You are on page 1of 49

1999

http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X

125 Kesehatan Masyarakat

Daftar isi :
2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Pola Penggunaan Obat dan Obat Tradisional dalam Upaya Pengobatan Sendiri di Pedesaan Sudibyo Supardi, Sriana Azis, Nani Sukasediati 9. Produk Bahan Alami di Lima Apotik di Jakarta: Suatu Tinjauan Eksploratif Nani Sukasediati, B. Dzulkarnaen, Vincent HS Gan 15. Penggunaan Obat oleh Anggota Rumah Tangga di Jawa dan Bali (SKRT 1995) Sarjaini Jamal, Suhardi, Sudjaswadi Wirjowidagdo 19. Penggunaan Suntikan di Kalangan Masyarakat (SKRT 1995) Sarjaini Jamal, Suhardi 23. Perilaku Merokok di Indonesia menurut Susenas dan SKRT 1995 Suhardi 36. Karakteristik Kematian Maternal di Kabupaten Timor Tengah Utara, 1997 Sutrisno, Lisa Andriani 42. Toksisitas Akut dan Efek Analgetika Jamu Pegel Linu pada Mencit Putih Lucie Widowati, Pudjiastuti, Sudjaswadi Wirjowidagdo 46. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran 1998-1999 48. RPPIK

Edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini mungkin kurang menarik bagi para klinisi; karena berisi hasil-hasil penelitian masyarakat; tetapi sesungguhnya masalah kesehatan yang mendasar justru terletak pada pemberdayaan dan usaha masyarakat sendiri untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya. Dan untuk itu diperlukan pemahaman mengenai pandangan masyarakat mengenai kesehatan dan usaha yang mereka lakukan untuk memeliharanya. Artikel dalam edisi ini sebagian berdasarkan hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, semoga hasilnya dapat berguna bagi para sejawat, terutama yang menangani masalah-masalah kesehatan masyarakat. Edisi ini merupakan yang terakhir untuk tahun 1999; semoga dapat berjumpa lagi di tahun terakhir abad 20 dalam keadaan yang lebih baik untuk menyongsong datangnya tahun 2001 - awal milenium baru dengan harapan-harapan baru. Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

1999

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171

REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo


Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo


Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno

SKM, MScD, PhD.


Bagian Periodontologi,Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. DR. B. Chandra


Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort


Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Temprint

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

DEWAN REDAKSI
Dr. B. Setiawan Ph.D Prof. Dr. Zahir MSc. Sjahbanar Soebianto

PETUNJUK UNTUK PENULIS


Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

English Summary
PATTERN OF DRUG- AND TRADITIONAL DRUG-USE AS SELFMEDICATION IN RURAL AREAS Sudibyo Supardi, Sriana Azis, Nani Sukasediati
Pharmacies Research and Development Center, Department of Health, Indonesia.

A cross-sectional study was carried out in South Lampung, Sumatra in 1992 as part of National Household Survey. This study was a survey on the pattern of self-medication. This survey was conducted on 320 housewives in two villages in Kecamatan Tanjung Bintang, South Lampung, Indonesia, and the results were: The prevalence of drug use during the last month was 74.4%, mostly on 'modern' drugs rather than traditional ones. These 'modern' drugs were used mostly for headaches, fever and cough, and judged to be effective. These medicines were mostly acquired from small shops (warung), costed Rp. 194 (1992) without additional transportation cost. They got information on those drugs from television and radio

advertisements. Traditional drugs were mostly used for maintaining health and for diarrheas and muscle aches, and judged to be effective. These traditional drugs were mostly bought from peddlers, costed Rp. 407 (1992) without additional transportation cost; they got information on these drugs from neighbors.
Cermin Dunia Kedold. 1999; 125:5-8

PATTERN OF USE OF INJECTIONS IN COMMUNITIES, 1995 Sarjaini Jamal, Suhardi


Health Research and Development Center, Department of Health, Jakarta, Indonesia

brw

As a part of National Household Survey 1995, pattern of use of injection in communities was investigated through house-tohouse visit using standard direct questionnaires on 1002 respondents which were selected through systematic random sampling. Among respondents, 8.47% received injections during the last month before survey period; 36.61 % of those in paramedic prac-tices, 31.28% during puskesmas visits, 15.88% in doctor's private practices and 1.66% from 'medi-cine man'. Female respondents and those who lives in rural areas received more injections than males and of those who lives in urban areas. More attentions should be given to the sterility and pattern of use of syringes.
Cermin Dunia Kedokt. 1999; 125: 19-22

brw

Glory is the reward of victory

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

Artikel
ANALISIS

Pola Penggunaan Obat dan Obat Tradisional dalam Upaya Pengobatan Sendiri di Pedesaan
Sudibyo Supardi, Sriana Aais, Nani Sukasediati
Pusat Penelitian Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Menurut SKRT 1992, prevalensi penduduk Indonesia yang mengeluh sakit sebulan terakhir 21%, terendah (12%) di Propinsi Lampung. Untuk mengatasi keluhan tersebut, sebagian besar masyarakat melakukan pengobatan sendiri pada tindakan pertama, umumnya menggunakan obat dan obat tradisional. Dalam upaya peningkatan peran serta masyarakat untuk mengobati sendiri keluhannya sebelum mendapat pertolongan puskesmas, dibutuhkan informasi tentang pola penggunaan obat dan obat tradisional. Penelitian cross sectional dilakukan di dua desa di Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Responden adalah ibu rumah tangga/wanita menikah yang menggunakan obat dan obat tradisional dalam upaya pengobatan sendiri sebulan terakhir. Responden diambil secara acak bertingkat (multi stage random sampling) berdasarkan jumlah rukun warga, rukun tetangga dan rumah tangga sebanyak 320 orang. Data dikumpulkan dengan wawancara dan observasi. Analisis data berupa distribusi frekuensi dan nilai rata-rata. Dari pembahasan, diambil kesimpulan sebagai berikut : Prevalensi penggunaan obat dan obat tradisional di desa sebulan terakhir sekitar 74,4%, lebih banyak yang menggunakan obat daripada obat tradisional. Umumnya responden menggunakan obat untuk mengatasi keluhan pusing, demam dan batuk, sesuai dengan pengetahuan mereka, dan sebagian besar menyatakan sembuh. Umumnya responden membeli obat dari warung, dengan biaya rata-rata Rp 194, tanpa biaya dan alat transportasi, dan sumber informasi dari iklan televisi dan radio. Umumnya responden menggunakan obat tradisional untuk menjaga kesehatan dan mengatasi keluhan diare dan pegel linu, sesuai dengan pengetahuan mereka, dan sebagian besar menyatakan sembuh. Umumnya responden membeli obat tradisional dari pedagang keliling, dengan biaya rata-rata Rp 407, tanpa biaya dan alat transportasi, dan sumber informasi dari tetangga.

PENDAHULUAN Pengobatan sendiri merupakan bagian dari kebijakan World Health Organization (WHO) dan pemerintah dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan. Salah satu kebijakan WHO tentang pelayanan kesehatan primer adalah upaya men-

capai kesehatan bagi semua penduduk (Health for all by the year 2000)(1). Juga menurut Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, dinyatakan Kesehatan merupakan kewajiban dan tanggung jawab setiap penduduk(2).

Cermin Dunia Kedokteran No. 125,1999

Pengobatan sendiri adalah upaya yang dilakukan orang awam untuk mengatasi sakit atau keluhan yang dialaminya, tanpa bantuan tenaga ahli medis/tradisional(3). Pengobatan sendiri dapat menggunakan obat (OB), obat tradisional (OT) atau cara tradisional. OB yang digunakan umumnya golongan obat bebas dan obat bebas terbatas. Sedangkan OT yang digunakan meliputi simplisia, jamu gendong dan jamu berbungkus. Prevalensi penduduk Indonesia yang sakit selama sebulan terakhir rata-rata 21%, terendah (12%) di Propinsi Lampung(4). Untuk mengatasi keluhan tersebut, sekitar 60% masyarakat perkotaan melakukan pengobatan sendiri menggunakan OB pada tindakan pertama(5). Menurut SKRT 1986, pengobatan sendiri : 69;7% menggunakan OB dan 23,2% menggunakan OT(6). Mengingat cukup besar persentase masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri, maka perlu upaya meningkatkan mutu pengobatan sendiri agar lebih efisien. Penelitian ini menggali informasi tersebut dan memformulasikannya, agar dapat dimanfaatkan dalam kebijakan yang mendukung upaya peningkatan mutu pengobatan sendiri. METODA PENELITIAN Penelitian cross sectional dilakukan di dua desa di Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, pada tahun 1996. Sebagai responden adalah ibu rumah tangga/wanita menikah yang menggunakan OB atau OT dalam upaya pengobatan sendiri sebulan terakhir. Responden diambil secara acak bertingkat (multi stage random sampling) berdasarkan jumlah rukun warga, rukun tetangga dan keluarga di desa terpilih. Jumlah responden dihitung menurut rumus berikut(7) : SE = Z p.q/n. dengan p = 0,70 (pengobatan sendiri menggunakan OB menurut SKRT 1986); untuk derajat kemaknaan 5% dibutuhkan minimal 320 responden. Data dikumpulkan dengan wawancara dan observasi di rumah responden. Data diolah dalam bentuk distribusi frekuensi dan perhitungan nilai rata-rata. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan prevalensi ibu rumah tangga yang menggunakan OB atau OT dalam upaya pengobatan sendiri sebulan terakhir sebesar 74,4%. Persentase terbesar responden menggunakan OB (80,9%) dan hanya sebagian kecil menggunakan OT (19,1%). Pola ini nampaknya tidak berbeda jauh dengan hasil SKRT 1986, yang menyatakan masyarakat dalam melakukan pengobatan sendiri 69,7% menggunakan OB dan 23,3% menggunakan OT(6). Karakteristik responden, persentase terbesar berumur kurang dari 30 tahun, tidak tamat SD, pekerjaan ibu rumah tangga/petani dan pengeluaran per bulan tidak lebih dari Rp 200.000. Pola penggunaan OB dan OT oleh responden antara lain berkaitan dengan pengetahuan tentang OB dan OT, tujuan penggunaan, hasil pengobatan, sumber OB dan OT, biaya yang dikeluarkan untuk membeli OB dan OT, biaya transportasi untuk mendapatkan OB dan OT, jenis transportasi yang digunakan dan sumber informasi (Tabel 1-8). Tabel 1 menunjukkan pengetahuan responden tentang nama-nama OB dan OT untuk mengatasi beberapa keluhan umum. Persentase terbesar responden mampu menyebutkan nama OB untuk demam, pusing dan batuk, dan menyebutkan nama OT untuk diare dan pegel linu.

Tabel 1.

Distribusi responden berdasarkan pengetahuan tentang nama obat dan obat tradisional. Tahu (%) 58,4 73,8 88,4 41,9 8,8 5,6 Obat Tidak tahu (%) 41,6 26,3 11,6 58,1 91,3 94,4 Obat tradisional Tahu Tidak tahu (%) (%) 24,7 75,3 33,1 66,9 6,6 93,4 54,7 45,3 51,3 48,8 47,5 52,5

Nama OB dan OT untuk keluhan Demam Batuk Pusing Diare Pegel linu Promotif

Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tujuan penggunaan obat dan obat tradisional. Tujuan penggunaan Menjaga kesehatan Pengobatan Jumlah Pengguna OB Jumlah (%) 12 4,6 247 95,4 259 100,0 Pengguna OT Jumlah (%) 43 70,5 18 29,5 61 100,0

Tabel 2 menunjukkan tujuan penggunaan OB dan OT oleh responden. Persentase terbesar responden menggunakan OB untuk pengobatan (kuratif), tetapi menggunakan OT untuk menjaga kesehatan (promotif). Hal ini menunjukkan pengetahuan responden sesuai dengan tindakan mereka. Juga sesuai dengan Supardi (1992), yang menyatakan ibu rumah tangga cenderung menggunakan OB dan OT untuk tujuan berbeda. OB cenderung digunakan untuk pengobatan keluhan : sakit kepala, pilek, dan batuk, tetapi OT untuk keluhan : sariawan, pegel linu, menjaga kesehatan sehabis melahirkan atau menstruasi, dan melancarkan air susu ibu(8).
Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan penggunaan obat dan obat tradisional untuk pengobatan (n = 265). Pengguna OB Jumlah (%) 31 28 139 1l 3 17 4 14 53 194 247 12,6 11,3 56,3 4,5 1,2 6,9 1,6 5,6 21,5 78,5 100,0 Pengguna OT Jumlah (%n) 1 1 3 8 5 5 13 18 5,6 5,6 16,6 44,4 27,8 27,8 72,2 100,0

Keterangan Pengobatan : - Demam - Batuk - Pusing - Diare/sakit perut - Pegel linu - Sakit gigi - Sesaknapas - Flu/pilek Hasil pengobatan : - Tidak sembuh - Sembuh Jumlah

Tabel 3 menunjukkan indikasi penggunaan OB dan OT untuk pengobatan (kuratif) dan hasilnya. Persentase terbesar responden menggunakan OB untuk keluhan pusing, demam dan batuk, dengan hasil 78,5% menyatakan sembuh; tetapi menggunakan OT untuk keluhan diare dan pegel linu, dengan hasil 72,2% menyatakan sembuh. Sembuh menurut responden yaitu mampu menghilangkan keluhan, tanpa dikonfirmasikan secara klinik. Responden yang menggunakan OT relatif lebih sedikit, dan tampaknya merupakan alternatif dalam penggunaan OB. Keluhan pegel linu misalnya, seringkali etiologi dan jenisnya berbeda, sehingga OB yang termasuk golongan obat bebas atau obat bebas terbatas kurang dikenal, karena lebih

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

banyak dalam golongan obat keras (harus dengan resep dokter).


Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan sumber OB dan OT yang digunakan. Pengguna OB Jumlah (%) 246 95,0 3 1,2 5 1,9 5 1,9 259 100,0 Pengguna OT Jumlah (%) 17 27,8 30 49,2 7 11,5 7 11,5 61 100,0

Tabel 7.

Distribusi responden berdasarkan alat transportasi ke sumber obat dan obat tradisional. Pengguna OB Jumlah (%) 252 97,3 3 1,2 3 1,2 1 0,4 259 100,0 Pengguna OT Jumlah (%) 49 80,3 7 11,5 3 4,9 1 1,6 1 1,6 61 100,0

Alat transportasi Tidak menggunakan Sepeda Angkot Motor Becak Jumlah

Sumber OB dan OT Warung Pedagang keliling Tersedia di rumah Toko obat Jumlah

Tabel 4 menunjukkan tempat responden membeli OB atau OT untuk mengatasi keluhannya. Persentase terbesar responden mendapatkan OB dari warung, tetapi rnendapatkan OT dari pedagang keliling. Toko obat sebagai outlet resmi kurang dimanfaatkan masyarakat. Hal ini menunjukkan posisi warung dan pedagang keliling (termasuk penjual jamu gendong) cukup strategis untuk berperan serta dalam upaya meningkatkan mutu pengobatan sendiri di desa.
Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan biaya obat dan obat tradisional. Pengguna OB Jumlah (%) 6 2,3 227 87,6 16 6,2 3 1,2 7 2,7 259 100,0 Pengguna OT Jumlah (%) 6 9,8 28 45,9 17 27,9 6 9,8 4 6,6 61 100,0

biaya transportasi yang dikeluarkan responden (Tabel 6), dapat disimpulkan bahwa sumber OB dan OT cukup merata sampai di pelosok desa, sehingga mudah dijangkau dengan jalan kaki.
Tabel 8. Distribusi responden berdasarkan sumber informasi obat dan obat tradisional. Pengguna OB Jumlah (%) 65 25,1 152 58,7 34 13,1 8 3,1 259 100,0 Pengguna OT Jumlah (%) 37 60,7 14 23,0 5 8,2 5 8,2 61 100,0

Sumber informasi Keluarga/tetangga Iklan tv/radio Penjual/brosur/wadah Mantri/dukun/dll Jumlah

Biaya OB dan OT Tidak membayar Rp 1 250 Rp 251 500 Rp 501 1000 > Rp 1000 Jumlah

Tabel 5 menunjukkan biaya yang dikeluarkan responden untuk membeli OB dan OT dalam upaya pengobatan sendiri, tanpa memperhitungkan bentuk sediaan dan dosis yang digunakan. Persentase terbesar responden menggunakan OB dengan biaya Rp 1250, demikian pula responden yang menggunakan OT. B iaya untuk membeli OB rata-rata Rp 194 289 dan OT rata-rata Rp 407 500. Biaya OT relatif lebih mahal daripada biaya OB mungkin karena perbedaan bentuk sediaan, kemasan, dan tujuan penggunaan. Tabel 6 menunjukkan biaya transportasi yang dikeluarkan responden untuk mendapatkan OB atau OT. Persentase terbesar responden tidak membayar biaya transportasi untuk mendapatkan OB, demikian pula untuk OT. Hal ini menunjukkan bahwa responden dapat mencapai sumber penjualan OB dan OT tanpa rnenggunakan sarana transportasi umum. Tabel 7 menunjukkan alat transportasi yang digunakan responden untuk mencapai sumber OB dan OT. Persentase terbesar responden tidak menggunakan alat transportasi untuk mencapai sumber OB, juga sumber OT. Bila dikaitkan dengan
Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan biaya transportasi ke sumber obat dan obat tradisionai. Pengguna OB Jumlah (%) 257 99,2 2 0,8 259 100,0 Pengguna OT Jumlah (`%) 57 93,5 1 1,6 3 4,9 61 100,0

Tabel 8 menunjukkan surnber informasi tentang OB dan OT yang digunakan responden. Persentase terbesar responden mendapat informasi tentang OB dari iklan radio atau televisi; tetapi mendapat informasi OT dari keluarga/tetangga. Brosur dan wadah sebagai sumber informasi resmi OB untuk pengobatan sendiri kurang dimanfaatkan masyarakat. Iklan televisi dan radio menduduki posisi cukup strategis sebagai alat KIE dalam upaya meningkatkan mutu pengobatan sendiri menggunakan OB di desa. Supardi (1989), juga menyatakan bahwa informasi OT umumnya berasal dari orang-orang tua. Dalam hal ini upaya penyuluhan OT secara tidak langsung dapat dilakukan melalui tokoh masyarakat. KESIMPULAN 1) Penggunaan OB dan OT di masyarakat pedesaan sebulan terakhir 74,4%, lebih banyak yang menggunakan OB daripada OT. 2) Umumnya responden menggunakan OB untuk mengatasi keluhan pusing, demam dan batuk, sesuai dengan pengetahuan mereka, dan sebagian besar menyatakan sembuh. 3) Umumnya responden membeli OB dari warung, dengan biaya rata-rata Rp 194, tanpa biaya dan alat transportasi, dan sumber informasi dari iklan televisi dan radio. 4) Umumnya responden menggunakan OT untuk menjaga kesehatan, dan mengatasi keluhan diare atau pegel linu, sesuai dengan pengetahuan mereka, dan sebagian besar menyatakan sembuh. 5) Umumnya responden membeli OT dari pedagang keliling dengan biaya rata-rata Rp 407, tanpa biaya dan alat transportasi, dan sumber informasi dari tetangga. Dalam upaya meningkatkan mutu pengobatan sendiri di pedesaan, disarankan agar: (a) warung sebagai outlet OB dan penjual OT keliling di desa perlu diikut sertakan dalam penyuluhan, (b) penyuluhan OB lebih baik dilakukan melalui televisi

Biaya transportasi Tidak membayar Rp200-450 Rp 1000-20(X) Jumlah

Cermin Dunia Kedokteran No. 125,1999

dan radio, serta penyuluhan OT melalui tokoh masyarakat, (c) materi penyuluhan diarahkan dan disesuaikan dengan pengetahuan dan penggunaan OB atau OT di masyarakat.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. World Health Organization. Primary health care. Geneva 1978 : 7-8. Departemen Kesehatan. Undang-undang Republik Indonesia nomor: 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Bab I pasal 1. Sukasediati N dkk. Temuan beberapa faktor penentu yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu pengobatan sendiri dari beberapa desa di Kabupaten Lamongan dan Lombok Barat. Maj Kes Masy Indon 1992; 45: 14-9.

4. 5. 6. 7. 8.

Sumantri S et al. Survai Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta 1992 : 60-3. Ministry of Health, WHO, FK-UNIKA Atma Jaya. Penggunaan obat pada masyarakat perkotaan di tiga kota besar di Jawa. Jakarta 1993. Budiarso dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta 1986 : 60-3. Lwanga SK, Lemeshow S. Sample size determination in health studies (a practical manual). World Health Organization, Geneva 1991 : 50-1. Supardi S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan obat tradisional dan obat di desa Tapos, Bogor. Cermin Dunia Farmasi 1992; 12: 1l-6.

Telah diketemukan : gen penyebab kebotakan pada kromosom penderita !

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

HASIL PENELITIAN

Produk Bahan Alami di Lima Apotik di Jakarta : Suatu Tinjauan Eksploratif


Nani Sukasediati, B. Dzulkarnaen, Vincent HS Gan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Telah dilakukan analisis deskriptif sederhana terhadap informasi produk bahan alami (PBA) dari 24 nama dagang PBA yang tersedia di 5 apotik di 5 wilayah DKI. Dalam tinjauan eksploratif ini, yang dimaksud dengan PBA adalah produk sediaan jadi (tablet, kapsul, elixir, salep, dan lain-lain) yang mengandung satu atau lebih bahan alami, umumnya berasal dari tumbuhan. Berdasarkan inisial nomor registrasi dari 24 jenis PBA terungkap bahwa produk tersebut 42% terdaftar sebagai obat (D/DBL),1 produk sebagai ML dan sekitar 54% terdaftar sebagai TR dan TL. Formula atau ramuan PBA umumnya merupakan kombinasi dari beberapa tumbuhan dan ada pula zat kimia (1-6 jenis). Dari 24 prouk tersebut dicatat sejumlah 45 simplisia. Sekitar 46% (11/24) PBA diserahkan kepada konsumen berdasarkan preskripsi, di antaranya PBA dengan inisial pendaftaran TL. Informasi yang tercantum dalam penandaan ditelaah terfokus pada maksud pemanfaatan (claim indikasi) dan dilakukan analisis deskriptif sederhana. Analisis tersebut mengungkapkan claim indikasi dengan ketidakjelasan manfaat empirik. Informasi keamanan PBA pun tidak banyak diungkapkan. Dalam kaitan dengan beberapa ketidakjelasan yang telah diungkapkan di atas, meski produk tersebut telah beredar, disarankan agar tetap berhati-hati dalam penggunaan dan waspada akan timbulnya hal-hal yang merugikan khususnya efek samping jangka panjang, dan lain-lain. Di samping itu kiranya diperlukan konfirmasi manfaat PBA dalam bentuk formula/ramuan terutama yang diserahkan berdasarkan preskripsi.

