You are on page 1of 27

Pengaruh Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) Sebagai Antimikroba Terhadap Bakteri Shigella dysenteriae Secara In Vitro

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit akibat bakteri merupakan penyakit yang sudah sering dijumpai di berbagai negara-negara berkembang terutama di Indonesia. Penyakit ini juga bisa disebut penyakit merakyat karena menyerang hampir seluruh lapisan masyarakat. Diantara penyakit infeksi yang disebabkan berbagai bakteri, yang masih menjadi perhatian yaitu infeksi bakteri Shigella dysentriae. Shigella dysenteriae merupakan intestinal patogen yang menyebabkan penyakit disentri basiler. Bakteri ini menyebabkan disentri yang berat dan invasif. Manifestasi klinis yang ditimbulkannya dapat berupa diare sedang sampai banyak, yang disertai panas dan mual, dengan sifat watery (diare dengan komposisi feses didominan cairan/air) ataupun diare berdarah. Selama ini digunakan antibiotik untuk mengobati bloody diarrhea (diare disertai darah) dengan tujuan memperpendek masa sakit, menurunkan morbiditas, dan mengurangi durasi perubahan siklus hidupnya (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005). Senyawa saponin pada lidah buaya dapat bekerja sebagai antimikroba dengan cara merusak membran sitoplasma dan membunuh sel (Aulia, 2008). Rusaknya membran sitoplasma dapat mengakibatkan sifat permeabilitas membran sel berkurang sehingga transport zat ke dalam sel dan ke luar sel menjadi tidak terkontrol. Zat yang berada di dalam sel seperti ion organik enzim, asam amino, dan nutrisi dapat keluar dari sel. Apabila enzim-enzim keluar dari sel bersama dengan zat-zat seperti air dan nutrisi dapat menyebabkan metabolisme

terhambat sehingga terjadi penurunan ATP yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan sel, selanjutnya pertumbuhan sel bakteri menjadi terhambat dan menyebabkan kematian sel (Dewi, 2008). Resistensi bakteri Shigella terhadap antibiotik dengan segala aspeknya bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Shigella yang resisten terhadap multiantibiotik, seperti S. dysentriae tipe 1, ditemukan di seluruh dunia dan timbul sebagai akibat pemakaian antibiotika yang tidak rasional. Munculnya strain-strain baru bakteri yang resisten terhadap antimikroba berakibat pada peningkatan biaya kesehatan karena dibutuhkan antimikroba generasi baru. Selain itu, waktu perawatan juga dapat menjadi lebih lama dan terjadi peningkatan angka kesakitan dan angka kematian (Meers,1994). Oleh karena itu, perlu dikembangkan alternatif pengobatan baru yang lebih efektif dan efisien serta dapat menurunkan biaya kesehatan, tanpa melupakan standar mutu pelayanan medis. Dalam hal ini, pengobatan dengan memanfaatkan bahan-bahan alamiah dapat menjadi pilihan. Berdasarkan suatu penelitian dengan mengambil sampel Aloe vera dari Akure Township di Ondo State Nigeria dan menggunakan ekstrak etanol, diantara bakteri dan jamur coba, gel Aloe vera memiliki efek hambat yang besar pada Shigella dysenteriae (Agarry et al, 2005). Penelitian lainnya, menunjukkan bahwa cairan gel Aloe vera efektif untuk membunuh dan mereduksi atau mengeliminasi dalam jumlah besar pertumbuhan bakteri Shigella dysenteriae(Shupe and coats, 2007). Kedua penelitian tersebut dilakukan dengan metode ekstraksi. Namun demikian, terdapat pula sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak Aloe vera tidak memiliki efek antimikroba terhadap bakteri E.coli (Alemdar and Agaoglu, 2009). Oleh karena itu, penelitian ini akan dilaksanakan dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut etanol berdasarkan penelitian sebelumnya dan diharapkan dapat memberi informasi serta bukti secara in vitro tentang aktivitas gel lidah buaya dengan mengambil sampel lidah

buaya dari lingkungan sekitar di Malang, Indonesia, sebagai antimikroba khususnya terhadap bakteri Shigella dysenteriae.

1.2. Rumusan Masalah Apakah ekstrak lidah buaya (Aloe vera) dapat mempengaruhi pertumbuhan (ssbagai antimikroba) Shigella Dysentriae secara in vitro

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui efektifitas ekstrak lidah buaya (Aloe Vera) sebagai antimikroba terhadap bakteri Shigella Dysenteriae secara in vitro ?

1.3.2. Tujuan Khusus 1.3.2.1. Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi ekstrak lidah buaya (Aloe Vera) terhadap pertumbuhan Shigella Dysentriae. 1.3.2.2. Mengetahui Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) dari ekstrak lidah buaya (Aloe Vera) terhadap Shigella Dysenteriae

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis

Menambah wawasan ilmu pengetahuan bidang Kedokteran khususnya mengenai


manfaat lidah buaya (Aloe Vera) sebagai antibakteri.

Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang manfaat lidah buaya (Aloe Vera)
sebagai antibakteri. 1.4.2 Manfaat Praktis

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan lidah buaya (Aloe Vera) sebagai alternatif pengobatan penyakit, terutama terhadap diare akibat infeksi oleh bakteri Shigella dysenteri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lidah Buaya Di daerah yang berhawa panas, tumbuhan lidah buaya biasa tumbuh dan menjadi tumbuhan liar. Namun, masyarakat juga biasa menanam tumbuhan ini di pekarangan sebagai tanaman hias. Nama lain atau sinonim dari Aloe vera adalah Aloe barbandesis Miller atau Aloe vulgaris Lamk. Nama daerah tumbuhan ini adalah letah buaya (Sunda) dan ilat buaya (Jawa). Lidah buaya mudah di tumbuh di Indonesia dan di beberapa Negara, misalnya: sabila / sabila pina (Filipina), lu hui (Tionghoa), aloe/aloes (Inggris). Tumbuhan ini dapat tumbuh pada suhu relatif hangat (Wijayakusuma, 2007).

2.1.1. Taksonomi Kingdom Divisio Class Order Family Genus Spesies : Plantae : Spermatophyta : Monocotilodoneae : Asparagales : Asphodelaceae : Aloe : Aloe Vera (Dalimarta,2008)

2.2.2 Uraian Tumbuhan

Lidah buaya merupakan tanaman sukulen (banyak mengandung air) yang termasuk suku Liliaceae. Ada sekitar 350 jenis lidah buaya yang hidup di dunia yang termasuk suku ini. Akan tetapi yang banyak ditanam hanya beberapa jenis saja, diantaranya adalah Aloe barbadensis Miller, Aloe ferox Miller, Aloe perryi Baker dan Aloe chinensis Baker. Dari jenis-jenis tersebut yang paling banyak dimanfaatkan adalah Aloe barbadensis Miller. Sedangkan lidah buaya yang banyak dikembangkan di Indonesia terutama di Kalimantan Barat adalah Aloe chinensis Baker. Tanaman lidah buaya terdiri dari akar, batang, daun dan bunga. Akar lidah buaya merupakan akar serabut yang tumbuh ke samping sepanjang 30 40 cm. Akar tersebut keluar dari batang yang tertimbun tanah. Tinggi tanaman lidah buaya bervariasi sesuai jenisnya dengan bentuk batang bulat berserat. Pada waktu masih muda batangnya tidak kelihatan karena tertutup oleh daun yang rapat di sekeliling batang dan sebagian terbenam dalam tanah. Akan tetapi setelah pelepahnya dipanen beberapa kali batang tanaman ini akan terlihat jelas Pada umumnya, Aloe vera dapat dipisahkan menjadi dua produk dasar: gel dan lateks. Gel Aloe vera merupakan pulp daun atau mucilaginous, bahan seperti jeli transparan yang terdapat pada jaringan parenkim yang membentuk bagian dalam daun. Aloe lateks, umumnya didefinisikan sebagai jus aloe yang merupakan eksudat kuning dari pericyclic tubules terdapat di kulit luar daun, zat ini bersifat laksatif (Agoes, 2010).

2.2 Shigella dysenteriae


2.2.1 Taksonomi Berdasarkan Todars Online Textbook of Bacteriology, Shigella dysenteriae digolongkan dalam taksonomi sebagai berikut : Domain Phylum Klas Ordo Family Genus Spesies : Bacteria : Proteobateria : Proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae : Shigella : Shigella dysenteriae (Todar, 2009).

Genus Shigella mempunyai empat spesies, yaitu: maju. Shigella boydii (Dzen dkk, 2003). Secara genetik, bakteri Shigella tidak dapat dibedakan dengan E. coli. Kebanyakan ahli taksonomi meyakini bahwa kedua organisme ini merupakan spesies yang sama. Namun, karena kebanyakan galur Shigella menyebabkan disentri basiler, sedangkan E. coli Shigella dibagi menjadi empat serogroup, yaitu : Serogroup A : S. dysenteriae Serogroup B : S. flexneri Serogroup C : S. boydii, dan Serogroup D : S. sonnei tidak. Shigella dysenteriae : banyak menyebabkan disentri basiler di negara berkembang. Shigella flexneri : bakteri ini juga menyebabkan banyak kasus shigellosis di negara

berkembang. Shigella sonnei : bakteri ini menyebabkan paling banyak kasus shigellosis di negara

Serogroup A, B, C secara biokimia ada kemiripan, sementara serogroup D berbeda. Semua Shigella dapat menyebabkan disentri basiler, tetapi beratnya penyakit, mortalitas dan epidemiologinya, bervariasi pada masing-masing spesies (Brooks et al, 2007).

2.2.2 Morfologi dan Identifikasi Shigella dysenteriae merupakan bakteri berbentuk batang, ramping, tidak berkapsul, tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan Gram negatif. Bentuk cocobasil dapat terjadi pada biakan muda. Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif tetapi paling baik tumbuh secara aerob. Koloninya konveks, bulat, transparan dengan pinggir-pinggir utuh mencapai diameter kira-kira 2mm dalam 24 jam. Bakteri ini sering ditemukan pada perbenihan diferensial karena ketidakmampuannya meragikan laktosa. (Nathania, 2008).

