You are on page 1of 16

BAB I

KASUS 3
Dalam proses identiIikasi yang dijalankan ternyata disediakan oleh tim DVI
alat radiograIi gigi dan IotograIi. Dari segmen gigi yang ditemukan, gigi tersebut
ada yang sudah terlepas dari soketnya dan ada juga yang masih tertanam pecahan
tulang rahang. Dari beberapa gigi yang lepas tersebut, terlihat bentuk giginya kecil
dan ujung akarnya pendek. Apa yang harus dilakukan oleh dokter gigi tersebut
untuk dapat mengidentiIikasinya?

1. Apa yang menjadi permasalahan pada kasus ini ?
2. Berikan hipotesis dari permasalahan ini !
3. Apakah topic utama dalam permasalahan ini ?




BAB II
PEMBAHASAN

Fotografi Forensik
otograIi adalah suatu proses seni merekam gambar, berupa proses
penangkapan cahaya pada suatu media yang sensitiI cahaya, seperti Iilm atau
sensor elektronik. Pola-pola cahaya yang dikeluarkan dan dipantulkan dari
obyek, akan diteruskan ke suatu media elektronik atau media kimia berbahan
dasar silver halide yang terdapat di dalam suatu alat yang disebut kamera
selama waktu eksposur melalui lensa IotograIi, termasuk di dalamnya proses
penyimpanan dari hasil inIormasi yang ditangkap, secara elektronik maupun
kimiawi.
Kata photography berasal dari tulisan perancis photographie yang
didasari oleh bahasa yunani, yaitu e (phos) yang berarti cahaya dan pui
(graphis) yang artinya coretan atau gambar. Maka IotograIi, dapat diartikan
suatu proses menggambar dengan cahaya.
Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya
penyelenggaraan pemeriksaan Iorensik adalah proses dokumentasi. otograIi
adalah salah satu media yang memiliki andil cukup besar dalam proses ini.
Sejak awal, IotograIi telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para
ilmuwan dan seniman. Ilmuwan telah menggunakan IotograIi untuk merekam

dan mempelajari suatu mekanisme gerak, seperti penelitian Eadweard


Muybridge terhadap mekanisme gerak hewan dan manusia pada tahun 1887.
Para seniman pun memiliki ketertarikan yang sama terhadap aspek-aspek
IotograIi.Tidak hanya itu, mereka juga mencoba untuk mengeksplorasi lebih
dalam untuk menghasilkan karya yang tidak sekedar sebagai suatu bentuk
representasi realita melalui Ioto hasil proses mekanik, seperti yang dilakukan
para seniman Ioto berpaham pictorialism,yang terkenal dengan idenya untuk
memadukan seni lukis dan seni etsa melalui seni IotograIi. Militer, polisi, dan
petugas keamanan menggunakan IotograIi sebagai alat pengawas, alat
pendeteksi dan sebagai tempat penyimpanan data.
otograIi Iorensik, sering juga disebut Iorensic imaging atau crime
scene photography, adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk
reproduksi dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan
secara akurat untuk kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. otograIi
Iorensik juga termasuk ke dalam bagian dari upaya pengumpulan barang
bukti seperti tubuh manusia, tempat-tempat dan setiap benda yang terkait
suatu kejahatan dalam bentuk Ioto yang dapat digunakan oleh penyelidik
atau penyidik saat melakukan penyelidikan atau penyidikan. Termasuk di
dalam kegiatan IotograIi Iorensik adalah pemilihan pencahayaan yang benar,
sudut pengambilan lensa yang tepat, dan pengambilan gambar dari berbagai
titik pandang. Skala seringkali digunakan dalam gambar yang diambil
sehingga dimensi sesungguhnya dari obyek Ioto dapat terekam. Biasanya

digunakan penggaris atau perekat putih yang berskala sentimeter diletakkan


berdekatan dengan lesi atau perlukaan sebagai reIerensi ukuran.