PENDAHULUAN Akhir-akhir ini masalah kesehatan terutama di kota-kota besar, mulai mengarah pada penyakit bukan infeksi antara lain akibat lingkungan pekerjaan, gizi lebih, usia lanjut, dan lainlain(1). Selain itu muncul gejala baru dalam mengatasi masalah kesehatan tersebut antara lain : upaya back to nature, menggunakan berbagai bahan alam. Kecenderungan tersebut rupanya cepat ditangkap oleh kalangan pengusaha untuk meningkatkan pemasaran produk bahan alami antara lain obat tradisional, suplemen makanan, berbagai sari buah atau sayuran bentuk kapsul, bahkan di negara maju pun telah menjadi booming business(2). Berbagai klaim produk-produk tersebut
Dipresentasikan pada Simposium Perhipba IX, 12-13 Nopember 1997, UGM Yogyakarta

umumnya ditujukan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental, meningkatkan penampilan, kebugaran usia lanjut, dan lain-lain. Ada pula beberapa produk bahan alam yang ditujukan untuk penyakit kronik atau degeneratif lain yang makin meningkat sejalan dengan semakin tingginya harapan hidup. Masyarakat kota metropolitan yang terpajan informasi lebih intensif, selalu ingin fit karena persaingan keras, di lain pihak hidup dengan gaya modern, dan mudah tergiur barang baru, mudah menjadi korban ketidakbenaran informasi apa saja. Mengingat hal-hal di atas, tulisan ini bermaksud mengemukakan beberapa masalah berkaitan dengan informasi produk alami guna memberi perlindungan kepada masyarakat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

Analisis dalam tinjauan ini bersifat deskriptif sederhana dimaksudkan guna mengungkapkan beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian baik dari kalangan pengawasan dan pengaturan maupun dari kalangan produsen dan pengguna. METODOLOGI Studi ini berupa eksplorasi dan kajian terhadap package insert beberapa PBA yang dijual di beberapa apotik di Jakarta Pemilihan apotik dilakukan secara purposif yang berlokasi di 5 wilayah DKI. Data yang dikumpulkan adalah informasi penandaan (komposisi PBA, inisial pendaftaran, indikasi, cara penggunaan, dan lain-lain), ketersediaan PBA di apotik, kondisi penjualan kepada pasien, pemaparan kepada penulis preskripsi. Data dikumpulkan menggunakan formulir isian dan melalui package insert dan penandaan (untuk PBA yang tidak ada package insert). Analisis deskriptif sederhana terutama ditujukan untuk mencari kesesuaian antara komposisi simplisia, dengan indikasi, cara penggunaan dan dukungan informasi baik empirik maupun secara eksperimental, aspek pengawasan dan pengaturan. Informasi yang diperoleh disusun dalam tabel. Dalam tulisan ini produk bahan alami (PBA) adalah: sediaan jadi berbentuk padat (kapsul, tablet), setengah padat (salep, krim) atau cair (elixir/solutio) dengan komposisi simplisia (dan/atau ekstraknya) atau campuran simplisia (atau ekstraknya) dengan dan tanpa bahan kimia, diberi perlakuan seperti obat modern. Jamu berbungkus yang dikonsumsi seperti cara empirik tidak disertakan dalam studi ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis terhadap 24 jenis PBA dengan berbagai bentuk sediaan, yang tersedia di 5 apotik di 5 wilayah DKI disajikan dalam 2 bagian informasi, (a) infonmasi aspek teknik (bentuk sediaan, simplisia, dan lain-lain) dan (b) informasi terkait penggunaan (manfaat dan risiko). Jumlah apotik dalam studi ini meski tidak banyak, memberikan gambaran peredaran PBA di Jakarta. Daerah sekitar apotik tersebut dihuni segmen masyarakat kelas menengah kota metropolitan. Model masyarakat ini mungkin berbeda dengan masyarakat di luar Jakarta. Sehingga studi ini lingkup studi ini pun terbatas pada model masyarakat tersebut dengan berbagai faktor yang mempengaruhi. A. INFORMASI ASPEK TEKNIS 1) Bentuk sediaan PBA tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, umumnya dikonsumsi secara oral seperti halnya obat modern. Rincian bentuk sediaan PBA dijabarkan dalam Tabel 1. Selain bentuk oral ada pula bentuk sediaan topikal.
Tabel 1. Rincian bentuk sediaan PBA Bentuk sediaan Tablet Kapsul Salep/krim Larutan (sirup, gargle, drop, elixir) Serbuk/powder Jumlah (%) * 4 (16) 10 (41) 2 (8) 8 (33) 1 (4)

2) Pendaftaran dan peredaran Selain diamati ketersediaannya di apotik, peredaran PBA dilihat juga dari IIMS edisi 1995 dan ijin peredaran melalui pendaftaran sediaan jadi (Tabel 2). Tabel inipun menjabarkan sejumlah 11 PBA yang tercantum dalam EMS, berarti memiliki akses terhadap penulis resep. EMS selama ini diasumsikan sebagai pemberi informasi kepada penulis preskripsi tentang jenis obat yang beredar di pasaran. Tercantumnya suatu produk dalam IIMS dapat pula menjadi ukuran ketersediaan produk tersebut di pasaran, meski tidak selalu demikian. Sirup I (Tabel 2) tidak tercantum dalam EMS meski terdaftar sebagai obat. Data IIMS memang dipasok oleh produsen, sehingga dapat dikatakan IIMS adalah ajang promosi obat kepada penulis preskripsi.
Tabel 2. Kondisi ketersediaan, peredaran dan penjualan PBA Kondisi PBA Tercantu Inisial Dijual m di IIMS pendaftar tanpa R/ 1995 an + + D + + DBL + TR + TL + + D ? TR + TR + D + D + D + + + + + + + + + + + + + + + + + + + DBL D DL D TR TR TR TL TL TL TL TR TR ML

Nama PBA 1. A elixir 2. B sir 3. C cap 4. D cap 5. E gargle 6. F tab 7. G pulv 8. H elixir 9. I sir 10. J cap/sal/ powd 11. K sir 12. L cap 13. M sol 14. N tab 15. O pil 16. P cap 17. Q cap 18. R sal 19. S cap/drop 20. T cap 21. U cap 22. V cap 23. W tab 24. X cap

Tersedia + + + + + ? + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Dijual dengan R/ + ? + + + + + + + + + + -

Keterangan : TR = Obat Tradisional dalam negeri D = Obat sebelum reevaluasi TL = Obat Tradisional luar negeri DBL = Obat yang telah direevaluasi Ml = Makanan luar negeri Dl = Obat luar negeri Tabel 3. No. 1 2 3 Kondisi penjualan PBA berdasarkan pendaftaran. Jumlah (%) Dijual dengan R/ 4 (16) 7 (29) -

Inisial pendaftaran D/DBL/DL TR/TL ML

PBA 10* (42) 13* (54) 1 (4)

Dijual babas 8 (33) 8 (33) 1 (4)

1. 2. 3. 4. 5.

* Jumlah tidak sesuai karena ada PBA yang dapat dijual dengan dan tanpa R/

* Jumlah dalam kolom lebih 24, karena ada PBA tersedia lebih dari 1 bentuk sediaan.

Peredaran resmi produk dinyatakan oleh adanya nomor pendaftaran produk bersangkutan. Semua PBA dalam Tabel 2 telah mendapat ijin resmi beredar, namun salah satu jenis di antaranya belum tersedia di semua apotik. Dari pengamatan

10

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

terhadap inisial pendaftaran (Tabel 3), PBA didaftarkan dengan beberapa macam inisial nomor pendaftaran PBA. Sebagian PBA, sekitar 42% (10/24) terdaftar sebagai obat modern
Tabel 4. Intormasi simplisia, klaim dan manfaat PBA

(D/DBL/DL) terutama sebagai D yang berarti belum direevaluasi. Selebihnya, sekitar

Nama PBA 1. A elixir

Nama simplisia Ext. Sonchus arvensis ext. Strobilanthus crispus

Manfaat empirik/eksperimental komponen simplisia obat sakit pinggang akibat diuretik, urolitiasis batu ginjal Klaim produser ekspektoran (ext. Thymi) sakit tenggorokan (Tct. Cimicifugae)

2. B Sirup

obat batuk Tct Cimicifugae, Tct. Grindelia, Pimpinella, Tct Quebracho, Tct Thymi, Saponin, NaBr, Ephedrin, Mentol, Eucalyptus penghancur batu ginjal hepatoprotektor obat sariawan antidiare obat sakit tenggorok penghancur batu ginjal

3. C kapsul 4. D kapsul

diuretik, urolitiasis

Ext. Curcuma zanthorhiza, Ext. Sylibum Marianum 5. E gargle Piper betle, Radix Liquiritiae 6. F tablet Attapulgit, Psidii folii, Curcuma domestica 7. G pulv Glyzirrhizae, Sophorae, Indigo pulv, Calcitum 8. H elixir Ext. Berberis, Ext. Rubiae, Ext. Saxifragae, Lithum, Mg borosilikat, Na fosfat 9. I sirup Hibiscus, Abrus prec., Mentha arv., Piper betle, Zingiber off., Euphorb hirta, Eletaria cardam Eugen. Car 10. J sal/kap Ext. Centella asistica 11. K sirup Tct. Grindelia, Pimpinella, Primulae, Rosae, Ext. Thymi 12. L kapsul Hexamin, Na salisilat, Strob crispus Sonchus arvensis, Orthosiph stam, Phyl. niruri 13. M sol. Ol. Cariophylli, Kreosot 14. N tablet Orthosiphon folia 15. O kapsul Fol. Andrographis, Cortex Alstonia, Leuc. glauca, Phas. Radiatus 16. P kapsul Guazuma fol. Marraya panic, Sonchus arvensis 17. R kapsul Kurkumin, Mi. A kurkuma 18. Q salep Rhus toxidendron, Ledum ramulus, Symphitum herba, Ol. Pini pumil 19. S kap/drop Frimulae flos cum Calycibus, Gentianae radix, Sambuci flos, Rumicis herba, Verbenae herba 20-22 TUV kapsul. Eks. Ginkgo biloba

adstringent adstringent (?) mengatasi (Saxifragae) radang

obat batuk, asma, masuk antiradang, analgetik, angin, dan lain-lain anestetik lokal, pendingin tenggorokan (Menta arv.) pencegah koloid obat batuk penghancur batu ginjal (?) ekspektoran (Ext. Thymi) diuretik, antiseptik saluran kencing anestetik lokal melancarkan kencing Obat kencing gula

obat sakit gigi diuretik obat kencing gula, tekanan darah tinggi, rematik, dan lain-lain antikolesterol antirematik, met. lemak antirematik topikal

menurunkan bobot badan mencit, diuretik (?)

23. w kapsul

Tribulus terestris fructi

24. X kapsul

Ginger extract

radang akut dan menahun analgetik antiinflamasi di sekitar hidung, (Sambuci flos. Primulae pendukung antibakteri radix), kongesti (Verbenae herba) (Verbaaae meredakan gejala akibat mengatasi insufisiensi gangguan peredaran darah serebral (Egb 761), anti otak, meningkatkan daya PAF (LI 760) ingat, pendengaran, penglihatan memperbaiki libido pria, (?) mada ereksi, spermatogenesis Antirematik Analgetik

54% (13/24) terdaftar sebagai Obat tradisional (TR/TL) dan 1 produk sebagai suplemen makanan (ML). Sebagian dari produk

tersebut dijual secara bebas, dan sebagian lain berdasarkan preskripsi. Tabel 2 dan 3 juga menampilkan gambaran kondisi

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

11

penjualan dan ijin peredaran melalui pendaftaran dan adanya TR/ TL yang dipreskripsi 7 PBA (29%) dari 11 PBA (45%). Apapun bentuk sediaan yang digunakan oleh pasien atau disuruhgunakan oleh penulis preskripsi, sampai saat ini tetap perlu memenuhi persyaratan keamanan dan khasiat(4). Sedangkan PBA mengandung komponen tanaman obat, yang masih sulit memenuhi persyaratan khasiat dan keamanan obat modern. 3) Komposisi PBA Komposisi PBA seringkali bukan hanya bahan alam (Tabel 4). Sebagian PBA, 21% (5/24), juga mengandung zat kimia dan terdaftar sebagai obat (D/DBL/DL). Jika PBA, dalam wujud formula atau ramuan ini, belum jelas diungkapkan khasiat dan keamanannya, maka tidak etis digunakan pada manusia, sekalipun merupakan obat tradisional(3). Sejauh ini bukti empirik maupun eksperimental umumnya berasal dari tanaman tunggal dan sejauh ini konfirmasi efek simplisia tanaman obat masih pada tahap eksperimental pada hewan percobaan. Untuk itupun tetap perlu diingat adanya diskrepansi antara efek pada hewan percobaan dan pada manusia. Tragedi thalidomide merupakan akibat ketidaksamaan ramalan efek pada spesies berbeda. Seluruh simplisia dalam studi berjumlah sekitar 45 simplisia dan jumlah simplisia tiap PBA berkisar antara 1-8 item baik sebagai simplisia atau ekstraknya. Ada 8 PBA yang mengandung 1 jenis simplisia atau ekstrak (C, J, N, T, U, V, W, X). Akan tetapi tidak berarti merupakan single component. Kandungan ekstrak dari satu spesies tanaman dapat berbeda baik jumlah dan jenisnya. Kandungan ekstrak ginseng (Panax ginseng) misalnya, sangat bervariasi tergantung faktor usia, iklim, musim waktu panen, habitat, bagian badan ginseng (bagian di atas atau di bawah tanah) dan metode ekstraksi(4,5). Kandungan zat aktif paeoniflorin dari sekitar 12 sampel simplisia (akar) peony yang banyak diperdagangkan di Hongkong, bervariasi antara 0,01%-4,75%, dan 7 sampel di antaranya tidak mencapai 2%, yang menjadi persyaratan Chinese Pharmacopoeia(6). Pada Tabel 4 dapat pula diamati beberapa simplisia yang hanya disebutkan sebagai nama genus tanpa nama spesies. Guna keperluan kontrol kualitas dari aspek pengawasan, pembakuan simplisia memerlukan nama lengkap simplisia yang diramu. Informasi dalam package insert, perlu menyebut hal tersebut secara jelas, meskipun belum menjamin apakah simplisia tersebut memiliki spesifikasi yang sama dari batch ke batch, seperti halnya ginseng dan peony. B. INFORMASI RISIKO DAN PENGGUNAAN Tabel 5 menunjukkan klaim indikasi PBA oleh produsen berdasarkan penandaan antara lain package insert dan dikaji terhadap ijin peredaran dan kondisi penjualan. Klaim dalam tabel ini cukup bervariasi mulai dari penyakit yang self diagnosed/self limiting, antara lain batuk, sariawan, diare, sampai penyakit yang diketahui melalui diagnosis profesional, antara lain diabetes, insufisiensi serebral, kerusakan hepar, hiperlipidemia, dan lain-lain. Dari kondisi penjualan kepada konsumen, 11 PBA yang diserahkan dengan resep memang ditujukan untuk penyakit yang tidak self diagnosed.

Tabel 5.

Klaim indikasi PBA oleh produsen terhadap kondisi penjualan dan pendaftaran. Klaim indikasi PenDengan Tanpa daftaran R/ R/ pinggang D + DBL TR TL D TR TR D D D DBL D DL ? + + + + + + + ? + + + + + +

Nama PBA 1. A elixir 2. B sirup 3. C cap 4. D cap 5. E sirup 6. F tab 7. G powd. 8. H elixir 9. I sirup 10. J cap/sal/powd 11. K sirup 12. L cap 13. M sol

Obat sakit akibat batu ginjal Obat batuk Penghancur batu ginjal Hepatoprotektor Obat sariawan Antidiare Obat sakit tenggorok, dan lain-lain Penghancur batu ginjal Obat batuk, asma, masuk angin, dll. Pencegah keloid Obat batuk Penghancur batu ginjal Obat sakit gigi, gusi bengkak

14. N tab 15. O cap

16. P cap 17. Q cap 18. R salep 19. S cap/drop

20. T tab

21. U cap 22. V cap 23. W cap

24. X cap

Diuretik Obat kencing gula, tekanan darah tinggi, rematik dan lain-lain Antikolesterol Antirematik, metab. Lemak Antirematik topikal Radang akut dan menahun di sekitar hidung, pendukung antibakteri Meredakan gejala akibat gangguan peredaran darah otak Meningkatkan daya ingat, pendengaran penglihatan, Antirematik Memperbaiki libido, masa ereksi, spermatogenesis Antirematik

D TR

+ -

+ +

TR TR TL TL

+ + +

+ + + -

TL

TL TR TR

+ +

+ -

ML

Pada Tabel 4 dapat diamati klaim indikasi yang disandingkan dengan manfaat empirik(7,8) dan/atau eksperimental. Seperti umumnya tanaman obat, informasi khasiat empirik tidak pernah untuk 1 jenis indikasi. Mengingat kandungan zat kimia yang sangat banyak dan bervariasi, khasiat empirik pun selalu lebih dari 1. Sebagian besar PBA mengandung simplisia memiliki informasi empirik yang diakui masyarakat dan tercantum dalam pustaka. Klaim sebagai obat batuk misalnya temyata mengandung Ekstr. Thymi yang sampai sekarang masih digunakan. Sonchus, Strobilanthus, Phylanthus yang diklaim sebagai diuretik juga memiliki dasar empirik dan telah banyak dikonfinmasi dengan penelitian eksperimental. Hal yang serupa terjadi pada Curcuma dan hasil isolasinya. Jahe sebagai antirematik mungkin dilandasi dengan khasiat empirik sebagai analgetik yang juga telah didukung oleh penelitian eksperimental. Hal yang sama berlaku pula pada sambiloto sebagai penurun gula darah(9). Kapsul ekstrak Ginkgo biloba (EGB 761) merupakan salah satu produk alam yang telah diteliti secara ekstensif dan telah dibakukan untuk mengatasi insufisiensi serebral (EGB 761) dan sebagai anti PAF -Platelet

12

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

Aggregating Factor (LI 760, BN52063 dan BN52021)(10,11,12); meski sebegitu jauh tetap tidak diketahui substansi yang paling berkhasiat dalam ekstrak tersebut, apakah ginkgo flavonoid sendiri atau bersama dengan komponen lain. Mekanisme kerja dan SAR belum dapat diterapkan pada PBA meski telah dilakukan puluhan uji klinik. Sebaliknya, Tabel 4 pun mengungkapkan beberapa sediaan galenik dan simplisia yang masih memerlukan konfirmasi klinik dan pembuktian lebih lanjut sebelum menjadi prescribed drugs. Beberapa diantaranya Extr. Centella sebagai antikeloid, Tribulus terestris sebagai aphrodisiac, Vervenae sebagai dekongestan, Sambuci dan Primulae sebagai antiinflamasi, dan sebagainya. Meski PBA terkesan aman, karena berasal dari bahan alam, aspek keamanan perlu diwaspadai. Secara empirik suatu tanaman obat atau simplisia tertentu umumnya telah melalui seleksi alam, dan diasumsikan tidak menimbulkan toksisitas akut. Toksisitas akut yang menjadi ukuran suatu tanaman obat dinyatakan aman umumnya diperoleh dari bentuk sederhana yang biasa digunakan secara empirik, baik cara makan maupun cara menyiapkannya. Di lain pihak, sebagian dari PBA telah diproduksi sebagai bentuk ekstrak/tingtur (Tabel 4). Efek simplisia sebagai obat tradisional empirik, belum dilepaskan dari komponen penyerta yang diolah secara empirik (rebusan, perasan, seduhan) kemungkinan berbeda dengan efek ekstrak/ tingtur(13). Ekstrak inipun perlu diketahui apakah menggunakan pelarut polar atau non polar, dengan berbagai cara (maserasi, sokletasi, fraksionasi). Kombinasi beberapa ekstrak dalam satu produk (pada sebagian besar PBA, Tabel 4) bukan tidak mungkin menimbulkan efek sinergisme atau aditif yang justru merugikan. Mungkin lebih menguntungkan jika konfirmasi khasiat PBA dilakukan dari ramuan/formula selain dari masing-masing komponen secara terpisah.
Tabel 6. Informasi penggunaan dan risiko. Ikwal 1. Lama penggunaan - jangka waktu tertentu - jangka panjang (> 1 bulan) - tidak disebut 2. Risiko - menyebut gejala - menyebut : tidak diketahui - aman untuk jangka panjang - tidak disebut 3. Penyebutan istilah indikasi - teknik medik - istilah awam - campuran awam dan medik Jumlah PBA 2 6 11 2 3 4 10 7 12

masih dalam perdebatan, agaknya lama penggunaan ekstrak tersebut mungkin merupakan salah satu kunci. Analisis uji klinik EGB 761 (dari 40 uji klinik terkontrol) ternyata tidak dilakukan dalam jangka panjang, hanya beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan pengukuran efek paling lama 12 bulan(10). Pada Tabel 6 di atas 11 PBA tidak menyebut jangka waktu penggunaan, bahkan 6 di antaranya menganjurkan pemberian jangka panjang dan disebut sebagai aman. Diskolorasi gigi pada anak, akibat mengkonsumsi tetrasiklin adalah contoh klasik efek samping yang terungkap belasan tahun kemudian. Selain kapsul EGB 761, beberapa kasus risiko akibat penggunaan tanaman obat, telah dilaporkan dan dikonfirmasi, antara lain alkaloid pyrrolizidin dari comfrey yang bersifat hepatotoksik, efek mineralokortikoid dari Glyzirrhiza glabra(16). Pada kejadian-kejadian ini, para ahli berkomentar, agar lebih berhati-hati memanfaatkan PBA, terutama karena mekanisme kerja atau analisis SAR belum sepenuhnya diketahui. Dari analisis terhadap informasi PBA ini terkesan kuat adanya informasi yang kurang memadai, seperti terlihat pada Tabel 6. Istilah yang digunakan dalam informasi inipun tidak seluruhnya menggunakan istilah awam. Pendaftaran sediaan jadi menghendaki digunakannya istilah awam dalam package insert, karena informasi ini ditujukan pada para pengguna produk. Produsen perlu membatasi promosi PBA terutama indikasi, manfaat dan jangka penggunaan agar tidak terjadi salah pengertian,yang dalam jangka panjang berakibat buruk. Paling kurang, untuk menghindarkan konsumen dari efek yang merugikan, baik secara klinik dan jasmani, maupun ekonomi, dalam arti konsumen tidak membeli produk yang tidak bermanfaat. KESIMPULAN DAN SARAN Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut 1) PBA yang resmi beredar terdaftar sebagai obat (D/DBL/ DL) sebagai obat tradisional (TR/TL) dan sebagai makanan (ML). 2) Formula atau ramuan PBA umumnya terdiri dari beberapa simplisia tanaman dan zat kimia berkisar antara 1 sampai dengan 8 jenis. 3) Dari 11 PBA yang diserahkan dengan preskripsi, 7 di antaranya terdaftar sebagai TR/TL. Sebagian PBA ini telah menjalani studi ekstensi, namun apa pula yang masih membutuhkan konfirmasi klinik dan belum diketahui komponen yang bertanggung jawab menimbulkan efek seperti dalam klaim. PBA yang dipreskripsi seyogyanya menjalani uji manfaat dalam bentuk ramuan, baik secara eksperimen pada hewan percobaan ataupun di klinik. 4) Efek PBA berasal dari ekstrak belum tentu memiliki efek yang sama dengan bentuk empirik, apalagi jika PBA mengandung lebih dari satu simplisia dengan klaim efek serupa. Komponen simplisia dalam PBA, sebagian tidak ditulis lengkap, hanya mencamtunkam genus tanpa spesies. Kiranya informasi ini kurang lengkap mengingat diperlukannya pembakuan simplisia di masa mendatang dalam rangka peningkatan pengawasan.

Dari 19 package insert yang dianalisis, lebih dari separuh tidak menyebut risiko, dan hanya 2 yang menyebut gejala, itupun dengan catatan sangat jarang. Akan tetapi hal ini tidak dapat dikatakan bahwa PBA bebas dari risiko penggunaan(14). Beberapa kasus risiko penggunaan telah dilaporkan. Salah satunya adalah kasus hematoma subdural pada orang yang makan kapsul ekstrak Ginkgo biloba (EGB 761) selama 2 tahun(16). Dinyatakan pula tidak diketahui adanya hubungan antara obat lain yang dimakan dengan kejadian tersebut. Meski

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

13

5) Efek samping tidak hanya diungkap dalam penandaan PBA. Sebagian tertulis : efek samping tidak diketahui. Pernyataan ini tidak berarti bahwa PBA aman digunakan secara empirik, seperti obat tradisional. Efek samping jangka tetap perlu diwaspadai.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan apoteker pengelola apotik yang terpilih dalam studi ini. Terimakasih pula kami sampaikan kepada Kapuslitbang Farmasi atas kesediaan memberi ijin penyusunan makalah dan keikutsertaan dalam presentasi ilmiah ini. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. Profil Kesehatan Indonesia 1995. Pusat Data Kesehatan. Depkes RI. Marwick C. The growing use of medicinal botanical forces assessment by drug regulator. JAMA 1995; 273: 607-9. Principles for the clinical evaluation of drugs. WHO Techn Rep Ser 403, 1968. Hyo WB (ed). Korean Ginseng: Chemical components of ginseng (part 5). 2nd ed, 1978. Korean Ginseng Institute, Seoul Korea. Kim SK, Sakamoto I, Mormoto K et al. Chemical evaluation on ginseng extract: Seasonal variation of saponins and sucrose in cultivated ginseng roots. Proc. 3rd Internat Ginseng Symposium 1980: 5-8.

6.

7. 8. 9.

10. 11.

12.

13. 14. 15.

16.

Cai Y, Phillipson JD, Harper JI, Corne SJ. HPLC and IHNMR spectroscopic methods for quality evaluation of Paeonia roots. Phytochemical Analysis 1994; 5: 183-9, dikutip dari Phillipson JD. Continuing education: Pharmacy and Herbal Medicines. Hongkong Pharm J 1995; 4(2): 55-63. Perry L. Medicinal Plants of Southeast Asia. MIT Press. Aliandi Arif et al. Tanaman Obat Pilihan. Yayasan Sidowayah, 1996. Nuratmi B, Adjirni, Paramina DI. Beberapa penelitian farmakologik Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) : kumpulan abstrak. Warta TOI. 1996; 1: 23-4. Kleinen J, Knipschild P. Ginkgo biloba for cerebral insufficiency. Br J Clin Phammac. 1992; 34:352-38. Roberts NM, Page COP, Chung KF, Barness PJ. Effect of anti PAF antagonist BN52063 on antigen -induced acute, and late onset cutaneous responses in atopic subjects. J Allergy Clin Immunol. 1988; 82: 236-41. Kemeny I, Csato M, Braquet P, Dobozy. Effect of BN 52021, a platelet activating factor antagonist, on dithranol-induced inflammation. Br J Dermatol. 1990; 122: 539-44. Sukasediati N, Nurendah PS. Penelitian daya antipiretik dan keamanan ekstrak Alstonia scholaris pada mencit. Laporan penelitian, BPPK, 1982. Dzulkarnain B. Obat tradisional tidak tanpa bahaya. CDK.1989; 59: 7-10. Rowin J, Lewis MD. Spontaneous bilateral subdural hematomas associated with chronic Ginkgo biloba ingestion. Neurology 1996; 46: 1175-6. DArcy PF. Adverse reactions and interaction with herbal medicines. Adverse Drug React Toxicol Rev. 1991; 10(4): 189-208.

