You are on page 1of 299

 

JURNALISME SASTRA MBM TEMPO SEBAGAI PRAKTIK ESTETIK DAN


POLITIK BAHASA MEDIA PADA PEMBERITAAN KASUS DUGAAN
KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA
KABINET INDONESIA BERSATU

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Akhir Menempuh Gelar Sarjana


Pada Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi

oleh

PRIYONO SANTOSA
NRP: 2000110193

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA


JAKARTA – 2008
 

ABSTRAK

(A) Priyono Santosa (2000110193)


(B) Jurnalisme Sastra MBM Tempo Sebagai Praktik Estetik dan Politik Bahasa
Media Pada Pemberitaan Kasus Dugaan Korupsi yang Melibatkan Pejabat
Negara Kabinet Indonesia Bersatu (Studi Analisis Wacana Kritis)
(C) xiv + 284 halaman; 3 Tabel; 2 Bagan; 5 Lampiran; 2008
(D) Kata kunci: Wacana, Estetika, Politik Bahasa Media
(E) Tujuan: untuk mengetahui hubungan teks berita (mikro), produksi dan
konsumsi teks (meso), dengan konteks sosial (makro) dalam Jurnalisme Sastra
MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada
pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet
Indonesia Bersatu. Metode Penelitian: Analisis Wacana Kritis dengan
instrumen analisis teks ekletif. Hasil Penelitian: Mikro. Praktik estetik
dilakukan demi pencapaian efek perlokutif dan joissance kepada pembaca.
Praktik politik bahasa media dilakukan dengan bias dan prasangka demi
pencapaian efek abrasive kepada pejabat negara yang diberitakan. Meso.
Diproduksi secara kolektif dan institusional, serta dikonsumsi oleh khalayak
pembaca kelas menengah ke atas di Indonesia, yakni sebagai warisan tradisi
dari para pendiri MBM Tempo yang dipertahankan lewat kelas kuliah dan
sistem penilaian terhadap wartawan. Makro. Konteks sosial budaya yang
mengelilingi MBM Tempo mengarah pada persinggungan sistem pers dengan
sistem ekonomi-politik-budaya yang mengacu pada upaya pemberantasan
korupsi dan perbaikan demokrasi di Indonesia. Kesimpulan: Praktik
Jurnalisme Sastra MBM Tempo –sebagai praktik estetik dan politik bahasa
media– pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara
Kabinet Indonesia Bersatu merupakan persinggungan antara praktik jurnalisme
dengan praktik kesusastraan di media massa sebagai pendekatan kultural dalam
mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia. Saran: Penulis menyarankan agar
MBM Tempo mengurangi upaya status degradation dan character assasination
yang mengarah pada prejudicial publicity. Jika hal tersebut menempati porsi
yang lebih besar dalam pemberitaan, MBM Tempo dapat terjebak pada trial by
the press yang justru akan mencoreng nama MBM Tempo sendiri, serta
menimbulkan citra buruk pers dalam partisipasinya memberantas korupsi di
Indonesia.
(F) Buku: 35 (1983 – 2005), Sumber lain (1988-2008)
 
 
 
KATA PENGANTAR

Ide untuk mengangkat tema penelitian ini datang pada suatu siang di Stasiun

KRL Tebet bulan Juni tahun 2005. Ketika itu penulis tengah asyik membaca liputan

utama Majalah Tempo yang penulis beli di lapak majalah bekas dalam stasiun

tersebut. Namun yang saat itu penulis perhatikan justru bukan pada isi liputan berikut

hilangnya jumlah rupiah yang kemudian dipersoalkan, tetapi lebih pada penyajian

bentuk tulisan yang digunakan Tempo dalam mengulas berbagai peristiwa.

“Ibarat membaca sebuah cerita pendek,” gumam penulis dalam hati siang itu.

Terlebih lagi dengan bertaburnya kata, frase, dan kalimat yang terkesan

memerhatikan kemerduan bunyi dan cukup puitis, praktik jurnalisme Tempo penulis

pandang cukup khas dan berbeda dengan kebanyakan media lain di Indonesia.

Penulis yang saat itu juga tengah aktif di gerakan sastra mahasiswa, mulai bertanya

pada diri sendiri: Bukankah jurnalisme dengan sastra merupakan dua hal berbeda

yang hidup di dua dunia yang berbeda pula? Yang satu menawarkan informasi

berguna bagi masyarakat, yang satu lagi menawarkan keindahan tekstual bagi

pembacanya? Adakah hal ini berhubungan dengan motto Majalah Tempo sendiri

yang berbunyi ‘Enak Dibaca dan Perlu’?

“Lalu apa yang sesungguhnya tengah terjadi dalam praktik jurnalisme

Tempo? Adakah ini sebuah anomali dalam praktik jurnalisme kita? Atau ini sekadar

fenomena baru yang mencerminkan perkembangan mutakhir masyarakat Indonesia?”

tanya penulis lebih lanjut. Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul bak cendawan di

v
vi

musim hujan, hingga penulis mulai memberanikan diri untuk mengangkat temuan

penulis terhadap praktik jurnalisme Tempo tadi menjadi tema skripsi penulis,

Meski begitu, bentuk penulisan jurnalisme Tempo yang bergaya sastra

tersebut tidak penulis anggap berdiri sendiri. Ia mesti disertakan juga dengan isi

liputannya. Maka sejak Juni 2005 itulah penulis mulai mengumpulkan bahan dan

sejumlah referensi terkait yang diperlukan dalam menjalankan sebuah penelitian.

Setelah hampir tiap minggu selama 2 tahun memelototi halaman demi halaman

Majalah Tempo, penulis kemudian mulai berani menentukan topik, membatasi

permasalahan pokok, dan menarik rumusan masalah penelitian.

Tema yang kemudian penulis pilih untuk dikaji lebih dalam adalah Jurnalisme

Sastra Majalah Tempo pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan

pejabat negara. Pasalnya tema ini cukup mewakili keingintahuan penulis, menarik

dan sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti, serta diharapkan beguna

dalam memahami perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme di Indonesia.

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tanpa sadar pula,

begitu banyak pihak baik yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung dalam

proses penyelesaian penelitian ini. Maka di kesempatan ini pula penulis hendak

mengucapkan kata terima kasih atas bantuan dan dukungan serta bimbingan dari

sejumlah nama di bawah ini yang telah memberikan sumbangan, pikiran, tenaga,

waktu, dan dukungan semangat serta doa:


vii

1. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Sri Marheini dan Agus Santosa,

atas kasih dan cintanya di sepanjang jalan kehidupan penulis.

2. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu guru penulis di TK Puspitasari, SD 12

Pagi, SMP 117, dan SMU 71 Jakarta Timur yang telah membimbing penulis

melewati kanak-kanak hingga remaja dengan nikmatnya ilmu pengetahuan.

3. Terima kasih kepada Rektor IISIP Jakarta, Ir. Maslina W. Hutasuhut, M.M

4. Terima kasih kepada mantan Rektor Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(IISIP) Jakarta, A.M. Hoeta Soehoet.

5. Terima kasih kepada Dra Hj. Mulharnetti Syas, M.S selaku Ketua Jurusan

Jurnalistik.

6. Terima kasih kepada Drs. Moeryanto Ginting Munthe, M.S selaku dosen

pembimbing skripsi yang mengajarkan penulis mengenai nilai-nilai ketekunan,

ketelitian, keakuratan, kepercayaan, kedewasaan, serta sopan santun dalam

kerangka ilmu pengetahuan.

7. Terima kasih kepada dosen Kampus Tercinta, yakni Drs. Nurcahyadi Pelu, Drs.

Patar Nababan, Drs. Dadan Iskandar, M.S, Dra. Sri Dewiningsih, M.Si, Dra.

Widyastuti, M.S, Drs. Guntoro, M.S, Drs. Intantri Kusmawarni, M.Si, Norman

Meoko, Drs. Teguh Tjatur Pramono, M.M yang sempat meluangkan waktunya

berdiskusi dan tak lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis.

8. Terima kasih kepada Putri selaku Bagian PSDM MBM Tempo yang

memberikan bimbingan semasa penelitian ini dijalankan.


viii

9. Terima kasih kepada Sapto Nugroho selaku Redaktur Bahasa, dan Wenseslaus

Manggut selaku Redaktur Desk Nasional MBM Tempo.

10. Terima kasih kepada Sosa dan Wulan Oktaviani yang selalu mengingatkan agar

penulis tak lupa pulang ke rumah, serta atas kasih, cinta, dan pengertiannya

selama ini.

11. Terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada Vin Vulaize Kumbang yang

menyumbangkan ide awal penelitian ini, dan Nosa Normanda di Sastra Inggris

UI. Tanpa kau kawan, penelitian ini mungkin tak akan pernah ada.

12. Terima kasih kepada Dayi, Danin, dan Dako atas segala sesuatunya yang hanya

bisa penulis ucapkan dengan syukur.

13. Terima kasih kepada kawan-kawan Komunitas RuangMelati, KOMPOSISI,

Komunitas Kertas, UKM IISIP Teater Kinasih, UKM IISIP Kampung Seg@rt,

Himpunan Mahasiswa Jurnalistik IISIP, Himpunan Mahasiswa HI IISIP,

LMND & PRM, Forum Kota, dan Greenpeace INDONESIA.

14. Terima kasih kepada rekan-rekan pers mahasiswa IISIP, yakni Bulettin ISSUE,

BUMI, MEDIA 3, ELLEVEN, MIKA, KRITIKKRISIS, PROJECT 17,

EDITORIAL KITA, EPICENTRUM, segenap awak redaksi Tabloid KUNCI.

15. Terakhir, terima kasih kepada QP untuk segala yang tak bisa lagi terucapkan

kata. Sengaja pula kutaruh namamu di daftar terakhir, karena kuharap kaulah

yang bakal jadi ‘yang terakhir’ hingga ujung nafasku nanti.


ix

Akhir kata, penulis berharap agar penelitian sripsi ini selain bermanfaat, juga

dapat mengundang lahirnya penelitian-penelitian lain yang mengkaji berbagai

fenomena baru dalam praktik jurnalisme di Indonesia. Penulis sadar bahwa penelitian

ini pun tak lepas dari kekurangan dan keretakan tekstual yang diidapnya. Tapi tak

apa. Sebab selain dijalankan untuk memenuhi syarat akhir menempuh gelar sarjana,

penelitian ini bak sebuah karya yang baru menawarkan sebutir pengetahuan tentang

secuil saja dari pluralnya ‘kebenaran’.

Jakarta, Februari 2008

Penulis,

Priyono Santosa
x

DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN MAHASISWA ............................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................. v

DAFTAR ISI ................................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii

DAFTAR BAGAN ........................................................................................ xiii

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Permasalahan Pokok .................................................................... 14
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 21
D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 22
E. Sistematika Penelitian .................................................................. 22

BAB II KERANGKA TEORI


A. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 25
A.1. Media Massa Sebagai Institusi ............................................ 25
A.2. Berita dan Objektivitas ........................................................ 30
A.3. Korupsi ................................................................................ 34
A.4. Jurnalisme Sastra ................................................................. 40
A.5. Estetika dan Politik Bahasa ................................................. 59
A.6. Wacana ................................................................................ 69
B. Operasionalisasi Konsep .............................................................. 78
C. Kerangka Pemikiran .................................................................... 83

BAB III DESAIN PENELITIAN


A. Paradigma Penelitian ................................................................... 84
B. Metode Penelitian ........................................................................ 91
C. Bahan Penelitian dan Unit Analisis ............................................... 99
xi

D. Populasi dan Sampel .................................................................... 100


E. Metode pengumpulan Data .......................................................... 104
F. Metode Analisis Data .................................................................. 104

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Subjek Penelitian ......................................................................... 108
1. Sejarah Singkat ...................................................................... 108
2. Visi Misi ................................................................................ 112
3. Susunan Redaksional Organisasi ........................................... 113
4. Bagan Struktur Organsisasi Redaksi ..................................... 115
5. Bagan Alur Berita .................................................................. 116
B. Hasil Penelitian ............................................................................ 117
1. Analisis Teks (Ekletif) ........................................................... 117
2. Analisis Discourse Practice .................................................. 215
3. Analisis Sociocultural Practice ............................................... 220
C. Pembahasan ................................................................................. 235

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 250
B. Saran ............................................................................................ 257

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 258

LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 264

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... 283


xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

A. Company Profile .................................................................................... 264

B. Hasil wawancara dengan Redaktur Bahasa MBM Tempo

Sapto Nugroho ........................................................................................ 269

C. Hasil wawancara dengan Redaktur Desk Nasional MBM Tempo

Wenseslaus Manggut ............................................................................. 273

D. Surat Permohonan Penelitian ............................................................... 281

E. Surat Keterangan Penelitian ................................................................. 282


xiii

DAFTAR BAGAN

Bagan

1. Struktur Organisasi ............................................................................... 115

2. Flow of News ........................................................................................... 116


xiv

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Tabel Populasi ........................................................................................ 101

2. Tabel Sampel .......................................................................................... 103

3. Tabel Level Analisis Dan Metode Penelitian ....................................... 107


http://prys3107.blogspot.com
prys.3107@gmail.com

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring laju globalisasi dunia yang tak terelakkan dewasa ini, kita tengah

menyaksikan transisi masyarakat berbasis industri menuju masyarakat berbasis

komunikasi. Karenanya, kebutuhan akan media komunikasi massa di tengah-tengah

masyarakat abad ini telah menjadi suatu keniscayaan. Tak heran bila perkembangan

teknologi komunikasi massa terus dilakukan seiring maraknya industri media massa.

Salah satu dampak dari gencarnya perkembangan teknologi komunikasi massa

dan ketatnya persaingan industri media massa, adalah kecepatan menyampaikan

informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media massa berlomba menjadi yang

tercepat dan terdepan dalam hal menyiarkan hasil liputannya. Hampir setiap jam

masyarakat disuguhi sajian breaking news berisi peristiwa aktual yang disiarkan

berbagai media massa elektronik seperti radio, televisi, dan internet. Tentu saja dalam

hal kecepatan menyampaikan informasi, media elektronik jelas lebih unggul

dibandingkan media cetak seperti surat kabar dan majalah.

Namun alih-alih memburu keaktualitasan, praktik jurnalisme yang demikian

justru membuat hasil informasi liputannya menjadi selintas dan tidak mendalam.

Padahal masyarakat juga mengalami perkembangan kritis dalam memandang realitas

di sekitarnya. Walhasil, kompleksitas masyarakat yang demikian, membutuhkan

sajian jurnalisme yang tak lagi sekedar informatif, aktual, cepat dan selintas.

1
http://prys3107.blogspot.com 2
prys.3107@gmail.com

Sejalan dengan perubahan tersebut, Nurudin mengungkapkan pentingnya

perubahan orientasi media:

Media massa hendaknya tak sekedar memberitakan peristiwa semata. Namun


juga harus bisa mengevaluasi dan menganalisis setiap kejadian lewat keahlian
wartawan mengintepretasikan pesan dan fakta-fakta dari lapangan. Media massa
juga harus mampu memberikan data pendukung yang berguna untuk melakukan
intepretatif pesan.1

Dari sini tergambarlah tuntutan yang ditujukan kepada institusi media massa

sebagai pelayan informasi publik. Media massa menghadapi tantangan untuk

menyiarkan produk jurnalismenya yang berlandaskan evaluasi, analisis, dan

intepretatif kepada masyarakat. Yakni sebuah pemberitaan mendalam dan

menyeluruh atas fakta peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Berbeda dengan media elektronik yang cenderung memburu aktualitas dan

kecepatan menyiarkan berita, praktik jurnalisme di media cetak memiliki tenggat

waktu lebih panjang. Media cetak, seperti suratkabar dan majalah, menjadi lahan

yang tepat bagi praktik jurnalisme yang memungkinkan evaluasi, analisis, dan

intepretatif atas fakta peristiwa. Disinilah keunggulan media cetak bisa ditempatkan.

Tidak hanya memuat berita lempang, media cetak juga menerapkan ragam

penulisan berita mendalam dan berita selidik, serta penulisan feature dan ragam

produk jurnalisme lainnya. Ragam penulisan berita yang mendalam dan menyeluruh

dengan mengembangkan intepretasi wartawan atas kaitan antar fakta, menjadi sejalan

1
Nurudin, Komunikasi Massa, Cesper, Yogyakarta, 2003, hal.93
http://prys3107.blogspot.com 3
prys.3107@gmail.com

dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian haus dan melek informasi.

Akhirnya timbul fenomena lain yang terjadi di kalangan pelaku media itu sendiri.

Lebih jelasnya, Eni Setiati mengungkapkan fenomena jurnalistik di atas

dengan mencermati kondisi pers di Amerika tahun 1960-an sebagai berikut: ”Muncul

kebosanan para wartawan senior di Amerika terhadap standar baku dalam melakukan

tugas peliputan dan penulisan berita. Kebosanan itu juga melanda terkait tata kerja

jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi ruang gerak wartawan, teknik

penulisan, dan bentuk pelaporan berita.”2

Adapun fenomena ini mencerminkan perubahan dalam praktik jurnalisme

yang diterapkan di media cetak. Ritme kerja wartawan menghadapi rutinitas

redaksional media tempatnya bekerja, dirasakan kian monoton. Standar teknik

penulisan dan bentuk pemberitaan yang baku seakan tidak mampu lagi

mengakomodasikan semangat kerja wartawan. Padahal untuk menyajikan berita yang

menarik, dibutuhkan ruang gerak yang lebih luas lagi bagi kepekaan wartawan dalam

menggali informasi. Sehingga penyajian fakta peristiwa oleh wartawan membutuhkan

pengembangan gaya serta teknik penulisan jurnalisme yang berbeda dari yang sudah

ada.

Septiawan Santana Kurnia mengungkapkan bahwa para wartawan Amerika di

masa itulah yang pertama kali mendobrak kaidah jurnalisme lama. “Mereka tidak lagi

hanya mencatat peristiwa sesuai fakta, lalu memuatnya di media massa. Mereka

2
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi,
Yogyakarta, 2005, hal.43
http://prys3107.blogspot.com 4
prys.3107@gmail.com

justru menjadi perintis dalam melakukan inovasi dalam bentuk tulisan, penyajian,

serta teknik liputan lebih mendalam dan menyeluruh.”3

Inovasi inilah yang kemudian menemukan bentuknya sebagai penulisan

laporan jurnalisme dengan menggunakan elemen dan teknik penulisan karya sastra.

Upaya pengadopsian gaya sastra dalam realitas pers Amerika tahun 1960-an menjadi

motor penggerak pembaruan jurnalisme. Ketika kebaruan hendak ditancapkan oleh

para jurnalis, sastra dipilih sebagai bentuk awal penolakan mereka terhadap

jurnalisme lama.

Kurnia sendiri berasumsi demikian, “Jurnalis Amerika waktu itu memang

mendekati sastra karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama: bentuk dan gaya penulisan

novel yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua: keinginan untuk

mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.”4

Sejalan dengan asumsi di atas, Tom Wolfe menambahkannya dengan

mengungkapkan pengaruh sastra pada perkembangan media cetak di Amerika Serikat

yang saat itu sedang mengalami stagnasi:

Para mahasiswa jurnalistik saat itu tidak hanya bermimpi setelah lulus
menjadi wartawan dan terus-menerus mencari berita-berita gempar. Mimpi
mereka dibumbui dengan mimpi menjadi novelis, melalui dunia surat kabar
sebagai batu loncatan untuk menulis novel-novel bergengsi. Impian seperti itu
tidak hanya dimiliki mahasiswa macam mereka. Di luar kalangan mereka, jutaan
orang Amerika juga bermimpi sama: menulis novel.5

3
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2002, hal.7
4
Ibid., hal.18
5
Ibid., hal.25
http://prys3107.blogspot.com 5
prys.3107@gmail.com

Bisa disimak bahwa pengadopsian sastra sebagai bentuk awal pembaruan

jurnalisme di Amerika, terjadi karena kepopuleran sastra di tengah-tengah masyarakat

Amerika saat itu. Mencermati perkembangan kesusastraan dunia, sejak tahun 1950

telah ramai digelar lomba penulisan novel di berbagai negara, termasuk di Amerika

Serikat. Demam novel menjamur dengan bermunculan pula komunitas-komunitas

sastra.

Yang terjadi kemudian adalah anggapan umum tentang kepopuleran penulis

novel bahkan melebihi gengsi seorang wartawan. Maka tak heran bila dalam kondisi

demikian, sastra menjadi hal yang berpengaruh pada perkembangan dunia jurnalisme,

khususnya pada penulisan laporan jurnalisme. Hal ini diungkapkan Wolfe:

Di awal tahun 1960-an, demam novel memunculkan temuan-temuan baru


dalam penulisan jurnalisme. Gaya penyajiannya kemudian mencairkan batas-
batas penulisan feature sebagai mana disyaratkan dan dikembangkan oleh para
jurnalis. Karya jurnalis telah menjadi bacaan mirip novel.. yang mencampurkan
kekuatan novel ke dalam gaya menulis Jurnalisme Sastra yang (sebagai tulisan
non-fiksi) tidak kalah mutunya dibandingkan sebuah novel sastra.6

Sejak saat itulah masyarakat mengenal apa yang kemudian disebut sebagai

Jurnalisme Sastra. Kalaupun unsur pemakaian gaya bahasa sastra memang sudah

terlihat pada bentuk penulisan feature, maka Jurnalisme Sastra mengembangkannya

lebih lanjut lewat gaya bahasa, elemen dan teknik penulisan karya sastra.

Robert Vare, wartawan The New Yorker sekaligus pengajar di Universitas

Havard, kemudian merumuskan prinsip Jurnalisme Sastra. Prinsip utama yang

6
Ibid., hal.33
http://prys3107.blogspot.com 6
prys.3107@gmail.com

diungkapkan Vare adalah fakta. “Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata

dasar ‘sastra’, tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama

orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar

kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru.”7

Dipandang dari penggunaan bahasa, gaya bahasa Jurnalisme Sastra

berkembang lebih luwes menjadi bahasa yang kaya sajian kreasi kata-kata yang

mampu merekam emosi suasana dengan tetap mempertahankan kesucian fakta.

Sehingga fakta yang disajikannya seakan menjadi begitu hidup. Ditambah lagi,

penggunaan gaya bahasa sastra dapat memberikan penekanan tertentu terhadap suatu

peristiwa, sekaligus juga mempengaruhi cara pembaca memandang peristiwa yang

disajikan.

Jurnalisme Sastra memang bukan sekedar penulisan laporan faktual dengan

bahasa puitis atau estetis. Lebih dari itu, Jurnalisme Sastra merupakan ruang di mana

segenap dimensi estetik sastra menyusup ke dalam penulisan laporan jurnalisme.

Segenap dimensi estetik tersebut dapat dilihat dari wujudnya, yakni berupa

penggunaan gaya bahasa, elemen-elemen, dan teknik penulisan yang lazim dijumpai

dalam sebuah karya sastra semisal cerita pendek, novel, bahkan puisi. Tak pelak lagi,

rumusan baku 5W+1H pun mengalami pengembangan. Yakni Who berkembang

menjadi karakter, What menjadi alur, Where menjadi latar (setting), When menjadi

kronologi pengadegan, Why menjadi motif, dan How menjadi narasi.

7
Adreas Harsono & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.xii-xiii
http://prys3107.blogspot.com 7
prys.3107@gmail.com

Memandang Jurnalisme sastra sebagai praktik produksi berita, Andreas

Harsono berpendapat bahwa Jurnalisme Sastra lebih dalam dari berita pendalaman;

“Jurnalisme Sastra bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke

dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu.

Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik.”8 Maka tak heran bila

Wolfe mengungkapkan unsur penting yang juga terdapat pada proses penyajiannya

ialah “waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa berbulan-bulan,

bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.”9

Riset dan wawancara yang berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,

mencerminkan bahwa Jurnalisme Sastra sebagai proses peliputan berita dengan

agenda perencanaan tertentu. Praktik jurnalisme demikian dilakukan memang demi

menghasilkan pemberitaan yang dalam dan menyeluruh.

Mengacu pada berbagai uraian di atas, tak bisa dipungkiri bahwa Jurnalisme

Sastra merupakan salah satu bentuk praktik jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan

zaman, agar institusi media cetak dapat menyajikan berita yang mendalam sekaligus

menarik. Jurnalisme Sastra juga dapat menjadi solusi bagi kemandegan yang dialami

media cetak, sehingga ia mampu bersaing dengan industri media dan perkembangan

media elektronik.

8
Andreas Harsono & Budi Setiyono, Op.Cit., hal.vii
9
Jurnalisme Sastra, 1 September 2001, www.koranduta.com.
http://prys3107.blogspot.com 8
prys.3107@gmail.com

Seiring hadirnya Jurnalisme Sastra, inovasi juga dilakukan dalam berbagai

bentuk kreativitas jurnalisme yang berkembang saat itu. Adalah Fred Fedler, seorang

komunikolog, yang mencatat fenomena ini untuk kemudian disebutnya sebagai

Jurnalisme Baru (The New Journalism). Oleh Fedler, Jurnalisme Baru tersebut dibagi

empat macam, ”yakni Jurnalisme Advokasi/ Advocacy Journalism, Jurnalisme

Alternatif/ Alternative Journalism, Jurnalisme Presisi/ Precision Journalism, dan

Jurnalisme Sastra/ Literary Journalism.”10

Dengan menyoroti perspektif pers dari sisi perkembangan media, temuan

Fedler ini menjadi dasar pengembangan jurnalistik yang dilakukan masyarakat pers di

Amerika. Secara menyeluruh pula, Fedler merangkum berbagai gejala yang

merupakan hasil dialektika pers Amerika dengan perkembangan masyarakatnya. Dan

sejak kelahirannya di tahun 1960-an, keempat bentuk Jurnalisme Baru tersebut

kemudian banyak diterapkan di berbagai media cetak Amerika, antara lain Majalah

Time, Majalah Newsweek, harian The New York Times, dan harian The Washington

Post.

Di Indonesia sendiri, Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo juga disebut

oleh banyak pakar sebagai media yang menerapkan Jurnalisme Baru di Indonesia.

Mantan Dewan Pers Atmakusuhah Asraatmadja mengungkapkan, “Tempo, dengan

teknik penyajian laporan yang mirip majalah Time dan Newsweek, memberi

10
Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.8
http://prys3107.blogspot.com 9
prys.3107@gmail.com

kesegaran dalam gaya penulisan yang di Indonesia boleh disebut sebagai bentuk

jurnalisme baru.”11

Seperti yang juga dikemukakan Umar Nur Zain, MBM Tempo adalah salah

satu media cetak di Indonesia yang menerapkan bentuk Jurnalisme Baru lewat sajian

feature berita di tiap edisi terbitannya. “Tempo sudah menemukan pola penyajian

khusus, yaitu news feature yang kemudian dicirikan sebagai new journalism…

perpaduan antara jurnalistik dan sastra.”12

Lebih spesifik lagi, Kurnia mengungkapkan, ”Di Indonesia, majalah berita

Tempo adalah yang pertama menyoal gaya penyajian sastra dalam penulisan

jurnalisme. Pada tahun 1970-an, majalah ini tampil menyegarkan dunia jurnalistik di

Indonesia.”13

Bahkan Goenawan Mohamad, selaku pendiri dan mantan pemimpin redaksi

MBM Tempo, mengaku bahwa awalnya ia tertarik pada gaya penulisan Majalah

Time. Dalam salah satu wawancara, ia mengungkapkan:

Dalam hati muncul pertanyaan, mengapa bahasa Indonesia tak menjadi seperti
bahasa Inggris di Majalah Time? Saya, misalnya, menyarankan, kalau mau bikin
majalah kenapa tak mencoba bentuk yang selama ini belum dicoba di Indonesia?
Mengapa tidak mencoba mingguan berita model Time dan Newsweek di Amerika

11
Ibid., hal.171
12
Umar Nur Zain, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993,
hal.109
13
Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.171
http://prys3107.blogspot.com 10
prys.3107@gmail.com

Serikat yang dipakai L’Expree di Perancis, Der Spiegel di Jerman Barat, atau
Elsevier di Belanda?14

Maka dari keterangan beberapa sumber di atas, tidaklah berlebihan bila secara

asumtif penulis menemukan praktik Jurnalisme Baru, khususnya praktik penulisan

jurnalisme yang dipadukan dengan sastra di MBM Tempo. Teks pemberitaan MBM

Tempo kerap disajikan dengan kandungan dimensi estetik yang lazim dijumpai dalam

sebuah karya sastra, yaitu antara lain adalah penggunaan gaya bahasa puitis,

penggambaran latar, penempatan alur, karakter tokoh, drama, dan konflik.

Dalam penelitian ini, penulis memang tidak hendak membuktikan secara

kuantitatif apakah Jurnalisme Sastra yang diterapkan MBM Tempo sesuai dengan

dengan kategori dan memenuhi prinsip-prinsip yang ada sebuah karya Jurnalisme

Sastra. Sebab bila mengacu pada prinsip-prinsip Jurnalisme Sastra yang berkembang

di Amerika tersebut, penulis memandang bahwa MBM Tempo mengadopsikan

prinsip-prinsip tersebut untuk kemudian mengembangkan Jurnalisme Sastra versi

Tempo sendiri.