Peralatan Fotografi Forensik
a. Kamera
Kamera yang lazim digunakan di lapangan pekerjaan Iorensik
adalah kamera tipe single-lens reIlex 35mm. Kamera ini
menggunakan sebuah lensa dengan sistem cermin yang bergerak
secara automatis, menerima cahaya yang datang untuk
dipantulkan ke sebuah pentaprism yang ditempatkan di atas jalur
optik cahaya yang berjalan di bagian dalam lensa, yang
memungkinkan IotograIer untuk melihat dimensi obyek
sesungguhnya yang akan ditangkap oleh Iilm tersebut.
b. ormat ilm
ormat Iilm yang lazim digunakan untuk kepentingan
pemeriksaan Iorensic adalah 35 mm. ormat Iilm ini menawarkan

berbagai kecepatan sensitiIitas dan emulsi Iilm, kualitas gambar


yang baik, nilai panjang eksposur yang variatiI, dan harga yang
murah.
c. ensa
ensa standar 50 mm atau biasa disebut Iixed lens 50 mm
(daya akomodasi lensanya terIiksasi pada satu nilai) adalah yang
paling sering digunakan, kaitannya dengan kesetaraan daya
akomodasinya dengan mata kita. Namun pada TKP, atau pada
jarak pengambilan gambar terjauh dari tubuh korban pada kondisi
TKP yang sulit, lensa sudut lebar (wide angle) 28 mm atau 30 mm
lebih diperlukan.
%eknik Fotografi Forensik
Tidak dibutuhkan teknik yang rumit untuk melakukan kegiatan
IotograIi saat pemeriksaan kedokteran Iorensik. Yang paling
diutamakan adalah bahwa jepretan kamera kita mampu memberikan
hasil yang tajam, berkomposisi, seimbang dalam hal pencahayaan dan
warna, dan tidak mengalami perubahan dimensi obyek.
a. Ketajaman Gambar
Salah satu unsur yang menentukan ketajaman sebuah gambar
adalah kedalaman gambar (depth oI Iield). Untuk membuat
sebuah gambar dua dimensi menjadi lebih hidup, dibutuhkan
penciptaan rasa akan adanya kedalaman dari gambar. Kondisi ini
dimungkinkan dengan memanipulasi elemen-elemen yang

terdapat di latar depan, tengah, dan belakang. Garis sederhana


yang membawa pandangan ke area-area dalam gambar menuju
center oI interest bisa lebih eIektiI. Di sini, pemilihan lensa dan
bukaan diaIragma (aperture) menjadi unsur vital untuk
menciptakan kedalaman. Pada pemotretan organ dalam (viscera),
dapat dilakukan penggunaan gelas yang diletakkan secara terbalik
dan di cat sesuai warna latar belakang yang digunakan (biasanya
hijau) yang terletak agak jauh di bawah gelas untuk menghindari
Iokus serta penggunaan lampu tungsten sebagai pencahayaan.
b. Komposisi gambar ( Menggunakan lensa-lensa sudut lebar agar
seluruh obyek pada TKP dapat terekam dalam bingkai
pemotretan sekaligus )
c. Eksposur ( Jumlah cahaya yang optimal sampai ke sensor atau
Iilm ) Eksposur perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil Ioto
yang baik. Untuk menciptakan serangkaian warna pada gambar,
kamera harus memastikan bahwa jumlah cahaya yang optimal
sampai ke sensor atau Iilm. Hal tersebut bisa diperoleh dengan
mengatur lama eksposur (kecepatan rana/shutter speed) dan
intensitas cahaya (bukaan diaIragma/aperture) pada lensa. Gambar
dibentuk melalui akumulasi cahaya di Iilm atau sensor selama
eksposur. Kamera senantiasa berupaya mengarahkan obyek secara
keseluruhan ke arah grey tone 18 (area mid-tone/kontras netral
kamera). Maka metering atau pengukuran eksposur diperlukan di