He who is long in making up his mind does not always choose the best (Goethe)

14

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

HASIL PENELITIAN

Penggunaan Obat oleh Anggota Rumah Tangga di Jawa dan Bali (SKRT 1995)
Sarjaini Jamal, Suhardi , Sudjaswadi Wiryowidagdo
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Salah satu program pokok pembangunan bidang kesehatan adalah pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit (RS). Adanya kebijakan pelayanan rujukan ini memungkinkan beban kerja menjadi terbagi pada berbagai tingkat pelayanan yang ada; pelayanan kesehatan rujukan yang lebih tinggi seharusnya hanya untuk kasus-kasus penyakit yang tidak dapat dilayani oleh pelayanan di tingkat yang lebih rendah. Kebijakan di atas sesuai dengan prinsip bagi habis kerja dan rentang kendali (span of control) dalam manajemen. Tidak terpusatnya pelayanan kesehatan di satu tempat, memungkinkan penggunaan fasilitas yang ada menjadi lebih efisien sehingga masyarakat diharapkan mendapat pelayanan yang bermutu(1). Di samping itu tindakan melakukan pengobatan diri sendiri juga merupakan salah satu upaya masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya secara dini. Makin berhasil pengobatan diri sendiri dilakukan, akan makin berkurang beban pusat-pusat pelayanan kesehatan yang ada baik di tingkat dasar maupun di tingkat rujukan. Dengan mengetahui maksud penggunaan obat oleh masyarakat, apakah untuk menjaga kesehatan (preventif) atau untuk mengobati penyakit (kuratif) dan rehabilitatif dapat pula diperkirakan usaha masyarakat melakukan upaya kesehatan paripurna. Melalui penelusuran penggunaan obat (bukan obat tradisionil) dapat diketahui fasilitas kesehatan yang didatangi oleh seseorang bila memerlukan obat, baik untuk mengobati sakit maupun untuk menjaga kesehatan dan lain-lain. Untuk itu pada studi morbiditas yang merupakan bagian dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, di samping penyakit dan disabilitas telah dikumpulkan pula data penggunaan obat oleh Anggota Rumah Tangga (ART). SKRT merupakan salah satu wahana pengumpul data kesehatan dari masyarakat langsung (community base line data) yang terintegrasi dengan Susenas(2). Obat yang digunakan masyarakat dapat berasal dari: rumah sakit, puskesmas, apotek, toko obat, warung dan praktek tenaga kesehatan. Proporsi pemanfaatan masing-masing oleh masya-

rakat dapat diketahui melalui penelusuran sumber obat yang digunakan ART. Data ini dapat digunakan untuk perkiraan penyebaran obat yang merata dan mudah dijangkau oleh masyarakat. TUJUAN Umum: Mengetahui karakteristik penggunaan obat oleh ART di Jawa dan Bali. Khusus: 1) Mengetahui penggunaan obat di Jawa-Bali berdasarkan jenis kelamin ART. 2) Mengetahui penggunaan obat di Jawa dan Bali berdasarkan perbedaan wilayah perkotaan dan pedesaan. 3) Mengetahui sumber perolehan obat yang digunakan oleh ART di Jawa dan Bali. 4) Mengetahui tujuan penggunaan obat oleh ART di Jawa dan Bali. METODOLOGI Data dikumpulkan dengan kuesioner oleh seorang dokter yang telah dilatih melalui wawancara langsung. Responden adalah kepala/ibu rumah tangga atau ART dewasa yang bertindak mengambil keputusan dalam keluarga. Analisis dilakukan dengan mengaitkan penggunaan obat dengan berbagai karakteristik ART berdasarkan frekuensi dan persentase. Uji chi-square digunakan untuk melihat perbedaan penggunaan obat di antara pria-wanita dan daerah perkotaan-pedesaan. Daerah perkotaan dan pedesaan dibedakan berdasarkan skor atas beberapa karakteristik sosio ekonomi dari unit wilayah administratif terkecil; antara lain tentang kepadatan penduduk, lapangan kegiatan utama penduduk, fasilitas umum (jalan raya, sarana pendidikan, sarana kesehatan umum, kantor pos, transportasi dan lain-lain). Daerah perkotaan memiliki semua karakteristik sosio ekonomi tersebut dengan skor yang telah ditetapkan(3). Seorang ART dikatakan menggunakan obat bila minimal

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

15

satu kali pernah menggunakan atau memakai obat dalam kurun sebulan yang lalu, dihitung mundur dari hari kedatangan pencacah. Sampel SKRT menggunakan 5.085 rumah tangga (5% sampel Susenas-modul) atau 10.034 ART. Pengolahan data dilakukan dengan komputer dan disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi. HASIL 1) Penggunaan obat a) Penggunaan obat berdasarkan jenis kelamin ART
Tabel 1. Penggunaan obat sebulan terakhir di Jawa dan Bali berdasarkan jenis kelamin ART (SKRT-1995). Nomor Menggunakan obat 1 2 Ya Tidak Total Jenis kelamin ART Pria Wanita 994 1256 1382 1453 2376 2709 Jumlah n % 2250 44,25 2835 55,75 5085 100

Warung dan puskesmas merupakan sumber obat utama bagi ART yang menggunakan obat sebulan terakhir. Hanya 5,03% ART yang mendapatkan obat dari apotik, sedangkan dari praktek dokter 8,41 % dan RS 2,36%. 3) Tujuan penggunaan obat
Tabel 4. Tujuan penggunaan obat oleh ART di Jawa dan Bali (SKRT 1995). Nomor 1 2 3 4 5 Tujuan penggunaan obat Mengobati penyakit Menjaga kesehatan Keluarga berencana Menambah vitalitas Lain-lain Total Jumlah responden n % 2051 91,56 125 5,58 26 1,16 11 0,49 27 1,21 2240 100

Tidak menjawab 10

x2 = 10,557 dan p < 0,05

Terdapat perbedaan yang bermakna dalam menggunakan obat antara pria dan wanita selama sebulan terakhir. Wanita lebih banyak menggunakan obat dibandingkan pria. Sebanyak 44,25% responden pernah menggunakan obat dalam kurun waktu sebulan terakhir.
Tabel 2. Penggunaan obat di Jawa dan Bali berdasarkan daerah perkotaan-pedesaan (SKRT-1995). Nomo r 1 2 Menggunakan obat Ya Tidak Total Jenis daerah Perkotaan Pedesaan 954 1296 1177 1658 2131 2954 Jumlah 2250 2835 5085

Pada umumnya penggunaan obat oleh ART ditujukan untuk mengobati penyakit, untuk menjaga kesehatan hanya 5,58% dan keluargaberencana 1,16%. DISKUSI Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa hampir 44,25% ART di Jawa dan Bali pernah menggunakan obat. Fenomena ini menunjukkan ART semakin peduli dengan kesehatannya yaitu tentang perlunya mengobati sakit atau menjaga kesehatan dan lain-lain. Dengan cukup tingginya penggunaan obat oleh ART berarti pula salah satu program di bidang obat tampaknya telah terpenuhi yaitu agar obat mudah dicapai bagi yang membutuhkannya di samping sudah tingginya pemahaman obat oleh masyarakat. Warung merupakan sumber terbanyak dari obat-obat yang digunakan oleh ART. Sumber lainnya yakni puskesmas, praktek paramedik (perawat/bidan), toko obat, dokter praktek dan apotik. Peran Posyandu dan Pos Obat Desa (POD) sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan ternyata sangat kecil. Hal ini mungkin karena warung merupakan outlet obat yang paling mudah dicapai oleh masyarakat, baik karena jaraknya dekat maupun dengan uang yang sedikit sudah bisa memperoleh obat. Biasanya obat-obat yang dijual di warung dan toko obat adalah untuk keluhan sakit yang diketahui jelas oleh orang awam seperti demam, batuk, pegal linu, sakit kepala dan lain-lain. Dengan cukup banyaknya masyarakat yang mendapatkan obat dari kedua outlet ini dapat pula diperkirakan bahwa fenomena pengobatan sendiri cukup tinggi di kalangan masyarakat di Jawa dan Bali. Hasil ini sesuai dengan informasi yang diperoleh Susenas 1992; pengobatan sendiri menduduki pilihan pertama (47,26%) masyarakat dalam mencari tempat/cara berobat(4). Upaya masyarakat melakukan pengobatan diri sendiri dinilai seperti pedang bermata dua, bila tidak dilakukan secara benar. Di satu sisi akan mengurangi beban pelayanan di puskesmas atau RS, namun di sisi lain bila obat yang digunakan adalah obat-obat yang termasuk dalam daftar G (obat keras) seperti antibiotika, antidiabetes, hormon dan antihipertensi

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam penggunaan obat antara penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan. 2) Sumber perolehan obat
Tabel 3. Sumber perolehan obat yang digunakan oleh ART di Jawa dan Bail (SKRT-1995). Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Sumber obat Warung Puskesmas Praktek paramedik Toko obat Praktek dokter Apotik RS Poliklinik Pdg keliling dan lainnya Posyandu POD Klinik KB Total Jumlah responden n % 996 44,35 356 15,85 257 11,44 209 9,31 189 8,41 113 5,03 53 2,36 34 1,51 24 1,07 8 0,36 4 0,18 3 0,13 2246 100

Tak menjawab 4

16

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

tanpa pengetahuan yang memadai akan menimbulkan hal-hal yang tak diingini. Pemakaian obat daftar W (bebas terbatas) seperti analgetika, antipiretika dan obat batuk dalam jangka lama juga dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap toko obat pada tahun 1992 diketahui bahwa di toko obat tidak saja ditemukan obat-obat bebas dan bebas terbatas juga ditemukan obat keras seperti beberapa antibiotika dan penenang(5). Walaupun pada penelitian ini tidak diketahui jenis obat yang digunakan oleh ART namun tidak tertutup kemungkinan digunakannya obat-obat keras tersebut untuk pengobatan diri sendiri (self remedies). Pemakaian antibiotika yang tidak tepat, baik karena dosis yang rendah maupun pemakaian dalam jangka waktu yang lama ataupun yang sudah rusak atau kadaluarsa memungkinkan terjadinya resistensi ataupun superinfeksi bahkan kemungkinan timbulnya alergi ataupun syok anafilaktik pada individu tertentu(6). Fenomena ini perlu mendapat perhatian khusus karena sampai sekarang sudah banyak dilaporkan adanya resistensi berbagai antibiotika seperti amoksisilin, eritromisin dan ampisilin(7). Dianjurkan agar antibiotika dan obat-obat untuk penyakit tertentu tidak digunakan pada pengobatan diri sendiri. Obat jenis ini hanya diberikan melalui fasilitas penjualan obat yang dikelola oleh tenaga yang mengetahui dan memahami khasiat dan keamanan obat seperti apoteker di apotik dan dokter di RS/puskesmas. Terdapat perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita dalam hal penggunaan obat (Tabel 2). Dapat ditambahkan bahwa pada penelitian ini, penggunaan obat keluarga berencana termasuk dalam klasifikasi menggunakan obat, sehingga meningkatkan kemungkinan kelompok wanita lebih banyak menggunakan obat dibandingkan pria. Berbagai kemungkinan lain, misalnya karena responden wanita memang lebih peduli pada kesehatannya dibandingkan pria. Di samping tiap bulan wanita usia subur (WUS) memerlukan analgesik untuk penawar rasa sakit saat menstruasi. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna di antara penduduk di perkotaan dengan di pedesaan dalam menggunakan obat (Tabel 2). Bila penggunaan obat dikaitkan dengan keluhan kesehatan maka fenomena ini sesuai pula dengan apa yang ditemukan oleh Susenas 1992, bahwa keluhan kesehatan di kedua daerah hampir sama(perkotaan 20,75% dan pedesaan 21,13%)(4). Bila praktek penggunaan obat ditentukan oleh pengetahuan dan sikap, berarti untuk kedua domain perilaku tersebut dalam penggunaan obat hampir sama di kalangan masyarakat di perkotaan dengan di pedesaan. Hal ini mungkin karena komunikasi-informasi sudah cukup lancar dan demand masyarakat terhadap perlunya mencari obat untuk mengobati sakit yang diderita atau menjaga kesehatan di kedua daerah sudah cukup tinggi. Walaupun demikian pada Tabel 2 terlihat seolah-olah masyarakat desa lebih banyak menggunakan obat dibandingkan masyarakat kota. Hal ini mungkin terjadi karena jumlah responden lebih banyak di desa dibandingkan di kota. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa penggunaan obat pada umumnya ditujukan untuk mengobati penyakit/kuratif

(91,56%), sedangkan menjaga kesehatan/promotif hanya 5,58% dan untuk keluarga berencana 1,16%. Seseorang mendatangi RS atau puskesmas atau praktek swasta tenaga kesehatan biasanya jika dia merasa betul-betul sakit. Karena warung dan toko obat merupakan sumber obat terbanyak dipilih oleh para responden, mungkin mereka telah melakukan pengobatan diri sendiri sebelum mendatangi pusat pelayanan di atas. Dengan melihat urutan-urutan sumber obat pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa masyarakat pada umumnya selama ini telah menganut pelayanan berjenjang. Pada tahap pertama masyarakat melakukan dulu pengobatan sendiri, kemudian baru mendatangi puskesmas atau praktek pelayanan tenaga kesehatan. Rumah Sakit menduduki urutan ke tujuh. Barangkali kunjungan ke RS baru diperlukan bila usaha yang lain kurang memuaskan. Fenomena ini selaras dengan harapan sistim rujukan pelayanan kesehatan.

KESIMPULAN 1) Sebanyak 44,25% anggota rumah tangga yang ditanya dalam SKRT menjawab pernah menggunakan obat selama sebulan terakhir. 2) Sumber obat yang paling dominan adalah warung (44,35%) dan yang lainnya adalah puskesmas (15,85%), praktek perawat/ bidan (11,44%), toko obat (9,31%), praktek dokter (8,41%), apotik (5,03%) dan RS hanya 2,36%. 3) Terdapat perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita dalam hal pernah menggunakan obat sebulan terakhir; wanita lebih banyak pernah menggunakan obat dibandingkan pria. 4) Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam pernah menggunakan obat di kalangan ART yang berdiam di daerah perkotaan dengan pedesaan selama sebulan terakhir. 5) Pada umumnya penggunaan obat ditujukan untuk mengobati penyakit (91,56%), sedangkan untuk menjaga kesehatan 5,58% dan untuk keluarga berencana 1,16%. SARAN Dengan cukup luasnya cakupan distribusi obat di masyarakat dan banyaknya ART menggunakan obat, disarankan agar Departemen Kesehatan dapat meningkatkan informasi obat atau penyuluhan penggunaan obat yang baik (P2OB) antara lain melalui peningkatan penyebaran buku Pedoman Penggunaan Obat Bebas yang telah ada.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada DR. Suharsono Sumantri sebagai ketua pelaksana SKRT yang telah berkenan mengizinkan penggunaan data SKRT 1995 Jawa-Bali untuk diungkapkan pada tulisan ini.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Republik Indonesia. Rencana Pembangunan Lima Tahun ke Enam, Buku IV: 294. Soemantri S. Studi protokol SKRT 1995, Jakarta. BPS. Profil Statistik Wanita, Ibu dan Anak Indonesia, BPS, Jakarta, 1994: xxv.

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

17

4. 5. 6.

BPS Statistik kesehatan rumah tangga menurut hasil Susenas, Jakarta, 1992. Sarjaini J. Pendistribusian obat melalui toko obat, 1993. Goodman, Gilmanns. The Pharmacological Basic of Therapeutics, Pergamon Press, New York, 1991; 4 : 1018-44.

7.

8.

Kuntaman, Prijanto S, Rukmini. Pemisahan bakteri penyebab infeksi tenggorokan dan pola kepekaan terhadap beberapa antimikroba. Medika 1992; 10 : 28-30. Blalock HM. Social statistics, Mc Graw Hill-Kogakusha Ltd., Tokyo, 1972.

Armadillo (sejenis Trenggiling) ternyata dapat menularkan kuman lepra !

18

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

HASIL PENELITIAN

Penggunaan Suntikan di Kalangan Masyarakat (SKRT 1995 )


Sarjaini Jamal, Suhardi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Untuk melihat penggunaan suntikan di kalangan masyarakat, maka Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 telah mengumpulkan beberapa data melalui kunjungan langsung oleh seorang dokter dari rumah ke rumah. Ternyata sebanyak 8,47% dari 1002 responden mengatakan pernah mendapatkan suntikan dalam kurun waktu sebulan terakhir. Dari jumlah tersebut 36,61% mendapatkannya dari praktek paramedik, 31,28% dari puskesmas sewaktu kunjungan rawat jalan, 15,88% dari tempat praktek dokter dan 1,66% dari tukang suntik keliling. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mendapatkan suntikan antara responden pria dengan wanita maupun antara yang berdiam di perkotaan dengan pedesaan. Responden wanita lebih banyak mendapatkannya dibandingkan pria. Responden yang berdiam di pedesaan lebih banyak mendapatkannya dibandingkan di perkotaan. Kelompok umur 14-45 tahun merupakan yang terbanyak mendapatkan suntikan kemudian diikuti oleh kelompok umur yang lebih tua. Disarankan agar para tenaga kesehatan selalu diingatkan akan bahaya penggunaan alat suntik yang sembrono terhadap akibat-akibat yang dapat ditimbulkannya. Penggunaan disposable syringe sangat dianjurkan untuk menghindari penularan beberapa penyakit berbahaya melalui alat suntik yang tidak steril atau dipakai untuk beberapa orang pasien.

PENDAHULUAN Keinginan disuntik bila sakit kadang-kadang telah menjadi kebiasaan (habit) penduduk di sebagian daerah. Seseorang yang datang berobat ke puskesmas atau praktek tenaga kesehatan merasa kurang pas jika belum mendapatkan suntikan, walaupun telah diberi obat minum. Malah akan lebih senang bila suntikan tersebut terasa sakit atau disuntik di dua pinggul kiri dan kanan sebagai pamungkas. Ini merupakan rumor tentang suntikan di kalangan masyarakat. Dari segi kesehatan, alat suntik yang tidak steril atau dipakai bergantian dikuatirkan dapat menjadi sumber penularan patogen lainnya. Banyak penyakit yang dapat ditularkan melalalui jarum suntik yang sembrono seperti hepatitis, HIV/AIDS, polio dan malaria. Kadang-kadang terjadi abses menahun di daerah bekas suntikan karena infeksi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menaruh perhatian khusus

tentang penggunaan suntikan (injection practices) ini dan pada tahun 1990 mengadakan suatu studi regional di Senegal, Indonesia dan Uganda untuk melihat penggunaannya di beberapa negara sedang berkembang(1). Demikian juga Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1995 mencoba melihat bagaimana penggunaan suntikan di kalangan masyarakat melalui pengamatan pada anggota rumah tangga (ART). Beberapa data yang telah dikumpulkan melalui studi tersebut dikemukakan pada tulisan ini. TUJUAN Mengetahui penggunaan suntikan di kalangan masyarakat yang dideskripsikan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, wilayah perkotaan-pedesaan, tempat mendapatkan suntikan, den umur responden.

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

19

METODOLOGI Data dikumpulkan melalui kunjungan langsung oleh seorang dokter umum menggunakan metoda wawancara. Informasi direkam dalam daftar isian/kuesioner. Responden adalah kepala rumah tangga/ibu atau anggota rumah tangga (ART) sudah dewasa yang mengetahui keadaan kesehatan anggota keluarganya. Kerangka sampel yang digunakan mengacu pada survai sosial ekonomi nasional (SUSENAS-1995) yang dilakukan oleh BPS, SKRT mengambil 5% dari sampel Modul SUSENAS-1995 yang dipilih secara systematic random sampling. Koreksi data dilakukan sejak awal di lapangan untuk melihat konsistensi pengisian kuesioner. Pengolahan data dilakukan dengan komputer mulai dari data entry, verifikasi sampai disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi. Analisis dilakukan dengan melihat nilai-nilai kecenderungan dikaitkan dengan beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Untuk melihat adanya kemaknaan perbedaan mendapatkan suntikan antara responden wanita dengan pria dan antara yang tinggal di daerah pedesaan dengan perkotaan digunakan uji Chi square. HASIL 1) Berdasarkan jenis kelamin responden Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mendapatkan suntikan antara kaum pria dan wanita (p < 0,05); kaum wanita lebih banyak mendapatkannya dibandingkan pria (Tabel 1).
Tabel 1. Mendapatkan suntikan sebulan terakhir berdasarkan jenis kelamin responden. Mendapatkan suntikan Mendapatkan Tidak mendapatkan Total Jenis kelamin Pria Wanita n % n % 334 7,15 513 9,65 4.350 92,85 4.805 90,35 4.684 100 5.318 100 Jumlah n 847 9.155 10.002

Tabel 3.

Mendapatkan suntikan di kalangan ART berdasarkan tempat mendapatkannya.

No. Nama tempat mendapatkan suntikan 1 RS - rawat inap 2 RS - rawat jalan 3 Puskesmas - rawat inap 4 Puskesmas - rawa jalan 5 Poliklinik 6 Praktek dokter 7 Praktek paramedik 8 Klinik KB 9 Posyandu 10 Tukang suntik keliling 11 Sendiri 12 Lain-lain Total

Banyaknya
n 18 23 30 264 18 134 309 17 14 14 2 1 847 % 2,13 2,73 3,55 31,28 2,13 15,88 36,61 2,01 1,66 1,66 0,24 0,12 100

4) Umur responden Responden yang berumur 15-44 tahun merupakan kelompok yang terbanyak mendapatkan suntikan (50,18%) kemudian diikuti oleh kelompok umur yang lebih tua (Tabel 4).
Tabel 4. Mendapatkan suntikan di kalangan ART berdasarkan kelompok umur. Banyaknya % 49 5,78 91 10,75 425 50,18 142 16,77 140 16,52 847 100

No. 1 2 3 4 5

Kelompok umur responden (tahun) 0-4 5 -14 15-44 45-59 60 ke atas Total

No. 1 2

2) Berdasarkan daerah tempat tinggal Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mendapatkan suntikan antara yang berdiam di daerah pedesaan dengan perkotaan (p < 0,05); yang berdiam di pedesaan lebih banyak mendapatkannya dibandingkan di perkotaan (Tabel 2). 3) Tempat mendapatkan suntikan Praktek paramedik merupakan tempat terbanyak didatangi oleh responden untuk mendapatkan suntikan (36,61%). Kemudian diikuti puskesmas pada waktu rawat jalan (31,28%) den praktek dokter (15,88%) (Tabel 3). Juga terdapat responden yang melakukan penyuntikan sendiri (0,24%) dan yang mendapatkan dari tukang suntik keliling (1,66%).
Tabel 2. Mendapatkan suntikan sebulan terakhir berdasarkan daerah perkotaan-pedesaan. Mendapatkan suntikan Jenis kelamin Perkotaan Pedesaan n % n % 291 7,30 556 9,0 3.696 92,70 5.459 91,0 3.987 100 6.015 100

No.

Jumlah 847 9.155 10.002

1 Mendapatkan 2 Tidak mendapatkan Total

PEMBAHASAN Penggunaan alat suntik tidaklah ama seratus persen. Kekuatiran tidak saja tentang penularan beberapa penyakit tetapi juga kemungkinan terjadinya shock anafilaktik pada pemberian streptomisin, prokain penisilin da ampisilin(1,2). Hal ini barangkali menjadi penyebab kenapa sebagian dokter jarang memberikan injeksi, terutama pada anak-anak, bayi dan lansia kecuali terpaksa. Masalah mensterilkan alat suntik di pusat-pusat pelayanan kesehatan perlu mendapat perhatian khusus. Di beberapa puskesmas, tabung dan jarum suntik tidak dimasukkan dalam kotak, tapi diletakkan di almari tanpa bungkus, sehingga rawan pencemaran oleh debu den mikroba. Proses sterilisasi hanya dilakukan sekali yaitu pagi hari melalui pendidihan selama 20 menit dalam cooking pan. Biasanya terdapat sebanyak 3 alat suntik untuk dipakai oleh sekurang-kurangnya 15 orang pasien(1). Karena terbatasnya fasilitas sterilisasi yang tersedia di puskesmas dan posyandu penggunaan disposable syringes menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar. Masalahnya adalah penyediaannya mengingat biaya obat dan alat kesehatan yang terbatas. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada umumnya para responden mendapatkan suntikan dari institusi yang dikelola oleh tenaga kesehatan (tempat praktek paramedik, puskesmas, tempat praktek dokter dan lain-lain). Dalam beberapa hal pertimbangan komersial terselubung dapat melatarbelakangi

20

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

jenis dan kualitas pelayanan yang diberikan. Injeksi adalah sediaan lebih mahal dibandingkan pil, dan pasien bersedia membayar ekstra untuk itu. Kondisi ini mengimbas para provider untuk menawarkannya pada pasien karena ada insentif yang diharapkan(3). Di beberapa puskesmas di Jawa Tengah pada tahun 1993 diketahui bahwa setiap konsultasi yang kebanyakan dilakukan oleh paramedik selalu disudahi dengan ucapan suntik ya(4); lalu biasanya pasien hanya mengangguk tanda setuju. Ini tampaknya sudah menjadi suatu prosedur rutin di puskesmas. Gambaran yang sama juga ditemukan di Thailand; di kampungkampung, penduduk secara umum percaya bahwa injeksi bekerja lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan bentuk obat yang lain(5); bahkan satu ampul sediaan suntik dianggap mempunyai kekuatan 10 kali obat dalam bentuk pil. Jika seorang perawat ditanya mengapa menggunakan injeksi dia akan menjawab bahwa obat akan bekerja lebih cepat, cukup tersedia, lebih sesuai, lebih mudah, lebih efektif dan mudah diingat. Penelitian di Lombok dan Lebak (1990) menemukan bahwa 70-90% pasien yang berobat di pelayanan kesehatan umum mendapatkan suntikan, sedangkan di Uganda angka tersebut adalah lebih rendah yaitu mencakup 60-70% pasien(1). Ternyata tidak semua penyuntikan itu diminta oleh pasien, yaitu hanya 30-48%, selebihnya adalah inisiatif para provider(1). Ini menunjukkan bahwa penyuntikan memang ditawarkan tenaga pengobat dan sebagian diminta pasien yang bersangkutan. Pasien-pasien yang banyak menerima suntikan adalah yang menderita demam (40-56%), batuk pilek (34-54%), diare (50-53%) dan sakit kulit (56-b1%). Fenomena yang hampir sama juga ditemukan pada pengamatan di Uganda(1). Beberapa obat yang banyak diberikan pada kasus-kasus tersebut adalah Oksitetrasiklin, Vit B12 dan Penisilin (untuk demam), Antalgin, Vit K, Vit B1, Oksitetrasiklin, Difenhidramin, Streptomisin, Kalsium, Vit B12 (untuk batuk pilek). Sedangkan untuk diare adalah Oksitetrasiklin, Penisilin, Papaverin dan Vit B1(1). Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masih terdapatnya tukang suntik keliling (walaupun sedikit). Ini menunjukkan bahwa keinginan disuntik memang merupakan kebutuhan sebagian anggota masyarakat sendiri. Banyak faktor melatarbelakangi mengapa tidak pergi ke puskesmas untuk disuntik, seperti jarak, tingkat keramahan, kebiasaan atau biaya. Keadaan bisa menjadi sulit bila tukang suntik tersebut tidak mempunyai pengetahuan atau latar belakang medik. Di suatu kecamatan di suatu daerah, ternyata adalah mantan pegawai administrasi di suatu RS di Jakarta, karena pensiun pulang ke kampung asalnya dan menjadi tukang suntik keliling. Suatu kebiasaan buruk dari sang penyuntik adalah melap bagian dalam alat suntik dengan kain sebelum disimpan kembali. Usaha ini menyebabkan terkontaminasinya tabung suntik oleh mikroba melalui tangan dan kain yang tidak steril; dengan demikian dapat dimengerti mengapa sering terjadi infeksi atau abses di daerah penyuntikan. Untuk mengurangi pengaruh luar yang dapat menimbulkan infeksi maka bagian tubuh yang akan disuntik diolesi antiseptik alkohol 70%. Di daerah yang jauh atau karena berbagai sebab, alkohol mungkin sulit diperoleh, untuk maksud yang sama

dapat dilakukan dengan cara mencuci daerah kulit yang akan disuntik dengan sabun atau lysol. Di negara-negara di mana alkohol 70% tidak tersedia karena hukum Islam mengharamkannya, peran alkohol 70% diganti dengan propil alkohol berupa tissue steril ukuran 3 x 3 cm sekali pakai. Penyuntikan diri sendiri juga kadang-kadang dilakukan oleh pasien-pasien penderita penyakit khronis seperti penyuntikan Insulin pada diabetes melitus. Untuk itu memang mereka diajari cara penyuntikan yang benar oleh perawat yang mengobatinya. Di Uganda 21-34% responden melakukan penyuntikan diri sendiri dan mereka memiliki alat suntik yang dibawa ke puskesmas agar memudahkan perawat(1). Di negara kita keadaan seperti itu belum pernah dilaporkan. Dari segi jenis kelamin terdapat perbedaan yang sangat bermakna dalam mendapat suntikan antara pria dan wanita, mungkin karena wanita lebih banyak sakit. Dugaan ini diperkuat oleh hasil penelitian Studi Morbiditas-Disabilitas SKRT 1995 yang menyebutkan bahwa keluhan kesehatan pada wanita sedikit lebih tinggi dibandingkan pria(6). Perbedaan yang sangat bermakna juga ditemukan antara responden yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan; di pedesaan lebih banyak pasien mendapatkan suntikan dibandingkan di perkotaan (Tabel 2). Barangkali ini berkaitan dengan kebiasaan penduduk, pengetahuan dan pengalaman di samping lebih banyaknya penduduk di pedesaan yang sakit dibandingkan di perkotaan. Dugaan terakhir ini diperkuat oleh hasil Studi Morbiditas-Disabilitas SKRT 1995 yang menyebutkan bahwa keluhan kesehatan di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan(6). Kelompok usia produktif (15-44) maupun yang lebih tua ternyata lebih banyak mendapatkan suntikan dibandingkan kelompok usia muda (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan pola penggunaan obat yang ditemukan pada Studi Penggunaan obatSKRT 1995 bahwa yang banyak menggunakan obat adalah pada kelompok usia tersebut(7).

