You are on page 1of 10

GarudaFood

Sejarah GarudaFood GarudaFood adalah perusahaan makanan dan minuman di bawah kelompok usaha Tudung (Tudung Group). Selain GarudaFood, Tudung Group juga menaungi SNS Group (PT Sinar Niaga Sejahtera, bergerak di bisnis distribusi dan logistik), PT Bumi Mekar Tani (BMT, fokus di bidang plantations), PT Nirmala Tirta Agung (NTA, bisnis air minum dalam kemasan bermerek Mayo), PT Dairyland Indonesia (DLI, memasarkan susu kemasan kaleng bermerek Prestine), dan Global Solusi Inti (GSI, bergerak di bidang pelayanan jasa pelatihan, seminar, event-organizer, dan konsultasi manajemen). GarudaFood Group berawal dari PT Tudung, didirikan di Pati, Jawa Tengah, pada 1958 dan bergerak di bisnis tepung tapioka. Pada 1979 PT Tudung berganti nama menjadi PT Tudung Putrajaya (TPJ). Pendiri perusahaan adalah mendiang Darmo Putro, mantan pejuang yang memilih menekuni dunia usaha setelah bangsa Indonesia merdeka. Pada awal 1987 TPJ mulai menjual hasil produksi kacangnya dengan merk Kacang Garing Garuda, yang belakangan dikenal dengan sebutan ringkas: Kacang Garuda. Kacang Garuda meraih berbagai penghargaan sbb: Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) kategori kacang bermerek delapan kali berturut-turut (2000-2007); Superbrands (2003); Top Brand for Kids (2004); Indonesian Best Brand Award (IBBA, 2004-2007); Top Brand (2007). Tatkala perekonomian nasional tengah dihantam krisis ekonomi, Desember 1997 GarudaFood mendirikan PT GarudaFood Jaya yang memproduksi biskuit bermerek Gery. Periode 2005-2007 Gery Saluut meriah Indonesian Best Brand Award (IBBA) dari MARS dan majalah SWA untuk kategori wafer salut. Pada 2007 Gery Chocolatos meraih IBBA kategori wafer stick. Pada 1998 GarudaFood mengakuisisi PT Triteguh Manunggal Sejati (TRMS), produsen jelly dan meluncurkan produk jelly bermerek Okky dan Keffy. Prestasi Okky Jelly dibuktikan dari keberhasilan meraih Top Brand for Kids (TBK) Award 2004 untuk kategori jelly. Di samping TBK, OKKY Jelly juga berhasil meraih IBBA (2004-2007). Okky Jelly Drink juga meraih penghargaan Top Brand 2007 dari majalah Marketing dan Frontier. Pada akhir 2002 TRMS meluncurkan produk minuman jelly bermerek Okky Jelly Drink sekaligus babak baru GarudaFood masuk ke bisnis minuman (beverages). Keseriusan GarudaFood menekuni bisnis minuman juga semakin kentara dengan diluncurkannya Mountea, minuman teh rasa buah. Mountea bahkan mencatat prestasi IBBA 2007 kategori minuman teh dalam kemasan cup. Pada tahun 2000 Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sepakat menggabungkan TPJ, Garuda Putra Putri Jaya, dan GarudaFood Jaya dalam satu nama: PT GARUDAFOOD PUTRA PUTRI JAYA (GPPJ). GarudaFood juga memproduksi snack bermerek Leo, untuk kategori produk kripik kentang, kripik pisang, kripik singkong, dan krupuk mulai akhir 2005. Pada 2007

Leo meraih IBBA kategori snack kentang. Selain itu juga merambah bisnis snack jagung dengan merek OCorn. Di tingkat nasional, GarudaFood juga dipersepsi positif sebagai salah satu perusahaan makanan dan minuman idaman. Survey yang dilakukan Frontier dan majalah BusinessWeek Indonesia di Jakarta dan Surabaya pada 2006 dan 2007 menyebutkan GarudaFood berada di urutan ketiga Indonesian Most Admired Company (IMAC). GarudaFood juga aktif menjalankan program corporate social responsibility (CSR) di bawah bendera GarudaFood Sehati.

