You are on page 1of 42

CASE Page 1 You are 5th year medical student who was in charge in Emergency Room of Gatot Soebroto

Hospital when Mr. Teten, 45 years old, was brought by his family with chief complaint of repeated spasms. The spasms were experienced since yesterday. The spasms were tonic, lasted for several seconds. Sometimes his abdomen went up when he had spasms. His family noticed that he always remains conscious while having his seizures, and he looked in terrible pain. The spasms came incidentally, they may come spontaneously or while someone touches him. mk Two days ago, he started to feel stiffness in his jaws and the stiffness proceeded to get worse and now he can barely open his mouth. Within this day, he mentioned having difficulty in swallowing food, or even water. He also complained about having similar stiffness in his neck and abdomen. Page 2 He is mentally alert, and looks in terrible pain. Vital sign: blood pressure 140/100 mmHg, heart rate 132 beats per minute, respiratory rate 40x/min, body temperature (axial) 390C Physical examination spasms reveals trismus (3 cm), rhesus sardonicus. There is a boardlike rigidity on palpation of abdominal muscle. He also has opisthotonus (back muscles are also rigid). On the sole of right foot there is an infected penetrating wound. Reflex spasms present several times during observation and some spasms appear when the doctor touches his skin. Complete blood count reveals no abnormalities EKG finding: sign of myocarditis Page 3 Treatments given are: - Wound debridement - Oxygen

- Diazepam as spasmolytics, Dosage adjusted until spasms are controlled - Equine antitetanus toxin 50.000 IU i.m - Tetanus Toxoid 0,5 cc IM - Procaine Penicilin 50.000 I.U/kgBB Tracheostomy was performed to the patient Epilogue After 5 days hospitalized in ICU, the Tetens condition become better, then he moved to neurology ward. Nine days later he is discharged in a good condition. He got Tetanus Toxoid (TT) shot before leaving the hospital and was told to get the second shot of TT within 6 weeks.

Hipotesis

Tetanus Rabies Infeksi intracranial Epilepsy Kejang demam Tumor intracranial

More Info
-

Anamnesa tambahan
a. RPK b. RPD

Pemeriksaan Penunjang a. Px.CSF b. Biakan Kuman

c. Habbitual d. Riwayat Luka e. Riwayat Imunisasi Pemeriksaan Fisik a. EENT

b. VS A.

Kejang

Definisi

Kejang Adalah Suatu kejadian paroksimal yang disebabkan oleh lepas muatan hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron SSP Manifestasi kejang adalah kombinasi beragam dari perubahan tingkat kesadaran, serta gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonom, bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini. Kejang dpt terjadi hanya sekali atau berulang Kejang Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik Epilepsi Kejang rekuren, spontan dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolik yang terjadi bertahun-tahun

Epidemiologi Usia: Tahun pertama kehidupan Usia 60 tahun

Jenis kelamin: Wanita < Pria 75% pasien epilepsi mengalami kejang pertama < usia 20 tahun. Apabila kejang pertama kali pada > usia 20 tahun sekunder

Etiologi

Patofisiologi Kejang terjadi akibat adanya lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik Letak lesi mempengaruhi:

Otak tengah, talamus dan korteks cerebrum dpt terjadi kejang Cerebelum dan batang otak tidak memicu kejang

Fenomena biokimiawi pada fokus kejang: Instabilitas membran sel saraf, sehingga lebih mudah sel mengalami pengaktifan Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi atau selang waktu dalam repolarisasi yg disebabkan oleh kelebihan asetikolin atau defisiensi asam gamaaminobutirat (GABA)

Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini dapat menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhonitorik

Klasifikasi Terdiri dari:


1. Kejang Parsial Kejang dengan kesadaran utuh Fokus di satu bagian tetapi dpt menyebar ke bagian lain

Parsial Sederhana Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral) Bersifat sensorik (merasakan, membaui, mendengarkan sesuatu yang abnormal) Bersifat autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium) Bersifat psikis (disfagia, gangguan daya ingat) Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit

Parsial Kompleks

dimulai sederhana

sebagai

kejang

parsial

Berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju) Beberapa kejang parsial komplek mungkin berkembang menjadi kejang generalisata Biasanya berlangsung 1-3 menit

2. Kejang Generalisata kejang dengan kesadaran berubah tetapi tidak

hilang Tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, tidak ada aura Macam-macam Kejang Generalisata:

Tonik-klonik Spasme tonik klonik otot, inkontinensia urin dan alvi, menggigit lidah, fase pascaiktus