KESIMPULAN 1) Sebanyak 8,47% dari 1002 anggota rumah tangga (ART) pernah mendapat suntikan selama sebulan terakhir; 36,61% diperoleh di tempat praktek paramedik, 31,28% di puskesmas sewaktu berobat jalan, 15,88% di tempat praktek dokter dan tukang suntik keliling 1,66%. 2) Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mendapat suntikan antara pria dan wanita; wanita lebih banyak dibanding pria. 3) Perbedaan yang bermakna juga ditunjukkan antara di daerah perkotaan dan pedesaan; di pedesaan lebih banyak yang mendapat suntikan dibanding di perkotaan. 4) Kelompok umur 15-44 tahun merupakan yang banyak mendapat suntikan, kemudian diikuti oleh kelompok umur yang lebih tua.

SARAN Peralatan sterilisasi di RS atau di unit-unit pelayanan kesehatan perlu dilengkapi dan mendapat perhatian khusus, mengingat penggunaan alat suntik yang kurang steril berisiko

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

21

menularkan penyakit. Tenaga kesehatan yang memberikan suntikan perlu diingatkan akan bahaya penggunaan alat suntik yang tidak steril atau yang digunakan pada lebih dari satu pasien. Penggunaan disposable syringe sangat dianjurkan walaupun memerlukan biaya yang lebih tinggi.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. WHO. Injection Practices in Developing World, WHO, Geneve. 1993. Berita MESO, no. 2, Agustus 1984, hal 5-6. Kleinman A. Patients and Healers in the Context of Culture-An Exploration of the Borderland Between Anthropology, Medicine and Psychiatry, University of California Press, Berkeley. 1980. Sciortino R. Caretaker of Cure, A Study of Health Centre Nurses in Rural Central Java. Amsterdam. 1993. Reeler AV, Heamtorn C. Injection Practices in Third World, A Case Study of Thailand, WHO, Geneve. 1990. Badan Litbangkes. Studi Morbiditas-Disabilitas, dalam Laporan Akhir SKRT 1995. Badan Litbangkes, Jakarta 1990, hal 62. Badan Litbangkes. Penggunaan obat oleh ART menurut SKRT 1995. Analisis lanjut. Naskah belum diterbitkan.

4. 5.

UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan kepada ketua SKRT Suharsono Sumantri, PhD. atas petunjuk dan izin yang diberikan pada penggunaan data SKRT 1995 sehingga memungkinkan tulisan ini dibuat.

6. 7.

He who is wise only after the deed, uses his wisdom much to late (Rollenhagen)

22

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

HASIL PENELITIAN

Perilaku Merokok di Indonesia menurut Susenas dan SKRT 1995


Suhardi
Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

RINGKASAN Berdasarkan Modul dan Kor Susenas 1995, didapatkan hal-hal mengenai perilaku merokok sebagai berikut : Untuk kelompok umur 10 tahun ke atas, prevalensi perokok laki-laki tiap hari 45.0%, kadang-kadang 6.3%, dan mantan 3.0%; sedang prevalensi perokok perempuan tiap hari 1.5%, kadang-kadang 0.5 %, dan mantan 0.2 %. Prevalensi meningkat sejalan dengan meningkatnya umur, terutama pada umur muda. Untuk umur 20 tahun ke atas, prevalensi perokok laki-laki tiap hari menurut lokasi adalah sbb : 61.3% (Indonesia), 61.3% (Jabal), 61.2% (LJB), 62.5% (Indonesia Barat), 55.3% (Indonesia Timur), 52.4% (urban), 66.3% (rural); sedang prevalensi perokok laki-laki kadang-kadang adalah sbb : 7.5% (Indonesia), 7.9% (Jabal), 6.8% (LJB), 7.5% (Indonesia Barat), 7.6% (Indonesia Timur), 7.7% (urban), 7.4% (rural). Prevalensi menurun dengan meningkatnya pendidikan di daerah urban dan rural; dan prevalensi mulai menurun di daerah urban setelah pengeluaran anggota rumah tangga per bulan di atas Rp 100,000,- . Untuk umur 20 tahun ke atas, proporsi perokok laki-laki tiap hari 11-20 batang/ hari dan 21+ batang/hari menurut lokasi adalah sbb : 47.8% dan 5.3% (Indonesia), 52.0% dan 5.3% (urban), 46.6% dan 5.4% (rural); 42.2% dan 4.0% (Jabal), 57.5% dan 7.6% (LTB); 46.5% dan 5.1% (Indonesia Barat), 54.8% dan 6.7% (Indonesia Timur). Intensitas meningkat dengan makin tingginya pendidikan dan pengeluaran anggota rumah tangga/bulan. Untuk umur 20 tahun ke atas, proporsi perokok laki-laki tiap hari menurut jenis rokok yang dihisap di daerah urban adalah sbb : 12.1% (putih filter), 3.0% (putih nonfilter), 59.8% (kretek filter), 20.8% (kretek nonfilter), 0.3% (cerutu), 3.8% (linting), 0.0% (siong), 0.1% (cangklong); sedang di daerah rural adalah sbb : 11.6% (putih filter), 2.8% (putih nonfilter), 33.7% (kretek filter), 24.9% (kretek nonfilter), 0.6% (cerutu), 25.4% (linting), 0.4% (siong), 0.5% (cangklong). Untuk umur 20 tahun ke atas, proporsi perokok laki-laki tiap hari yang merokok dalam rumah adalah 92.8%. Sedang proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas yang merokok dalam rumah adalah 93.8%. Umur mulai perokok laki-laki yang terkecil adalah 5 tahun. Umur mulai terjadi sebagian pada umur 10-14 tahun, sebagian besar pada umur 15-19 tahun, terbanyak pada umur 20 tahun, sebagian pada umur 21-25 tahun, dan sebagian kecil pada umur 26-30 tahun.

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

23

Dibandingkan dengan SKRT 1986, terjadi sedikit kenaikan prevalensi perokok laki-laki pada Susenas 1995, terutama pada kelompok umur muda.

PENDAHULUAN Indikator merokok Beberapa kontributor utama terhadap terjadinya penyakit kronis, yang mulai menjadi masalah dalam transisi epidemilogi di Indonesia, adalah perilaku merokok, pola makan dan obesitas, kesegaran jasmani, stres dan pencemaran lingkungan. WHO menganggap bahwa perilaku merokok telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting bagi seluruh dunia sejak lebih dari 1 dekade yang lalu, sehingga perlu ditanggulangi menyeluruh. Sementara prevalensi dan konsumsi merokok di negara maju telah menurun sebagai hasil dari program penanggulangan yang komprehensif dan intensif, keadaan sebaliknya terjadi di negara sedang berkembang. Dalam jangka panjang akan terjadi epidemi penyakit akibat merokok yang mahal biaya penanganannya di negara dunia ke tiga, bila keadaan ini tidak segera ditanggulangi dengan serius. Indikator perilaku merokok merupakan petunjuk penting untuk menilai keberhasilan upaya penanggulangan masalah merokok baik dalam skala nasional, wilayah maupun propinsi. Survai-survai yang terstandarisasi, sehingga komparabel, haruslah dilakukan secara periodik dengan teratur, agar evaluasi dan antisipasi program penanggulangan masalah merokok dapat segera dilakukan dan lebih terarah. Indikator perilaku merokok juga merupakan salah satu indikator antara untuk menilai hasil penanggulangan penyakit tidak menular dalam jangka pendek dan menengah, karena untuk melihat dampak program berupa penurunan prevalensi penyakit diperlukan jangka waktu yang jauh lebih lama. Integrasi Susenas-SKRT Survai merokok dalam skala nasional pertama kali dilakukan pada SKRT 1986, dan setelah berselang 1 dekade, perlu dilihat kembali trend perilaku merokok untuk melihat kembali hasil upaya penanggulangan masalah merokok yang makin intensif oleh berbagai pihak. Sejalan dengan integrasi sejak tahun 1992 antara SKRT yang diselenggarakan oleh Depkes dengan Susenas yang diselenggarakan oleh BPS, maka pada survai dalam skala nasional tahun 1995 ini, instrumen untuk menilai perilaku merokok masyarakat yang rinci di masukkan dalam Modul Susenas, sedang untuk mengukur reliabilitas dan validitasnya dimasukkan dalam Studi Morbiditas dan Disabilitas SKRT. Karena terbatasnya tempat, pertanyaan mengenai perilaku merokok dalam Modul Susenas hanya 8 buah, sehingga dipilih yang penting, dan dirancang dengan merujuk pada pedoman WHO agar komparabel dengan survai-survai lain. Pertanyaan mengenai perilaku merokok dalam Studi Morbiditas dan Disabilitas SKRT hanya 1 buah, ditujukan untuk mengukur reliabilitas prevalensi merokok antar survei. Pengukuran validitas dapat dilakukan dengan memeriksa marker nikotin dan kotinin dalam serum yang telah dikumpulkan pada Studi Morbiditas dan Disabilitas SKRT, sehingga bisa

menjawab keraguan terhadap metode wawancara yang dikerjakan oleh para mantis (mantri statistik) dan mitra statistik Susenas 1995 (bila feasibel). Dengan integrasi Susenas-SKRT ini didapatkan manfaat berupa cakupan survei yang jauh lebih luas dalam menilai perilaku kesehatan masya-rakat, sehingga estimasi hasil survei dapat dirinci sampai ting-kat wilayah dan propinsi. Uraian berikut ini merupakan hasil analisis lanjut database Susenas dan SKRT 1995.

TUJUAN ANALISIS LANJUT Umum: Memberikan gambaran masalah merokok baik untuk tingkat nasional, wilayah, maupun propinsi, dalam upaya penanggulangan masalah merokok. Khusus: Mengukur prevalensi, intensitas, preferensi dan onset perokok, berdasarkan sosiodemografi pada tingkat nasional, wilayah dan propinsi. Mengukur trend perokok, baik prevalensi maupun konsumsi. Mengukur reliabilitas, baik agregat maupun individual. METODE Pengukuran berbagai indikator merokok dilakukan berdasarkan pada data perilaku merokok yang diambil dari subset database Modul Susenas 1995, dan data sosiodemografi yang diambil dari subset database Kor Susenas 1995. Pengukuran trend dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian ini dengan SKRT 1986, beberapa survai lokal, dan sumber data lain. Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan menghitung koEfisien kappa antara jawaban terhadap pertanyaan utama mengenai merokok berdasarkan Modul Susenas dan berdasarkan Studi Morbiditas/Disabilitas SKRT 1995. Untuk keperluan ini, dilakukan merging antara ke dua subset database. HASIL Berbagai indikator yang dihasilkan dalam analisis ini telah merupakan estimasi populasi, karena baik bobot individu maupun bobot rumah tangga telah diperhitungkan dalam proses analisis. Untuk menyederhanakan tabel, maka nilai n yang belum dibobot maupun yang telah dibobot tidak ditampilkan dalam tabel. Response rate Jumlah responden umur 10 tahun ke atas adalah 216,389. Response rate terhadap pertanyaan status merokok adalah 100%; sedangkan response rate terhadap pertanyaan lain mendekati 100%, kecuali response rate terhadap pertanyaan tingkat

24

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

pendidikan untuk umur 20 tahun ke atas yang hanya sekitar 83.43%. Prevalensi menurut umur (Tabel 1 dan 2) Prevalensi perokok laki-laki tiap hari menurut kelompok umur meningkat tajam dari kelompok umur 10-14 tahun ke kelompok umur 25-29 tahun, selanjutnya mulai mendatar, dan menurun sedikit setelah 65 tahun ke atas. Prevalensi perokok laki-laki kadang-kadang menurut kelompok umur meningkat tajam dari kelompok umur 10-14
Tabel 1. Prevalensi perokok laki-laki menurut umur di Indonesia Susenas SKRT 1995 Perokok KadangMantan kadang .4% .0% 7.0% .3% 10.3% .8% 8.7% 1.8% 7.6% 2.6% 7.4% 3.4% 6.3% 4.4% 6.3% 4.2% 5.7% 6.1% 6.2% 7.7% 6.7% 8.8% 6.4% 12.3% 6.3% 3.0%

Prevalensi menurut lokasi Prevalensi perokok laki-laki daerah urban lebih rendah daripada daerah rural, Wilayah Jawa-Bali lebih tinggi daripada Wilayah Luar Jawa-Bali, dan Kawasan Indonesia Barat lebih tinggi daripada Kawasan Indonesia Timur. Propinsi yang terendah prevalensi perokok laki-laki nya adalah Bali 42.7%, sedang yang tertinggi adalah Lampung 78.8%. (selanjutnya lihat Tabel 3-5). Prevalensi perokok perempuan daerah urban lebih rendah daripada daerah rural, Wilayah Jawa-Bali lebih rendah daripada Wilayah Luar Jawa-Bali, dan Kawasan Indonesia Barat lebih rendah daripada Kawasan Indonesia Timur. (selanjutnya lihat Tabel 6-8).
Tabel 3. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas menurut lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995.

Umur 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Total

Tiap hari .7% 15.6% 43.2% 57.5% 64.5% 67.4% 67.4% 68.1% 66.9% 66.2% 64.8% 59.3% 45.0%

Bukan 98.9% 77.0% 45.7% 32.0% 25.3% 21.9% 21.9% 21.4% 21.4% 19.8% 19.7% 22.0% 45.7%

Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Urban Lokasi DI Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung SUMATERA DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogyakarta Jatim JAWA Bali NTB NTT Timtim NUSA TENGGARA Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim KALIMANTAN Sulut Sulteng Sulsel Sultra SULAWESI Maluku Irja MALUKU-IRJA Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur INDONESIA Perokok KadangMantan kadang 7.5% 3.7% 5.6% 4.6% 3.6% 5.7% 7.9% 2.5% 9.2% 5.1% 5.6% 5.7% 6.4% 4.5% 8.1% 4.3% 6.2% 4.6% 8.1% 3.3% 9.4% 5.0% 8.5% 6.2% 7.6% 4.0% 6.1% 6.7% 8.1 % 5.2% 5.6% 4.3% 7.8% 5.4% 10.6% 6.4% 6.2% 1.7% 7.2% 4.9% 4.1% 4.4% 6.9% .7% 5.8% 4.0% 6.6% 5.0% 5.8% 4.1% 12.3% 5.9% 7.4% 7.5% 6.4% 4.3% 3.3% 5.6% 7.5% 5.1% 10.8% 3.9% 6.7% 5.8% 8.9% 4.8% 8.1% 5.2% 6.7% 4.7% 7.7% 5.1% 7.2% 4.8% 7.7% 5.1% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tiap hari 57.0% 57.2% 58.8% 52.0% 52.5% 54.4% 52.6% 63.0% 56.3% 49.4% 58.9% 50.4% 46.7% 51.3% 53.1 % 34.6% 62.4% 43.7% 50.6% 44.8% 47.8% 44.5% 44.7% 43.2% 44.9% 45.9% 43.9% 42.6% 49.7% 44.0% 43.8% 41.7% 42.8% 52.7% 51.6% 53.3% 45.6% 52.4%

Bukan 31.9% 32.6% 31.9% 37.5% 33.2% 34.3% 36.6% 24.6% 32.9% 39.3% 26.7% 35.0% 41.8% 35:9% 33.6% 55.6% 24.4% 39.3% 41.6% 43.1% 43.7% 47.9% 45.4% 45.3% 45.2% 35.9% 41.2% 46.6% 41.5% 43.4% 41.4% 45.8% 43.5% 34.0% 37.1% 33.8% 42.5% 34.9%

Tabel 2.

Prevalensi perokok perempuan menurut umur di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Perokok KadangMantan kadang .0% .0% .2% 10.3% .8% 8.7% 1.8% 7.6% 2.6% 7.4% 3.4% 6.3% 4.4% 6.3% 4.2% 5.7% 6.1% 6.2% 7.7% 6.7% 8.8% 6.4% 12.3%

Umur 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Total

Tiap hari .1% .4% 1.0% 1.1% 1.2% 1.7% 2.3% 3.2% 3.4% 3.3% 2.9% 3.0%

Bukan 99.9% 99.4% 45.7% 32.0% 25.3% 21.9% 21.9% 21.4% 21.4% 19.8% 19.7% 22.0%

Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

tahun ke kelompok umur 20-24 tahun, dan selanjutnya mulai mendatar. Prevalensi mantan perokok laki-laki menurut kelompok umur meningkat seiring dengan menanjaknya usia. Prevalensi perokok perempuan tiap hari menurut kelompok umur relatif rendah, meningkat terus sampai dengan kelompok umur 40-44 tahun, selanjutnya mulai mendatar. Prevalensi perokok perempuan kadang-kadang sangat rendah, secara nasional besarnya adalah 0.5% (10+ tahun). Prevalensi mantan perokok perempuan juga sangat rendah, secara nasional besarnya adalah 0.2 % (10+ tahun).

Prevalensi menurut pendidikan Prevalensi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas menurun dengan meningkatnya pendidikan. Secara nasional prevalensi tersebut adalah sebagai berikut : 71.4% (tidak

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 25

tamat SD), 64.7% (tamat SD), 56.2% (tamat SUP), 46.7% (tamat SLTA), 36.9% (akademi/ universitas). (selanjutnya lihat Tabel 9). Pievalensi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas menurun dengan meningkatnya pendidikan. Secara nasional prevalensi tersebut adalah sebagai berikut : 2.6% (tidak tamat SD), 1.2% (tamat SD), 1.3% (tamat SLTP), 1.0% (tamat SLTA), 0.6% (akademi/universitas). (selanjutnya lihat Tabel 10). Prevalensi menurut pengeluaran Prevalensi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas di daerah urban mulai menurun jelas setelah pengeluaran anggota rumah tangga per bulan Rp.100,000; atau lebih; namun untuk daerah rural tidak terlihat adanya penurunan. (selanjutnya lihat Tabel 11-13). Prevalensi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas mulai meningkat jelas setelah pengeluaran anggota rumah tangga per bulan Rp. 200,000,- atau lebih. (selanjutnya lihat Tabel 14-16).
Tabel 4. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas menurut lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995 Rural.

Intensitas menurut lokasi Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari di daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural, Wilayah Jawa-Bali lebih rendah daripada Wilayah Luar Jawa Bali, dan Kawasan Indonesia Barat lebih rendah daripada Kawasan Indonesia Timur. (selanjutnya lihat Tabel 17-19). Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari di daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural, Wilayah Jawa-Bali lebih rendah daripada Wilayah Luar Jawa Bali, dan Kawasan Indonesia Barat lebih rendah daripada Kawasan Indonesia Timur. (selanjutnya lihat Tabel 20-22).
Tabel 5. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas menurut lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995.

Urban + Rural Lokasi DI Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung SUMATERA DKI Jakarta labar Jateng DI Yogyakarta Jatim JAWA Bali NTB NTT Timtim NUS ATENGGARA Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim KALIMANTAN Sulut Sulteng Sulsel Sultra SULAWESI Maluku Irja MALUKU-IRJA Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur INDONESIA Perokok KadangMantan kadang 9.3% 3.2% 4.9% 4.0% 4.1% 6.2% 5.5% 2.7% 4.6% 4.4% 6.2% 4.2% 5.3% 2.7% 8.4% 4.2% 6.1% 4.1% 8.1% 3.3% 8.8% 4.2% 8.5% 4.4% 7.6% 4.6% 6.6% 4.9% 8.0% 4.4% 5.5% 3.9% 5.0% 3.5% 10.5% 4.0% 12.7% 2.2% 7.4% 3.7% 6.7% 2.5% 3.3% 1.2% 4.7% 3.9% 5.3% 5.2% 5.3% 3.3% 8.5% 6.5% 7.0% 6.4% 4.9% 4.0% 6.1% 4.7% 6.1% 5.0% 18.7% 3.2% 16.4% 4.3% 17.6% 3.7% 7.9% 4.4% 6.8% 4.1% 7.5% 4.3% 7.6% 4.1% 7.5% 4.3% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tiap hari 65.7% 64.2% 69.1% 63.4% 67.7% 65.9% 69.7% 70.4% 66.5% 49.4% 67.1% 60.1% 53.4% 62.3% 62.0% 37.2% 70.5% 42.6% 45.8% 49.7% 63.0% 61.6% 52.4% 49.2% 56.7% 57.9% 55.8% 55.2% 60.6% 56.4% 47.2% 41.7% 47.2% 61.3% 61.2% 62.5% 55.3% 61.3%

Bukan 21.8% 26.9% 20.6% 28.5% 23.3% 23.7% 22.3% 16.9% 23.3% 39.3% 19.9% 26.9% 34.4% 26.1% 25.6% 53.4% 21.0% 42.9% 39.3% 39.2% 27.8% 33.8% 38.9% 40.3% 34.7% 27.1% 30.7% 35.9% 28.6% 32.5% 30.9% 32.2% 31.5% 26.4% 27.9% 25.7% 33.1% 27.0%

Rural Lokasi DI Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung SUMATERA DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogyakarta Jatim JAWA Bali NTB NTT Timtim NUSA TENGGARA Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim KALIMANTAN Sulut Sulteng Sulsel Sultra SULAWESI Maluku Irja MALUKU-IRJA Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur INDONESIA Tiap hari 68.1% 69.4% 72.6% 69.8% 73.3% 71.2% 75.7% 71.7% 70.9% 73.2% 64.6% 61.6% 67.3% 68.3% 38.5% 72.5% 42.4% 45.2% 51.0% 67.5% 66.8% 55.8% 55.7% 62.1% 61.9% 58.9% 60.5% 63.5% 60.9% 48.3% 48.8% 48.6% 67.4% 64.9% 68.3% 58.6% 66.3% Perokok KadangMantan kadang 9.8% 3.1% 4.3% 3.5% 4.3% 6.4% 4.1% 2.7% 2.8% 4.1% 6.5% 3.5% 5.0% 2.1% 8.5% 4.2% 6.1% 3.8% 8.3% 8.6% 7.6% 6.9% 7.9% 5.4% 4.3% 10.5% 13.5% 7.4% 7.5% 2.3% 4.2% 3.8% 5.1% 7.2% 6.9% 4.3% 6.9% 5.6% 21.3% 19.4% 20.4% 7.8% 6.9% 7.3% 7.7% 7.4% 3.6% 3.6% 5.3% 4.1% 3.8% 3.7% 3.1% 3.6% 2.2% 3.4% 2.0% 1.4% 3.9% 5.4% 3.0% 6.7% 6.2% 3.9% 4.4% 4.9% 2.9% 3.8% 3.4% 3.8% 3.8% 3.8% 3.8% 3.8% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Bukan 19.0% 22.8% 16.6% 23.4% 19.7% 18.8% 17.2% 15.6% 19.2% 14.9% 23.2% 25.4% 21.7% 20.0% 52.3% 20.2% 43.5% 39.1% 38.2% 23.1% 29.6% 36.1% 35.1% 29.8% 24.1% 28.0% 31.3% 25.2% 28.5% 27.4% 28.0% 27.7% 21.0% 24.4% 20.5% 29.8% 22.4%

Intensitas menurut pendidikan Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari meningkat dengan makin tingginya pendidikan. (selanjutnya lihat Tabel 23). Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke

26

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari meningkat dengan makin tingginya pendidikan. (selanjutnya lihat Tabel 24). Intensitas menurut pengeluaran Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari meningkat dengan makin tingginya pengeluaran anggota rumah tangga per bulan. (selanjutnya lihat Tabel 25). Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari meningkat dengan makin tingginya pengeluaran anggota rumah tangga per bulan. (selanjutnya lihat Tabel 26).
Tabel 6. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Perokok KadangMantan kadang .2% .6% .3% .2% .4% .2% .2% .2% .4% .1% .4% .5% .3% .4% .2% .7% .2% .7% .4% .7% .1% .2% .1% .2% .1% .5% .2% .5% .6% .2% .3% .3% .2% .2% .2% 1.0% .4% .1% .2% .3% .3% .2% .3% .5% .4% .5% .3% .5% .1%

pada Tabel 30-32. Merokok dalam rumah Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas yang merokok dalam rumah tinggal menurut pendidikan secara nasional adalah sbb : 93.4% (tidak tamat SD), 92.5% (tamat SD), 92.7% (tamat SLTP), 92.8% (tamat SLTA), 90.5% (akademi/ universitas); sedang keseluruhannya adalah 92.8%. (selanjutnya lihat Tabel 33). Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas yang merokok dalam rumah menurut pendidikan secara nasional adalah sbb : 94.1% (tidak tamat SD), 94.2% (tamat SD), 90.6% (tamat SLTP), 92.9% (tamat SLTA), 100.0% (akademi/ universitas); sedang keseluruhannya adalah 93.8% (selanjutnya lihat Tabel 34).
Tabel 7. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995.