Strategi GarudaFood GarudaFood adalah perusahaan dengan tingkat diversifikasi tinggi yang tidak berhubungan (unrelated diversification) karena perusahaan ini penerimaannya yang kurang dari 70% berasal dari bisnis dominan dan tidak ada hubungan umum antarbisnis. PT. Garuda Food mengeluarkan beberapa produk, yaitu: Basic food ((Enerfil), Beverage (Flavor tea, Nata drink), Snack (Biscuit, Pilus), (Peanut : Roasted, Coated, Ting ting), Jelly (Jelly Drink, Jelly Super Cup, Jelly sedot), Biscuit (Cookies,Dipstick & Cup,Dragee/Chocolate,Rice Cracker,Snack & Cereal,Soes,Wafer Cream & Caramel,Wafer Stick). GarudaFood meraih kesuksesan melalui strateginya yaitu: 1. Strategi branding 2. Strategi IMC 3. Distribusi 4. Kemitraan 5. SDM 1. Strategi Branding Pada awalnya GarudaFood menggunakan gambar realis burung garuda sebagai identitas perusahaan yang fokus di produk kacang. Seiring dengan berjalannya waktu, kesempatan untuk mengembangkan produk di berbagai kategori lain di luar kacang semakin terbuka sehingga pada Oktober 1987 GarudaFood lalu menggunakan corporate identity seekor burung garuda yang mirip bahkan serupa dengan produk unggulannya Kacang Garuda. Penggunaan visual yang mirip antara sang anak yang sudah amat kuat di pasar dan sang induk yang baru muncul, menimbulkan sebuah persepsi kuat di masyarakat bahwa GarudaFood

identik dengan Kacang Garuda, ataupun sebaliknya. Hal ini dirasa kurang menguntungkan bagi citra GarudaFood yang sebenarnya telah masuk ke berbagai kategori produk minuman, biskuit, snack, dan lainnya. Branding Strategy:

Detail Execution: Tahap pertama pembentukan strategi brand: menentukan siapa GarudaFood, siapa saja yang perlu mengenal, bagaimana mereka mengetahuinya dan kenapa mereka harus peduli terhadap GarudaFood. Merumuskan esensi, struktur, positioning maupun personalitas brand yang diinginkan. Hasilnya, positioning Garudafood yang ingin ditampilkan kepada publik adalah Garudafood sebagai produsen makanan dan minuman yang terus menerus berinovasi dalam sebuah proses.

Tahap kedua pembentukan identitas visual: eksplorasi ikon, eksplorasi tipografi dan yang ketiga penggabungan keduanya. Tahap ketiga adalah tahap visualisasi atau penterjemahan ke dalam aplikasi sesuai dengan kebutuhan, seperti signage, kartu nama dan lainnya. Langkah berikutnya adalah bagaimana memasarkan, mengkomunikasikan, memonitor dan mengatur brand dengan baik dan konsisten sesuai dengan strategi brand yang sudah dibentuk, sehingga dapat tercipta persepsi yang diinginkan. Result: Keberadaan identitas baru ini, kami nilai mampu memberikan solusi terhadap beberapa problem yang kami alami sebelumnya. Tinggal selanjutnya, adalah bagaimana seluruh tim GarudaFood membangun awareness dari identitas baru dan nama GarudaFood secara konsisten mulai dari sekarang, papar Hartono Atmadja, Managing Director GarudaFood.

2. Strategi IMC (Integrated Marketing Communication)

Strategi Pengembangan Upaya untuk terus melayani kebutuhan konsumen dengan aneka ragam produk dan layanan bermutu,garudafood mendirikan sebuah Research and Development Center yang sekarang menjadi Research and Innovation Center (R & I Center). Dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana modern serta sumber daya yang ahli di bidangnya masing-masing, R & I melakukan riset secara berkesinambungan untuk mengembangkan produk-produk yang memiliki nilai tambah dan mempunyai unique winning product, yang mampu memenuhi kebutuhan dan selera konsumen sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Proses Dukungan Untuk Pelanggan Di antara segmen pasar produk camilan yang terdiri dari segmen anak, segmen remaja dan segmen dewasa, pasar anak adalah pasar yang paling berpotensi. Fakta menunjukkan bahwa pasar anak-anak adalah pasar yang sangat menarik karena relatif besar dan memiliki keunikan tersendiri. Pasar ini merupakan pasar potensial bagi para marketer, tidak hanya di masa kini tetapi juga di masa depan. Strategi Untuk Menghadapi Persaingan Untuk menghadapi pesaing maka perusahaan harus meningkatkan kualitas produk dan melakukan strategi promosi yang merupakan langkah paling tepat, dimana melalui media ini konsumen dapat lebih mengenal produk tersebut. Secara umum praktek promosi terbagi menjadi

