You are on page 1of 85

2007

PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM

HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


1

PANEL AHLI Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Dharma, Sp.PK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Retno Kadarsih, Sp.MK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Risma Kaban, Sp. A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta TIM TEKNIS Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K) Ketua dr. Ratna Rosita, MPHM Anggota dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota dr. N. Soebijanto, SpPD Anggota dr. Suginarti, M.Kes Anggota dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Anggota dr. Syanti Ayu Anggraini Anggota dr. Melani Marissa Anggota dr. Titiek Resmisari Anggota dr. Aini Bachruddin Bachtiar Anggota

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.1 Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup.2 Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the worlds mother 2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain.3 Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi.4 Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.5 Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode JanuariSeptember 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%.8 Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain. berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan

kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati, dan lain-lain.9 Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk

melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus. 10 1.2. Permasalahan Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi. Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian antibiotik spektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang. Dalam tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1) permasalahan penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan (profilaksis) sepsis neonatorum. Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit ditegakkan karena gejala klinis

yang aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran penyakit dapat menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan tersebut hasilnya baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara. Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan risiko infeksi nosokomial.8,11 Perkembangan teknologi kedokteran yang tersedia saat ini telah

menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein, dan lain

sebagainya pada sepsis neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa

kritis berdasarkan Evidence-based dalam mempertimbangkan dan kerugiannya.

risiko, keuntungan

Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu diangkat ke permukaan. Risiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum sudah banyak diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di Indonesia. Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan yang optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat informasi baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah memberikan cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan akhir-akhir ini telah memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang lebih efisien dan efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini membutuhkan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin belum dapat terjangkau untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan dikembangkan dikemudian hari. 12,13,14 1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan yang lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi Indonesia. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Tersusunnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidencebased medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan sepsis neonatorum. 2. Tersusunnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan

proGramyang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.

BAB II METODOLOGI PENILAIAN

2.1. Strategi penelusuran kepustakaan Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka Journal of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics, dalam 20 tahun terakhir (1986-2006) serta World Health Organization tentang Neonatal Problems tahun 2003. Kata kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in newborn, SGB (Group B Streptococcus). 2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal) berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian ditentukan tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research. Tingkat pembuktian (Level of evidence) Ia. Ib. Meta-analisis randomized controlled trials. Minimal satu randomized controlled trials.

IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials. IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol. IIIa. Studi cross-sectional. IIIb. Seri kasus dan laporan kasus. IV. Konsensus dan pendapat ahli.

Tingkat rekomendasi A. B. C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.

BAB III SEPSIS NEONATORUM

3.1. Definisi Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.16 3.2. Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).5 Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19 Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21 Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.

Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi Dini Awitan <72 jam

20

Lambat >72 jam

Sumber infeksi

Jalan lahir

Lingkungan (nosokomial)

Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.

Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL).9 3.3. Etiologi Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini, kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum.23 Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24 Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005

menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26
Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu 1975-1980 RSCM/FKUI (Monintja, 1981; Amir Aminullah 1993, I 2003) Salmonella sp Klebsiella sp 1985-1990 Pseudomonas sp Klebsiella sp E. coli
26

1995-2003 Acinetobacter sp Enterobacter sp Pseudomonas sp Serratia sp

Amerika Serikat (Texas Univ.; CDC Atlanta) (Shattuck 1992; Schuchat 1997) Inggris (Health PT 2003)

Group B Strep. E. coli Listeria sp

Group B Strep. Listeria sp Enterovirus

E. coli Group B Strep Listeria sp Strep. Pneumoniae

Group B Strep. E. coli Listeria sp Enterovirus

Group B Strep Listeria sp E. coli Enterovirus

Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004

Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria monocytogenes.27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulasenegative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas, Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri anaerob. Kolonikoloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna, konjungtiva, dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang invasif.4 Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000 terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan 21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram positif (70,2%). Bakteri Gram negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering (47,9%) pada SAL (tabel 3).28

Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi hematogen pada BBLR ( < 1500 Gram)
28

SAD Organisme Jumlah infeksi (% of total) Mortalitas (%)


b

SAL

Jumlah infeksi (% of total)

Mortalitas (%)
b

Gram-positive bacteria (total) SGB Viridans streptococcus Other streptococci Listeria monocytogenes Coagulase-negative Staphylococcus Staphylococcus aureus Enterococcus species Other Gram-negative bacteria (total) Escherichia coli Haemophilus influenzae Citrobacter Bacteroides Klebsiella Pseudomonas Enterobacter Serratia Other

31 (36.9)

26

922 (70.2)

11.2

9 (10.7) 3 (3.6) 4 (4.8) 2 (2.4) 9 (10.7)

30 (2.3)

21.9

629 (47.9)

9.1

1 (1.2)

103 (7.8) 43 (3.3)

17.2

3 (3.6) 51 (60.7) 41

117 (8.9) 231 (17.6) 36.2

37 (44.0) 7 (8.3) 2 (2.4) 2 (2.4) 1 (1.2)

64 (4.9)

34.0

52 (4.0) 35 (2.7) 33 (2.5) 29 (2.2)

22.6 74.4 26.8 35.9

2 (2.4)

18 (1.4)

10

Fungi (total) Candida albicans Candida parapsilosis Other


a

2 (2.4) 2 (2.4)

160 (12.2) 76 (5.8) 54 (4.1) 30 (2.3)

31.8 43.9 15.9

NICHD Neonatal Network Survey, th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447

orang dengan SAD dan 6215 orang dengan SAL .


b

Semua penyebab kematian . Sumber: D Kaufman et al. Clin Microb Rev 2004; 641

Dari pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis neonatorum berlainan antar negara dan dari waktu ke waktu. Selain itu, kuman penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda. Oleh karena itu, pemeriksaan pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang peranan yang sangat penting. 3.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS:Systemic Inflammatory Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (tabel 4).16
Tabel 4. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus Bila ditemukan dua atau lebih keadaan: Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi dan desaturasi O2 Suhu tubuh tidak stabil (<36C atau >37.5C) Waktu pengisian kapiler > 3 detik Hitung leukosit
9 16

FIRS/ SIRS atau

<4000x10 /L

>34000x10 /L CRP >10mg/dl IL-6 atau IL-8 >70pg/ml 16 S rRNA gene PCR : Positif Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat dalam Tabel 5. Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi cairan dan obat-obat inotropik SYOK SEPTIK SEPSIS BERAT SEPSIS

11

Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah mendapatkan pengobatan optimal

SINDROM DISFUNGSI MULTIORGAN KEMATIAN

Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9

Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5 dan 6).29 Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven).30
Tabel 5. Kriteria SIRS Usia Neonatus
29

Suhu

Laju Nadi per menit

Laju napas per menit >50 >40

Jumlah leukosit X 10 /mm >34 >19,5 atau <5


3 3

Usia 0-7 hari Usia 7-30 hari

>38,5C atau <36C >38,5C atau <36C

>180 atau <100 >180 atau <100

Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit) Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

Tabel 6. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik Infeksi

29

Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain).

Sepsis

SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.

Sepsis berat

Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).

Syok septik

Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari). Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

3.5. Patofisiologi Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,

12

khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu: 5,31 1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll. 2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin. 3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.

INFEKSI PRANATAL

INFEKSI INTRANATAL
Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan Sumber : Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.31 Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran

13

klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.32 3.5.1 Respons inflamasi Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.33 Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.32 Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan (2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.16, 34 Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.33,35

14

Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis

33

Sumber : Short MA. Adv Neonat Care 2004; 5:258-73

Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon (IFN- ), interleukin 1- (IL-1), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab. Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik.36 Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan

15

selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ.33 Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada

permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.33 3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga mengaktivasi jalur intrinsik.33 Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan membantu mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk menyebabkan pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-. Selain itu, trombin merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.33 Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.

16

Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company

33

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

3.5.3. Gangguan fibrinolisis Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan penyembuhan luka.33 Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis fibrin.33,37,38 Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.33 Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.33,35,39,40 Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF- dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan

17

disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan kematian.33 Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun, aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam mikrovaskular.

Gambar 4. Supresi Fibrinolisis Sumber:...................................... Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular menyeluruh (PIM) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk.33,Error! Bookmark not defined. Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian.41 Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme

18

prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini yang memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat mekanisme ini.33

Gambar 5. Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi

33

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

3.6 DIAGNOSIS Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.8 3.6.1. Faktor Risiko Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi dan lain-lain. Faktor risiko ibu: 1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.27,42,43 2. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.42,44,45 3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.27,42 4. Kehamilan multipel.42,44,46 5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.47

19

6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.47 Faktor risiko pada bayi: 1. Prematuritas dan berat lahir rendah.42,43,46,48 2. Dirawat di Rumah Sakit.49 3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan.42,43,48 4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.42,43,48 5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau asplenia.42,46 6. Asfiksia neonatorum.27,43,48 7. Cacat bawaan.27,43,48 8. Tanpa rawat gabung.43 9. Tidak diberi ASI.49 10. Pemberian nutrisi parenteral.50,51 11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.50 12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.49 13. Buruknya kebersihan di NICU.49 Faktor risiko lain: Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di NICU.27,42,46,48 Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis. 3.6.2. Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon

20

tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat dilihat dalam tabel 7.6,52 Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular

(hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).53,54
Tabel 7. Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus
25

Gejala klinis

Frekuensi Aminullah , 1993 Shattuck, 1992 35% Pong A, 2003 48%

Gangguan minum Letargi/tampak sakit berat Gangguan nafas/dispnea Ikterus/hiperbilirubinemia Jittery/Iritabel Kejang Gangguan serebral (spastis, paresis) Hipertermia/hipotermia Serangan apnea Gangguan gastrointestinal

100% 100% 59% 55% 16% 48% 23% 34% 20% 14%

27%

33%

62% 19%

60% 42%

46% 15% 12%

60% 31% 20%

Sumber : Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. 2005. hlm 17-31

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:55 Laju napas > 60 kali per menit Retraksi dada yang dalam Cuping hidung kembang kempis Merintih Ubun ubun besar membonjol Kejang Keluar pus dari telinga

21

Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba dingin) Letargi atau tidak sadar Penurunan aktivitas /gerakan Tidak dapat minum Tidak dapat melekat pada payudara ibu Tidak mau menetek. Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan

Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (Tabel 8). Penegakan diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori tersebut.56
Tabel 8. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis Kategori A Gangguan napas (misalnya: apnea, frekuensi napas > 60 atau <30 kali/menit, retraksi dinding dada, merintih pada waktu ekspirasi, sianosis sentral) Kejang Tidak sadar Suhu tubuh tidak normal (tidak normal sejak lahir dan tidak memberi respons terhadap terapi atau suhu tidak stabil sesudah pengukuran suhu normal selama tiga kali atau lebih, menyokong ke arah sepsis) Persalinan di lingkungan yang kurang higienis (menyokong ke arah sepsis) Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis (menyokong ke arah sepsis) Sumber: Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. 2005. hlm 32-43 Tremor Letargi atau lunglai/layuh Mengantuk atau kurang aktif Iritabel atau rewel Muntah (menyokong ke arah sepsis) Distensi abdomen (menyokong ke arah sepsis) Tanda mulai muncul sesudah hari ke 4 (menyokong ke arah sepsis) Air ketuban bercampur mekonium Malas minum, sebelumnya minum dengan baik (menyokong ke arah sepsis)
8

Kategori B

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tandatanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut:56 Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini); Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel 6), atau tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6);

22

Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B; Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja timbulnya; Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi tanda awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam lagi.

