You are on page 1of 8

PERBANDINGAN BENTUK PEMULIHAN KADAR ASAM LAKTAT DARAH PADA PETINJU Wira Indra Satya (Universitas Terbuka)

Blood lactic acid rate can be increased more than 6 mMol/l with high intensity training (anaerobic). It influenced the lower pH (acidosis) which is one of causes of physical performance, fatigue. Therefore, the exercise of low intensity to reduce the lactid acid in the blood is a must to gain optimal physical performance in the next training. To get the model of training mentioned above, a training is done aiming to know the difference of the decrease of the level of lactic acid in the blood between the intermittent shadow boxing and active sitting rest and by active standing rest through experimental research by means of treatment by subject design. The findings show that the recovery with the shadow boxing intermittent with active standing rest more effectively lower the level of lactic acid of the blood than the same with active sitting rest.

Perkembangan olahraga tinju semakin pesat dan popular dengan adanya acara tinju pro pada stasiun televisi swasta. Meskipun demikian perkembangan tersebut tidak diikuti dengan manajemen tinju modern. Hal ini tercermin dari pengawasan medis yang tidak memadai serta pemeriksaan petinju terbatas hanya pada tekanan darah dan luka pada bagian luar tubuh. Hal ini menyebabkan rekaman kesehatan atlet tidak akurat sementara informasi tersebut diperlukan untuk memantau kesiapan petinju dalam menghadapi pelatihan atau pertandingan (Halauwet, 2001). Di lain pihak Dirjen Olahraga Mutohir menyatakan diperlukannya kondisi fisik yang prima bagi petinju (Nurdin, 2001). Untuk mendapatkan kondisi fisik yang prima, pelatihan harus diarahkan pada tahap kinerja tinggi dengan beban dan intensitas tinggi pula yang ditujukan untuk memperoleh prestasi puncak (Bompa, 1994) Salah satu bentuk pelatihan dalam olahraga tinju adalah meningkatkan kecepatan dan kekuatan pukulan. Menurut Oudshoorn (1988), tinju menuntut kecepatan dalam memukul dan selama saling tukar pukulan petinju berutang oksigen yang harus segera dilunasi. Kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi melalui pelatihan yang diarahkan pada sistem energi ATP-PC dan glikolisis anaerobik. Efek dari pelatihan ini adalah penumpukan asam laktat. Nilai pH 6,4 pada otot dan 6,8 pada darah arteri dapat menghambat enzim glikolisis (Howald, 1986) sehingga menurunkan kemampuan metabolisme produksi ATP serta gangguan pada pompa kalsium dan natrium yang berkaitan dengan kontraksi otot (Robergs dan Robert, 1997). Otot akan kekurangan tenaga, kontraksi otot akan melemah, dan kinerja otot akan menurun (Fitts, 1976). Hal ini akan mengakibatkan terbatasnya kinerja (Falk, 1995). Peningkatan kadar asam laktat yang disebabkan pelatihan yang sangat intensif dan berulang-ulang tanpa waktu pemulihan yang cukup akan menghambat pasokan energi dari sistem enzim aerobik pada sel otot. Sistem enzim ini diganggu oleh keadaan asidosis. Asidosis akan mengakibatkan kebocoran pada dinding sel otot yang dapat ditandai dengan meningkatnya kadar urea pada aliran darah (Janssen, 1987). Untuk menghindari efek negatif tersebut, diperlukan pelatihan yang dapat menurunkan kadar asam laktat darah. Pemulihan kadar asam laktat darah dapat berlangsung secara aktif atau pasif. Pelatihan yang dilakukan dengan intensitas tinggi harus diselingi dengan intensitas yang rendah (Janssen, 1987). Melalui pelatihan ini ketersediaan oksigen dapat dipenuhi sehingga dapat mendorong proses oksidasi dan glukoneogenesis secara cepat dan meningkatkan keterlibatan otot merah yang lebih banyak dalam usaha menurunkan kadar asam laktat darah (Bangsbo, 1997). Sementara itu pemulihan aktif dapat berlangsung secara berkesinambungan atau diselingi dengan istirahat. Kecepatan penurunan kadar asam laktat darah tergantung pada bentuk dan