Sebagai sebuah majalah yang diawaki oleh beberapa sastrawan dan seniman

Indonesia semisal Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Bur Rusuanto, Syu’bah Asa,

MBM Tempo menjadi media yang tepat untuk mengembangkan perpaduan teknik

penulisan jurnalisme dengan sastra. Didirikan setelah kejatuhan rezim Presiden

Soekarno di Indonesia, MBM Tempo edisi perdana terbit tahun 1971. Dengan

14
Coen Husain Pontoh, Konflik Nan Tak Kunjung Padam, dalam Andreas
Harsono & Budi Setiyono, Op.Cit. hal.117
http://prys3107.blogspot.com 11
prys.3107@gmail.com

menurunkan liputan utama mengenai kecelakaan yang pemain badminton andalan

Indonesia di Asian Games Bangkok, Thailand, judul berita tersebut Bunyi ‘Kraak’

Dalam Tragedi Minarni. Coen Husain Pontoh lalu berkomentar bahwa judul yang

digunakan MBM Tempo tak lazim saat itu. “Judul itu dianggap segar dan renyah

sehingga menimbulkan minat baca.”15

Namun berbeda dengan situasi yang melatarbelakangi pers di Amerika,

penerapan Jurnalisme Sastra sebagai inovasi dalam teknik pemberitaan di MBM

Tempo dan media lain di Indonesia muncul saat kebebasan pers tengah dikekang

rezim Orde Baru. Pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) membuat

pemerintah leluasa mengintervensi pers yang dianggap mengkritik pemerintah.

Karenanya, pemberitaan pers harus sejalan dengan garis politik yang ditetapkan

pemerintah. Sehingga praktik jurnalisme yang diterapkan media mesti berkompromi

dengan ancaman pembreidelan oleh pemerintah.

Menyoal praktik jurnalisme yang diterapkan di Tempo, Rosihan Anwar

mengutip pernyataan Fikri Jufri selaku dewan redaksi MBM Tempo saat itu:

Bahwa untuk bisa selamat, maka gaya bahasa harus sopan dan tidak
menyinggung perasaan. Pers harus berani ambil risiko, tetapi harus
meghindarkan risiko yang sebenarnya tidak perlu. Bukan ukuran berapa kali kita
masuk bui; tetapi how to play, bagaimana bermain. Bagaimana menulis kritik
tanpa menyakiti hati orang, walaupun tetap mengemukakan fakta. Kalau tak bisa
fakta, minimal indikasi kuat. Jadi bagaimana kita menjahit dan menyuguhkan
hasil jahitan kita dengan baik.16

15
Ibid., hal.114
16
Rosihan Anwar, Menulis Dalam Air, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta,
1983, hal.260
http://prys3107.blogspot.com 12
prys.3107@gmail.com

Pontoh menanggapi bahwa pemakaian bahasa menjadi jurus MBM Tempo

untuk menghindari benturan dan tindakan langsung dari negara. Yakni dengan cara

”seluruh fakta dan informasi yang diperoleh Tempo dibungkus dengan kalimat yang

indah, penuh kesantunan.”17

Di titik inilah penulis menemui bahwa dimensi estetik yang diadopsi MBM

Tempo dalam pemberitaannya, merupakan suatu cara menarik minat pembaca,

sekaligus sebagai siasat tertentu dalam menghindari represivitas pemerintah Orde

Baru. Lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa sebagai lambang komunikasi dalam

media massa, Alex Sobur mengatakan bahwa ”bahasa bukan sekedar alat komunikasi

untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu

yang hendak ditanamkan kepada publik.”18

Penggunaan bahasa dalam media juga ditanggapi Dedy N. Hidayat bahwa

pemanfaatan bahasa untuk tujuan-tujuan mengkonstruksi dan melegitimasi suatu

realitas sosial tersebut antara lain bisa diamati dalam wacana media (media

discourse). Ia kemudian melanjutkan;

Media massa merupakan salah satu arena sosial tempat berbagai kelompok
sosial –masing-masing dengan politik bahasa yang mereka kembangkan sendiri–
berusaha menampilkan definisi situasi, atau definisi relitas versi mereka yang

17
Coen Husain Pontoh, Op.Cit., hal.131
18
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001, hal.89
http://prys3107.blogspot.com 13
prys.3107@gmail.com

paling sahih. Itu antara lain dilakukan melalui politik bahasa yang dikembangkan
oleh masing-masing kelompok sosial yang terlibat.19

Dari penjelasan tersebut, penulis memandang Jurnalisme Sastra versi Tempo

berlaku tak hanya sebagai inovasi penyajian berita lewat pengadopsian dimensi

estetik demi menarik minat pembaca, namun juga sebagai praktik penggunaan bahasa

yang berdimensi politis dalam mendefinisikan realitas serta mempengaruhi pembaca

dalam memandang suatu realitas tertentu. Ketika Jurnalisme Sastra ini diterapkan di

MBM Tempo saat itu, maka ia bisa dipandang sebagai praktik estetik dan politik

bahasa media yang digunakan untuk mensiasati represivitas kekuasaan rezim Orde

Baru.

Namun setelah rezim Orde baru tumbang, situasi politik dan dunia pers di

Indonesia kini telah berubah. Pers tak lagi dikekang dan SIUPP tak lagi diberlakukan.

Pers dan segenap institusi masyarakat seakan turut berpartisipasi menciptakan

pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) di Indonesia.

Sementara di sisi lain, kebebasan pers yang terjadi saat ini telah merangsang

hadirnya media baru yang beragam dan saling bersaing merebut pangsa pasar. Situasi

demikian ditanggapi Totok Djuroto yang mengatakan, ”itu sebabnya, akhir abad 20,

19
Dedy N. Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses
Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru, artikel dalam Sandra Kartika dan
M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana
Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
(LSPP), Jakarta, 1999, hal.48-49
http://prys3107.blogspot.com 14
prys.3107@gmail.com

dunia pers nasional kita mengenal sebutan industrialisasi pers. Maksudnya, pers yang

dikelola secara industri dengan perhitungan profit oriented.”20

Lewat penelitian inilah muncul minat penulis untuk meneliti lebih jauh

bagaimana praktik Jurnalisme Sastra versi Tempo –sebagai praktik estetik dan politik

bahasa media– diterapkan dalam situasi politik dan dunia pers Indonesia saat ini.

B. Permasalahan Pokok

Secara asumtif, praktik Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik

bahasa media tersebut penulis temui pada teks berita MBM Tempo. Teks pemberitaan

MBM Tempo kerap disajikan dengan kandungan dimensi estetik yang lazim dijumpai

dalam sebuah karya sastra, yaitu antara lain adalah penggunaan gaya bahasa puitis,

penggambaran latar, penempatan alur, karakter tokoh, drama, dan konflik.

Dari pengamatan penulis, hampir di setiap terbitan edisi MBM Tempo

memuat pemberitaan seputar kasus dugaan korupsi di Indonesia dari proses

penyidikan kepolisian hingga keputusan pengadilan diumumkan. Pemberitaan

mengenai kasus dugaan korupsi –khususnya yang melibatkan pejabat negara– selalu

mendapat porsi strategis di MBM Tempo. Praktik wacana yang dibangun MBM

Tempo seakan ikut mendukung gerakan pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme

yang bergaung khususnya setelah rezim Orde Baru tumbang pada Mei 1998.

20
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000, hal.4
http://prys3107.blogspot.com 15
prys.3107@gmail.com

Yang membuat penelitian ini penting adalah, penulis menemukan bias dalam

berbagai pemberitaan tersebut. MBM Tempo cenderung berlaku tidak adil dan

memarjinalkan posisi pejabat yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi tersebut.

Seakan-akan, pejabat tersebut tidak hanya terlibat secara kebetulan, tetapi juga

terindikasi kuat sebagai salah satu pelaku korupsi, meski kasus tersebut baru bersifat

dugaan.

Salah satu pemberitaan MBM Tempo yang penulis simak adalah kasus

dugaan korupsi pengadaan segel amplop kertas suara Pemilu Presiden 2004.

Pemberitaan ini menjadi menarik karena kasus tersebut melibatkan Menteri Hukum

dan HAM Hamid Awaluddin sebagai pihak yang diduga paling bertanggungjawab

atas kasus ini. Belakangan ini, muncul pula pemberitaan mengenai kasus dugaan

korupsi yang melibatkan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra terkait

dengan pengadaan alat pemindai sidik jari di Departemen Hukum dan HAM.

Adapun kedua menteri tersebut merupakan pejabat negara yang tergabung

dalam Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden RI Susilo

Bambang Yudhoyono. Kedua pemberitaan tersebut seakan masih meninggalkan

banyak pertanyaan akan kelanjutan dan bagaimana akhir dari kasus tersebut. MBM

Tempo sendiri tampaknya masih tetap memantau perkembangan terbaru dari kasus

ini.

Penulis sendiri memilih untuk mengetengahkan analisis pada pemberitaan

MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara,

dengan alasan bahwa kasus tersebut melibatkan konflik kepentingan hukum-


http://prys3107.blogspot.com 16
prys.3107@gmail.com

ekonomi-politik pemerintah Indonesia dengan banyak pihak. Kasus ini juga

mencerminkan wacana multi dimensional terkait dengan konteks sosial budaya

masyarakat Indonesia di mana korupsi telah menjadi penyakit masyarakat. Tak heran

bila banyak dari kasus tersebut yang tidak mudah terselesaikan secara hukum dan

seakan menjadi borok yang kian meluas di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dan

yang menjadi alasan mengapa penelitian ini penting dilakukan, ialah karena wacana

kasus dugaan korupsi yang dilakukan pejabat atau mantan pejabat tengah menjadi

wacana aktual yang marak di pemberitaan media massa dalam negeri saat ini.

Mengkritisi praktik pemberitaan di media lewat analisis teks berita, dapat

dikaji lebih mendalam lewat paradigma kritis. Artinya, teks berita yang diproduksi

wartawan tak bisa dilepaskan dari kepentingan ideologis dan komersial (bisnis) media

cetak tersebut. Dalam kata lain, untuk sampai kepada relasi kekuasaan dan ideologi

media lewat praktik politik bahasa, wartawan di sini mesti dipandang sebagai bagian

dari media yang tidak dengan sendirinya bebas mengkonstruksikan dan menafsirkan

realitas. Eriyanto mengungkapkan hal ini sebagai kajian analisis teks media dalam

paradigma kritis:

Paradigma kritis memahami realitas bukan dibentuk oleh alam (nature),


bukan alami, tetapi dibentuk oleh manusia. Ini tidak berarti setiap orang
membentuk realitasnya sendiri-sendiri, tetapi orang yang berada dalam kelompok
dominanlah yang menciptakan realitas, dengan memanipulasi, mengkondisikan
orang lain agar mempunyai penafsiran dan pemaknaan seperti yang mereka
inginkan.21

21
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2001,
hal.54-55
http://prys3107.blogspot.com 17
prys.3107@gmail.com

Maka dengan bersandar pada paradigma kritis, praktik Jurnalisme Sastra di

MBM Tempo membuat penulis tertarik untuk mengkajinya lebih lanjut lewat kajian

studi analisis teks media dengan pendekatan kualitatif. Dengan mengacu pada

penjelasan Eriyanto bahwa “analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai

bahasa atau pemakaian bahasa.”22, untuk itu metode penelitian yang penulis gunakan

adalah analisis wacana kritis.

Pada umumnya, studi analisis wacana kritis memang kerap digunakan untuk

membedah isi media. Dalam pengertian ini, wacana dipandang sebagai suatu alat

representasi di mana suatu kelompok yang dominan memarjinalkan posisi kelompok

yang tidak dominan dan teks berita adalah bentuk nyata dari dominasi tersebut. Tak

heran bila penelitian-penelitian analisis wacana kritis umumnya berhubungan dengan

bagaimana media memarjinalkan kelompok lemah, kaum perempuan, dan

sebagainya.

Namun Eriyanto sendiri mengakui bahwa hal tersebut terlalu

menyederhanakan karakteristik analisis wacana yang sejatinya memang beragam dan

multi disiplin. Dalam studi analisis teks yang berkaitan dengan sastra, Eriyanto

kemudian menunjukkan kritik Ahmad Sahal mengenai kecenderungan cultural

studies yang menyingkirkan estetika. Dalam kata lain, penelitian cultural studies

seperti dalam model analisis wacana kritis, lebih tertarik dengan perdebatan mengenai

bagaimana sastra merepresentasikan dan memarjinalkan kelompok yang tidak

22
Ibid., hal.4
http://prys3107.blogspot.com 18
prys.3107@gmail.com

dominan, ketimbang menggali dimensi estetika dalam sastra itu sendiri: Eriyanto

mengatakan:

Bahasa sastra dimaknai selalu dalam konteks pertarungan dan perebutan


makna, bukan bahasa dalam unsur sastra sendiri yang mengandung keindahan,
keterkejutan, dan elemen sastra lainnya. Kritik Sahal pada cultural studies ketika
melihat teks sastra, dapat juga kita berikan bagaimana analisis dan teori wacana
melihat berita.23

Sahal sendiri mengatakan bahwa dalam membaca sastra, cultural studies

tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul

karena kemelimpahan makna dan eksplorasi bentuk, juga ketakterdugaan metafor dan

imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Karena pembacaan mereka terhadap

sastra selalu bersifat "politis", dalam artian hanya melihat karya sastra sebagai

representasi sosial.

Dalam representasi, selalu ada suara dominan dan suara tertekan. Agenda

politik disini berarti melucuti suara dominan dan memberdayakan suara tertekan.

Sahal kemudian berkesimpulan demikian:

Inilah yang menjelaskan kenapa kalangan cultural studies mengkaji dan


membaca sastra, tetapi sesungguhnya mengabaikan sastra. Mereka bersikap
demikian karena, disadari atau tidak, mereka tidak peduli pada estetika.
Bukankah mereka berpendapat bahwa keindahan dalam karya sastra adalah cita
rasa dan selera kelas tertentu yang dianggap sebagai nilai yang "obyektif" dan
universal?
Dengan kata lain, suatu konstruksi sosial? Tidak heran kalau bagi mereka,
sastra hanyalah dokumen sosial yang setara dengan ikon-ikon budaya massa.

23
Ibid., hal.353
http://prys3107.blogspot.com 19
prys.3107@gmail.com

Tidak aneh dalam menghadapi karya, mereka lebih tertarik pada pesan politiknya
ketimbang sastranya.24

Adapun kritik Sahal tersebut menjadi perhatian tersediri bagi penulis, sebab

penelitian ini pun terkait dengan kajian dimensi estetika sastra yang dimaksudkan

Sahal. Karenanya, dalam penelitian ini penulis coba menjawab kritik di atas dengan

menggunakan kekayaan metode analisis wacana sebagai pisau analisis untuk

mengkaji secara khusus bagaimana praktik Jurnalisme Sastra –berikut pengadopsian

segenap dimensi estetik sastra dalam jurnalisme– digunakan dalam pemberitaan

media. Meski begitu harus diakui, penelitian ini pun tak mungkin lepas dari kajian

dimensi politis.

Maka jelas bahwa fokus penelitian di sini tidak hanya berkutat pada

bagaimana praktik media lewat politik bahasa yang dikembangkannya turut

memarjinalkan kelompok lain secara hegemonik. Tetapi juga pada bagaimana

pengadopsian dimensi estetik sastra menyusup dalam pemberitaan. Dengan

menyimak hubungan antara teks berita yang mikro dengan konteks sosial yang makro

sebagai tingkat analisis, penulis juga menjembatani kedua variabel tersebut dengan

tingkat analisis meso, yaitu pada proses produksi dan konsumsi teks.

Penelitian ini penulis lakukan dengan semangat kajian yang menitikberatkan

pada esensi praktik Jurnalisme Sastra itu sendiri sebagai perkembangan dari praktik

24
Ahmad Sahal, "Cultural Studies" dan Tersingkirnya Estetika, artikel
dalam Harian Kompas Jumat, 2 Juni 2000
http://prys3107.blogspot.com 20
prys.3107@gmail.com

jurnalisme kontemporer. Sebab meskipun penelitian tentang media massa dalam ilmu

komunikasi telah kian berkembang di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta,

penulis merasakan perlunya penelitian yang berbasiskan pada bagaimana ragam

penulisan berita dan praktik jurnalisme berkembang di Indonesia dewasa ini.

Maka dari seluruh uraian latar belakang tersebut, timbul pertanyaan dalam diri

penulis sebagai berikut:

1. Bagaimana dimensi estetik dan politik bahasa dari teks pemberitaan MBM Tempo

mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet

Indonesia Bersatu?

2. Bagaimana Jurnalisme Sastra digunakan sebagai praktik pemberitaan MBM

Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet

Indonesia Bersatu?

3. Bagaimana Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa terjadi

secara historis maupun institusional di MBM Tempo terkait pada pemberitaan

mengenai kasus dugaan korupsi tersebut?

4. Bagaimana konteks sosial budaya –seperti ideologi, hegemoni, dan interaksi

kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM Tempo terkait dengan praktik

Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi

tersebut?

5. Bagaimana Jurnalisme Sastra itu sendiri berkembang di MBM Tempo saat ini?
http://prys3107.blogspot.com 21
prys.3107@gmail.com

Maka penulis mengajukan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

“Bagaimana praktik Jurnalisme Sastra Majalah Berita Mingguan Tempo

–sebagai praktik estetik dan politik bahasa media– pada pemberitaan kasus

dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu?”

Untuk itu, judul penelitian ini adalah:

JURNALISME SASTRA MBM TEMPO SEBAGAI PRAKTIK

ESTETIK DAN POLITIK BAHASA MEDIA PADA PEMBERITAAN KASUS

DUGAAN KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA KABINET

INDONESIA BERSATU (STUDI ANALISIS WACANA KRITIS)

C. Tujuan Penelitian

Secara teoritis, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

hubungan antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso,

dengan konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo

sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan

korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.

Penelitian ini juga dilakukan sebagai usaha praktis yang bertujuan menggali

esensi praktik Jurnalisme Sastra sebagai perkembangan dari praktik jurnalisme

kontemporer, yakni penelitian yang berbasiskan pada bagaimana ragam penulisan

berita dan praktik jurnalisme berkembang di Indonesia dewasa ini.


http://prys3107.blogspot.com 22
prys.3107@gmail.com

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan teoritis: Penelitian ini berguna dalam mengembangkan model

analisis teks media yang berlandaskan pada teori wacana dan teori estetik lewat studi

analisis wacana dalam paradigma kritis.

Kegunaan praktis: Penelitian ini berguna untuk memberi masukan media

cetak pada umumnya, dan MBM Tempo pada khususnya terhadap praktik Jurnalisme

Sastra yang mereka kembangkan agar mampu membawa wawasan khalayak pembaca

sebagai individu partisipan politik yang kritis terhadap fenomena korupsi di

Indonesia.

Kegunaan penelitian ini juga sebagai perkembangan ilmu komunikasi,

khususnya perkembangan mutakhir pada praktik jurnalisme kontemporer di

Indonesia. Sebab kehadiran Jurnalisme Baru (khususnya Jurnalisme Sastra) dan

penerapannya di kancah pers negeri ini masih berada pada fase awal. Serta

diharapkan dapat merangsang mahasiswa Jurusan Jurnalistik lain untuk mendalami,

sekaligus mengkritisi berbagai perkembangan praktik jurnalisme di Indonesia.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, penjelasannya

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari Latar Belakang Masalah yang berisi

uraian mengenai permasalahan yang hendak diketengahkan lewat penjelasan historis

praktik Jurnalisme Sastra di Amerika Serikat dan di Indonesia; Permasalahan Pokok


http://prys3107.blogspot.com 23
prys.3107@gmail.com

berisi alasan memilih media dan wacana pemberitaan, disertai uraian singkat

mengenai paradigma dan metode yang akan digunakan dalam penelitian; Tujuan

Penelitian dan Kegunaan Penelitian baik secara teoritis maupun praktis; dan

Sistematika Penulisan berisi penjelasan sistematis mengenai hal-hal apa saja yang

dituangkan dalam penelitian ini.

BAB II KERANGKA TEORI, terdiri dari Tinjauan Pustaka yang berisi uraian

konsep yang digunakan dalam penelitian ini seperti, serta penjelasan mengenai

wacana dalam teori dan metode analisisnya; Definisi Operasional berisi penjelasan

definisi yang menjadi operasionalisasi dalam penelitian ini; dan Kerangka Pemikiran

berupa bagan penelitian sebagai penjelasan menyeluruh atas isi dari bab ini.

BAB III DESAIN PENELITIAN, terdiri dari uraian Paradigma Penelitian;

yakni paradigma kritis; Metode Penelitian yang bersifat kualitatif dengan model

penelitian Analisis Wacana Kritis; Bahan Penelitian yaitu teks berita yang akan

diteliti menggunakan metode analisis wacana kritis, dan Unit Analisis yang

disesuaikan dengan model penelitian yang dipakai; Populasi dan Sampel; Metode

Pengumpulan Data dengan melakukan analisis teks berita, melakukan wawancara,

dan observasi, serta studi kepustakaan sebaagi referensi; dan Metode Analisis Data

disesuaikan dengan metode dan model yang digunakan dalam penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, terdiri dari Subjek

Penelitian yang berisi; Hasil Penelitian yang berisi hasil penelitian dari tiga tingkat

analisis mikro, meso, dan makro; dan Pembahasan yang berisi pembahasan dari hasil

penelitian.
http://prys3107.blogspot.com 24
prys.3107@gmail.com

BAB V PENUTUP, terdiri dari Kesimpulan yang berisi uraian kesimpulan

penulis mengenai keseluruhan isi dari penelitian ini; dan Saran sebagai rekomendasi

kepada MBM Tempo terkait dengan hasil penelitian yang dilakukan penulis.
http://prys3107.blogspot.com
prys.3107@gmail.com

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Berangkat dari rumusan masalah penelitian yang telah penulis ungkapkan,

maka bab ini akan mengurai konsep-konsep terkait dengan masalah pokok,

khususnya sebagai tinjauan pustaka dengan bersandar pada paradigma kritis.

A.1. Media Massa Sebagai Institusi

Secara etimologi, kata ‘media’ adalah bentuk jamak dari kata ‘medium’.

Media massa, dalam kaitan dengan proses komunikasi diungkapkan Onong Uchjana

Effendy sebagai berikut:

Apabila komunikan dapat dilihat, komunikasi berlangsung secara tatap muka,


apakah itu komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok kecil, sedangkan
jika komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya atau jauh tempatnya dan
banyak jumlahnya, komunikasi berlangsung bermedia, dengan media nirmassa
atau media massa.”1

Dari pendapat Effendy di atas, jelas artinya bahwa media massa yang

dimaksudkan adalah alat komunikasi yang berwujud sebagai penyampai pesan

kepada khalayak luas.

Ray E. Hiebert dalam buku Mass Media an Introduction to Modern

Communication, seperti yang dikutip Surya Fachrizal, mengatakan “The mass media

1
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, & Filsafat Komunikasi, Penerbit CV
Bandar Maju, Bandung, 1993, hal 397

25
http://prys3107.blogspot.com 26
prys.3107@gmail.com

are institution of public communication. They participate in every political,

economic, and cultural aspect of our society.”2

Terjemahan bebasnya yakni, media massa adalah institusi komunikasi publik.

Media massa berpartisipasi dalam aspek politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam

masyarakatnya.

Penjelasan di atas membawa penulis pada pemahaman bahwa media massa –

sebagai sebuah institusi komunikasi publik– juga bergelut dalam permasalahan

ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat di mana media massa tersebut hidup.

Dari kedua pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa media massa

merupakan institusi komunikasi yang menyampaikan pesan kepada masyarakat luas,

serta berpartisipasi dalam aspek permasalahan dalam masyarakat tersebut, seperti

ekonomi, politik dan budaya.

Salah satu bentuk media massa cetak adalah majalah. Totok Djuroto

mengungkapkan majalah adalah “kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan

sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran kuarto atau folio, dijilid

dalam bentuk buku. Majalah biasanya terbit teratur, semingu sekali, dua minggu

sekali atau satu bulan sekali.”3

2
Surya Fachrizal, Wacana Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SPL)
Pada Pemberitaan LKBN Antara dan Koran Tempo Mengenai Hukum Cambuk di
Aceh dan Fatwa MUI Tentang SPL dan Ahmadiyah (Skripsi), Institut Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Jakarta, 2006, hal.21
3
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Pt Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000, hal.11
http://prys3107.blogspot.com 27
prys.3107@gmail.com

Pengertian majalah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “terbitan

berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik

aktual yang patut diketahui konsumsi pembaca artikel, sastra dan sebagainya.”4

Sementara itu, Djujuk Djuyoto menguraikan majalah dari jenisnya sebagai

berikut:

Majalah umum (general magazine): suatu majalah yang mengemukakan hal-


hal atau persoalan penting artinya bagi masyarakat luas. Isinya tidak hanya
terbatas pada orang-orang satu aliran, profesi, ideologi, ekonomi. Sedangkan
majalah khusus (specialized interest): dengan sendirinya adalah majalah yang
terbatas pada kelompok-kelompok tertentu seperti ada majalah hukum, majalah
agama, majalah guru, majalah teknik, majalah mode dan sebagainya.5

Dari uraian di atas penulis menarik kesimpulan sebagai berikut; majalah

sebagai salah satu media massa ialah terbitan pers berkala dengan kertas sampul,

dihiasi ilustrasi maupun foto dan tulisan yang berisi liputan jurnalistik tentang topik

aktual yang patut diketahui pembaca. Jenisnya adalah majalah umum, dan majalah

khusus.

Junaedhie mengungkapkan perkembangan majalah di Indonesia memiliki

beberapa majalah umum dan majalah khusus:

Terbagi dalam majalah populer, majalah wanita, majalah pria, majalah berita,
majalah ringkasan, majalah remaja, majalah anak-anak, majalah mode, majalah
pertanian, dan majalah khusus. Dikenal beberapa kelompok penerbit majalah

4
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal.545
5
Djujuk Djuyoto, Jurnalistik Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja
Raksasa, Nurcahaya, Yogyakarta, 1985, hal.21-22.
http://prys3107.blogspot.com 28
prys.3107@gmail.com

besar, yaitu Kelompok Gramedia, Kelompok Kartini, Kelompok Femina,


Kelompok Tempo, dan Kelompok Ria Film.6

Mengacu pada seluruh uraian yang penulis ungkapkan, jelas bahwa MBM

Tempo adalah institusi media massa cetak berjenis majalah berita yang terbit

mingguan. Diterbitkan oleh salah satu kelompok penerbit besar di Indonesia, yaitu

Kelompok Tempo, MBM Tempo juga bisa dipandang sebagai institusi media yang

berpartisipasi dalam aspek ekonomi, politik, dan budaya di Indonesia.

Media Massa Dalam Paradigma Kritis

Memandang media massa dalam paradigma kritis di sini, berarti seperti yang

diungkapkan Eriyanto tentang ide dan gagasan Marxis dan Mazhab Frankfurt yang

melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas.

Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah
satu bagian dari sistem dominasi tersebut.
.................................................................
Media adalah alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan
kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan.7

Jelas artinya bahwa paradigma kritis pada awalnya memandang media

bukanlah sebagai entitas yang bebas nilai. Media merupakan alat kelompok dominan

untuk menguasai dan memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Karena media

6
Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1991, hal.155
7
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke-4,
LKiS, Yogyakarta, 2005, hal.22
http://prys3107.blogspot.com 29
prys.3107@gmail.com

dikuasai oleh kelompok yang dominan, maka realitas yang sebenarnya telah

terdistorsi dan palsu.

Pemikiran Teori Kritis Mahzab Frankfurt tersebut kemudian berkembang ke

berbagai dimensi ilmu sosial di dunia, termasuk ilmu komunikasi. Salah satunya

seperti yang diungkapkan Stuart Hall dalam mengkaji studi tentang media massa.

Dengan tetap bersandar pada paradigma kritis, Hall justru mengkritik pandangan awal

yang melihat media sebagai alat kelompok dominan untuk menguasai kelompok yang

tidak dominan.

Seakan merevisi pandangan tersebut, Hall mengungkapkan:

Di sini, media harusnya dilihat bukan sebagai ‘kekuatan jahat’ yang memang
didesain untuk memburukkan kelompok lain. Media menjalankan perannya
seperti itu, melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks,
melalui proses pendefinisian dan penandaan, sehingga ketika ada kelompok yang
buruk dalam pemberitaan, itu dipresentasikan sebagai sesuatu yang wajar, terlihat
alamiah, memang demikianlah kenyataannya.”8

Dalam kata lain, Hall menganggap bahwa media menjalankan perannya

seperti apa adanya, yakni sesuai dengan konsensus yang terjadi di masyarakat.