Bayi berumur lebih dari tiga hari Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda atau lebih pada Kategori B; Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B. Namun demikian, seringkali gambaran klinis sepsis pada neonatus tidak menunjukkan gejala yang khas. Dibawah ini merupakan gambaran klinis sepsis neonatorum yang tidak spesifik yang dikemukakan oleh Vergnano S et al.57

Clinical signs and symptoms


NON SPECIFIC
Not able to feed Not attaching to the breast No suckling at all Temperature >37.7C or <35.5C Respiratory rate >60 breaths/min. Severe chest indrawing Nasal flaring Grunting Reduced movements Crepitations Lethargic or unconscious Convulsions Bulging fontanelle Cyanosis Reduced digital capillary refill time Pus draining from the ear Redness around umbilicus extending to the skin

Sumber : Vergnano S et al. Neonatal sepsis: an international perspective

Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.

23

3.6.3. 3.6.3.1

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium

3.6.3.1.1 Pemeriksaan Kuman A. Kultur Darah Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.58 Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masingmasing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut. Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa infeksi merupakan penyebab tersering kematian BBLR dan diagnosis sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada pemeriksaan kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur negatif, meski telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas. Pemberian antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah persalinan prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri pada media kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh kemungkinan pemberian antibiotik sebelumnya pada bayi yang dapat menekan pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat disebabkan akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu penelitian menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan hasil negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml dengan hitung koloni <4 CFU/ml darah. Penghitungan jumlah koloni bakteri pada bakteremia membutuhkan minimal 1mL darah.59,28 Jumlah koloni pada neonatus dengan bakteremia diharapkan lebih banyak

dibandingkan pada dewasa. Hasil kultur positif palsu dapat terjadi akibat kontaminasi saat pengambilan sampel. Kultur bakteri aerob bermakna untuk seluruh etiologi bakteri penyebab sepsis neonatorum; sedangkan kultur bakteri anaerob diindikasikan untuk neonatus yang disertai dengan abses, hemolisis masif dan pneumonia yang tidak membaik dengan pengobatan.28 Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum adalah 110%. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan diagnosis atau

24

menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, pungsi lumbal diulang 2436 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis.5 Dari penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif.9 Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih baik dilakukan pada kasus sepsis neonatorum awitan lambat.5,22 Spesimen urin diambil melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik kandung kemih.60 Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan lambung menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.28

B. Pewarnaan Gram Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.5 Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan penggunaan antibiotic pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri.61 Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai, seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia. Automated blood culture system yaitu kultur darah dengan medium cair dari sistem deteksi cepat dan automated seperti Bactec dan BacT Alert dapat digunakan apabila tersedia anggaran yang memadai. Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,

25

berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis banyak dilaporkan di kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas yang berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai petanda sepsis tersebut dan mengemukakan sejumlah petanda infeksi yang sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis pada neonatus dan bayi prematur (tabel 9).62
Tabel 9. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur Haematological tests Total white blood cell count Total neutrophil count Immature neutrophil count Immature/total neutrophil ratio Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Dohle bodies, intracellular bacteria Platelet count Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) D-dimer Fibrinogen Thrombin-antithrombin III complex (TAT) Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) Plasminogen tissue activator (tPA) Acute phase proteins and other proteins a1 Antitrypsin C Reactive protein (CRP) Fibronectin Haptoglobin Lactoferrin Neopterin Orosomucoid Procalcitonin (PCT) Components of the complement system C3a-desArg C3bBbP sC5b-9 Chemokines, cytokines and adhesion molecules Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10 Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75 Interferon c (IFNc) E-selectin L-selectin Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)
62

26

Vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) Cell surface markers Neutrophil CD11b CD11c CD13 CD15 CD33 CD64 CD66b Others Lactate Micro-erythrocyte sedimentation Superoxide anion (respiratory burst) Sumber : Ng PCArch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235 Lymphocyte CD3 CD19 CD25 CD26 CD45RO CD69 CD71 Monocyte HLA-DR

3.6.3.1.2 Pemeriksaan Hematologi Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut: Hitung trombosit. Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.000/L), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.5 Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit. Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang

terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periventrikular serta intraventrikular.5

27

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T). Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.5 Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan yang terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat proses persalinan.

Pemeriksaan kadar D-dimer. D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh karena itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem fibrinolisis.63 Pada sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik untuk sepsis karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh penyebab lain seperti trombosis, keganasan dan terapi trombolitik.64, 65,66, 67 Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara lain, aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole blood agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks menggunakan antibodi monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks. Metode ini sederhana, mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal, namun kurang sensitif untuk pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara ELISA konvensional dianggap merupakan metode rujukan untuk penetapan kadar D-dimer, tetapi cara ini tidak praktis karena memerlukan waktu yang relatif lama dan mahal. Terdapat beberapa cara cepat berdasarkan prinsip ELISA antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas D-dimer dan Instant IA D-dimer. Dengan cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat dan sensitivitasnya mendekati cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-dimer dengan metode yang berbeda bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesifisitas antibodi yang dipakai pada masing-masing metode, belum ada satuan yang baku dan belum adanya konsensus tentang nilai batas abnormal.

28

3.6.3.1.3 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP) C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai proses inflamasinya teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L. Pemeriksaan kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada diagnosis sepsis neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian dari septic work-up atau sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk mengetahui respon antibiotik, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV, rotavirus, adenovirus, influenza).5,68,69 Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi positif 48,77%.70 Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.71 Alur pemeriksaan CRP serta indikasi pemberian antibiotikpada sepsis awitan dini dan sepsis awitan lambat dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut ini.

Gambar 7. Alur pemeriksaan CRP pada SAD dan kaitannya dengan pemberian antibiotik

72

Sumber: http://neoreviews.aappublications.org

29

Gambar 8. Alur pemeriksaan CRP pada SAL dan kaitannya dengan pemberian antibiotik

72

Sumber: Kruger M, et al. Biol Neonate 2001; 80: 118-123

3.6.3.1.4 Procalcitonin (PCT) PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat 13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni <2 ng/mL. PCT bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP, mempunyai sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis awitan dini, serta sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat

membedakan infeksi bakterial dari viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7 ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (01,5) ng/mL. Pengukuran kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas. 3.6.3.1.5 Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum adalah dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64, Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan. Pemeriksaan petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan dengan beberapa tes sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan petanda infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada

30

beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotik dapat dihentikan.5 IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang terlibat dalam berbagai aspek sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi. Dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan kemungkinan sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya dan risiko pemberian antibiotik.73,74 Waktu pemeriksaan sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 9. Penggunaan IL-6 dan CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi terinfeksi dengan usia pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma terjadi pada waktu 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun. Perbandingan waktu dan konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP diperlihatkan pada gambar 9.

Gambar 9. Waktu Pemeriksaan dan Konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP

31

3.6.3.1.6 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR) Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan S.pneumoniae. Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatorum. Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.75 PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatus. Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada kuman dibuktikan mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi dan sosialisasi pemeriksaan semacam ini telah berkembang dan terjangkau, diharapkan cara pemeriksaan ini bermanfaat untuk penatalaksanaan dini dan memperbaiki prognosis pasien.23 Pemeriksaan bermanfaat diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga

untuk deteksi infeksi virus pada neonatus. Walaupun diagnostik

molekular pada bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif 88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan lingkup yang besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive test untuk diagnostik cepat bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala sepsis. Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur. Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah Sakit Rujukan Propinsi.

32

3.6.3.2 Pencitraan Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya: Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS

(Respiratory Distress Syndrome). Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.5 Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini yang telah terbukti dengan kultur.22 Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark ataupun abses.5 USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan perubahan kronis. Secara
5

serial,

USG

kepala

dapat

menunjukkan

progresivitas komplikasi. 3.6.4. Pendekatan Diagnosis

Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, upaya penegakan diagnosis tampaknya sangat tergantung dari fasilitas yang tersedia di rumah sakit. Beberapa pemeriksaan laboratorium hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar. Oleh karena itu, beberapa klinik melakukan upaya penegakan diagnosis dengan berbagai cara. Ada klinik yang mempergunakan faktor-faktor risiko, ada pula yang mempergunakan gabungan beberapa gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang ataupun kombinasi berbagai pemeriksaan penunjang dalam melakukan pendekatan diagnosis. Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10).76
Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko Risiko mayor 1. 2. 3. 4. 5. Ketuban pecah > 24 jam Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C Korioamnionitis Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit Ketuban berbau
77

33

Risiko minor 1. Ketuban pecah > 12 jam 2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C 3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 ) 4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram. 5. Usia gestasi < 37 minggu. 6. Kehamilan ganda. 7. Keputihan pada ibu. 8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati. Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan yang lebih efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.76 Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan diagnosis sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 11. Selanjutnya dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotik. Sistem skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan diagnosis sepsis awitan lambat.77
Tabel 11. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal Penemuan Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem pernafasan, gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit). Jumlah leukosit total <10.000 atau 20.000 / mm . Jumlah neutrofil absolut <1000 / mm . Rasio neutrofil batang : neutrofil matur 0.1 Usia >1 minggu.
3 3 77

Skor

1 1 1 1 1

Sumber: Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6

Berlainan dengan Spector dkk,

beberapa peneliti lain memilih kombinasi

beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan hematologi dan protein tertentu sebagai faktor penentu dalam sistem skoring. Philip dan Hewitt pada tahun 1980 melakukan penapisan sepsis neonatorum awitan dini berdasarkan kombinasi 5 pemeriksaan laboratorium yaitu :78 1. 2. Jumlah leukosit <5.000 / mm3 Rasio neutrofil imatur : total neutrofil 0,2

34

3. 4. 5.

Laju endap darah 15 mm/jam Lateks C-Reactive Protein positif (> 0,8 mg/100 mL) Lateks haptoglobin positif (>25 mg/100 mL) Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini

mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga dapat mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitivitas dan spesifisitas berturut-turut 83% dan 74%.78 Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga

dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 12.79
Tabel 12. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini dan lambat
80

Penemuan Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat. Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun. Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) 0,3 Jumlah imatur PMN meningkat. Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (5000/mm atau 25.000, 30.000, dan 21.000/mm pada saat lahir, 12-24 jam, dan usia 2 hari). Terdapat perubahan degeneratif pada PMN 3+ untuk vakuolisasi, granulasi toksik, dan badan Dohle. Jumlah trombosit 150.000 / mm .
3 3 3

Skor 1 1 1 1 1

Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7

Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor 3 maka sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.79 Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang menunjang sistem skoring tersebut.79 Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa

perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan

35

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16
Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus Variabel Klinik Suhu tubuh tidak stabil Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen Letargi Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L ) Intoleransi minum Variabel Hemodinamik TD < 2 SD menurut usia bayi TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari ) TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan ) Variabel Perfusi Jaringan Pengisian kembali kapiler > 3 detik Asam laktat plasma > 3 mmol/L Variabel Inflamasi Leukositosis ( > 34000x10 /L ) Leukopenia ( < 5000 x 10 /L ) Neutrofil muda > 10% Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2 Trombositopenia <100000 x 10 /L C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL 16 S rRNA gene PCR : positif Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
9 9 9 16

3.7. Penatalaksanaan Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.25 Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit, intravenous

36

immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange transfusion) dan penggunaan sitokin rekombinan.5 3.7.1 Pemberian antibiotik Sepsis merupakan keadaan kedaruratan
17,80

dan

setiap

keterlambatan

pengobatan dapat menyebabkan kematian.