sini. Kurangi eksposur antara 0.7 EV sampai 1 EV untuk menjaga


kedalaman warna dan detail pencahayaan. Saat pemotretan organ
dalam (viscera), organ ditempatkan pada suatu area dengan latar
belakang warna biru atau hijau. Warna putih dapat digunakan
meskipun barangkali hal ini dapat mempengaruhi ukuran eksposur
jika latar belakang terlalu terlihat pada bagian tepi gambar.
Walaupun obyek yang diambil terbilang mid-tone, latar belakang
ber-tone terang atau gelap yang 'tak normal bisa menimbulkan
kesalahan eksposur. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya,
tingkat kesalahan eksposur tergantung pada seberapa besar area
dalam bingkai yang terpakai oleh latar belakang. Semakin banyak
area yang terpakai, semakin besar pengaruhnya terhadap nilai
eksposur. Organ yang akan diIoto pun sebaiknya dilakukan dabb
(penekanan dengan kain atau busa) terlebih dahulu agar
'terbebas dari darah pada bagian permukaan dan latar belakang
untuk menghindari terjadinya eIek penyinaran kuat (highlight).
EIek highlight dapat mengganggu metering exposure yang telah
dilakukan sebelumnya. Pengaturan eksposur dikembalikan kepada
sang IotograIer, tergantung kondisi lingkungan yang dihadapi saat
pemotretan. Pada IotograIi Iorensik, yang paling utama adalah
ketajaman obyek dan menjaga agar warna obyek tetap natural.
d. Warna ( Pilihan auto white balance pada kamera digital dirancang
untuk secara automatis menyesuaikan dengan warna-warna,

atau temperatur cahaya yang berbeda untuk mendapatkan


hasil yang mendekati normal )
e. Pencahayaan ( Menggunakan lampu kilat elektronik yang
sekarang menjadi bagian dari kamera)
#adiografi Forensik
Forensic radiology adalah bagian dari forensic 2edicine yang mempelajari
tentang pengidentiIikasian manusia menggunakan citra radiologi 5ost2orte2
dari bagian-bagian tubuh yang berbeda termasuk kerangka, tengkorak, dan
gigi. PengidentiIikasian dilakukan dengan membandingkan citra 5ost2orte2
(PM) dengan rekaman ante2orte2 (AM) dari orang yang hilang untuk
menemukan rekaman yang serupa.
Seorang ahli Iorensik membutuhkan minimum satu gigi 2olar pada setiap
kuadran untuk dapat melakukan pengidentiIikasian. Secara tradisional,
identiIikasi manusia berdasarkan gigi bergantung pada inIormasi seperti gigi
yang hilang dan kinerja gigi. Saat ini,
dengan kemajuan ilmu kedokteran gigi dan perawatan gigi oleh manusia,
metode-metode tersebut sudah tidak dapat diandalkan lagi. Oleh karena itu,
sangatlah penting untuk mengembangkan metode-metode baru dengan
menggunakan Iitur dental yang tidak terpisahkan untuk pengidentiIikasian.
Baru-baru ini, perancangan dan pembuatan auto2ated dental identification
syste2 (ADIS) untuk pengidentiIikasian manusia dengan menggunakan dental
radiogra5 telah dilakukan. ADIS (Auto2ated Dental Identification Syste2)
adalah sebuah sistem automatisasi proses untuk pengidentiIikasian PM yang