Lokasi DI Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung SUMATERA DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogyakarta Jatim JAWA Bali NTB NTT Timtim NUSA TENGGARA Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim KALIMANTAN Sulut Sulteng Sulsel Sultra SULAWESI Maluku Irja MALUKU-IRJA Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur INDONESIA

Tiap hari .8% 2.5% 1.0% .6% 2.1% .7% 1.2% 1.6% 1.6% 2.1% 1.9% .7% .7% 1.2% 1.5% .5% .8% .4% .7% .6% 1.4% 1.0% 1.2% .9% 1.1% .6% 2.3% 1.5% 1.5% 1.4% 1.4% 3.5% 2.4% 1.5% 1.5% 1.5% 1.3% 1.5%

Bukan 99.1% 96.6% 98.9% 98.7% 97.5% 98.8% 98.4% 97.6% 97.8% 97.1% 97.1% 98.5% 99.0% 98.5% 97.8% 99.5% 98.6% 99.0% 99.3% 99.1 % 98.0% 98.6% 98.6% 98.9% 98.6% 98.4% 97.1% 98.3% 98.3% 98.2% 98.2% 96.3% 97.4% 97.8% 98.0% 97.8% 98.3% 97.9%

Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Rural Lokasi DI Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung SUMATERA DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogyakarta Jatim JAWA Bali NTB NTT Timtim NUSA TENGGARA Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim KALIMANTAN Sulut Sulteng Sulsel Sultra SULAWESI Maluku Irja MALUKU-IRJA Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur INDONESIA Perokok KadangMantan kadang .2% .1% .4% .9% .5% 1.0% .2% .4% .3% .7% .3% .4% .8% .2% .6% .2% 1.0% .7% .1 % .4% .7% .5% .1% .3% 1.5% .4% 1.6% .9% 1.1% .5% 1.1% .1% .5% .2% 1.0% .3% .4% 3.9% 2.1% .7% .7% .7% .7% .7% .4% .3% .2% .3% .1% .1% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tiap hari .8% 2.8% 3.7% 2.5% 5.2% 2.8% 2.0% 3.1% 2.8% 2.3% 1.9% .5% 1.5% 1.8% 1.3% .6% 1.2% 1.1% 1.0% 9.1% 3.3% 3.3% 3.9% 5.5% 1.1% 4.3% 3.0% 3.4% 2.8% .9% 5.3% 3.1% 1.8% 3.0% 2.1% 3.1% 2.3%

Bukan 98.8% 96.8% 94.8% 96.4% 94.1% 96.2% 97.7% 95.9% 96.3% 96.3% 97.1% 99.4% 97.9% 97.2% 98.1% 99.2% 99.5% 97.4% 98.5% 88.6% 95.8% 95.2% 95.0% 92.8% 98.7% 95.0% 96.2% 95.5% 96.5% 98.4% 89.9% 94.2% 97.2% 96.1% 97.0% 95.9% 96.8%

.0% .3%

.1% .1% .1% .1%

.1% .7% .4% .6% .5% .1% .1% .6% .1% .4% .3% .8% .6% .3% .3% .2% .3% .3%

.2% .2% .2% .1% .2%

Preferensi Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas menurut jenis rokok yang dihisap secara nasional dapat dilihat pada (Tabel 27-29). Proporsi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut jenis rokok yang dihisap secara nasional dapat dilihat

Lama berhenti Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 27

menurut lama berhenti dalam bulan secara nasional adalah sbb 11.5% (1-3 bulan), 6.8% (4-6 bulan), 2.4% (7-9 bulan), 9.8% (10-12 bulan), 15.4% (13-24 bulan), 54.2% (25+ bulan). (selanjutnya lihat Tabel 35). Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas menurut lama berhenti dalam bulan secara nasional adalah sbb : 12.0% (1-3 bulan), 11.9% (4-6 bulan), 1.1% (7-9 bulan), 12.9% (10-12 bulan), 14.5% (13-24 bulan), 47.6% (25+ bulan). (selanjutnya lihat Tabel 36).

Tabel 9.

Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas menurut pendidikan di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Perokok KadangMantan kadang 6.6% 4.8% 8.2% 3.8% 7.8% 4,2% 8.0% 3.7% 7.1% 5.2% 7.6% 4.2% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Pendidikan < SD SD SLTP SLTA Ak/Univ Total

Tiap hari 71.4% 64.7% 56.2% 46.7% 36.9% 60.4%

Bukan 17.3% 23.4% 31.8% 41.6% 50.9% 27.8%

Onset Umur mulai perokok laki-laki pada Susenas 1995 yang terkecil adalah 5 tahun. Jumlah yang mulai merokok secara grafik tampak menjadi agak nyata pada umur 10-14 tahun, nyata sekali pada umur 15-19 tahun, mencapai puncak pada umur 20 tahun, lalu menurun pada umur 21-25 tahun, dan masih agak nyata pada umur 26-30 tahun. (selanjutnya lihat Gambar 1).

Tabel 10. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut pendidikan di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Perokok KadangMantan kadang .7% .3% .5% .1% .5% .2% .3% .2% .1% .2% .5% .2%

Pendidikan < SD SD SLTP SLTA Ak/Univ Total

Tiap hari 2.6% 1.2% 1.3% 1.0% .6% 1.6%

Bukan 96.5% 98.2% 98.1% 98.6% 99.1% 97.7%

Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 8.

Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995.

Urban + Rural Lokasi DI Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung SUMATERA DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogyakarta Jatim JAWA Bali NTB NTT Timtim NUSA TENGGARA Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim KALIMANTAN Sulut Sulteng Suisel Sultra SULAWESI Maluku Irja MALUKU-IRJA Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timor INDONESIA Perokok KadangMantan kadang .2% .1% .5% .1% .6% .4% .8% .2% .4% .3% .6% .3% .I% .3% .8% .2% .6% .2% .7% .2% .9% .4% .7% .2% .2% .I% .3% .1% .6% .2% .3% .0% .1% .1% .3% 1.3% .3% .1% 1.3% .6% .8% .8% .3% .3% .3% .8% .4% .3% .1% .5% .1% .2% .5% .8% .1% .3% .3% .4% .2% 3.0% .6% 1.7% .4% .6% .2% .6% .2% .6% .2% .6% .3% .6% .2% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100,0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Tabel 11. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas di Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga/bulan Susenas-SKRT 1995. Urban Pengeluaran anggota rumah tangga per bulan (dalarn ribuan) <20 20-29 30-39 40-49 50-74 75-99 100-199 200+ Total Perokok Kadang Mantan -kadang 10.7% 10.3% 7.8% 8.1% 7,8% 7,0% 6.4% 8.6% 7.7% 4.3% 3.7% 4.7% 4.7% 5.4% 5.0% 5.6% 5.1% 5.1%

Tiap hari .8% 2.7% 3.0% 1.8% 4.4% 2.1% 1.8% 2.8% 2.4% 2.1% 2.1% 1.5% .6% 1.4% 1.7% 1.0% .6% 1.1% 1.1% .9% 7.3% 2,8% 2.7% 2.4% 4.2% .9% 3.9% 2.6% 3.0% 2.5% 1.0% 4.9% 2.9% 1.7% 2.5% 1.8% 2.6% 2.0%

Bukan 98.9% 96.7% 95.9% 97.2% 95,0% 97.0% 97.9% 96.2% 96.8% 97.1% 96.6% 97.6% 99.2% 98.1% 97.4% 98.6% 99.1% 98.5% 97.6% 98.7% 90.8% 96.4% 96.2% 97.0% 94.6% 98.7% 95.5% 96.8% 96.1% 96.9% 98.4% 91.4% 95.0% 97.5% 96.6% 97.3% 96.5% 97.2%

Tiap hari 55.8% 56.5% 54.9% 55.1% 53.3% 52.1 % 48.2% 41.6% 52.4%

Bukan 29.2% 29.4% 32.5% 32.1% 33.5% 35.9% 39.8% 44.7% 34.9%

Total

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 12. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas di Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah angga/bulan Susenas-SKRT 1995. Rural Pengeluaran anggota rumah tangga per bulan (dalam ribuan) < 20 20-29 30-39 40-49 50-74 75-99 100-199 200+ Total Perokok KadangTiap hari Mantan kadang 59.1% 65.1% 67.3% 67.8% 68.0% 65.7% 63.0% 62.5% 66.3% 10.6% 8.1% 7.0% 7.4% 6.8% 5.9% 5.4% 4.3% 7.4% 2.5% 3.4% 3.7% 3.7% 4.4% 5.4% 5.8% 3.8% 3.8%

Bukan 27.8% 23.4% 22.0% 21.1 % 20.8% 23.0% 25.8% 29.4% 22.4%

Total

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

28

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

Tabel 13. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas di Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga/bulan Susenas-SKRT 1995.

Tabel 15. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas di Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga/bulan Susenas-SKRT 1995. Rural

Urban + Rural Pengeluaran anggota rumah tangga per bulan (dalarn ribuan) < 20 20 - 29 30 - 39 40 - 49 50 - 74 75 - 99 100-199 200+ Total Perokok KadangMantan kadang

Tiap hari

Bukan

Total

Pengeluaran anggota rumah tangga per bulan (dalarn ribuan) < 20 20 - 29 30 - 39 40 - 49 50 - 74 75 - 99 100-199 200+ Total

Tiap hari

Perokok KadangMantan kadang

Bukan

Total

58.9% 64.0% 64.8% 63.8% 60.9% 56.6% 51.1% 43.1% 61.3%

10.6% 8.4% 7.1% 7.6% 7.3% 6.6% 6.2% 8.3% 7.5%

2.6% 3.5% 3.9% 4.0% 4.9% 5.2% 5.6% 5.0% 4.3%

27.9% 24.1 % 24.2% 24.5% 26.9% 31.6% 37.0% 43.6% 27.0%

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

1.5% 1.9% 2.1 % 2.4% 2.5% 1.8% 3.2% 12.4% 2.2%

.7% .8% .6% .6% .7% .9% .4% .7%

.3% .2% .3% .2% .3% .6% .4% 2.8% .3%

97.5% 91.1 % 96.9% 96.9% 96.5% 96.6% 96.0% 84.8% 96.9%

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

PEMBAHASAN Dari Modul Susenas 1995 ini, ditemukan bahwa prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas sebesar 68.8% adalah jauh lebih besar daripada prevalensi perokok perempuan sebesar 2.6%. Perbedaan prevalensi antar jenis kelamin yang besar juga didapatkan dari survai-survai terdahulu baik lokal maupun nasional, misalnya : untuk umur 15 tahun ke atas, 75% dan kurang dari 5% di Lombok (1980), 61% dan kurang dari 5% di DI Yogyakarta (1980); untuk umur 13 tahun ke atas, 64.8% dan 9.8% di Jakarta (1983); untuk umur 25-74 tahun, 83.7% dan 4.9% di 6 desa kabupaten Tasikmalaya (Surveilans PTM 1992); untuk umur 25-64 tahun, 56.9% dan 6.4% di 3

Tabel 16. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas di Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga/bulan Susenas-SKRT 1995. Urban + Rural Pengeluaran anggota rumah tangga per bulan (dalam ribuan) < 20 20 - 29 30 - 39 40 - 49 50 - 74 75 - 99 100-199 200+ Total Perokok KadangMantan kadang

Tiap hari

Bukan

Total

1.5% 1.8% 2.0% 2.1% 2.1 % 1.7% 1.8% 4.0% 2.0%

.8% .7% .6% .5% .7% .8% .4% .5% .6%

.2% .2% .3% .2% .2% .4% .3% 1.2% .3%

97.5% 97.3% 97.1% 97.2% 97.0% 97.0% 97.5% 94.3% 97.1%

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 14. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas di Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga/bulan Susenas-SKRT 1995.

Tabel 17. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Urban

Urban Pengeluaran anggota rumah tangga per bulan (dalam ribuan) < 20 20 - 29 30 - 39 40 - 49 50 - 74 75 - 99 100-199 200+ Total Perokok KadangMantan kadang

Tiap hari

Bukan

Total

Lokasi Sumatera Jawa Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Irja Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur Indonesia

.3% .8% 1.6% 1.5% 1.5% 1.7% 1.4% 3.4% 1.5%

1.7% .3% .4% .4% .7% .8% .5% .5% .5%

.2% .1 % .1 % .1% .3% .3% 1.1% .2%

98.0% 98.7% 97.9% 98.0% 97.7% 97.2% 97.9% 95.0% 97.7%

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

1-10 33.4% 46.4% 44.7% 25.8% 33.5% 41.3% 46.5% 33.1% 44.0% 32.7% 42.8%

Batang 11-20 59.9% 49.0% 47.0% 65.4% 61.2% 50.0% 49.0% 59.8% 51.0% 59.7% 52.0%

21+ 6.6% 4.6% 8.3% 8.7% 5.2% 8.8% 4.6% 7.0% 5.0% 7.6% 5.3%

Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 29

Tabel 18. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Rural Lokasi Sumatera Jawa Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Irja Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur Indonesia Batang 11-20 59.5% 38.7% 41.5% 61.3% 54.5% 48.0% 38.5% 56.8% 44.3% 53.5% 46.0% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 21. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Rural Lokasi Sumatera Jawa Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Irja Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur Indonesia Batang 11-20 39.4% 17.4% 38.4% 35.0% 36.9% 58.0% 17.5% 39.1% 25.3% 38.8% 29.0% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

1-10 31.6% 57.6% 53.6% 29.6% 40.4% 46.8% 57.8% 35.3% 50.5% 40.0% 48.6%

21+ 8.9% 3.7% 4.9% 9.0% 5.1% 5.2% 3.7% 7.8% 5.1% 6.4% 5.4%

1-10 57.3% 81.1% 57.6% 60.1% 62.4% 36.3% 81.0% 57.5% 72.6% 57.6% 68.5%

21+ 3.2% 1.5% 4.1% 4.9% .7% 5.7% 1.5% 3.4% 2.1% 3.5% 2.5%

Tabel 19. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Urban + Rural Lokasi Sumatera Jawa Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Irja Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur Indonesia Batang 11-20 59.6% 42.3% 42.6% 62.3% 55.9% 48.4% 42.2% 57.5% 46.5% 54.8% 47.8% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 22. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Urban + Rural

1-10 32.1% 53.6% 51.9% 28.7% 39.0% 45.6% 53.8% 34.8% 48.4% 38.5% 46.8%

21+ 8.4% 4.0% 5.6% 9.0% 5.2% 6.0% 4.0% 7.6% 5.1% 6.7% 5.3%

Lokasi Sumatera Jawa Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Irja Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur Indonesia

1-10 59.5% 75.0% 58.5% 59.7% 62.4% 37.3% 75.0% 58.5% 70.3% 57.4% 67.3%

Betang 11-20 37.4% 22.7% 38.0% 35.3% 36.5% 56.7% 22.8% 38.1% 27.2% 38.9% 29.9%

21+ 3.1% 2.3% 3.5% 4.9% 1.2% 5.9% 2.2% 3.4% 2.5% 3.7% I2.8%

Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

kecamatan Jakarta Selatan (1993); untuk umur 14-60 tahun, 45.7% dan 1.8% di Jakarta dan Surabaya (Proyek Pneumobile 1989); untuk kelompok dewasa, 61% dan 5% di Indonesia (estimasi WHO1985- 1990); untuk umur 10 tahun ke atas, 50.2% dan 4.8% di Indonesia (SKRT 1986).

Tabel 23. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Pendidikan < SD SD SLTP SLTA Ak/Univ Total Batang 11-20 44.8% 47.2% 54.6% 55.1% 55.4% 48.8% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 20. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Urban Lokasi Sumatera Jawa Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Irja Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Indonesia Barat Indonesia Timur Indonesia Batang 11-20 28.9% 32.4% 35.4% 38.7% 33.8% 58.0% 32.4% 33.0% 31.7% 39.3% 32.5% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

1-10 50.0% 48.1% 39.1% 38.8% 37.1% 45.9%

21+ 5.2% 4.6% 6.3% 6.1% 7.4% 5.3%

1-10 68.5% 63.9% 64.6% 55.8% 62.2% 36.3% 64.1% 63.6% 64.9% 56.1% 63.9%

21+ 2.5% 3.6% 5.4% 3.9% 5.7% 3.6% 3.4% 3.4% 4.7% 3.5%

Tabel 24. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan di Indonesia Susenas-SKRT 1995. Pendidikan < SD SD SLTP SLTA Ak/Univ Total Batang 11-20 28.1% 34.6% 42.1% 38.8% 63.6% 32.4% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

1-10 69.2% 63.6% 54.3% 55.0% 36.4% 64.7%

21+ 2.7% 1.9% 3.5% 6.2% 2.9%

30

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

Tabel 25. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga per bulan di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Pengeluaran anggota RT per bulan (dalam ribuan) < 20 20-29 30-39 40-49 50-74 75-99 100-199 200+ Total Batang Total 1-10 64.3% 58.1% 50.0% 45.6% 40.5% 36.0% 33.9% 33.0% 46.8% 11-20 33.2% 38.7% 46.0% 49.3% 53.2% 55.5% 56.3% 54.2% 47.8% 21+ 2.4% 3.2% 4.1% 5.1% 6.3% 8.5% 9.8% 12.8% 5.3% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 29. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok laki-laki menurut wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Urban + Rural Jenis Putih filter Putih nonfilter Kretek filter Kretek nonfilter Cerutu Linting Siong Cangklong Total Wilayah Jawa-Bali Luar Jawa-Bali 7.2% 19.8% 2.3% 3.9% 40.7% 44.2% 28.8% 14.5% .396 .8% 20.3% 15.5% .2% .5% .2% .8% 100.0% 100.0% Indonesia 11.8% 2.9% 42.0% 23.6% .5% 18.6% .3% .4% 100.0%

Tabel 26. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga per bulan di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Pengeluaran anggota RT per bulan (dalam ribuan) < 20 20-29 30-39 40-49 50-74 75-99 100-199 200+ Total Batang Total 1-10 76.8% 69.0% 72.1% 74.3% 68.5% 51.4% 48.8% 36.2% 67.3% 11-20 23.2% 29.9% 26.0% 23.2% 29.4% 44.9% 39.8% 55.7% 29.9% 21+ 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 30. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok perempuan menurut wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Urban Jenis Putih filter Putih nonfilter Kretek filter Kretek nonfilter Cerutu Linting Siong Cangklong Total Wilayah Luar Jawa-Bali 16.4% 4.5% 59.7% 11.9% 1.3% 5.6% .6% 100.0% Indonesia 13.3% 3.1% 54.3% 22.1% .4% 6.0% .8% 100.0%

1.1% 1.9% 2.4% 2.1% 3.7% 11.5% 8.1% 2.8%

Jawa-Bali 12.2% 2.6% 52.4% 25.8% 6.1% .8% 100.0%

Tabel 27. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok laki-laki menurut wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Urban Jenis Putih filter Putih nonfilter Kretek filter Kretek nonfilter Cerutu Linting Siong Cangklong Total Wilayah Jawa-Bali Luar Jawa-Bali 9.8% 18.2% 3.0% 3.0% 58.3% 63.9% 24.0% 12.2% .3% .2% 4.4% 2.2% .0% .1% .1% .2% 100.0% 100.0% Indonesia 12.1% 3.0% 59.8% 20.8% .3% 3.8% .0% .1% 100.0%

Tabel 31. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok perempuan menurut wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Rural Wilayah Indonesia Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Putih filter 6.2% 17.8% 12.0% Putih nonfilter 1.8% 7.0% 4.4% Kretek filter 19.9% 26.2% 23.0% Kretek nonfilter 34.1% 13.6% 23.8% Cerutu .8% 2.0% 1.4% Linting 36.1% 30.2% 33.1% Siong 1.1% 2.1% 1.6% Cangklong 1.2% .6% Total 100.0% 100.0% 100.0% Tabel 32. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok perempuan menurut wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Jenis Urban + Rural

Tabel 28. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok laki-laki menurut wilayah di Indonesia, SusenasSKRT 1995. Rural Jenis Putih filter Putih nonfilter Kretek filter Kretek nonfilter Cerutu Linting Siong Cangklong Total Wilayah Jawa-Bali Luar Jawa-Bali 5.8% 20.3% 1.9% 4.2% 30.7% 38.0% 31.5% 15.2% .3% 1.0% 29.3% 19.7% .3% .6% .2% 1.0% 100.0% 100.0% Indonesia 11.6% 2.8% 33.7% 24.9% .6% 25.4% .4% .5% 100.0%

Jenis Putih filter Putih nonfilter Kretek filter Kretek nonfilter Cerutu Linting Siong Cangklong Total

Wilayah Jawa-Bali Luar Jawa-Bali 8.3% 17.5% 2.1% 6.6% 31.3% 31.7% 31.2% 13.4% .5% 1.9% 25.5% 26.1% 1.0% 1.8% 1.0% 100.0% 100.0%

Indonesia 12.4% 4.1% 31.5% 23.4% 1.1% 25.8% 1.4% .496 100.0%

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 31

Tabel 33. Merokok dalam rumah di kalangan perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas menurut pendidikan di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Pendidikan < SD SD SLTP SLTA Ak/Univ Total Ya 93.4% 92.5% 92.7% 92.8% 90.5% 92.8% Pasif Tidak 6.6% 7.5% 7.3% 7.2% 9.5% 7.2% Total 100.0% 100.0% 100.096 100.0% 100.0% 100.0%

Tabel 34. Merokok dalam rumah di kalangan perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas menurut pendidikan di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Pendidikan < SD SD SLTP SLTA Ak/Univ Total Ya 94.1% 94.2% 90.6% 92.9% 100.0% 93.8% Pasif Tidak 5.9% 5.8% 9.4% 7.1% 6.2% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.096 100.0%

Tabel 35. Lama berhenti merokok mantan perokok laki-laki di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Lama berhenti 1-3 bulan 4-6 bulan 7-9 bulan 10-12 bulan 13-24 bulan 25+ bulan Total Mantan Kadang-kadang 11.9% 8.3% 3.0% 11.6% 16.6% 48.7% 100.0% Total 11.5% 6.8% 2.4% 9.8% 15.4% 54.2% 100.0%

Tiap hari 11.3% 6.3% 2.2% 9.1% 15.0% 56.2% 100.0%

Tabel 36. Lama berhenti merokok mantan perokok perempuan di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Lama berhenti 1-3 bulan 4-6 bulan 7-9 bulan 10-12 bulan 13-24 bulan 25+bulan Total Mantan Kadang-kadang 16.0% 12.9% 8.4% 17.1% 45.6% 100.0% Total 12.0% 11.9% 1.1% 12.9% 14.5% 47.6% 100.0%

Tiap hari 8.6% 11.1% 2.1% 16.8% 12.2% 49.2% 100.0%

Gambar 1.

Umur mulai perokok laki-laki pada Susenas-SKRT 1995.