beban pemulihan yang digunakan (Ahmaidi, 1996). Tetapi terdapat perbedaan dalam hal intensitas. Menurut Ahmaidi (1996), beban pemulihan adalah 32% dari asupan oksigen maksimum dimana untuk atlet dapat mencapai 50-65% dari asupan oksigen maksimum (Fox, 1988). Sementara itu pemulihan pasif dengan cara duduk dilakukan atlet tinju saat istirahat antar ronde pada pelatihan maupun pertandingan. Dari pengalaman dan pengamatan di lapangan, pelatih pada setiap cabang olahraga di Indonesia memahami cara memberikan pelatihan pada intensitas maksimal tetapi kurang mahir dalam memberikan pemulihan, terutama pemulihan yang mengacu pada kadar asam laktat darah. Saat ini pengukuran kadar asam laktat darah dapat dilakukan dengan alat dan cara yang sangat praktis (Mattner, 1988) seperti dengan penggunaan lactate meter Pro LT-1710. Pendekatan dengan menggunakan kadar asam laktat darah untuk menentukan cukup atau tidaknya suatu pemulihan terbukti dapat meningkatkan kinerja atlet, terutama pada atlet-atlet renang di Eropa (Rushall, 1991). Artikel ini didasarkan pada penelitian yang membandingkan bentuk pemulihan yang efektif menurunkan kadar asam laktat darah pada tujuh atlet tinju dari sasana tinju Patriot setelah melakukan pelatihan memukul sand sack, yaitu antara pelatihan shadow boxing yang diselingi istirahat berdiri aktif dan diselingi istirahat duduk aktif. Dalam penelitian, kadar asam laktat darah ke tujuh petinju diukur pada tiga kesempatan: (1) saat istirahat, (2) setelah selesai melakukan pelatihan maksimal, dan (3) akhir pelatihan tinju bayangan (shadow boxing). Pelatihan maksimal dengan sasaran sandsack dan teknik pukulan terdiri dari pukulan lurus kiri dan pukulan lurus kanan kecepatan 90 pukulan per menit dipandu dengan Clip metronome DM-33 merk Seiko (Seiko corporation), sedangkan pemulihan dilakukan dengan pelatihan tinju bayangan (shadow boxing) dengan diselingi istirahat duduk aktif dan diselingi istirahat berdiri aktif. Sampel darah diambil dari ujung telunjuk jari sebanyak 5 L (mikroliter) atau 2 mm diameter tetesan darah dengan kecepatan analisis selama 60 detik. Alat yang dipakai untuk mengukur kadar asam laktat darah adalah Lactate meter Pro LT-1710 buatan jepang. Penelitian eksprimental ini dilakukan dengan menggunakan rancangan sama subjek (Treatment by Subject Design) (Zainuddin M, 1990). Data diolah dengan statistik uji peringkat bertanda Wilcoxon. HASIL DAN PEMBAHASAN Data karakteristik subjek meliputi usia, tinggi badan, berat badan dan kadar haemeglobin (Hb) darah, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Deskriftif Karakteristik Subjek
No. 1. 2. 3. 4. Karakteristik Subjek Usia Berat Badan Tinggi Badan Hb + Mean 18,14 51,40 162,28 15,32 + Sd 2,85 4,25 3,90 0,76 Range 16 22 th 45 57 kg 156 167 cm 14 16,7 gr/dl

Data kadar asam laktat darah untuk perlakuan tinju bayangan yang diselingi dengan istirahat