2 macam yakni secara below the line dan above the line. Below the line misalnya dengan melakukan promosi dan edukasi melalui kegiatan organisasi, arisan, club, seminar, sekolah, dan sebagainya dengan cara seperti membagikan sampling produk. Sedangkan above the line merupakan praktek promosi yang membutuhkan biaya yang tinggi dengan memanfaatkan media iklan televisi, radio, majalah, tabloid, koran, dan melakukan promosi secara online di internet melalui E-commerce. Prospek Bisnis Berdasarkan model bisnis , situasi pasar dan persaingan , contohnya minuman koko Drink akan berkembang mengikuti pasar global, karena produk tersebut merupakan salah satu produk perusahaan garudafood, yang melakukan Srategi aplikasi E-Buseniss. Dalam aplikasi E-Buseniss perusahaan dapat melakukan kegiatan mulai dari proses manajemen produksi, pemasaran hingga sampai ketangan pelanggan. Berdasarkan situasi pasar saat ini, jajanan yang dikemas dalam produk minuman sangat digemari anak-anak karena dapat menyegarkan, produk ini juga terdapat butiran-butiran jelly yang kenyal dan sangat disukai oleh anak-anak yang membedakan produk ini dengan produk minuman yang lain sehingga perkembangannya akan terus meningkat hingga 3 tahun ke depan.

3. Distribusi GarudaFood Yang penting adalah bagaimana bisa menjual dengan cara yang unik dan yang tidak dilakukan orang lain. Prinsip itu perusahaan dengan penuh kesabaran selama 19 tahun. Untuk dapat merebut konsumen, perusahaan membangun distribution selling point sebanyak-banyaknya hingga 115 titik. Seiring dengan pengembangan distribusi yang kuat, GarudaFood menggagas diversifikasi produk. Misalnya pada Desember 1997 kelompok usaha ini masuk ke bisnis biskuit. Menyusul tahun berikutnya Garuda Food memulai jelly sebagai snak. Fondasi bisnis Garudafood harus semakin diperkuat. Sehingga mulai dilakukan secara serius pada 2010 ini, yaitu pengembangan distribusi, pembangunan gudang secara besar-besaran, pusat distribusi regional, jaringan suplai serta pembenahan sistem. Tentang Sistem sangat bergantung pada pembentukan kultur dan nilai. Produk-produk GarudaFood didistribusikan oleh PT Sinar Niaga Sejahtera (SNS) yang merupakan Divisi Distribusi dari holding company. Didirikan 1994, peran SNS sangat menentukan bagi perkembangan Garudafood. Karena perannya, berbagai macam produk Garudafood bisa diperoleh konsumen di wilayah-wilayah pelosok seluruh Indonesia. SNS telah memiliki sejumlah depo yang melayani ratusan ribu outlet pelanggan di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, untuk lebih memperluas jaringan, SNS juga bermitra dengan subdistributor besar yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Dengan kekuatan jaringan serta

