You are on page 1of 5

Sekilas Sejarah Peraturan tentang Pers di Indonesia

Tim LIPI mencatat, bahwa peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda
dutuangkan tahun 1856 dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, yang di
tahun 1906 diperbaiki sesuai dengan tuntutan keadaan waktu itu, karena peraturan tersebut lebih
bersiIat preventiI dibandingkan dengan peraturan yang muncul 50 tahun berkiutnya yang lebih
represiI.|2|
Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai
Presbreidel Ordonantie. Selain Presbreidel Ordonantie, pada zaman pemerintahan kolonial
Belanda juga dikenal tindakan terhadap pers yang dikelan sebagai Hat:ai Artikelen, yaitu pasal-
pasal mengancam hukuman terhadap siapa paun yang menyebarkan rasa permusuhan, kebencian,
atau penghinaan terhadap pemerintah Hindia Belanda.|3|
Setelah kemerdekaannya, ada usaha dari pemerintah Indonesia untuk mencabut
Persbreidel Ordonantie, tepatnya pada 2 Agustus 1954, yang didasarkan pertimbangan bahwa
pmbredelan pers bertentangan dengan pasal 19 dan 33 Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia.|4|
Pada 14 September 1956, terdapat peraturan dengan No. PKM/001/0/1956 yang
dikeluarkan oleh kepala StaI Angkatan Darat selaku Penguasa Militer. Isinya antara lain
melarangmencetak, menerbitkan, dan menyebarkan serta memiliki tulisan-tulisan, gambar-
gambar, klise, atau lukisan-lukisan yang memuat atau mengandung kecaman, persangkaan atau
penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, suatu kekuasaan ataumajelis umum atau
'seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab menjalankan pekerjaan dengan sah.|5|
Peraturan tersebut dicabut karena mendapat protes keras dari beberapa kalangan surat
kabar, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta Serikat Penerbit Surat kabar (SPS). Tekanan
terhadap pers semakin terasa ketika diberlakukan darurat militer dan keadaan perang pada 14
Maret 1957 yang membuat tidak kurang 13 penerbitan di Jakarta dibredel.
Awal bulan Oktober 1958 keluarlah peraturan dari Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya
tentang Surat Izin Terbit (SIT) bagi koran dan majalah di Jakarta. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mencegah publikasi yang sensasional dan dinilai bertentangan dengan moralitas. |6|
Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, muncul program Manipolisasi Pers yang
pada waktu itu Indonesia sedang berada pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Ketetapan tersebut menggariskan bahwa media massa harus diarahkan untuk mendorong aksi
massa revolusioner di seluruh Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki keyakinan dan
teguh tentang sosialisme agar dukungan bagi kelangsungan revolusi dan perannya dalam
pembangunan nasional dapat terwujud. |7|
Kemudian, muncul peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) Nomor 10 tanggal 12
Oktober 1960 yang harus ditaati oleh peminta izin terbit, berupa 19 pasal yang harus disetujui
oleh penerbit surat kabar saat itu.|8|
Peraturan Peperti Nomor 2/ 1961 khusus mengatur tentang pengawasan dan pembinaan
atas perusahaan percetakan swasta. Prinsip dasarnya adalah bahwa percetakan harus menjadi alat
menyebarluaskan Manipol dan untuk memberantas Imperialisme, Kolonialisme, Liberalisme,
dan Federalisme serta Separatisme.|9|
Penetapan Presiden tentang SIT baru dicabut setelah munculnya Undang-Undang Pokok
Pers No. 11/ 1966 yang disahkan pada 12 Desember 1966. Namun, dalam Undang-undang yang
sama dimungkinkan adanya surat izin dikaitkan dengan masa peralihan sampai ada keputusan
pencabutannya oleh pemerintah dan DPR GR.