Absence Sering salah mendiagnosa sebagai melamun, menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secara cepat, tonus postural tidak hilang, berlangsung beberapa detik

Mioklonik Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai cenderung singkat

Atonik Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks)

Klonik Gerakan menyetak repetitif, tajam, lambat dan tubuh bagian atas, fleksi lengan

Tonik Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi Dapat menyebabkan henti napas

Diagnosa

Anamnesa Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Tambahan/Penunjang EEG EEG yang normal pada anak dgn kejang tonik klonik

CT Scan ada/tidaknya neuropati fokal MRI dapat mendeteksi lesi kecil, malformasi pembuluh.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan primer terapi obat untuk mencegah timbulnya kejang atau mengurangi frekuensi sehingga pasien dpt hidup normal Obat yg dipilih, harus sesuai: Diagnosa Jenis Kejang Usia Keadaan sosial ekonomi Faktor kepatuhan Diet dan pembedahan masih digunakan. Diet Diet ketogenik Diet trigliserida rantai-sedang Diet rendah karbohidrat tinggi-lemak Pembedahan Tujuan: untuk mengankat jaringan otak sesedikit mungkin sehingga aktivitas kejang akan berkurang Diet: Diet ketogenik Diet trigliserida rantai-sedang

Diet rendah karbohidrat tinggi-lemak

Tujuan Merawat pasien kejang: Memelihara kepatenan jalan nafas Mencegah cedera Mempertahakan pasien dalam posisi berbaring menyamping utk mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan air liur Mencegah lidah menyumbat jalan napas Melindungi kepala sewaktu kejang Menyingkirkan dari seluruh benda yang membahayakan.

B. TETANUS
1. Definisi

Gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. (IPD jilid 3) Penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. (Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi 2 IDAI)

2. Epidemiologi

Tetanus tersebar diseluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada : jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal (gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksin ulangan) tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan, pertanian, pedesaan, daerah dengan iklim hangat, musim panas, dan pada penduduk pria

adanya luka pada kulit atau mukosa pada negara yang tanpa program imunisasi komprehensif terutama terjadi pada neonatus dan anak-anak resiko paling tinggi pada populasi usia tua

Negara-negara yang sering terjadi terutama yang beriklim tropis : brazil, filipina, vietnam, indonesia, dan negara lain di benua Asia. Reservoir utama kuman ini : tanah yang mengandung kotoran ternakm, kuda dll. Spora kuman Cl. tetani yang tahan terhadap kekeringan bertebaran di : debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik (dermatol), alat suntik, dan alat operasi. Tetanus bersifat endemik pada negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara, dan 152.000 di Afrika.

3. Etiologi dan Bakteriologi

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif Clostridium tetani. Habitat : tanah, kototran binatang peliharaan, dan manusia. morfologi, replikasi, struktur, karakteristik , patogenesis, dan penyebab penyakit Bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak Bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora

- Spora : tidak berwarna, oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam, tahan terhadap sinar matahari, resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. - Bakteri ini menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat

- Dibawah kendali plasmin, tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi -

Tetanospasmin : merupakan rantai polipeptida tunggal

Dengan cara autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah membentuk heterodimer yang terdiri dari : rantai berat (100kDa) : memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya kedalam sel rantai ringan (50kkDa) : memblokade pelepasan neurotransmiter. Struktur asam amino terdiri dari : Toksin yang paling kuat : toksin botulinum Toksin tetanus secara parsial bersifat homolog DNA toksin ini terkandung di dalam plasmid

4. Patogenesis

Spora masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anaerobik berubah menjadi bentuk vegetatif berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat nanah, nekrosis jaringan, atau benda asing (ex: bambu, pecahan kaca, dll). Awalnya toksin merambat dari tempat luka lewat motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum belakang menyebar ke seluruh susunan saraf pusat Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut kearah sel secara ekstra aksional dan menimbulkan perubahancpotensial

membran dan gangguan enzim kolinesterase tidak akif kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena.

Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot tonus otot meningkat timbul kekakuan. Bila tonus makin meningkat timbul kejang (terutama pada otot yang besar).

5. Gejala klinis / manifestasi klinis

Masa inkubasi bervariasi : berkisar antara 5-14 hari.

Makin lama masa inkubasi gejala yang timbul makin ringan. Kekakuan dimulai pada otot setempat/trismus menjalar ke seluruh tubuh tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas : o fleksi kedua lengan dan ekstensi pada seluruh kaki o fleksi pada telapak kaki o tubuh kaku melengkung bagai busur.