armada distribusi yang sangat memadai, sejak 1994 SNS telah menjadi salah satu perusahaan distributor FMCG terbaik untuk kategori makanan dan minuman. 4. Kemitraan Untuk penyediaan stok bahan baku kacang tanah, Indonesia masih mengimpor dari luar negeri. Sungguh ironis, di negeri yang dikenal memiliki tanah subur dan mata pencaharian penduduk mayoritas adalah petani harus terus mengandalkan produk luar negeri. Guna menyiasati kurangnya produksi kacang tanah di Indonesia, pada 12 Maret 2002 lalu PT Garudafood menjalin kemitraan dengan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri), Bank Bukopin dan Pondok Pesantren Al Barokah di Sukabumi, menanam kacang tanah di Jawa Barat seluas 1000 Ha. Boleh jadi, ini merupakan terobosan baru bagi petani miskin di Sukabumi. Sudhamek menjelaskan PT Garudafood akan terus memperluas kemitraan dengan petani kacang di berbagai daerah mengingat kebutuhan bahan baku perusahaan itu terus meningkat menyusul beroperasinya dua pabrik baru di Sukabumi (Jabar) dan Lampung. Sejauh ini, menurut dia, kebutuhan bahan baku kacang yang dipasok petani mitra baru sekitar 20% dari total kebutuhan bahan baku kacang tanah dan selebihnya masih dipenuhi dari pasokan pedagang maupun importir. 5. Sumber Daya Manusia Pertumbuhan, baik itu ditempuh secara organik maupun akuisisi, adalah harapan pelaku bisnis. Persoalannya, seiring dengan pertumbuhan yang ada, seiring dengan pertambahan unit bisnis, jumlah pemimpin yang kapabel untuk mengelola semua yang tengah mekar itu acapkali tak memadai. Mengambil business leader adalah salah satu jalan agar derap tetap terjaga. Namun, cara pintas itu tak selalu memuaskan. Menyuntikkan orang luar tak selalu membawa kesegaran cara pandang dan strategi bisnis. Alhasil, cara lain yang pantas ditempuh adalah menyiapkannya secara dini serta didesain dengan apik: creating business leader. Itulah yang tengah dilakoni Grup Garudafood. Dibangun pada 1995, perusahaan ini tumbuh pesat di sektor produk konsumer, sejajar dengan Grup Orang Tua, Mayora dan Wings. Tanpa terasa, karyawan yang harus dikelola mencapai 18.000 orang. Di divisi bisnis food and beverage saja, 10 pabrik (di Jawa dan Sumatera) mesti dikelola. Belum lagi bisnis-bisnis baru, termasuk farmasi. Di satu sisi, Sudhamek A.W.S. pasti sangat senang melihat bisnis yang dibangunnya tumbuh eksponensial. Namun, di lain sisi juga kalang kabut karena harus pontang-panting memenuhi ketersediaan pemimpin bisnis. Guna mengatasinya, sejak setahun lalu Garudafood perusahaan holding-nya belakangan diganti menjadi Tudung Group (TG) membangun sekolah untuk mendidik SDM internal yang diproyeksikan menjadi pemimpin di lingkungan kelompok usaha ini. Bila dalam dunia kemiliteran sekolah calon pemimpin seperti ini sering disebut sebagai Sekolah Staf dan Komando (Sesko), manajemen TG menyebutnya sebagai Tudung Leadership Development Institute (TLDI). Ini cara kami untuk mendapatkan leaders pool dengan membangun sendiri, mendesain sendiri dan melakukan talent management, kata Sudhamek, CEO TG. Sebelumnya TG selalu menggunakan dua cara dalam mengisi kebutuhan SDM. Pertama, mengambil dari luar. Tantangannya, meski orangnya berkualifikasi bagus, tapi