Gambar 2.2 Morfologi Shigella dysenteriae (Adam, 2001).

2.2.3 Struktur antigen Shigella mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak tumpang tindih dalam sifat serologis berbagai spesies. Sebagian besar bakteri ini mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh bakteri enterik lainnya. Antigen somatic O dari Shigella adalah lipopolisakarida. Kekhususan serologiknya tergantung pada polisakarida. Terdapat lebih dari 40 serotipe. Sedangkan klasifikasi Shigella didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan antigeniknya (Nathania, 2008).

2.2.4 Toksin Shigella Shigella menghasilkan toksin yang disebut Shigatoksin. Shigella mengadakan multiplikasi tanpa invasi di dalam jejunum kemudian memproduksi toksin. Toksin ini kemudian berikatan dengan reseptor dan menyebabkan aktivasi proses sekresi. Diare cair yang tampak pada awal penyakit merupakan tanda dari sifat enterotoksik shigatoksin. Selanjutnya, perjalanan penyakit melibatkan usus besar dan invasi jaringan di mana aksi shigatoksin akan memperberat gejalanya. Efek enterotoksik shigatoksin lebih pada penghambatan absorpsi elektrolit, glukosa, dan asam amino dari lumen intestinal (Dzen dkk, 2003).

2.3 Shigellosis 2.3.1 Etiologi Shigellosis adalah dysentri yang disebabkan oleh berbagai spesies dari Shigella sp. yang sering terjadi di tempat dengan sanitasi yang buruk, dan malnutrisi, yang prevalensinya sering pada anak-anak dan bayi (Mansjoer, 2001). 2.3.2 Epidemiologi

Shigellosis ditularkan dari manusia ke manusia melalui oral- fecal route. Di negaranegara yang sedang berkembang, yang higiene dan sanitasinya jelek, infeksi Shigella sp. yang sering ditemukan adalah infeksi karena Shigella dysenteriae diikuti oleh Shigella boydii, Shigella flexneri, dan Shigella sonnei (Dzen dkk, 2003). Wabah yang melibatkan banyak orang terjadi di lingkungan tertutup, termasuk misalnya dalam keluarga, rumah sakit jiwa, penjara, atau bisa juga kapal pesiar. Anak- anak berumur kurang dari 1 tahun sangat peka dan memiliki resiko infeksi 60% dibandingkan dengan umur yang lain yang hanya 20% (Dzen dkk, 2003). 2.3.3 Patofisiologi Mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen termasuk yang diakibatkan Shigella meliputi perlekatan (adhesi) bakteri pada sel epitel kemudian berkembang biak sehingga jumlahnya meningkat, kemudian invasi ke dalam mukosa. Pada fase adhesi ini bisa dengan atau tanpa kerusakan pada mukosa. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk mengatasi pertahanan mukosa usus. Bakteri Shigella selain melakukan invasi melalui membran basolateral usus untuk masuk ke epitel, juga menghasilkan toksin shiga yang bersifat sitotoksik (Houghton Mifflin Company, 2006). 2.3.4 Manifestasi Klinis Shigellosis yang merupakan kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh bakteri Shigella sp. timbul dengan gejala nyeri abdomen, demam, buang air besar berdarah, dan feses berlendir. Pada disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 624 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit didapatkan darah dan lendir dalam tinja (Muhsin, 2009). Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap selama 3-4 minggu (Houghton Mifflin Company, 2006). Manifestasi ekstrakranial shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala pernafasan, gejala neurologis seperi meningismus, dan Hemolytik Uremic Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri (Houghton Mifflin Company, 2006). 2.3.5 Diagnosa Laboratorium Selain dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, diagnosa dapat ditegakkan dengan cara memeriksa tinja yang mengandung darah, lendir, dan potongan jaringan atau swab rektum.

Pada pengamatan mikroskopis akan tampak leukosit dan eritrosit dalam jumlah yang cukup banyak (Dzen dkk, 2003). Selanjutnya bahan pemeriksaan diinokulasikan pada medium diferensial (misal: agar MacConkeys atau EMB) dan pada media selektif (misal: agar enterik Hektoen atau agar Salmonella- Shigella) yang dapat menekan Enterobacteriaceae yang lain. Koloni yang tidak berwarna (lactose- negative fermenter) kemudian diinokulasikan ke medium agar TSI. Organisme yang tidak membentuk H2S, yang menghasilkan asam tetapi tidak membentuk gas pada pangkal dan bagian miring yang basa, dan tidak bergerak, harus diperiksa aglutinasi mikroskopik dengan antiserum spesifik Shigella. Sedangkan pada pemeriksaan serologis, menunjukkan kenaikan titer antibodi spesifik selang waktu 10 hari (Dzen dkk, 2003).