Hall kemudian menambahkan:

Konsensus tersebut tidak timbul secara alamiah dan spontan tetapi terbentuk
lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . media
tidaklah secara sederhana dipandang refleksi dari konsensus, tetapi media
mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan
melegitimasi suatu struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi
tindakan lain.9

8
Ibid., hal.27
9
Ibid., hal.28
http://prys3107.blogspot.com 30
prys.3107@gmail.com

Setelah menyimak bahwa konsensus tersebut dibentuk melalui praktik yang

melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi yang terjadi di masyarakat, penulis

memahami bahwa media turut memainkan peranan penting di sini. Maka dengan

menggunakan paradigma kritis yang diuraikan Stuart Hall, penulis memandang MBM

Tempo selaku media yang menjadi pihak sentral dalam mereproduksi dan

memapankan definisi dari situasi (status quo) dengan cara melegitimasi suatu

tindakan terhadap peristiwa tertentu lewat praktik pemberitaannya.

Status quo tersebutlah yang mengungkapkan bagaimana MBM Tempo secara

kompleks merefleksikan konsensus masyarakat mengenai suatu peristiwa. Sehingga

praktik yang dilakukan MBM Tempo dalam melegitimasi atau mendelegitimasi suatu

tindakan demi memapankan status quo, dilihat sebagai sesuatu yang wajar sesuai

dengan konsensus masyarakat.

A.2. Berita dan Objektifitas

Kurniawan Junaedhie menjelaskan bahwa berita ialah “laporan/

pemberitahuan mengenai terjadinya peristiwa atau keadaan yang bersifat umum dan

baru saja terjadi (aktual) yang disampaikan oleh wartawan dalam media massa.”10

Djafar H. Assegaf mendefinisikan berita adalah “laporan tentang fakta atau

ide terhadap massa, yang dipilih oleh staff redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang

10
Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.26
http://prys3107.blogspot.com 31
prys.3107@gmail.com

dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah pula karena ia

mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.”11

Sedangkan Hoeta Soehoet membagi definisi berita menjadi tiga, yaitu:

a) Berita adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan manusia


b) Berita bagi seseorang adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi
pernyataan manusia yang perlu baginya untuk mewujudkan filsafat
hidupnya
c) Berita bagi suatu surat kabar adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi
pernyataan yang perlu bagi pembacanya untuk mewujudkan filsafat
hidupnya12

Lebih lanjut, Soehoet mengemukakan syarat utama yang harus terpenuhi

dalam sebuah naskah berita, yaitu benar, dan ada gunanya bagi masyarakat. Syarat

‘benar’ di sini mengacu pada fakta yang objektif. “Kalau berita peristiwa benar telah

terjadi dan sebagaimana adanya. Tidak bertambah, tidak berkurang, tidak

sebagaimana yang diinginkan oleh reporter. Suka atau tidak, reporter wajib menyusun

naskah berita mengenai peristiwa tersebut sebagaimana adanya.”13

Dari pendapat Soehoet mengenai definisi berita inilah, penulis melihat sebuah

kontradiksi. Karena di satu sisi berita harus dilaporkan sebagaimana adanya dan tidak

sebagaimana yang diinginkan oleh wartawan. Sementara di sisi lain, ada usaha untuk

mewujudkan filsafat hidup (ideologi) media tersebut lewat pemberitaan.

11
Djafar H. Assegaf, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek
Kewartawanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal.24
12
A.M. Hoeta Soehoet, Dasar Dasar Jurnalistik, Penerbit Yayasan Kampus
Tercinta–IISIP Jakarta, Jakarta, hal.23
13
Ibid., hal.130
http://prys3107.blogspot.com 32
prys.3107@gmail.com

Jika media hendak mewujudkan filsafat hidupnya, maka menyajikan

pemberitaan yang objektif dan apa adanya mustahil tercapai. Ketika berita disusun

sejak proses wartawan dalam mencari, menyusun bahan berita, memilih dan

menempatkan berita oleh staff redaksi, maka secara otomatis sudah terjadi

pembentukan kembali realitas lewat praktik diskursif media atas suatu peristiwa yang

hendak diberitakan.

Ditambah lagi, tidak semua peristiwa dan isi pernyataan manusia yang

diperlukan masyarakat termuat di media cetak. Karena itu, staff redaksi menyajikan

dan memilih berita yang layak dimuat sesuai dengan nilai berita bagi pembaca,

sekaligus demi mewujudkan filsafat hidup (dalam kata lain, ideologi) media massa itu

sendiri. Ini menyebabkan berita itu sendiri menjadi tidak lagi objektif. Karenanya,

untuk menguraikan lebih lanjut mengenai berita, penulis akan memandangnya dalam

paradigma kritis.

Berita Dalam Paradigma Kritis

Dengan bersandar pada paradigma kritis, maka klaim bahwa sebuah bahasa

dianggap merepresentasikan realitas objektif dapat kembali dipertanyakan. Mengenai

hal tersebut, Eriyanto mengatakan:

Mengandaikan bahasa sebagai representasi dari realitas sosial adalah hal yang
mustahil.
.................................................................
karena begitu realitas hendak dibahasakan, selalu terkandung ideologi dan
penilaian.14
14
Eriyanto, Op.Cit., hal.45-46
http://prys3107.blogspot.com 33
prys.3107@gmail.com

Pendapat Eriyanto inilah yang melandasi pandangan bahwa pembahasaan

realitas, dalam kenyataannya, tidak pernah lepas dari subyektivitas wartawan.

Eriyanto menjelaskannya lebih lanjut bahwa paradigma kritis menolak asumsi

berita adalah cermin dari realitas, sebab “menurut kaum kritis, berita adalah hasil dari

pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu

melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau media.”15

Dari pendapat Eriyanto tersebutlah, asumsi Ibnu Hamad mengenai pembuatan

berita dapat ditempatkan, yakni “pembuatan berita di media pada dasarnya adalah

penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang

bermakna.”16

Mengenai pembuatan berita, Eriyanto mengungkapkan bahwa wartawan dan

kerja jurnalisme tidak bisa dipahami semata-mata sebagai kerja profesional di mana

wartawan diatur dengan hukum dan aturan-aturan kerja profesional, tetapi ia harus

dipandang sebagai bagian dari praktik kelas di mana wartawan tersebut berada:

Pihak elit dalam media sengaja mengontrol wartawan dan memberikan


serangkaian hukuman bagi yang tidak mengikutinya atau tidak menuruti proses
itu dan imbalan bagi yang patuh dan mengikuti proses. Oleh karena itu, kerja
wartawan bukanlah diatur dalam proses pembagian kerja, tetapi dari kontrol
kesadaran kelas mereka dalam posisi dengan kelompok elit.17

15
Ibid., 34
16
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa; Sebuah
Studi Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-Berita Politik, Penerbit Granit,
Jakarta, 2004, hal.11.
17
Eriyanto, Op.Cit., hal.42
http://prys3107.blogspot.com 34
prys.3107@gmail.com

Itu sebabnya penulis juga melihat bahwa sebuah teks berita ditulis oleh

wartawan bukan berdasarkan pertimbangan etis, tetapi dari pertimbangan ideologis.

Maka titik penelitian yang penulis lakukan pun harus diarahkan untuk mencari

ideologi wartawan atau MBM Tempo lewat analisis teks beritanya, dan bagaimana

ideologi itu dipraktikkan oleh MBM Tempo dalam memarjinalkan kelompok lain.

A.3. Korupsi

Secara etimologis kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa Belanda, yaitu korruptie.

“Korupsi mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,

penyuapan, . . . penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan dari

kesucian.”18

Sedangkan menurut Syed Hussein Alatas, tindak korupsi adalah “dengan

sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai

kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh

keuntungan yang sedikit (atau) banyak bersifat pribadi.”19

Menanggapi pendapat di atas, Soetrisno Bachir menambahkan bahwa “dalam

konteks politik, korupsi berarti setiap tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan

wewenang seperti penyalahgunaan anggaran pembangunan.”20

18
Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa, Penerbit Belantika,
Jakarta, 2005, hal. 104.
19
Ibid., hal.105
20
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com 35
prys.3107@gmail.com

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat beberapa kasus korupsi, dan

modus yang biasanya terjadi adalah “penggelembungan (markup) anggaran,

pendapatan ganda (anggaran dobel), rekayasa sumber penerimaan yang ilegal

(mengada-adakan sumber penerimaan), dan pengeluaran fiktif.”21

Jadi penulis memahami bahwa korupsi merupakan suatu tindakan

menyimpang lewat penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, demi memperoleh

keuntungan pribadi. Misalnya dalam bidang politik dan pemerintahan, korupsi

merupakan tindakan penyalahgunaan anggaran pembangunan dengan modus

penggelembungan anggaran, pendapatan ganda, rekayasa sumber penerimaan yang

ilegal, dan pengeluaran fiktif.

Penulis juga memahami bahwa tindak korupsi dekat dengan kekuasaan

pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dan kebanyakan dari kasus korupsi yang

terjadi, menunjukkan keterlibatan pejabat negara.

Adapun penyelenggara negara atau pejabat negara yang dimaksudkan di sini

mengacu pada Pasal 1 Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa

penyelenggara negara adalah “pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,

legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan

dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

21
Adnan Topan Husodo, Buruk Muka Tetap Dibela, artikel dalam Koran
Tempo, Edisi 11 Oktober 2006.
http://prys3107.blogspot.com 36
prys.3107@gmail.com

undangan yang berlaku.”22 Maka dalam konteks penelitian ini, pejabat negara yang

dimaksud adalah penjabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu.

Di Indonesia sendiri, kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara sudah

marak dalam rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden RI Soeharto.

Berbagai kasus korupsi tersebut sampai sekarang belum tersentuh oleh hukum sama

sekali. Bahkan korupsi juga terjadi di tengah pemerintahan Indonesia saat ini.

Pendapat ini mengacu pada laporan penelitian Lembaga Bantuan Hukum

Jakarta atas kasus dugaan korupsi di lembaga penyelenggara pemilu (KPU) dan kasus

Dana Abadi Umat (DAU) yang menyeret mantan Menteri Agama sebagai pihak

terlibat. Laporan tersebut menyatakan:

Dua kasus di atas pula yang telah memberikan fakta bahwa korupsi telah
begitu kronis dan menyerupai misteri gunung es. Dan hal itu juga menunjukkan
birokrasi pemerintahan telah begitu bobrok. Dan yang paling tragis adalah
keterlibatan lembaga yang seharusnya menjadi pengawas, justru menjadi bagian
dari pelaku korupsi itu sendiri.23

Hal ini diakui oleh Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai

permasalahan mendasar yang berkembang dewasa ini. Ia mengatakan bahwa “di

bidang kelembagaan negara, masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah belum

kokohnya lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif yang bersih dan bebas

22
Tim Editorial, Undang-Undang Tentang Korupsi, Penerbit PROGRESIF
BOOKS, Jakarta, 2006, hal.56
23
Willy Pramudya dan A.A. Sudirman (Ed.), Laporan Hukum dan HAM
LBH Jakarta 2005, Penerbit Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 2005, hal.68
http://prys3107.blogspot.com 37
prys.3107@gmail.com

dari KKN serta terciptanya kepastian dan penegakan hukum dan aturan secara

konsisten dan berkeadilan.”24

Lewat Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009, SBY juga

mengatakan bahwa “penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa

mengharuskan adanya keteladanan. Oleh sebab itu pemberantasan korupsi, kolusi,

nepotisme (KKN) dan kroniisme harus dimulai dari pejabat tertinggi.”25

Pandangan demikian juga dinyatakan Henry Siahaan dan Ainul Ridha dalam

menanggapi Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi. Henry dan Ainul mengatakan bahwa pemerintah saat ini

“masih menitikberatkan skenario pemberantasan korupsi di tingkat pusat yang

kemudian diharapkan akan turun ke bawah (trickle-down effect).”26

Maka dari uraian di atas, penulis memahami bahwa Pemerintah Indonesia saat

ini hendak mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good

governance). Antara lain dengan upaya mengagendakan program pemberantasan

korupsi secara sentralistis.

24
Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla, Membangun Indonesia
yang Aman, Adil, dan Sejahtera; Visi, Misi, dan Program, tanpa penerbit, Jakarta,
2004, hal.10-11
25
Ibid., hal.45
26
Henry Siahaan dan Ainul Ridha, “Desentralisasi Pemberantasan Korupsi”,
artikel dalam Koran Tempo, Edisi 17 oktober 2006.
http://prys3107.blogspot.com 38
prys.3107@gmail.com

Kasus Dugaan Korupsi Dalam Pemberitaan Media

Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Peraturan

Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta

Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan

tindak Pidana Korupsi.

Dalam pasal 2 dikemukakan, “Setiap orang, organisasi masyarakat, atau

Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan

informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan

saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak

pidana korupsi.”27

Berangkat dari peraturan inilah, penulis menemui keterkaitan antara kasus

korupsi dengan pemberitaannya di media. Peran media yang bebas dan independen

dalam mendorong good governance tentu tak bisa dilepaskan dari fungsi ideal media

itu sendiri, yaitu fungsi informatif, fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.

Sebagai bagian dari institusi masyarakat sekaligus pelayan informasi publik, media

dapat mendorong agar praktik pemerintahan dan pelayanan publik menjadi

transparan.

Penulis melihat bahwa peran media di sini berpotensi megarahkan isu-isu

yang berhubungan dengan korupsi dan pelayanan publik yang berkaitan erat dengan

27
Tim Editorial, Op.Cit., hal 208.
http://prys3107.blogspot.com 39
prys.3107@gmail.com

kepentingan masyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah lewat pemberitaan di

media mengenai isu kasus korupsi, khususnya yang melibatkan pejabat negara.

Dengan demikian paradigma kritis Stuart hall dapat ditempatkan di sini.

Terkait dengan pemberitaan kasus korupsi, media menjalankan perannya sebagai

insitusi masyarakat dan pelayan informasi publik, yakni melakukan representasi

kasus tindak korupsi melalui proses proses pendefinisian dan penandaan yang

didukung oleh konsensus dalam masyarakat. Konsensus mengenai kasus korupsi

tersebut terbentuk lewat proses kompleks melibatkan konstruksi sosial bahwa tindak

korupsi perlu diberantas, dan ini dilegitimasi pemerintah melalui peraturan

perundang-undangan.

Pemberitaan media memang tidak secara sederhana merupakan refleksi dari

konsensus tersebut, tetapi media mereproduksi dan memapankan status quo yang

mendukung dan melegitimasi struktur tersebut. Bahkan terlihat wajar bila media ikut

melegitimasi tindakan korupsi sebagai tindakan yang buruk dan perlu diberantas.

Sehingga ketika ada pejabat negara yang terlibat dalam kasus korupsi digambarkan

secara buruk dalam pemberitaan media, itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar

sesuai konsensus yang terjadi di masyarakat.

Dalam kerangka inilah penulis menempatkan MBM Tempo sebagai salah satu

institusi media yang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi lewat praktik

pemberitaannya.
http://prys3107.blogspot.com 40
prys.3107@gmail.com

A.4. Jurnalisme Sastra

Jurnalisme sastra merupakan konsep yang menjadi titik sentral penelitian.

Karenanya, penulis merasa perlu menguraikan Jurnalisme Sastra secara lebih rinci.

Sastra dan Batasan Definisinya

Kritikus–cum-sastrawan Sapardi Djoko Damono mengungkapkan “definisi

sastra dalam pandangan lama adalah segala jenis karangan yang berisi dunia khayalan

manusia, yang tidak bisa begitu saja dihubung-hubungkan dengan kenyataan.”28

Mencermati definisi di atas, bisa penulis pahami bahwa sastra pada awalnya

dianggap sebagai karangan yang tidak mengandung fakta, tetapi ia merupakan jenis

karangan yang mengandung realitas dunia khayalan (fiksi) sebagai hasil imajinasi

manusia. Konsekuensi pandangan ini membuat segenap unsur realitas yang terdapat

pada karya sastra merupakan hasil khayalan atau rekaan pengarang semata, sehingga

sastra mesti dipisahkan dari realitas dunia nyata.

Maka jelas artinya, apa pun kandungan realitas yang terdapat dalam sebuah

karya sastra, mestilah kita anggap sebagai realitas fiktif yang hanya ada dalam dunia

khayal. Bisa dicontohkan bila ada pengarang menulis sebuah kisah fiksi yang

mengambil latar adegan kota Jakarta. Kalaupun kota Jakarta yang digambarkan si

pengarang ternyata berbeda dengan kota Jakarta yang ada dalam dunia nyata, ataupun

ia menyusun realitas kota Jakarta menurut hasil rekaannya sendiri, maka tidak
28
Sapardi Djoko Damono, Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca, artikel
dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, hal.9
http://prys3107.blogspot.com 41
prys.3107@gmail.com

menjadi persoalan karena realitas dunia khayal dalam karya sastra tersebut mesti

dipisahkan dengan realitas dunia nyata.

Namun seiring perkembangannya dewasa ini, dunia sastra juga disemaraki

dengan kehadiran karya sastra yang ternyata benar-benar mengandung fakta. Atau

bisa dianggap mencampuradukkan fiksi dengan fakta. Damono kemudian

mencontohkan novel ‘Burung Burung Manyar’ karya J.B Magunwijaya, dan

‘Surapati’ karya N. St. Iskandar sebagai “karya sastra yang banyak menggunakan

peristiwa, tokoh sejarah, sebagai bahan utamanya.”29

Contoh lain juga bisa kita jumpai pada novel tetralogi ‘Bumi Manusia’ karya

Pramoedya Ananta Toer. Seperti yang dikutip Majalah Tempo:

Pram mengakui bahwa karyanya itu perpaduan dari catatan sejarah dan
imajinasinya.
............................. ...................................
tokoh Minke dalam novel tersebut merupakan representasi dari Tirtho Adhi
Soerjo, seorang tokoh nasionalis angkatan pertama yang kurang mendapat
perhatian dalam penulisan sejarah nasional.30

Dunia sastra dan jurnalistik di Indonesia sendiri punya sejarah penting pada

pertengahan tahun 1990-an. Sastrawan-cum-wartawan Seno Gumira Ajidarma pernah

merilis 12 cerita pendeknya dalam sebuah buku kumpulan cerpen berjudul ‘Saksi

Mata’, dimana di dalamnya secara tersirat mengisahkan pembantaian warga sipil oleh

tentara Indonesia di Santa Cruz, Dili, Timor Timor (sekarang Timor Leste). Meski

29
Ibid., hal.10
30
Nurdin Kalim dan Sunudyantoro, Memburu Sang Ilham di Wonokromo
artikel Selingan Iqra, Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 14 Mei 2006
http://prys3107.blogspot.com 42
prys.3107@gmail.com

karya cerpennya fiktif, nama diganti, dan tempat tak disebutkan jelas, Seno mengaku

bahwa ia menulis cerpen tersebut berdasarkan fakta yang terdapat dalam kasus

Insiden Dili 12 November 1991. Ia sendiri memilih mengungkapkan fakta lewat cara

demikian (karya sastra) setelah Majalah Jakarta Jakarta tempatnya bekerja

diintervensi pihak pemerintah Orde Baru sehubungan dengan pemuatan berita

investigasi Insiden Dili dalam Edisi nomor 282/ November 1991.

Dalam pengakuannya, Ajidarma mengungkapkan demikian:

Saya melawannya, dengan cara membuat Insiden Dili yang ingin cepat-cepat
dilupakan itu menjadi abadi. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara,
karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari
kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari Insiden
Dili yang bisa menjadi cerpen–sebagai suatu cara untuk melawan.31

Mencermati uraian di atas, tentu pandangan lama dalam mendefinisikan sastra

menjadi tidak relevan lagi. Karena karya sastra, meskipun merupakan hasil khayalan

pengarangnya, ternyata bisa begitu erat dengan dunia kenyataan. Di titik inilah

batasan antara fiksi dengan fakta menjadi kabur. Bahkan bisa dikatakan bahwa

eksistensi sastra berwajah ganda. Dikatakan demikian karena di satu sisi ia mesti

diposisikan sebagai realitas dunia khayal yang bernaung dalam unsur-unsur fiksi

pembentuknya. Sedangkan di sisi lain, ia bisa dianggap layaknya cermin dunia yang

–dengan segenap kreasi simboliknya–mampu mengungkapkan kebenaran yang

terdapat pada dunia nyata.

31
Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus
Bicara, Edisi Kedua, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2005, hal.40
http://prys3107.blogspot.com 43
prys.3107@gmail.com

Itu sebabnya Ariel Heryanto berpendapat bahwa “betapa rapuhnya setiap

pernyataan pretensius seperti ‘Kesusastraan adalah...”32 Dalam kata lain, Heryanto

mengungkapkan bahwa sastra sulit didefinisikan secara tunggal. Ia kemudian

menunjukkan bahwa “perbedaan di antara kategori ‘sastra’ dan ‘bukan sastra’ tidak

ditentukan oleh suatu kenyataan objektif apapun, misalnya ‘bahasa sastra’ dan

‘bahasa sehari-hari’, melainkan hasil dari pembedaan konseptual di benak orang

belaka.”33

Untuk itu, penulis menganggap bahwa tidak ada batasan yang pasti untuk

sastra. Apalagi kini sastra dianggap bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri,

tapi sastra merupakan bagian dari masyarakat yang melahirkan dan menikmatinya.

Ekstrinsik dan Intrinsik Sastra

Terlepas dari perdebatan kandungan fakta atau fiksi, serta perdebatan tentang

definisi sastra, penulis merujuk pada M. Atar Semi yang mengungkapkan bahwa

meski kata ‘sastra’ atau ‘kesusastraan’ dapat ditemui dalam sejumlah pemakaian yang

berbeda-beda, pada dasarnya sastra merupakan “suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni

32
Ariel Heryanto, Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan
Indonesia Mutakhir, artikel dalam Majalah Prisma, Edisi Sastera dan Masyarakat
Orde Baru, No.8 Tahun XVII, Jakarta, 1988, hal.6
33
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com 44
prys.3107@gmail.com

kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan

bahasa sebagai mediumnya.”34

Dari pernyataan di atas, penulis hendak meninggalkan usaha definitif akan

sastra dengan coba memandang sastra sebagai suatu bentuk penulisan. Pendapat ini

juga merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengungkapkan bentuk

sastra atau kesusastraan sebagai “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan

lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan

dalam ungkapannya.”35

Secara spesifik Semi mencatat ada dua unsur atau struktur karya sastra, yakni

struktur luar atau ekstrinsik sebagai “segala macam unsur yang berada di luar suatu

karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut.”36 Struktur

ekstrinsik ini penulis pahami sebagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik,

keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat.

Dan yang kedua adalah struktur dalam atau intrinsik, yakni “unsur-unsur yang

membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur

(plot), pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa.”37

34
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, PT Angkasa Raya, Padang, tt, hal.8
35
Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat penelitian
dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, hal.786
36
M. Atar Semi, Op.Cit., hal 35
37
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com 45
prys.3107@gmail.com

Keterangan di atas penulis pahami bahwa sebuah karya sastra dibangun lewat

unsur esktrinsik dan intrinsiknya. Dengan mengingat bahwa sastra merupakan suatu

bentuk karya tulis berisi realitas dunia khayalan dari imajinasi pengarangnya, yang

bisa dihubungkan dengan realitas dunia kenyataan, maka tak heran bila sastra

kemudian menyusup ke dalam ranah jurnalisme yang berisikan fakta realitas dunia

nyata. Begitu pula sebaliknya.

Hal ini terjadi karena unsur ekstrinsik yang dikandung sastra menekankan

bahwa bentuk dan isi dari sebuah karya sastra merupakan representasi dari berbagai

faktor realitas masyarakatnya. Kemudian dalam unsur intrinsik, karya sastra dikenali

lewat bentuk dan isi penulisannya. Jika dalam penulisan berita dapat dikenali lewat

bentuk teras, body, dan penutup berita yang jernih dan kaku, maka penulisan karya

sastra dapat dikenali lewat keaslian, keartistikan, dan keindahan instrinsik struktur

penulisan dan penggunaan bahasanya. Lewat unsur intrinsik inilah bentuk teks sastra

dapat dipandang dalam dimensi estetik sekaligus politis.

Dari seluruh uraian di atas, penulis berpandangan bahwa unsur ekstrinsik dan

intrinsik inilah yang terdapat dalam Jurnalisme Sastra. Penulis juga menyimpulkan

bahwa unsur intrinsik Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari penyusupan segenap

dimensi politis dan estetik karya sastra ke dalam penulisan berita. Namun untuk

melengkapi pemahaman tentang Jurnalisme Sastra, penulis akan melanjutkannya

dengan menjabarkan terlebih dahulu apa dan bagaimana jurnalisme itu.


http://prys3107.blogspot.com 46
prys.3107@gmail.com

Jurnalisme Sebagai Praktik

Hoeta Soehoet mengungkapkan jurnalistik adalah kata Indonesia yang berasal

dari bahasa Belanda, yaitu jurnalistiek. Bahasa Inggrisnya, journalisme. “Baik

jurnalistiek maupun jurnalisme berasal dari bahasa latin, yaitu diurnalis, artinya tiap

hari. Sedangkan jurnal (bahasa Inggris) artinya catatan peristiwa harian. Dalam ilmu

Komunikasi istilah jurnalistik mempunyai arti cara penyampaian isi pernyataan

dengan menggunakan media massa periodik.”38

Sedangkan Junedhie menguraikan jurnalisme sebagai “proses mengumpulkan,

menyiapkan, dan menyebarkan berita melalui media massa. Kata jurnalisme sendiri

awalnya digunakan untuk laporan yang dimuat dalam media cetak.”39

Sejalan dengan kedua pandangan di atas, Effendy merumuskan pengertian

jurnalistik adalah “suatu pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak

mulai dari peliputan sampai penyebaran ke masyarakat.”40

Untuk menghindari kekeliruan antara pemakaian istilah jurnalisme dengan

jurnalistik, penulis mengacu pada pernyataan Soehoet yang menempatkan keduanya

sebagai istilah yang sama artinya, yakni lebih menekankan pada suatu proses,

pengelolaan, penyampaian laporan (berita). Dalam konteks penelitian ini, penulis

38
A.M. Hoeta Soehoet, Op.Cit., hal.5-6
39
Kurniawan Junedhie, Op.Cit., hal.113
40
Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001, hal.151
http://prys3107.blogspot.com 47
prys.3107@gmail.com

menggunakan istilah jurnalisme karena sesuai dengan rujukan para ahli yang

menyebutkan Jurnalisme Sastra, dan bukan Jurnalistik Sastra.

Penulis menyimpulkan bahwa jurnalisme merupakan suatu praktik sebagai

proses, pengelolaan, dan cara penyampaian laporan (berita) mulai dari tahap

peliputan, pengumpulan bahan berita, dan penulisan berita yang termuat dalam media

massa periodik. Dalam rangka inilah, jurnalisme memiliki ragam penulisan feature

sebagai karangan khas yang sudah mulai mengadopsi unsur sastra ke dalamnya.

Hingga kemudian berkembang menjadi feature berita di mana Jurnalisme Sastra –

sebagai praktik jurnalisme dan inovasi bentuk penulisan– menjadi dimungkinkan.

Penjelasan lebih lanjutnya adalah sebagai berikut.

Feature sebagai Wahana Sastra

Umar Nur Zain membagi pengertian feature dalam arti luas dan arti sempit,

yakni:

Feature dalam arti luas adalah tulisan-tulisan di luar berita, bisa berupa tulisan
ringan, tulisan berat, tajuk rencana, tulisan opini, sketsa, laporan pandangan
mata dan sebagainya. Sedang dalam arti sempit, feature adalah tulisan khas
yang sifatnya bisa menghibur, mendidik, memberi informasi dan sebagainya
mengenai aspek kehidupan dengan gaya yang bervariasi.41

Dari kutipan di atas, Zain secara implisit sudah menyatakan bahwa feature

bukanlah berita. Pandangan ini juga bisa ditemui pula pada pendapat Junaedhie yang

41
Umar Nur Zain, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993,
hal.19
http://prys3107.blogspot.com 48
prys.3107@gmail.com

mendefinisikan feature sebagai “tulisan yang disajikan sebagai karangan menarik.

Lebih panjang dari berita biasa, bersifat kreatif terutama dalam memilih sudut

pandang, subjektif yang memungkinkan penulisnya memasukkan emosi dan pikiran-

pikirannya, informatif atau setidak-tidaknya memberi kesadaran baru tentang sesuatu

hal.”42

Kemudian Kurnia juga mengungkapkan feature sebagai berikut:

Pada mulanya, feature adalah bentuk tulisan yang diadaptasi oleh jurnalisme
agar para wartawan mendapat sudut pandang lain dalam memotret realitas
peristiwa kemanusiaan. Dengan feature, fakta-fakta yang difokuskan pada
masalah human interest bisa disajikan secara lain, tidak biasa, dan tidak perlu
dirunutkan dari yang paling penting sampai yang kurang penting.43

Dengan demikian, penulis menyimpulkan feature merupakan karangan khas

yang bersifat menghibur dan mendidik mengenai aspek kehidupan yang menarik

untuk diinformasikan dalam media cetak. Fakta yang difokuskan pada penekanan

human interest, menjadikan feature tak bisa dilepaskan dari emosi, pikiran-pikiran,

dan subjektivitas wartawan. Karenanya, feature jelas berbeda dengan berita.