Pada kasus tersangka sepsis, terapi

antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik harus dihentikan.187 Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat universal. Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menimbulkan masalah resistensi di kemudian hari. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi daripada antibiotik spektrum sempit.19 Oleh karena itu, kebijakan dalam pemberian antibiotik harus ada pada setiap unit perawatan neonatus. Surveilans bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit neonatal untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit.19,52 Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama yaitu, mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotik.81 Pemakaian antibiotik secara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa tempat.19,82 Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotik akan menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotik. Sedangkan bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). 53,83 Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kira 50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilintazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul (kira-kira 20%).53 Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan

37

Enterobacter sp.84 Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp. (termasuk terhadap karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan berbagai angka prevalensi di tiap negara.84 Di Pakistan, E.coli dan Pseudomonas sp. menunjukkan resistensi derajat tinggi terhadap ampisilin, amoksisilin klavulanat dan gentamisin; resistensi derajat sedang terhadap sefotaksim, seftazidim dan seftriakson; dan resistensi derajat rendah terhadap golongan kuinolon. 81 Data

terakhir pada bulan Juli 2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FKUIRSCM, menunjukkan bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat tinggi terhadap antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua (sefotaksim, seftriakson) serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotik lini ketiga (imipenem, meropenem). Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter sp. yang masih sensitif terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococcus sp. masih sensitif terhadap amikasin.82 Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap ampisilin.80,85 Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut. 86 Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.53 Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.87 Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi (kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.54,87

38

3.7.1.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan Listeria monocytogenes.18 Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah

aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD.18,22 Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.18 3.7.1.2 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain.18 Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.18 Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten

dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida. Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.

39

Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).18 Pemberian antibiotik pada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotik. 3.7.2 Terapi suportif (adjuvant) Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi, gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah.88,89,90 Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian transfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain. 3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG) Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini dilakukan dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada proses opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi komplemen serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.5 Manfaat pemberian IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih bersifat kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat penurunan mortalitas bayi prematur secara bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan peneliti lain tidak memperlihatkan perbedaan.91 Studi multisenter yang dilakukan oleh Weisman,dkk. melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.92 Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah dilakukan dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT) didapatkan penurunan angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga

40

terinfeksi.93 Namun, bila diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis, angka tersebut menjadi tidak signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang ada belum cukup kuat untuk menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus Sepsis Neonatorum. Meta-analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan angka mortalitas secara signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setelah pemberian IVIG poliklonal.94 Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum awitan dini. Dosis yang dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.95 Pemberian IVIG terbukti aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.96 3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GMCSF) Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan masih belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien sepsis neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GMCSF.97 Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.98 G-CSF merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis neonatorum.99 Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di dalam sirkulasi karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang meningkat.100 Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun dapat meningkatkan konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum tulang dan dapat menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun tidak memperlihatkan perbaikan dalam angka kematian pasien.100,101 Oleh karena itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak dianjurkan tetapi beberapa klinik menggunakannya dengan dosis 10 g/kg/hari pada pasien dengan neutropenia yang tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG.90 Dari Cochrane review disimpulkan bahwa belum tersedia evidence-based yang cukup untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penggunaan G-CSF secara rutin dalam mengatasi sepsis dengan neutropenia. Namun, bila dibandingkan dengan pemberian IVIG, transfusi G-CSF lebih menurunkan angka mortalitas.95 Dilaporkan bahwa transfusi granulosit memberikan hasil cukup baik, tetapi jarang digunakan karena teknik filtrasi yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi.

41

Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF dan GM-CSF dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta mencegah infeksi nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam penelitian lebih lanjut dan membutuhkan biaya yang mahal.89

3.7.2.3 Tansfusi Tukar (TT) Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial, sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan. Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.102,103,104,105 Tujuan TT pada sepsis adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan memperbaiki keadaan umum pasien.88,102,104 Dikatakan demikian karena berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT dapat meningkatkan kadar IgG, IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan fungsi granulosit; meningkatkan aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya serta jumlah neutrofil; mengeluarkan endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan oxygen-carrying capacity darah; memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan konsentrasi oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi perifer dan distres pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah yang diperlukan untuk tindakan TT adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan atau 100 ml/kgBB untuk bayi prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming the tubing. Metode yang paling disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric exchange, yaitu mengeluarkan dan memasukkan darah yang dilakukan bersamasama melalui kateter arteri umbilikalis (dipakai untuk mengeluarkan darah pasien) dan kateter vena umbilikalis (dipakai untuk memasukkan darah donor). Kontra indikasi TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan tepat, omphalitis, omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleeding diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh darah kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.106 TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan TT memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup menjanjikan dan menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia, sklerema, DIC dan asidosis berat. Tabel 14 di bawah ini, menunjukkan survival dari beberapa penelitian kasus yang dilakukan TT. Namun demikian, perlu diperhatikan

42

juga mengenai efek samping seperti gangguan hemodinamik yang dapat menyebabkan kematian.107
Tabel 14. Angka Survival bayi yang dilakukan TT Peneliti Dilakukan TT Prodhom et al, 1974 Tollner et al, 1977 Pearse et al, 1978 Belohradsky et al, 1978 Countney et al, 1979 Lemos, 1981 Bassi et al, 1981 Narayanan et al, 1984 Xanthou et al, 1985 Gross et al, 1987 Total 7/8 (88) 10/10 (100) 13/19(68) 37/74 (50) 23/34 (68) 8/8 (100) 12/22 (55) 8/20 (40) 25/44 (57) 7/11 (64) 150/250 (60) Tidak dilakukan TT 0/8(0) 5/10(50) 7/17(41) 60/132 (45) 4/14 (29) 0/14 (0) 7/13 (54) 2/20 (10) 18/62 8/11 (73) 111/311 (35.69)
108

Survival (n) (%)

Sumber : Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. 2002

3.7.2.4 Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) Pada bayi dengan sepsis, pemberian FFP biasanya diberikan apabila ditemukan gangguan koagulasi. Gangguan koagulasi yang sering dihadapi pasien adalah Koagulasi Diseminasi Intravaskular/KID (Disseminated Intravascular

Coaagulation/DIC). Di samping faktor koagulasi, FFP juga mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein dan fibronectin. Walaupun FFP mengandung antibodi protektif tertentu, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah antibodi tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian secara kontinyu (seperti 10 mL/kg setiap 12 jam), kadar proteksi baru dapat dicapai. Studi yang dilaporkan oleh Acuna et al mengemukakan bahwa pada kenyataannya FFP hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi tanpa meningkatkan kadar IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena (Intravena Immunoglobulin-IVIG), pemberian IVIG ini akan lebih aman dalam menghindarkan efek samping pemberian FFP.97 3.7.2.5 Pemberian Pentoxifilin Pentoxifilin merupakan turunan xantin yang memiliki aktivitas inhibitor fosfodiesterase yang membuatnya mampu memodulasi proses inflamasi. Cochrane

43

review menyatakan bahwa pentoxifilin sebagai terapi adjuvant sepsis neonatorum terbukti dapat menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan efek samping.108 3.7.2.6 Pemberian Melatonin Di dalam patogenesis sepsis neonatorum terdapat implikasi timbulnya radikal bebas. Melatonin merupakan antioksidan endogen hasil produksi indoamin yang dirancang untuk menjadi salah satu alternatif terapi adjuvant untuk mengatasi sepsis neonatorum. Melatonin diberikan secara oral dengan dosis 2 X 10 mg per hari. Pemakaian melatonin tersebut masih dalam tahap uji klinik dan penelitian ini merupakan penelitian pertama pada manusia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan perbaikan kondisi klinik pada kelompok yang diterapi dibandingkan kelompok kontrol. Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini dengan sampel yang lebih besar.109 3.7.2.7 Penatalaksanaan imunologik Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa dalam 10 tahun terakhir ini telah diajukan konsep baru dalam bidang infeksi yang dikenal dengan "systemic inflammatory response syndrome" (SIRS). Konsep ini menggambarkan patofisologi baru dalam kaskade inflamasi yang agak berbeda dengan gambaran yang dianut sebelumnya. Pada pasien SIRS ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik humoral maupun selular, yang berupaya untuk mengimbangi atau melakukan reaksi eliminasi mikroba melalui pembentukan berbagai komplemen dan antibodi. Pelaporan ini mempunyai arti yang penting dalam manajemen pasien. Pada bayi dengan risiko, dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih efisien dan efektif sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan. Berbagai penelitian eksperimental maupun studi klinis banyak dilakukan untuk menghambat kaskade inflamasi ini. Salah satu cara adalah dengan menurunkan aktivitas biologis dari IL-1 dan TNF-. Dalam suatu studi eksperimental pada hewan coba, penyuntikan TNF- dan IL-1 memperlihatkan perubahan fisiologis yang sejalan dengan kaskade inflamasi. Selanjutnya apabila dilakukan rintangan terhadap aktivitas IL-1 dengan reseptor antagonis IL-1 (IL-1ra) ternyata dapat melindungi binatang dari kematian akibat bakteremia dan endotoksemia.13,110,111 Hasil ini memperkuat hipotesis yang mengemukakan bahwa pengurangan tingkat sirkulasi TNF- dan IL-1 di dalam sirkulasi akan memperlemah perkembangan kaskade sepsis. Penelitian ini juga memperkuat kemungkinan penggunaan terapi antisitokin dalam menurunkan angka kematian karena syok septik pada pasien sepsis. Studi klinis pemberian terapi IL-1ra dan anti TNF- pada penderita sepsis baru merupakan penelitian pendahuluan. Apabila studi klinik ini

44

dapat dilakukan pada pasien dengan hasil seperti pada penelitian eksperimental, diharapkan tata laksana pasien akan menjadi lebih optimal.25 3.7.2.8 Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum Telaah pustaka dan meta-analisis mengenai pemakaian kortikosteroid untuk sepsis sejak awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1990-an umumnya menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan manfaat untuk pengobatan sepsis dan syok septik. Kortikosteroid tersebut diberikan dalam dosis tinggi untuk mengatasi inflamasi dengan pertimbangan mekanisme kerja kortikosteroid yang sangat dominan sebagai antiinflamasi. Telaah saat ini menunjukkan bahwa hal tersebut dapat menimbulkan rebound respons inflamasi sistemik dengan berbagai bahaya yang menyertainya.112 Beberapa meta-analisis telah menunjukkan secara konsisten bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi (lebih dari 42.000 mg equivalen hidrokortison) telah terbukti tidak bermanfaat dan membahayakan.113 Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respon terhadap katekolamin dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.109,114 Sebuah meta-analisis memperkuat hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan.115 3.7.2.9 Dukungan Nutrisi Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus dipenuhi atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.116