duduk aktif terdiri dari asam laktat darah istirahat adalah 1,64 SD 0,146, kadar asam laktat darah pelatihan maksimal 8,114 SD1,244, dan kadar asam laktat darah pemulihan ronde 1 (pertama) 8,157 1,431. Pada ronde ke 2, kadar asam laktat darah menurun menjadi 6,757 SD1,293. Pada perlakuan tinju bayangan yang diselingi dengan istirahat berdiri aktif, kadar asam laktat darah istirahat adalah 1,742 SD 0,207, kadar asam laktat darah pada pelatihan maksimal mencapai 7,985 SD1,181, kadar asam laktat darah pemulihan dengan shadow boxing setelah ronde 1 (pertama) adalah 8,242 SD1,495 dan pada ronde ke 2 (dua) menurun lebih tajam dibandingkan dengan perlakuan yang tedahulu yaitu, 5,957 SD1,181. Rincian data lebih lengkap pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Statistik Deskriptif Variabel Kadar Asam Laktat Darah (n = 7)
Perlakuan A Duduk Aktif Variabel Mean Laktat 1-2 Lakmaks 1-2 Ronde 1A-1B Ronde 2A-2B Beda perlakuan A-B Lakist 1-2 1,635 8.114 8,157 6,757 1,400 + SD 0,146 1,244 1,431 1,293 0,522 Min 1,5 6,6 6,4 5,1 0,6 Max 1,90 1,04 1,06 8,70 2,20 Mean 1,742 7,985 8,242 4,957 2,285 + SD 0,207 1,181 1,495 0,964 1,400 Min 1,4 6,6 6,6 4,9 1,2 Max 2,00 9,90 10,30 7,80 4,60 Perlakuan B Berdiri Aktif

: Nilai kadar asam laktat darah istirahat pada perlakuan A - B : Nilai kadar asam laktat darah pelatihan maksimal pada perlakuan A-B

Lakmaks 1-2 Ronde Ronde Beda

1A-1B : Nilai kadar asam laktat darah pemulihan ronde 1 pada perlakuan A-B 2A-2B : Nilai kadar asam laktat darah pemulihan ronde 2 pada Perlakuan A-B A-B : Perbedaan penurunan nilai kadar asam laktat darah antara pemulihan A dengan B

Hasil uji statistik Wilcoxon menunjukkan perbedaan perubahan kadar asam laktat darah pada saat istirahat, setelah pelatihan maksimal, dan saat pelatihan untuk pemulihan kadar asam laktat darah pada perlakuan A (tinju bayangan diselingi istirahat duduk aktif) maupun pada perlakuan B (tinju bayangan diselingi istirahat berdiri aktif). Hasil selengkapnya adalah sebagai berikut. 1. Tidak ada perbedaan yang bermakna (p = 0,279) antara kadar asam laktat istirahat pada ke dua perlakuan. 2. Tidak ada perbedaan yang bermakna (p = 0,268) antara kadar asam laktat darah saat pelatihan maksimal pada ke dua perlakuan. 3. Ada perbedaaan yang bermakna (p = 0,018) pada ke dua antar ronde baik pada perlakuan A maupun pada perlakuan B. 4. Terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,028) terhadap penurunan kadar asam laktat darah antara pemulihan melalui pelatihan tinju bayangan diselingi istirahat duduk aktif

dengan yang diselingi istirahat berdiri aktif. Hasil uji Z Wilcoxon tersebut memberikan gambaran sebagai berikut. 1. Kondisi kadar asam laktat darah istirahat pada saat perlakuan A maupun perlakuan B memiliki nilai yang seimbang. 2. Pada saat pelatihan maksimal kadar asam laktat darah yang dicapai oleh masing-masing subjek juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna, berarti terdapat keseimbangan intensitas beban pelatihan maksimal pada kedua perlakuan. 3. Ada perbedaan penurunan kadar asam laktat darah antar ronde, baik pada perlakuan A maupun pada perlakuan B. 4. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam penurunan kadar asam laktat darah yang disebabkan intervensi antara perlakuan tinju bayangan diselingi istirahat duduk aktif dengan istirahat berdiri aktif (lihat Tabel 3). Tabel 3. Hasil uji statistik Wilcoxon kadar asam laktat darah Variabel Laktat Istirahat A-B Laktat Pelatihan Maksimal A-B Laktat Ronde 1-2A Laktat Ronde 1- 2B Beda Penurunan Kadar Laktat B-A Kadar Asam Laktat Darah Istirahat Kadar asam laktat darah subjek berada pada rentang 1,5 2mMol/L dan hasil uji statistik pada kadar asam laktat darah istirahat adalah p > 0,05. Hal ini menunjukkan kondisi awal subjek dalam keadaan seimbang sehingga hasil perbedaan kadar asam laktat darah dari ke dua perlakuan disebabkan oleh faktor intervensi yang diberikan bukan karena kondisi awal yang berbeda. Nilai kadar asam laktat istirahat orang sehat sekitar 1 1,8 mMol/l (Fox, 1993). Kadar asam laktat darah yang berada di atas rata rata kadar normal (lebih besar dari 2 mMol/l) merupakan suatu indikasi adanya kelelahan (Mattner, 1988). Kelelahan awal tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada kinerja fisik (Bangsbo, 1997). Bahkan dalam pencapaian ambang anaerobiknya cenderung berlangsung lebih cepat (Janssen, 1987). Oleh sebab itu sebelum diberi perlakuan subjek diharuskan istirahat total (tanpa aktivitas). Kadar Asam Laktat Darah setelah Pelatihan Maksimal Dalam penelitian, pelatihan maksimal yang diberikan pada subjek adalah memukul sandsack dengan kecepatan maksimal (anaerobic) selama 1 menit dan terjadi peningkatan kadar asam laktat darah yang sangat tajam (mencapai 8,242 9,5 mMol/l). Hasil ini hampir sama dengan penelitian Chin (1995) dengan subjek pemain elite bulutangkis menggunakan test sepeda ergometer dimana kadar asam laktat darah mencapai 10,4 mMol/l. Kadar asam laktat darah lebih cepat meningkat pada pelatihan fisik anaerobic meskipun kadar asam laktat darah Z -1,081 -1,109 -2,371 -2,524 -2, 383 Signifikansi 0,279 0,268 0,018 0,018 0,028