6. Diagnosis

Mutlak didasarkan pada gejala klinis

A. Anamnesa :
a. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka

dengan nanah atau gigitan binatang sekret luka hendaknya dikultur b. Apakah pernah keluar nanah dari telinga c. Apakah menderita gigi berlobang

d. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir
e. Selang waktu antara timbulnya gejala klinis yang pertama

(trismsus/spasme lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset) B. Px. Lab : leukosit meningkat C. Px. CSS : menunjukkan hasil yang normal D. Elektromyogram : mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenangyang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. E. EKG : dapat dijumpai perubahan non spesifik F. Enzim otot mungkin meningkat G. Kondisi lokal : trismus, abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (ex: fenotiasin, metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan metabolik dan neurologis pada neonatal. H. Kondisi lain : meningitis/ensefalitis, rabies, dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan otot abdomen), meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada, punggung dan perut)

Referensi

Buku Ajar IPD jilid III Edisi IV Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi II
en.wikipedia.org/wiki/Tetanus www.google.com (gambar)

C.

Rabies

Definisi

Penyakit infeksi akut pada sistem saraf pusat yang biasanya bersifat fatal pada mamalia, termasuk manusia, disebabkan oleh rhabdovirus. (dorland edisi 29) Epidemiologi Penyakit rabies tersebar dseluruh dunia dengan frekuensi kasus dan spesifikasi vektor penular yang berbeda2. Di Amerika serikat rubah, racoon, kelelawar Di Amerika tengah & Latin kelelawar vampir Di Asia & Afrika anjing Rabies ditemukan di Indonesia pd thn 1889 pd seekor kerbau di Bekasi. Di daerah tropis spt Indonesia tercatat kasus tertinggi di NTT, Sumatera Barat, Riau.

Etiologi

Virus rabies termasuk famili Rhabdovirus Bentuk virus menyerupai peluru Berukuran 180 nm dgn diameter 75 nm Pada permukaan terlihat bentuk2 paku dgn panjang 9 nm Vitus tersusun dari KH, P, L, RNA. Sifat virus peka terhadap panas namun mati di bila berada d suhu 50 drajat C slama 15 menit Memiliki 2 macam antigen : Antigen glikoprotein Antigen nukleoprotein

Cara penularan Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang spt anjing, kera, kucing, serigala, kelelawar & dtularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dgn luka pd host ataupun melalui membran mukosa. Kontak virus rabies pd kecelakaan kerja di laboratorium Akibat vaksinasi dari virus yg masih hidup Pd org yg mengunjungi gua kelelawar tanpa ada gigitan /melalui inhalasi

Gejala Klinis Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan,masa inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari -7 tahun Karena lamanya inkubasi kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasinya lebih pendek daripada orang dewasa

Masa inkubasi dipengaruhi oleh lokasi tempat gigitan sehingga makin jauh tempat gigitan dari kepala, makin panjang perjalanan penyakitnya.

Stadium stadium prodormal Berlangsung 1-4 hari Tidak ada gejala spesifik Gejala : demam, menggigil, batuk, odinofagia, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia, mual, muntah, diare, nafsu makan menurun Gejala yang lebih spesifik : gatal-gatal, parastesia pd luka gigitan yang sudah sembuh

Stadium Neurologik Akut (2-7 hari) A. Gejala furious o Hiperaktif, disorientasi, halusinasi, bertingkahlaku aneh o Setelah bbrp jam gejala hiperaktif menjadi intermiten setiap 1-5 menit menjadi : agitasi, ingin lari, menggigit diselingi periode tenang o Keadaan hiperaktif dpt terjadi krn rangsangan dr luar spt suara, cahaya, tiupan udara, & rangsang lainnya shg timbul bermacam2 fobia
o

Jk penderita dberi minum akan terjadi spasme hebat otot2 faring takut pada air (hidrofobia) KHAS

Fobia terhadap rangsang sensorik : meniupkan udara kemuka (aerofobia), menjatuhkan sinar ke mata (fotofobia) Tanda klinis lain : hiperaktifitas, halusinasi, gg kepribadian, lesi saraf kranial, faskualasi otot, gerakan2 involunter,Dilatasi pupil

Lesi pd nukleus amigdaloid : libido meningkat, priapismus, orgasme spontan Gejala otonomik : dilatasi pupil yg ireguler, hipertensi takikardi

B. Gejala paralitik demam, sakit kepala, paralisis pd ekstremitas yg digigit, kaku kuduk, tidak dtemui : hidrofobia, aerofobia, hiperaktivitas, kejang Kesadaran dapat utuh tetapi dpt memburuk secara gradual menjadi bingung, disorientasi, paraplegia, gg.menelan, kelumpuhan pernapasan meninggal