45

3.8. Pencegahan dan Penanggulangan Menurut Lancet Neonatal Survey Series tahun 2005, terdapat beberapa intervensi pencegahan berdasarkan Kedokteran Berbasis Bukti, yang dapat dilakukan pada periode yang berbeda yaitu pada periode intrapartum dan postpartum. Intervensi pencegahan tersebut dapat dilihat pada tabel 15.117
Tabel 15. Evidence of efficacy for interventions at different time periods
118

Intrapartum

Amount of evidence

Reduction (%)in all-cause neonatal mortality or morbidity/major risk factor if specified (effect range)

Antibiotics for preterm premature rupture of membranes

IV

Incidence of infections: 32%(13 .47%)

Corticosteroids for preterm labour

IV

40%(25 .52%)

Detection and management of breech (caesarian section)

IV

Perinatal/neonatal death: 71%(14.90%)

Labour surveillance (including partograph) for early diagnosis of complications

IV

Early neonatal death: 40% 58 .78%

Clean delivery practices

IV

Incidence of neonatal tetanus:55 .99%

Postpartum Resuscitation of newborn baby

Amount of evidence IV 6 .42%

Breastfeeding

55 .87%

Prevention and management of hypothermia

IV

18 .42%

Kangaroo mother care (low birthweight infants in health facilities) Community-based

IV

Incidence of infections:51% (7.75%)

27%(18 .35%)

46

pneumonia case management Sumber : Lancet Neonatal Survival Series 2005

3.8.1. Pencegahan Sepsis Awitan Dini Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis. Bagi ibu yang pernah mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin.118 3.8.2. Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain : Pemantauan yang berkelanjutan Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien Bentuk ruang perawatan Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral Pemakaian kateter vena sentral yang minimal Pemakaian antibiotik yang rasional Program pendidikan Meningkatkan kontrol.
119

kepatuhan

pegawai

berdasarkan

hasil

program

3.8.2.1. Antibiotik Profilaksis Terapi pencegahan atau antibiotik profilaksis pada bayi baru lahir tidak dilakukan lagi. Pemberian antibiotik harus dibatasi serta memperhatikan faktor ibu

47

dan bayi. Antibiotik hanya boleh diberikan pada BBLR dengan berat <1250 Gram tanpa memandang ke dua faktor tersebut.52 Penelitian meta-analisis pada neonatus kurang bulan terhadap pemberian antibiotik profilaksis diantaranya dari 5 RCT yang dianalisis tampak adanya penurunan insidens terjadinya sepsis dan sepsis akibat coagulase negative staphylococcal (CoNS) pada neonatus yang mendapat profilaksis vankomisin. Didapatkan hasil lebih baik dengan pemberian secara infus kontinyu. Namun, tidak ada bukti bahwa pemberian profilaksis vankomisin dapat menurunkan angka mortalitas ataupun mempengaruhi lama masa perawatan di NICU. Dari hasil analisis yang sama juga tidak menunjukkan adanya gangguan pendengaran yang signifikan akibat efek samping ototoksisitas dari vankomisin. Hingga saat ini belum ada bukti cukup untuk menunjang hipotesis adanya peningkatan resistensi mikroba terhadap vankomisin.120 Selain mengetahui berat bayi, perlu diketahui ada tidaknya riwayat infeksi intrauterin dengan menanyakan apakah ibu demam selama proses persalinan sampai tiga hari pasca persalinan atau ketuban pecah dini 18 jam atau lebih sebelum bayi lahir. Setelah itu, antibiotik baru dapat diberikan.121 3.8.2.2. Kebersihan Tangan Mencuci tangan adalah cara paling sederhana dan merupakan tindakan utama yang penting dalam pengendalian infeksi nosokomial. Namun, kepatuhan dalam pelaksanaannya sangat sulit oleh karena beberapa hal yaitu iritasi kulit, sarana tempat dan peralatan cuci tangan yang kurang, pemakaian sarung tangan, terlalu sibuk, dan juga tidak terpikir untuk melakukan cuci tangan.122 Adapun hal-hal yang perlu diketahui dalam mencuci tangan adalah: 1. Mikroorganisme kulit 2. Tipe, tujuan dan metode mencuci tangan 3. Kepatuhan mencuci tangan 4. Jenis cairan dan lokasi tempat mencuci tangan 5. Kapan wajib mencuci tangan 6. Tujuh langkah mencuci tangan 7. Prosedur standar mencuci tangan rutin Prosedur standar mencuci tangan rutin adalah sebagai berikut :

Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua perhiasan. Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama selama tiga menit dengan larutan pencuci tangan antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan bagian sisi jari.

Bilas dengan air mengalir.

48

Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir Taruh cairan sabun/sabun antiseptik dibagian tangan yang telah basah Buat busa secukupnya Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik Bilas kembali dengan air bersih Tutup kran dengan siku Keringkan tangan dengan tissue Hindari menyentuh benda sekitarnya setelah mencuci tangan.

Kepatuhan para tenaga medis dalam mencuci tangan sangat rendah, namun ada alternatif untuk mengatasi hal tersebut, antara lain dengan menggosok tangan (handrubbing) dengan menggunakan cairan pembersih mengandung alkohol.123 Alternatif ini cukup menjanjikan karena tidak sulit dikerjakan, sehingga tingkat kepatuhan para tenaga medis bertambah dan dampak yang ditimbulkannya sama dengan mencuci tangan dengan sabun antiseptik.124,125,126 Hand-rubbing dilakukan sesudah

memegang satu bayi dan sebelum memegang bayi lain, sedangkan pada saat awal masuk ke ruang perawqtan cuci tangan sebaiknya cuci tangan dengan sabun antiseptik dan air mengalir. Dengan diberlakukannya kebijakan mengenai cuci tangan, dapat meningkatkan kepatuhan para tenaga medis.127 Penelitian Chelly Gunawan tentang efektifitas Etil Alkohol Gliserin 69% Hand Rub, dengan uji acak buta, didapatkan hasil yang tidak ada perbedaan bermakna pemakaian bahan tersebut dengan Alkohol Based Handrub yang digunakan di Eropa.128 Hand Rub diletakkan disetiap tempat tidur bayi agar memudahkan tenaga medis menggunakan dan mencegah penurunan kepatuhan dalam penggunaannya.

Gambar 10. Tujuh langkah mencuci tangan

129

Sumber: Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2005

49

Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi nosokomial. Hal yang sering ditemui adalah terbatasnya tempat cuci tangan, serta rasio pasien dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu, Hand Rub dan sosialisasi pentingnya mencegah infeksi sangat diperlukan. Selain itu, sangat membantu menurunkan kejadian luar biasa infeksi sepsis dan selulitis di bangsal seperti kejadian di Surabaya yang tercantum pada tabel dibawah ini.
Tabel 16. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Dokter dan Perawat dan Bidan di Ruang Neonatus Periode Mei 2002 ( 30 orang ) KRITERIA MEDIS BENAR 1 2 3 4 5 KRITERIA : a. b. c. d. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu Tindakan medis lain pakai sarung tangan Batuk pilek memakai masker 40 40 20 60 60 80 MEDIS SALAH PARAMEDIS BENAR 30 50 30 20 80 PARAMEDIS SALAH 70 50 70 80 20 0 100 30 70 TPP BENAR TPP SALAH

e. Disinfeksi kulit prosedural


Tabel 17. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang Neonatus Pasca Komunikasi dan Pengelolaan KLB ( 30 orang ) KRITERIA MEDIS BENAR 1 2 3 4 5 KRITERIA : a. b. c. d. e. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu Tindakan medis lain pakai sarung tangan Batuk pilek memakai masker Disinfeksi kulit prosedural 90 90 80 10 10 20 MEDIS SALAH PARAMEDIS BENAR 90 90 50 80 90 PARAMEDIS SALAH 10 10 50 20 10 50 50 80 20 TPP BENAR TPP SALAH

50

Tabel 18. Sepsis, Sepsis dengan Selulitis dan Kematian Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Saat KLB SEBELUM INTERVENSI BULAN SEPSIS DENGAN SELULITIS JANUARI FEBRUARI MARET APRIL 1 11 7 4 47,4% SESUDAH INTERVENSI BULAN SEPSIS DENGAN SELULITIS MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER 0 0 1 0 0 0 KEMATIAN SEPSIS DG SELULITIS 0 0 0 0 0 0 KEMATIAN SEPSIS DG SELULITIS 1(100%) 6(46%) 4(57%) 1(25%)

3.8.2.3. Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah terjadinya infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektifitas ASI tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi nosokomial pada bayi prematur yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi prematur yang mendapat susu formula (47,2%).130 Penelitian acak buta ganda pre dan post test control group design dengan pemberian probiotik selama 14 hari pada bayi prematur, dapat meningkatkan kadar imunoglobulin A sekretori feses sebanyak 19,7% dibanding yang tidak diberi probiotik. Diduga bakteri probiotik yang diberi sejak dini setelah lahir, mempunyai efek protektif terhadap infeksi dini yang umumnya terjadi di mukosa gastrointestinal.131 3.8.2.4. Pencegahan dengan menggunakan IVIG Dalam suatu studi meta-analisis yang dilakukan terhadap 4933 bayi yang mendapatkan profilaksis IVIG dan 110 bayi menerima IVIG sebagai terapi sepsis

51

dilaporkan bahwa pemberian IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis sepsis neonatal (khususnya pada bayi BBLR) dibandingkan bila dipakai sebagai terapi standar sepsis.96 3.8.2.5. Ruang Perawatan Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Jumlah pasien yang terlalu banyak, kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan, kurangnya handuk atau tissue, tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak nyaman, perawatan yang tidak baik terhadap ruangan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas ruangan isolasi, dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum. Setiap ruang perawatan terutama NICU memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi untuk 2 pasien yang terinfeksi, dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat memakai baju steril untuk tindakan invasif, dan tempat penyimpanan alat-alat atau material yang sudah dibersihkan. Menurut American Academic Pediatric, 2004 pelayanan kesehatan neonatus dibagi menjadi beberapa tingkatan (lihat tabel 19).132
Tabel 19. Tingkat Pelayanan Kesehatan Neonatus
133

Pelayanan Kesehatan Dasar Neonatus (Perawatan neonatus level I) : - Perawatan bayi normal - Resusitasi neonatus dan stabilisasi neonatus sebelum rujukan

Pelayanan Kesehatan Spesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level II) : - Level I + bayi berat lahir >1500 g - Resusitasi dan stabilisasi sebelum dirujuk ke level III Pelayanan Kesehatan Subspesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level III) : - Level IIIA Level II + ventilasi mekanik - Level IIIB Ventilasi mekanik lanjut dan tindakan bedah minor - Level IIIC Tindakan bedah lanjut (eg, omphalocele, tracheoesophageal fistula, esophageal atresia, myelomeningocele, ventriculoperitoneal shunt, dll) - Level IIID Tindakan bedah lanjut bedah kelainan jantung bawaan dan ECMO Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:13417

Secara lebih rinci, lingkungan perawatan bayi harus memenuhi kriteria berikut : Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan tidak ada jendela yang terbuka ke daerah luar. Semua jalan masuk ke ruang bayi harus ada wastafel dengan kran yang bisa dibuka/ditutup dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum masuk ruang bayi. Menghindari terlalu banyak orang di ruang bayi. Harus ada ruang atau daerah isolasi yang digunakan dengan benar.