telah didesain untuk mencapai hasil pengidentiIikasian yang akurat dan tepat
waktu dengan interIensi manusia yang minimum ADIS memanIaatkan dental
radiogra5 yang telah didigitalkan untuk memberikan sebuah daItar pendek
dari citra yang cocok untuk ahli Iorensik gigi. Biarpun demikian, dental
radiogra5 yang digunakan oleh ADIS adalah citra bitewing yang sulit untuk
didapatkan PM dari korban . Sistem ini bermanIaat dalam kasus-kasus di
mana metode biometrik lainnya untuk pembuktian,diantaranya sidik jari dan
iris tidak dapat dipakai lagi seperti dalam kasus korban kebakaran. Untuk
membuat sebuah sistem yang benar-benar automatis, perlu diekstraksi Iitur-
Iitur gigi pada citra dental dari orang yang hilang dan menyimpannya dalam
sebuah database. Selama penemuan kembali, Iitur-Iitur untuk setiap gigi pada
citra dental yang diproses perlu diekstraksi dan dibandingkan dengan yang ada
dalam database. Untuk menemukan citra dental dengan Iitur yang sesuai pada
database, pencarian dilakukan satu per satu dengan ruang pencarian sebesar
jumlah citra AM yang ada pada database. Sehingga, diperlukan waktu yang
cukup lama untuk mengeksplorasi seluruh ruang pencarian. Jika dilakukan
pembatasan pada perbandingan gigi dengan gigi yang memiliki jumlah
susunan yang sama, hal ini tentu dapat mengurangi ruang pencarian dan
meningkatkan kekuatan sistem. Oleh karena itu, diperlukan sebuah system
yang dapat mengklasiIikasikan gigi 2olar dan 5re2olar.


RadiograIi dental postmortem ( pengambilan raoentgen gigi pada orang
mati) mempunyai peran penting dalam proses identiIikasi mayat tak dikenal.
Sebelum melakukan penyinaran, sering ditemukan beberapa masalah
khususnya dalam hal akses ke dalam rongga mulut. Masalah ini bervariasi
tergantung pada perbedaan kondisi mayat dan kelengkapan struktur dental
yang ditemukan, dan harus diatasi untuk mendapatkan hasil Ioto yang baik.
prosedur yang digunakan hampir sama dengan yang biasanya diterapkan untuk
radiograIi antemortem (pengambilan roentgen Ioto pada orang hidu), dengan
beberapa variasi teknik sesuai dengan kondisi mayat.
Akses ke dalam rongga mulut
Akses ke dalam rongga mulut adalah prasyarat penting dalam
melakukan radiograIi postmortem. Mudah tidaknya akses ke dalam
rongga mulut atau struktur gigi-geligi untuk penempatan Iilm dan
melakukan penyinaran ditentukan oleh kondisi mayat. Biasanya, tidak
masalah jika yang akan dirontgen sudah tinggal kerangka, karena
hilangnya jaringan lunak mempermudah penempatan Iilm dan

menentukan angulasi. Posisi Tube-Head juga dapat ditentukan sesuai


dengan kebutuhan.
Masalah yang biasanya muncul dalam hal akses ke dalam rongga
mulut adalah jika mayatnya masih utuh, ataupun baru meninggal dan
masih dalam kondisi rigor 2ortis (keadaan yang dijumpai dengan
menjadi kakukanya otot-otot beberapa jam setelah kematian). Dalam
kondisi ini, pembukaan rahang walaupun hanya beberapa millimeter
akan sulit dilakukan. Pada mayat yang mati tenggelam juga ditemukan
masalah dalam hal akses ke struktur gigi dan rahang, karena jika mayat
berada di air dalam waktu yang lama, jaringan lunak di sekitar gigi-
geligi membengkak dan hal ini mempersulit penempatan Iilm pada
posisi yang tepat. Masalah yang sama juga dapat ditemukan pada
mayat yang mati terbakar, karena hilangnya Ileksibilitas dari jaringan
akibat panas yang ekstrim mengakibatkan jaringan menjadi kaku dan
keras.
Untuk mengatasi sulitnya akses ke struktur gigi dan rahang pada
kasus-kasus di atas dapat dilakukan pelepasan rahang atas dan rahang
bawah dari sendinya dengan membuang semua jaringan lunak yang
tersisa.
Susunan Gigi
Gigi orang dewasa terdiri dari 32 gigi, 16 gigi pada setiap rahang.
Terdapat dua rahang yang dibagi ke dalam empat kuadran yang sama
dan setiap kuadran terdiri dari delapan gigi, yaitu dua gigi seri