sebesar 16 mMol/l masih dapat ditoleransi (Mattner, 1988). Hasil pemeriksaan kadar asam laktat darah dengan alat Lactate meter Pro LT-1710 menunjukkan bahwa kadar asam laktat darah setelah pelatihan maksimal pada perlakuan A maupun B pada penelitian (lihat Tabel 1) dan berdasarkan uji statistik non parametrik dengan menggunakan uji Wilcoxon tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Kondisi ini menggambarkan bahwa setiap subjek dapat mengerahkan seluruh kemampuannya secara seimbang pada saat perlakuan (A dan B). Pelatihan yang dilakukan dengan intensitas maksimal atau mendekati maksimal (sub maksimal) akan meningkatkan kadar asam laktat darah (Janssen, 1987), selanjutnya Williams (1993) menyatakan pembentukan asam laktat akan terjadi pada kerja progressif yang dinamis dari sub maksimal menuju maksimal. Pada aktivitas yang semakin tinggi terjadi pergeseran pasokan energi dari aerobik menuju anaerobic (Fox, 1993). Ahmaidi (1996) mengatakan beban latihan yang dimulai dengan intensitas langsung tinggi lebih cepat meningkatkan kadar asam laktat darah. Peningkatan kadar asam laktat ini menunjukkan bahwa perlakuan fisik maksimal tersebut memiliki respon pada peningkatan metabolisme sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan energi. Peningkatan kadar asam laktat darah lebih dari 6mMol/l merugikan kinerja, dan menurunkan kekuatan kontraksi otot, yang disebabkan oleh menurunnya daya ikat ion Ca++ dan meningkatnya daya ikat retikulum sarkoplasmik terhadap ion Ca++. Ke dua mekanisme ini menurunkan jumlah ion kalsium yang dapat diikat oleh troponin selama proses kontraksi otot (Exitation-Coupling) (Fitts, 1976). Disamping itu kadar asam laktat darah yang tinggi juga berpengaruh pada produksi ATP sebab beberapa enzim yang berperan pada proses glikolisis akan terhambat pada lingkungan asam (Robergs dan Robert, 1997). Pelatihan yang dapat mendukung prestasi atlet adalah dengan memberikan waktu pemulihan yang cukup dan tepat pada setiap antar setset pelatihan maupun setiap akhir seri pelatihan. Menurut Rushall (1991) kombinasi pelatihan dan pemulihan yang tepat adalah suatu yang sangat urgen, hal ini untuk menghindari dampak negatif dari pelatihan yang berlebih (overtraining). Apabila terjadi beban pelatihan yang berlebih akan diperlukan waktu pemulihan yang lebih lama, diperkirakan mencapai lebih dari 75 Jam. Kadar Asam Laktat Darah Pemulihan Hasil pemeriksaan kadar asam laktat darah setelah ronde 1 atau pada 5,5 menit pelatihan berlangsung pada masing-masing subjek memperlihatkan bahwa kadar asam laktat masih meningkat, baik pada perlakuan tinju bayangan diselingi istirahat duduk aktif maupun pada berdiri aktif. Peningkatan kadar asam laktat bukan disebabkan aktivitas pemulihan tetapi lebih dipengaruhi oleh aktivitas dari pelatihan maksimal yang berakibat pada pemuncakan kadar asam laktat darah. Puncak kadar asam laktat terjadi pada antara 57 menit (Weinstein, 1998). Pada penelitian ini peningkatan kadar asam laktat darah tergambar pada 5,5 menit setelah pelatihan maksimal. Pelatihan fisik maksimal juga akan meningkatkan sejumlah hormon untuk mempercepat metabolisme glikolisis, diantaranya pada epinefrin dan norepinefrin (Brooks, 1986). Diketahui hormon epinefrin mempengaruhi proses glikolisis dan perubahan asam laktat melalui rangsangan beta adrenergik, rangsangan beta adrenergik akan meningkatkan pembentukan c AMP, yang dapat merangsang peningkatan glikogenolisis dan produksi asam laktat (Robergs dan Robert, 1997). Pada ronde ke 2 terjadi penurunan kadar asam laktat darah pada ke dua perlakuan namun penurunannya berbeda diantara keduanya dengan p = 0,028 pada tingkat kemaknaan = 0,05. Penurunan kadar asam laktat terlihat pada ronde ke dua atau 10 menit pelatihan berlangsung. Ahmaidi (1996) yang meneliti kadar asam laktat darah dengan mendayung

