999. International Crisis Group Asia Report N83, Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don't Mix, 13 September 20004. Jaiz, Hartono Ahmad, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

49

Katsr, Ibnu, Tafsr al-Qurn al-Azhm, takhrj hadits: Mahmud ibn al-Jaml, Wald ibn Muhammad ibn Salmah dan Khlid ibn Muhammad ibn Utsmn, Cairo: Maktabah alShaf, 2004. Kurzman, C., Liberal Islam, A Sourcebook, Oxford: Oxford University Press, 1998. ______, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2004. Landis J.T., (1949), dalam Marriages of Mixed and Non Mixed Religious Faith, American Sociological Review, 14, 201-207. Latif, Yudi, The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of Its Emergence in the 20th Century, Sidney: Australian National University, 2002. Lev, Daniel S., Peradilan Agama di Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: Intermasa, 1982. Minhaji, Akh., Islamic Reform in Contest: Ahmad Hasan and His Trodisionalist Oppenents, dalam Studia Islamika, vol. 7 no. 2, 2000, hlm. 87-88. ______, Ahmad. Hasan and Islamic Reform in Indonesia Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999. Misrawi, Zuhairi, Al-Quran Kitab Toleransi, Jakarta: Serambi, 2008. Naim, Abdullah Ahmad an-, (ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book, London: Zed Books, 2002. ______, Dekonstruksi Syariah, terj. Amiruddin, Yogyakarta: LkiS, 1997. A. Suaedi dan

Qurtuby, Sumanto Al, Lubang Hitam Agama, Yogyakarta: Rumah Kata, 2005. Rakhmat, Jalaluddin, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

50

Tholhatul Khoir: Memperdebatkan Status Fiqih

Schuon, Fritchof, The Transcendent Unity of Religions, Wheaton: The Philosophical Publishing House, 1984. Shiddiqi, Nouruzzaman, Jeram-jeram Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1986. Peradaban Muslim,

Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999. Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan DasarDasar Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 2006. Thalib, Muhammad, Irfan S. Awwas, M. Shabbarin Syakur, Fauzan Al-Anshari, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, Yogyakarta: Wihdah Press, 2004. Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif Kelompok GEMA INSAN, 2005. Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Mun`im A. Sirry (ed.), Jakarta: Paramadina & The Asia Foundation, 2005. Wardaya, Slamet Marta, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, H. Muladi (ed.), Bandung: PT Rafika Aditama, 2005. Witte, John, dan Richard Martin (ed.), Sharing The Book: Religious Perspectives on The Rights and Wrongs of Proselytism, Maryknoll New York: Orbis, 1999.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43 Edisi Khusus, 2009

You might also like