Keadaan ini sejalan dengan prevalensi perokok laki-laki dan perempuan di sejumlah negara berkembang, terutama, di Asia, misalnya antara tahun 1985-1990 (dengan batas umur terbawah bervariasi) : 61% dan 7% di RRC, 52% dan 3% di India, 44% dan 6% di Pakistan, 50% dan 3% di Bangaladesh, 54.8% dan 0.8% di Sri Lanka, 41% dan 5% di Malaysia, 67% dan 6% di Thailand; 54% dan 8% di negara sedang berkembang. Hal ini juga terlihat di sejumlah negara industri baru di Asia, misalnya: 74% dan 5% di Korea Selatan, 55% dan 3% di Taiwan, 25% dan 2% di Singapura. Sebaliknya di beberapa negara berkembang dengan kultur tertentu ataupun pengaruh Barat yang besar, prevalensi perokok wanita jauh lebih tinggi, misalnya: 85% dan 62% di Nepal, 64% dan 19% di Filipina, 40% dan 36% di Brazil, 43% dan 27% di Argentina; sedang di negara maju, 51% dan 21%. Dominannya perokok laki-laki dan sedikitnya perokok perempuan dapat dikaitkan dengan kultur yang kurang menerima perilaku perempuan yang merokok. Promosi pihak industri rokok yang menghubungkan merokok dengan wanita muda, singset dan cantik, bisa dikatakan gagal atau masih belum berhasil dalam menghadapi resistensi kultur ini. Prevalensi mantan perokok laki-laki relatif kecil, meningkat terus menurut umur. Proporsi lama berhenti merokok pada mantan perokok yang terkecil adalah periode 7-9 bulan, sebesar 2.4%. Hal ini menunjukkan adanya periode kritis relaps terutama dalam 3 bulan pertama dan 3 bulan kedua, karena terjadinya gejala seperti pada sindroma putus obat. Secara keseluruhan rasio berhenti merokok (jumlah mantan dibagi dengan jumlah mantan dan perokok) masih sangat kecil, yakni hanya sebesar 5.9%, bila dibandingkan dengan Sri Lanka 11.6% (1989), apalagi dengan Amerika Serikat 44.8% (1987). Kebiasaan menginang mungkin ada hubungannya dengan prevalensi perokok, baik pada laki-laki maupun perempuan. Untuk propinsi Bali, prevalensi perokok laki-laki 20 tahun ke atas ternyata terendah, yakni sebesar 42.7%; hal ini seperti juga pada SKRT 1986, prevalensi perokok laki-laki umur 10 tahun ke atas terendah, sebesar 31.0% (nasional 50.2%), sedang prevalensi penginang laki-lakinya tertinggi sebesar 13.7% (nasional 3.7%). Prevalensi penginang pada perempuan dalam SKRT 1986 nasional juga jauh lebih tinggi daripada laki-laki, sebesar 16.7%. Sebagian besar perokok, baik laki-laki maupun perempuan, merokok di dalam rumahnya sendiri. Keadaan ini merupakan hal yang serius, apalagi mengingat ventilasi rumah di Indonesia sebagian besar belum baik. US Surgeon General Report 1989 menyatakan bahwa penelitian dalam dasawarsa 1980-1990 an telah meneguhkan bahwa merokok involunter menyebabkan berbagai penyakit, termasuk kanker paru pada bukan perokok sehat, dan anak dari orangtua yang merokok mempunyai frekuensi lebih tinggi mengidap infeksi pernapasan dan gejala pernapasan. Topik agar jangan merokok dalam rumah harus dimasukkan dalam pendidikan kesehatan mengenai bahaya merokok. Umur mulai merokok yang terkecil adalah 5 tahun, sebagian pada umur 10-14 tahun, sebagian besar pada umur 15-20 tahun, sebagian lagi pada umur 21-25 tahun, sebagian kecil pada umur 26-30 tahun. Hal ini sejalan pula dengan penelitian-

32

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

penelitian lain baik lokal maupun di negara lain, bahwa usia remaja merupakan usia yang rentan terhadap bujukan untuk mulai merokok. Pendidikan kesehatan untuk memilih tidak menjadi perokok harus sudah di mulai sejak taman kanakkanak. Prevalensi perokok diduga ada kaitannya dengan tingkat sosial dan ekonomi suatu daerah. Prevalensi perokok lebih nyata di daerah rural daripada urban, Kawasan Indonesia Barat daripada Kawasan Indonesia Timur, tingkat sosial ekonomi rendah daripada sosial ekonomi tinggi. Intensitas perokok lebih nyata di daerah urban daripada rural, Kawasan Indonesia Timur daripada Kawasan Indonesia Barat, tingkat sosial ekonomi tinggi daripada sosial ekonomi rendah. Prevalensi perokok laki-laki di RRC, pada petani 81%, buruh 58% dan pegawai 42%; di Inggeris, pada pekerja kasar 49%, pekerja semi trampil 45%, pekerja terampil 40%, profesional lain dan manager 30%, dan dokter 17%. Prevalensi perokok di Semarang pada tukang becak 96.1%, paramedis 79.8% pegawai negeri 51.9% dokter 36.8% (1973); di 6 desa kabupaten Tasikmalaya, pada golongan pendapatan rendah 86%, pendapatan menengah 85%, pendapatan tinggi 68%, SD ke bawah 86%, tamat SLTP 80%, tamat SLTA 74%, tamat Universitas 62% (1992). Dari segi intensitas, diperkirakan telah terjadi kenaikan selama 2 dasawarsa terakhir ini sejalan dengan kenaikan pendapatan. Konsumsi rokok per kapita penduduk dewasa diperkirakan sebagai berikut : 480 batang (1970), 1050 batang (1985), dan 1480 batang (1990). Laju kenaikan konsumsi ini jauh lebih cepat daripada laju kenaikan prevalensi, mengingat tingkat konsumsi di Indonesia masih jauh lebih rendah daripada di negara maju yang besarnya sekitar 2485 batang (1985). Fluktuasi konsumsi rokok di negara sedang berkembang lebih berhubungan dengan kondisi ekonomi makro daripada dengan ada tidaknya kebijaksanaan dan program pemberantasan merokok. Berdasarkan penelitian atas data GNP dan konsumsi rokok per kapita di 103 negara periode tahun 1965-1986, Chapman S mendapatkan bahwa GNP per kapita merupakan prediktor yang menerangkan 67% dari varians konsumsi rokok per kapita, sedang laju pertumbuhan GNP menerangkan 28% kenaikan konsumsi. Korelasi bersifat nonlinier, pada awalnya kenaikan GNP yang kecil diikuti oleh kenaikan konsumsi yang relatif besar, kemudian makin lama, efek kenaikan makin kecil. Kurva menjadi mendatar setelah GNP inencapai sekitar US $ 5,000. Setelah tahap ini, pengaruh eksternal dari pemberantasan merokok baru menjadi makin terasa. Preferensi perokok di Indonesia pada rokok kretek merupakan ciri khas, seperti halnya dengan bidi di India dan beberapa negara sekitarnya. Pihak industri rokok transnasional belum berhasil atau kalah dalam persaingan ini, karena rokok kretek lebih memenuhi selera setempat. Demikian pula beberapa jenis rokok tempo dulu, seperti siong, cerutu, cangklong dan linting, secara perlahan mulai tergeser oleh rokok kretek. Rokok kretek mengandung cengkeh sekitar 1/4 bagian dan saos rahasia. Dalam asap rokok kretek terdapat 5 senyawaan yang tidak terdapat dalam asap rokok putih, yaitu eugenol, asetil eugenol, beta-kariofilen, alfa-humulen, dan kariofilen

epoksid. Senyawaan eugenol dan turunannya ini memberikan efek psikotropik dan anestesi topikal, sehingga efek adiksi lebih kuat, rasa nyaman lebih baik, hisapan lebih dalam karena refleks batuk ditekan. Kadar tar rokok kretek, disamping kadar nikotin, menjadi lebih tinggi daripada rokok putih. Baik rokok putih maupun rokok kretek, memperlihatkan bahwa jenis filter walau lebih mahal makin populer, mungkin karena membaiknya daya beli, rasa lebih aman, issue penurunan kadar tar dan nikotin, serta alat promosi. Proporsi rokok filter pada tahun 1990 di Brazil, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat lebih dari 95%; di Italia 87%; di Polandia 64%; di Perancis 60%; di RRC 41%, 3 kali lipat proporsi tahun 1986. Kadar tar dan nikotin yang dianjurkan adalah 10 mg dan 1 mg per batang. WHO tidak menganjurkan penurunan kadar tar dan nikotin dalam penanggulangan masalah merokok, karena diduga hisapan akan lebih dalam, merokok akan lebih sering, selain merupakan alat promosi. Walaupun demikian berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan dosis, kadar, dan risiko penyakit. Peraturan perundangan mengenai penurunan kadar bahan berbahaya mempunyai efektifitas yang marginal, namun resistansi yang kecil dari pihak industri rokok. Dibandingkan dengan SKRT 1986, walaupun tidak sepenuhnya komparabel, pada Modul Susenas 1995 terjadi sedikit kenaikan prevalensi, terutama pada kelompok umur muda. Berdasarkan SKRT 1986, prevalensi perokok laki-laki menurut kelompok umur, berturut-turut : 0.6% (10-14 tahun), 13.2% (15-19 tahun), 46.0% (20-24 tahun), 63.1% (25-29 tahun), 67.9% (30-34 tahun), 72.4% (35-39 tahun), 73.8% (40-49 tahun), 74.2% (50-59 tahun), dun 64.7% (60+ tahun); sedang berdasarkan Modul Susenas 1995: 1.1% (10-14 tahun), 22.6% (15-19 tahun), 53.5% (20-24 tahun), 66.2% (25-29 tahun), 72.1% (30-34 tahun), 74.8% (35-39 tahun), 74.0% (40-49 tahun), 72.5% (50-59 tahun), dan 68.0% (60+ tahun). Prevalensi perokok laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah 50.2% pada SKRT 1986 (data revisi) dan 51.3% pada Modul Susenas 1995. (lihat Gambar 2). Upaya penanggulangan masalah merokok yang telah dilakukan selama 1 dasawarsa terakhir dengan demikian belum menunjukkan hasil dalam penurunan prevalensi perokok lakilaki. Walaupun terkesan adanya kegiatan yang gencar dari berbagai LSM, seperti Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok, melalui berbagai seminar, brosur, iklan, dan klinik berhenti merokok, cakupan dan efektifitas biayanya masih terbatas. Demikian pula dengan upaya di bidang legislasi, seperti tanda peringatan bahaya merokok dan berbagai instruksi menteri mengenai lingkungan kerja dan sekolah bebas asap rokok, efektifitasnya bersifat marginal saja. Untuk menurunkan prevalensi dan intensitas perokok pada laki-laki, upaya baru yang lebih efektif dari segi biaya dan cakupan secara bertahap diperlukan, yakni menaikkan cukai, melarang iklan dan pengsponsoran, pendidikan kesehatan sejak taman kanak-kanak, kampanye panutan di kalangan pimpinan dan petugas kesehatan, penurunan kadar tar dan filterisasi, dan diversifikasi industri tembakau. Pentahapan dalam beberapa jenis upaya diperlukan untuk menghindarkan keguncangan

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 33

dalam bidang perekonomian dan mengendorkan resistensi yang kuat dari pihak industri rokok.

Gambar 2.

Prevalensi perokok laki-laki menurut umur di Indonesia menurut SKRT 1986 dan Susenas-SKRT 1995.

RELIABILITAS Reliabilitas prevalensi perokok antar survei dihitung dengan membandingkan data base Modul Susenas dan Studi Morbiditas/ Disabilitas SKRT 1995. Dari 7,838 record responden berumur 10 tahun ke atas subset database Studi Morbiditas/ Disabilitas SKRT, 5,544 (70.73%) record berhasil di merge dengan subset database Modul Susenas. Kofisien Kappa antara jawaban terhadap pertanyaan Blok V R 20-21 Modul Susenas dengan jawaban terhadap pertanyaan Nomor 5 Studi Morbiditas dan Disabilitas SKRT adalah sebesar 0.60426; selang waktu antara kedua pertanyaan berkisar antara 2-12 bulan; Susenas di tanyakan oleh Mantis dan Mitra Statistik, sedang SKRT oleh dokter. Reliabilitas antar jawaban terhadap pertanyaan Blok V R 20-21 Modul mengenai merokok dengan Blok IX R15 Kor Susenas pengeluaran untuk tembakau dan sirih memperlihatkan index kesamaan sebesar 97.51%. Konsumsi rokok putih dan kretek per penduduk tahun 1995 berdasarkan Modul Susenas adalah sebesar 3.9 batang per hari, atau 1427 batang per tahun; sedang berdasarkan USDA tahun 1990 adalah sebesar 1480 batang per tahun. LIMITASI Pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku merokok yang diajukan dalam Modul Susenas 1995 dibatasi pada masalah perilaku utama, sehingga tidak mencakup masalah sikap dan keyakinan, dengan format kalimat yang ringkas, karena keterbatasan tempat pada instrumen Modul. Dalam pedoman wawancara dan pelatihan, batasan dan penjelasan dari pertanyaanpertanyaan diberikan cukup rinci. KESIMPULAN Prevalensi perokok 20 tahun ke atas masih jauh lebih

dominan pada laki-laki daripada perempuan, masing-masing sebesar 68.8% dan 2.6%, memperlihatkan masih kuatnya resistensi kultur tidak merokok pada perempuan. Prevalensi mantan perokok laki-laki relatif sangat kecil yang berkaitan dengan sulitnya menghentikan perilaku merokok dan belum berhasilnya kampanye berhenti merokok. Prevalensi perokok lebih nyata di daerah rural daripada urban, Kawasan Indonesia Barat daripada Kawasan Indonesia Timur, tingkat sosial ekonomi rendah daripada sosial ekonomi tinggi. Intensitas perokok lebih nyata di daerah urban daripada rural, Kawasan Indonesia Timur daripada Kawasan Indonesia Barat, tingkat sosial ekonomi tinggi daripada sosial ekonomi rendah. Preferensi perokok sebagian besar pada rokok kretek filter dan nonfilter, karena rokok kretek lebih sesusi selera domestik, walau mungkin lebih tinggi risikonya. Sebagian besar perokok, baik laki-laki maupun perempuan, merokok di dalam rumahnya sendiri, menunjukkan belum dihayatinya bahaya merokok pasif bagi bukan perokok. Umur mulai merokok, yang terkecil adalah 5 tahun, sebagian besar pada kelompok umur remaja, sehingga ketahanan anak terhadap godaan mulai merokok dibina sedini mungkin. Dibandingkan dengan SKRT 1986, pada Modul Susenas 1995 terjadi sedikit kenaikan prevalensi perokok laki-laki, terutama pada kelompok umur muda, mengindikasikan berbagai upaya yang gencar selama ini belum menunjukkan hasil. Upaya baru yang lebih efektif dari segi biaya dan cakupan secara bertahap diperlukan, yakni menaikkan cukai, melarang iklan dan pengsponsoran, pendidikan kesehatan sejak taman kanak-kanak, kampanye panutan di kalangan pimpinan dan petugas kesehatan, penurunan kadar tar dan filterisasi, dan diversifikasi industri tembakau.

UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan berbagai pihak dalam menyelesaikan penelitian ini, antara lain kepada : Biro Pusat Statistik dan Unit Komputasi Badan Litbangkes yang telah menyediakan subset database yang dibutuhkan untuk analisis. Penelitian ini dibiayai dengan paket analisis lanjut SKRT 1995 dari DIP Badan Litbangkes Depkes RI tahun 1996/97.

KEPUSTAKAAN 1. 2. Badan Litbangkes dan Pusat Kesehatan Jantung Nasional RS Jantung Harapan Kita : Presentasi dan diskusi Survei II Monica - Jakarta, 1993. Budiarso RL. dkk. Proceeding Seminar Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta, 1987. Chapman S, and Wong WL. Tobacco Control in the Third World. A Resource Atlas. IOCU, Penang, 1990. Department of Health and Human Services : Reducing the Health Consequences of Smoking. 25 Years of Progress. A Report of the Surgeon General. US. Department of Health and Human Services, Public Health Service, Centers for Disease Control, Center for Chronic Disease Prevention, and Health Promotion Office on Smoking and Health, 1989.

3. 4.

34

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

5.

6.

Medical School Padjadjaran University, and University of Ghent : Report Introduction in a rural area in West Jawa of Surveillance System on noncommunicable diseases, more specifically on the morbidity and mortality of cardio and cerebrovascular diseases. EEC Contract, 1992. Stanley K. Control of Tobacco Production and Use. In : Jamison DT. et al : Disease Control Priorities in Developing Countries. Oxford University Press, 1993.

7.

8.

World Health Organization: Guidelines for the Conduct of Tobacco-Smoking Surveys of the General Population. Report of a WHO meeting held in Helsinki, Finland, 1982. WHO/SMO/83.4. World Health Organization : Smoking Control Strategies in Developing Countries. Report of a WHO Study Group. WHO Technical Series 695. WHO, Geneva, 1983.

A book is a friend that never deceived us

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 35

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Kematian Maternal di Kabupaten Timor Tengah Utara, 1997


Sutrisno*, Lisa Andriani
Rumah Sakit Marsudi Waluyo Singosari, Malang/ * Mantan Kepala Puskesmas Maubesi, Insana, TTU, NTT

ABSTRAK Tujuan : Mencari karakteristik, latar belakang dan penyebab kematian dari kasuskasus kematian maternal di Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Lokasi : Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Waktu studi : 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997. Bahan dan cara : Penelitian dilakukan secara retrospektif terhadap kasus-kasus kematian maternal di TTU periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997 dengan menggunakan instrumen formulir AMP Departemen Kesehatan RI ditambah dengan pemeriksaan hapusan darah dan tetes tebal untuk mengidentifikasikan spesies Plasmodium. Kemudian dilakukan pembahasan bersama antara pengelola KIA tingkat puskesmas dan Dinas Kesehatan TTU serta para dokter kepala puskesmas dan dokter di RS Kefamenanu untuk memperoleh kesamaan persepsi dan mencari jalan keluar terhadap semua masalah yang timbul. Hasil : Dalam periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997 didapatkan 28 kasus kematian maternal. Dari 28 kasus kematian maternal, usia terendah 19 tahun dan tertinggi 39 tahun. Puskesmas kota dan puskesmas sangat terpencil mempunyai peringkat tertinggi angka kematian maternalnya. 53,6% kematian maternal melakukan ANC di fasilitas kesehatan akan tetapi 75% kematian maternal bersalin di rumah dengan pertolongan dukun tidak terlatih dan keluarga (46,4%) dan dukun terlatih (25%). 50% kematian maternal mempunyai paritas 3 atau lebih. Sebagian besar pekerjaan penderita adalah petani (67,9%). Rata-rata usia kehamilan saat meninggal adalah 35,036 minggu dengan 1 kasus abortus yang meninggal karena sepsis. Dari 28 kasus, hanya 1 orang yang mempunyai riwayat komplikasi obstetri (retensio plasenta) pada kehamilan sebelumnya. Riwayat adanya trauma didapatkan pada dua kasus (7,2%) yaitu dipukul oleh suami. Diagnosis penyebab kematian dari 28 kasus kematian maternal adalah pendarahan (60,7%), malaria serebral (17,9%), sepsis (14,3%), eklampsi (3,6%) dan KP yang diperberat kehamilan (3,6%).

LATAR BELAKANG Sampai saat ini kematian maternal di negara berkembang masih tetap menjadi masalah kesehatan utama dan belum terpecahkan. Walaupun data yang akurat mengenai jumlah yang pasti dari kematian maternal tidak diketahui, namun dapat

diperkirakan sekitar 500.000 wanita di negara-negara berkembang meninggal karena sebab kehamilan, persalinan dan abortus setiap tahunnya(1). Di beberapa negara berkembang, kematian maternal merupakan penyebab kematian utama bagi wanita usia reproduksi(2). Dalam kontek ini, yang dimaksud

36

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

kematian maternal adalah kematian wanita yang disebabkan oleh kehamilan, terminasi kehamilan, persalinan dan kontrasepsi(5). Laporan-laporan statistik kesehatan menunjukkan bahwa angka kematian maternal antara negara maju dan negara berkembang memperlihatkan perbedaan yang tajam(4). Seorang wanita di negara-negara berkembang rata-rata mempunyai risiko untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan kehamilan antara 1 : 15 sampai 1 : 150, dibandingkan dengan wanita di negara maju yang berkisar antara 1 : 4.000 sampai 1 : 10.000(1). Masyarakat miskin di negara berkembang terkesan menerima kematian maternal sebagai kemauan takdir yang tak dapat dihindarkan, sementara ketidakpedulian politik tetap mengabaikan kepentingan wanita di beberapa negara berkembang hingga saat ini. Angka kematian maternal di Indonesia sebesar 421/100.000 kelahiran hidup(6) dan terakhir diperkirakan 350/100.000 kelahiran hidup(7). Angka ini 50 kali lebih tinggi dari negara maju dan 3 kali lebih tinggi dari negara-negara Asean(7,10). Menurut BKFPENFIN tahun 1987, penyebab kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan (52,17%), toksemia (30,34%) dan sepsis (17,39%)(5). Permasalahan kesehatan di Propinsi Nusa Tenggara Timur bersifat spesifik dan komplek. Angka kematian maternal sebesar 1350/100.000 kh(5). Di Kabupaten Timur Tengah Utara pada tahun 1995, angka kematian maternalnya sebesar 1246/100.000 kh (Sutrisno, 1995). Angka kecacatan di Propinsi NTT tertinggi di Indonesia(5). Insiden sumbing bibir dan langit-langit di NTT berkisar antara 5-9 per 1000 kelahiran hidup(6). Defisiensi mikronutrien zinc dalam serum ibu hamil sebesar 75% dari seluruh ibu hamil di pulau Timor dan ini berkaitan dengan rendahnya sumber zinc dalam diet dan menyebabkan tingginya komplikasi obstetri dan malaria. Dengan demikian NTT menghadapi masalah kesehatan yang dilatarbelakangi masalah sosial ekonomi, ekologi dan kultural. Oleh karena itu dalam rangka memacu pertumbuhan pembangunan di NTT, Pemerintah Daerah setempat mencanangkan tujuh program strategis yang akan dicapai Pemda NTT bersama masyarakat NTT dengan program utama berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia(12). Kematian maternal hingga saat ini merupakan masalah yang sulit dipecahkan di NTT. Kematian maternal sesungguhnya bukan hanya masalah kesehatan semata, tetapi dilatarbelakangi masalah sosialekonomi, ekologi dan budaya. Berikut akan dilaporkan karakteristik kematian maternal yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara pada tenggang waktu antara Januari 1997 sampai dengan Agustus 1997. TUJUAN Mencari karakteristik, latar belakang dan penyebab kematian dari kasus-kasus kematian maternal di Kabupaten Timor Tengeh Utara, Nusa Tenggara Timur.

Utara, Nusa Tenggara Timur mulai 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997. Sumber data kematian maternal diambil dari catatan KIA dan formulir kematian maternal yang rutin diisi dan dilaporkan bidan desa setiap bulan. Dengan menggunakan formulir Audit Maternal Perinatal (AMP) dari Departemen Kesehatan yang telah ditambah dengan beberapa pertanyaan yang mempunyai relevansi dengan kondisi setempat, dilakukan penggalian riwayat dari kematian maternal lewat suami dan atau keluarga terdekat (dilakukan verbal autopsi). Penggalian riwayat dilakukan sedetail mungkin dengan memanfaatkan banyak sumber informasi, agar informasi yang didapat cukup valid, representatif dan berkualitas untuk mencari penyebab kematian dari si ibu. Wawancara dilakukan di desa, kemudian hasil wawancara didiskusikan dengan bidan pengelola KIA dan dokter puskesmas di puskesmas induk. Agar penyebab kematian dan permasalahan lain yang mendasari dapat diketahui lebih jelas, hasil autopsi verbal dari puskesmas dibahas ulang di tingkat kabupaten oleh tim AMP tingkat kabupaten yang terdiri dari dokter rumah sakit, Dinas Kesehatan, dokter puskesmas dan pengelola KIA tingkat puskesmas. Khusus untuk malaria serebral, diagnosa ditegakkan atas dasar gejala klinik, hapusan darah dan tetes tebal yang diambil pada saat sakit berat atau saat menderita dirawat di rumah sakit. HASIL Dalam kurun waktu antara 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997 didapatkan 28 kasus kematian maternal. (Tabel 1)
Tabel 1. Disiribusi usia kematian maternal. No 1 2 3 4 5 Usia (tahun) < 20 20 - 25 26 - 30 31 - 35 > 35 Jumlah Persentase N=28 3,6 25 32,2 14,4 25 100

Total kasus sebanyak 28 kasus, dengan usia termuda 19 tahun dan usia tertua 39 tahun. Bila ditinjau dari asal puskesmas, tampak dalam tabel 2.
Tabel 2. Kematian maternal per puskesmas. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Puskesmas Eban Oelolok Lurasik Manufui Maubesi Noemuti Nunpene Oemeu Sasi Wini Total Persentase N=28 7,1 3,6 3,6 7,1 7,1 3,6 3,6 3,6 28,6 28,6 100

BAHAN DAN CARA Penelitian ini dilakukan secara restropektif terhadap kematian maternal yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah

Dari riwayat antenatal care, dari 28 kasus kematian mater-

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

37

nal sebanyak 53,6% mengaku melakukan antenatal care dan 46,4% mengaku tidak melakukan antenatal care walaupun di desanya terdapat polindes dan ada bidan desa yang tinggal di polindes tersebut. Mengenai paritas dari kasus kematian maternal, didapatkan data sebagai berikut (Tabel 3) :
Tabel 3. Paritas kasus kematian maternal.

an dan data laboraborium seta berdasarkan buku-buku acuan yang relevan, penyebab kematian dari 28 kasus kematian maternal di Timor Tengah Utara, terpampang dalam tabel 5.
Tabel 5. Penyebab kematian maternal. No Penyebab kematian Pedarahan Malaria serebral Sepsis Eklamsia KP diperberat kehamilan Jumlah Persentase N=28 60,7 17,9 14,3 3,6 3,6 100

No 1 2 3 4 5 6 7

Paritas 1 2 3 5 6 8 9 Total

Persentase N=28 35,6 14,3 21,4 14,3 7,2 3,6 3,6 100

1 2 3 4 5

Dari 28 kasus kematian maternal latar belakang pekerjaannya adalah pegawai (3,6%), ibu rumah tangga (28,6% dan petani (67,9%). Usia kehamilan saat meninggal, dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, didapatkan hasil sebagai berikut (Tabe14) :
Tabel 4. Usia kehamilan dari kasus kematian maternal No 1 2 3 4 5 6 Usia kehamilan (minggu) 16 24 28 32 34 Aterm Total Persentase N = 28 3,6 3,6 10,7 3,6 3,6 74,9 100

Dari penggalian riwayat komplikasi kehamilan. persalinan dan nifas pada kehamilan sebelumnya, didapatkan data sebanyak 96,4% kasus kematian maternal tidak ada riwayat komplikasi dan 3,6% mempunyai riwayat retensio plasenta berulang sebanyak 2 kali. Masyarakat Timor Tengah Utara pada umumnya tinggal diperdesaan serta mereka mempunyai kebiasaan tinggal di rumah kebun yang jauh dari perkampungan permukiman. Dari wawancara dengan keluarga, tempat bersalin kasus kematian maternal adalah di kebun (3,6%), di rumah sendiri (75%) dan sisanya (21,4%) melahirkan di fasilitas kesehatan baik polindes, puskesmas maupun rumah sakit kabupaten. Dari 28 kasus kematian mateial; penolong persalinan adalah bidan (28,6%), dukun terlatih (25%) dan dukun tidak terlatih dan keluarga (46,4%). Di Nusa Tenggara Timur, mesih sering terjadi kasus-kasus tindak kekerasan suami terhadap isterinya. Dari 28 kasus kematian maternal, bila ditinjau dari riwayat tindak kekarasan yang dilakukan suami yang bersangkutan, didapatkan 2 kasus (7,2%) pemukulan yang terjadi dalam kurun waktu 1 minggu sebelum meninggal. Dengan cara kesepekatan lewat diskusi dalam forum AMP, berdasarkan riwayat dan data-data yang berkumpul dan lapang-