52

Gaun penutup dan fasilitas untuk membuang benda sekali pakai harus ada di dekat pintu masuk. Lantai ruang bayi harus disapu setiap 8 jam untuk menghilangkan debu dan dipel sekali sehari dan/atau jika terlihat kotor. Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari jika terkontaminasi. Inkubator harus dilap dengan air steril sekali sehari atau jika terkontaminasi. Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara menyeluruh dengan larutan hipoklorida 10%. Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus ditempel pada setiap inkubator. Harus ada area yang khusus untuk melakukan desinfeksi inkubator. Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu untuk setiap tiga inkubator. Permukaan di ruang bayi harus dibersihkan dengan seksama sedikitnya sekali seminggu. Pemisahan limbah dibagi atas : a. Sampah infeksius (kantung berwarna kuning) Dapat berupa dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab, plester, masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong urin, sampah yang terkontaminasi dengan cairan tubuh. b. Sampah domestik/rumah tangga (kantong berwarna hitam) Dapat berupa kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus, kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang tidak terkontaminasi cairan tubuh pasien. c. Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning) Seperti jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas objek, lanset, sampah yang memiliki permukaan/ujung yang tajam. Semua limbah cair (darah, cairan suction dan sekresi) dibuang di sanitary sewer dan digelontor dengan air. Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan yang tahan tusukan dan air. 3.8.2.6. Petugas Jumlah petugas yang memadai diperlukan untuk memberikan asuhan kepada bayi dengan waktu cuci tangan yang adekuat diantara kontak dari bayi ke bayi. The American Academy Pediatrics (AAP) memberikan beberapa rekomendasi di bawah

53

Tabel 20. Jumlah staf berdasarkan level pelayanan Level Neonatal Unit Unit perawatan bayi normal (Level1) Unit Perawatan Transisi (Level II) Unit Perawatan Intensif (Level III)

133

Jumlah Perawat 1 perawat per 6-8 neonatus 1 perawat per 3-4 neonatus 1 perawat per 1-2 neonatus

Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:13417

3.9. Komplikasi Komplikasi sepsis neonatorum antara lain:5,133,134 Meningitis Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular. Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS). Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal. Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental Kematian

3.10. Prognosis Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira 2 %).5,135

54

BAB IV DISKUSI

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permasalahan seputar sepsis neonatorum terletak pada permasalahan penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan (profilaksis) sepsis neonatorum. Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala karena gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai keadaan lain yang disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis secara dini berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat mortalitas. Oleh karena itu, para ahli berupaya untuk dapat menegakkan diagnosis secara dini dengan membuat beberapa kriteria diagnosis untuk sepsis. Saat ini, banyak sekali ditemukan berbagai kriteria diagnosis yang telah dipergunakan di berbagai sarana kesehatan. Ada sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan diagnosis berdasarkan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10). Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.77
Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko Risiko mayor 6. 7. 8. 9. Ketuban pecah > 24 jam Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C Korioamnionitis Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit
77

10. Ketuban berbau Risiko minor 9. Ketuban pecah > 12 jam 10.Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C 11.Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 ) 12.Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram. 13.Usia gestasi < 37 minggu. 14.Kehamilan ganda. 15.Keputihan pada ibu. 16.Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati. Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90

Selain itu, pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan

55

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16
Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus Variabel Klinik Suhu tubuh tidak stabil Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen Letargi Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L ) Intoleransi minum Variabel Hemodinamik TD < 2 SD menurut usia bayi TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari ) TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan ) Variabel Perfusi Jaringan Pengisian kembali kapiler > 3 detik Asam laktat plasma > 3 mmol/L Variabel Inflamasi Leukositosis ( > 34000x10 /L ) Leukopenia ( < 5000 x 10 /L ) Neutrofil muda > 10% Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2 Trombositopenia <100000 x 10 /L C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL 16 S rRNA gene PCR : positif Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
9 9 9 16

Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun demikian, terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat diketahui setelah 48-72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara. Menurut survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000, pada SAD ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Grampositif (70,2%). Bakteri Gramnegatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering (47,9%) pada SAL (tabel 3).28

56

Saat ini, dengan berkembangnya teknologi kedokteran telah menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan CRP, Interleukin, PCR, Procalcitonin, dan lain sebagainya untuk menunjang diagnosis sepsis neonatorum. Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan seperti yang ditunjukkan dalam tabel 21. Pada dasarnya, pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis sepsis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu : Kelompok pemeriksaan penunjang konvensional, yang meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, kultur darah dan CRP. Kelompok pemeriksaan penunjang canggih : marker/petanda dan mediator. Permasalahan terletak pada fasilitas yang ada di tempat pelayanan masingmasing sangat bervariasi. Oleh karena itu, harus dipilih pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan kebutuhan di setiap sarana kesehatan. Mengenai penatalaksanaan, ditemukan permasalahan dalam pemberian antibiotik spektrum luas pada neonatus, mengingat toksisitasnya dan pola resistensi dikemudian hari. Sehingga perlu sekali untuk memberikan batasan indikasi yang jelas berdasarkan evidence based medicine mengenai pemberian antibiotik tersebut. Spektrum mikroorganisme yang menyebabkan sepsis neonatorum sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan juga antar daerah yang satu dengan daerah lainnya. Bahkan dapat pula berbeda dari rumah sakit satu dengan rumah sakit lainnya di daerah yang sama. Di sebagian besar negara berkembang, bakteri Gramnegatif tetap menjadi etiologi utama sepsis neonatorum, terutama pada SAD. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir, tampak telah terjadi peningkatan multidrugs resistence. Hal tersebut diperkirakan diakibatkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat, penjualan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter, kurangnya peraturan/perundang-undangan yang mengatur

penggunaan antibiotik, sanitasi yang buruk dan tidak efektifnya kontrol terhadap pelayanan persalinan. Di lain pihak, infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan, peningkatan mortalitas, serta semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik: Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis. Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB). Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).

57

Aktivitas

bakterisidal

serum

yang

lebih

tinggi

dibandingkan

hanya

menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria). Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal berikut: 1. Usia saat awitan penyakit, karena mikro-organisme penyebab SAD dan SAL berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda. 2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi. 3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan. Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan. 4. Farmakokinetik antibiotik. 5. Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan terapi antibiotik terdahulu). Berikut ini sepuluh langkah perencanaan penggunaan antibiotik: 1. Kultur darah (dan mungkin cairan serebrispinal dan atau urin) harus dimulai sebelum memulai terapi antibiotik. 2. Gunakan sedapat mungkin antibiotik spektrum sempit, seperti penisilin (piperacillin-tazobactam) dan aminoglikosida (amikasin). 3. Jangan memulai terapi dengan sefalosporin generasi ke tiga (sefotaksim, seftazidim) atau karbapenem (imipenem, meropenem). 4. Kembangkan kebijakan antibiotik lokal dan nasional untuk membatasi

penggunaan antibiotik spektrum luas yang mahal seperti imipenem untuk pengobatan empirik. 5. Percaya hasil kultur dan laboratorium mikrobiologi. 6. Peningkatan CRP bukan berarti sepsis. 7. Jika kultur darah steril dalam 2-3 hari, penghentian antibiotik hampir selalu aman dan tepat. 8. Usahakan untuk tidak menggunakan antibotik untuk waktu yang lama. 9. Obati sepsis bukan kolonisasi. 10. Lakukan yang terbaik untuk pencegahan infeksi nosokomial dengan cara menggalakkan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan. Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak positif antara lain :

58

Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin.95,96,97,108,109 Masalah pencegahan (profilaksis) juga dinilai perlu untuk diangkat ke permukaan karena sudah cukup banyak penelitian mengenai risiko dan manfaatnya di luar negeri namun belum dipakai di Indonesia karena masih diragukan manfaatnya. Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan lambat (SAL). Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis sebesar 86%.119 Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain : 1. Pemantauan yang berkelanjutan 2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien 3. Bentuk ruang perawatan 4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai 5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan 6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral 7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal 8. Pemakaian antibiotik yang rasional 9. Program pendidikan 10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.120 dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat

menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB

59

Tabel 21. Perbandingan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Sepsis Neonatorum Pemeriksaan Penunjang
28,59,60

Overview

Sensitivitas

Spesifisitas

Possitive predictive value

Negative predictive value

Kelebihan

Kekurangan

Kultur darah

dapat dilakukan pada SAD maupun SAL

standar emas

baku

hasil baru dapat dilihat 48-72 jam cara pengambilan spesimen khusus jumlah darah yang diambil cukup banyak (1cc) hasil positif palsu: kontaminasi dalam pengambilan sampel hasil negatif palsu: sampel terlalu sedikit

Kultur urin

5,22,61

bila dicurigai terdapat infeksi saluran kemih

cara pengambilan spesimen

60

khusus,

yaitu:

kateterisasi steril/ aspirasi suprapubik dilakukan pada

anak yang lebih besar memberikan hasil yang lebih baik pada SAL Pewarnaan Gram
62

membedakan Gramnegatif positif

kuman atau

dapat digunakan pada fasilitas lab yang terbatas bermanfaat pada awal pengobatan

terdapat kesalahan baca

pada 0,7% kasus

dapat Hitung trombosit


5

mendeteksi dalam 2-3 hari pertama kehidupan. mudah dilakukan biaya murah

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit


5

mudah dilakukan biaya murah

pemeriksaan tidak spesifik

61

IT ratio

menghitung neutrofil imatur

rasio dan

60-90%

neutrofil total D-dimer


64,65,66,67,68

hasil

pemecahan

tidak

spesifik

cross-linked fibrin CRP


72

untuk sepsis 60% 78,94% 48,77% 66,66% 99,7% (serial pada SAD) 98,7% (serial pada SAL) biaya murah tidak direkomendasika n sebagai

protein yang disintesis di hepatosit dan

muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan

indikator tunggal dalam mendiagnosis sepsis bereaksi cepat CRP lebih daripada biaya mahal

Procalcitonin

Merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat 13 kDa, merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid, yg dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah.

92,6% (SAD) 100% (SAL)

97,5% (SAD) 100% (SAL)

Interleukin IL6, IL8 petanda infeksi yang 100%

tidak direkomendasikan sebagai

62

disintesis

oleh

sel

indikator tunggal dalam mendiagnosis sepsis

monosit, endotel dan imunitas

PCR

96%

94%

88,9%

99,8%

mampu memberi-kan informasi kuman cepat dapat mendeteksi infeksi invasif jamur jenis secara

hanya

dapat

dilakukan di RS Rujukan/ Pendidikan

63

BAB V ANALISIS BIAYA

Penyusunan suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost, indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan Sepsis Neonatorum di rumah sakit, meliputi: 1. Komponen Diagnostik Pemeriksaan kultur darah Pemeriksaan kultur urin Pemeriksaan kultur LCS Pewarnaan Gram Pemeriksaan Hematologi (darah perifer lengkap, IT ratio, D-dimer, Fibrinogen, Thrombin-antithrombin III complex (TAT), PT, APTT, Analisis Gas Darah dan elektrolit) Pemeriksaan Acute phase proteins and other Procalcitonin) Chemokines, cytokines and adhesion Interleukin 8) Laktat Gula darah Pemeriksaan Radiografi Thorax USG Abdomen CT Scan Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi 2. Komponen Terapi Pemberian Antibiotik Terapi Suportif (Intravenous immunoglobuline, transfusi tukar, pemberian fresh frozen plasma, pemberian kortikosteroid pada kepsis neonatorum) 3. Jasa Tindakan Medik Saat ini sedang disusun Sistem Case-mix dalam INA DRG (Indonesian Diagnosis Regiment Group) oleh Departemen Kesehatan RI untuk Rumah Sakit Pemerintah sehingga diharapkan di masa depan akan ada kesamaan biaya untuk suatu penyakit tertentu dengan kategori atau kriteria yang sama. molecules (Interleukin 6 dan proteins (C Reactive Protein,

64

BIAYA PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM DI RS CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA DAN RS KARIADI SEMARANG.