sepeda statis pada kecepatan maksimal membuktikan pemulihan kadar asam laktat terjadi pada menit ke 10 (sepuluh). Waktu pemulihan selama 10 menit merupakan awal terjadinya oksidasi asam laktat dan yang lain digunakan untuk membentuk glikogen kembali (Bangsbo, 1997). Meskipun penurunan kadar asam laktat darah juga terjadi pada pemulihan dengan tinju bayangan diselingi istirahat duduk aktif, namun tingkat penurunan yang paling efektif adalah pada pemulihan dengan tinju bayangan yang diselingi istirahat berdiri aktif. Juga terdapat perbedaan penurunan kadar asan laktat darah dari masing -masing subjek, seperti pada tinju bayangan diselingi istirahat duduk aktif rerata penurunan kadar asam laktat darah masih di atas 6 mMol/l. Namun pada pemulihan dengan tinju bayangan diselingi berdiri aktif terjadi penurunan kadar asam laktat darah lebih rendah dari 6 mMol/l untuk 5 subjek dan 2 subjek masih di atasnya. Perbedaan penurunan kadar asam laktat darah tersebut disebabkan adanya perbedaan tingkat metabolisme. Pada pemulihan dengan istirahat berdiri aktif denyut nadi lebih tinggi yang mengakibatkan kebutuhan oksigen meningkat , sirkulasi darah serta kebutuhan ATP juga meningkat dibandingkan dengan istirahat duduk aktif. Oleh sebab itu terjadi perbedaan tingkat efisiensi ambilan dan penggunaan asam laktat oleh otot yang sedang aktif pada kedua perlakuan tersebut. Pengangkutan asam laktat di dalam darah dan penggunaannya oleh otot bergantung pada faktor metabolisme sel otot. Menurut Brooks (1986) proses penting dalam pemulihan kadar asam laktat darah adalah terjadinya oksidasi asam laktat tersebut di dalam otot rangka. Asam laktat yang dihasilkan oleh serat otot putih (tipe IIb) akan dibawa ke otot tipe I dan IIa (otot merah) untuk dioksidasi. Metabolisme sel juga dipengaruhi oleh bentuk pemulihan yang dipilih ke dua tipe pemulihan berpengaruh signifikan tehadap kecepatan eliminasi kadar asam laktat darah (Pate, 1993). Berdasarkan hasil penelitian ini, pemulihan tinju bayangan diselingi istirahat berdiri aktif paling efektif menurunkan kadar asam laktat darah, hal ini disebabkan oleh ambilan dan penggunaan asam laktat darah oleh otot yang aktif lebih tinggi. Sport Resourch Group Inc (1988) mengatakan bahwa pemulihan kadar asam laktat darah dipengaruhi beberapa faktor yaitu kemampuan subjek, perbedaan distribusi dan adaptasi tipe otot, teknik atau efisiensi gerakan, serta jenis tes yang digunakan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian pada pemulihan kadar asam laktat darah pada petinju Sasana Tinju Patriot dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemulihan dengan tinju bayangan diselingi istirahat duduk aktif sebanyak 2 ronde dapat menurunkan kadar asam laktat darah. 2. Pemulihan dengan tinju bayangan diselingi istirahat berdiri aktif menurunkan kadar asam laktat darah < 6 mMol/l dan pemulihan tersebut dapat dipergunakan para pelatih sebagai salah satu model. SARAN Berdasarkan temuan dan penelitian yang dilakukan di Sasana Tinju Patriot, disarankan agar: 1. intensitas pelatihan untuk pemulihan dapat disesuaikan dengan kemampuan fisik atlet, tidak tebatas pada intensitas 40 ketukan per menit. 2. diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji pemulihan kadar asam laktat darah