Perbedaan ini juga terlihat bahwa ada dimensi estetik sastra dalam penulisan

feature. Zain kemudian mengungkapkannya dengan menekankan pentingnya

imajinasi yang tidak mengkhianati fakta peristiwa dalam penulisan feature. Lebih

jelasnya ia mengatakan demikian, “...seorang wartawan memerlukan daya imajinasi

42
Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.66
43
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2002, hal.230-231
http://prys3107.blogspot.com 49
prys.3107@gmail.com

dalam penggambaran peristiwa tersebut. Harap diingat, imajinasi adalah bagaimana

menangkap peristiwa itu, seperti seseorang memotret, artinya suasana dalam

peristiwa tersebut dipindahkan ke dalam tulisan. Memberikan imajinasi bukan berarti

harus mengkhianati fakta.”44

Kedekatan feature dengan sastra juga dilihat oleh Kurnia dari nilai artistiknya.

Ia menyebutkan bahwa “nilai artistik feature di antaranya mencuat karena kisah-kisah

human interest yang dikandungnya.. Struktur penulisan feature sangat khas. Dari

judul sampai penutup tulisan, feature dibuat secara kreatif.”45

Kurnia juga menyebutkan bahwa “beberapa unsur yang menyusun struktur

feature dibangun oleh kaidah penulisan sastra. Tulisan jadi mengalir dalam

pengisahan seperti cerita pendek.”46

Dari keterangan di atas, jelas bahwa sastra sudah memasuki ranah jurnalisme

lewat feature. Meski begitu penulis memahami bahwa unsur sastra yang terkandung

di dalam feature belum digunakan secara menyeluruh, dalam artian feature baru

menerapkan sebagian unsur intrinsik sastra, khususnya pada penggunaan gaya bahasa

sastra. Ditambah juga, tema yang dituangkan dalam feature baru sebatas tema-tema

yang menyangkut dengan human interest saja, hal ini disebabkan tema tersebut dapat

disajikan kapan saja dan tidak menuntut aktualitas. Sampai di sini, feature memang

44
Umar Nur Zain, Op.Cit, hal.168
45
Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.201-202
46
Ibid., hal.223
http://prys3107.blogspot.com 50
prys.3107@gmail.com

berbeda dengan berita yang menggunakan bahasa jurnalisme yang jernih dan

menuntut aktualitas peristiwa.

Situasi inilah yang kemudian didobrak pada era Jurnalisme Baru lewat bentuk

penulisan yang luwes bernama antara feature dengan berita. Zain mengungkapkan

bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Jurnalisme baru, yakni “perpaduan antara

news dan feature, perpaduan gaya antara bahasa pers dan cerita pendek.”47

Senada dengan Zain, Kurnia juga mengungkapkan bahwa “eksperimentasi

sastra kemudian mengembangkan penulisan feature menjadi dua klasifikasi. Selain

menjadi salah satu teknik penulisan berita (news feature), feature juga menjadi bagian

dari teknik penulisan artikel (article feature).”48

Kurnia juga mengungkapkan:

Dalam perkembangan jurnalisme, feature menjadi salah satu fundamen


penting. Ia adalah teknik penulisan yang mengatasi kekakuan straight news dalam
mengkover berita-berita utama (hard news atau spot news).
.............................................................
Selanjutnya, sastra memberikan pengembangan kreativitas yang luas dalam
penulisan feature.49

Dari kutipan di atas, penulis memahami meskipun feature bukanlah berita,

namun feature dekat dengan berita, terutama dalam mengembangkan berita utama.

Lewat feature, media cetak memiliki keunggulan dengan menyajikan informasi

menarik demi mengimbangi kekakuan bentuk penulisan berita. Dengan kata lain,

47
Umar Nur Zain, Op.Cit., hal.205
48
Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.201
49
Ibid., hal.230-231
http://prys3107.blogspot.com 51
prys.3107@gmail.com

wartawan berusaha menyajikan informasi yang juga terdapat pada berita utama,

namun lewat sudut pandang tertentu dengan menekankan unsur daya pikat manusia

atau human interest.

Dari sini penulis memahami bahwa eksperimentasi sastra dalam feature,

kemudian berpengaruh dalam penulisan berita. Hingga menjadi sebuah bentuk

feature yang mulai memadukan tema-tema human interest dengan fakta peristiwa

yang aktual layaknya sebuah berita.

Riyono Pratikto menguraikan demikian:

Feature berita tidak hanya melaporkan apa adanya saja, tapi juga
mengisahkan. Ia masih melihat kejadian tidak hanya fakta-faktanya saja. Suatu
feature berita masih dibangun melalui kreativitas wartawannya.
............................................................. ....
Sebagai tulisan yang masih cenderung menulis syarat-syarat jurnalistik, maka
feature berita masih mementingkan segi aktualitasnya.50

Kutipan di atas penulis pahami bahwa karakteristik feature berita merupakan

laporan jurnalistik yang menggabungkan kandungan unsur aktualitas dan unsur daya

pikat manusia, serta memiliki kandungan subjektifitas dan kreatifitas wartawannya

lewat teknik penulisan tertentu sebagai sebuah pemberitaan mengenai suatu peristiwa.

Dalam kaitannya dengan MBM Tempo yang menjadi subjek penelitian

penulis, Zain mengungkapkan “pada peristiwa-peristiwa yang sudah selesai, Tempo

sudah menemukan pola penyajian khusus, yaitu news feture (feature berita) yang

kemudian dicirikan sebagai New Journalism (Jurnalisme Baru), sementara Tempo

50
Riyono Pratikto, Kreatif Menulis Feature, Alumni Bandung, 1984, hal.96
http://prys3107.blogspot.com 52
prys.3107@gmail.com

sendiri mengatakannya: perpaduan antara jurnalistik dan sastra.. antara news dengan

feature.”51

Berdasarkan pengamatan penulis, liputan jurnalisme tentang topik aktual

dalam MBM Tempo tersaji antara lain dalam bentuk berita lempang, editorial, feature

berita, kolom, dan esai. Khusus pada bentuk feature berita, MBM Tempo

menggunakan elemen-elemen sastra dalam memberitakan topik aktual dan peristiwa

faktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Berangkat dari seluruh uraian feature berita di atas, penulis memahami bahwa

salah satu bentuk penulisan berita MBM Tempo adalah feature berita, baik itu berita

yang aktual, maupun pada peristiwa yang sudah selesai. Dan khususnya lagi bentuk

feature berita menyajikan perpaduan antara jurnalisme dan sastra (Jurnalisme Sastra)

mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia

Bersatu.

Praktik dan Bentuk Jurnalisme Sastra

Mengacu pada uraian Junaedhie, Jurnalisme Sastra berkaitan dengan

Jurnalisme Baru, yakni “jurnalisme yang mengambil teknik penulisan novel. Dengan

cara pendekatan langsung, realitas konkret, keterlibatan emosional, dan bobot

penggunaan atau penyerapan pemakaiannya dalam situasi tertentu.”52

51
Umar Nur Zain, Op.Cit., hal.109
52
Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.113
http://prys3107.blogspot.com 53
prys.3107@gmail.com

Kemudian pada entri ‘Jurnalisme Kesusastraan’, Junaedhie mengungkapkan

bahwa “Jurnalisme Baru dengan Jurnalisme Sastra memiliki hubungan yang saling

berpengaruh saru sama lain, meliputi struktur gaya penulisan dan penggunaan bahasa

dalam menuliskan berita atau tulisan di media massa atau sebaliknya dalam

menuliskan cerita fiksi.”53

Seperti yang telah penulis kemukakan pada bagian latar belakang masalah,

Jurnalisme Sastra ini merupakan bagian dari Jurnalisme Baru yang lahir di Amerika

Serikat. Penulis sendiri melihat bahwa Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari dua

komponen, yakni praktik peliputannya dan bentuk penulisannya.

Mengenai praktik produksi berita lewat Jurnalisme Sastra, Zain menekankan

perlunya peran wartawan senior atau redaktur. Ia mengatakan bahwa, “pada

umumnya para redaktur tidak mau ambil resiko dengan wartawan muda, yang

diambil laporannya kemudian dihimpun menjadi suatu news oleh redaktur. Jadi anak

muda itu bertugas hanya sebagai penghimpun data pencari bahan saja, dan yang

menyusunnya adalah sang redaktur.”54

Memandang Jurnalisme Sastra sebagai praktik produksi berita, Harsono

berpendapat bahwa Jurnalisme Sastra lebih dalam dari berita pendalaman;

“Jurnalisme Sastra bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke

53
Ibid., hal.117
54
Umar Nur Zain, Ibid., hal.212
http://prys3107.blogspot.com 54
prys.3107@gmail.com

dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu.

Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik.”55

Wolfe juga mengungkapkan unsur penting yang juga terdapat pada proses

penyajiannya ialah “waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa

berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.”56

Riset dan wawancara yang berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,

mencerminkan bahwa Jurnalisme Sastra proses peliputan berita dengan agenda

perencanaan tertentu. Praktik jurnalisme demikian dilakukan memang demi

menghasilkan pemberitaan yang dalam dan menyeluruh.

Mengacu pada berbagai uraian di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa Jurnalisme

Sastra merupakan salah satu bentuk praktik jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan

zaman, agar institusi media cetak dapat menyajikan berita yang mendalam sekaligus

menarik. Karenanya praktik Jurnalisme Sastra melibatkan peran redaktur atau

wartawan senior dalam penulisannya, serta memakan waktu peliputan yang lama.

Kemudian dalam menyoal bentuk penulisan Jurnalisme Sastra, di sini penulis

akan menguraikannya secara langsung dengan contoh tulisan yang tergolong sebagai

Jurnalisme Sastra. Tulisan tersebut adalah karya Chick Rini, wartawan Harian

Analisa (Medan) berjudul ‘Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft’ yang pernah

diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dimuat di Majalah Pantau, Majalah Kyoto

55
Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Jurnalisme Sastrawi; Antologi
Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.vii
56
Jurnalisme Sastra, artikel dalam Koran Duta Edisi 1 September 2001,
www.koranduta.com, diakses pada 19 Juni 2007
http://prys3107.blogspot.com 55
prys.3107@gmail.com

Review, dan tergabung dalam buku Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan

Mendalam dan Memikat yang diterbitkan Yayasan Pantau. Jadi penulis memahami

bahwa tulisan tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk penulisan Jurnalisme Sastra.

Melaporkan peristiwa demonstrasi massa tak jauh dari pabrik PT Kertas Kraft

Aceh yang berujung penembakan puluhan warga Aceh oleh TNI, Rini membuka teras

(lead) reportasenya sebagai berikut:

Sebuah bus memasuki Terminal Lhokseumawe pada suatu pagi buta


sekitar tiga tahun yang lalu. Terminal masih sibuk. Warung kopi dan rumah
makan masih buka. Agen tiket bus masih melayani belasan penumpang yang
hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan becak mesin juga
masih parkir di depan terminal. Pengemudinya menunggu penumpang.
Angin malam sekilas membawa bau amis dari hamparan empang di
seberang terminal. Di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak
memerah oleh semburan api raksasa dari beberapa tower di ladang
penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.57

Dari teras berita di atas bisa dicermati ada penyusunan latar peristiwa, alur,

dan gaya bahasa yang mengandung unsur emosi untuk menggambarkan bagaimana

peristiwa itu dimulai. Rekaman suasana yang rinci seperti dihidupkan kembali ke

hadapan pembaca. Dalam artian, ada unsur intrinsik sastra pada tulisan tersebut. Dan

di sisi lain, teknik penulisan berita seperti ini merupakan pengembangan dari teknik

penulisan feature. Jika feature hanya menekankan unsur daya pikat manusia dan

penggunaan bahasa sastra, maka dapat dikatakan Jurnalisme Sastra menambahkan

karakteristik tersebut dengan unsur dialog, karakter, dan catatan adegan yang rinci.

57
Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Op.Cit., hal.3
http://prys3107.blogspot.com 56
prys.3107@gmail.com

Adalah Tom Wolfe, perintis Jurnalisme Sastra, yang mencatat empat alat

Jurnalisme Sastra, antara lain, “penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga,

dan penempatan detail dalam teks.”58 Simak saja kandungan penyusunan adegan,

dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail dalam teks lanjutan karya

Chick Rini (dalam Andreas Harsono dan Budi Setiyono) berikut ini:

Pada dini hari 3 Mei 1999 itu, di antara penumpang bus yang turun di
Lhokseumawe, ada tiga pria membawa tas berisi baju, kamera Betacam, serta
peti berisi kabel, microfon, dan perlengkapan syuting video. Mereka wartawan
RCTI, Stasiun televisi Jakarta yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak
mantan Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo.
“Oke, sekarang kita kemana?” tanya Umar HN.
“Pak Umar, tolong carikan hotel di sini yang aman,” jawab Imam
Wahyudi.59

Dua kutipan di atas yang penulis jadikan contoh, bisa disimpulkan bahwa

bentuk Jurnalisme Sastra mengedepankan unsur instrinsik sastra, semisal latar, alur,

gaya bahasa, karakter atau penokohan, dialog, dan catatan adegan yang rinci. Lebih

jelasnya lagi semua unsur tersebut dirumuskan Wolfe dengan menguraikan empat

prinsip Jurnalisme Sastra sebagai berikut:

1. Adegan; menyajikan scene peristiwa-demi-peristiwa-berita dalam urutan yang


membuat pembaca seakan berada di lokasi ketika kejadian berlangsung.
2. Dialog; materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang direkam,
meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber aslinya. Melalui
percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus
diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Selanjutnya, penafsiran dan
kesimpulan ia serahkan kepada pembaca yang telah menyimak dialog tokoh-
tokoh berita tersebut.

58
Septiawan Santana Kurnia, Op.Cit., hal.44
59
Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Op.Cit., hal.4
http://prys3107.blogspot.com 57
prys.3107@gmail.com

3. Perspektif orang ketiga; dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si
pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang di sekitar
tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa.
4. Penempatan detail; semua hal dicatat secara terperinci, yaitu perilaku, adat
istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, perjalanan wisata, hubungan dengan
teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat
sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain. Hal ini
merepresentasikan dasar pikiran dan perilaku, ekspresi, sampai harapan
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain,
alat ini memberi pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang
kehidupan seseorang, mencatat lambang-lambang sosial.60

Penulis memahami rumusan di atas tak ubahnya sebagai unsur instrinsik yang

terkandung di dalam Jurnalisme Sastra. Kemudian seiring perkembangan kritik dari

berbagai pihak terhadap Jurnalisme Sastra, empat prinsip sebagai standar Jurnalisme

Sastra yang dirumuskan Wolfe tersebut mengalami perkembangan pada 1980. Hal ini

dirangkum oleh Farid Gaban berdasarkan referensi mutakhir mengenai

perkembangan Jurnalisme Sastra di dunia, yakni:

5. Akurasi; Jurnalisme Sastra memperkokoh kekuatan fakta dalam penulisan


nonfiksi dan tak mau disalahartikan sebagai fiksi dengan menulis ulang
peristiwa, suasana, dan dialog secara akurat, melalui riset dan wawancara.
Penulis tak bisa merekayasa dialog atau kutipan, tidak boleh menciptakan
tokoh rekaan.
6. Keterlibatan; keterlibatan (immersion) memandu reporter untuk menyajikan
detail yang merupakan kunci untuk menggugah emosi pembaca. Penulis yang
mampu ‘menceburkan diri’ ke dalam subyek berita, menggalinya, dan
melaporkan kehidupan nyata secara spesifik, memberi kesan lebih kredibel
dan otoritatif.
7. Struktur; menggunakan teknik seperti yang dikenal dalam penulisan fiksi:
suspens, kilas balik, bahkan pengutaraan orang pertama (aku) yang sangat
dihindari penulis jurnalisme lama. Intinya adalah menggelar suasana,
merancang irama dan memberikan impact yang kuat kepada pembaca.
8. Suara; artinya posisi penulis sebagai orang pertama (aku) sebagai pengamat
yang berjarak atau melebur dan tak berjarak dengan subyek laporannya.

60
Ibid., disarikan dari hal.45-87
http://prys3107.blogspot.com 58
prys.3107@gmail.com

Seperti melaporkan peristiwa sekaligus memberikan komentar kepada


pembaca.
9. Tanggung Jawab; nilai pertanggung jawaban reporter lebih ditampakkna.
Misalnya, pandangan tegas bahwa fiksi hanyalah sebuah gaya dan bahwa
jurnalisme sastra lebih memaparkan fakta. Artinya, reporter bertanggung
jawab atas setiap fakta yang ia tulis dalam Jurnalisme Sastra.
10. Simbolisme; tiap paparan fakta, meskipun terlihat remeh atau hanya
menyangkut soal-soal kecil, sebenarnya mengandung gagasan yang sengaja
disusun sedemikian rupa karena terkait dengan hal-hal yang lebih luas dan
pemaknaan yang dalam.61

Dengan adanya kesemua elemen di atas, Setiati kemudian mengungkapkan

“bentuk penulisan Jurnalisme Sastra membuat laporan berita tidak lagi sekedar

pengungkapan fakta, tetapi berusaha mengungkapkan ‘mengapa dan bagaimana’

suatu peristiwa terjadi.”62

Berbagai media cetak yang menerapkan Jurnalisme Sastra dan ragam

Jurnalisme Baru lainnya adalah Majalah Time, The New Yorker, Newsweek, dan

Reader’s Digest. Hal ini diungkapkan Fedler sebagai berikut, “Para wartawan Time

telah mereportase dan menyimpulkan opini mereka selama lebih dari lima puluh

tahun. Newsweek dan Reader’s Digest adalah contoh lain. Seperti Time, Newsweek

mengkorelasikan berbagai news story menjadi satu, menjelaskan pemaknaannya dan

mengarahkan cara berpikir pembacanya.”63

61
Ibid., disarikan dari hal.114-120
62
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi,
Yogyakarta, 2005, hal.102
63
Septiawan Santana Kurnia, Op.Cit., hal.11
http://prys3107.blogspot.com 59
prys.3107@gmail.com

Berbagai pandangan dan uraian mengenai Jurnalisme Sastra di atas,

membawa penulis pada kesimpulan. Jurnalisme Sastra sebagai perpaduan antara

bentuk penulisan Jurnalisme dengan Sastra yang dapat dikenali bentuknya lewat

unsur intrinsik dimana digunakan setidaknya 10 prinsip penulisan Jurnalisme Sastra,

yakni penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan detail dalam

teks, akurasi, keterlibatan, struktur, suara, tanggung jawab, dan simbolisme. Jenis

tulisannya sendiri dapat dikategorikan sebagai feature berita.

Jurnalisme Sastra juga merupakan suatu proses, pengelolaan, dan cara

penyampaian laporan (berita) sebagai hasil kerja seni kreatif wartawan. Karenanya

meliputi aspek mulai dari tahap peliputan, pengumpulan bahan berita, dan penulisan

berita sebagai praktik Jurnalisme Sastra yang memakan waktu lebih lama dan

perencanaan tertentu, dan teknik penulisan yang berbeda dari praktik jurnalisme

konvensional.

Dengan mengacu pada 10 teknik penulisan Jurnalisme Sastra tersebutlah,

penulis akan menggali bagaimana MBM Tempo menerapkan dan mengembangkan

prinsip penulisan Jurnalisme Sastra versi MBM Tempo sebagai praktik estetik dan

politik bahasa dalam pemberitaannya.

A.5. Estetika dan Politik Bahasa

Acuan yang penulis gunakan dalam menghubungkan estetika dengan politik

bahasa, berangkat dari teori estetika Benedetto Croce yang kemudian dilanjutkan oleh

Antonio Gramsci. Karena selain memberi pengantar mengenai estetika itu sendiri,
http://prys3107.blogspot.com 60
prys.3107@gmail.com

penulis juga akan memfokuskan tinjauan teoritis pada pemikiran kedua tokoh

tersebut.

Kajian mengenai estetika kerap diidentikkan dengan filsafat seni. Meskipun

sampai sekarang, estetika merupakan konsep yang banyak mendapat pandangan

berbeda dari para pakar seni. Fathul A. Husein mengungkapkan bahwa estetika

sejajar dengan etika, dan keduanya ada dalam wilayah filsafat mengenai nilai. Husein

kemudian menerangkan sebagai berikut:

Sebagai bagian dari kajian filsafat, estetika sudah barang tentu bekerja dalam
bingkai penalaran yang radikal, spekulatif, menyeluruh, dan merupakan cerminan
dari pemikiran filosofis seorang filsuf. Baru pada abad 20 estetika menggeser
perannya sebagai filsafat keindahan dan menuju ke arah keilmuan, setelah
sebelumnya lebih mengkhususkan diri pada tela'ah atas karya-karya seni saja.64

Dari penjelasan di atas, penulis memandang bahwa kajian estetika saat ini

tidak lagi berkutat pada konsep keindahan saja, bahkan estetika sudah bergerak

menuju arah keilmuan. Hal ini penulis pahami dalam bentuk estetika modern atau

estetika ilmiah yang bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain seperti psikologi,

sosiologi, antropologi.

Melihat dari asal katanya, estetika berasal dari kata aistheton atau aisthetikos

(bahasa Yunani Kuno), yang berarti persepsi atau kemampuan mencerap sesuatu

secara indrawi. Istilah ini disebutkan muncul pertama kali pada pertengahan abad ke-

XVIII, oleh filsuf Jerman, Alexander Baumgarten, yang memaksudkan estetika

sebagai ”ranah pengetahuan sensoris, pengetahuan rasa yang berbeda dari


64
Fathul A. Husein, Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur,
artikel dalam Suratkabar Harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Maret 2005
http://prys3107.blogspot.com 61
prys.3107@gmail.com

pengetahuan logika, sebelum akhirnya ia sampai kepada penggunaan istilah tersebut

dalam kaitan dengan persepsi atas rasa keindahan, khususnya keindahan karya

seni.”65

Jika pada awalnya estetika dimaksudkan sebagai konsep yang berkaitan

dengan pengetahuan rasa dan nilai-nilai keindahan, maka pada abad XIX lah estetika

dikembangkan lebih dari sekedar konsep keindahan. Hal ini diungkapkan Husein

sebagai berikut:

Estetika bukan melulu kualifikasi atas penilaian-penilaian atau evaluasi-


evaluasi belaka, melainkan pula menyangkut penelusuran sifat-sifat dan
manfaat/kegunaan, ragam penyikapan, pengalaman-pengalaman, dan penikmatan
atas nilai-nilai keindahan tersebut. Bahkan kemudian penerapannya tidak lagi
dibatasi oleh bingkai konsepsi keindahan semata-mata. Domain estetika menjadi
jauh lebih luas ketimbang sekadar penikmatan karya-karya seni secara estetik
sekalipun.66

Memudarnya nilai-nilai keindahan sebagai topik sentral dalam teori estetika

sejak zaman Yunani hingga abad XIX, dimulai oleh seorang estetikus Italia,

Benedetto Croce pada permulaan abad 20.

Teori Estetika Croce

Seperti yang dikutip Husein, Croce menggeser konsepsi keindahan dengan

konsep ekspresi dan mengumandangkan pandangan baru bahwa kreasi artistik dan

pengalaman estetik sebagai berasal dari formula ganda; bahwa seni setaraf ekspresi

setaraf intuisi. “Dan bahwa keindahan tak lebih dari ekspresi yang berhasil, karena

65
Loc.Cit.
66
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com 62
prys.3107@gmail.com

ekspresi yang gagal bukanlah ekspresi. ”Ekspresi dan keindahan bukanlah dua konsep

berbeda, melainkan sebuah konsep tunggal", cetus Croce.”67

Husein sendiri menganggap pemikiran Croce tersebut menimbulkan adanya

paradoks dalam estetika. Husein mengatakan, “‘jika seni identik dengan ekspresi, dan

keindahan juga identik dengan ekspresi, maka bukankah keindahan itu merupakan

esensi dari seni? Namun Croce tetap kukuh pada pendirian bahwa ekspresi dan intuisi

merupakan konsepsi dasar dari mana estetika bisa dipahami.”68

Berangkat dari asumsinya inilah, Croce membedakan antara pengetahuan

konseptual dengan pengetahuan intuitif. Seperti yang dikutip oleh Leonardo

Salamini, pengetahuan konseptual bagi Croce adalah:

Pengetahuan tentang hubungan-hubungan antara benda-benda sebagaimana


secara representatif dikembangkan oleh filsafat dan ilmu.
.............................................................
Sedangkan pengetahuan intuitif adalah pengetahuan ekspresif. . . pengetahuan
yang didapatkan melalui imajinasi.69

Hal inilah yang membuat Croce berpendapat bahwa seni lebih utama dari

ilmu, sebab Croce berasumsi bahwa ”intuisi membawa dunia kepada kita, fenomena-

fenomena; sedang konsep memberi noumena, maka seni lebih utama daripada

67
Loc.Cit.
68
Loc.Cit.
69
Leonardo Salamini, Teori Praksis Antonio Gramsci: Estetika, Praksis
Politik, dan Historisisme, esai dalam Mikhail Liftschitz dan Leonardo Salamini,
Praksis Seni: Marx & Gramsci, Penerbit Alinea, Yogyakarta, tanpa tahun, hal.175
http://prys3107.blogspot.com 63
prys.3107@gmail.com

ilmu.”70 Salamini sendiri mengomentari Croce dengan mengambil kesimpulan bahwa

”hakikat seni adalah, bagi Croce, wujud.”71

Penjelasan di atas membawa penulis pada pemahaman bahwa pengetahuan

intuitif yang menghasil estetika dalam seni, mengambil hakikatnya dalam wujud

(materi) estetika itu sendiri, dan bukan pada isi (ide) estetika. Dimensi estetika dapat

dikenali dari unsur intrinsik yang dikandung dalam wujud seni, semisal bentuk teks

karya sastra. Ini tentu berangkat dari paham materialisme yang dianut Croce.

Dalam konteks penelitian ini, praktik estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM

Tempo hendak penulis kenali dengan menyimak bentuk teks berita di mana terdapat

segenap unsur intrinsik teks sastra. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra,

praktik estetika bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji

lewat prinsip penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan detail

dalam teks, struktur, dan suara.

Dan kini penulis akan berlanjut pada pemikiran Gramsci sebagai kelanjutan

dari apa yang telah diuraikan Croce.

70
Ibid., hal.175-176
71
Ibid., hal.176
http://prys3107.blogspot.com 64
prys.3107@gmail.com

Kaitan Estetika dan Politik

Jika Croce mengutamakan estetika pada wujudnya, maka Gramsci

menekankannya pada isi dalam estetika itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh

Salamini dalam menanggapi Gramsci tentang estetika sastra sebagai berikut:

Alih-alih menanyakan apa yang indah dalam seni, ia ingin tahu mengapa
suatu kesenian dinikmati publiknya. Mengambil contoh sastra, Gramsci mencatat
bagaimana kepopulerannya tidak ditentukan oleh ”keindahan”, melainkan apakah
ada muatan spesifik yang mampu menarik massa.
............................................................
semakin setia sastra dengan budaya dan ”perasaan nasional” dalam perkembangan
berkelanjutan, makin populer karakternya.72

Asumsi Gramsci tersebut dikemukakan berdasarkan pandangannya yang

mengatakan bahwa seni bukanlah produk dari dirinya sendiri, melainkan produk

sejarah, maka ”nilai seni terletak dalam hubungan antaraseniman dengan

masyarakatnya, zamannya, dan kondisi-kondisi sejarah umum.”73

Gramsci memang menyetujui pemilahan wujud dengan isi dalam dimensi

estetika seni, namun ia kemudian lebih mengkajinya ke dalam sejarah dan memberi

pandangan baru mengenai estetika. Jika sebelumnya kritik estetika menyoalkan mana

yang seni dan yang bukan seni dari segi wujudnya, maka Gramsci menambahkannya

dengan apa yang disebutnya sebagai kritik sosial budaya atau kritik politik.

Salamini menggambarkan pemikiran Gramsci sebagai berikut, ”Jika kritik

dibatasi hanya pada wujud, seperti yang dilakukan Croce, akan negatiflah

72
Ibid., hal.195
73
Ibid., hal.179
http://prys3107.blogspot.com 65
prys.3107@gmail.com

kegiatannya –suatu kritik yang datar dan kering. Kritik positif, alih-alih, diarahkan

pada isi maupun wujud, maka jadilah ia kritik sosial dan budaya.”74

Dari sini penulis memahami bahwa Gramsci telah membedakan kritik estetik

dengan kritik politik. Bila yang pertama mempersoalkan wujud, maka yang kedua

mempersoalkan isi. Salamini pun berkomentar bahwa Gramsci ”memadukan

keduanya dalam sebuah sintesis yang luar biasa, yakni kritik kebudayaan. Kritik

estetik pada akhirnya politis.”75

Mengacu pada konsepsi Gramsci yang mengaitkan estetik dengan politik,

maka dalam penelitian ini selain melakukan kritik estetik pada teks berita Jurnalisme

Sastra MBM Tempo, penulis juga melakukan kritik politik yang ditujukan pada

penggunaan bahasa sebagai praktik politik bahasa.