DISKUSI Puskesmas Sasi adalah puskesmas kota Timor Tengah Utara (TTU), sedangkan puskesmas Wini adalah salah satu puskesmas terjauh (sangat terpencil) di TTU tetapi di kedua puskesmas tersebut didapatkan jumlah kematian maternal yang sama. Infrastruktur kesehatan di kota sudah cukup memadai karena terdapat satu rumah sakit daerah tipe C dan beberapa poliklinik swasta ditambah dengan beberapa orang dokter swasta, sehingga akses ke pelayanan kesehatan cukup baik. Sedangkan di Wini, puskesmasnya tidak ada dokternya dan situasi alamnya sulit. Namun ternyata di kedua daerah ini didapatkan jumlah kumulatif kematian maternal yang sama. Data ini menunjukkan bahwa kematian maternal tidak hanya semata-mata ditentukan oleh variabel fasilitas kesehatan (dan tenaga kesehatan) tetapi oleh banyak faktor dominan lainnya yang saling berinteraksi. Di antara 28 kasus kematian maternal, 53,6% melakukan antenatal care ke petugas kesehatan, tetapi saat persalinan mereka lebih suka bersalin di rumah (75%) bahkan ada yang bersalin di kebun (3,6%) dengan penolong dukun terlatih (25%) dan dukun tidak terlatih/keluarga (46,4%), dan sisanya (28,6%) yang minta pertolongan ke petugas kesehatan. Di masyarakat Timor, kebiasaan memeriksakan kehamilan sudah menjadi kegiatan rutin, terutama di posyandu, akan tetapi belum dimengerti dengan baik tujuan dari antenatal care sehingga yang pada saat hamil sebagian besar memeriksakan diri ke petugas kesehatan akan tetapi pada saat bersalin mereka memilih dukun. Keterikatan mareka pada adat kebiasaan sangat besar Ibu-ibu hamil di Timor lebih mempercayai perkataan dukun deripada petugas kesehatan. Bila dukun menganjurkan ibu hamil untuk minum sopi (alkohol lokal) untuk memperkuat kendungan, maka ibu hamil langsung meminumnya tanpa banyak pertanyaan. Demikian juga bila dianjurkan untuk makan sejenis tanah tertentu agar anaknya tumbuh sehat, maka ibu hamil langsung memakannya juga. Akan tetapi bila ibu bidan menganjurkan agar ibu hamil minum tablet tambah darah dan kalsium secara teratur, ibu hamil banyak yang tidak meminumnya bahkan ada yang dibuang di jalan, agar tidak dimarahi ibu bidan bila diketahui tablet besinya masih sisa. Hal ini diperkuat oleh tingginya angka KI (80%) dan rendahnya persalinan tenaga kesehatan (23%)(8). Di TTU aparat formal menaruh perhatian yang besar dalam hal ini terbukti bila ada posyandu perangkat desa berkeliling menabuh gong memanggil

38

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

ibu hamil dan ibu yang mempunyai anak balita agar datang ke posyandu. Sering petugas keamanan (babinsa/babinkamtibmas) turun ke desa dalam rangka posyandu ini, namun secara kualitatif hasilnya belum menggembirakan. Para suami secara umum mengerti permasalahan kesehatan ibu dan anak, tetapi sulit mengambil keputusan sebab dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga peran orang tua dan tua-tua adat (dukun) sangat dominan(8). Dalam hal jumlah persalinan ternyata dari kematian maternal yang ada 35,7% merupakan persalinan pertama, dan persalinan ketiga dan seterusnya 50. Hal ini sesuai dengan yang ditulis Royston bahwa risiko kematian maternal meningkat seirama jumlah persalinan, walaupun tidak setajam pernyataan Royston. Sementara Fortney JA menemukan bahwa 2/3 kematian maternal terjadi pada usia diatas 30 tahun atau paritas 3 atau lebih (Fortney JA, 1988). Pekerjaan umum dari ibu-ibu yang meninggal adalah petani (67.9%) dan ibu rumah tangga (28,6%). Ini membuktikan bahwa ibu-ibu dari kalangan sosial ekonomi rendah kurang beruntung karena rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan oleh karena berbagai sebab. Ketidakberdayaan ibu-ibu terhadap akses pelayanan kesehatan yang baik antara lain karena sebab ekonomi menyebabkan peningkatan risiko mendapat komplikasi akibat kehamilan dan persalinan(1,2). Satu kasus di antara 28 kasus mempunyai riwayat retensio plasenta, 27 kasus dari 28 kasus kematian, posisi anak normal. Hal ini yang mendorong ibu-ibu bersalin ke dukun karena berbukti sebelumnya (dianggap) tidak menghadapi masalah dalam kehamilan dan persalinan. Di sisi lain para dukun cukup gencar mempromosikan dirinya dengan disertai bahasa-bahasa adat sebingga ibu-ibu hamil yang rata-rata berpendidikan rendah lebih tertarik ke dukun. Dua di antara 28 kasus mempunyai riwayat trauma dipukul suami. Keduanya mengalami pardarahan setelah dipukul suami dan terlambat mendapatkan patolongan dengan baik. Secara umum terdapat pandangan bahwa kaum ibu adalah nomor dua setelah suami. Banyak kasus-kasus kekerasan terhadap istri yang dilakukan oleh suami-suami mereka dan biasanya sampai pada urusan polisi walaupun akhirnya berdamai secara adat. Perdarahan menduduki tempat pertama sebagai penyebab kematian (60%), disusul malaria sarebral (17,9%), sepsis (14,3%) kemudian eklamsia (3,6%) dan KP yang diperberat kehamilan (3,6%). Ibu-ibu bersalin di NTT lebih mudah mengalami perdarahan oleh karena kurang gizi, anemia dan sebab lainnya. Kasus malaria masih sangat tinggi yang mempunyai insiden 100-150 per 1000, termasuk didalamnya malaria pada ibu hamil. Fakta lainnya adalah malaria pada ibu hamil lebih resisten terhadap klorokuin sehingga potensi menjadi malaria berat (Sutrisno et al, 1988). Tuberkulosis sangat prevalen di NTT, namun menghadapi kendala besar dalam hal pengobatan. Sepsis post partum berkaitan erat dengan pertolongan persalinan oleh dukun yang tidak higienis. Biasanya dukun memakai alat tradisional yang tidak steril, dan luka pada ibu dan anak diberi ramu-ramuan tradisional yang tidak higienis. Faktor-faktor nonmedis mempunyai kontribusi yang besar pada kasus-kasus kematian maternal(13), sehingga pemecahan

masalah secara komprehensif dengan memberi penekanan faktor sosioekonomi menjadi keharusan bila ingin menyelesaikan masalah kematian maternal dengan baik(13). Di beberapa negara Afrika, yang mempunyai masalah serupa dengan Indonesia, telah dikembangkan beberapa strategi untuk mengatasi masalah kematian maternal ini. Di suatu distrik Ghana, pada tahun 1993 sampai dengan 1994, kamar operasi dan bank darah disediakan dengan baik, fasilitas kesehatan ibu dan alternatif sumber dana dipermudah. Kemudian dokter ditempatkan secara menetap dan dilatih ilmu obstetri dasar dan bidan dilatih lifesaving untuk tindakan persalinan. Kemudian kebutuhan air dicukupi, serta di masyarakat dilakukan intervensi berupa penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran agar secepatnya mencari pertolongan ke tenaga kesehatan bila menghadapi masalah persalinan. Dengan usaha ini, wanita yang datang ke fasilitas tersebut karena komplikasi obstetri meningkat tiga kali serta kasus rujukan ke rumah sakit lebih besar menjadi berkurang. Bidan menjadi lebih trampil dan berani melakukan tindakan dasar kebidanan seperti manual plasenta, vakum ekstraksi dan episiotomi(17. Di Kumasi Ghana, dokter, bidan, perawat da pembantu perawat dilatih pencatatan, komplikasi da analisa data. Monitoring dan supervisi dilakukan secara rutin. Dengan metode ini kualitas hasil pencatatan meningkat, koleksi data dan analisa data dilakukan secara rutin dan tetap. Dokter menggunakan datayang ada untuk laporan pagi. Bidan dan perawat bisa mengkompilasi data dan membuat klasifikasi bulanan. Daerah lain mulai mengadopsi pola ini dan banyak yang berhasil(17). Di Ekpoma, Nigeria, setelah fasilitas kesehatan secara memadai, kemudian pinjaman dana untuk emergensi obstetri dipermudah dan dikelola secara mandiri oleh anggota klan, dibawah pengawasan dan supervisi dari pemerintah, usaha ini mendatangkan hasil berupa berhasilnya 12 klan dari 13 klan yang dibina. Setiap orang dipinjami US$ 7 - US$ 15, den 93% pinjaman dapat dikembalikan secara penuh(16). Di Pakro Ghana, 1991, sebuah rumah bekas dilengkapi dengan almari es, air, obat-obatan dan perlengkapan lainnya, kemudian ditempatkan seorang perawat secara menetap oleh depkes, lalu difungsikan sebagai klinik kesehatan ibu anak dan keluarga berencana. Kemudian bidan senior ditempatkan secara permanen dan memberi pelayanan obstetri secara baik. Periode selanjutnya dievaluasi dan hasilnya menggembirakan(19). Di Sierra Leone, motivator (community motivator) dilatih dan diberi sepeda. Tugas mereka adalah mendidik masyarakat, membentuk suatu kelompok masyarakat mengatasi emergensi obstetri dan mencari transportasi ke fasilitas rujukan. Hasilnya dievaluasi dan ternyata kasus-kasus kegawatan obsbetri cepat mendapatkan pertolongan(19). Di Afrika Barat strategi untuk mengatasi tingginya kematian maternal adalah membantu mendapatkan pinjaman dana, pelayanan obstetri secara cepat dan tepat (24 jam) serta meningkatkan perilaku dan etos kerja dari para staf. Pengalaman di Afrika Barat menunjukkan diperlukannya pendekatan multidisipliner untuk menangani masalah yang multiaspek, juga kolaborasi di antara tim untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman, bantuan teknis jangka panjang dan sitematis, pengadaan sumber daya manusia

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

39

dan material secara baik, serta pembentukan strategi yang tepat sesuai kondisi lapangan. Di Anambra State, Nigeria, Community contact person dibentuk dan mempunyai tugas meningkatkan kesadaran masyarakat akan komplikasi obstetri, memfasilitasi rujukan bagi yang terkena komplikasi obstetri dan mempunyai jalinan kerja sama yang baik dengan ibu hamil, alat transportasi dan alternatif sumber donor darah. Setelah beberapa tahun hasilnya menggembirakan(16). Di Kabupaten TTU dan Belu telah dilakukan uji coba pembinaan desa secara berkelanjutan yang didanai oleh proyek kesehatan wanita dan keluarga berencana dari Ausaid. Dari 7 puskesmas tempat uji coba, pola pembinaan berkelanjutan lewat on the job training hasilnya cukup menggembirakan. Karena dianggap berhasil, proyek ini akan diperluas ke kabupaten lainnya(18). Di Ghana biaya yang digunakan sebesar US$30.000, 40% dari proyek, 36% dari LSM, 15% dari pemerintah dan sisanya 9% dari masyarakat. Hal ini merupakan model yang menarik karena ada kerja sama antara pemerintah, LSM dan masyarakat dalam memecahkan masalah kematian ibu dan anak. Di Kumasi Ghana dana yang digunakan untuk memperbaiki pencatatan 10 fasilitas kesehatan sebesar US$ 2543, 85% dana dari proyek. Di Ekpoma biaya yang disediakan proyek sebesar US$ 1360. Di Pakro, Ghana, biaya yang diperlukan US$ 12.550, 47% dari masyarakat, 43% dari LSM 7% dari proyek dan 3% dari depkes. Dalam aspek pembiayaan pengalaman negaranegara Afrika menunjukkan bahwa diperlukan biaya yang besar untuk memperbaiki infrastruktur pelayanan obstetri dasar serta diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah, proyek, LSM dan masyarakat secara swadaya. Di Nusa Tenggara Barat dikembangkan suatu model dengan menitik beratkan jalinan kerja sama antara puskesmas dan rumah sakit rujukan dan hasilnya dilaporkan cukup berhasil(20). Sebenarnya di Desa Bannae Kecamatan Insana TTU, ada sekelompok masyarakat satu suku, yang mencoba mengembangkan pola kerja sama secara mandiri dengan cara iuran sejumlah uang secara rutin untuk bisa dipakai sewaktu waktu bila ada anggota keluarga yang bersalin dan memerlukan biaya. Usaha ini bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan hasilnya bisa dirasakan membantu oleh para anggotanya. Tetapi pengelolaan dana tersebut masih sangat tradisional. Ketika ditanya mengapa tidak mengikutsertakan masyarakat lainnya dalam jumlah yang lebih besar, mereka mengakui masih mudah curiga terhadap pengelola keuangan, tetapi mereka juga belum siap menerima kehadiran pihak ketiga, orang yang profesional, untuk mengelola keuangan mereka. Kondisi semacam ini hampir merata di Timor sehingga kreatifitas warga untuk meringankan beban mereka sendiri, hilang oleh besarnya rasa ketidakpercayaan, walaupun secara umum masyarakat menyadari bahwa biaya kesehatan termasuk kesehatan ibu dan anak menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Dalam kenyataannya strategi mengatasi kematian memerlukan pendekatan yang komprehensif, multidisipliner, sistematis, berkelanjutan dan berjangka panjang. Pengalaman di Afrika Barat menunjukkan bahwa pendekatan multidisipliner

berguna untuk menangani masalah yang multiaspek, kolaborasi antar tim berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman, sistematis, berkelanjutan dan berjangka panjang berguna menjaga kelangsungan program dan strategi yang telah ditetapkan.

KESIMPULAN Telah dilakukan penelitian mengenai kematian maternal di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Dalam periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997 didapatkan 28 kasus kematian maternal. Dari 28 kasus kematian maternal usia terendah 19 tahun dan tertinggi 39 tahun. Puskesmas kota dan Puskesmas sangat terpencil mempunyai peringkat tertinggi angka kematian maternalnya. 53,6% kematian maternal melakukan ANC ke fasilitas kesehatan akan tetapi 75% bersalin di rumah dengan pertolongan dukun tidak terlatih atau keluarga (46,4%) dan dukun terlatih (25%). 50% kematian maternal mempunyai paritas 3 atau lebih. Sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai petani (67,9%). Rata-rata usia kehamilan saat meninggal adalah 35,036 minggu dengan 1 kasus abortus yang meninggal karena sepsis. Dari 28 kasus kematian maternal, hanya 1 kasus yang mempunyai riwayat komplikasi obstetri sebelumnya. Riwayat adanya trauma karena dipukul suami didapatkan 2 kasus (7,2%). Diagnosa penyebab kematian dari 28 kasus kematian maternal adalah perdarahan (60,7%), malaria serebral (17,9%), sepsis (14,3%), eklamsia (3,6%) dan KP yang diperberat kehamilan (3,6%). Strategi mengatasi masalah kematian maternal memerlukan pendekatan yang komprehensif, multidispliner, sistematis, berkelanjutan dan berjangka panjang. Pendekatan multidisipliner berguna untuk mengatasi masalah yang multiaspek, kolaborasi antar tim berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman. Sistematis, berkelanjutan dan jangka panjang berguna menjaga kelangsungan program dan strategi yang telah ditetapkan.

KEPUSTAKAAN 1. 2. Royston E et al. Preventing Maternal Death, WHO, 1980. Sabitu K et al. The Effect of Maternity Service in Secondary Facility, Zaria, Nigeria. The Zaria PMM Team, Int J Gynaecol Obstet 1997 Nov; Suppl 2; S99-S106. Fortney JA et al. Reproductive Mortality in Two Developing Country. Am J Public Health 1986 Feb; 76(2): 134-8. Chiwuzie J et al. Emergency Loan Fund to improve access to obstetric care in Ekspoma, Nigeria. The Benin PMM Team, Ini J Gynaecol Obstet 1997 Nov; 59 Suppl 2 ; 5231-6. Hidajat A et al. Studi Suplementasi Zinc pada ibu hamil di Nusa Tenggara Timur. Fak. Kedoktetan Universitas Brawijaya, Malang, 1996. Hidajat A et al. Zinc Supplementation During Pregnancy and its effect on the Incidence of Cleft Lip in Province of Nusa Tenggara Timur, Indonesia. The first of the study paper presented at the 8th International Congress on Cleft Palate and Related Craniofacial Anomaly, Singapura; 1997. Sutrisno et al. Fokus Grup Diskusi Sebagai Sarana Penggalian Masalah Kesehatan Ibu dan Anak di Kecamatan Insana, Timor Tengah Utara, NTT, Cermin Dunia Kedokt, Jakarta, 1997. Sutrisno et at. Program kesehatan Ibu dan Anak Tantangan Kesehatan Yang Menarik di Nusa Tenggara Timur, In press.

3. 4.

5. 6.

7.

8.

40

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

9. 10.

11. 12. 13. 14.

15.

Sutrisno et al. Insiden Sumbing Bibir dan Langit-langit di Kecamatan Insana. Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timor. In press. Sutrisno et al. Efek Pengobatan Malaria dengan Klorokuin pada ibu hamil di Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timur, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI (Risbinkes) Jakarta, 1998. Sweet B et al. Midwifery in Indonesia a professional snapshot, Mod Midwife 1995 Jun; 5(6) : 8-13. . Tujuh Program Strategis Pemerintah Daerah NTT, Kupang, 1996. Maine D. Lessons for Program Design from the PMM Project. Int J Gynaecol Obstet 1997 Nov ; 59 Suppl 2 : S259-65. Kandeh HB et al. Community Motivator Promote Use of emergency Obstetric service in Rural Sierra Leone. The Freetown/Makeni PMM Team . Kamara A et al. Lesson Leam from The PMM Network Experience. Int J Gynaecol Obsetat 1997 Nov ; 59 suppl 2 : S253-8.

16.

17.

18.

19.

20.

Nwankoby B et al. Community Contact Person Promote Utilization of Obstretic Service. Anambra State, Nigeria. The Unugu PMM Team. Int J Gynaecol Obstet 1997 Nov ; 59 Suppl 2 : S219-24. Opoku SA et al. Community Education to Improve Utilization to Emergency Obstretic Service in Ghana. The Kumasi PMM Team, Int J Gynaecol Obstetat 1997 Nov ; 59 Suppl 2 : S201-7. Martin J et al. Teaching Village Midwife at Puskesmas Trial Conducted at 7 Puskesmas, Kabupaten TTU and Belo, NTT. Naskah dipresentasikan pada pertemuan Perinasia Menado, 1997. Senah KA et al. From Abandoned Warehouse to Life Saving Facility. Pakro Ghana. The Accra PMM Team, Int J Gynaecol Obstet 1997 Nov ; 59 suppl 2 : S91-7. Soesbandoro DSA. Experiences on Developing Basic Emergency Obstetric care in Health Center at West Nusa Tenggara.

Saula, lembu bertanduk raksasa di hutan rimba Vietnam. sebagai 7 raksasa mamalia yang ditemukan abad ini !

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

41

HASIL PENELITIAN

Toksisitas Akut dan Efek Analgetika Jamu Pegel Linu pada Mencit Putih
Lucie Widowati, Pudjiastuti, Sudjaswadi Wirjowidagdo
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Pola penggunaan dan kebiasaan masyarakat untuk menggunakan jamu tertentu perlu dipertimbangkan dalam menentukan prioritas penelitian. Seyogyanya jenis jamu yang paling banyak digunakan masyarakat perlu mendapat prioritas. Salah satu jamu yang sering beredar di masyarakat adalah jamu pegel linu. Telah diteliti uji toksisitas akut serta khasiat analgetika salah satu jenis jamu pegal linu pabrik X serta jamu pegal linu racikan sendiri dimana komposisinya disesuaikan dengan jamu pabrik X. Uji Toksisitas menggunakan metoda Weil C.S.; uji khasiat analgetika menggunakan asetat secara intra peritoneal pada hewan coba mencit putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamu pabrik dan jamu racikan mempunyai harga LD50 masih dalam batas Practically Non Toxic menurut Gleason. LD50 Jamu pabrik adalah 54,76 (40,41-74,21) mg/10 g bb. ip. mencit. LD50 Jamu racikan adalah 19,95 (14,39-27,65) mg/10 g bb. ip. mencit. Dengan tiga macam dosis yang dicoba yaitu 125; 75 dan 25 mg/kg bb; potensi analgetika makin besar dengan kenaikan dosis baik untuk jamu pabrik maupun jamu racikan. Pada dosis 25 mg/kg bb. potensinya sama dengan pemberian asetosal 52 mg/kg bb. Potensi analgetika antara jamu pabrik dan jamu racikan tidak berbeda pada dosis 125 mg/kg bb. Demikian pula pada dosis 25 mg/kg bb. Sedangkan pada dosis 75 mg/kg bb., potensi analgetika jamu pabrik dan jamu racikan berbeda nyata (P>0,05). Kata kunci: Obat Tradisional; Jamu Pegel Linu; Analgetika. PENDAHULUAN Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang telah ada sejak dahulu kala dan dimanfaatkan jauh sebelum pelayanan formal dengan obat-obatan modern menyentuh masyarakat luas. Kini jamu telah tumbuh dan berkembang baik jenis, bentuk sediaan maupun produksinya, dan mendapat banyak perhatian dari konsumen, produsen, peneliti dan pemerintah. Salah satu jamu yang banyak beredar di masyarakat adalah jamu pegel linu. Sebagai gambaran penggunaan jamu, dari Survai pendapat ibu rumah tangga di Tanjung Priok tentang jamu(1), dinyakan bahwa konsumsi jamu pegel linu oleh keluarga responden yaitu 30,9%, menempati urutan teratas dibandingkan jamu-jamu lain. Sesuai dengan khasiatnya, umumnya jamu ini mempunyai kegunaan atau khasiat menghilangkan pegel linu, nyeri otot dan tulang, memperlancar peredaran darah, memperkuat daya tahan tubuh dan menghilangkan sakit seluruh badan(2). Dalam Pedoman Rasionalisasi Komposisi Obat Tradisional disebutkan simplisia penyusun jamu pegel linu mempunyai kegunaan sebagai : mengurangi nyeri, penyegar badan, penenang/pelelap tidur(3). Sehubungan dengan indikasi ini, khasiat pegel linu dapat diartikan dengan adanya khasiat analgetika. Mengingat hal tersebut di atas, akan diteliti kebenaran khasiatnya dan dibandingkan dengan jamu racikan sendiri yang komposisinya dibuat sesuai dengan jamu produksi satu pabrik di Indonesia. Penelitian yang akan dilakukan adalah pengujian toksisitas akut (LD50) serta khasiat analgetikanya. Penentuan harga LD50 dilakukan dengan cara Weil C.S(4);

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

uji khasiat analgetika dilakukan menggunakan metode Witkin et al(5,6,7) dengan melihat daya menghilangkan rasa sakit akibat pemberian asam asetat secara intraperitoneal pada mencit percobaan. Rasa sakit akibat pemberian asam asetat menyebabkan kontraksi dinding perut, hingga kepala dan kaki ditarik ke belakang dan abdomen menyentuh dasar ruang kandang. Gejala ini dinamakan writhing reflex dan gejala ini dapat dihilangkan dengan suatu analgetika. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan jumlah geliat yang terjadi setelah pemberian jamu asetosal sebagai pembanding dan menggunakan akuades sebagai kontrol. METODOLOGI Bahan Bahan uji adalah jamu pegel linu produksi salah satu pabrik jamu Jawa Tengah (jamu pegel linu pabrik X), dan jamu racikan, dibuat sendiri dengan komposisi disesuaikan dengan jamu pabrik X tersebut. Bahan jamu racikan berasal dari Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. Infus dari jamu pegel linu pabrik X dan jamu racikan dibuat sesuai dengan cara yang tertera pada Farmakope Indonesia III. Hewan Coba Hewan coba yang dipilih adalah jenis yang peka terhadap rangsangan nyeri yaitu mencit putih betina, umur 2-3 bulan dan berat 20-30 gram, berasal dari Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. Cara 1) Uji toksisitas akut(4) Pengujian dengan metoda Weil C.S. Digunakan mencit betina dengan berat 20-25 g. Tahap I : Tahap ini merupakan tahap penjajagan; 6 kelompok mencit; tiap kelompok terdiri dari 3 ekor, setiap kelompok diberi dosis yang berbeda antara 10-100 mg/10 g bb. secara intra peritoneal. Pengamatan dilakukan selama 24 jam dengan melihat adanya kematian antara 90-100%. Bila ternyata belum ada yang mati 100%, maka dosis diperbesar hingga terlihat adanya kematian 100%. Batas pemberian infus pada hewan percobaan tidak lebih dari 1 ml/10g bb. Tahap II : Percobaan dilanjutkan dengan memperbanyak kelompok antar kematian 0-100% dengan dosis mempergunakan faktor sekecil mungkin. Setelah 24 jam dilihat kematian dan dicocokkan pada tabel Weil(4). 2. Uji khasiat anagetika(5,6,7) Semua mencit yang digunakan dalam percobaan dilakukan uji kepekaan dengan disuntik menggunakan asam asetat 3%; 300 mg/kg bb. Dalam waktu 5 menit mencit akan memberikan refleks respon geliat, mencit yang tidak memenuhi ketentuan dianggap tidak lolos uji kepekaan. Sebanyak 80 ekor mencit yang lolos uji dibagi dalam 8 kelompok, masing-masing ke-

lompok 10 ekor. Semua kelompok hewan dipuasakan selama 12 jam. Masing-masing kelompok mendapat perlakuan sbb. Kelompok I diberi : NaCl fisiologis 1 ml/20 g bb. Kelompok II diberi : Acetosal 52 mg/kg bb. Kelompok III diberi : Jamu pegel linu pabrik X 125 mg/kg bb. Kelompok IV diberi : Jamu racikan 125 mg/kg bb. Kelompok V diberi : Jamu pegel linu pabrik X 75 mg/kg bb. Kelompok VI diberi : Jamu racikan 75 mg/kg bb. Kelompok VII diberi : Jamu pegel linu pabrik X 25 mg/kg bb. Kelompok VIII diberi : Jamu racikan 25 mg/kg bb. Semua dosis perlakuan diberikan secara oral. Setelah 30 merit, mencit disuntik dengan perangsang nyeri asam asetat 3% secara intra peritoneal. Jumlah geliat diamati langsung setiap 5 menit sekali selama 30 menit. HASIL PENGAMATAN 1) Uji toksisitas akut Harga LD50 jamu pegel linu pabrik X = 54,76 (40,41-74,21) mg/10 g bb. Harga LD50 jamu racikan =19,95 (14,39-27,65) mg/10 g bb. 2) Uji analgetilca
Tabel 1. Rata-rata jumlah geliat tiap 5 menit selama 30 menit. Kelompok Perlakuan I. NaCl fisiologis II. Asetosal III. Pabrik X 125 mg/kg bb. IV. Racikan 125 mg/kg bb. V. Pabrik X 75 mg/kg bb. VI. Racikan 75 mg/kg bb. VII. Pabrik X 25 mg/kg bb. VIII. Racikan 25 mg/kg bb. Menit 15 20 13,0 13,5 8,0 6,9 2,5 2,3 2,4 2,4 3,8 3,8 7,2 4,8 8,6 6,7 8,3 7,9

5 4,2 1,9 0,5 0,4 1,3 1,8

10 11,5 6,9 0,7 0,9 2,1 5,2 7,1 7,9

25 10,0 6,9 2,5 3,3 2,7 4,4 5,4 5,9

30 9,5 5,7 1,1 2,4 1,8 2,9 5,3 4,2

Dari pengamatan jumlah geliat tiap 5 menit, terlihat bahwa pada menit ke 15, sebagian besar dari perlakuan menunjukkan geliat yang paling besar, dan akan menurun kembali pada 5 menit berikutnya sampai menit ke 30. Hal ini menunjukkan pula bahwa setelah menit ke 15, kemungkinan asam asetat yang digunakan sebagai penginduksi sudah mulai melemah pula kerjanya. Tabel diatas dapat digambarkan berupa grafik, dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 2. Jumlah geliat selama 30 menit. Nomor Mencit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata : X Kelompok IV V 15 18 15 14 2 4 2 19 6 3 23 14 14 22 20 21 6 23 9 9 11,2 14,7

I 72 57 63 62 77 54 66 42 84 30 60,7

II 32 10 21 35 36 45 47 48 44 43 36,1

III 1 6 1 3 18 12 1 17 19 15 9,2

VI 23 21 33 21 33 31 28 8 23 26 24,7

VII 41 38 10 13 43 44 42 44 43 26 34,4

VIII 32 35 42 40 25 31 33 37 34 50 35,9

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

43

16 14 12 10 8 6 4 2 0 5 10 15 20 25 30 Menit I II III IV V VI VII

Uji = harga rata-rata jumlah geliat kelompok perlakuan Kontrol = harga rata-rata jumlah geliat kelompok kontrol % proteksi kelompok
:: 100 - (36,1 X 100%) = 40,53% 60,7 III : 100 - (9,2 X 100%) = 84,84% 60,7 IV : 100 - (11,2 X 100%) = 81,54% 60,7 V : 100 - (14,7 X 100%)= 75,78% 60,7 VI : 100 - (24,7 X 100%)= 59,3% 60,7 VII : 100 - (34,4 X 100%) = 43,32% 60,7 VIII : 100 - (35,9 X 100%)= 40,85% 60,7 I II

Gambar 1.