Stadium koma (tjd 10 hari) jika tdk terjadi kematian penderita mengalami koma Dpt berlangsung bbrp jam s/d berbulan2 tergantung dr penanganan intensif Jika tdk dtangani penderita meninggal Rata2 lama perawatan sampai meninggal 13 hari

Diagnosis Banding Rabies histerik Tetanus Perubahan patologi Degenerasi sel ganglion Infiltrasi sel mononuklear & perivaskular, neuronofagia Pembentukan nodul pd glia pd otak & medula spinalis
Dijumpai negri bodies benda intrasitoplasmik yg berisi komponen

virus terutama protein ribonuklear & fragmen organela seluler spt ribosom

Pemeriksaan Lab Awal penyakit :


Hb normal dan sdkt menurun Wbc 8000-13000/mm3 Dgn 6-83 monosit yg atipik Leukositosis 20000-30000/mm3 Trombosit normal

Urinalisis albuminuria & peningkatan sel leukosit pd sedimen CSS gambaran ensefalitis, peningkatan leukosit EEG gelombang lambat dgn penekanan aktivitas & paroksisimal spike CT & MRI otak normal Isolasi virus pd minggu pertama saliva, hapusan tenggorok, trakea, kornea, sampel biopsi kulit, otak, css, urin Kadang tdk berhasil stlh 10-14 hari sakit krn adanya neutralizing AB Negri bodies sifat : asidofik, bentuk bulat & pd yg klasik tdpt butir2 basofilik dr dlm na.

Pengobatan dan Pencegahan A. Tindakan yg paling penting adlah pembersihan luka dari ludah yg mengandung virus rabies. Luka harus dbersihkan dengan sabun dan air sedini mungkin slama 5-10 menit, kemudian keringkan spy bibit penyakit mati Luka yang sudah bersih dan kering diberi mekurokrom, alkohol 40-70%, atau betadine, kemudian penderita dirujuk ke RS terdekat utk memperoleh pengobatan lanjutan. Vaksinasi Vaksinasi post- exposure

Prognosis

Vaksinasi pre- exposure

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf Prognosis rabies slalu fatal krn sekali saja rabies telah tampak hampir selalu kematian 2-3 hari sesudahnya sbg akibat gagal napas/henti jantung ataupun paralisis generalisata Referensi Widoyono, penyakit tropis, penerbit Erlangga Ilmu penyakit dalam, jilid 3 Buku Ajar Infeksi dan pediatri tropis, edisi kedua Dorland, edisi 29
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=mmed&part=A2413

D.

Infeksi Orofacial

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher curiga abses leher dalam

Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sbg akibat penjalaran infeksi, spt gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher
Etio : Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau

kuman campuran

1. Abses Peritonsil (Quinsy)

a. Etiologi

i. Kompliksi tonsilitis akut atau infeksi yg bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil ii. Kuman aerob dan anaerob

b. Patologi

i. Infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil (superior dan lateral

fosa totansilar) palatum mole bengkak


ii. Stadium infiltrasi bengkak dan permukaan hiperemis

berlanjut supurasi daerah tsb lunak berlanjut terus peradangan jar sekitar iritasi m.pterigoid interna trismus
iii. Pembengkakan peritonsil mendorong tonsil dan uvula kearah

kontralateral
iv. Abses pecah spontan aspirasi ke paru

c. Gejala dan tanda

i. Gejala dan tanda tonsilitis akut ii. Odinofagi hebat iii. Otalgia iv. Regurgitasi v. Foetor ex ore vi. Hipersaliva vii. Hot potato voice viii. Trismus ix. Pembengkakan kel. Submandibula dgn nyeri tekan

d. Pemeriksaan

i. Sukar memeriksa seluruh faring trismus

ii. Palatum mole membengkak dan menonjol kedepan, trdpt fluktuasi iii. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral iv. Tonsil bengkak, hiperemis, bnyk detritus, dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah

e. Terapi

i. Stadium infiltrasi antibiotik, obat simptomatik, kumur dgn

cairan hangat dan kompres dingin pd leher


ii. Abses pungsi lalu insisi utk mengeluarkan nanah iii. Dianjurkan tonsilektomi

f. Komplikasi

i. Abses pecah spontan perdarahan, aspirasi paru atau piema ii. Penjalaran infeksi parafaring mediastinum iii. Penjalaran intrakranial trombus sinus kavernosus, meningitis

dan abses otak

2. Abses Retrofaring

a. Biasanya pda anak < 5th pd usia tsb ruang retrofaring masih berisi kel.