Bahasa Puisi Sebagai Praktik Politik

Adalah Michel Pechuex yang mengungkapkan adanya dimensi politik dalam

penggunaan bahasa, berangkat dari asumsinya yang menyatakan bahwa

sesungguhnya terdapat perbedaan akses dan penguasaan bahasa yang sama melalui

kelas-kelas sosial. Pecheux, seperti yang dikutip Diane Macdonell, menjelaskan

bahwa ”penggunaan bahasa yang berbeda tersebut dapat dituliskan kembali dalam

74
Ibid., hal.190
75
Ibid., hal.187
http://prys3107.blogspot.com 66
prys.3107@gmail.com

pertentangan makna yang beranjak dari ideologi yang berkuasa dan yang dikuasai

yang dibentuk secara antagonis.”76

Macdonell kemudian melanjutkan sebagai berikut, “efek dari kombinasi ini

adalah adanya ‘kosa kata sintaksis’ dan ‘argumen’ yang kontras, yang mengarah,

kadang-kadang dengan kata yang sama, kepada arah yang berbeda tergantung pada

sifat dari kepentingan ideologi yang dipertaruhkan.”77

Penulis memahami bahwa penggunaan bahasa mencerminkan sebuah situasi

di mana ideologi yang berkuasa dengan ideologi yang dikuasai terlibat dalam sebuah

pertentangan makna. Karenanya Macdonell kemudian menyimpulkan pemikiran

Pechuex bahwa “terdapat suatu dimensi politik pada penggunaan masing-masing kata

dan frase dalam tulisan atau percakapan.”78

Singkatnya, penulis memahami pernyataan Pechuex bahwa sebuah politik

pertentangan makna yang tertuang dalam penggunaan bahasa. Dalam konteks

penelitian ini, penggunaan bahasa dalam Jurnalisme Sastra, seperti halnya dalam

sastra secara umum, tak bisa dilepaskan dari kandungan keindahan atau

kepuitisannya.

76
Diane Macdonell, Teori-Teori Diskursus; Kematian Strukturalisme &
Kelahiran Posstrukturalisme Dari Althusser hingga Foucault, Terjemahan Eko
Wijayanto, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005, hal.60
77
Ibid., hal.60
78
Ibid., hal.46
http://prys3107.blogspot.com 67
prys.3107@gmail.com

Mengenai hal ini, Julia Kristeva memperkenalkan konsep ’the poetic

language’ sebagai ”salah satu alternatif pengungkapan ide dan gagasan-gagasan yang

efektif, khususnya apabila persoalan-persoalan yang ingin dikemukakan melibatkan

secara mendalam perasaan, emosi, dan fantasi, seperti pada persoalan kejahatan dan

kekerasan.”79

Konsepsi Kristeva tersebut ditanggapi Yasraf Amir Piliang yang berpendapat

bahwa bahasa puitis (poetic) tersebut ”dapat membongkar hal-hal yang mendasar dan

hakiki dari sebuah tragedi kemanusiaan. Diharapkan, melalui pendekatan

kemanusiaan...persoalan-persoalan mendasar, esensial dan hakiki yang menyangkut

krisis multidimensi,kekerasan dan kejahatan dapat dibongkar.”80

Dalam kata lain, penulis memahami Piliang hendak mengatakan bahwa

bahasa puitis merupakan pendekatan kemanusiaan sebagai alternatif pengungkapan

ide secara efektif yang melibatkan perasaan, emosi, dan fantasi secara mendalam.

Karenanya penggunaan bahasa puitis diharapkan mampu membongkar persoalan

mendasar, esensial dan hakiki yang menyangkut krisis multidimensi mengenai

kemanusiaan itu sendiri.

Penggunaan bahasa inilah juga dimaksudkan Piliang sebagai bagian dari

produk sejarah dan merupakan unsur dari kebudayaan. ”Dan semua unsur

79
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Menakutkan; Mesin-Mesin
Kekerasan Dalam Jagat Raya Chaos, Penerbit Mizan, Bandung, 2001, hal.41
80
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com 68
prys.3107@gmail.com

kebudayaan dapat berkaitan dengan kekuasaan (power). Artinya, semuanya dapat

digunakan sedemikian rupa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.”81

Penjelasan Piliang mengenai bahasa puitis, penggunaan bahasa, dan

kekuasaan, sejalan dengan paradigma kritis yang juga memandang penggunaan

bahasa sebagai praktik politik bahasa. Dedy N. Hidayat mengartikan politik bahasa

dalam paradigma kritis sebagai ”penggunaan simbol-simbol bahasa dalam suatu

struktur ideologi tertentu, oleh kelas sosial tertentu, untuk melanggengkan dominasi

atau hegemoni mereka, terhadap kelas sosial lainnya.”82

Dengan kata lain, penulis memahami bahwa politik bahasa tersebut

merupakan penggunaan bahasa dalam kerangka ideologis pemakainya sebagai praktik

dominasi kelas. Ketika penggunaan bahasa ini dilakukan oleh institusi media massa,

maka penulis mengacu pada uraian Hidayat di atas dengan menyebutnya sebagai

praktik politik bahasa media.

Segenap uraian tersebut kemudian membawa penulis pada kesimpulan bahwa

dalam konteks penelitian ini, praktik politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo

hendak penulis kenali dengan menyimak segenap penggunaan simbol dan gaya

bahasa sastra yang puitis. Lewat simbol dan bahasa puitis tersebutlah, MBM Tempo

mengembangkan Jurnalisme Sastra sebagai praktik politik bahasa dalam

81
Ibid., hal.141
82
Dedy N. Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses
Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru, artikel dalam Sandra Kartika dan
M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana
Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
(LSPP), Jakarta, 1999, hal.47
http://prys3107.blogspot.com 69
prys.3107@gmail.com

pemberitaannya. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, praktik politik

bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip

simbolisme.

A.6. Wacana

Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai ”kemampuan untuk maju

(dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya... komunikasi

buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.”83

Sedangkan menurut Riyono Praktikno, wacana adalah ”proses berpikir

seseorang yang kaitannya dengan ada tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan

yang disajikannya. Makin baik cara atau pola berpikir seseorang, pada umumnya

makin terlihat jelas adanya kesatuan dan koherensi itu.”84

Dari sumber di atas, penulis memahami bahwa wacana sebagai bentuk

komunikasi yang terbentuk dari kesatuan (kohesi) dan (kepaduan) koherensi dalam

bahasa. Namun pengertian wacana tersebut baru sebatas dalam pengertian struktural.

Untuk itu dalam menguraikan bagaimana teori wacana sebagai landasan teoritis

penelitian ini dan model analisis wacana kritis yang digunakan, penulis mengacu

pada teori wacana yang digagas Michel Foucault.

83
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Semiotik, PT Remaja Rosda Karya,
Bandung, 2001, hal.10
84
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com 70
prys.3107@gmail.com

Teori Wacana Foucault

Michel Foucault adalah seorang pemikir poststrukturalisme yang menggagas

teori wacana dengan melampaui pemikiran strukturalisme tentang bagaimana sebuah

wacana terbentuk. Jika menurut strukturalisme, sebuah wacana terbentuk dari

keterkaitan yang baik antara kohesi dan koherensi dalam kalimat, maka menurut

Foucault, sebuah wacana merupakan produk dari relasi kekuasaan dengan

pengetahuan. Untuk itu, penulis akan memulai pembahasan teori wacana dari asumsi

Foucault tentang kekuasaan.

Secara tradisional, kekuasaan kerap dipandang sebagai kemampuan atau

kekuatan pihak tertentu untuk menguasai yang pihak lemah. Misal saja kekuasaan

raja atau pemerintah kepada rakyatnya. Kekuasaan di sini tentu bersifat negatif.

Namun Foucault, seperti yang ditulis Melani Budianta, justru memandang kekuasaan

bersifat produktif:

Berbeda dengan konsep kekuasaan yang umum, yakni yang dimiliki oleh
pihak-pihak yang kuat terhadap yang lemah, kekuasaan bagi Foucault seperti
yang diuraikan dalam bukunya Power/ Knowledge bukanlah merupakan suatu
entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga,
melainkan dapat diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana.
Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang
ditindas, dari pemerintah ke rakyat, melainkan datang dari semua lapisan
masyarakat, ke segala arah.85

85
Melani Budianta, Teori Sastra Sesudah Strukturalisme dari Studi Teks
ke Studi Wacana Budaya, artikel dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra,
Op.Cit., hal. 49
http://prys3107.blogspot.com 71
prys.3107@gmail.com

Penulis memahami bahwa kekuasaan menurut Foucault tidak lagi dimaknai

secara vertikal dari atas ke bawah, atau dari institusi penguasa kepada individu yang

dikuasai, melainkan bahwa kekuasaan datang dari semua lapisan tetapi ia menyebar

secara kompleks kepada segenap individu sebagai subjek yang kecil, dan

menyebabkan praktik kuasa ada di mana-mana.

Foucault kemudian mengaitkan bahwa praktik kekuasaan inilah yang

kemudian mempengaruhi pengetahuan manusia tentang ’kebenaran’. Dalam artian,

apa yang manusia anggap sebagai ’kebenaran’, merupakan hasil dari relasi-relasi

kekuasaan yang membentuk sistem pengetahuan manusia tentang ’kebenaran’ itu

sendiri. Foucault, seperti yang dikutip Mh. Nurul Huda, kemudian berpendapat

bahwa:

Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan...kebenaran selalu terkait dengan


relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. Kebenaran diproduksi melalui
banyak cara dan dalam aneka praktek kehidupan manusia sebagai cara mengatur
diri mereka dan orang lain. Karena itu, setiap produksi pengetahuan
sesungguhnya memuat rezim kebenaran. Dengan demikian, kekuasaan pun
bersifat konstitutif dalam pengetahuan, sehingga kekuasaan sebenarnya tersebar
pada seluruh level masyarakat dan bermacam relasi sosial.86

Penjelasan di atas penulis pahami bahwa lewat relasi kekuasaan yang

menyebar itulah manusia membuat atau memproduksi sistem atas suatu pengetahuan

tertentu yang tidak lagi dipertanyakan orang, hingga dianggap sebagai suatu

’kebenaran’.

86
Mh. Nurul Huda, Ideologi Sebagai Praktek Kebudayaan, artikel dalam
Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.XXVII No.3/2004, hal.53
http://prys3107.blogspot.com 72
prys.3107@gmail.com

Maka jelas bahwa kekuasaan selalu meproduksi pengetahuan manusia, dan

produksi pengetahuan manusia sesungguhnya memuat rezim ’kebenaran’. Dalam

rangka inilah Foucault menempatkan wacana (discourse; diskursus) sebagai praktik

yang terbentuk dari relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan.

Budianta menulis bahwa, ”Menurut Foucault, kekuasaan mewujudkan diri

melalui wacana dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah melalui

prosedur menyeleksi atau memisahkan mana yang dianggap layak dan yang tidak

layak; dengan memberlakukan sejumlah pelarangan terhadap beberapa jenis

wacana...dengan membedakan apa yang disebut benar dan salah.”87

Mengenai kaitan antara kekuasaan dengan pengetahuan dalam sebuah wacana,

Eriyanto juga berkomentar demikian:

Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang


menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai
sesuatu yang datang dari langit...akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan
menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak
digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap
kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang
disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.88

Hal tersebut penulis pahami bahwa kebenaran atau pengetahuan manusia yang

tercermin dalam sebuah wacana, sangat ditentukan dari praktik-praktik kekuasaan

yang melingkari manusia itu sendiri. Apa yang dianggap benar dan yang dianggap

87
Melani Budianta, Op.Cit., hal.48
88
Eriyanto, Op.Cit, hal.66-67
http://prys3107.blogspot.com 73
prys.3107@gmail.com

salah oleh manusia, merupakan wacana sebagai hasil dari relasi kekuasaan dengan

pengetahuan.

Ideologi, Hegemoni, dan Aparatus Negara

Foucault juga kemudian mengkritik Karl Marx yang berusaha memisahkan

pengetahuan sejati yang sesuai dengan realitas, dengan pengetahuan palsu yang tidak

mencerminkan realitas sebenarnya (ideologi). Menurut Foucault, tidak ada

pengetahuan sejati, sebab pengetahuan manusia terbentuk dari praktik wacana.

Sehingga setiap pengetahuan adalah ideologi. Dan ideologi ada dalam praktik wacana

itu sendiri.

Berkaitan dengan hal di atas, Huda menyatakan bahwa, ”Bila Marx

berpandangan bahwa ideologi adalah mistifikasi kekuasaan, Foucault lebih tegas

menyatakan bahwa ideologi sebenarnya adalah ’discourse’ yang berjalin-kelindan

dengan aneka praktek masyarakat, di mana relasi kekuasaan berlangsung dan di

dalamnya diciptakan sebentuk kebenaran.”89

Keterangan di atas membawa penulis pada bagaimana pengetahuan manusia

(ideologi) tersebut disebarkan dan diproduksi dalam sebuah wacana. Dalam rangka

inilah dapat ditempatkan konsep Louis Althusser yang memperkenalkan bentuk

Aparatus Negara sebagai agen-agen pemerintah yang mereproduksi ideologi, yakni

Aparatus Ideologis Negara (AIN).

89
Mh. Nurul Huda, Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com 74
prys.3107@gmail.com

Althusser melihat bahwa ada Aparatus Negara yang memproduksi ideologi

sebagai pengetahuan masyarakat. Ia menyebutkan “Aparatus Represif Negara

menjalankan fungsinya dengan kekerasan, sementara Aparatus Ideologis Negara

menjalankan fungsinya dengan ideologi.”90

Aparatus Ideologis Negara (AIN) tersebut antara lain adalah “AIN

Keagamaan,...AIN Pendidikan,...AIN Keluarga,…AIN Hukum,…AIN Politik,…AIN

Serikat Buruh,…AIN Komunikasi,…AIN Kebudayaan.”91

AIN inilah yang dijelaskan Althusser berfungsi;

…secara masif dan terutama dengan menggunakan ideologi, apa yang


menyatukan keberagaman mereka itu ialah dalam pelaksanaan fungsi karena
ideologi yang mereka jalankan dalam senantiasa satu, tak peduli keberagaman dan
kontradiksi-kontradiksi di antara mereka. Ideologi itu ialah ideologi yang
berkuasa, yang tak lain adalah ideologinya kelas yang berkuasa.92

Penjelasan Althusser tentang AIN tersebut memang berusaha menyeragamkan

sekian banyak AIN dalam satu kerangka ideologi tunggal yang merupakan cerminan

ideologi kelas berkuasa. Dan penulis bahwa Althusser hendak menekankan bahwa

ideologi menempatkan individu dalam hubungan relasi-relasi kekuasaan sejumlah

AIN yang digunakan kelas berkuasa dalam mengontrol kelas yang dikuasainya.

90
Louis Althusser, “Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara”, esai dalam
Louis Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resist Book,
Yogyakarta, 2007, hal.169
91
Ibid., hal.167-168
92
Ibid., hal.171
http://prys3107.blogspot.com 75
prys.3107@gmail.com

Relasi-relasi kekuasaan tersebut sebagai konsep hegemoni yang diperkenalkan

oleh Antonio Gramsci. Eriyanto dalam mengenai keterhubungan konsep Althusser

dengan Gramsci dinyatakan sebagai berikut:

Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan


kelompok yang dominan dalam mengontrol kelompok lain. Pertanyaannya,
bagaimana cara penyebaran ideologi itu dilakukan? Pada titik ini, teori Gramsci
tentang hegemoni layak dikedepankan. Antonio Gramsci membangun suatu teori
yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap
kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa
tindak kekerasan.93

Menyoal konsep hegemoni, Eriyanto juga menyebutkan Raymond William

sebagai pemikir yang menanggapi Gramsci lebih lanjut. William sendiri merumuskan

bahwa hegemoni “bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya. Lewat

hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, sementara nilai dan

kepercayaan dapat ditularkan. Berbeda dibandingkan manipulasi hegemoni justru

terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dengan sukarela.”94

Apa yang disampaikan William tersebut memang melanjutkan pemikiran

Gramsci, yang mana keduanya berangkat dari penjelasan Althusser tentang AIN.

Untuk itu penulis berkesimpulan bahwa dari seluruh penjelasan di atas, yakni

hegemoni merupakan suatu relasi kekuasaan yang menyebarkan ideologi negara (atau

kelompok berkuasa) lewat AIN-AIN, di mana ideologi tersebut diterima secara

93
Eriyanto, Op.Cit., hal.103
94
Eriyanto, Politik Pemberitaan, Majalah Pantau Edisi 09.Tahun 2000, hal.82
http://prys3107.blogspot.com 76
prys.3107@gmail.com

sukarela dan dianggap sebagai pengetahuan masyarakat. Semua ini tercermin sebagai

praktik wacana yang dilakukan oleh AIN-AIN tersebut.

Untuk itu, penulis memandang bahwa wacana merupakan cara menghasilkan

pengetahuan, praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk

darinya, relasi kekuasaan yang ada di baliknya, dan kesaling-berkaitan di antara

semua aspek ini.

Metode Analisis Wacana Kritis

Dalam tradisi ilmu komunikasi dan kebahasaan (linguistik), metode yang

digunakan dalam menggali bagaimana pesan komunikasi ditampilkan lewat bahasa,

yakni dengan menggunakan analisis kebahasaan atau teks secara struktural. Antara

lain adalah metode analisis isi dan analisis wacana.

Melanjutkan pendekatan kebahasaan dalam metode analisis wacana secara

struktural, kini hadir analisis wacana kritis yang mengembangkan komponen

analisisnya lebih luas lagi. Untuk itu Guy Cook menyebutkan ada tiga komponen

analisis dalam wacana, yakni teks, konteks, dan wacana. Cook menguraikannya

sebagai berikut:

Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di
lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik,
gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi
dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti
partisan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang
dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks
dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.95
95
Eriyanto, Op.Cit., 2005, hal.9
http://prys3107.blogspot.com 77
prys.3107@gmail.com

Dalam uraian Cook inilah, ketiga komponen tersebut yang hendak dikaji

dalam studi analisis bahasa dan analisis teks media. Adapun metode Analisis Wacana

Kritis merupakan ragam metode studi bahasa dan teks media yang menganalisis

wacana dengan bersandar pada paradigma kritis. Dalam kata lain, analisis pada

tataran struktur kebahasaan dan penyampaian pesan yang dibungkus dalam simbol-

simbol kebahasaan tertentu, dilanjutkan dengan menganalisis “proses produksi dan

reproduksi makna dalam teks yang terjadi secara historis maupun institusional dalam

media tersebut.”96

Menurut Fairclough dan Wodak, seperti yang dikutip Eriyanto, analisis

wacana kritis melihat “wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan– sebagai

bentuk praktik sosial yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara

peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang

membentuknya.”97

Karenanya, Analisis Wacana Kritis berusaha menghubungkan teks yang

mikro dengan konteks yang makro di mana teks tersebut diproduksi. Konteks di sini

berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di alamnya

praktik kekuasaan.

96
Ibid, hal.6
97
Ibid., hal.7
http://prys3107.blogspot.com 78
prys.3107@gmail.com

B. Operasionalisasi Konsep

Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, dalam penelitian kualitatif ukuran

konsep yang operasional bukan merupakan ukuran pasti dan terukur. Namun hal ini

dapat diatasi dengan memasukkan sebanyak mungkin fakta empiris ke dalam

penelitian dan melihat bagaimana konsep-konsep yang ada dapat bekerja selanjutnya.

Berikut ini uraian singkat yang penulis gunakan sebagai acuan operasional

dari konsep-konsep terkait dalam penelitian ini:

1. Media massa merupakan sebuah institusi komunikasi publik yang menyampaikan

pesan kepada masyakat luas, serta berpartisipasi dalam aspek permasalahan dalam

masyarakat tersebut, seperti ekonomi, politik dan budaya dimana media massa

tersebut hidup.

2. Media massa dalam paradigma kritis bukanlah sarana yang netral dalam

pemberitaannya. Media menempatkan kelompok-kelompok yang diberitakannya

tersebut dalam posisi yang dominan dan marjinal. Media merupakan pembentuk

konsensus di masyarakat terjadi lewat proses yang rumit, kompleks, dan

melibatkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam

penelitian ini, MBM Tempo adalah kelompok institusi media yang dikelilingi

kekuatan-kekuatan sosial di sekelilingnya.

3. Berita merupakan laporan faktual dan aktual yang menarik perhatian pembaca

dan dipilih oleh staff redaksi untuk disiarkan.

4. Berita dalam paradigma kritis adalah hasil dari pertarungan wacana antara

berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan


http://prys3107.blogspot.com 79
prys.3107@gmail.com

ideologi wartawan atau media. Sebuah teks berita ditulis oleh wartawan bukan

berdasarkan pertimbangan etis, tetapi dari pertimbangan ideologis. Dalam

penelitian ini, berita yang hendak dianalisis adalah berita yang memuat kasus

dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.

5. Korupsi merupakan merupakan suatu tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau

wewenang demi memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi dekat dengan

kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dan kebanyakan dari kasus

korupsi yang terjadi, menunjukkan keterlibatan pejabat negara.

6. Pejabat negara adalah orang yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau

yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Dalam penelitian ini, pejabat Negara yang dimaksud adalah

penjabat Negara setingkat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu.

7. Feature berita adalah laporan jurnalistik yang menggabungkan kandungan unsur

aktualitas dan unsur daya pikat manusia, serta memiliki kandungan subjektifitas

dan kreatifitas wartawannya lewat teknik penulisan tertentu sebagai sebuah

pemberitaan mengenai suatu peristiwa.

8. Jurnalisme Sastra merupakan bagian dari Jurnalisme Baru yang lahir di Amerika

Serikat pada 1960-an, yakni perpaduan antara bentuk penulisan sastra dengan

jurnalisme. Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari praktik peliputannya dan bentuk

penulisannya. Jenis tulisannya sendiri dapat dikategorikan sebagai feature berita.


http://prys3107.blogspot.com 80
prys.3107@gmail.com

9. Dari sisi praktik peliputan, Jurnalisme Sastra merupakan salah satu bentuk praktik

jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan zaman, agar institusi media cetak dapat

menyajikan berita yang mendalam sekaligus menarik. Karenanya praktik

Jurnalisme Sastra melibatkan peran redaktur atau wartawan senior dalam

penulisannya, serta memakan waktu peliputan yang lama. Dalam penelitian ini,

analisis praktik peliputan atau produksi berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo

akan ditempatkan pada level discourse practice dalam metode Analisis Wacana

Kritis.

10. Dari sisi bentuk penulisan, Jurnalisme Sastra dapat dikenali bentuknya lewat

unsur intrinsik dimana digunakan setidaknya 10 prinsip penulisan Jurnalisme

Sastra, yakni penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan

detail dalam teks, akurasi, keterlibatan, struktur, suara, tanggung jawab, dan

simbolisme. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra tersebut, penulis

hendak mengetahui bagaimana unsur intrinsik yang dikembangkan dalam teks

berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa.

11. Selain menyoalkan mana yang seni dan yang bukan seni dari segi wujud, kritik

estetik juga mesti dilakukan dalam rangka kritik politis. Bila kritik estetik dalam

penelitian ini ditujukan pada unsur intrinsik teks berita Jurnalisme Sastra MBM

Tempo, maka kritik politik ditujukan pada penggunaan bahasa sebagai praktik

politik bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo. Dalam

penelitian ini, analisis praktik estetik dan politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM

Tempo akan ditempatkan pada level teks dalam metode Analisis Wacana Kritis.
http://prys3107.blogspot.com 81
prys.3107@gmail.com

12. Estetika merupakan pengetahuan intuitif yang mengambil hakikatnya dalam

bentuk (materi) estetika itu sendiri. Dimensi estetika dapat dikenali dari unsur

intrinsik yang dikandung dalam wujud seni, semisal bentuk teks karya sastra.

Dalam konteks penelitian ini, praktik estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM

Tempo hendak penulis kenali dengan menyimak bentuk teks berita di mana

terdapat segenap unsur intrinsik teks sastra. Dengan mengacu pada prinsip

Jurnalisme Sastra, praktik estetika bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra

MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip penyusunan adegan, dialog, perspektif

orang ketiga, penempatan detail dalam teks, struktur, dan suara.

13. Politik bahasa media merupakan penggunaan bahasa lewat simbol-simbol bahasa

dalam suatu struktur ideologi tertentu, oleh kelas sosial tertentu, dalam kerangka

ideologis media massa sebagai praktik dominasi kelas untuk melanggengkan

dominasi mereka terhadap kelas sosial lainnya. Dalam konteks penelitian ini,

praktik politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo hendak penulis kenali

dengan menyimak segenap penggunaan simbol dan gaya bahasa sastra yang

puitis. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, praktik politik bahasa

dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip

simbolisme.

14. Wacana adalah cara menghasilkan pengetahuan, praktik sosial yang

menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang

ada di baliknya, dan kesaling-berkaitan di antara semua aspek ini.


http://prys3107.blogspot.com 82
prys.3107@gmail.com

15. Analisis Wacana Kritis merupakan metode analisis teks media yang

menghubungkan teks yang mikro dengan konteks yang makro di mana teks

tersebut diproduksi. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan

praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.


http://prys3107.blogspot.com 83
prys.3107@gmail.com

C. Kerangka Pemikiran

Konsep-konsep yang telah dijelaskan sebelumnya tergambar dalam kerangka

pemikiran sebagai berikut:

MBM Tempo

Jurnalisme Sastra

PEMBERITAAN KASUS DUGAAN


KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT
NEGARA KABINET INDONESIA BERSATU

Analisis Wacana Kritis

Teks (Analisis Teks Ekletif)

Discourse Practice

Sociocultural Practice
http://prys3107.blogspot.com
prys.3107@gmail.com

BAB III

DESAIN PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

Istilah paradigma diperkenalkan pertama kali oleh Thomas Kuhn dalam

menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan. Ia merumuskan bahwa paradigma

adalah ”serangkaian asumsi-asumsi teoritis yang umum serta hukum-hukum ilmiah

beserta tehnik-tehnik penerapannya yang diterima oleh komunitas ilmiah tertentu.”1

Dalam konteks penelitian ilmiah, Bogdan dan Biklen merumuskan bahwa

paradigma adalah “kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama,

konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.”2

Dari dua keterangan di atas, penulis memahami bahwa paradigma merupakan

arah cara berpikir dalam penelitian ilmiah, yang sesuai dengan asumsi teoritis, hukum

ilmiah, dan tehnik penerapan tertentu yang digunakan oleh komunitas ilmiah tertentu.

Maka sebuah paradigma berfungsi untuk mendasari dan memediasi praktik-praktik

ilmiah dalam masyarakat ilmiah tertentu.

Kuhn juga mengatakan jika praktik-praktik ilmiah yang berlaku di masyarakat

ilmiah tersebut mulai mengalami kegagalan dan tidak sanggup lagi mempertahankan

klaim-klaim teoritisnya, maka akan terjadi sebuah krisis ilmiah. Krisis inilah yang

1
Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis; Feminisme dan Perlawanan
terhadap Teori Sosial Maskulin., Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2004, hal.77
2
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000, hal.49

84
http://prys3107.blogspot.com 85
prys.3107@gmail.com

menurut Kuhn dapat diatasi bukan dengan jalan memperbaiki paradigma yang sudah

ada, melainkan menggantikannya dengan sebuah paradigma yang baru:

Untuk selanjutnya paradigma tersebut dipercaya dengan janji-janji ilmiahnya,


dan mulai berfungsi membimbing praktik-praktik ilmu yang baru hingga akhirnya
menemui masa krisisnya sendiri. Siklus pergantian antar paradigma yang berjalan
terus menerus serta bersifat bersifat terputus-putus itulah yang disebut Kuhn
sebagai revolusi ilmiah.3

Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa kekuatan dasar yang

mampu mempertahankan eksistensi sebuah ilmu pengetahuan adalah paradigma.

Paradigma memberikan sistematisasi dan sekaligus konstruksi cara pandang untuk

menangkap objek realitas kebenaran yang ada pada seluruh bagian ilmu pengetahuan.

Paradigma tidaklah bersifat tunggal, universal, dan abadi, melainkan majemuk,

temporer, dan berganti-ganti dalam masa tertentu.

Paradigma yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis.

yang bersumber dari Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Paradigma kritis sendiri

merupakan paradigma baru yang lahir setelah paradigma positivisme dalam ilmu

pengetahuan mengalami krisis ilmiah.

Teori Kritis lahir sebagai kelanjutan dari kultur perkembangan pemikiran-

pemikiran kritis sejak Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx, dan psikoanalisa Sigmund

Feud. Dari keempat pemikiran kritis para filsuf besar inilah, pemikir-pemikir

kelompok Sekolah Frankfurt di Jerman (yang kemudian dikenal sebagai Mazhab

3
Rachmad Hidayat, Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com 86
prys.3107@gmail.com

Frankfurt) melahirkan Teori Kritis sebagai ‘kritik ideologi’ terhadap ilmu

pengetahuan.

