You are on page 1of 2

BUDAYA

Mengatasi Ancaman Disintegrasi Bangsa


Oleh : Nugroho Angkasa S.pd | 19-Sep-2008, 16:15:51 WIB KabarIndonesia - United Nation Support Facility for Indonesia (UNSFR) pernah mensurvei konflik bernuansa SARA di Indonesia. Sepanjang 1990-2003 telah terjadi 3.608 kali tindak kekerasan. Korbannya 10.758 sesama anak bangsa. Dalam rangka mengamankan 17.000-an pulau di Nusantara dari ancaman disintegrsi, kita juga memerlukan pertahanan non-militer, yakni dengan mengobarkan rasa cinta pada Ibu Pertiwi di dada setiap warga negara. Pendekatan kultural semacam ini pernah diterapkan oleh para founding fathers kita. Soekarno muda berkata, "Tatkala saya masih muda, saya telah gambarkan negara yang akan datang dan tanah air yang akan datang, tanah air yang kita pijak buminya itu, saya gambarkan sebagai Ibu, Ibu Pertiwi. Kita Berkewajiban jikalau benar-benar mencintai Ibu. Kita harus menyumbang pada Ibu kita. Di dalam ucapan-ucapan saya tatkala saya masih muda, saya berkata, kita semuanya berkewajiban menyumbangkan bunga-bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya Ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa menyumbangkan melati? Berilah melati. Bisa menyumbangkan mawar, berilah mawar. Bisa menyumbangkan kenanga? Berilah kenanga!" Namun kini kita menyaksikan dampak dari terputusnya relasi personal, hubungan batin dengan Ibu Pertiwi. Aset bangsa dijual kepada pihak asing seperti kacang goreng. Neoimperialisme is coming now! Padahal kita memiliki SDA yang kaya dan melimpah. Ironisnya SDM kita kualitasnya relatif kurang. Dalam 5 tahun ke depan, para dokter, pegawai , dan pakar IT dari luar negeri akan leluasa masuk ke Indonesia. Kompetisi semakin ketat seiring diberlakukannya perdagangan bebas (free trade). Para pejabat yang tidak menguasai bahasa asing, dalam rapat-rapat penting perlu interpreter dari luar negri. Sehingga mereka itulah yang justru mendapat keuntungan besar, kita hanya mendapat ampasnya saja. Bangsa ini juga membutuhkan pedoman budaya. Karena kita cenderung kebarat-baratan, kearabaraban, kecina-cinaan, dst. Bahkan segelintir masyarakat kita menginginkan penerapan budaya Arab, misal lewat UU Pornografi. Padahal dulu kita pernah mempopulerkan cara berpakaian yang khas Indonesia, yakni dengan menggunakan kebaya. Kita sepakat menolak pornografi, tapi kalau diundangkan itu tidak tepat. Jika kita membaca dan mencermati pasal demi pasal maka referensinya Arab banget. Jika RUU beraroma syariat tersebut disahkan, maka Bali akan menggunakan syariah Hindu, Manokwari memakai perda kota Injil, dst. Kita mendukung kebebasan berpendapat. Tapi demokrasi Pancasila menuntut tanggungjawab dari sekaligus untuk. Di Amerika hanya ada 2 partai, Demokrat dan Republik, sedangkan di Indonesia kini ada 38 partai. Euforia segelintir orang untuk memasukkan akidah agama dalam produk hukum dan perda bukan solusi yang bijak. Kenapa? karena bangsa kita begitu majemuk. Kita perlu belajar dari sejarah, sebelum agama Islam dan Kristen masuk, leluhur kita sudah berbudaya. Berdasar penelitian terkini Fakultas Antropologi Universitas Udayana Bali thesis itu

terbukti dari kharateristik DNA gen manusia Indonesia yang khas. Tapi kenapa kita malah mengcopy-paste budaya asing. Soekarno, Hatta, Ki Hadjar, Mohammad Roem, dan M Natsir senantiasa mengingatkan bahwa Pancasila buka sekedar ideologi negara, namun lebih dari itu Pancasila adalah saripati Budaya Nusantara! Secara lebih mendalam, paradigma kita terhadap sejarah musti direvisi. Di India ada Taj Mahal, tapi jika rakyat di sana ditanya siapa yang membangun bangunan megah tersebut, mereka akan menjawab itu adalah leluhur dari Dinasti Moghul. Memang rajanya beragama Islam, tapi mereka melihat sebagai peninggalan nenek-moyang mereka sendiri yang patut dihargai dan dilestarikan. Kalau di Indonesia, kita justru mengatakan Borobudur adalah peninggalan agama Buddha. Padahal mereka itu adalah nenek-moyang kita sendiri, leluhur kita semua. Perubahan mindset kita niscaya menyebabkan perubahan besar dalam tata kehidupan berbangsa. Lebih lanjut, 2000 tahun silam, nenek-moyang kita pernah memiliki maskapai pelayaran sendiri, mereka mengekspor rempah-rempah ke Madagaskar. Sriwijaya adalah kerajaan yang berkuasa selama 1000 tahun lebih, kehidupan rakyatnya pun sejahtera dan makmur. Hal itu bisa dilihat dari situs di Muara Takus. Dari sisi pengetahuanpun maju, sebab rancangan Angkor Wat yang terkenal di Kamboja itu dibuat oleh insinyur dari Nusantara. Akhir kata, Cinta kasih tanpa pamrih itulah kekuatan kita. Sifat mengasihi macam ini yang harus mewarnai keseharian ziarah hidup kita. Rasa cinta tanpa syarat pada bangsa, negara, Ibu Pertiwi, termasuk pada para Amrozi cs yang menjadi korban brain wash. Indonesia adalah bangsa besar sehingga penyakitnyapun besar. Niscaya bersama kita bisa menyembuhkanya. Rahayu!

You might also like