pada atlet dari cabang olahraga lain seperti : karate, pencak silat dan kempo. REFERENSI Ahmaidi. S. (1996). Effect of Active recovery on plasma lactate and anaerobic power following repeated intensive exercise. Medicine Science Sport Exercise, 2 (4) : 450 456. Bangsbo, J, & Hellsten, S. (1997). Dissociation between Lactate and proton exchange in muscle during intense exercise in man. Journal of Physiology, 489 - 499 Bompa. (1994). Theory and methodology of training. New York : Kendall/ Hunt Publishing Company. Brooks, G.A. (1986). The lactate shuttle during exercise and recovery. Medicine and Science in Sport Exercise, 18 (3) : 360-367. Chin, M.K.; Wong, AS; Siu, O.T; Steininger, K. (1995). Sport specific fittness testing of Elite Badminton Players. Medicine and science in sport exercise. i29 (3) 153 157. Falk, B. Einbinder, M. W. Stein, Y, & Karni, Y, (1995). Blood lactate concentration following exercise and of active recovery in heat - acclimatized subjects. International Journal Sport Medicine, 16 (1): 7- 12. Fitts, H. J. (1976). Lactate and contractile force in frog muscle during development of fatigue and recovery, Am J Phisiology, 231 (2): 430-433. Fox. & B. R.W.L. (1988). The physiologycal basis of physical education and athletics. Phidelphia : Sounders College Pub. Fox, M.L. Bowers R.W. (1993). The phisiologycal basis for exercise and sport. 5th Ed. Dubuque, lowa : WCB Brown and Benchmark. Halauwet. (2001). Tewasnya Muhammad Alfaridzi: Banyaknya kebohongan di tinju pro kita. Mingguan Bola. Edisi April, hal 3. Howald. (1986). Dasar-dasar anatomi physiology dan biokimia dalam kontraksi otot. Pengobatan dan Olahraga. Semarang : Dahara Prize. Janssen, P. (1987). Training lactate pulse-rate. Finland: Polar electro Oy. Mattner. (1988). Lactate in sport medicine. Mannheim West Germany: Boehringer Mannheim. Nurdin, P. Yudono. (2001). Buntut tewasnya Alfa: Sasana Anak Bandung ditutup. Koran Tempo hal 10. Oudshoorn, J. (1988). Tinju pelatihan-teknik-taktik. Alih bahasa Tjun Sujarman Jakarta: PT. Rosda Jayapura Offset. Pate, R. R, Mc Chenaghan, & Rotella. (1993). Dasar-dasar ilmiah kepelatihan. Semarang: IKIP Semarang Press. Robergs, R. A. & Roberts S.O. (1997). Exercise phisiology, exercise, performance and clinical applications. Boston: Mosby Year Book Inc.

Rushall, B.S. (1991). The lactate debate: One more time. Journal of the Australian Swim Coaches Association, 8 (3), 8 12. Sport Resourch Group Inc. (1988). Lactate testing advanced concepts. http: //www.Lactate.Com/testadv/html. Weinstein Y., Bedice C., Dotan R, & Falk B. (1998). Reability of peak lactate, heart rate and plasma volume following the wingate test. Medicine Science Sport Exercise, 30 (9): 14561460.

You might also like