Pada 1967, UU o. 11/ 1966 dilengkapi dengan satu pasal yang mencabut larangan
peredaran Pers nasional berupa buletin, surat kabar, harian, majalah, dan penerbitan berkala
lainnya. Pencabutan pelarangan ini merupakan suatu perjuangan untuk melawan Penetapan
Presiden No. 4 Tahun 1963 yang menyatakan bahwa Jaksa Agung berwenang beredarnya barang
cetakan yang dianggap dapat menganggu ketertiban umum.|10|
Pada 1982, UU Pers No. 11/ 1966 yang telah disempurnakan pada 1967 ditinjau kembali
sehingga menghasilkan UU Pers No. 21 1982. Dalam UU Pers yang baru ini muncul konsep baru
yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP dikhawatirkan akan
terjadi bentuk pengontrolan baru terhadap surat kabar.|11|
Setelah lengsernya Soeharto sebagai Presiden pada Mei 1998, Indonesia memasuki babak baru
dalam kehidupan bernegara yaitu era ReIormasi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap berbagai
sendi kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pers di Indonesia. Hal ini ditandai dengan
dirubahnya UU Pers No. 21/ 1982 menjadi UU Pers No. 40/ 1999. UU Pers yang baru ini sangat
berbeda dari dua UU Pers yang sebelumnya dibuat pada Orde Baru yang represiI terhadap pers
dengan dilakukannya bredel terhadap pers, walaupun pada UU Pers-nya dinyatakan menjamin
kebebasan pers.
Pada UU Pers baru itu segala peraturan perizinan, seperti SIUPP, dicabut. Departemen
Penerangan juga dihapus. Kebebasan pers menjadi suatu yang nyata pada saat itu. Sama seperti
pada kehidupan pers periode awal Orde Baru pada 1967-1974 setelah lepas dari era Demokrasi
Terpimpin dengan Soekarno sebagai pemimpinnya. Pers saat itu berkembang pesat dan
mendapatkan kebebasannya serta melakukan Iungsinya sebagai alat kontrol sosial dengan baik.
Perkembangan pers yang pesat pada periode awal Orde Baru itu dapat dilihat dari jumlah
surat kabar yang terbit pada masa itu. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Judith B. Agassi (1969)
yang menyatakan bahwa pada 1966 terdapat 132 harian di Indonesia dengan total tiras 2 juta
eksemplar dan mingguan sebanyak 144 buah dengan total tiras 1.542.200 eksemplar. Angka ini
menunjukkan kuantitas pers yang mengalami kenaikan dibandingkan dengan masa Demokrasi
Terpimpin. Pada 1965 terdapat 111 harian dan 84 majalah.|12| Peningkatan jumlah perusahaan
penerbitan pers juga diperlihatkan ketika Indonesia lepas dari Orde Baru dan memasuki era
ReIormasi. Terdapat pola yang serupa mengenai kehidupan pers di masa transisi pergantian
rezim, yaitu pers mendapatkan kebebasannya dan mengalami perkembangannya yang cukup
pesat.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada konteks kehidupan pers pada periode awal
Orde baru (dari 1967), kebebasan dan Iungsi ideal pers benar-benar dialami hanya sampai tahun
1973, sekitar 6 tahun. Setelah itu pers mengalami kontrol ketat dari penguasa. Hal ini dapat
dilihat dari terjadinya pembredelan beberapa surat kabar nasional pada peristiwa Lima Belas
Januari, yang biasa dikenal Malari. Menurut Zaini Abar dalam bukunya - Kisah Pers
Indonesia, ia menyatakan bahwa kebebasan yang dialami pers pada periode awal Orde baru tidak
lepas dari kepentingan penguasa saat itu yang membutuhkan legitimasi etis dan politis untuk
mengidentiIikasi dirinya sebagai penguasa yang demokratis dalam mengemban amanat, yaitu
ingin melaksanakan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
sehingga akan dapat membedakan dirinya dengan penguasa atau rezim sebelumnya. Selain itu
juga penguasa saat itu membutuhkan partner sebagai corong yang dapat membela kepentingan
kekuasaannya. Namun masa 'bulan madu' itu berakhir ketika penguasa Orde Baru pada saat itu
telah berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan, melalui kekuatan-kekuatan negara terutama
militer. Atas dasar itu, penguasa saat itu melakukan tindakan represiI terhadap pers yang pada
saat itu juga terlalu kritis terhadap pemerintah.
SIT yang seharusnya tidak berlaku lagi pada UU Pers No. 11/ 1966, dilakukan oleh
penguasa pada 1973 terhadap harian Sinar Harapan yang dilakukan oleh Panglima Kopkamtib
Soemitro. SIT Sinar Harapan dicabut karena dituduh telah membocorkan rahasia negara, yaitu
telah menyiarkan isi RAPBN 1973-1974 sebelum pemerintah mengumumkannya secara resmi.
(Indonesia Raya, 3 Januari 1973).|13|
Rule of Law atau Law of Ruler?