budaya kerjanya sering tidak sesuai. Kedua, mencari dari lulusan perguruan tinggi yang akan dididik melalui jenjang karier. Hanya saja, metode ini sering merepotkan terutama ketika permintaan akan kebutuhan eksekutif sedang tinggi, sementara output dari perguruan tinggi kurang siap pakai. Tak ayal, TLDI adalah sebuah ikhtiar mencetak pemimpin dari kebun sendiri. Sepintas, TLDI tak ubahnya sebuah lembaga pelatihan internal. Di dalamnya disiapkan berbagai paket pelatihan lengkap dengan modul-modulnya. Ada jenjang (grade) dan kelas pelatihan sesuai dengan posisi peserta. Misalnya, kelas pelatihan untuk management trainee (Tudung Basic Management Programme), kelas para supervisor (Tudung Supervisory Management Programme), lalu executive development programme, dan middle management development programme. Kendati demikian, sebenarnya tugas TLDI bukan semata-mata pelatihan, melainkan pengembangan pemimpin secara utuh. Termasuk knowledge management, strategic leaders database management dan leadership resources management. Para pengajarnya, selain orang-orang yang dedicated bekerja di TLDI, juga jajaran puncak di TG. Mereka diharuskan mau menjadi pengajar di sekolah yang pengelolaannya di bawah lingkup Divisi Corporate Human Capital (HR) TG ini. Yang menarik, tidak sembarang karyawan TG bisa masuk TLDI. Mereka yang masuk dalam penggodokan memiliki ciri kompeten sekaligus sholeh atau taat agama, ujar Sudhamek. Untuk sampai pada kriteria ini, TD menelusurinya dari 3C dan 1P. Bila dijabarkan, 3C tersebut Competent di pekerjaannya masing-masing, Compassionate (memperhatikan orang lain), Courageous (berani) dan Prayers (saleh). Hanya mereka yang spiritual tapi juga kompeten, concern pada orang lain, dan berani yang masuk leaders pool, katanya menegaskan. Dari berbagai parameter itu, aspek yang tidak lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan besar lainnya adalah P (prayer) alias orang yang saleh. Tentang hal ini Sudhamek menjelaskan, pihaknya memang ingin mengarahkan perusahaannya menjadi spiritual company. Spiritual leader menjadi daya tarik kami. Tak pelak lagi, untuk mencari calon-calon pemimpin dari karyawan internal ini, manajemen TD mesti melakukan pemilihan. Proses penilaian (assessment) pun digelar. Jadi, siapa pun yang ingin masuk kelas pelatihan harus lulus assessment dulu. Tiap karyawan punya kesempatan mengikutinya dua kali dalam setahun (Januari dan Juli). Dalam assessment ini ada dua dimensi yang dilihat. Pertama, aspek deliver the number (bagaimana dia mencapai targettarget yang sudah ditentukan). Lalu, aspek live the value, dilihat bagaimana orang tersebut menjalankan corporate core value TG. Penilaian tersebut kami tuangkan dalam 30 pernyataan dan karyawan dinilai secara 360 derajat oleh atasan, bawahan dan teman sejawatnya, Sudhamek menjelaskan. Saat ini TG sudah punya 90 orang yang masuk leaders pool. Sementara itu, management trainee (MT) jumlahnya 18 orang. Awalnya ada 200 orang mahasiswa yang akan masuk MT, tapi hanya 5% yang terseleksi atau 10 orang. Yang 8 orang lainnya adalah kandidat yang diseleksi dan dititipkan, khusus para manajer. Sudhamek tak mengelak TLDI agak mirip Astra Management Development Institute (AMDI), lembaga serupa yang dikembangkan Grup Astra. Memang banyak orang human capital kami yang dari Astra. Salah satu benchmark kami memang ke AMDI, jawabnya. Namun bedanya, TLDI tidak hanya mengasah kompetensi inti, tapi juga