Jumlah geliat

Rata-rata jumlah geliat tiap 5 menit selama 30 menit akibat pemberian asam asetat.

Dari tabel 1 dan tabel 2 dapat dilihat hubungan antara jumlah geliat dan % proteksi akibat pemberian asam asetat (tabel 3).
Tabel 3. Hubungan antara rata-rata jumlah geliat dan persentase proteksi akibat induksi asam asetat. Rata-rata jumlah geliat 60,7 36,1 9,2 11,2 14,7 24,7 34,4 35,9 % Proteksi 0 40,53 84,84 81,4 75,78 59,3 43,32 40,85

Bila dilihat dari data jumlah geliat selama 30 menit, terlihat bahwa jumlah geliat pada pemberian jamu pegel linu pabrik X (kelompok III, V dan VII) lebih sedikit dibandingkan jumlah geliat pada pemberian jamu racikan (kelompok IV, VI dan VIII). Dari data ini dapat dikatakan bahwa jamu pabrik lebih kuat khasiat analgetikanya dibandingkan jamu racikan. Untuk analisis selanjutnya dilakukan uji statistik. Analisis varian sederhana yang dilakukan pada data tabel dengan derajat kemaknaan 1% dan 5% menghasilkan F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan ada perbedaan bermakna jumlah geliat dan respon nyeri. Untuk mengetahui perbedaan bermakna antar grup perlakuan dilakukan analisa LSD test (Least Significant Diferrence Test). Pada derajat kemaknaan 5%, t hit < t tabel. 1%, t hit < t tabel
Hasil perhitungan uji LSD masing-masing kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya adalah sebagai berikut : KeRatalomrata I II III IV V VI VII VIII pok Kelompok I 60,7 - 24,6** 51,5** 49,5** 46,0* 36,0** 26,3** 24,8 II 36,1 26,9** 24,9** 21,4* 11,4* 1,7 0,2 III 9,2 2,0 5,5 15,5** 25,2** 26,7** IV 11,2 3,5 13,5** 23,2** 24,7** V 14,7 10.0* 19,7** 21,2** VI 24,7 9,7* 11,2* VII 34,4 1,5 VIII 35,9 -

Kelompok I II III IV V VI VII VIII

Terlihat semakin tinggi harga % proteksi, semakin kecil jumlah geliat yang terjadi. Hal ini berarti jamu pegel linu yang diberikan mampu menahan rangsangan nyeri asam asetat pada respon nyeri. Perhitungan % efektifitas analgetika.
Efektifitas analgetika = % proteksi bahan uji X 100% % proteksi asetosal Efektivitas analgetika : Kelompok III = 84,84 X 100% = 209,32% 40,43 Kelompok IV = 81,54 X 100% = 201,2% 40,43 Kelompok V = 59,3 X 100% = 146,31% 40,53 Kelompok VI = 75,78 X 100% = 186,97% 40,53 Kelompok VII = 43,32 X 100% = 106,88% 40,53 Kelompok VIII = 40,85 X 100% = 100,78% 40,53

Makin besar dosis pemberian bahan uji, khasiat analgetikanya semakin meningkat. Hal ini berlaku pada jamu pegel linu pabrik X maupun jamu racikan. Pemberian asetosal 52 mg/kg bb. tidak berbeda dengan perlakuan dosis 25 mg/kg bb. jamu pegel linu pabrik X maupun jamu racikan. Pemberian dosis 25 mg/kg bb. memberikan hasil tidak berbeda antara jamu pabrik dan jamu racikan. Pemberian dosis 75 mg/kg bb. memberikan hasil berbeda nyata antara jamu pabrik dan jamu racikan. Pemberian dosis 125 mg/bb. memberikan hasil tidak berbeda antara jamu pabrik dan jamu racikan. Dari data jumlah geliat, dapat dihitung proteksi terhadap induksi nyeri asam asetat.
% proteksi = 100 - (uji/kontrol X 100%)

Efektivitas analgetika jamu dari pabrik lebih besar daripada jamu racikan. Semakin besar takaran yang diberikan semakin besar efek analgetika yang dihasilkan. Daya menurunkan rasa nyeri dari jamu pebrik dan racikan, lebih besar bila dibandingkan asetosal. PEMBAHASAN LD50 jamu pegel linu pabrik X adalah 54,76 (40,41 - 74,2) mg/10g bb ip. Dan jamu pegel linu racikan adalah 19,95 (14,39

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

- 27,65) mg/10g bb ip. Dengan harga tersebut, menurut Gleason, zat dengan dosis LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg bb. oral, mempunyai toksisitas yang sangat rendah (practically non toxic). Walaupun komposisi jamu pegel linu pabrik X dan jamu racikan telah dibuat sama, ternyata harga LD50nya berbeda. Hal ini dapat saja terjadi mengingat sumber bahan baku tanaman obat adalah berbeda. Meskipun demikian hargaharga tersebut masih dianggap aman. Perlu diketahui bahwa sumber bahan baku tanaman obat untuk jamu pegel linu pabrik X tidak diketahui, sedangkan pada jamu racikan, bahan baku tanaman obat berasal dari Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. Untuk menetapkan dosis percobaan, yang dianggap aman adalah berdasarkan harga LD50, dosis terbesar yang diberikan pada hewan percobaan tidak melebihi batas harga LD50nya. Pada percobaan ini, karena telah diketahui dosis lazim manusia, maka penentuan dosis berdasarkan dosis lazim tersebut. Dosis yang digunakan pada percobaan analgetika ialah berdasarkan dosis lazim pemakaian IX, 3 X dan 10X dosis lazim, yaitu 25; 75 dan 125 mg/kg bb. Walaupun demikian penetapan dosis tersebut mengacu juga pada harga LD50, bahwa dosis tertinggi tidak boleh melebihi batas LD50. Alasan digunakan tiga macam dosis adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan dosis efek pada hasil percobaan. Jika suatu bahan uji memberikan hubungan dosis efek, artinya makin besar dosis yang diberikan, makin besar efeknya, maka dapat dikatakan efek yang diharapkan memang berasal dari bahan uji. Dari rata-rata jumlah geliat, dapat terlihat bahwa pada dosis terkecil (25 mg/kg bb.) yang dicoba untuk kedua jenis jamu, khasiat analgetikanya sama dengan asetosal 52 mg/kg bb. Asetosal yang digunakan sebagai pembanding mengandung salisilat. Salisilat menghilangkan nyeri baik secara sentral maupun perifer. Secara sentral, diduga salisilat bekerja pada hipotalamus sedangkan secara perifer menghambat pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi, mencegah senstasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau kimiawi. Seperti diketahui, bahwa analgetika terbagi dalam 2 golongan yaitu analgetika kuat (analgetika narkotik) yang bekerja secara sentral terhadap sistem saraf pusat, dan golongan analgetika lemah (analgetika non narkotik) yang bekerja secara perifer. Metode geliat (writhing reflex) yang digunakan dalam percobaan merupakan salah satu metode pengujian analgetika lemah. Perbedaan efek jamu pabrik dosis 125; 75 dan 25 mg/kg bb. berbeda sangat nyata (P>0,01%). Dalam hubungan dosis efek, terlihat makin besar dosis yang diberikan, makin besar

khasiat analgetikanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa khasiat analgetika yang ditimbulkan memang akibat pemberian jamu. Antara jamu pabrik dan jamu racikan telah dibandingkan khasiatnya antara pemberian dosis 125; 75 dan 25 mg/kg bb. Untuk dosis 125 dan 25 mg/kg bb. tidak berbeda antara jamu pabrik dan racikan. Sedangkan perbedaan khasiat terdapat pada pemberian dosis 75 mg/g bb. (P>5%). Berdasarkan hal ini, pemberian dosis 25 mg/kg bb. yang merupakan dosis lazim manusia 1 X minum sudah menunjukkan khasiat analgetikanya, maka dapat dikatakan bahwa antara jamu buatan dan jamu racikan yang komposisinya sama, tidak ada perbedaan khasiat. KESIMPULAN Jamu pegel linu menunjukkan khasiat sebagai analgetika; baik jamu pegel linu dari pabrik X maupun jamu racikan yang komposisinya sama dengan pabrik. Khasiat analgetika jamu pegel linu pabrik X dan jamu racikan yang komposisinya sama dengan pabrik, adalah sama. Bila dibandingkan dengan asetosal 52 mg/kg bb., jamu pegel linu pabrik X dan jamu racikan yang komposisinya sama, mempunyai khasiat analgetika yang lebih baik. Pada pengujian toksisitas akut, jamu pegel linu pabrik X dan jamu racikan yang komposisinya sama, masih dalam batas practically non toxic menurut Gleason.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. Sri Mulangsih. Pendapat ibu-ibu Rumah Tangga di Tanjung Priok tentang jamu. Cermin Dunia Farmasi 1995; 24. M. Wien Winarno, Dian Sundari. Kerasionalan komposisi jamu pegel linu. Cermin Dunia Kedokt. 1996; 106. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Rasionalisasi Komposisi Obat Tradisional, 1993. Weil CS. Table for convenient calculation of media effective dose LD50 or ED50 and instinction in their use biometrics, 1951. Kelompok Kerja Ilmiah Pengembangan Pemanfaatan Obat Bahan Alam, 1991. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik, 1993. Perry LM. Medical Plants of East Southeast Asia Attributed Properties and Uses, Cambridge, Massachusetts and London, England; The MIT Press, 1980. Turner RA. Screening Methods in Pharmacology, Academic Press. 1965. A. Burger. Medicinal Chemistry Part II, Third Edition. A Division of John Wiley & Sons, New York, 1970. Lucia E. Wuryaningsih. Uji Analgesik ekstrak etanol kering rimpang kencur (Kaempferia galanga L) asal Purwodadi pada mencit dengan metode geliat (writhing reflex test). Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 1996; 3(2).

6.

7. 8. 9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 45

Indeks Karangan Cermin Dunia Kedakteran 1998 - 1999


Tahun 1998
CDK 121. ASMA DAN MASALAH PERNAPASAN LAIN English Summary Zul Dahlan: Masalah Asma di Indonesia dan Penanggulangannya Faisal Yunus: Manfaat Kortikosteroid pada Asma Bronkial Faisal Yunus: Dampak Gas Buang Kendaraan Bermotor terhadap Faal Paru Nuchsan Umar Lubis: Penyakit Membran Hialin - laporan kasus Zul Dahlan: Tinjauan Ulang Masalah Pneumonia yang Didapat di Rumah Sakit Zul Dahlan, E. Soeria Soemantri: Insidensi Tes Serologi Mikoplasma Positif di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung RA Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo: Keetektifan Paduan Obat Ganda Bisafik Anti Tuberkulosis Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan Atas Dasar Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 3. enilaian atas dasar kegiatan pemulihan imunitas protektif Nusye E. Ismail, Frans Suharyanto, Sundari: Efektivitas Extra Joss dalam Memperbaiki Kinerja Ketahanan Kerja Abstrak Kecelakaan Akibat In Line Skating Inpharma 1996; 1052: 16-7 Detoksifikasi Opioid Inpharma 1997; 1074: 2 Prognosis Stroke Iskemik Stroke 1997; 2: 10-4 Sari buah dan Obesitas Pediatrics 1997; 99(1): 15-22 Penggunaan Antikonvulsan Inpharma 1997; 1074: 3 Efek Samping Lamotrigin Inpharma 1997; 1083: 21 Orangtua yang Meninggal di Rumah N. Engl. J Med. 1996; 334: 1710-16 Resep yang tidak Diambil Scrip 1996; 2135: 19 Pengaruh Telepon Seluler terhadap EKG N. Engl. J. Med. 1997; 336: 1473-9 Penularan HIV N. Engl. J. Med. 1996; 334: 1617-23 Famotidin untuk Skizofrenia Inpharma 1996; 1051: 8 Salep antihipertensi Scrip 1996; 2143: 23 4 5 9 10 15 16 18 19 20 21 25 26 28 Sudibyo Supardi : Manfaat Peran Sakit di Masyarakat Abstrak Antituberkulosis Baru Scrip 1997; 2219/20: 22 Penatalaksanaan Infark Miokard Akut N. Engl. J. Med 1997; 336: 1500-5 Pasar Obat Prekripsi Pharm. Bus. News 1997; 13(286): 12-3 Hipotermi untuk Trauma Kepala N. Engl. J. Med. 1997; 336: 540-6 Efek samping Obat Inpharma 1997; 1076: 21 Bahaya Kuimolon Scrip 1996; 2153: 16 Valproat Injeksi Marketletter 1887; 24(4): 20 Diet Menurunkan Tekanan Darah N. Engl. J. Med. 1997; 336: 1117-24 Terapi Demensia Clin. Drug Invest. 1997; 13(6): 308-16 Faktor Risiko Stroke Stroke 1997; 28: 45-52 Kortikosteroid untuk Meningitis Pediatrics 1997; 99(1): 226-31 43 44 46 46 46 46 46 46 47 47 47 47 47

29 40 41 44 CDK 123. HIPERTENSI DAN STRES English Summary Wasis Sumartono, Ni Ketut Aryastami : Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah pada Usia 55 Tahun menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga 1992 Rizaldy Pinzon: Indeks Massa Tubuh sebagai Faktor Risiko Hipertensi pada Usia Muda Manius Marinusa, Rudi Kastono: Mechanism of Acupuncture in Treating Obesity Suharto: Rehabilitasi pada Penderita Stroke J. Karnadi: Stres dalam Kehidupan Sehari-hari A. Adikusumo: Penatalaksanaan Stres Hayati br. Tumangger, Anas Subarnas, Supriyatna: Penapisan Efek Antidepresi dan Fitokimia Beberapa Tumbuhan Pakan Primata dengan Metoda Berenang JE. Sumarli-Kandou: Penyalahgunaan Ecstasy dan Putau Rudi Kastono: Akupunktur Analgesi Dharma K. Widya: Osteopunktur Abstrak Antipiretika Inpharma 1997; 1076: 19 Ganja untuk Terapi Inpharma 1997; 1080: 5 Acupressure untuk Mual Inpharma 1997; 1080: 16 Manfaat CT Scan Serial pada CVD Stroke 1997; 28: 1-5 Faktor Risiko DM D&TP 1997; 10(7): 13 Thalidomide Marketletter 1997; 24(36): 19 Sulit Tidur JAMA 1997; 287(16): 1303 Terapi Demam Tifoid JAMMA 1997; 287(10): 857-60 4

46 46 46 46 46 46 47 47 47 47 47 47

5 8 9 11 12 16 17 19 20 22 23 29

Tahun 1999
CDK 122. KANKER DAN TERATOGENESIS English Summary Sukardiman, IGP Santa, Rahmadany : Efek Antikanker Isolat Flavonoid dari Herba Benalu Mangga (Dendrophtoe petandra) Bunawas : Radiasi Ultraviolet dari Matahari dan Risiko Kanker Kulit Mukhlis Akhadi : Radioterapi dengan Partikel Nuklir Rochestri Sofyan: Terapi Kanker dengan Iradiasi Proton Sulistyowati Tuminah: Pencegahan Kanker dengan Antioksidan Sutrisno, Lisa A., Triyanto, Johan T., Moh. Ali, Yosef Olin: Insiden Sumbing Bibir dan Langit-langit di Kecamatan Insana, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur Almahdy A : Efek Teratogen Fraksi Sisa Ekstrak Daun Emilia sonchifolia (L) DC in ovo Suhardjo: Pengaruh Radiasi Sinar X terhadap Testis Mencit Iwan H Utama, Aida LT Rompis : Protein Pengikat Fc Imunoglobulin kepentingannya dalam biomedis Suhardjo : Penggunaan Asiklovir Oral pada Herpes Zoster Oftalmikus di RSUP Dr. Sardjito Sarjaini Jamal : Beberapa Kebiasaan Masyarakat yang Berkaitan dengan Hidup Sehat berdasarkan Susenas 1995 4 5 8 9 12 13 16 17 20 21 23

30 34 35 38 39 44 45 46 47 47 47 47 47 47 47 47

CDK 124. PENYAKIT INFEKSI 4 English Summary Sri Rezeki Hadinegoro : Masalah Multi Drug Resistance pada Demam Tifoid Anak 5 8 RHH Nelwan : Alternatif Baru Pengobatan Demam Tifoid yang Resisten 9 10 Sylvia Y. Muliawan, Julius E. Surjawidjaja : Diagnosis Dini Demam Tifoid dengan Menggunakan Protein Membran Luar S. typhi sebagai Antigen Spesifik 11 13 Sylvia Y. Muliawan, Julius E. Surjawidjaja : Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Tifoid di Rumah Sakit 14 16

24 26 27 28 29 32 33 35 36 38 39 42

47

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

Agus Sjahrurachman, Widyasari Kumala, Tassimin Nurjadi : Kepekaan Kuman terhadap Antibiotika Golongan Kuinolon dan Sefalosporin Usman Suwandi : Peran Media untuk Identifikasi Mikroba Patogen Maria Holly Herawati : Program Pengembangan Imunisasi dan Produk Vaksin Hepatitis B di Indonesia Muh. Natsir Akil : Hepatitis Virus G Suwarso : Virus Hepatitis-G (HGV): Asal-usul, Biologimolekuler dari Aplikasi Kliniknya. Sahat Ompusunggu, Budi : Perbandingan Sensitifitas beberapa Metoda Pemeriksaan Tinja Manusia terhadap Telur Cacing Usus Endi Ridwan : Kadar Hb, Status Vitamin A dan Kaitannya dengan Reaksi Imun Bayi yang Diimunisasi I Wayan Suartika : Prevalensi Anemia pada Ibu Hamil di Puskesmas Bualemo, Sulawesi Tengah. Abstrak Pemakaian Obat di Kalangan Manula Clin. Drug Invest. 1998; 16(6): 441-52 Diagnosis Keganasan JAMA 1998; 280(14): 1245-8 Parasetamol sebagai Antioksidan Scrip 1998; 2362: 18 Antikholesterol untuk Pencegahan Stroke Scrip 1998; 2362: 18 Peranan MRI pada Whiplash Injury Radiology 1996; 201: 93-6 Antibiotika untuk Sinusitis Clin. Drug Invest. 1997; 13(3): 128-33 Ginkgo Biloba untuk Alzheimer JAMA 1997; 278: 1327-32 TCD VS. Angiografi Stroke 1997; 28: 133-36

7 20 21 24 25 27 28 30 31 36 37 40

Risiko Stroke Hemoragik di Kalangan Pengguna Kontrasepsi Oral Lancet 1996; 276: 598-605 Bahaya Dexfenfluramin lnpharma 1996; 1054: 21 Ginkgo Biloba Inpharma 1996; 1042: 11 Krim Anti Impotensi BMJ 1996; 312: 1512-l5 Obat Alzheimer Pharm, Bus. News 1996; 12(273/4): 19-20 CDK 125. KESEHATAN MASYARAKAT English Summary Sudibyo Supardi, Sriana Azis, Nani Sukasediati : Pola Penggunaan Obat dan Obat Tradisional Dalam Upaya Pengobatan Sendiri di Pedesaan Nani Sukasediati, B. Dzulkarnain, Vincent HS Gan : Produk Bahan Alami di Lima Apotik di Jakarta: Suatu Tinjauan Eksploratif Sarjaini Jamal, Suhardi, Sudjaswadi Wirjowidagdo : Penggunaan Obat oleh Anggota Rumah Tangga di Jawa dan Bali (SKRT 1995) Sarjaini Jamal, Suhardi : Penggunaan Suntikan di Kalangan Masyarakat (SKRT 1995) Suhardi : Perilaku Merokok di Indonesia menurut Susenas dan SKRT 1995 Sutrisno, Lisa Andriani : Karakteristik Kematian Maternal di Kabupaten Timor Tengah Utara, 1997 Lucie Widowati, Pudjiastuti, Sudjaswadi Wirjowidagdo: Toksisitas Akut dan Efek Analgetika Jamu Pegel Linu pada Mencit Putih Indeks Cermin Dunia Kedokteran 1998 - 1999

47 47 47 47 47

41 43 44 45

5 8 9 14

46 46 46 46 46 46 46 46

15 18 19 22 23 35 36 41

42 45 46 47

A man who is always well satisfied with himself seldom is so by others, and others rarely are with him (La Rochefoucauld)

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 47

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Dalam SKRT 1992, persentase penduduk yang mengeluh sakit dalam sebulan terakhir, terendah ada di : a) Jawa Barat b) Jawa Tengah c) Lampung d) Sumatera Selatan e) Irian Jaya Dalam survei masyarakat tersebut, obat digunakan terutama untuk tujuan : a) Menyembuhkan penyakit b) Menjaga kesehatan c) Menambah tenaga d) Keluarga berencana e) Menyembuhkan luka luar Dalam penelitian di Lampung Selatan,ternyata ditemukan pola penggunaan obat sebagai berikut, kecuali : a) Obat tradisional lebih banyak digunakan b) Umumnya obat diperoleh dari warung tanpa konsultasi dokter c) Penggunaannya terutama dipengaruhi oleh iklan televisi dan radio d) Obat yang digunakan umumnya jenis analgetika e) Tanpa kecuali Beberapa hal yang ditemukan dari analisis deskriptif PBA ialah sebagai berikut, kecuali : a) Tidak semuanya didaftar sebagai obat b) Terdapat dalam berbagai bentuk sediaan c) Semuanya hanya mengandung bahan tradisional/ simplisia saja d) Ada yang digunakan berdasarkan resep/preskripsi e) Tanpa kecuali Dalam hal penggunaan PBA ini, perhatian utama ialah dalam hal : a) Khasiat b) Efek samping c) Harga jual d) Bentuk sediaan e) Penyebaran/ketersediaan 6. Dari survei penggunaan suntikan di masayarakat, ternyata suntikan terutama dilakukan/didapatkan di : a) Puskesmas b) Rumah sakit c) Praktek dokter d) Praktek paramedik e) Tukang suntik keliling 7. Survei mengenai kebiasaan merokok menghasilkan data bahwa perokok laki-laki tiap hari terutama berusia a) 20 - 24 tahun b) 25 - 29 tahun c) 35 - 39 tahun d) 45 - 49 tahun e) 55 - 59 tahun 8. Sedangkan di kalangan wanita, perokok tiap hari terutama pada usia : a) 20 -24 tahun b) 30 - 34 tahun c) 40 - 44 tahun d) 50 - 54 tahun e) 60 -64 tahun 9. Menurut tingkat pendidikan para perokok terutama : a) Tak tamat SD b) Tamat SD c) Tamat SLTP d) Tamat SLTA e) Sarjana 10. Sedangkan jenis rokok yang terutama dihisap ialah rokok jenis : a) Putih filter b) Putih non filter c) Kretek filter d) Kretek non filter e) Linting

2.

3.

4.

5.

Jawaban RPPIK : 1. C 2. A 6. D 7. D

3. A 8. D

4. C 9. A

5. B 10. C

48

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

You might also like