NO 1

RSUP Kariadi JENIS KEGIATAN RSUPN CM III KOMPONEN DIAGNOSTIK - Pemeriksaan kultur darah - Pemeriksaan kultur urin - Pemeriksaan kultur jamur - Pewarnaan Gram - Pemeriksaan Hematologi a. Darah perifer lengkap b. D-dimer c. Fibrinogen d. Thrombin-antithrombin III complex (TAT) e. PT f. APTT g. Analisis gas darah dan elektrolit h. IT ratio Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 25.000 134.000 51.000 220.000 86.500 86.500 150.000 10.000 Rp 48.250 Rp 218.000 Rp 63.500 Rp. 138.500 Rp 32.000 Rp 32.000 Rp 142.500 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 59.500 237.000 70.000 167.000 40.000 40.000 165.000 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 63.000 245.000 75.000 175.000 42.000 42.000 173.500 Rp Rp Rp Rp 180.000 180.000 310.000 26.000 Rp 122.500 Rp 88.000 Rp 53.000 Rp 20.500 Rp Rp Rp Rp 145.000 125.000 63.000 31.000 Rp Rp Rp Rp 152.000 132.000 70.000 32.500 II / I / UTAMA PRIVATE / VIP

65

- Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins a. C Reactive Protein b. Procalcitonin - Chemokines, cytokines and adhesion molecules a. Interleukin 6 b. Interleukin 8 - Laktat - Pemeriksaan rdiografi torax - USG kepala - USG Abdomen - CT Scan a. Tanpa kontras b. Dengan kontras - Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi Rp Rp Rp 450.000 600.000 100.000 Rp 500.000 Rp 868.000 Rp 132.000 Rp 600.000 Rp Rp Rp 650.000 1.115.000 190.000 Rp Rp Rp Rp 224 USD 224 USD 225.000 65.000 190.000 210.000 Rp 67.000 Rp 75.000 Rp 216.000 Rp 216.000 Rp Rp Rp Rp 73.500 90.000 235.000 235.000 Rp Rp Rp Rp 75.000 107.000 285.000 285.000 Rp Rp 30.000 500.000 Rp 27.000 Rp 42.000 Rp 49.000

Rp 1.007.000 Rp 155.000

KOMPONEN TERAPI

- Pemberian Antibiotik a. Amoxiclav vial @ 1 gram b. Garamycin vial - 20 mg Rp 28.000 Rp 90.000 Rp 85.021 Rp 85.021 Rp 85.021

66

- 60 mg - 80 mg c. Ceftazidim vial 1 gram d. Piperacillin vial 4,5 gram - Terapi Suportif a. Intravenous immune globulin b. Transfusi Tukar c. Pemberian Fresh Frozen Plasma

Rp Rp Rp Rp

58.000 70.000 18.500 363.000 Rp 32.604 Rp 32.604 Rp 32.604

Rp

750.000 Rp. 343.902 Rp. 44.056 Rp. 343.902 Rp. 44.056 Rp. 343.902 Rp. 44.056

Rp. 1.142.400 Rp. 84.500

JASA TINDAKAN MEDIK - Untuk tindakan Transfusi tukar - Untuk tindakan transfuse Rp Rp 500.000 25.000 Rp 134.000 Rp 134.000 Rp 134.000

67

Perhitungan biaya untuk penderita sepsis neonatorum didasarkan pada berat ringannya penyakit yang diderita. Untuk biaya perawatan dan jasa tindakan medik, tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah masing-masing. Perkiraan biaya yang akan dikeluarkan oleh penderita sepsis neonatorum yaitu : Sepsis Neonatorum Ringan / Suspek Neonatal Sepsis pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2 x Rp.180.000) pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) pewarnaan Gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) pemeriksaan C-Reactive Protein (rutin) pemeriksaan IT Rasio (untuk nutrisi : pasien dapat minum biasa rutin ) untuk pemeriksaan radiologi dan USG : tidak diperlukan pemberian antibiotik selama 3 - 7 hari Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000 Garamycin vial - 20 mg Rp. 28.000 - 60 mg Rp. 58.000 - 80 mg Rp. 70.000 Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500 Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000 Sepsis Neonatorum Sedang infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah (selama 4 hari) hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2 x Rp.180.000) pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) pewarnaan gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) 2 x 25.000 pemeriksaan C-Reactive Protein (rutin) pemeriksaan IT Ratio (rutin) pemberian antibiotik selama 14 hari Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000 Garamycin vial - 20 mg Rp. 28.000 - 60 mg Rp. 58.000 2 x 30.000 2 x 10.000 = Rp. 360.000 = Rp. 360.000 = Rp. 26.000 = Rp. 50.000 = Rp. 60.000 = Rp. 20.000 = Rp. 360.000 = Rp. 360.000 = Rp. 26.000 = Rp. 25.000 = Rp. 30.000 = Rp. 10.000

68

- 80 mg Rp. 70.000 Ceftazidim vial 1 GramRp. 18.500 Piperacillin vial 4,5 GramRp. 363.000 = Rp. 65.000 = Rp. 100.000 = Rp. 190.000

Pemeriksaan radiologi thorax Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi Pemeriksaan USG kepala

Sepsis Neonatorum Berat infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah (selama 7 hari) hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2x Rp.180.000) pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) pewarnaan gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) 2 x 25.000 pemeriksaan C Reactive Protein (rutin) pemeriksaan IT Ratio (rutin) 2 x 30.000 = Rp. 360.000 = Rp. 360.000 = Rp. 26.000 = Rp. 50.000 = Rp. 60.000 = Rp. 20.000

2 x 10.000

pemberian antibiotik selama 14 hari Amoxiclav vial @ 1 GramRp. 90.000 Garamycin vial - 20 mg Rp. 28.000 - 60 mg Rp. 58.000 - 80 mg Rp. 70.000 Ceftazidim vial 1 GramRp. 18.500 Piperacillin vial 4,5 GramRp. 363.000 Pemeriksaan radiologi thorax Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi Pemeriksaan USG kepala Pemeriksaan kultur jamur Pemeriksaan PT Pemeriksaan APTT Terapi Suportif Intravenous immune globulin Transfusi Tukar = Rp. 750.000 = Rp. 1.141.560 = Rp. 65.000 = Rp. 100.000 = Rp. 190.000 = Rp. 310.000 = Rp. 86.500 = Rp. 86.500

69

Pemberian Fresh Frozen Plasma

= Rp. 223.000

KONDISI DI INDONESIA Sepsis neonatorum merupakan masalah kesehatan neonatal dengan angka kematian yang masih cukup tinggi dengan biaya yang masih cukup mahal Sistem rujukan neonatal sangat memegang peran penting dalam tinggi rendah nya angka morbiditas dan mortalitas neonatal. Sistem ini belum terwujud dan terlaksana dengan baik Fasilitas Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan neonatal dan pemeriksaan penunjang sangat berbeda di beberapa daerah atau Rumah Sakit. Penggunaan antibiotik secara rasional masih belum memuaskan. Dukungan nutrisi merupakan salah satu komponen yang penting dalam menunjang tatalaksana sepsis neonatorum namun kadang justru menambah infeksi nosokomial karena pemberian total parenteral nutrisi yang tidak tepat. Salah satu hal yang dapat meninggikan angka infeksi dan sepsis neonatorum adalah kemasan cairan dalam volume besar (500 cc) yang terlalu besar untuk kebutuhan harian bagi bayi dengan infeksi atau sepsis neonatorum sehingga sering dalam memenuhi kebutuhan cairan sering dilakukan penusukan botol infus yang berulang kali yang menyebabkan infeksi.

70

BAB VI REKOMENDASI

I.

Bahwa sepsis neonatorum masih merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B]

II. HTA (Health Technology Assessment) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai mitra bestari (stake holder) berusaha untuk melakukan penilaian dan kajian dari berbagai aspek terutama aspek teknologi kedokteran sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia yang diharapkan dapat memberi manfaat dalam penanggulangan masalah sepsis neonatorum, meliputi : 1. Penegakan diagnosis 2. Penatalaksaan 3. Pencegahan 2.1. Penegakan diagnosis : Penegakan diagnosis sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan standar klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor. Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan penunjang. Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi. Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis atau dugaan sepsis sangat penting. Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di tempat pelayanan kesehatan: Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang konvensional dianjurkan untuk melakukan : Skrining Infeksi maternal

71

Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio. Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk pemeriksaan penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan penunjang

konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat indikasi dapat melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan fasilitas yang ada, seperti pemeriksaan prokalsitonin, dan lain-lain. 2.2. Penatalaksanaan Mengingat bahwa fasilitas sarana kesehatan dan sumber daya yang bervariasi di Indonesia maka penatalaksanaan sepsis neonatorum sebaiknya sebagai berikut : Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik: Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis. Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB). Beberapa mikroorganisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp). Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya IgG, IgM, sitokin, interleukin, PCR,

menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria). Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak positif antara lain : Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A] Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal berikut: 1. Usia saat awitan penyakit, karena mikroorganisme penyebab SAD dan SAL berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda. 2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi. 3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan. Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan. Oleh karena

72

itu, diharapkan setiap sarana kesehatan dapat melakukan pemeriksaan mikroorganisme secara berkala untuk mengetahui pola resistensi kuman. 4. Farmakokinetik antibiotik. Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan terapi antibiotik terdahulu). 2.3. Pencegahan Mengingat penyebab sepsis neonatorum adalah multifaktoral maka perlu dipikirkan pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan,

persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan secara umum :


o o

Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur. Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi TORCH, infeksi saluran kemih, dll.

o o

Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan. Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan anemia.

Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ancaman persalinan kurang bulan.

ibu dengan

o o

Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda. Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :

Persalinan yang bersih dan aman Stabilisasi suhu Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi yang baik dan benar sesuai dengan kompetensi penolong

Pemberian ASI dini dan eksklusif Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi

Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi

Pencegahan secara khusus Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan lambat (SAL). a. Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis

73

neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%. [Rekomendasi B] b. Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain: 1. Pemantauan yang berkelanjutan 2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien 3. Bentuk ruang perawatan 4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai 5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan 6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral 7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal 8. Pemakaian antibiotik yang rasional 9. Program pendidikan 10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol. [Rekomendasi A] III. Departemen Kesehatan RI diharapkan sekuat daya dan tenaga untuk: Memasukkan Sistem Rujukan dan Transportasi Perinatal ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sehingga secara sentral masalah kesehatan neonatal dapat ditangani secara terpadu dan tuntas. Membantu melengkapi sumber daya: manusia, fasilitas, sarana, mulai dari tingkat komunitas, puskesmas, rumah sakit rujukan tingkat kabupaten dan propinsi. Melaksanakan program-proGramdi bidang kesehatan neonatal secara terpadu, kontinyu dan komprehensif untuk kesehatan neonatal. Bersama-sama dengan mitra bestari (stake holder) memperbaiki Sistem Rujukan Perinatal termasuk melengkapi infrastruktur, sarana dan lain-lain. Melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi agar mengupayakan sediaan cairan infus yang digunakan untuk Nutrisi Parenteral Total pada bayi baru lahir yang dapat dibuat dalam bentuk dan volume yang kecil : 100 125 cc. Hal ini selain berdampak pada efisiensi biaya karena tidak banyak cairan yang terbuang, juga mempunyai dampak dalam mencegah infeksi nosokomial dan sepsis neonatorum akibat pemberian infus atau nutrisi parenteral total.

74

DAFTAR PUSTAKA

1 2

WHO. Perinatal mortality. Report No.: WHO/FRH/MSM/967. Geneva: WHO, 1996. Darmstadt GL, Bhutta ZA, Cousens S, Adam T, Walker N, Bernis L. Evidencebased, cost-effective interventions: how many newborn babies can we safe?. Lancet 2005; 365: 977-88. [Tingkat Pembuktian IV]

WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development. www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_ world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb]

Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal mortality, Report of a meeting, Baltimore, Maryland, 1999; 3(1):6-12.

Andersen-Berry, AL. Neonatal Sepsis. Diunduh dari: www.emedicine.com. Last updated August 18th 2006. cited at December 13th 2006. [Tingkat Pembuktian IV]

Shattuck KE, Chonmaitree T. The changing spectrum of neonatal meningitis over a fifteen-year period. Clin Pediatr 1992, 31:130-136.

Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J. The epidemiology of severe sepsis in children in the United States. Am J Respir Care Med 2003;167:695-701.

Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 3243. [Tingkat Pembuktian IV]

9 10

Modul Sepsis Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No.

1202/MENKES/SK/VIII/2003. Dalam: Indikator Indonesia Sehat dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2003. 11 Magudumana MO, Ballot DE, Cooper PA, et al. Serial interleukin 6 measurement in the early diagnosis of neonatal sepsis. J Trop Pediatr 2000; 46: 267-71. 12 Kuster H, Weiss M, Willeitner AE, et al. Interleukin-1 receptor antagonist and interleukin-6 for early diagnosis of neonatal sepsis 2 days before clinical manifestation. Lancet 1998;352:1271-1277.

75

13

Fisher CJ, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock with the tumour necrosis factor: Fc fusion protein. N Engl J Med 1996; 334:1697702. [Tingkat Pembuktian Ib]

14

Aminullah A, Rohsiswatmo R, Amir I, Situmeang E, Suradi R,: Etiology of Early and Late Sepsis in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Preliminary Report). Abstract 12th National Congress of Child Health and 11th Asean Pediatric Federation Conference, Bali, 2002; p. 125.

15

Remington, Klein. Bacterial Sepsis and Meningitis. In: Infectious Diseases of the Fetus and Newborn, Infant. 4th Edition. W. B. Saunders. 1995. h: 836-90.

16

Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9.

17

Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn infants. Available at: URL: http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian Ia]

18

Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33. [Tingkat Pembuktian IV] Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, OSullivan MJ, et al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis: A Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat Pembuktian IIb]

19

20

Mupanemunda

RH,

Watkinson

M.

Infection-Neonatal.

In:

Harvey

DR,

Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6. 21 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,

Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 147-150. 22 Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 2002; 31: 3-8. 23 Moodi N, Carr R. Promising stratagems for reducing the burden of neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 83:F150-F153. 24 Osrin D, Vergnano S, Costello A. Serious bacterial infections in newborn infants in developing countries. Curr Opin Infect Dis 2004.17:217-224.

76

25

Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 17-31. [Tingkat Pembuktian IV]

26

Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat. Pidato pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI, 28 Januari 2004.

27

Bellig

LL,

Ohning

BL.

Neonatal

sepsis.

Diunduh

dari:

http://www.emedicine.com/ped/topic2630.htm 28 D Kaufman et al. clinical microbiology of bacterial and fungal sepsis in vey-lowbirth-weight infants. Clin Microb Rev 2004, 641. 29 Goldstein B, Giroir B, Randolph A. Members of the International Consensus Conference on Neonatal Sepsis. Definitions for Sepsis and Organ Dysfunction in Pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8 30 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60. 31 Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723. 32 Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the future. Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future treatment. BMJ 2003;326:262-266. 33 Short MA. Linking The Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation and Suppressed Fibrinolysis to Infants. Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73. 34 35 Gauser, Crit Care Med 2000. Bone RC. A Continuing evolution in our understanding of the systemic inflammatory response syndromes (SIRS) and the multiple organ dysfunction syndromes (MODS). Ann Intern Med 1996; 125: 80-7. 36 Carrigan SD, Scott G, Tabrizian M. Toward resolving the challenges of sepsis diagnosis. Clinical Chemistry 2004; 50:8:1301-14. [Tingkat Pembuktian IV] 37 Bernard GR. The pathophysiology and treatment of sepsis: a review of current information CME. Diunduh dari : http://www.medscape.com/viewprogram/1890. 38 Bone RC. Pathogenesis of disseminated intravascular coagulation in sepsis.JAMA 1993;270:975-9. 39 Mathay MA. Severe sepsis: a new treatment with both anticoagulant and antiinflammatory properties. N Engl J Med 2001; 44:759-61.

77

40

Levi M. Current understanding of disseminated intravascular coagulation. Br J Haem 2004;124:567-76.

41

Nystrom P.O. The systemic inflammatory response syndrome: definitions and aetiology. J Antimicrob Chemother 1998; 41:Suppl A 1-7.

42

Gomella TL. Neonatal Sepsis. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, penyunting. Neonatology management procedures on call problem diseases drugs. Edisi ke-4. New York: Lange Medical Books/McGrawHill; 1999. h.408-14.

43

Monintja HE. Infeksi sistemik pada neonatus. Dalam: Yu VY, Monintja HE, penyunting. Beberapa Masalah Perawatan Intensif Neonatus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h. 217-30.

44

Gotoff SP. Infections of the neonatal infant. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB Saunders; 2000. h.538-52.

45

Mc Cracken GH. Bacterial and viral infections of the newborn. Dalam: Avery GB, penyunting. Toronto: JB Lippincott Company; 1981. h.723-33.

46

Speck WT, Aronoff SC, Fanaroff AA. Neonatal infections. Dalam: Klaus MH, Fanaroff AA, penyunting. Care of the high risk neonates. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 1986. h.262-85.

47

Yancey MK, Duff P, Kubilis P, Clark P, Frentzen BH. Risk factors for neonatal sepsis. Obst Gynecol 87:188-94. 1996.

48

Orlando Regional Health Care, Education & Development. Neonatal sepsis selflearning packet 2002. Diunduh dari:

http://www.orhs.org/classes/nursing/sepsis02pdf. 49 Saez-Lorenz X, McCracken GH,Jr. Perinatal bacterial disease. Feigin RD, Cherry JD eds. Textbook of Pediatrics Infectious Diseases. 1998: 892-926. WB Saunders Philadelphia. 50 Pusponegoro TS. Sepsis pada neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatri 2000; 2:96-102. 51 Mahieu LM, Muynck AO, Dooy JJ, Laroche SM, Acker KJ. Prediction of nosocomial sepsis in neonates by means of a computer-weighted bedside scoring system (NOSEP Score). Crit Care Med 2000;28:2026-33.

78

52

Pong A, Bradley JS. Bacterial meningitis and the newborn infant. Infect Dis Clin North Am. 1999; 13:711-33.

53

Isaacs D. Neonatal sepsis: the antibiotic crisis. Indian J Pediatr 2005; 42: 9-13. [Tingkat Pembuktian IV]

54

Tantalen JA, Len RJ, Santos AA, Snchez E. Multiple organ dysfunction syndrome in children. Pedatr Crit Care Med 4(2), 2003. [Tingkat Pembuktian IIIa] Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000. Departemen Kesehatan RI UKK Perinatologi IDAI MNH-JHPIEGO. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, perawat, bidan di rumah sakit. Kosim MS, Surjono A, Setyowireni D, penyunting. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2004.

55 56

57

Vergnano S, Sharland M, Kazembe P, Mwansambo C, et al. Neonatal sepsis: an international perspective. Archives of disease in childhood fetal and neonatal edition 2005;90:F220-FF224. [Tingkat Pembuktian IV]

58

Kumar Y, Qunibi M, Neal TJ, Yoxall CW : Time to positivity of neonatal blood cultures Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;85:F182-F186 ( November ).

59

Schelonka et al. Volume of blood needed to detect common neonatal pathogens. J. Pediatr. 129: 275-8, 1996. Kuschel C. National womens newborn services clinical guidelines. Antibiotics for neonatal sepsis. August 2003. [Tingkat Pembuktian IV]

60

61

Rand KH, Tillan M. Errors in interpretation of Gramstains from positive blood cultures. Am J Clin Pathol.2006;126(5): 686-690.

62

Ng PC. Diagnostic markers of infection in neonates. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235. doi: 10. 1136/adc.2002.023838.

63

Bauer KA, Weitz JI. Laboratory markers of coagulation and fibrinolysis. In: Colman RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis: Basic Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins 2001 p. 1113- 29.

64

Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF. Abnormalities of hemostasis in malignancy. In: Colman RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis: Basic Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins 2001. p. 1132- 52.

79

65

Kolde HJ. Haemostasis: physiology, pathology, diagnostics. 2nd ed. Basel: Pentapharm Ltd. 2004 p130.

66

Muller-Berghaus G, ten Cate H, Levi M. Disseminated intravascular coagulation: clinical spectrum and established as well as new diagnostic approach. Thromb Haemost 1999; 82(2): 706-12.

67

Wells PS, Hirsh J, Anderson DR, et al. Accuracy of clinical assessment of deep vein thrombosis. Lancet 1995; 345: 1326.

68

Berger C, Uehlinger J, Ghelfi D et al. Comparison of C-reactive protein and white cell count with differential in neonates at risk for septicaemia. Europ J Pediatr 1995; 154(2) : 138-144.

69

Kawamura

M,

Nishida

H.