Martin Jay mengatakan bahwa, “Teori Kritis menolak memberhalakan

pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari tindakan. Selain

itu, ia mengakui bahwa penelitian ilmiah yang nir-kepentingan tidak mungkin

dilakukan dalam suatu masyarakat di mana anggotanya belum otonom.”4

Penulis memahami bahwa pada dasarnya peneliti sebagai individu merupakan

bagian dari masyarakat itu sendiri. Karena individu tidak mungkin terlepas dari

lingkungan sosial masyarakatnya, maka individu tersebut tidak mungkin terbebas dari

kepentingan atau pengaruh sosialnya. Maka, jelas artinya bahwa pengetahuan tidak

bisa terlepas dari kepentingan atau ideologi tertentu.

Adalah Max Horkheimer, generasi pertama Mazhab Frankfurt, yang

merumuskan empat karakter dialektis Teori Kritis, yakni:

Pertama, Teori Kritis bersifat historis, artinya Teori Kritis dikembangkan


berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Kedua,
karena Teori Kritis dibangun atas kesadaran penuh dan keterlibatan penuh para
pemikirnya, maka Teori Kritis juga kritis pada dirinya sendiri dengan demikian
membuka dari segala kritik, evaluasi dan refleksi terhadap dirinya. Ketiga, Teori
Kritis selalu mempunyai kecurigaan penuh terhadap masyarakat aktual, karena
secara mendasar ia selalu akan mempertanyakan segala kenyataan yang ada di
balik kedok-kedok ideologis. Keempat, Teori Kritis dibangun untuk mendorong
terjadinya transformasi masyarakat dengan jalan praksis.5

4
Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam
Perkembangan Teori Kritis, Kreasi Wacana, 2005, h.115
5
St. Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi, Resist Book,
Yogyakarta, Mei, 2006, hal.163-164
http://prys3107.blogspot.com 87
prys.3107@gmail.com

Di sisi lain, kelahiran Teori Kritis sebagai salah paradigma ilmu juga banyak

dipengaruhi situasi sosial politik di Jerman saat itu. Hal ini diungkapkan Tri Guntur

Narwaya:

Kemunculan Teori Kritis sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik pada
waktu itu, yaitu ketika rezim Stalinisme dan Nazisme Jerman dianggap
menghancurkan peradaban kemanusiaan.. para pemikir Frankfurt berusaha untuk
melakukan upaya pembongkaran terhadap totalitarisme dan selubung-selubung
ideologis yang dibangunnya.6

Hal ini berarti, tugas utama Teori Kritis merupakan upaya untuk menelanjangi

usaha-usaha dominasi total, sekaligus membongkar praktik ideologi yang dilakukan

oleh rezim dominan tersebut. Realitas sosial-politik di Jerman saat Teori Kritis

berkembang, tengah dalam kondisi masyarakat yang dipenuhi propaganda Hilter

lewat media. Media menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik. Paradigma

kritis kemudian memandang media bukan lagi sebagai entitas yang netral, tetapi bisa

dikuasai oleh kelompok dominan.

Dalam konteks penelitian tentang media massa, Ibnu Hamad menguraikan

bahwa paradigma kritis adalah salah satu dari banyak paradigma penelitian:

Paradigma kritikal melihat realitas yang teramati (vitual realiy), dalam hal ini
realitas media, adalah realitas ‘semu’ yang terbentuk oleh proses sejarah dan
kekuatan-kekuatan sosial budaya dan ekonomi politik. Dengan demikian… yang
menjadi objek dalam riset ini, adalah realitas yang teramati sebagai konstruksi
para pembuatnya (wartawan) yang dipengaruhi oleh faktor sejarah media di
mana para wartawan bekerja dan oleh kekuatan-kekuatan lain itu.7

6
Ibid., hal.165
7
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa; Sebuah
Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Penerbit Granit,
Jakarta, 2004, hal.38
http://prys3107.blogspot.com 88
prys.3107@gmail.com

Dari penjelasan di atas penulis memahami bahwa secara ontologis, paradigma

kritis memandang objek realitas yang diamati dalam penelitian adalah realitas semu

yang terbentuk oleh faktor sejarah kekuatan-kekuatan lain yang mengelilingi media

tersebut.

Hamad kemudian menjelaskan bahwa pada tataran epistemologis, “paradigma

kritik melihat hubungan antara peneliti dan realitas yang diteliti selalu dijembatani

oleh nilai-nilai tertentu (transactionalist/ subjectivist).”8

Penulis memahami bahwa posisi peneliti dalam paradigma ini tidaklah

terlepas dari kepentingan atau pengaruh sosial. Sebab pada dasarnya peneliti sebagai

individu merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri dan paradigma kritis

berasumsi bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari

tindakan.

Kemudian pada level metodologi, Hamad mengusulkan penggunaan multi

level methods yang mengacu pada model Norman Fairclough:

Seraya menempatkan diri sebagai aktivis/ partisipan dalam proses


transformasi sosial, penulis melakukan analisis secara komprehensif, kontekstual,
dan dalam berbagai tingkatan (mulati-level analysis) . . . yang mengacu pada
pemikiran Fairclough guna memenuhi tuntutan methodologis paradigma kritis itu.
Teknik penelitian seperti ini dilakukan tiada lain agar dapat diperoleh pemahaman
secara empatif (empathic understanding atau verstehen) dalam menemukan
makna di balik teks atau tanda dengan memperhatikan konteks dalam berbagai
tingkatannya.9

8
Ibid., hal.43
9
Ibid., hal.44
http://prys3107.blogspot.com 89
prys.3107@gmail.com

Sejalan dengan paradigma kritis yang lahir dari keterbatasan paradigma

positivisme, maka pendekatan metodologi yang tepat dalam menjalankan penelitian

ini adalah pendekatan metodologi kualitatif. Emy Susanti Hendrarso menjelaskan

sebagai berikut:

Penelitian kualitatif yang berakar dari ‘paradigma interpretatif’ pada awalnya


muncul dari ketidakpuasan atau reaksi terhadap ‘paradigma positivist’ yang
menjadi akar penelitian kuantitatif. Ada beberapa kritik yang dilontarkan terhadap
pendekatan positivist, di antaranya adalah pendekatan kuantitatif mengambil
model penelitian ilmu alam untuk penelitian sosial sehingga tidak dapat
digunakan untuk memahami kehidupan sosial sepenuhnya.10

Hendrarso kemudian melanjutkan bahwa penelitian kualitatif dapat diterapkan

apabila, “topik penelitiannya merupakan hal yang sifatnya kompleks, sensitif, sulit

diukur dengan angka, dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses

sosial.”11

Mengenai pendekatan kualitatif, Lexy J. Moleong dengan mengutip Bogdan

dan Taylor, menjelaskan bahwa penelitian metodologi kualitatif sebagai “prosedur

penelitian yang menghasikan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. . . pendekatan ini diarahkan pada latar

dan individu tersebut secara holistik (utuh).12

10
Emy Susanti Hendrarso, “Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar”,
dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, hal.166
11
Ibid., hal.170
12
Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal.3
http://prys3107.blogspot.com 90
prys.3107@gmail.com

Dari keterangan di atas, penulis pahami bahwa penggunaan pendekatan

kualitatif lahir karena keterbatasan pendekatan kuantitatif dan paradigma positivisme.

Karenanya penulis mendapati kesesuaian dalam menggunakan pendekatan kualitatif

dengan paradigma kritis sebagai landasan metodologis penelitian ini.

Dari keterangan tersebut penulis juga memahami bahwa penggunaan

pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan topik Jurnalisme Sastra yang

sifatnya kompleks, sulit diukur dengan angka, dan berhubungan erat dengan interaksi

sosial dan proses sosial. Karenanya, penelitian yang penulis jalankan di sini tidak

semata menghasilkan data yang dapat diukur berupa angka, namun akan menghasikan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat

diamati.

Penggunaan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini

membuat hubungan penulis sebagai peneliti dengan objek penelitian adalah hubungan

yang interaktif, dan sarat penilaian. Interpretasi penulis sebagai peneliti terhadap

objek penelitian tak bisa dilepaskan dari latar subjektif sosio-kultur penulis.

Mengenai subjektifitas dalam interpretasi ini, Agus Sudibyo mengungkapkan,

”mesti disadari bahwa proses pemaknaan itu tak bisa dilepaskan dari unsur

subyektivitas sang pemberi makna. Namun tak perlu khawatir, sebab teori-teori jenis

ini memang mengizinkan seorang peneliti melakukan interpretasi atas teks secara

subyektif akibat pengaruh pengalaman hidupnya.”13

13
Agus Sudibyo, Ibnu Hamad dan Muhamad Qadari, Kabar-Kabar
Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001, h.18
http://prys3107.blogspot.com 91
prys.3107@gmail.com

Hal di atas penulis pahami sebagai karakteristik pendekatan kualitatif yang

memungkinkan intepretasi dan subjektivitas peneliti merupakan syarat dalam

menggunakan metode analisis wacana kritis. Kemudian dalam kaitannya dengan

metode penelitian yang akan penulis gunakan, Alex Sobur mengemukakan

karakteristik pendekatan kualitatif dalam metode analisis wacana kritis sebagai

berikut:

Pertama, analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks ketimbang


jumlah unit kategori seperti dalam analisis isi. Kedua, analisis wacana berpretensi
memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Ketiga, analisis wacana bukan
sekedar bergerak dalam level makro (isi dari satu teks), tetapi juga pada level
mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris.
Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi.14

Dari keterangan di atas, penulis memahami bahwa pada dasarnya setiap teks

dapat dimaknai secara berbeda dan ditafsirkan secara beragam. Karenanya, metode

Analisis Wacana Kritis tidak berpretensi melakukan generalisasi, namun lebih

menekankan pada pemaknaan pesan laten dalam teks sesuai kemampuan interpretasi

peneliti. Dari hal tersebutlah kualitas penelitian dapat dinilai.

B. Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan disini adalah metode Analisis Wacana Kritis

yang dimaksudkan dapat menggali bagaimana mengetahui bagaimana hubungan

antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso, dengan
14
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Semiotik, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001, hal.70-71
http://prys3107.blogspot.com 92
prys.3107@gmail.com

konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai

praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang

melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.

Eriyanto mengungkapkan bahwa secara umum ada tiga tingkatan analisis

dalam analisis wacana kritis:

Pertama, analisis mikro, yakni analisis pada teks semata, yang dipelajari
terutama unsur bahasa yang dipakai. Kedua, analisis makro, yakni analisis
struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat.
................................................ .............
Ketiga, analisis meso, yakni analisis pada diri individu sebagai penghasil atau
pemroduksi teks, termasuk juga analisis pada sisi khalayak sebagai konsumen
teks.15

Ketiga tingkatan ini sejalan dengan tujuan penelitian yang hendak mengetahui

bagaimana hubungan antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang

meso, dengan konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM

Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media.

Eriyanto mengatakan bahwa ketiga level tersebut secara lengkap terdapat pada

model yang diperkenalkan oleh Teun A. van Dijk dan Norman Fairclough yang juga

memokuskan analisis pada level meso produksi teks berita. Ia mengatakan bahwa,

”Pada model van Dijk dan Fairclough bukan semata memasukkan konteks sebagai

variabel penting dalam analisis tetapi juga analisis pada tingkat meso, bagaimana

konteks itu diproduksi dan dikonsumsi.”16

15
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke-
4, LKiS, Yogyakarta, 2005, hal.344-345
16
Ibid., hal.345
http://prys3107.blogspot.com 93
prys.3107@gmail.com

Adapun model yang diperkenalkan oleh Norman Fairclough dalam tiga level:

teks, dicourse practice, dan sociocultural practice. Model ini sesuai dan tepat

digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Karena selain melakukan

analisis pada level teks mikro dan konteks yang makro, analisis juga ditekankan pada

level discouse practice yang merupakan analisis meso pada proses produksi dan

konsumsi teks.

Eriyanto mengatakan bahwa ketiga level dalam model ini memusatkan

perhatian wacana pada bahasa. ”Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada

pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk

merefleksikan sesuatu.”17

Khusus dalam level teks, analisis menekankan pada ”bagaimana teks itu

mencerminkan kekuatan sosial dan politik yang ada dalam masyarakat. Bagaimana

teks mempunyai keterkaitan yang erat dengan praktik sosial politik yang terjadi dan

tercipta dalam masyarakat.”18

Lewat level teks model Fairclough inilah, dimensi politik bahasa dari

pemberitaan media dapat diketahui sebagai praktik media dalam memarjinalkan

kelompok lain secara hegemonik. Adapun kategori analisis teks Fairclough ialah:

Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu.


..................................................................
Kedua, relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara
wartawan dengan pembaca. . . Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu

17
Ibid., hal.286
18
Ibid., hal.345
http://prys3107.blogspot.com 94
prys.3107@gmail.com

dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini
hendak ditampilkan.19

Mengingat bahwa fokus penelitian di sini juga menekankan pada bagaimana

pengadopsian dimensi estetik dan politik bahasa menyusup dalam teks berita, penulis

memandang bahwa ketiga kategori analisis teks yang digagas Fairclough tidak cukup

mampu menggali dimensi estetik dan politik bahasa tersebut. Untuk itu penulis perlu

mengkombinasikan model Fairclough dengan menempatkan kategori analisis teks

yang mampu menggali dimensi estetik sekaligus politik bahasa. Maka pada level

teks, penulis menggunakan metode analisis teks ekletif.

Hamad menjelaskan bahwa metode analisis teks ekletif sebagai ”sebuah

teknik penggabungan konsep-konsep yang relevan ke dalam satu pendekatan

metode.”20

Hamad kemudian menyebutkan dua alasan yang menjadi dasar penggunaan

analisis wacana ekletif pada level teks sebuah penelitian:

Dua alasan dipakainya metode ekletif ini, pertama, metode analisis wacana
banyak ragamnya dan tampaknya dibangun berdasarkan keperluan si pembuat
untuk menjelaskan masalah penelitiannya.
..................................................................
Kedua, dipakainya analisis wacana ekletif, didasarkan pada kepatutan sebuah
metode. Bahwasanya, pemakaian sebuah metode penelitian haruslah disesuaikan
dengan permasalahannya.21

19
Ibid., hal.287
20
Ibnu Hamad., Op.Cit., hal.48
21
Ibid., hal.48-50
http://prys3107.blogspot.com 95
prys.3107@gmail.com

Pendapat ini juga diperkuat oleh keterangan Eriyanto yang mengatakan bahwa

setiap model dalam metode analisis wacana kritis memiliki karakteristiknya masing-

masing, serta ”ada kemungkinan dua bentuk metode tersebut diintegrasikan agar

memperoleh hasil yang maksimal.”22

Meski begitu, upaya penggabungan konsep-konsep yang relevan ke dalam

metode teks ekletif pada penelitian ini, akan penulis lakukan dengan tetap mengacu

pada prinsip teks ekletif yang disyaratkan Hamad, yakni ”. . . secara prinsipil, setiap

teks (berita) adalah hasil konstruksi realitas yang mencakup minimal tiga aspek:

perlakuan atas peristiwa . . . , strategi pengemasan, dan penggunaan simbol, maka

analisis wacana untuk penelitian ini dibangun atas dasar konsep-konsep tersebut.”23

Mengacu pada keterangan Hamad dan Eriyanto di atas, penulis menggunakan

metode analisis teks ekletif mencakup tiga aspek yang relevan dengan tujuan

penelitian, demi mendapatkan hasil penelitian yang maksimal, dan berlandaskan pada

kerangka teori penelitian ini, yaitu estetik dan politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM

Tempo.

Aspek pertama teks ekletif, yakni perlakuan atas peristiwa atau lebih dikenal

dengan agenda setting. Perangkat analisisnya adalah tema yang diangkat dan

penempatan berita. Ibnu Hamad sendiri memandang analisis terhadap aspek ini perlu

dilakukan sebab ”dalam analisis wacana yang telah ada aspek ini sering diabaikan.”24

22
Eriyanto, Op.Cit., hal.337
23
Ibnu Hamad, Op.Cit., hal.50
24
Ibid., hal.49
http://prys3107.blogspot.com 96
prys.3107@gmail.com

Aspek kedua teks ekletif, yakni strategi pengemasan. Penulis memandang

bahwa dalam aspek inilah analisis terhadap estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM

Tempo dapat dimungkinkan. Maka dalam hal ini, penulis mengacu pada prinsip-

prinsip Jurnalisme Sastra yang berkembang di Amerika Serikat seperti yang telah

penulis uraikan pada Bab II.

Hal ini dilakukan bukan untuk membuktikan secara kuantitatif apakah

Jurnalisme Sastra yang diterapkan MBM Tempo sesuai atau tidak dengan kategori

dan memenuhi prinsip-prinsip yang ada sebuah karya Jurnalisme Sastra. Namun hal

ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip Jurnalisme Sastra yang

berkembang di Amerika tersebut diterapkan dan dikembangkan oleh para awak

redaksi MBM Tempo.

Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, dimensi estetika bahasa

dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip

penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail dalam

teks. Keempatnya adalah perangkat analisis dalam aspek strategi pengemasan.

Kemudian aspek ketiga, yakni penggunaan simbol. Penulis memandang

bahwa dalam aspek inilah analisis terhadap politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM

Tempo dapat dimungkinkan. Maka dimensi politik bahasa dalam teks berita

Jurnalisme Sastra MBM Tempo, analisis teks akan ditujukan pada penggunaan

simbol dan gaya bahasa sastra yang puitis. Hal ini juga mengacu pada salah satu

prinsip Jurnalisme Sastra yaitu prinsip simbolisme.


http://prys3107.blogspot.com 97
prys.3107@gmail.com

Untuk menjabarkan bagaimana prinsip simbolisme ini berlaku sebagai

perangkat analisis teks, penulis mengacu pada gagasan William A. Gamson tentang

konsep metafora dan depictions sebagai perangkat analisis teks media:

Metaphors dipahami sebagai cara memindahkan makna dengan merelasikan


dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata
seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana.
..................................................................
Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif
agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus
diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan,
serta efektif sebagai bentuk aksi politik.25

Konsep tersebut juga diperkuat Eriyanto yang menyatakan, ”pemakaian

metafora tertentu bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.

Metafora itu menjadi landasan berpikir, alasan pembenar, atau bahkan bahan yang

ditekankan kepada publik.”26

M. Atar Semi mendefinisikan metafora sebagai “kiasan persamaan yang

menjadi dasar pembentukannya adalah adanya persamaan sifat, keadaan, atau

perbuatan antara dua benda.”27

Secara rinci Semi membagi metafora dalam beberapa jenis berikut ini:

a) Alegori, yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang
ada pada benda itu dikiaskan.
b) Personifikasi, yaitu mengungkapkan atau mengutarakan sesuatu benda dengan
membandingkannya dengan tingkah dan kebiasaan manusia.

25
Alex Sobur, Op.Cit., hal.179-180
26
Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media,
LKiS, Yagyakarta, 2005, hal.226
27
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, Angkasa Raya, Padang, tt, hal.51
http://prys3107.blogspot.com 98
prys.3107@gmail.com

c) Hiperbola, yaitu suatu perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan


atau dibesar-besarkan.
d) Litoles, yaitu menyebutkan sesuatu dengan mengurangi kenyataan yang ada
dengan maksud merendahkan diri untuk menghormati lawan bicara.
e) Eufimisme, yaitu kiasan kesopanan untuk menghaluskan rasa bahasa yang
dirasakan kasar, tak sopan atau tak sedap didengar, atau mungkin dapat
menyinggung perasaan pendengar.28

Sebagai perangkat analisis teks media, Eriyanto menjelaskan bahwa Gamson

sendiri mencontohkan popular wisdom, peribahasa, dan analogi sebagai bentuk

metafora.

Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari,


peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan
yang diambil dari ayat-ayat suci. Gamson menyebut hal ini sebagai popular
wisdom.
................................................................
atau dengan menyajikan peribahasa.
...............................................................
juga dimunculkan dalam bentuk analogi.29

Penulis memahami bahwa Eriyanto menyebutkan metafora sebagai perangkat

analisis teks di sini memiliki bentuk popular wisdom, peribahasa, dan analogi. Maka

dua perangkat analisis teks Gamson tersebutlah (metafora dan depictions) yang

penulis tempatkan pada prinsip simbolisme dalam menganalisis dimensi politik

bahasa. Khusus pada perangkat metafora, analisis akan difokuskan pada bentuk

popular wisdom, peribahasa, dan analogi, serta penjelasan Semi mengenai lima jenis

metafora demi memperkaya analisis.

28
Ibid., disarikan dari hal.50-53
29
Eriyanto, Op.Cit, hal. 226
http://prys3107.blogspot.com 99
prys.3107@gmail.com

Maka demi mencapai hasil analisis yang maksimal, pada level teks penulis

menggunakan metode analisis teks ekletif mengacu pada tiga aspek yang disyaratkan

Ibnu Hamad, dan dikombinasikan dari prinsip Jurnalisme Sastra serta perangkat

analisis teks Gamson untuk mengetahui bagaimana dimensi estetika bahasa dan

politik bahasa dari teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo,

Tiga aspek tersebut adalah sebagai berikut: (1) Aspek perlakuan atas

peristiwa; tema yang diangkat dan penempatan berita. (2) Aspek strategi pengemasan/

estetika bahasa; penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan

detail dalam teks. (3) Aspek penggunaan simbol/ politik bahasa; metafora dan

depictions. Analisis kemudian dilanjutkan pada level dicourse practice, dan

sociocultural practice yang melatari praktik Jurnalisme Sastra tersebut.

C. Bahan Penelitian dan Unit Analisis

Bahan penelitian yang penulis gunakan adalah teks berita MBM Tempo

mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia

Bersatu, yakni terhitung sejak Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada Oktober

2004 hingga awal penelitian ini dilakukan pada April-Mei 2007. Unit analisis yang

penulis gunakan pada level teks adalah keseluruhan isi teks berita (kata, frase,

proposisi, kalimat, dan paragraf) yang dipandang memiliki makna estetik dan politik

bahasa tertentu sebagai hasil dari praktik Jurnalisme Sastra.


http://prys3107.blogspot.com 100
prys.3107@gmail.com

D. Populasi dan Sampel

Suharsimi Arikunto mengungkapkan bahwa populasi “adalah keseluruhan

subjek penelitian.”30

Kemudian menurut Doddy S. Singgih, “populasi merupakan keseluruhan

objke yang diteliti. . ., sedangkan sampel merupakan sebagian dari objek yang

diteliti.”31

Dari keterangan di atas penulis memahami bahwa populasi adalah

keseluruhan objek penelitian, dan sampel adalah wakil dari populasi sebagai objek

yang akan digunakan dalam penelitian.

Moleong mengungkapkan bahwa teknik sampling dalam penelitian kualitatif

ditujukan “untuk merinci kekhususan yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik.

.................................................................

Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel

bertujuan (purposive sample).”32

Dalam memilih sampel sesuai dengan pendekatan kualitatif, Suharsimi

Arikunto mengungkapkan pengambilan sampel yang disebut dengan teknik

pengambilan sampel yang bertujuan (purposive sampling):

30
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, PT
Rineka Cipta, Cetakan Kesembilan, Jakarta, 1993, hal.102
31
Doddy S. Singgih, “Penggunaan Metode Kuantitatif untuk
Mengidentifikasi Tipe Komunitas”, dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed.),
Op.Cit., hal.139
32
Lexy J. Moleong, Op.Cit, h. 165
http://prys3107.blogspot.com 101
prys.3107@gmail.com

Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan


atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.
Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya alasan
keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat menarik sampel yang
besar dan jauh.33

Maka dari keterangan di atas, penulis menggunakan teknik pengambilan

sampel bertujuan sesuai pendekatan kualitatif yang penulis gunakan dalam penelitian

ini. Penarikan sampel bertujuan tersebut juga penulis lakukan berdasarkan relevansi

dengan tujuan dan rumusan masalah dalam penelitian ini.

Adapun populasi sebagai keseluruhan objek penelitian di sini merupakan

semua pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan

pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, yakni pemberitaan MBM Tempo terhitung

sejak Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada Oktober 2004 hingga awal penelitian

ini dilakukan pada April-Mei 2007, seperti yang tercantum dalam tabel sebagai

berikut:

TABEL 1

POPULASI PENELITIAN

No. Judul Edisi


1. Mencari Damai Dalam Dekapan Ibu Edisi 30 Mei-5 Juni 2005
2. Seorang Menteri Dengan Kepala Edisi 30 Mei-5 Juni 2005
Berdenyut
3. Seperti Delman dan Sais Edisi 30 Mei-5 Juni 2005
4. Menunggu Beleid Politik Edisi 30 Mei-5 Juni 2005
Yudhoyono
5. Sejumlah Nama di Buku Hamdani Edisi 30 Mei-5 Juni 2005
6. Menteri Hamid Ambil Dana ‘Batil’ Edisi 5-11 September 2005

33
Suharsini Arikunto, Op.Cit., hal.113
http://prys3107.blogspot.com 102
prys.3107@gmail.com

7. Katebelece Dari Dapur Presiden Edisi 27 Februari-5 Maret 2006


8. Akhirnya Aziz Berpamitan Edisi 27 Februari-5 Maret 2006
9. Tak Henti Diterpa Badai Edisi 27 Februari-5 Maret 2006
10. Tak Sudi Mencopot Sudi Edisi 6-12 Maret 2006
11. Terusik Nyanyian Meneer Daan Edisi 13-19 Maret 2006
12. Lelang Yang Mencurigakan Edisi 13-19 Maret 2006
13. Ada Dusta Dalam Kesaksian Edisi 20-26 Maret 2006
14. Kabar Gembira Dari Istana Edisi 20-26 Maret 2006
15. Meneer Daan Menanti Hamid Edisi 19-25 Juni 2006
16. Dua Meneer, Satu Dusta Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006
17. Perangkap Bagi Sang Menteri Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006
18. Berbalas Ancaman Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006
19. Sidik Jari dan Misteri Tuan FY Edisi 19-25 Februari 2007
20. Memburu Tersangka Baru Edisi 26 Februari-4 Maret 2007
21. Abu-abu Tunjuk Langsung Edisi 26 Februari-4 Maret 2007
22. Rekening Tipis, Proyek Selangit Edisi 26 Februari-4 Maret 2007
23. Dipayungi Istana Dan Senayan Edisi 26 Februari-4 Maret 2007
24. Yusril Tak Hilang Hamid Terbilang Edisi 19-25 Maret 2007
25. Riwayat Pendek Rekening Tebet Edisi 19-25 Maret 2007
26. Memelintir Sampai Guernsey Edisi 19-25 Maret 2007
27. Yang Sakit, Yang Lamban, Bukan Edisi 30 April-6 Mei 2007
Yang Korup
28. Orang-orang Menjelang Reshuffle Edisi 30 April-6 Mei 2007
29. Bukan Hamid, Bukan Yusril Edisi 30 April-6 Mei 2007
30. Karena Politik, Tekanan Publik, dan Edisi 14-20 Mei 2007
Klenik
31. Kalla Meminta, Yudhoyono Edisi 14-20 Mei 2007
Mengunci
32. Mereka Yang Kembali Ke Laptop Edisi 14-20 Mei 2007

Kemudian sampel yang penulis pilih dengan menggunakan teknik purposive

sampling berjumlah lima berita. Jumlah ini penulis tentukan sesuai dengan

pertimbangan waktu, tenaga dan dana, serta dengan asumsi bahwa lima buah sampel

dapat mencukupi kebutuhan analisis agar didapatkan hasil yang maksimal. Jumlah

lima buah sampel di sini ditentukan demi mendapatkan perbandingan dari kelima

berita tersebut.
http://prys3107.blogspot.com 103
prys.3107@gmail.com

Kelima sampel berikut ini ditentukan dari rincian kekhususan konteks

penelitian ini, yakni teks berita Jurnalisme Sastra yang mengandung dimensi estetik

dan politik bahasa MBM Tempo. Berikut ini adalah tabel sampel tersebut:

TABEL 2

SAMPEL PENELITIAN

No. Judul Edisi


1. Mencari Damai Dalam Dekapan Edisi 5 Juni 2005
Ibu (Laporan Utama Dana Gelap
KPU)
2. Terusik Nyanyian Mener Daan Edisi 18 Maret 2006
(Laporan Utama Segel Amplop
Kertas Suara)
3. Memburu Tersangka Baru Edisi 4 Maret 2007
(Laporan Utama Sidik Jari di
Sekitar Yusril)
4. Riwayat Pendek Rekening Tebet Edisi 25 Maret 2007
5. Mereka yang Kembali ke Laptop Edisi 20 Mei 2007

Alasan menarik lima sampel di atas, berangkat dari asumsi bahwa sampel

tersebut yang sesuai dengan kriteria teks berita yang mengandung dimensi estetik dan

politik bahasa. Sampel tersebut juga diambil sesuai dengan relevansinya dengan

tujuan penelitian, yakni mengaitkan bagaimana teks berita yang mikro, produksi dan

konsumsi teks yang meso, dengan konteks sosial yang makro dalam praktik

Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada

pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia

Bersatu.
http://prys3107.blogspot.com 104
prys.3107@gmail.com

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga level wacana,

yaitu level teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pengumpulan data

pada level teks dilakukan dengan analisis teks ekeltif untuk mengetahui bagaimana

dimensi estetik dan politik bahasa dalam teks berita.