(incisor), satu gigi taring (cus5id), dua gigi geraham depan (5re2olar)
, dan tiga gigi geraham belakang (2olar). Seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 1, sistem penomoran menomorkan gigi permanen mulai
dari 1 hingga 32. Dimulai dari gigi 2olar ketiga pada 2axilary kanan
(#1) melintasi 2axilary hingga gigi2olar ketiga pada 2axilary kiri
(#16). Kemudian, dilanjutkan dengan gigi 2olar ketiga pada
2andibular kiri (#17) dan mengelilingi 2andibular hingga gigi 2olar
ketiga pada 2andibular kanan (#32) .

3 Penentuan Usia
Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15
tahun. IdentiIikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil
yang yang lebih baik daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada
masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke
6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 16 minggu dan
berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress
12ias12sic12 yang mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel
ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan

dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada
walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan
mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah
pernah dilahirkan sebelumnya.
Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar
berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari
struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti
dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan
dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap
pada usia 14 16 tahun. Ini bukan reIerensi standar yang dapat
digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan
radiograIi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi.

,2-,7 2e25erliatkan ga2baran 5anora2ic X ray 5ada


anak-anak (a) ga2baran yang 2enunfukkan suatu 5ola 5ertu2buan
gigi dan 5erke2bangan 5ada usia 9 taun (5ada usia 6 taun terfadi
eru5si dari akar gigi 2olar atau gigi 6 ta5i belu2 tu2bu secara
utu). Dibandingkan dengan diagra2 yang dia2bil dari Scour dan
Massler (b) 2enunfukkan 5ertu2buan gigi 5ada anak usia 9 taun.

-Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari
perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya bervariasi.
Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan pada
gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini
dapat digunakan untuk aplikasi.



BAB III
KESIMPULAN

3Permasalahan
Permasalahan dalam kasus ini adalah dalam proses identiIikasi detemukan
segmen gigi, gigi tersebut ada yang sudah terlepas dari soketnya dan ada juga
yang masih tertanam pecahan tulang rahang. Dari beberapa gigi yang lepas
tersebut, terlihat bentuk giginya kecil dan ujung akarnya pendek. Sehingga
diperlukan radiologi Iorensic untuk proses identiIikasinya.
3Hipotesis
Dalam proses identiIikasi ditemukan gigi, sehingga diperlukan peran
seorang dokter gigi untuk proses identiIikasi korban. Dokter gigi akan
melakukan Ioto radiologi gigi yang dapat membantu dalam proses identiIikasi.
Gambaran radiologi gigi yang dapat diketahui dalam proses identiIikai
adalah bentuk anatomi gigi, lengkung rahang, karies gigi, kehilangan gigi dan
restorasi dan protesa.
33%opik Utama
Topik utama dalam kasus ini adalah peran dokter gigi Iorensic dalam
mengidentiIikasikan korban melalui gigi dan cara-cara identiIikasi korban
khususnya dengan cara identiIikasi lewat gigi korban yaitu lewat dental
radiology dan IotograIi.

AF%A# PUS%AKA

Duckworth, JE. 1983. orensic Photography. Oregon: Charles C Thomas.
ukman, D. 1994. Il2u Kedokteran Gigi Forensik. Ed. Ke-2. Jakarta: Buku Ajar
akultas Kedokteran Gigi Trisakti.
Zhou, J.D. dan Abdel-Mottaleb, M. 2004. 'Automatic Human IdentiIication
Based on Dental X-ray Images. Proceedings oI the SPIE ConIerence on
DeIense and Security Biometric Technology Ior Human IdentiIication.
http://www.pdIi-indonesia.org/news/IotograIi-Iorensik/
http://citraIkg2005.wordpress.com/2011/07/07/identiIikasi-korban-tidak-dikenal-
dalam-bidang-kedokteran-gigi/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8228/1/980600020.pdI

You might also like