2.3.6 Pencegahan dan Penatalaksanaan Penularan shigellosis terutama melalui fecal-oral route. Untuk mencegahnya dibutuhkan sanitasi yang adekuat agar tercipta higiene yang baik, pembuangan limbah yang layak, klorinasi air, juga deteksi dan pengobatan karier sangat efektif untuk mencegah penularan karena manusia merupakan reservoir dari Shigella sp (Dzen dkk, 2003). Prioritas utama penatalaksanaan diare karena Shigella adalah keadaan hidrasi penderita. Untuk dehidrasi ringan sampai sedang cukup diberikan rehidrasi oral. Pada dehidrasi berat perlu diberi cairan infus dengan cepat (cairan isotonik 20-30 ml/kg berat badan dalam waktu 1 jam). Respon yang baik ditunjukkan pada pemberian antibiotik Siprofloksasin, ampisilin, tetrasiklin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol. Obat- obat ini dapat menurunkan panas, mengurangi diare, dan mempercepat durasi stadium karier (Dzen dkk, 2003).

2.4 Bahan-bahan antimikroba Antimikroba dapat diperoleh secara alami, semisintetik, atau sintetik. Antimikroba alamiah adalah bahan metabolit yang dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme lain, atau yang biasa disebut antibiotika. Antibiotika tersebar di alam bebas dan memegang peranan penting dalam mengatur populasi mikroba di alam bebas. Contoh antibiotika adalah dari genus Penicillium, Bacillus, Streptomyces. Antimikroba semisintetik diperoleh dengan cara melakukan modifikasi rumus kimia dari senyawa alamiah. Tujuan antimikroba semisintetik adalah untuk memperluas spektrum, menurunkan toksisitas, meningkatkan stabilitas atau memperbaiki

farmakokinetik. Contoh antimikroba semisintetik adalah ampisilin dan metisilin. Sedangkan antimikroba sintetik merupakan antimikroba yang dibuat secara kimiawi di laboratorium. Antimikroba sintetik ini biasa disebut kemoterapeutika. Contoh antimikroba sintetik adalah golongan sulfonamid, INH, dan golongan kuinolon (Brooks et al, 2007). Secara umum, sebaiknya bahan antimikroba mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: Menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak hospes; Bersifat bakterisidal dan tidak bakteriostatik; Tidak menyebabkan resistensi pada bakteri; Berspekterum luas; Tidak bersifat alergenik atau tidak menimbulkan efek samping bila digunakan dalam jangka waktu yang lama; Tetap aktif dalam plasma, cairan tubuh atau eksudat; Larut di dalam air dan stabil; Kadar bakterisidal di dalam tubuh cepat tercapai dan bertahan lama (Brooks et al, 2007). Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kematian mikroba pada pemberian suatu antimikroba adalah sebagai berikut: a. Jumlah mikroba Makin banyak jumlah mikroba, makin lama waktu yang diperlukan untuk membunuh mikroba (Brooks et al, 2007). b. Bentuk kehidupan mikroba Bentuk endospora sulit dibunuh dan bentuk vegetatif juga menunjukkan kepekaan yang bervariasi terhadap kontrol fisis maupun khemis (Brooks et al, 2007). c. Lingkungan Bahan organic, misalnya darah, pus, saliva, atau tinja sering menghambat kerja antimikroba khemis maupun fisis (Brooks et al, 2007). d. Waktu Seperti diketahui, reaksi kimia akan berjalan lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Oleh karena itu, proses pemanasan dengan suhu rendah akan memerlukan waktu lebih panjang untuk membunuh mikroba. Efek radiasi juga bergantung lama waktu yang diberikan dimana antimikroba khemis sering memerlukan waktu lebih panjang untuk mikroba yang lebih resisten atau endospora (Brooks et al, 2007).

Mekanisme antimikroba dapat melalui beberapa cara, antara lain merusak membran sel, merusak dinding sel, merusak asam nukleat, denaturasi protein, merusak gugus sulfidril bebas (Brooks et al, 2007). 2.5 Resistensi Shigella terhadap Obat Pada saat ini, di banyak tempat di dunia telah banyak bakteri penyebab diare, termasuk Shigella sp., yang resisten terhadap obat. Sebagian besar resistensi obat pada bakteri usus disebabkan oleh perluasan penularan plasmid resisten pada berbagai genus (WHO Media Center, 2009). Studi di Amerika menunjukkan bahwa saat ini resistensi Shigella terhadap ampicilin mencapai lebih dari 50% galur yang diidolasi dari berbagai negara (American Society for Microbiology). Bakteri mempunyai beberapa mekanisme untuk dapat bertahan hidup dari antimikroba, di antaranya: 1. Memproduksi enzim yang merusak obat 2. 3. 4. Mengubah permeabilitas membran sel Mengubah struktur target terhdap obat Mengembangkan jalan metabolisme baru (Dzen dkk, 2003). obat