Pada level discourse practice, pengumpulan data dilakukan dengan observasi

dan wawancara mendalam dengan pihak media.

Kemudian pada level sosiocultural practice, pengumpulan data dilakukan

dengan studi pustaka dan penelusuran sejarah lewat tulisan, artikel atau buku-buku

mengenai aspek-aspek makro seperti sistem politik, ekonomi, atau sistem budaya

masyarakat secara keseluruhan sebagai konteks di mana MBM Tempo menggunakan

Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa.

F. Metode Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Patton, seperti yang dikutip Moleong adalah

“proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori,

dan satuan uraian dasar.”34

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga level

wacana, yaitu level teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Rinciannya

adalah sebagai berikut:

34
Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal.103
http://prys3107.blogspot.com 105
prys.3107@gmail.com

1. Level Teks

Perlakuan Atas Peristiwa:


a) Tema yang diangkat
b) Penempatan berita

Estetika Bahasa:
a) Adegan; menyajikan scene peristiwa-demi-peristiwa-berita dalam urutan yang
membuat pembaca seakan berada di lokasi ketika kejadian berlangsung.
b) Dialog; materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang direkam,
meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber aslinya. Melalui
percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus
diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Selanjutnya, penafsiran dan
kesimpulan ia serahkan kepada pembaca yang telah menyimak dialog tokoh-
tokoh berita tersebut.
c) Perspektif orang ketiga; dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si
pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang di sekitar
tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa.
d) Penempatan detail; semua hal dicatat secara terperinci, yaitu perilaku, adat
istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, perjalanan wisata, hubungan dengan
teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat
sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain. Hal ini
merepresentasikan dasar pikiran dan perilaku, ekspresi, sampai harapan
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain,
alat ini memberi pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang
kehidupan seseorang, mencatat lambang-lambang sosial.

Politik Bahasa:

a) Simbolisme; tiap paparan fakta, meskipun terlihat remeh atau hanya


menyangkut soal-soal kecil, sebenarnya mengandung gagasan yang sengaja
disusun sedemikian rupa karena terkait dengan hal-hal yang lebih luas dan
pemaknaan yang dalam. Prinsip simbolisme tersebut adalah:
¾ Metaphors; cara memindahkan makna dengan merelasikan dua fakta
melalui kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak,
sebagai, umpama, laksana, serta penggunaan popular wisdom, peribahasa,
dan analogi.
¾ Depictions; penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat
konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian
kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan
pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik
http://prys3107.blogspot.com 106
prys.3107@gmail.com

2. Level Discourse Practice

Pada level ini, analisis akan ditujukan pada produksi teks dan konsumsi teks

dari observasi dan hasil wawancara mendalam dengan pihak media.

Khusus pada produksi teks, analisis akan difokuskan pada sisi individu

wartawan, hubungan dengan struktur organisasi media, dan rutinitas kerja dari proses

produksi berita. Kemudian dalam kaitannya dengan praktik Jurnalisme Sastra,

analisis juga akan dilakukan pada bagaimana peran redaktur atau wartawan senior

dalam penulisan berita serta jangka waktu peliputan.

Pada konsumsi teks, analisis akan dilakukan pada bagaimana faktor pembaca

diperhitungkan pihak redaksi dalam menyusun teks berita.35

3. Level Sociocultural Practice

Pada level ini, penulis akan menganalisis data dari hasil studi pustaka dan

penelusuran sejarah mengenai bagaimana aspek-aspek makro seperti sistem politik,

ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan sebagai konteks di mana

MBM Tempo berpraktik. Terutama pada tiga level analisis sebagai berikut:

a) Situasional, merupakan konteks sosial yang mengungkapkan bagaimana teks


dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas dan unik.
b) Institusional, merupakan konteks sosial yang mengungkapkan bagaiaman
pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana, baik dari dalam diri

35
Fairclough sendiri menyarankan dengan mengamati teks yang dikonsumsi
oleh publik. Tetapi dalam penelitian ini dimodifikasi menjadi pertimbangan redaksi
tentang pembaca. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada analisis level konsumsi
teks dalam penelitian Ibnu Hamad (2004:48)
http://prys3107.blogspot.com 107
prys.3107@gmail.com

media itu sendiri maupun dari kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang
turut menentukan proses produksi berita.
c) Sosial, merupakan konteks sosial yang memperhatikan aspek makro seperti
sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara
keseluruhan. Sistem inilah yang menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa
yang dominan dalam masyarakat sehingga mempengaruhi dan menentukan
karakter media tersebut.

TABEL 3

LEVEL ANALISIS DAN METODE PENELITIAN

No. Level Masalah Level Analisis Metode Penelitian

1. Teks Mikro Teks Ekletif

2. Discourse Meso Observasi dan Wawancara mendalam


Practice
dengan pengelola media (produksi
teks) dan pakar media (konsumsi
teks) dibantu dengan literatur
3. Sociocultural Makro Studi pustaka
Practice
http://prys3107.blogspot.com 
prys.3107@gmail.com 
 

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Subyek Penelitian

A.1. Sejarah Majalah Berita Mingguan Tempo1

Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo merupakan gabungan dari Majalah

Djaja dan majalah Ekspres. Djaja adalah majalah yang berafiliasi pada pemerintah

daerah Jakarta, tempat sebagian besar alumni Star Weekly –majalah yang sempat jadi

majalah terbesar di masa rezim Soekarno– milik Ciputra, pendiri Yayasan Jaya Raya

dan Direktur Utama PT Pembangunan Jaya yang sebagian sahamnya dimiliki

pemerintah daerah Jakarta. Sementara Ekspres adalah majalah yang diterbitkan

Goenawan Mohamad (GM) dan kawan-kawan pada 1969, yang dibiayai B.M. Diah,

pemilik Harian Merdeka.

Namun terbitan Majalah Ekspres tak bertahan lama. Belum genap setahun

terbit, terjadi peristiwa terpecahnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang

memunculkan dualisme kepemimpinan dalam PWI. Penunjukan B.M. Diah sebagai

Ketua PWI oleh Ali Moertopo saat itu dianggap pengekangan terhadap kebebasan

wartawan, karena PWI sendiri sebelumnya telah memilih Rosihan Anwar (Harian

Pedoman) dalam kongres sebagai Ketua PWI.


                                                            
1
Lampiran A, hal. 264 dan Coen Husain Pontoh, Konflik Nan Tak Kunjung
Padam, dalam Andreas Harsono & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi
Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.109-
162 

108
http://prys3107.blogspot.com  109
prys.3107@gmail.com 
 

GM akhirnya dipecat oleh B.M. Diah karena membuat pernyataan yang tidak

mendukung keputusan Moertopo. GM kemudian menyatakan bahwa ia dan kawan-

kawan bertekad membentuk majalah sendiri dengan alasan Pertama, untuk

menampung teman-teman yang sudah solider. Kedua, ingin punya majalah di mana

modal dari luar itu tidak mendikte. Ketiga, untuk mengembangkan kebebasan yang

dicita-citakan dan mengusahakan supaya sensor jangan terlalu ketat.

Tekad itu terlaksana ketika suatu hari di tahun 1970 Ciputra mengundang GM

dan kawan-kawan untuk membicarakan sebuah terbitan majalah baru, dengan

menggabungkan Djaja dan Ekspres. Dengan itu lahirlah Tempo. Majalah berformat

berita mingguan ini dimodali Yayasan Jaya Raya sebesar dua puluh juta rupiah.

Sejak itulah di sebuah gedung bertingkat dua yang sederhana di Jl Senen Raya

83, Jakarta Pusat, salah satu tonggak sejarah jurnalistik Indonesia ditancapkan. Edisi

perdana MBM Tempo terbit pada 6 Maret 1971 yang menurunkan laporan perjuangan

tim bulu tangkis puteri Indonesia di sebuah kejuaraan.

Waktu terus bergulir, perlahan namun pasti MBM Tempo terus meningkatkan

kualitas liputannya sejalan dengan meningkatnya tiras dan peredarannya. Dengan

caranya sendiri, pengelola MBM Tempo bersiasat dan berkelit dalam melewati

restriksi-restriksi dari pemerintah maupun lembaga militer yang pada masa itu

menjadi pengawas jalannya sebuah produk jurnalistik. Godam pembreidelan dan

peringatan maupun teguran ketidaksukaan dari penguasa adalah hal yang lumrah saat

itu.
http://prys3107.blogspot.com  110
prys.3107@gmail.com 
 

Namun demikian, pada Maret 1982, godam itu datang juga. MBM Tempo

pada Edisi 13 Maret 1982 memberitakan indikasi kecurangan Pemilu tahun 1981 dan

kerusuhan di sebuah acara kampanye Partai Golongan Karya (Golkar). MBM Tempo

kemudian dianggap telah menyebarkan kebencian kepada pendukung partai penguasa

itu (Golkar). Pemerintah yang pada saat itu di bawah kekuasaan Soeharto akhirnya

mengeluarkan keputusan untuk menghentikan penerbitan Tempo untuk sementara.

Tempo akhirnya terbit lagi hingga godam kembali datang pada 1994.

Godam kedua datang sehubungan pemuatan laporan pembelian kapal perang

bekas Jerman Timur oleh Menristek B.J. Habibie dengan judul ‘Habibie dan Kapal

Itu’ pada edisi 11 Juni 1994. Hal ini ternyata membuat para petinggi republik menjadi

panas hati. Akhirnya pada 21 Juni 1994, sebuah keputusan diambil oleh Menteri

Penerangan RI Harmoko untuk mencabut izin tiga penerbitan yakni MBM Tempo,

Editor, dan DeTIK.

Gelombang protes dan demontrasi pecah menyambut keputusan pemerintah

tersebut. Ratusan karyawan MBM Tempo kehilangan pekerjaan dan para pendukung

kebebasan pers ada yang turut menjadi korban. Namun keberanian untuk menentang

pembreidelan, ketidakadilan dan pemerintah yang sewenang-wenang semakin

tumbuh.

Sembari karyawan dan wartawan MBM Tempo serta simpatisannya

menentang pembreidelan ke pengadilan Tata Usaha Negara, sejumlah awak MBM

Tempo yang lain meneruskan kerja jurnalistiknya di dunia cyber. Maka pada tahun
http://prys3107.blogspot.com  111
prys.3107@gmail.com 
 

1996, situs (laman) berita online MBM Tempo muncul untuk pertama kalinya dengan

alamat laman www.tempointeraktif.com

Ketika Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, MBM Tempo kembali

terbit pada 6 Oktober 1998 oleh PT Arsa Raya Perdana. Melalui edisi pertama setelah

4 tahun tidak terbit, MBM Tempo menduduki posisi teratas untuk majalah berita

mingguan yang terbit di Indonesia. Meskipun keadaan pasar berubah secara

signifikan sejak tahun 1994, MBM Tempo tetap melanjutkan tradisi jurnalistiknya

yang telah mapan sambil menawarkan inovasi-inovasi di bidang jurnalistik.

Pada 29 September 200, MBM Tempo mengalami perubahan nama perseroan

dari PT Arsa Raya Perdana menjadi PT TEMPO INTI MEDIA Tbk. Sejak saat itulah

PT TEMPO INTI MEDIA Tbk menjadi perusahaan media dan penerbitan yang

mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta, dan untuk pertama kalinya masyarakat

bisa turut berpartisipasi dalam mendukung permodalan perusahaan media massa

lewat pasar modal.

Hingga kini MBM Tempo memiliki sejumlah catatan prestasi sebagai berikut:

1971 Edisi perdana MBM Tempo terjual 20.000 eksemplar

1988 Tiras penjualan mencapai 166.000 eksemplar

1991 Menjadi satu-satunya media dari Indonesia yang meliput Perang Teluk dari

Baghdad, Irak

1993 Tiras penjualan mencapai 200.000 eksemplar

1996 Wartawan MBM Tempo Ahmad Taufik menerima anugerah 5 Tasrieb Award

1997 Wartawati MBM Tempo Bina Bektiati menerima penghargaan US Woman


http://prys3107.blogspot.com  112
prys.3107@gmail.com 
 

Journalist Award

1998 Tiras penjualan edisi pertama pasca breidel mencapai 150.000 eksemplar

1998 Goenawan Mohamad menerima CPJ Award

2002 Menjadi majalah yang paling banyak pembacanya dari survey AC Nielsen

2000 Menjadi media pertama yang mengungkap sengketa Buloggate, sedangkan

media lain hanya mengutip MBM Tempo

2003 Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan dari Aliansi Jurnalistik

Indonesia (AJI) untuk tulisannya mengenai Investigasi Buloggate II

2003 Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan M. Hatta Award atas

kinerjanya memberantas korupsi

A.2. Visi dan Misi PT TEMPO INTI MEDIA Tbk

Visi:

• Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir

dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang

menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat

Misi:

• Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang

menampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda

• Sebuah produk multimedia yang mandiri, bebas dari tekanan kekuasaan

modal dan politik


http://prys3107.blogspot.com  113
prys.3107@gmail.com 
 

• Terus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan tampilan

visual yang baik

• Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik

• Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam sesuai

kemajuan zaman

• Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor

• Menjadi lahan subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya khazanah

artistik dan intelektual

A.3. Susunan Redaksional Organisasi MBM Tempo

Pemimpin Redaksi : Toriq Hadad

Redaktur Eksekutif : Wahyu Muryadi

Wakil Redaktur Eksekutif : Hermien Y. Kleden

Redaktur Senior : Edi Rustiadi M, Fikri Jufri, Goenawan Mohamad,

Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus

Redaktur Utama : Arif Zulkifli, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro,

Karaniya Dharmasaputra, Metta Dharmasaputra,

M. Taufiqurohman

Redaktur : Agung Ruliyanto, Akmal Nasery Basral,

Bina Bektiati, Budi Setyarso, Dwi Wiyana,

Heri Susanto, Herry Gunawan, Nezar Patria,


http://prys3107.blogspot.com  114
prys.3107@gmail.com 
 

Nogroho Dewanto, Nurlis E. Meuko, Purwani Diyah

Prabandari, Seno Joko Suyono, Wenseslaut Manggut,

Yosep Suprayogi, Yos Rizal Suriaji

Sidang Redaksi : Abdul Manan, Adek Media, Ahmad Taufik,

Andari Karina A, Arif A. Kuswardono,

Cahyo Djunaedy, Kurniarsih Suditomo, Maria Rita Ida

Hasugian, Philipus Parera, Untung Widyanto,

Wahyu Dhyatmika, Widiarsi Agustina,

Yandhrie Arvian

Desain Visual : Gilang Rahadian, Anita Lawudjaja, Danendro Adi,

Fitra Moerat R., Kendra H. Paramita

Tata Letak : Agus Darmawan Setiadi, Aji Yulioarto,

Tri Watno Widodo

Redaktur Bahasa : Kurnia J.R., Sapto Nugroho, Uu Suhardi


http://prys3107.blogspot.com  115
prys.3107@gmail.com 
 

A.4. Bagan Struktur Organisasi Redaksi MBM Tempo


http://prys3107.blogspot.com  116
prys.3107@gmail.com 
 

A.5. Alur Berita MBM Tempo

Rapat
Kompartemen
Alur Berita Di Majalah Tempo
(Redaktur
Pelaksana)
Peliputan :
Penulisan Penulisan
Reporter - Reportase,
Laporan Berita
/SR/TNR - Wawancara (Reporter)
- Riset (Penulis/SR)

Penu- News
Rapat Desk
Perencanaan gasan
(Jabrik Distri-
(PemRed / RE) busi
/SR)

Rapat Checking Rencana


(PemRed/RE) Foto Redaktur Periset Fotografer
Foto Foto (TNR)

Disetujui
oleh
Red. Pel.

RE/Red Editing
Desain Redaktur
Kreatif (RedPel/
Visual Bahasa
(Artistik) Red.Sen)

Ke TEMPRINT
Pem. Red. (menggunakan CD)
 
http://prys3107.blogspot.com  117
prys.3107@gmail.com 
 

B. Hasil Penelitian

B.1. Analisis Teks Ekletif*

Sampel 1

Judul : Mencari Damai dalam Dekapan Ibu (Laporan Utama Dana Gelap KPU)

Edisi : 5 Juni 2005

Penulis : Setiyardi, Irmawati (Parepare)

Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)

¾ Tema yang diangkat

Tema yang diangkat pada sampel ini lebih menyoalkan seputar pribadi

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Kabinet Indonesia Bersatu Hamid

Awaludin. Sisi pribadi Hamid diungkapkan Tempo lewat penelusuran asal-usul

keluarga (par 1 s/d 5), kiprah berkarier dan prestasi (par 6 s/d 8), serta kedekatannya

dengan pejabat tinggi yang membawa Hamid pada jabatan menteri di Kabinet

Indonesia Bersatu (par 7 s/d 12). Namun kesemuanya ini secara luwes dikaitkan

Tempo dengan peristiwa pemanggilan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terhadap

Hamid yang diduga memiliki keterlibatan pada kasus korupsi yang terjadi di Komisi

Pemilihan Umum 2004. Maka dalam sampel ini penulis menemukan adanya upaya

Tempo yang hendak menelusuri dugaan keterlibatan Hamid pada kasus korupsi KPU,

                                                            
*
Dalam analisis teks di sini, seluruh penggunaan kata paragraf dan kalimat akan
dipersingkat menjadi par (paragraf) dan kal (kalimat) yang menunjukkan sumber
kutipan dari masing-masing sampel. Hal ini penulis lakukan demi efisiensi kata dan
menghemat ruang halaman. 
http://prys3107.blogspot.com  118
prys.3107@gmail.com 
 

dengan cara menampilkan unsur human interest yang digali dari apa dan bagaimana

sisi pribadi Hamid.

Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan

multi liputan, yakni peristiwa Hamid pulang kampung (par 1 s/d 5), komentar tokoh

yang dekat dengan Hamid (Mubha Kahar Muang di par 8, Jusuf Kalla di par 13, dan

Hajah Rapiah di par 14), serta didukung oleh penelusuran referensi profil karier dan

prestasi Hamid (par 6 s/d 11). Multi liputan tersebut menunjukkan liputan dilakukan

dengan terencana pada waktu yang berbeda.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa lewat teks berita ini, Tempo

mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai

pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks

berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang

berbeda.

¾ Penempatan berita

Pada edisi 5 Juni 2005, Tempo mengusung liputan utama ‘Dana Gelap KPU’

dengan sampul depan ilustrasi wajah Hamid Awaludin dan diberi judul ‘Menteri

Tersandung Hukum’. Judul ini menjadi judul dari rubrik opini atau editorial Tempo

di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Dana Gelap KPU tersebut berjumlah

lima tulisan berita dan satu tulisan wawancara yang terbentang dari halaman 26 s/d

39. Tulisan pertama adalah liputan inti yang tergolong hard news, tulisan kedua

adalah wawancara Tempo dengan Hamid.


http://prys3107.blogspot.com  119
prys.3107@gmail.com 
 

Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan

ketiga yang menempati dua halaman, diberi bingkai hitam memanjang pada halaman

bagian atas dengan judul rubrik ‘Liputan Utama Dana Gelap KPU’. Sampel ini juga

dilengkapi dengan satu foto Hamid tengah berada di ruang kerja KPU, dan satu foto

setengah halaman yang menunjukkan Hamid bersidekap dan berdiri di belakang

boneka harimau dengan latar belakang sebuah ruangan pribadi. Jika dibandingkan

tulisan pertama dan tulisan kedua yang bernuansa serius, pada sampel ini pemberitaan

tentang Hamid justru disajikan dengan nuansa human interest sebagai cantelan dari

peristiwa inti, atau dapat disebut news feature.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini

sebagai sisi lain dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak,

dengan penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang menonjolkan sisi

pribadi Hamid.

Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)

Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Tempo

mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai

pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks

berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang

berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai sisi lain dari peristiwa utama

yang juga penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan

yang strategis dan tata letak yang menonjolkan sisi pribadi Hamid.
http://prys3107.blogspot.com  120
prys.3107@gmail.com 
 

Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam

sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa unsur human interest dari

pribadi Hamid juga penting dan patut diketahui khalayak sebagai sisi lain dari

peristiwa utama kasus korupsi KPU ini. Cara Tempo menonjolkan sisi pribadi Hamid

tentu semakin memperkuat dugaan adanya keterlibatan diri Hamid dalam kasus

korupsi KPU. Penulis juga menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting)

liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita

ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.

Estetika Bahasa (Pembuktian)

¾ Penyusunan adegan

Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal teks,

tengah, dan akhir teks. Pada bagian awal teks, ada dua penyusunan adegan sebagai

rekaman peristiwa perjalanan atau kepulangan Hamid Awaludin menuju kampung

halamannya di Makassar, Sulawesi Selatan.

Pertama, adalah penyusunan adegan saat kepulangan Hamid saat menemui

ibu kandungnya, Hajah Maryam di Parepare, 160 kilometer arah utara Makassar.

Yang menjadi latar adegan adalah sebuah rumah panggung kayu di Jalan Andi

Makkasau, tempat di mana Hamid berjumpa ibunya pada dua pekan sebelum teks ini

terbit. Dalam latar tempat dan waktu inilah, adegan disusun dengan menampilkan

Hamid yang tengah bercerita selama 10 menit kepada ibunya mengenai persoalan

yang tengah membelitnya. Tempo kemudian menuliskannya demikian (par 1, kal 5):
http://prys3107.blogspot.com  121
prys.3107@gmail.com 
 

Sang ibu, 70 tahun, mengusap kepala anaknya. “Kudoakan engkau baik-baik,


Nak,” katanya.

Adegan perjumpaan Hamid dan ibunya lewat rekaman suasana-demi-suasana,

membuat peristiwa tersebut seakan-akan hidup dan pembaca seakan-akan tengah

menyaksikannya juga. Adegan lewat deskripsi ‘mengusap kepala anaknya’ dan

penggunaan kutipan langsung juga membuat peristiwa tersebut disusun tak hanya

informatif, namun sekaligus juga dramatis. Adegan ini diposisikan secara menonjol

sebagai pembuka atau news peg dari teks berita.

Kedua, adalah penyusunan adegan pada awal teks yakni ketika Hamid

melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi makam ayahnya Haji Awaludin di

Kabupaten Pinrang. Simak kutipan berikut (par 2, kal 3 dan 4):

Di pusara itu, ia berdoa dengan takzim. Hamid, yang sejak kecil fasih
membaca kitab suci Al-Quran, lamat-lamat melantunkan doa arwah.

Adegan ini serupa dengan yang ditampilkan Tempo pada par 1, yakni

merekam suasana-demi-suasana yang seakan-akan membuat peristiwa tersebut hidup

dan pembaca tengah menyaksikannya juga.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa dua penyusunan adegan di awal

teks tersebut ditampilkan dengan merekam suasana-demi-suasana dengan informatif

sekaligus dramatis, sehingga seakan-akan peristiwa tersebut hidup dan pembaca

seakan-akan tengah menyaksikannya juga.

Kemudian pada bagian tengah teks, adegan ditampilkan lewat penyusunan

kembali masa lalu Hamid mulai dari masa kecil di kampung (par 5), perjalanan karier
http://prys3107.blogspot.com  122
prys.3107@gmail.com 
 

dan prestasi (par 6 s/d 9), saat terpilih menjadi anggota KPU pada tahun 2002 (par

10), hingga kemudian ia dipercaya menjabat sebagai menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia dalam Kabinet Indonesia Bersatu (par 11 s/d 13). Dari sudut pandang

estetika bahasa, penggunaan teknik kilas balik ini merupakan cerita dalam cerita yang

dalam kaidah sastra lazim disebut bingkai cerita (frame story).

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa pada bagian tengah teks, Tempo

menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu

perjalanan hidup Hamid sebagai unsur penyusun adegan.

Pada akhir teks, adegan kemudian kembali ke masa kini di mana Hamid

terjerat kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai penutup

laporan utama ini, Tempo menyusun adegan akhir dari teks tersebut lewat pernyataan

Hajah Rapiah selaku bibi sekaligus guru SD Hamid yang meragukan bahwa Hamid

melakukan korupsi. Hal ini kemudian yang membuat berita ini ditutup dengan

meninggalkan pertanyaan lanjutan. Simak kutipan dari par 15, kal 2 dan 3 berikut:

. . . apakah kunjungan Menteri Hamid Awaludin ke Parepare itu akan


berulang. Atau itu menjadi sowan Pak Menteri yang terakhir.

Pada penyusunan adegan terakhir inilah, Tempo menawarkan dua pilihan

penyelesaian seperti yang tertuang dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dari sudut

pandang estetika bahasa, hal ini merupakan teks yang terbuka, yakni menunda

kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.

Pembuktian tersebut menunjukkan penyusunan adegan yang dilakukan

Tempo pada akhir teks dilakukan dengan teknik teks terbuka yang menunda
http://prys3107.blogspot.com  123
prys.3107@gmail.com 
 

kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.

¾ Perspektif orang ketiga

Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini yaitu perspektif

Hamid. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo kerap mencampurkan perspektif

Hamid dengan perspektif Tempo (wartawan penulis) sendiri. Sehingga percampuran

ini memungkinkan Tempo untuk seakan-akan menjadi Hamid. Bercampurnya

perspektif Tempo dengan perspektif Hamid ditampilkan sejak awal teks. Terlebih lagi

pada kalimat pembuka (lead) berikut (par 1, kal 1 dan 2):

Waktu terasa begitu sempit bagi Hamid Awaludin, 45 tahun. Ahad dua pekan
lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini terbang ke Makassar, Sulawesi
Selatan.

Rangkaian kalimat ini menujukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke dalam

perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Hamid, yakni perasaan akan

sempitnya waktu. Penggunaan teknik ini tentu membuat Tempo sekaligus mengajak

pembaca untuk merasakan juga apa yang dirasakan Hamid.

Perspektif Hamid yang bercampur dengan perspektif Tempo juga terdapat

pada par 3, kal 3 dan 4 sebagai berikut:

Hamid percaya, doa-restu orang tua akan menjadi obat mujarab pelbagai
masalah yang dihadapi. “Saya merasa damai saat berada di dekat ibu,” ujar
Hamid Awaludin.

Pada kutipan di atas, bercampurnya perspektif Hamid dengan perspektif

Tempo membuat Tempo seakan mengetahui apa yang dipikirkan Hamid. Penggunaan

kutipan langsung pada kalimat selanjutnya membuat perspektif Hamid menjadi nyata,
http://prys3107.blogspot.com  124
prys.3107@gmail.com 
 

sehingga bercampurnya perspektif Tempo dengan perspektif Hamid seakan tidak

kentara lagi. Dari sudut pandang estetika bahasa, percampuran antara perspektif

penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya (Hamid)

disebut sebagai perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator).

Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis dalam tokoh yang diceritakannya.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga semestaan

dalam sampel ini dilakukan Tempo tidak hanya untuk melaporkan peristiwa apa yang

terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid dengan mengungkapkan perasaan dan

pikiran Hamid. Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo dalam menceritakan

apa dan bagaimana Hamid.

¾ Penempatan detail

Penempatan detail dalam sampel ini antara lain diungkapkan pada rincian

perjalanan Hamid ke bandara Hasanuddin, Makassar, kemudian dilanjutkan lagi

kampung halamannya di Parepare. Detail yang ditampilkan adalah secara rinci

bagaimana deskripsi rumah keluarga Hamid di Makassar yang terbuat dari panggung

kayu dan kefasihan Hamid membaca kitab suci Al-Quran. Penempatan detail ini

terdapat di par 1 dan 2.

Detail kemudian ditampilkan pada bagaimana masa kecil Hamid sewaktu

masih menjadi siswa di sekolah, perjalanan karir Hamid hingga mendapatkan

beasiswa kuliah dapat di luar negeri, catatan prestasi, dan hubungannya dengan orang

lain, khususnya dengan petinggi negara semacam Sarwono dan Jusuf Kalla.

Penempatan detail ini terdapat di par 5 s/d 11.


http://prys3107.blogspot.com  125
prys.3107@gmail.com 
 

Penempatan detail semacam ini memperkuat penokohan karakter dari tokoh

utama dalam teks ini, yakni Hamid sebagai seseorang yang tak melupakan akar

tradisinya, dan agama yang kuat serta ditaatinya sejak kecil hingga saat ini. Hamid

juga diceritakan sebagai sosok dengan track record masa lalu yang baik, sehingga tak

heran bila itu semua membawa Hamid menuju puncak kesuksesan.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menggunakan penempatan detail

demi memperkuat penokohan karakter tokoh utama dalam teks ini, yaitu Hamid

sebagai pusat penceritaan.