The

usefulness of

serial

C-reactive

protein

measurements in managing neonatal infection. Acta Paediatr 1995; 84: 10-13. 70 Mustafa S, Farooqui S, Waheed S, Mahmood K. Evaluation of C-reactive protein as early indicator of blood culture positivity in neonates.Pak J Med Sci 2005;21(1):69-73. 71 Weitkamp JH, Aschner JL. Diagnostic use of C-reactive protein (CRP) in assessment of neonatal sepsis. Amer Acad Ped. 2005;6(11). 72 http://neoreviews.aappublications.org/subjournals/neoreviews/html/content/vol6/issue11/images/large/zni0110523810003.jp eg 73 Kruger M, Nauck MS, Sang S, Hentschel R, Wieland H, Berner R. Cord blood level of interleukin-6 and interleukin-8 for the immediate diagnosis of early-onset infection in premature infants. Biol Neonate 2001; 80: 118-123. 74 Franz AR, Steinbach G, Kron M, Pohlandt F. Reduction of unnecessary antibiotic therapy in newborn infants using interleukin-8 and C-reactive protein as markers of bacterial infections. Pediatrics 1999; 104 (3): 447-453. 75 Yadav K, Wilson CG, Prasad PL, Menon PK. Polymerase chain reaction in rapid diagnosis of neonatal sepsis. Indian pediatric 2005; Pembuktian IIIa]. 76 Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90. 42: 681-5. [Tingkat

80

77

Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Study of The usefulness of clinical and hematologic findings in the diagnosis of neonatal bacterial infections. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6.

78

Philip AG, Hewitt JR. Early diagnosis of neonatal sepsis. Pediatrics 1980; 65:103641.

79

Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. Early diagnosis of neonatal sepsis.using a hematologic scoring system. J Pediatr 1998; 112: 761-7.

80

Rahman S, Hmeed A, Roghani MT, Ullah Z. Multidrug resistent neonatal sepsis in Peshawar, Pakistan. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002; 87: F52-4. [Tingkat Pembuktian IIIa]

81

Gould IM. A review of the role antibiotics policies in control of antibiotic resistance. J Antimicrob Chemother 1999; 43: 459-65.

82

Rohsiswatmo R. Multidrug resistant in a neonatal unit the therapeutic implications. Paedtr Indones.

83

R Kee TK, Nachal N, Hong MS, Jazilah W, Zakaria SZS, Taib CHM. Rational antibiotic utilization in selected pediatric condition. Sivatal S, penyunting. Diunduh dari: http://www.acadmed.org.my/cpg/CPG-RAUP.nachal.pdf.

84

Deorari A. Neonatal Sepsis Update. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings book 13th National Congress of Child Health KONIKA XIII, Bandung: Hasan Sadikin General Hospital, 2005.h.61-9.

85

Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Intrapartum antibiotics prophylaxis increases the incidence of Gramnegative neonatal sepsis. Infect Dis Obstet Gynecol 1999; 7: 210-3.

86

Garges HP, Alexander KA. Newer antibiotics: imipenem/cilastatin and meropenem. Neo Rev 2003; 4: e364-8.

87

Isaacs D. Rationing antibiotics use in neonatal units. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 82: F1-2.

88

Perez MM, Weisman LE. Novel Approaches to the prevention and therapy of neonatal bacterial sepsis. Clin Perinatol 1997; 24: 213-29.

89

Weiss MD.;. Burchfield DJ. Adjunct therapies to bacterial sepsis in the neonate. NBIN 2004; 4(1):46-50.

90

Carcillo JA . New developments in the management of newborn sepsis, shock and multiple organ failure. Ital J Pediatr 2004; 30: 383-392. [Tingkat Pembuktian IV]

81

91

Boehme U, Sidiropoulos, Muralt GV, et al. Immunoglobulin supplementation in prevention and treatment of neonatal sepsis. Pediatr Infect Dis J 1986; 5 : S19395.

92

Weisman LE, Stoll BJ, Kueser TJ, et al. Intravenous immune globulin therapy for early onset sepsis in premature neonates. J Pediatr 1992; 121 : 431-43.

93

Ohlsson A, Lacy JB. Intravenous Immunoglobulin for Suspected or Subsequently Proven Infection in Neonates. The Cohcrane Library 2000; issue 2.

94

Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBV. Intravenous Imunoglobulin for treating Sepsis and Septic Shock. The Cochrane Library 2000; issue 2.

95

Jenson HB, Pollock BH. Meta-analyses of the effectiveness of intravenous immune globulin for prtevention and treatment of neonatal sepsis. American Academic of Pediatrics 1997; 99(2). [Tingkat Pembuktian Ia]

96

Acunas BA, Peakman M, Liossis G, et al. Effect of fresh frozen plasma and gammaglobulin on humoral immunity in neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1994;70:F182-F187.

97

Mathur NB, Singh A, Sharma VK, et al. Evaluation of risk factors for fatal neonatal sepsis. Indian Pediatr 1996;33:817-822.

98

Mohan P, Brocklehurst P. Granulocyte transfusions for Neonates with confirmed or suspected sepsis and neutropaenia (Cochrane Review). The Cochrane Library 2003; issue 4. [Tingkat Pembuktian Ia]

99

Miura E, Procianoy RS, Bittar C, Miura CS, Melo C, Miura MS. Assessing the efficacy of the recombinant human granulocyte colony-stimulating factor in the treatment of early neonatal sepsis in premature neonates. Journal de Pediatria 2000; 76(3): 193-9. [Tingkat Pembuktian Ib]

100 Murray JC, McClain KL, Wearden ME, et al. Using granulocyte colony-stimulating factor for neutropenia during neonatal sepsis. Arch Pediatr Adolesc Med 1994;148:764-766. 101 Bedford Russel AR, Emmerson AJ, Wilkinson N. A trial of recombinant human granulocyte colony stimulating factor for the treatment of very low birthweight infant with presumed sepsis and neutropenia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001; 84: F172-6.

82

102 Jones LL, Schwartz AL, Wilson DB. Blood component therapy for the neonate. Dalam: Fanaroff AA, Martin RJ, penyunting. Neonatal-perinatal medicine: disease of the fetus and infant. Edisi kelima. St.Louis: Mosby, Inc; 2002. h. 1239-47. 103 Pearson AH. The Rise and fall of exchange transfusion. Neo Rev 2003; 4: 16974e. 104 Olewnik AB. Exchange transfusion. Dalam: Spitzer AR, Penyunting Intensive Care of The Fetus and Neonates. Edisi ke-2. St.Louis: Mosby,inc;1991.h.1192-4. 105 Murray NA, Roberts IAG. Neonatal transfusion practice. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89:F101-7. 106 Rohsiswatmo R. Indikasi transfusi tukar pada sepsis neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 92-98. [Tingkat Pembuktian IV] 107 Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. Presentation at the Fifth National Conference of Pediatric Infectious Diseases, Surat, Nov 29 to Dec 1, 2002 Available in : http//www. \Meta nalysis Prematurity and infection in newborns -- Indian Academy of Pediatrics, Surat CME.htm 108 Haque K, Mohan P. Pentoxifylline for neonatal sepsis. Reviewed by Vogin GD. Pediatr Infect Dis J. 2004; 23: 346-9. [Tingkat Pembuktian Ia] 109 Gitto E, Karbownik M, Reiter RJ, TanDX, Cuzzocrea S, Chiurazzi P, et al. Effects of melatonin treatment in septic newborns. Pediatric Research 2001; 50: 756-60. [Tingkat Pembuktian IIb] 110 Gerard C, Bruyns C, Marchant A, et al. Interleukin 10 reduces the release of tumor necrosis factor and prevents lethality in experimental endotoxemia. J Exp Med1993;177:54750. 111 Howard M, Muchamuel T, Andrade S, et al. Interleukin 10 protects mice from lethal endotoxemia. J Exp Med 1993;177:12058. 112 Akib AAP. Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan sepsis. In: Update in Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 117-122. [Tingkat Pembuktian IV] 113 Keh D. Corticosteroid therapy in sepsis: where are we? Adv Sepsis 2006; 5(4): 138-40. [Tingkat Pembuktian IV] 114 Seri I, Tan R, Evans J, et al. Cardiovascular effects of hydrocortisone in preterm infants with pressor-resistant hypotension. Pediatrics 2001;107:1070-1074.

83

115 Annane D, Sebille V, Charpentier C etal. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA 2002; 288: 862-71. 116 Hendarto A, Prawitasari T. Dukungan nutrisi pada sepsis neonatorum. In: Update in Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 111-6. [Tingkat Pembuktian IV] 117 Lancet Neonatal Survival Series, Series 2. Diunduh dari http://www.thelancet.com. Maret. 2005. 118 Benitz WE, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial prevention of early-onset group b streptococcal sepsis: estimates of risk reduction based on a critical literature review. Pediatrics 1999; 103; 78. [Tingkat Pembuktian IIa] 119 Clark R. Power R, White R, bloom B, Sanchez P, Benjamin DK. Prevention and treatment of nosocomial sepsis in the NICU. Journal of perinatology 2004; 24: 44653. [Tingkat Pembuktian Ia] 120 Craft AP, Finer NN, Barrington KJ. Vancomycin for Prophylaxis against sepsis in preterm neonates: meta-analysis. The Cohcrane Lybrary, issue 1, 2000. [Tingkat Pembuktian Ia] 121 Short MA. Guide to a systematic physical assessment in the infant with suspected infection and/or sepsis. Adv Neonat Care 2004 ; 4(3):141-153. 122 Larson EL. APIC guideline for handwashing and hand antisepsis in healthcare setting. AJIC AM J InfectControl 1995; 23: 251-69. 123 Furtado GHC, Santana SL, Coutinho AP, Perdiz LB, Wey SB, Medeiros EAS. Compliance with handwashing at two intensive care units in Sao Paulo. Braz J Infect Dis 2006; 10 (1). 124 Doebbeling BN, Stanley GL, Sheetz CT, Pfaller MA, Houston AK, Annis L, et al. Comparative efficacy of alternative hand-washing agents in reducing nosocomial infections in intensive care units. NEJM 1992 ; 327(2) :88-93. 125 Parienti JJ, Thibon P, Heller R, et al. Hand-rubbing with an aqueous alcoholic solution vs traditional surgical hand-scrubbing and 30-day surgical site infection rates: a randomized equivalence study. JAMA 2002 ; 288 : 722-7. [Tingkat Pembuktian IIa] 126 Girou E, Loyeau S, Legrand P, et al. Efficacy of handrubbing with alcohol based solution versus standard handwashing with alcohol based solution versus standard

84

handwashing with antiseptic soap: randomized clinical trial. BMJ 2002; 325 : 3625. [Tingkat Pembuktian IIa] 127 Sharek PJ, Benitz WE, Abel NA, Freeburn MJ, Mayer ML, Bergman DA. Effect of an evidence-based hand washing policy on hand washing rates and false-positive coagulase negative staphylococcus blood and cerebrospinal fluid culture rates in a level iii nicu. Journal of Perinatology 2002 ; 22(2) : 137-43. 128 Gunawan C. Efficacy of ethyl alcohol glycerin 69% in neonatal ward Dr.Sutomo Hospital. ISSN 0303-7932 . 2004 ; 40(3):121-31. 129 Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Update in neonatal infections. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Cetakan Pertama 2005. 130 Kaban RK. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. In: Update in Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 4958. [Tingkat Pembuktian IV] 131 Lucia P.R. Pengaruh Pemberian Probiotik Terhadap Kadar Imunoglobulin A

Sekretori Feses Bayi Prematur [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2007. 132 AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:13411347. 133 Paterson RL,Webster NR. Sepsis and the systemic inflammatory response syndrome. J.R.Coll.Surg.Edinb.2004:45:178-82. 134 Hotchkiss RS, Karl IE. Tha pathophysiology and treatment of sepsis. N Eng J Med 2003;384:138-50.

85

You might also like