2.6 Uji Kepekaan terhadap Antibakteri In Vitro Uji kepekaan bakteri terhadap obat-obatan secara invitro bertujuan untuk mengetahui obat antibakteri yang masih dapat digunakan untuk mengatasi infeksi oleh bakteri tersebut. Uji kepekaan terhadap obat antibakteri pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu metode dilusi dan metode difusi cakram (Dzen dkk, 2003). Prinsip dari uji kepekaan antibakteri ini yaitu menentukan sensitivitas populasi bakteri terhadap beberapa obat atau bahan dalam rentang dosis tertentu (Krempels, 2008). 2.6.1 Metode Dilusi Metode ini digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimal) dan KBM (kadar bunuh minimal) dari obat antibakteri (Dzen dkk, 2003). 2.6.1.1 Prinsip Metode Dilusi Tabung

Menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel bakteri yang diuji;

Masing-masing tabung diisi dengan obat yang telah diencerkan secara serial; Seri tabung diinkubasikan pada suhu 370C selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung;

Konsentrasi terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat;

Biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan, dan keesokan harinya diamati ada tidaknya koloni bakteri yang tumbuh;

Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni bakteri adalah KBM dari obat terhadap bakteri uji (Dzen dkk, 2003).

2.6.1.2 Prinsip Metode Dilusi Agar Pada metode ini masing-masing konsentrasi zat antibakteri ditambahkan pada media agar terlebih dahulu, kemudian dituang ke cawan petri hingga memadat. Selanjutnya, bakteri diinokulasi pada agar tersebut. Konsentrasi terendah dari zat antibakteri yang menghambat pertumbuhan bakteri dinyatakan sebagai konsentrasi hambat minimal (Tortora, 2001). 2.6.2 Metode Difusi Cakram 2.6.2.1 Prinsip metode difusi cakram Obat dijenuhkan kedalam kertas saring (cakram kertas). Cakram kertas yang mengandung obat tertentu ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah dicampur dengan bakteri yang diuji, kemudian diinkubasikan 370C selama 18-24 jam. Selanjutnya diamati

adanya zona jernih disekitar cakram kertas yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri (Dzen dkk, 2003). Untuk mengevaluasi hasil uji kepekaan tersebut (apakah isolat bakteri sensitif atau resisten terhadap obat), dapat dilakukan dua cara sebagai berikut (Dzen dkk, 2003): a. Cara Kirby Bauer, yaitu dengan cara membandingkan diameter dari area jernih

(zona hambatan) di sekitar cakram dengan tabel standar yang dibuat oleh NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standard). Dengan tabel NCCLS ini dapat diketahui kriteria sensitif, sensitif intermediet dan resisten. b. Cara Joan Stokes, yaitu dengan cara membandingkan radius zona hambatan

yang terjadi antara bakteri kontrol yang sudah diketahui kepekaannya terhadap obat tersebut dengan isolat bakteri yang diuji. Pada cara Joan Stokes, prosedur uji kepekaan untuk bakteri kontrol dan bakteri uji dilakukan bersama-sama dalam satu piring agar.

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Lidah buaya (Aloe vera)

Saponin

Tanin

Membran sel dan sintesis enzim-enzim dihambat saponin, Kemampuan membunuh kuman

Sintesis enzim-enzim esensial dihambat tanin, antibiotik

antib

Pertumbuhan Shigella dysenteriae

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian Keterangan: : zat aktif : mekanisme menghambat kerja zat aktif ekstrak gel lidah buaya : menunjukkan efek zat aktif terhadap mikroba

3.2. Deskripsi kerangka Konsep Manfaat dari lidah buaya (Aloe vera) yang diperoleh dari zat yang dikandungnya antara lain adalah sebagai antiseptik, obat pencahar, penghilang rasa sakit, anti bakteri, antibiotik, anti virus, anti jamur, meningkatkan daya tahan tubuh, anti inflamasi, untuk pertumbuhan sel, dan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal. Dari hasil studi, didapatkan bahwa lidah buaya mengandung tanin, saponin, kompleks anthraquinone, acemannan, enzim bradykinase, carboxypeptidase, glucomannan, mucopolysakarida, tannin, aloctin A, salisilat, asam amino, mineral, vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, E, dan asam folat. Kandungan saponin dan tanin dapat berperan sebagai

antimikroba terhadap bakteri. Kandungan saponin dalam ekstrak lidah buaya berfungsi untuk membunuh kuman ,senyawa saponin juga dapat bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 2005). sedangkan tanin dengan suatu reseptor(Mahtuti, 2007). 3.2. Hipotesis penelitian Ekstrak lidah buaya (Aloe vera) memiliki efek sebagai antimikroba terhadap bakteri Shigella dysenteriae secara in-vitro. berfungsi untuk menghambat ikatan antar ligan