Limfa (2-5 buah kanan-kiri). Pada usia 6 tahun kel. Limfa atrofi

b. Etiologi :

i. ISPA limfadenitis retrofaring

ii. Trauma dinding belakang faring


iii. Tuberkulosis vertebra servikalis bag. Atas

c. Diagnosis banding

i. Adenoiditis ii. Tumor iii. Aneurisma aorta

d. Terapi

i. Medikamentosa antibiotik dosis tinggi ii. Bedah pungsi dan insisi

e. Komplikasi

i. Penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera ii. Mediastinitis iii. Obstruksi jalan nafas sampai asfiksia
iv. Pecah spontan pneumonia aspirasi dan abses paru

3. Abses Parafaring

a. Etiologi

i. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pd saat tonsilektomi

ii. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal iii. Penjalaran infeksi submandibula dari ruang peritonsil, retrofaring atau

b. Gejala dan tanda

i. Trismus ii. Indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula iii. Demam tinggi
iv. Pembengkakan dinding lateral faring menonjol kearah medial

c. Diagnosis

i. Riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik ii. Foto rontgen jar. Lunak AP atau CT scan

d. Komplikasi

i. Peradangan intrakranial
ii. Kerusakan dinding PD perdarahan hebat

iii. Tromboflebitis dan septikemia

e. Terapi

i. Antibiotik dosis tinggi

ii. 24-28 jam tidak ada perbaikan eksplorasi dalam narkosis

insisi dari luar dan intraoral

4. Abses Submandibula

a. Etiologi

i. Infeksi dpt bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula ii. Kuman aerob dan anaerob

b.

Gejala dan tanda

i. Demam ii. Nyeri leher disertau pembengkakan dibawah mandibula atau dibawah lidah, berfluktuasi iii. Trismus

c. Terapi

i. Antibiotik dosis tinggi ii. Evakuasi abses atau eksplorasi dalam narkosis

E. Kejang Demam

Definisi Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih dari 15 menit.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan

suhu (suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (di luar rongga kepala). Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Klasifikasi Simple febrile seizures (Kejang Demam Sederhana) : kejang menyeluruh yang berlangsung < 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam. Complex febrile seizures / complex partial seizures (Kejang Demam Kompleks) : kejang fokal (hanya melibatkan salah satu bagian tubuh), berlangsung > 15 menit, dan atau berulang dalam waktu singkat (selama demam berlangsung). Faktor Resiko Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama Riwayat kejang demam dalam keluarga Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah relatif normal Riwayat demam yang sering

Kejang pertama adalah complex febrile seizure

Manifestasi Klinik
Suhu tubuh mencapai 39C atau lebih

Kejang khs menyeluruh tonik-klonik selama beberapa detik sampai 10menit diikuti periode mengantuk pasca kejang
Bila sampai lebih dari 15menit menunjukan adanya penyebab organik

seperti infeksi sistemik atau toksik yang perlu pengamatan menyeluruh


Etiologi Pharingitis Tonsilitis Otitis Media Laryngitis Bronchitis PneumoniaPada G. I. Tract Dysenteri BacillerSepsis.Pada tractus Urogenitalis Pyelitis Cystitis Pyelonephritisb.Virus:Terutama yang disertai exanthema Varicella Morbili Dengue Exanthemasubitung Patofisiologi

Belum jelas, kemungkinan dipengaruhi faktor keturunan atau genetik,

penyakit Infeksi (extra cranial), kenaikan suhu, disfungsi neorologis pada jaringan serebral, episode paroksisimal berulang, suplay O2,
Prognosa Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosa baik dan tidak

menyebabkan kematian.
Komplikasi Kejang demam berulang Epilepsi Kelainan motorik Gangguan mental dan belajar Diagnosis

Anamnesis:

Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lainnya (ayah, ibu, atau saudara kandung).

Pemeriksaan Neurologis :

tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan Laboratorium :

pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan gula darah). Pemeriksaan Radiologi :

X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya

dikerjakan atas indikasi. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) :

tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk

menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
Bayi < 12 bulan : diharuskan. Bayi antara 12 18 bulan : dianjurkan. Bayi >

18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda

meningitis. Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) :

tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas

(misalnya kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
Diagnosis Banding Meningitis Ensefalitis Abses otak

Penatalaksanaan

Menghentikan kejang :
Diazepam dengan dosis awal 0,3 0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-

lahan) atau 0,4 0,6 mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit kemudian. Turunkan demam dengan Anti Piretika :
Paracetamol, 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen, 5 10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3 4 kali per

hari.
Kompres : suhu > 39 C dengan air hangat, suhu > 38 C dengan air biasa.