Melihatnya sejarah perjalanan kehidupan pers berkaitan dengan hukum pers yang secara
sekilas telah dipaparkan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa hukum pers merupakan
produk penguasa untuk mendukung kepentingan kekuasaannya (aw of Ruler). Aturan-aturan
yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaanya. Tidak jarang pula aturan-
aturan yang telah dianggap ideal dilanggar oleh pemerintah. Hal itu dapat dilihat peristiwa-
peristiwa yang pernah terjadi di kehidupan pers Indonesia.
Lalu bagaimana dengan UU Pers No. 40/ 1999? UU Pers ini menjamin kemerdekaan pers
dengan tidak memberlakukan tindakan-tindakan represiI terhadap pers. Memang benar. Tidak
ada izin untuk mendirikan perusahaan pers. Juga tidak dikenakan pressbreidel. Namun yang ada
sekarang adalah tekanan melalui modal. Indonesia sekarang ini menganut sistem pasar bebas
(neoliberalisme) yang menekankan pada kepentingan modal dalam segala bidang usaha (bahkan
bidang kehidupan) termasuk media massa yang telah menjadi industri, membuat pers tidak bisa
independen terutama dari jebakan modal. Pola pembungkaman pers sekarang ini tidak lagi
dilakukan secara represiI, namun melalui sistem industri yang menekankan pada akumulasi laba
sehingga media massa kebanyakan sekarang ini cenderung tidak kritis dan hanya menekankan
pada keuntungan dengan menyiarkan acara-acara hiburan. Kalaupun ada media massa yang kritis
terhadap penguasa, mereka akan dibungkam dengan cara dituntut di pengadilan dan diminta
ganti rugi yang sebesar-besarnya agar modal usahanya habis dan tidak dapat melangsungkan
produksi kegiatan jurnalistik lagi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang menimpa pers
pada era reIormasi. Kebanyakan dari mereka dituntut dengan tidak menggunakan UU Pers,
melainkan menggunakan KUHP. Hal ini disebabkan yang oleh sebagian kalangan dikatakan
bahwa UU Pers bukan merupakan suatu lex specialis yang dapat digunakan pada perkara yang
melibatkan pers. Selain itu usaha untuk menjadikan UU Pers sebagai lex specialis belum gencar
terlihat. Baru ada wacana-wacana saja mengenai UU Pers sebagai lex specialis. Namun usaha-
usaha revisi UU Pers agar bisa menjadi lex specialis masih belum terlihat.
Atas dasar hal itu, penulis menyimpulkan bahwa UU Pers, khususnya No. 40/ 1999,
merupakan produk kepentingan penguasa. Walaupun ada masukan dari masyarakat mengenai
pembentukan UU Pers, masukan dilakukan sebatas taraI normatiI, yaitu sebatas pada norma
hukum. Namun pada pelaksanaannya belum tentu sesuai dengan norma hukum tersebut. Norma
hukum dibuat hanya sebagai legitimasi etis dan politis bagi penguasa agar kekuasaannya dapat
berjalan.

|1| Mengenai sejarah awal pers di Indonesia lihat Abdurrahman Surjomihardjo. (ed.), Beberapa
Segi Perkembangan Sefarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002. Juga
Ahmat Adam, Sefarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, Yogyakarta:
Pusataka Pelajar, 2003.
|2| Lih. P. Swantoro dan Atmakusumah, 'Garis Besar kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Pers,
dalam Abdurrahman Surjomihardjo. (ed.), Beberapa Segi Perkembangan Sefarah Pers di
Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
|3| Ibid.
|4| Tribuana Said, Sefarah Pers Nasional, dan Pembangunan Pers Pancasila, (Jakarta: Haji
Masagung, 1988), dalam Ignatius Haryanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: LkiS, 2006).
|5| Ignatius Haryanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: LkiS, 2006).
|6| Ibid.
|7| Ibid.
|8| Peraturan Peperti ini dapat dilihat dalam Abdurrahman Surjomihardjo. (ed.), Beberapa Segi
Perkembangan Sefarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), bagian
lampiran.
|9| Ignatius Haryanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: LkiS, 2006).
|10| Ibid.
|11| Ibid.
|12| Lih. Akhmad Zaini Abar, - Kisah Pers Indonesia. (Yogyakarta: LKiS. 1995).
|13| Ibid.

You might also like