DAFTAR PUSTAKA

Adam, 2001. Shigella dysenteriae. (Online). (http://www.adam.com, diakses tanggal 20 Oktober 2010) WHO Media Center. 2009. Antimicrobial Resistance, (online), (http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/, diakses tanggal 14 Desember 2009). Todar, K. 2009. Todars Online Textbook of Bacteriology: Shigella and Shigellosis, (online), (http://74.125.153.132/search? q=cache:L7zcxQxc6dAJ:www.textbookofbacteriology.net/Shigella.html+enterobacteriace

ae+shigella+dysenteriae&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id, diakses tanggal 10 Desember 2009). Peoloengan, M., Chairul, Komala, I., Salmah, S., Susan, M.N. 2006. Aktivitas Antimikroba Beberapa Tanaman Obat, (online), (http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/semnas/pro06-146.pdf, diakses tanggal 10 Desember 2009). Nathania, D. 2008. Shigella dysenteriae, (online), (http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/devi-nathania-0781141271.pdf, diakses tanggal 12 Desember 2009). Parmadisastra, Y.2003. Formulasi Sediaan Cair Gel Lidah Buaya Sebagai Minuman Kesehatan (online). (http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/06/formulasi_sediaan_cair_gel_lida h_buaya.pdf, diakses tanggal 19 Desember 2010)

Dilla, S, Z. Analisis Ekspor Lidah Buaya (Aloe vera) Kalimantan Barat (http://upb.ac.id/jurnal/vol_1_No_1.pdf, diakses tanggal 20 Desember 2010) Dalimunte, A. Pengujian Ekstrak Etanol Sabut Kelapa Terhadap Bakteri Escherichia Coli dan Shigella Dysenteriae (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19746/1/kpr-jun2006%20%281%29%20.pdf, diakses tanggal 21 Desember 2010)

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1

Desain Penelitian Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian True experimental Post test only

Control Group Design dengan menggunakan metode dilusi tabung untuk mengetahui efek antimikroba ekstrak gel lidah buaya (Aloe vera) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) secara in vitro. Proses pengekstrakan gel lidah buaya menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol. Sedangkan pengujian ekstrak gel lidah buaya sebagai antimikroba menggunakan metode dilusi tabung yang meliputi dua tahap, yaitu tahap pengujian bahan pada media Mueller Hinton broth dan tahap

penanaman pada medium NAP (Nutrient Agar Plate)

dengan metode penggoresan yang

bertujuan untuk menentukan KHM (Kadar Hambat Minimal) dan KBM (Kadar Bunuh Minimal). 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya pada bulan Maret 2010 sampai bulan Juni 2010. 4.3 Sampel Penelitian Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak gel lidah buaya (Aloe vera) dan menggunakan sampel bakteri uji yaitu MRSA dengan kepadatan bakteri 108 bakteri/ml yang diambil dari stock culture milik Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang yang sudah resisten terhadap methicillin.

4.4 Pengulangan Besarnya konsentrasi yang digunakan, ditetapkan melalui eksperimen pendahuluan. Pada penelitian ini digunakan 4 konsentrasi ekstrak gel lidah buaya yang berbeda, serta 1 kontrol positif dan 1 kontrol negatif, maka jumlah pengulangan yang dipakai dalam penelitian ini dihitung dengan rumus sebagai berikut (Solimun, 2001): 6 ( n-1 ) 15 6n-6 6n n 15 21 3,5 4 p ( n-1 ) 15

Keterangan : n = jumlah pengulangan

p = jumlah perlakuan (konsentrasi ekstrak gel lidah buaya) Jadi, pada penelitian ini masing-masing perlakuan dilakukan lima kali pengulangan. 4.5 4.5.1 Definisi Operasional Ekstrak gel lidah buaya (Aloe vera) adalah hasil ekstrak gel yang diambil dari daun lidah buaya yang berasal dari lingkungan sekitar di Malang, Indonesia dan menggunakan pelarut etanol. Gel yang digunakan berasal dari daun lidah buaya yang sudah masak dan berwarna hijau. Pembuatan ekstrak menggunakan 50 gram gel kering lidah buaya yang bila diekstrak dengan ethanol akan didapatkan 5 ml ekstrak yang setara dengan konsentrasi 100% ekstrak. 4.5.2 MRSA yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Universitas Brawijaya Malang yaitu dari isolat Staphylococcus aureus yang dites resistensinya dengan Cefoxitin 30g discs pada agar (Santosaningsih, 2008), CLSI (Clinical Laboratory Standards Institute) merekomendasikan penggunaan cefoxitin

ketimbang oxacillin ketika menggunakan metode difusi cawan untuk menentukan resistensi terhadap methicillin untuk Staphylococcus aureus karena lebih mudah diinterpretasi sehingga lebih sensitif untuk pendeteksian resistensi berperantara mecA. Titik maksimum resistensi dan kerentanan yang direkomendasikan untuk uji cawan cefoxitin 30-g adalah 22 mm. (Masdin 2010). Uji Kepekaan antimikroba untuk mengetahui sensitivitas dan efektivitas antimikroba terhadap mikroba patogen. Ada dua cara uji kepekaan antimikroba yaitu metode dilusi tabung dan metode difusi cakram. Pada penelitian ini digunakan metode dilusi tabung. 4.5.3 Kadar Hambat Minimal (KHM) adalah kadar atau konsentrasi minimal larutan ekstrak gel lidah buaya (Aloe vera) yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji (MRSA), yaitu dengan penampakan yang jernih pada biakan, setelah diinkubasikan selama 18-24