menambahkan value yang dianut perusahaan. Tentang anggota keluarga Sudhamek yang masuk dalam leaders pool, dijelaskannya, tidak ada keistimewaan dibanding lainnya.Kami bersaudara total 11 orang, yang aktif hanya saya dan kakak yang kebetulan Direktur R & D. Yang 9 orang tidak aktif, sebagai shareholder dan komisaris saja, ujarnya. Bagaimana dengan para keponakan dan saudara lainnya? Mereka justru mendapat kriteria lebih berat. Kalau orang lain hanya dikenakan dua kriteria, yang dari keluarga justru harus memenuhi tiga kriteria, jawabnya. Selain harus lulus tes, dan memiliki kompetensi yang cocok dengan posisi yang ditawarkan, mereka harus punya pengalaman kerja di perusahaan lain (di luar perusahaan keluarga) minimal dua tahun. Robertus Hariono Imam, Head of Department TLDI, menambahkan bahwa tugas lembaganya fokus pada pengembangan leadership. Dalam bekerja, lembaganya tak sendirian, melainkan selalu bekerja sama dan menyesuaikan diri dengan fungsi-fungsi corporate human capital lainnya. Misalnya, karena harus mengambil orang-orang dengan kriteria tertentu, otomatis juga harus bekerja sama dengan bagian rekrutmen. TLDI memiliki program-program pelatihan yang mencakup soal leadership ataupun fungsional. Leadership programme harus diambil setiap orang yang akan naik tingkat dalam jalur leadership. Mereka yang masuk dalam grade 4 ke atas, kata Robertus, profesional yang pernah bekerja di AMDI. Sekadar catatan, di TG, karyawan grade 4 posisinya masih staf, sedangkan 5 sudah masuk supervisor. Sementara itu, orang luar yang masuk melalui program MT akan dimasukkan dalam grade 3 dulu dan setelah melalui assessment, maka akan masuk dalam Tudung Basic Management Programme (TBMP). Bagi para MT memang butuh waktu cukup lama untuk bisa masuk dalam leaders pool TG. Jika TLDI kemudian dikesankan mirip Sesko TNI, Hariono tak menyangkalnya. Hanya saja, dalam pandangannya, dampak TLDI tak hanya pada pembentukan pemimpin, tapi juga keseluruhan TG. Pasalnya, TLDI juga bertanggung jawab atas pengembangan kultur perusahaan. Sesko hanya mencetak para komandan, TLDI lebih dari itu, tuturnya. Dibandingkan AMDI milik Astra, masih menurut Robertus, TLDI juga berbeda karena mendeteksi para calon pemimpin melalui MT yang kemudian diasah lewat aneka proyek yang dipantau kemajuannya. Dadang Irawan, Team Leader TLDI, mengakui sekolah ini memang baru dimulai tahun 2007, tapi bosnya, Sudhamek, sebenarnya peduli dengan pengembangan human capital sejak tahun 2000. Sebelum ada TLDI, sempat diterapkan Learning, Attitude, & Potential Development (LAPD), lalu Corporate Competency Development (CCD) hingga akhirnya menjadi TLDI. Prosesnya berkesinambungan, disesuaikan dengan pertumbuhan bisnis yang ada, kata Dadang. Program dalam TLDI sangat menekankan unsur value karena meyakini tanpa value tidak akan tercipta kultur kuat. Kalau dipelajari, perusahaan yang bertahan lama karena punya kultur kuat, seperti Unilever dan GE (General Electric), Robertus menimpali. Lamanya setiap pelatihan di TLDI berbeda-beda. Para MT yang baru lulus (fresh graduate), misalnya, dilatih dua minggu di dalam kelas. Mereka diberi pelatihan tentang berbagai dimensi di TG mulai dari kultur, value, prinsip, sampai bisnisnya. Intinya, mereka diubah paradigmanya dari akademik menjadi paradigma bisnis, supaya terlibat dalam bisnis praktis