Pengobatan penyebab :
antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya.

Penanganan suportif lainnya meliputi :


bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan air

dan elektrolit, pertahankan keseimbangan tekanan darah.


Perawatan

Tindakan pada saat kejang :


Baringkan ditempat yang rata, miringkan kepala Singkirkan benda-benda yang berbahaya di sekitar pasien Lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan Isap lendir sampai bersih Berikan oksigen Bila suhu tinggi berikan kompres secara intensif Setelah pasien sadar penuh berikan minum hangat Jika kejang masih berlangsung dengan tindakan ini segera hubungi

dokter2. Suhu tubuh meningkat diatas normal berhubungan dengan infeksi, maka tindakan yang dilakukan :
Berikan minum yang banyak Berikan suasana yang nyaman Observasi tanda-tanda vital Berikan selimut yang tipis dan pakaian yang menyerap keringat3.

Resiko terjadi bahaya / injury maka tindakan yang dilakukan :


Tempatkan pasien kejang pada tempat yang datar dan aman

Hindarkan benda-benda yang berbahaya di sekitar pasien


Monitor ketat keadaan umum pasien setelah pemberian konvulsan

Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit maka jelaskan pada orang tua tentang :
Menyediakan obat antipiretika dan anti konvulsan sesuai petunjuk dokter Anak segera diberikan obat antipiretik bila demam

Penanganan kejang sederhana di rumah :


Dibaringkan di tempat yang rata dan aman, melonggarkan baju,

memberikan kompres dingin, memberi minum setelah pasien sadar penuh.


Bila kejang berlangsung lama segera bawa ke rumah sakit Bila diberikan diazepam rectal, ajarkan pemakaian. Jika anak mendapat imunisasi beritahukan orang tua agar menjelaskan

pada petugas kesehatan jika anaknya penderita kejang demam dan diberikan imunisasi yang tidak mengakibatkan demam.

Pencegahan

Pencegahan berkala ( intermiten )


kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO

dan anti piretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam. Pencegahan kontinu dengan komplikata
Asam Valproat, 15 40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2 3 dosis.

Referensi
http://kedokteran.ums.ac.id/kejang-demam.html http://www.mer-c.org/component/content/article/25-artikel-

kesehatan/267-kejang-demam.html
http://doctorology.net/?p=9

Ilmu Kesehatan Anak, Nelson, EGC, Vol 3, Edisi 5 Infeksi dan Pediatri Tropis, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Edisi 2

F. INTERPRETASI 1 Pasien Tn. Teten usia 45 tahun datang dengan keluhan utama kejang sejak kemarin. Kejang yang dialami pasien mengindikasikan adanya tetanus atau seizure ( epilepsi, rabies, infeksi intrakranial, dan tumor intrakranial ). Pasien tidak dianggap kejang demam karena sangat kecil kemungkinan terjadi kejang demam pada dewasa Pasien mengeluh perut terangkat saat kejang mengindikasikan terjadi spasmus otot abdomen yang menyebabkan abdomen terangkat. Hal ini merupakan tanda khas dari tetanus dan tidak ditemukan pada epilepsi, rabies, infeksi intrakranial, dan tumor intrakranial. Pasien mengeluh keadaran menurun saat kejang dan pulih kembali sesudah kejang mengindikasikan terjadi gangguan kesadaran sementara. Hal ini merupakan tanda khas tetanus dan epilepsi serta tidak ditemukan pada rabies, infeksi intrakranial, dan tumor intrakranial

Pasien mengeluh kejang timbul secara spontan atau pada saat ada yang menyentuh. Kejang spontan mengindikasikan tetanus atau seizure tetapi kejang pada saat disentuh marupakan tanda khas tetanus dan tidak ditemukan pada epilepsi, rabies, infeksi intrakranial, dan tumor intrakranial. Pasien mengeluh kekakuan pada rahang sejak 2 hari yang lalu dan semakin memburuk hingga sulit membuka mulut. Hal ini mengindikasikan terjadi spasmus dan paralisis otot rahang atau otot wajah. Hal ini bisa terjadi pada tetanus, infeksi intrakranial, dan tumor intrakranial tetapi tidak pernah terjadi pada epilepsi dan rabies. Pasien mengeluh sulit menelan dan tidak bisa makan serta minum. Hal ini mengindikasikan terjadi spasmus faringeal, laringeal, atau laringofaringeal. Hal