jam. Kejernihan larutan ekstrak gel lidah buaya ini dikonfirmasikan dengan larutan kontrol bahan yang terdiri dari ekstrak gel lidah buaya sebanyak 2 ml. 4.5.4 Kadar Bunuh Minimal (KBM) adalah kadar atau konsentrasi minimal larutan ekstrak gel lidah buaya yang mampu membunuh bakteri uji (MRSA), yaitu tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba setelah biakan yang jernih diinokulasikan ke medium agar padat yang nantinya diinkubasi dan kemudian diamati keesokan harinya, atau pertumbuhan koloninya kurang dari 0,1% dari jumlah koloni inokulum awal (original inoculum/OI) pada medium NAP yang telah dilakukan penggoresan sebanyak satu ose. 4.5.5 Kontrol positif yaitu tabung dengan konsentrasi 0% atau tanpa larutan ekstrak gel lidah buaya. 4.5.6 Kontrol negatif yaitu tabung dengan konsentrasi 100% atau dengan larutan ekstrak lidah buaya saja. 4.5.7 Original inoculum adalah inokulum bakteri dengan konsentrasi 106 CFU/mL yang diinokulasikan pada media agar padat sebelum diinkubasi dan digunakan untuk mencari kategori KBM. 4.5.8 Pengamatan kualitatif digunakan untuk menentukan skor pertumbuhan MRSA berdasarkan bayangan tiga garis hitam yang tampak dibalik tabung. Kriteria skoring adalah sebagai berikut : 0 : Jernih 1 : Agak keruh 2 : Keruh 3 : Sangat keruh

4.5.9

Pengamatan kuantitatif digunakan untuk menentukan pertumbuhan bakteri uji MRSA dengan menghitung koloni bakteri dengan metode colony counter.

4.6 Variabel Penelitian 4.6.1 Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah larutan konsentrasi ekstrak gel lidah buaya (Aloe vera). Konsentrasi yang digunakan adalah 0,3%, 0,35%, 0,4%, 0,45%, dan 0,5%.

4.6.2

Variabel Tergantung Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah jumlah koloni bakteri MRSA yang tumbuh pada media perbenihan yang nantinya akan diukur KHM dan KBM.

4.7 4.7.1

Alat dan Bahan Untuk Pembuatan Ekstrak : Alat: 1. Oven 2. Timbangan ukur 3. Labu Erlenmeyer 4. Corong gelas 5. Kertas saring 8. Evaporator 9. Pendingin spiral / rotary evaporator 10. Selang water pump 11. Water pump 12. Water bath

6. Labu evaporator 7. Labu penampung Bahan: 1.Gel lidah buaya (Aloe vera) 2. Etanol 96% 4.7.2 Untuk Identifikasi Bakteri 1. Isolat bakteri MRSA 2. NAP (Nutrient Agar Plate)

13. Vacum pump

3. Aquades 4. Botol hasil ekstrak

3. Bahan pengecatan Gram: Kristal violet, lugol, alkohol 96%, safranin 4. Object glass, minyak emersi, ose, mikroskop 5. Pembakar bunsen 4.7.3 Untuk Pembuatan Bahan Cair Bakteri Kepadatan 106 Bakteri/ml 1. Tabung reaksi 2. MH (Mueller Hinton) broth 3. Pipet steril 4.7.4 Untuk Uji Sensitivitas Bakteri Terhadap Antimikroba (Metode Dilusi Tabung) 1. Tabung reaksi dengan label konsentrasi 2. Tabung reaksi untuk kontrol bakteri dan ekstrak 3. Pipet steril 4. Larutan NaCl 5. Vortex

4. Inkubator 5. Hasil ekstraksi 6. Perbenihan cair bakteri dengan kepadatan 106 bakteri/ml 7. Aquades 8. Vortex 4.7.5 Untuk Uji Streaking Plate 1. NAP 2. Ose 3. Pembakar bunsen 4. Vortex

4.8 Rancangan Operasional Penelitian Alur kerja 1. Pembuatan ekstrak gel lidah buaya a. Proses pengeringan Gel lidah buaya dipotong kecil-kecil Kemudian dijemur dengan panas matahari sampai benar-benar kering

b. Proses ekstraksi Setelah kering, haluskan dengan blender sampai halus Timbang sebanyak 50 gram (sampel kering) Masukkan 50 gram sampel kering ke dalam labu Erlenmeyer ukuran 1 liter Kemudian rendam dengan etanol 96% sampai volume 950 ml Kocok sampai benar-benar tercampur ( 30 menit) Didiamkan 1 malam sampai mengendap

c. Proses evaporasi Ambil lapisan atas campuran etanol 96% dengan zat aktif yang sudah terambil Masukkan dalam labu evaporasi pada evaporator Isi water bath dengan air sampai penuh Pasang semua rangkaian alat, termasuk rotary evaporator, pemanas water bath (atur sampai 90oC), sambungkan dengan aliran listrik Biarkan larutan etanol memisah dengan zat aktif yang sudah ada dalam labu Tunggu sampai aliran etanol berhenti menetes pada labu penampung ( 1,5 sampai 2 jam untuk 1 labu) Masukkan hasil ekstraksi dalam botol plastik Simpan dalam freezer