sehari-hari. Di TBMP ini mereka mengikuti project yang konkret dan terkait dengan perusahaan di mana mereka ditempatkan, paparnya. Baru setelah itu mereka masuk ke tempat kerjanya selama setahun, sembari terus dipantau perkembangannya. Di TG, sumber untuk leaders pool itu tak hanya dari MT, tapi juga dari karyawan lama. Maklum, tiap 6 bulan TG mengukur performa menggunakan tiga dimensi kinerja: key performance indicators (KPI), value dan kompentensi. Mereka yang terpilih sebagai bintang lalu masuk dalam leaders pool dan diikutkan dalam program TLDI, sesuai dengan jenjangnya. Sistem yang kami jalankan fair. Karyawan yang lama pun punya kesempatan dengan tolok ukur yang sama dengan yang lama, kata Robertus kembali. Yang menarik, menyangkut karyawan yang sudah lama berkarya di Garudafood dari level bawah tetapi kualiafikasi pendidikannya tak tinggi terutama mereka yang bekerja di daerah seperti di Pati, Jawa Tengah, Kami tetap menyampaikan pesan bahwa setiap orang akan diajak berkembang bersama, ujar Robertus. Pihaknya meyakinkan bahwa mereka tetap jadi bagian perusahaan meski tidak mengikuti program ini, sebab memang tidak semua bisa masuk dalam posisi manajemen puncak. Selain itu, memang tidak semua skill bisa ditularkan melalui TLDI karena tidak semua ada modulnya. Terutama, skill dengan kualifikasi sangat khusus seperti keahlian memilih kacang. Untuk yang seperti itu, kami buat on job training. Misalnya, dengan cara satu orang di-training 2-3 orang sehingga ilmunya bisa ditransfer, tuturnya. Tentu, isu yang menarik, soal pembajakan. Betapapun TG pasti tak ingin yang sudah dikembangkannya tiba-tiba diambil perusahaan lain. Soal isu ini Robertus berpendapat Kami percaya kultur itu memiliki nilai. Seseorang yang sedang tumbuh dalam kultur dan nilai yang baik tak akan mudah tergiur, ujarnya. Sebab itu, yang dipentingkan dalam TLDI bukan sekadar angka, tapi juga integritas pribadinya. Diharapkan dengan hidup dalam kultur yang baik, orang menjadi cukup nyaman bekerja. Kami ingin memanusiakan manusia. Kami kembangkan kemanusiaannya, dan kemanusiaan itu bukan hanya material, tapi juga segi spiritual. Yang jelas, menurut Robertus, keberadaan TLDI dinilai oleh karyawan sebagai hal positif. Mereka tahu akan dipersiapkan ke mana, tuturnya. Karyawan juga tahu ada sesuatu yang dikejar. Apalagi dengan pola ini, berarti perusahaan tidak akan mengambil dari luar, melainkan mementingkan pemimpin yang dicetak dari dalam. Sebaliknya, bagi perusahaan, cara sekarang juga sangat membantu. Ketika perusahaan butuh SDM tertentu, manajemen tinggal memanggil para calon leader yang sudah dikumpulkan itu, katanya. Albert Lumunon, karyawan yang menjabat Manajer Layanan Pemasaran Garudafood juga merespons positif keberadaan TLDI. Lulusan Manajemen Fakultas Eekonomi Universitas Gadjah Mada ini sudah bergabung di Garudafood sejak 2002. Dia pernah ikut LAPD dan CCD. Di TLDI resource-nya lebih bagus karena didukung sarana pelatihan sendiri, kata Albert. Dia melihat istitusi ini lebih powerfull dalam mencetak leader, dibandingkan CCD atau LAPD. Sistemnya lebih tertata. Timnya juga bagus, sebab mereka juga mentor pengembangan human capital di TG. Program-program yang dikembangkan TLDI lebih bagus, kata Albert. Dia juga menyarankan agar TLDI memperkuat sumber daya dan memperbanyak sosialisasi.

Mendengar pembentukan TLDI di TG, Diah Tuhfat Yoshida, pemerhati bidang manajemen yang juga kandidat doktor bidang manajemen di Monash University, berpandangan bahwa apa yang dilakukan TG cukup tepat karena salah satu persoalan yang banyak dihadapi perusahaan di Indonesia ialah keterbatasan sumber daya pemimpin. Cara seperti itu cukup bagus untuk menciptakan leader dari dalam, katanya. Diah kemudian melihat top 20 global companies seperti GE, P & G, Nokia, Capital One Financial 6 dan General Mills. Mereka bisa seperti itu juga karena sistem pengembangan leader-nya sangat baik. Leader development mereka juga embedded dengan filosofi dan sistem operasional yang ada di dalamnya. Belum lagi jumlah uang yang mereka bujetkan untuk hal ini juga besar, katanya. Diah menyarankan agar lembaga semacam ini mengombinasikan antara pelatihan formal dengan on the job training dan assignment. Selain itu, program seperti ini akan efektif bila mengombinasikan 10% dari pelajaran di kelas, 20% dari interaksi dengan orang lain dan 70% dari pengalamannya sendiri baik melalui assignment, job rotation, ataupun team work. Yang tak kalah penting, peran CEO. Jeff Immelt (CEO GE), Diah memberi contoh, menghabiskan 30% waktunya untuk memperhatikan program leadership development. Bahkan, CEO Hindustan Unilever menghabiskan 40% waktunya untuk ini. Maklum, calon pemimpin kerap membutuhkan sentuhan tersendiri. Tak seperti produk yang bisa ditiru, pemimpin sulit sekali diimitasi. Sudhamek pun rasanya memahami ini dengan baik.

Sumber Daya Hardware mesin komputer, monitor video, disk drive, dll. media floppy disk, disk optical, cd, telephone, dll. Sumber Daya Software program program sistem informasi, program spreadsheet, dll. prosedur- prosedur entri data, prosedur pendistribusian, dll. Sumber Daya Data deskripsi produk, catatan pelanggan, data kepegawaian, database persediaan. Sumber Daya Jaringan media komunikasi, pemroses komunikasi, software untuk akses, pengendalian jaringan dan LAN.

You might also like