ini terjadi pada tetanus dan rabies serta tidak terjadi pada epilepsi, infeksi intrakranial, dan tumor intrakranial. Pasien mengeluh kekakuan pada leher dan perut. Kekakuan pada leher terjadi pada tetanus dan seizure tetapi kekakuan pada perut adalah tanda khas tetanus serta tidak ditemukan pada epilepsi, rabies, infeksi intrakranial, dan tumor intrakranial. Pasien memiliki luka tusuk di telapak kaki sebelah kanan. Hal ini mengindikasikan port de entre mikroorganisme. Luka penetrasi merupakan ciri khas tetanus dan rabies, perbedaanya adalah luka penetrasi rabies bersifat gigitan binatang sedangkan luka penetrasi tetanus bersifat bukan gigitan binatang. Kesimpulan yang diambil dari general survey dan anamnesa adalah pasien mengalami tetanus karena terdapat ciri khas tetanus pada keluhannya yaitu kejang ( spontan dan sentuh ), perut terangkat ketika kejang, kekakuan pada rahang, kekakuan pada wajah, kekakuan pada leher, kekakuan pada perut, serta kesadaran menurun ketika kejang dan pulih kembali sesudah kejang. Luka penetrasi pada telapak kaki menguatkan dugaan pasien mengalami tetanus.

Tn. Teten mengalami luka tusuk di telapak kaki port de entre spora C. tetani kerusakan jaringan penurunan pO2 jaringan

dan perubahan sifat jaringan jaringan bersifat anaerob spora C. tetani berubah bentuk menjadi bentuk vegetatif dan mensekresikan 2 jenis toksin tetanospasmin rantai berat ujung karboksil melekat pada membran saraf dan ujung amino mendorong toksin masuk ke dalam sel rantai ringan mencegah pelepasan neurotransmitter neuron yang dipengaruhi Ach menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida (GD1b dan GT 1b) di membran ujung saraf lokal toksin meningkat dan toksin ditransportasikan ke dalam akson secara retrograd ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal tetanolisin merusak jaringan sekitar yang mengelilingi sumber infeksi

toksin berdifusi keluar dari dalam sel saraf dan tranportasi pada saraf motorik1 ikatan disulfida rantai berat dan ringan bebas mempengaruhi neuron inhibitor

mencegah pelepasan neurotransmitter Ach di otot skelet (inhibisi) serta GABA dan glisin (aktivasi) spasme dimulai dengan spasme akson pendek 1. spasme m. Maseter - rahang trismus sulit membuka mulut - wajah rhisus sardonicus

2. spasme laringofaringeal - laring sulit menelan - faring sulit bernapas 3. spasme leher 4. spasme abdomen dan punggung perut kaku seperti papan dan opishtotonus

toksin berdifusi keluar dari dalam sel saraf dan tranportasi pada saraf sensorik2 1. gangguan impuls aferen refleks spasme jika disentuh 2. hipersensitivitas nosiseptor termal, mekanis, dan polimodal nyeri saat spasme

G.

Interpretasi Page 2

Tx.kesadaran : sadar Terlihat kesakitan tetanus kesadaran akan kembali setelah kejang melemahkan rabies tingkat kesadaran menurun melemahkan meningoensefalitis tingkat kesadaran menurun spasme otot sangat nyeri pasien terlihat kesakitan : BP HR RR T : 140/100 : 132 beat per minute : 40 x/min : 39 c ( axial )

VS

a. Disfungsi sistem saraf otonom pada tetanus yang berat seringkali timbul pada 1 hingga 2 minggu setelah onset period namun dapat terjadi lebih cepat. b. Manifestasi disfungsi simpatis termasuk takikardi, hipertensi yang labil dan sering berubah menjadi hipotensi, vasokonstriksi perifer, demam, berkeringat banyak.

Px.fisik -

: Trismus ( 3 cm ) Rhisus sardonicus Rigiditas pada palpasi otot abdomen Opisthotonus

a. Trismus (kesukaran membuka mulut) spasme otot-otot mastikatoris ( otot

maseter )

b. Rhisus sardonikus spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut

tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. .


o

Spasme yg khas , yaitu badan kaku dngn Opistotonus, ekstremitas inferior dlm keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat.

o Keadaan tetap sadar.


o

Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri.