2. Persiapan bahan uji Isolat bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus di NAP diidentifikasi ulang dengan pewarnaan Gram, dengan cara seperti berikut ini. Alat dan bahan: Biakan bakteri Bahan pewarna untuk pewarnaan Gram Gelas obyek dan ose Air dan kertas penghisap

Prosedur: Membuat sediaan hapusan bakteri pada gelas obyek

Sediaan hapusan dituangi Kristal violet selama 1 menit, kemudian sisa Kristal violet dibuang dan dibilas air

Sediaan hapusan dituangi lugol selama 1 menit, kemudian sisa lugol dibuang dan dibilas air

Sediaan hapusan dituangi alkohol 96% selama 5-10 detik atau sampai warna cat luntur, kemudian sisa alkohol dibuang dan dibilas dengan air

Sediaan hapusan dituangi safranin selama menit kemudian sisa safranin dibuang dan dibilas air

Sediaan hapusan dikeringkan menggunakan kertas penghisap Setelah kering, diamati di bawah mikroskop dengan lensa obyektif perbesaran 1000x

Bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang teramati di bawah mikroskop berupa bakteri kokus gram positif.

Selanjutnya, bakteri MRSA ditanam pada medium MH broth selama 18-24 jam, kemudian diidentifikasi kembali dengan pengecatan Gram dan uji sensitivitas cefoxitin untuk konfirmasi bakteri yang tumbuh adalah benar MRSA. 3. Pembuatan perbenihan cair bakteri kepadatan 106 bakteri/ml Suspensi bakteri MRSA pada medium MH broth dispektrofotometri dengan panjang gelombang () 625 sehingga diketahui kepadatan bakterinya (OD = Optical Density) yang setara dengan kepadatan bakteri 108 bakteri/ml. Kemudian dengan rumus pengenceran N1.V1 = N2.V2, kepadatan bakteri tersebut diencerkan 2x dengan NaCl menjadi 106 bakteri/ml. Dasar perhitungannya sbb: Apabila diperoleh OD bakteri hasil spektrofotometri = 0,404 (N1) OD bakteri dengan kepadatan 108 bakteri /ml = 0,1 (N2)

Volume keseluruhan dalam 1 tabung = 10 ml (V2) N1.V1 = N2.V2 0,404 . V1 = 0,1 . 10 ml V1 = 1/0,404 = 2,47 2,5 ml -Suspensi bakteri sebanyak 2,5 ml ditambah dengan NaCl 7,5 ml menjadi suspensi bakteri dengan kepadatan 107 bakteri/ml. -Kemudian dari suspensi tersebut diambil 1 ml, ditambah NaCl 9 ml menjadi suspensi bakteri dengan kepadatan 106 bakteri/ml. -Selanjutnya dari suspeni bakteri tersebut diambil 1 ml kembali, dicampur dengan MH broth 9 ml. Tujuannya agar bakteri mendapatkan nutrisi dari MH broth tersebut. Suspensi bakteri dengan kepadatan 106 bakteri/ml ini siap digunakan untuk uji sensitivitas mikroba dengan metode dilusi tabung. 4. Uji sensitivitas antimikroba Uji sensitivitas antimikroba terhadap MRSA menggunakan metode dilusi tabung. Prosedur metode dilusi tabung: a. Masing-masing tabung steril diberi label konsentrasi ekstrak yang telah ditentukan b. Ke dalam masing-masing tabung, dimasukkan 1 ml suspensi bakteri dengan kepadatan 106 bakteri/ml c. Sesuai konsentrasi ekstrak yang telah ditentukan, ke dalam masing-masing tabung dimasukkan ekstrak gel lidah buaya, pada konsentrasi ekstrak tertentu

d. Kemudian ditambahkan aquades ke dalam masing-masing tabung sesuai dengan proporsi konsentrasi ekstraknya, pada konsentrasi ekstrak tertentu e. Dengan demikian dalam 1 tabung berisi total larutan sebanyak 2 ml f. 2 tabung masing-masing sebagai kontrol positif (KP) berisi suspensi bakteri tanpa ekstrak, dengan proporsi bakteri 1 ml + aquades 1 ml dan kontrol negatif (KN) berisi konsentrasi ekstrak 100% tanpa biakan maupun aquades g. Semua tabung dieramkan pada inkubator dengan suhu 37oC selama 18-24 jam h. Keesokan harinya, dari masing-masing tabung diambil sebanyak 1 ose kemudian ditanam (digoreskan) pada NAP, kemudian dieramkan pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan esok harinya dilihat ada tidaknya pertumbuhan koloni bakteri. i. Dihitung jumlah koloni bakteri pada NAP untuk masing-masing konsentrasi ekstrak, kemudian dianalisis.

You might also like