You are on page 1of 5

PENELITIAN DAN PENGKAJIAN TASAWUF Penelitian dan pengkajian dalam bidang ilmu tasawuf merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari penelitian dan pengembangan dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Penelitian agama memang berbeda dengan penelitian ilmu-ilmu sosial, namun berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan dari metode-metode penelitian sosial pada umumnya. Perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian ilmu-ilmu sosial terletak pada medan, tujuan dan pendekatan (sudut penilaian). Adapun penelitian agama medannya mencakup tiga lapangan yakni : Memahami dan mengkaji kitab-kitab yang merupakan sumber baku dari suatu agama dan merupakan sumber statikanya. Mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangan suatu agama Perilaku dan pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat uman manusia, yang biasa disebut oleh para ahli imu sosial dengan fenomena keagamaan Tujuan penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan membudayakan pengamalan agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia. Penelitian atau studi dalam bidang ilmu tasawuf objekya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa lampau yang telah terbukukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Adapun medan yang masih terbentang luas dan belum banyak dijamah oleh para peneliti orientalis adalah fenomena kehidupan para kelompok-kelompok sufi yang nyata-nyata ada berserakan di serata alam islami.

Adapun bentuk penelitian yang mudah dijalankan adalah studi kasus, yakni meneliti dan mengkaji suatu kasus ditinjau dari segala aspeknya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman secara bulat. Ciri dari studi kasus hanya bisa dilakukan oleh seorang peneliti yang punya bekal memadai tentang ilmu tasawuf beserta kedudukannya dalam perkembangan pemikiran dan budaya keislaman, karena seorang peneliti harus peka dalam menilai data-data yang bermakna, dan kemudian menganalisisnya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkannya.

Metode dan Pendekatan Dalam penelitian tasawuf dan agama pada umunya cukup dengan menggunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial terutama analisis kesejarahan dan fenomenologi (verstehen). Verstehen artinya agar sang objek itu sendiri yang bicara megenai dirinya sendiri. Tugas peneliti sematamata hanya merekam apa yang dirasa, dipikirkan, dipahami dan diungkapkan oleh sang objek, kemudian hasil rekaman itu kemudian dimengerti dan dianalisis oleh peneliti untuk menyusun teori. Jadi pendekatan fenomenologi atau verstehen si peneliti harus mencoba ikut terlibat dengan rasa semampu mungkin tanpa menggunakan teori terlebih dahulu. Hal ini memang agak sulit diterapkan dalam bidang tasawuf, sebab peneliti memang bukan orang sufi, tentu tidak bisa merasakan dan meyakini bahwa penghayatan kejiwaan para sufi di dalam fana sebagai kebenaran mutlak. Adapun dari segi pendekatan untuk memahami fenomena keagamaan atau tasawuf. Fenomena keagamaan hanya bisa dimengerti secara utuh dan pas apabila diselamai dari sudut agamis dan bukan dari sudut ilmu sosial. Agama mempunyai kepentingan yang berbeda dengan kepentingan ilmu sosial. Penelitian agama adalah alat untuk mendukung pengembangan ajaran

agama dan pengembangan pemikiran umatnya sesuai dengan tuntutan kemajuan peradaban umat manusia. Pendekatan dari sudut agama disamping menjawab masalah ilmiah, yakni apa atau bagaimana dan mengapa terjadi demikian, harus dilanjutkan pada persoalan ketiga yaitu masalah seberapa jauh hal itu bisa menunjang atau menghambat ketegaran perkembangan budaya agama dan alam pikiran umat islam.

Menurut Mattulada metode yang digunakan amat tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek studi menentukan metode apa yang tepat untuk memahami objek studi itu.

Persyaratan Peneliti Tasawuf

Penelitian tasawuf umumya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis atau verstehen. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Syarat utama pertama ia harus menguasai istilahistilah atau bahasa sufisme. Yang kedua ia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu dan bagaimana kaitannya dengan ajaran islam. Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang sejak pertengahan abad kedua hijriyah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminologi atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya syariat bagi sufi pengertiannya selalu dihubungkan dengan istilah hakikat. Menurut

kacamata sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jaki laku batin seperti kekhusukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilh syariat. Oleh karena itu, Imam Al-Qusyairi mengatakan :

Maka setiap syariat yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan syariat tentu tidak ada hasilnya.

Mengenai apa hakikat tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya stereotyped ideas yang telah lama direntang oleh para pendukung tasawuf.

Menurut Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme dalam Islam intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog (langsung) antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan..

Sedangkan menurut A.S. Hornby dan kawan-kawan dalam kamus A Learners Dictionary of Current English adalah :

The teaching of belief that knowledge of real truth and of God may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and senses.

Ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera. Jadi, penghayatan mistik itu semata-mata tanggapan kejiwaan ditengah meditasi yang dalam tasawuf dilakukan dengan sarana dzikir. Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajarannya adalah fana dan kasyf. Keduanya adalah inti ajaran yang menjiwai seluruh pikiran dan perbuatan ketasawufan, tanpa keduanya tidak akan ada tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf adalah cinta rindu (hubbullah), rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatap muka secara intim (al-uns) dengan Tuhan. Makrifatullah yang berarti tatap muka langsung dengan wajah Tuhan ini hanya bisa dicapai mealui pengalaman fana dan kasyf. Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana dan kasyf ini, yang tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi.

You might also like