Mengarah ke tetanus
a. Efek toksin tetanus pada neuromuskular junction adalah menginhibisi pelepasan

asetilkolin pada presynaptik dapat mengakibatkan otot mengalami paralysis. b. Paralysis yang dialami sering terlokalisir pada area yang memiliki konsentrasi toksin yang tinggi karena neuromuskular junction tidak sesensitif neuron inhibisi terhadap toksin tetanus.
c. Melemahkan meningitis Pasien dengan meningitis memiliki kaku kuduk tetapi

bukanlah trismus
d. Melemahkan rabies Trismus, facial palsy, dan kekakuan otot yang kontinyu

tidak terdapat pada rabies

Ditemukan luka tusuk pada kaki kanan Faktor resiko


a. Menyebabkan keadaan anaerob yang disukai untuk tumbuhnya kuman tetanus

b. Clostridium tetani dapat mengkontaminasi luka, dimana spora akan berkembang menjadi bentuk vegetatif dan memproduksi toksin yang mempunyai kemampuan merusak sistem syaraf pusat inangnya. c. Toksin tetanus mampu menyebabkan spasmus otot dari inang yang terinfeksi
d. Melemahkan rabies Infeksi trjadi karena :

gigitan binatang seperti anjing, kucing,kera,serigala,dll atau kontak virus ( saliva binatang )lwat luka pd host

inhalasi ditemukan orang terinfeksi setelah masuk ke gua kelelawar kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di lab vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup

Ditemukan spasme reflex bbrapa kali selama observasi a. Beberapa spasme terjadi saat dokter menyentuh kulitnya Disfungsi saraf motorik dan sensorik akibat toksin tetanus

Px. Lab tidak ditemukan keabnormalan Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus. Pada pemeriksaan darah, jumlah leukosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit meningkat : tanda miokarditis paling sering menunjukkan sinus takikardia paling khas, yaitu perubahan gel ST-T,dpt ditemukan perlambatan interval QT. selain itu, Komplikasi pada tetanus yang berkaitan dengan gangguan kardiovaskuler : hipertensi, takikardi, aritmia, miokarditis

EKG -

Referensi IPD jilid III Patofisiologi Sylvia Buku ajar infeksi dan Pediatri Tropis Buku ajar Kardiologi

Terapi
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih Merawat dan membersihkan luka sebaik- baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. Antibiotika Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan Antitoksin Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar

Tetanus Toksoid Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Antikonvulsan Antikonvulsan diberikan secara titrasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan respons klinis. Pada penderita yang cepat memburuk (serangan kejang makin sering dan makin lama), pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada awal terapi, yaitu dimulai lagi dengan pemberian bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan yang lebih tinggi. Bila dosis maksimal telah tercapai namun kejang belum teratasi, harus dilakukan pelumpuhan otot secara total dan dibantu dengan pernapasan makanik (ventilator).

Jenis Obat Dosis Efek Samping ___________________________________________________________________ Diazepam 0,5 1,0 mg/kg Stupor, Koma Berat badan / 4 jam (IM) Meprobamat 300 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada Klorpromasin 25 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi Fenobarbital 50 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan ___________________________________________________________________

H. VAKSIN TETANUS

Aktif : Tetanus Toksoid toksin kuman yang dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Pasif : Anti Tetanus Serum untuk pencegahan atau pengobatan penyakit tetanus. Reaksi imunitas o Biasanya tidak ada, jika ada : demam ringan, rasa gatal, rasa nyeri, atau pembengkakan di tempat suntikan (1 2 hari).

TETANUS TOKSOID Dosis dan kemasan o Untuk dosis tunggal : 40 IU o Untuk kombinasi dengan dT dan vaksin pertusis ; 60 IU o Diberikan secara berseri untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. o Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu, cukup untuk memberikan proteksi terhadap bayinya. Pada kasus, diberikan setelah pasien sembuh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

REFERENSI : 1. Buku ajar Infeksi dan Tropis Anak. 2010 2. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-3. 2008

MAKALAH CASE 4 TETANUS

Disusun Oleh Tutorial B2 Tutor Ketua Sekretaris : Maman S. S.Si, M. Biomed : Putri Fiskha : Elmira Yulharnida 207.311.121 207.311.129

Fauzan Nanggadita 207.311.119 Anggota : Niken Swatiti 207.311.142

Randika Hermanda 207.311.039 Agnes Esa Bellina 207.311.043 Rian Nofiansyah Dian Kartika Lucynda Corry 207.311.123 207.311.158 207.311.090

Kartika Maria Okky 207.311.116

Melisa Ridwan

207.311.167

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA TAHUN AJARAN 2010/ 2011

You might also like