You are on page 1of 3

Yudha Wisnu Kurniawan 210110090184

Kapan Nobel ke Indonesia?

Oktober kemarin, pemenang-pemenang Hadiah Nobel sudah resmi diumumkan. Mereka yang mendapatkannya berasal dari berbagai negara di dunia mulai dari Amerika Serikat, Liberia dan bahkan Yaman. Liberia dan Yaman memang tergolong baru dalam pernobelan, Amerika Serikat justru menjadi negara dengan peraih Nobel terbanyak. Indonesia? Sejak pertama kali Hadiah Nobel diberikan pada tahun 1901 sampai tahun 2011, nama Indonesia masih tidak ada di dalam daftar peraih Nobel. Tentunya hal ini patut menjadi sebuah pertanyaan. Dari sekian banyak profesor, ilmuwan dan sastrawan di Indonesia, kenapa Indonesia tidak pernah sekalipun mendapatkan Hadiah Nobel? Bukan masalah mendapatkan hadiah uang yang diperebutkan. Menjadi salah satu negara yang memiliki seorang peraih Nobel adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi negara tersebut, sebuah gengsi di mata dunia. Pernah meraih Nobel Di akhir tahun 1996 Indonesia kaget ketika nama Carlos Filipe Ximenes Belo dan Jos Ramos-Horta mendapat Hadiah Nobel Perdamaian. Untuk generasi muda di Indonesia sekarang, nama itu mungkin terdengar asing. Tapi bagi mereka yang mengikuti konflik di Timor Timur tahun 90an, nama itu sudah tak asing lagi. Dua orang inilah yang memperjuangkan hak rakyat Timor Timur untuk merdeka dan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Merekalah yang membuat PBB akhirnya mau melirik konflik yang terjadi antara Indonesia dan Timor Timur. Usaha mereka meminta bantuan pada PBB tidak sia-sia. Meski harus menunggu beberapa tahu, akhirnya Timor Timur lepas dari Indonesia dan berdirilah Timor Leste, sebuah negara baru yang merdeka. Dilihat dari sejarah, nama Indonesia mungkin memang pernah tercatat dalam peraih nobel ketika Ximenes Belo dan Ramos-Horta mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. Tapi ketika melihat daftar lengkap peraih nobel dari tahun 1901 sampai 2011, nama
1

Yudha Wisnu Kurniawan 210110090184 Indonesia tidak tercatat di sana. Nama Ximenes Belo dan Ramos-Horta tercatat sebagai peraih Nobel yang berasal dari negara East Timor (Timor Leste). Tahun 1996 mungkin Indonesia boleh berbangga diri, Indonesia memiliki dua orang yang mendapat Nobel Perdamaian. Nobel Perdamaian yang didapat akibat konflik yang terjadi di dalam negara sendiri. Kurang mampu menyelesaikan masalah sendiri Masyarakat Indonesia tentu masih ingat bagaimana konflik di Aceh yang tak pernah selesai selama bertahun-tahun. Berbagai cara untuk menyelesaikan konflik telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk berdamai. Perjanjian damai akhirnya bisa dicapai, namun itu berkat bantuan dari seorang utusan PBB, Martti Oiva Kalevi Ahtisaari. Martti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia dan juga peraih Nobel Perdamaian di tahun 2008 berkat jasanya menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di berbagai benua. Salah satu jasa yang paling dikenal masyarakat Indonesia tentunya adalah perannya sebagai mediator antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Sebuah konflik yang ada di negara sendiri dan diselesaikan berkat bantuan dari negara lain, ironisnya orang dari negara lain yang mendapatkan penghargaan. Tidak salah memang, hanya saja hal tersebut patut menjadi tamparan tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah. Tidak adanya kemauan untuk berkembang dan sudah merasa puas dengan apa yang disediakan lingkungannya menjadi salah satu sebab kenapa masyarakat Indonesia jarang mendapat penghargaan. Menyukai segala sesuatu yang instant untuk dipakai menjadi sebuah kerugian di Indonesia, lebih suka diselesaikan orang lain daripada menyelesaikan sendiri. Masyarakat mudah puas Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sering sekali disuguhi beragam teknologi baru yang sangat memanjakan mereka. Keadaan itulah yang membuat masyarakat Indonesia mudah merasa puas dengan apa yang ada di sekeliling mereka sekarang, seolah tak pernah terpikir untuk mengembangkan hal di sekeliling mereka.
2

Yudha Wisnu Kurniawan 210110090184 Seperti yang diketahui, Indonesia merupakan salah satu target pasar produk-produk dari negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat. Barang-barang elektronik dan alat transportasi yang ada di pasaran Indonesia sebagian besar merupakan barangbarang asal luar negeri. Memang ada yang dibuat di Indonesia, tapi itu hanya berupa pabrik. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih percaya pada produk yang bukan berasal dari negara sendiri inilah yang mendorong ketidakmauan orang untuk mengembangkan teknologi sendiri. Masyarakat akan lebih memilih menggunakan mobil Honda yang lebih jelas kualitasnya daripada mobil buatan Indonesia yang belum terlalu bagus. Padahal, jika mendapat dukungan dari masyarakat mobil buatan Indonesia harusnya dapat berkembang menjadi lebih baik. Seharusnya pengembangan teknologi di dalam negeri lebih diperhatikan dan didukung. Ambil saja contoh masyarakat dan pemerintah Amerika Serikat yang sangat mendukung perkembangan teknologi. Perlu diketahui, Amerika Serikat dulunya hanya sebuah negara kosong yang hanya dihuni oleh koloni-koloni Inggris dan jauh tertinggal dibanding negara-negara di Eropa. Tapi sekarang mereka sudah menjadi negara adidaya yang sangat maju. Adanya dukungan dari masyarakat dan pemerintah lah yang membuat Amerika Serikat menjadi negara maju seperti sekarang. Keinginan untuk mencari hal-hal baru juga mendorong banyaknya penemuan yang ditemukan di Amerika. Berbeda dengan Indonesia yang lebih menyukai barang-barang yang sudah pasti ada daripada mengembangkan sesuatu yang baru. Sampai kebiasaan itu bisa dihilangkan, sepertinya Indonesia cukup bermimpi saja ada salah satu dari masyarakatnya yang mendapat Nobel.

You might also like