Estetika Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa

hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain

adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa

Tempo hendak menghadirkan peristiwa dengan merekam suasana-demi-suasana

dengan informatif sekaligus dramatis, sehingga seakan-akan peristiwa tersebut hidup

dan pembaca seakan-akan tengah menyaksikannya juga. Teknik penceritaan dalam

penyusunan adegan yang ditemui lewat teknik kilas balik sebagai cerita dalam cerita

(bingkai cerita) yang merekam ulang masa lalu, serta penggunaan teknik teks terbuka

yang menunda kesimpulan menutup akhir peristiwa.

Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang

menghadirkan perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator)

sebagai percampuran antara perspektif Tempo (selaku narator) dengan perspektif

Hamid (selaku orang ketiga). Teknik ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo
http://prys3107.blogspot.com  126
prys.3107@gmail.com 
 

dalam menceritakan apa dan bagaimana tokoh Hamid.

Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak

penempatan detail secara rinci yang memperkuat penokohan karakter tokoh utama

dalam teks ini, yaitu Hamid sebagai pusat penceritaan.

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang

terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif

orang ketiga, dan penempatan detail.

Khusus pada penyusunan adegan dengan penggunaan teknik teks terbuka

yang menunda kesimpulan dalam menutup akhir peristiwa, penulis berpendapat

bahwa dalam hal ini Tempo hendak menyerahkan pemaknaan kepada pembaca.

Sebab, sebuah teks terbuka sejatinya akan mengundang berbagai penafsiran makna.

Dengan kata lain, Tempo seakan membiarkan pembaca untuk menjawab sendiri

pertanyaan yang ditinggalkan untuk kemudian mengambil kesimpulan sendiri. Di

titik inilah unsur ambiguitas begitu kuat dalam teks penutup tersebut, sebuah hal yang

jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan

kejelasan (straightness).

Politik Bahasa (Pembuktian)

¾ Metafora

Pada sampel ini, penulis menemukan dua metafora yang digunakan Tempo

dalam merelasikan dua fakta melalui kata, kalimat, dan istilah kiasan persamaan.
http://prys3107.blogspot.com  127
prys.3107@gmail.com 
 

Pertama, adalah penggunaan metafora pada kalimat ‘Waktu terasa begitu sempit bagi

Hamid Awaludin, 45 tahun.’ (par 1, kal 1).

Pada kalimat di atas, metafora yang digunakan adalah kata ‘sempit’ dalam

merelasikan dua fakta, yakni antara fakta waktu dengan fakta manusia (Hamid).

Dasar pembentukan metafora tersebut adalah persamaan keadaan yang

membandingkan keadaan waktu dengan keadaan perasaan Hamid. Metafora ini

termasuk ke dalam jenis metafora personifikasi.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

metafora personifikasi tersebut adalah makna pengungkapan bahwa pribadi Hamid

kini tengah berada dalam suatu keadaan yang mendesak dan tidak mengenakkan.

Keadaan tersebut terkait dengan pengakuan rekan Hamid, yakni Daan Dimara

Kedua, adalah penggunaan metafora pada kalimat ‘Hamid percaya, doa-restu

orang tua akan menjadi obat mujarab perbagai masalah yang dihadapi.’ (par 3, kal 3)

Pada kalimat di atas, metafora yang digunakan adalah kata ‘obat mujarab’

dalam merelasikan dua fakta, yakni fakta doa orang tua Hamid dan fakta masalah

yang dihadapi Hamid. Dasar pembentukan metafora tersebut adalah persamaan

perbuatan yang membandingkan perbuatan mulia (doa orang tua hamid) dengan

perbuatan tercela (dugaan korupsi Hamid). Metafora ini termasuk ke dalam jenis

metafora hiperbola.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

metafora hiperbola tersebut adalah makna pengungkapan bahwa Hamid telah

melebih-lebihan doa sebagai cara ampuh yang dapat menyelamatkannya dari dugaan
http://prys3107.blogspot.com  128
prys.3107@gmail.com 
 

korupsi di KPU.

¾ Depictions

Pada sampel ini, ada beberapa depictions yang digunakan Tempo. Pertama,

adalah penggunaan istilah konotatif ‘dana haram’ yang terdapat pada baris kalimat di

bawah judul. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam menggambarkan fakta

mengenai uang terlarang yang tidak sepatutnya dimiliki.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa dalam depictions tersebut ada nilai moral

yang dipinjam Tempo dari istilah keagamaan untuk menjelaskan ‘haram’ sebagai

sesuatu hal yang tercela dan berdosa. Dalam rangka inilah, penulis menemukan

adanya keterkaitan yang bertolak belakang dengan pribadi Hamid yang digambarkan

Tempo sebagai seseorang yang taat beragama. Maka penulis menganalisis bahwa

depictions tersebut digunakan Tempo demi menyesatkan penggambaran karakter

Hamid sebagai tidak konsisten menjalankan perintah agama karena diduga

melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama. Depictions tersebut tentu diniatkan

untuk membangkitkan prasangka terhadap pribadi Hamid sendiri.

Kedua, adalah penggunaan istilah konotatif ‘orang titipan’ yang terdapat pada

par 12, kal 1. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam menggambarkan fakta

mengenai seseorang yang didukung oleh seseorang lain yang lebih berkuasa.

Pembuktian ini menunjukkan adanya keterkaitan antara Hamid sebagai

seseorang yang didukung, dengan Jusuf Kalla yang memiliki kekuasaan lebih dalam

mendukung Hamid. Istilah ‘titipan’ sendiri mengacu berdasarkan informasi dalam

teks berita par 11 yang menyebutkan bahwa Jusuf Kalla lah yang bersikeras
http://prys3107.blogspot.com  129
prys.3107@gmail.com 
 

memasukkan atau menitipkan Hamid ke dalam susunan kabinet Indonesia Bersatu.

Maka penulis menganalisis bahwa depictions tersebut digunakan Tempo demi

mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang tak hanya dekat dengan kekuasaan, tetapi

juga posisinya sebagai menteri dijamin oleh penguasa, yakni Jusuf Kalla yang kini

tengah menjabat sebagai wakil presiden.

Ketiga, adalah depictions dalam kalimat konotatif yang tertuang sebagai judul

teks berita: ‘Mencari Damai Dalam Dekapan Ibu’.

Selain merupakan intisari dari keseluruhan teks, depictions tersebut

menggambarkan fakta bahwa seorang ibu mampu berperan sebagai seseorang yang

dapat memberikan ketenangan dan kedamaian bagi anaknya. Ibu adalah benteng

pertahanan terakhir seorang anak manusia ketika tengah dilanda masalah.

Lewat depictions inilah Tempo membangkitkan keterkaitan Hamid sebagai

seseorang yang tengah terlibat dalam persoalan kasus korupsi, dengan perjalanan

sowan Hamid mengunjungi ibu kandungnya sebagai seseorang yang diharapkan

dapat memberikan kedamaian bagi Hamid tempat berlindung dari persoalan kasus

korupsi yang menimpanya.

Baru kemudian depictions ini secara tersirat menunjukkan ketakutan Hamid

atas pemanggilan KPK terhadap dirinya mengenai kasus korupsi di KPU. Bahkan

saking takutnya, Hamid pun memilih pulang kampung untuk menemui ibunya,

berlindung di benteng pertahanannya yang terakhir demi mendapatkan ketenangan.

Hingga akhirnya, penggunaan depictions ini secara tersirat juga hendak

menekankan makna bahwa ketakutan Hamid dalam kaitannya dengan pemanggilan


http://prys3107.blogspot.com  130
prys.3107@gmail.com 
 

KPK tersebut patut dicurigai, karena pemanggilan diri Hamid baru sebatas meminta

keterangan dan bukan (atau belum) menjadikan Hamid sebagai tersangka. KPK

sendiri belum menyebutkan dalam kapasitas (status) apa Hamid diperiksa, apakah

saksi atau tersangka.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa depictions tersebut hendak mencitrakan

Hamid sebagai seseorang yang penakut, cari aman, dan tengah membutuhkan

perlindungan. Sehingga tampak wajar bila hal ini membangkitkan prasangka kepada

Hamid sebagai seseorang yang patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di

KPU.

Politik Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat

penggunaan metafora personifikasi untuk mengungkapkan makna bahwa pribadi

Hamid kini tengah berada dalam suatu keadaan yang mendesak dan tidak

mengenakkan, dan metafora hiperbola untuk mengungkapkan makna bahwa Hamid

telah melebih-lebihkan doa sebagai cara ampuh yang dapat menyelamatkannya dari

dugaan korupsi di KPU.

Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat

penggunaan depictions ‘dana haram’ demi menyesatkan penggambaran karakter

Hamid sebagai seseorang yang tidak konsisten menjalankan perintah agama karena

diduga melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama; depictions ‘orang titipan’

untuk mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang tak hanya dekat dengan kekuasaan,
http://prys3107.blogspot.com  131
prys.3107@gmail.com 
 

tetapi juga posisinya sebagai menteri dijamin oleh penguasa, yakni Jusuf Kalla yang

kini tengah menjabat sebagai wakil presiden; dan depictions ‘Mencari Damai Dalam

Dekapan Ibu’ yang secara tersirat hendak mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang

penakut, cari aman, dan tengah membutuhkan perlindungan. Sehingga tampak wajar

bila hal ini membangkitkan prasangka kepada Hamid sebagai seseorang yang takut

patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di KPU.

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan metafora dan depictions

sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus dalam

membangkitkan prasangka dan menyesatkan citra Hamid Awaludin, yang kemudian

mengarahkan citra Hamid kepada konstruksi citra tertentu yang dibentuk Tempo. Dan

hasil dari konstruksi citra tersebut mestilah citra yang buruk, bahkan menurut

pendapat penulis Tempo cenderung mengarahkannya kepada citra yang konyol.

Konstruksi citra yang buruk dapat ditemui pada penggambaran Hamid sebagai

seseorang yang munafik dan berdosa karena dikenal taat beragama namun melakukan

korupsi. Sedangkan konstruksi citra yang konyol dapat ditemui pada penggambaran

Hamid sebagai seseorang yang kekanak-kanakan (anak mami) dalam menyikapi suatu

permasalahan.
http://prys3107.blogspot.com  132
prys.3107@gmail.com 
 

Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 1

Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif

pada sampel 1, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:

1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak

menunjukkan bahwa unsur human interest dari pribadi Hamid juga penting dan

patut diketahui khalayak sebagai sisi lain dari peristiwa utama kasus korupsi KPU

ini. Cara Tempo menonjolkan sisi pribadi Hamid tentu semakin memperkuat

dugaan adanya keterlibatan diri Hamid dalam kasus korupsi KPU. Penulis juga

menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup

memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai

perlakuan Tempo atas peristiwa.

2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa

dalam teks berita tersebut –khususnya pada penyusunan adegan, perspektif orang

ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penyusunan adegan dengan

penggunaan teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan dalam menutup akhir

peristiwa, Tempo hendak mengundang berbagai penafsiran makna dan

menyerahkan pemaknaan kepada pembaca. Di titik inilah unsur ambiguitas begitu

kuat dalam teks penutup tersebut, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada

penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness).

3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan metafora dan

depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus

dalam membangkitkan prasangka dan menyesatkan citra Hamid Awaludin, yang


http://prys3107.blogspot.com  133
prys.3107@gmail.com 
 

kemudian mengarahkan citra Hamid kepada konstruksi citra tertentu yang

dibentuk Tempo. Dan hasil dari konstruksi citra tersebut mestilah citra yang

buruk, bahkan Tempo cenderung mengarahkannya kepada citra yang konyol.


http://prys3107.blogspot.com  134
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  135
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  136
prys.3107@gmail.com 
 

Sampel 2

Judul : Terusik Nyanyian Meneer Daan (Laporan Utama Segel Amplop Kertas

Suara)

Edisi : 19 Maret 2006

Penulis : Wenseslaut Manggut, Purwanto, Badriah, Ami Afriatni

Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)

¾ Tema yang diangkat

Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kontroversi seputar kasus korupsi

KPU yang melibatkan dua tokoh, yakni Daan Dimara dan Hamid Awaludin. Tempo

menyajikan versi yang saling bertentangan dari keduanya mengenai siapa yang paling

bertanggung jawab atas korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden

2004. Daan sendiri sebelumnya telah ditahan pihak berwajib sehubungan dengan

jabatannya sebagai ketua pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004.

Tapi kemudian dari dalam penjara Daan menyebutkan nama Menteri Hukum dan

HAM Hamid sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, karena Hamid saat itu

tengah menjabat sebagai anggota KPU.

Ada banyak pihak yang diwawancarai Tempo dalam menyusun liputan ini.

Mulai dari Daan Dimara dan Erick Samuel Paat selaku kuasa hukumnya, Bakrie

Asnuri selaku mantan sekretaris panitia pengadaan segel KPU, Nazaruddin

Sjamsuddin mantan ketua KPU, Sukharni Muluk selaku kuasa hukum Untung

Sastrawijaya, hingga Hamid sendiri. Ada pula sumber anonim selaku orang dekat

Untung Sastrawijaya yang diwawancarai Tempo pada par 24.


http://prys3107.blogspot.com  137
prys.3107@gmail.com 
 

Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan

multi liputan, yakni peristiwa percakapan telepon antara Daan dengan Hamid (par 1

dan 2), keterangan dari Erick atas kasus ini (par 11 s/d 29), keterangan Bakrie Asnuri

(par 20 s/d 22), komentar Nazaruddin Sjamsuddin (par 27), keterangan Sukharni

Muluk (par 28), bantahan dari Hamid sendiri (par 24 s/d 26), serta didukung oleh

referensi perkembangan awal dari kasus ini. Multi liputan tersebut menunjukkan

liputan dilakukan dengan terencana pada waktu yang berbeda.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa peristiwa yang diangkat menjadi tema

pemberitaan adalah kontroversi kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara

pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan Hamid Awaludin, dengan melibatkan

informasi dari banyak pihak terkait. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo

melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda.

¾ Penempatan berita

Pada edisi 19 Maret 2006, Tempo mengusung liputan utama ‘Segel Amplop

Kertas Suara’ dengan sampul depan ilustrasi wajah Hamid Awaludin dan diberi

judul ‘Hamid Awaludin: Saksi Atau Tersangka’. Judul ini menjadi judul dari

rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Segel

Amplop Kertas Suara tersebut berjumlah dua berita dan satu wawancara yang

terbentang dari halaman 26 s/d 31.

Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan

pertama menempati tiga halaman dan diberi bingkai hitam memanjang pada halaman

bagian atas dengan judul rubrik ‘Liputan Utama Segel Amplop Kertas Suara. Sampel
http://prys3107.blogspot.com  138
prys.3107@gmail.com 
 

ini juga dilengkapi dengan satu foto Daan tengah memasuki kendaraan tahanan usai

diperiksa KPK, dan satu foto petugas KPU yang tengah menunjukkan segel kertas

suara, satu buah insert dokumen dari PT Royal Standard, serta dua grafik terpisah

berisi kronologi kejadian dan kutipan lima narasumber terkait. Jika dibandingkan dua

tulisan lainnya, sampel ini merupakan tulisan inti dengan multi liputan.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini

sebagai peristiwa inti yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan

posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang padat informasi.

Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)

Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa peristiwa yang

diangkat Tempo menjadi tema pemberitaan adalah kontroversi kasus korupsi

pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan

Hamid Awaludin, dengan melibatkan informasi dari banyak pihak terkait. Dalam

menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada

waktu yang berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai peristiwa inti yang

penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan yang

strategis, dan tata letak yang padat informasi.

Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam

sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa kontroversi kasus korupsi

pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan

Hamid Awaludin penting dan patut diketahui khalayak. Cara Tempo memunculkan

banyak pihak yang diwawancarai dalam teks berita ini tentu memperkuat pentingnya
http://prys3107.blogspot.com  139
prys.3107@gmail.com 
 

kontroversi ini diselesaikan secara hukum. Penulis juga menemukan adanya

perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta

perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas

peristiwa. Yang juga menjadi pemaknaan penulis adalah, Tempo hendak

menunjukkan bahwa di balik penyelesaian kasus korupsi pengadaan segel amplop

kertas suara pemilu presiden 2004 ini, ada kepentingan pihak tertentu yang

menginginkan agar kasus ini tidak segera terungkap.

Estetika Bahasa (Pembuktian)

¾ Penyusunan Adegan

Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal, bagian

tengah, dan bagian akhir teks. Pada bagian awal teks, penyusunan adegan dibuka

dengan rekaman peristiwa percakapan pagi hari di telepon antara Daan Dimara

dengan Hamid Awaludin. Keduanya ditampilkan tengah bersoal-jawab tentang

pengadaan segel sampul surat suara pemilu presiden 2004. Hal ini ditunjukkan lewat

pembuka teks berita (lead) berikut ini (par 1):

Pekan kedua Februari 2006. Telepon itu berdering pagi hari. Setengah
mengantuk, Daan Dimara bergegas mengangkat. Si penelepon Hamid Awaludin,
bekas kawan kerjanya di Komisi Pemilihan Umum. Hamid kini Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Pagi itu keduanya bersoal-jawab tentang pengadaan segel
sampul surat suara pemilu presiden.

Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tak

hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam
http://prys3107.blogspot.com  140
prys.3107@gmail.com 
 

suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat percakapan telepon Daan

dengan Hamid terjadi. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau

news peg dari teks berita.

Adegan kemudian dilanjutkan dengan isi percakapan keduanya secara

langsung sebagai berikut (par 2):

Daan : Selamat pagi, siapa ini?


Hamid : Ini Hamid Awaludin. Meneer Daan, mengapa menyebut saya
bertanggung jawab atas pengadaan segel amplop kertas suara di
koran?
Daan : Memang benar begitu, Pak. Waktu kita bertemu di kantor Pak
Nazaruddin (Ketua KPU –Red), Bapak bilang agar saya tidak
mengubah harga segel kertas pemilu. Saya tinggal mengawasi saja.
Hamid : Lho, kapan saya ngomong begitu?
Daan : Oh, jadi setelah menjadi menteri, Bapak ini jadi pelupa, ya?

Pada kutipan di atas, penulis menemukan teknik penulisan yang secara

langsung dan utuh menghadirkan kembali isi percakapan tersebut. Teknik penulisan

seperti ini tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada

karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah

adegan ini ditulis Tempo berdasarkan penuturan Daan (par 3), maka jelas bahwa

Tempo bukanlah pihak yang berada saat percakapan itu berlangsung. Hal ini

menunjukkan ada upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk

menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa penyusunan adegan pada bagian awal

teks dilakukan Tempo dengan teknik penulisan kutipan yang tidak lazim dijumpai

dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen,
http://prys3107.blogspot.com  141
prys.3107@gmail.com 
 

novel, atau naskah drama.

Pada bagian tengah teks, adegan disusun mulai dari peristiwa masa lalu, yakni

saat pemilu presiden 2004 berlangsung dengan sukses. Baru kemudian Tempo

menyusunnya dengan menampilkan secara kronologis bagaimana kesuksesan pemilu

diwarnai dengan kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden

2004, yang kemudian melibatkan banyak pihak.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa pada bagian tengah teks, Tempo

menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu secara

kronologis. Dari sudut pandang estetika bahasa, penggunaan teknik kilas balik ini

merupakan cerita dalam cerita yang dalam kaidah sastra lazim disebut bingkai cerita.

Pada bagian akhir teks, yakni sebagai penutup laporan utama ini, Tempo

menyusun adegan dengan menunda kesimpulan akhir dari peristiwa ini. Simak

kutipan dari par 30 berikut:

Siapa saja yang bersalah memang masih terus diusut. Senin pekan ini,
kabarnya, Hamid Awaludin datang ke KPK. Dia akan diperiksa sebagai saksi
kaus pengadaan segel sampul surat suara. Siapa tahu, teka-teki perkara ini segera
tersibak.

Pada penyusunan adegan terakhir inilah, Tempo meninggalkan beberapa

pertanyaan lanjutan dengan menunda kesimpulan akhir dari peristiwa ini, sebab akhir

peristiwanya belum dapat diketahui segera. Dari sudut pandang estetika bahasa, hal

ini merupakan teks terbuka, yakni penundaan kesimpulan sebab akhir peristiwanya

belum dapat diketahui segera.


http://prys3107.blogspot.com  142
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian tersebut menunjukkan penyusunan adegan yang dilakukan

Tempo pada akhir teks dilakukan dengan teknik teks terbuka yang menunda

kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.

¾ Dialog

Penggunaan dialog dalam sampel ini terlihat pada adegan yang menampilkan

isi percakapan Daan dengan Hamid di telepon pagi hari. Dialog antara Daan dengan

Hamid seperti yang telah penulis kutip pada halaman 140.

Pada dialog tersebut, penulis menemukan teknik penggunaan dialog antara

Daan dan Hamid yang ditulis secara langsung dan utuh demi menghadirkan kembali

isi percakapan keduanya. Teknik penggunaan dialog seperti ini tidak lazim dijumpai

dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen,

novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah Tempo menyusun dialog

tersebut berdasarkan penuturan Daan (par 3), maka jelas bahwa Tempo bukanlah

pihak yang berada saat percakapan itu berlangsung.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa ada penggunaan dialog yang tidak lazim

dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal

cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan dialog merupakan upaya rekonstruksi

peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan ini secara

langsung dan utuh.

¾ Perspektif orang ketiga

Perspektif orang ketiga yang secara menonjol digunakan dalam sampel ini

adalah perspektif Daan pada bagian awal teks. Dalam menggunakan teknik ini,
http://prys3107.blogspot.com  143
prys.3107@gmail.com 
 

Tempo kerap mencampurkan perspektif Daan dengan perspektif Tempo sendiri.

Sehingga percampuran ini memungkinkan Tempo untuk seakan-akan menjadi Daan.

Bercampurnya perspektif Tempo dengan perspektif Hamid ditampilkan sejak

pembuka teks berita (lead) sebagai berikut (par 1, kal 2 dan 3):

Telepon itu berdering pagi hari. Setengah mengantuk, Daan Dimara bergegas
mengangkat.

Rangkaian kalimat ini menunjukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke

dalam perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Daan, yakni perasaan

‘mengantuk’, suasana ‘pagi hari’, dan emosi dalam kata ‘bergegas mengangkat’.

Penggunaan bahasa seperti ini membuat Tempo tak hanya menginformasikan

peristiwa, tetapi sekaligus mengajak pembaca untuk merasakan juga apa yang

dirasakan Daan.

Dari sudut pandang estetika bahasa, percampuran antara perspektif penulis

selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya (Daan) disebut

sebagai perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator). Teknik

ini menyiratkan keterlibatan penulis terhadap perasaan, suasana, dan emosi yang

dialami tokoh yang diceritakannya.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga semestaan

dalam sampel ini dilakukan Tempo tidak hanya untuk melaporkan peristiwa apa yang

terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid dengan mengungkapkan perasaan,

suasana, dan emosi yang dialami Daan. Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan

Tempo dalam menghadirkan peristiwa percakapan telepon pagi hari antara Daan
http://prys3107.blogspot.com  144
prys.3107@gmail.com 
 

dengan Hamid.

Estetika Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa

hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain

adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa

Tempo tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga

merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat percakapan

telepon Daan dengan Hamid terjadi. Tempo juga menggunakan teknik penulisan

kutipan yang tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan

pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Tempo menggunakan

teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu secara kronologis

sebagai bingkai cerita. Tempo juga menggunakan teknik teks terbuka yang menunda

kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.

Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan penggunaan

dialog sebagai upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk

menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh.

Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi penggunaan bahasa

dengan menghadirkan perspektif orang ketiga semestaan yang tidak hanya

melaporkan peristiwa apa yang terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid

dengan mengungkapkan perasaan, suasana, dan emosi yang dialami Daan. Hal ini

menyiratkan adanya keterlibatan Tempo dalam menghadirkan peristiwa percakapan

telepon pagi hari antara Daan dengan Hamid.


http://prys3107.blogspot.com  145
prys.3107@gmail.com 
 

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang

terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan

dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung

dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak menerangkan

bagaimana kontroversi ini bermula dengan menguatkan keutuhan adegan dan

memberi sentuhan riil pada teks berita tersebut. Penulis juga berpendapat bahwa

penggunaan dialog tersebut menyiratkan karakter Daan dan Hamid yang ditampilkan

serealistis mungkin dalam kehidupan sehari-hari mereka. Lewat teknik tersebut,

Tempo mengajak pembaca masuk ke dalam penceritaan, yang kemudian dapat

mengundang penafsiran dan perluasan makna.

Dalam rangka inilah penulis juga berpendapat bahwa ada unsur ambiguitas

dalam penggunaan dialog tersebut, serta pada teknik teks terbuka yang menunda

kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera, sebuah hal

yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang

mengedepankan kejelasan (straightness).

Politik Bahasa (Pembuktian)

¾ Metafora

Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan dua analogi sebagai bentuk

politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat

konotatif. Pertama, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Tapi keharuman itu
http://prys3107.blogspot.com  146
prys.3107@gmail.com 
 

berumur pendek’ (par 7, kal 7).

Kalimat di atas menunjukkan pemakaian analogi terhadap kata nomina ‘itu’

lewat kata dan frase sifat secara beruntun, yakni kata ‘keharuman’ dan frase ‘berumur

pendek’. Kata nomina ‘itu’ di sini mengacu pada peristiwa penyelenggaraan Pemilu

Presiden 2004 di Indonesia. Sedangkan kata ‘harum’ dan frase ‘umur pendek’

menganalogikan dua sifat dari penyelenggaraan pemilu tersebut. Sifat tersebut

masing-masing ialah ‘harum’ yang menganalogikan sifat kesuksesan, dan ‘umur

pendek’ yang menganalogikan sifat kesuksesan tersebut tidak berlangsung lama.

Maka analogi beruntun ini merupakan metafora dari kesuksesan peristiwa

penyelenggaraan pemilu yang tidak berlangung lama.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

metafora tersebut adalah makna pengungkapan bahwa kesuksesan semu dari

peristiwa penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004. Kesuksesan semu ini tentu

mengacu pada adanya fakta kasus dugaan korupsi KPU yang baru diketahui setelah

pemilu berakhir.

Kedua, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Belakangan, KPK mencium

bau korupsi dalam sejumlah proyek.’ (par 1, kal 1).

Pada kalimat di atas, frase ‘mencium bau’ menganalogikan perbuatan

menduga sesuatu hal yang nyata adanya namun tidak terlihat atau terkesan ditutup-

tutupi. Maka analogi ini merupakan metafora dari perbuatan KPK menduga adanya

fakta korupsi dalam sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan

Pemilu Presiden 2004 yang terkesan ditutup-tutupi.


http://prys3107.blogspot.com  147
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

metafora tersebut adalah makna pengungkapan adanya fakta korupsi yang terkesan

ditutup-tutupi dalam sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan

Pemilu Presiden 2004.

¾ Depictions

Pada sampel ini, ada tiga depictions yang digunakan Tempo dalam

mengarahkan citra tertentu. Pertama, adalah penggunaan depictions pada kalimat

‘Daan ditembak dua tuduhan sekaligus’ (par 10, kal 3), dan kedua, pada kalimat ’Dia

juga memastikan tanggung jawab kasus ini sepenuhnya dipikul Daan Dimara.’ (par

27, kal 2). Kedua kalimat ini mengandung penggunaan depictions dalam

mengarahkan citra tertentu atas Daan.

Pada kalimat pertama, kata konotatif sebagai depictions adalah kata

’ditembak’. Kata ini menggambarkan tindakan pasif seseorang yang menjadi korban.

Kemudian pada kalimat kedua, kata konotatif sebagai depictions adalah kata

’dipikul’. Kata ini menggambarkan tindakan aktif seseorang untuk menanggung

beban tanggung jawab tertentu.

Penulis menganalisis bahwa kedua depictions tersebut digunakan untuk

menggambarkan Daan sebagai pihak pasif yang dikorbankan, sekaligus pihak aktif

yang menanggung beban tanggung jawab. Ini menunjukkan penggambaran bahwa

tindakan aktif Daan menanggung beban tanggung jawab bukan karena ia pantas untuk

itu, tetapi lebih karena ia menjadi pihak pasif yang dikorbankan. Artinya juga, ada

pihak lain yang seharusnya lebih bertanggung jawab dalam kasus korupsi ini.
http://prys3107.blogspot.com  148
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian ini menunjukkan bahwa depictions tersebut digunakan Tempo

demi mengarahkan citra Daan sebagai pihak yang dikorbankan, sekaligus juga

diniatkan untuk membangkitkan prasangka bahwa pihak lain yang lebih berkuasa dari

Daan tersebutlah yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus korupsi

ini

Ketiga, adalah penggunaan depictions sebagai pengarahan citra tertentu pada

kalimat konotatif ’Terusik Nyanyian Meneer Daan’. Pada kalimat yang menjadi judul

teks berita ini, penulis menyimak adanya pembentukan nominalisasi dengan membuat

kata kerja ’terusik’ menjadi kata nomina. Sehingga kalimat tersebut tidak lagi

mencerminkan sebuah kegiatan, tetapi lebih menekankan sebuah peristiwa. Itu

sebabnya kalimat yang menekankan sebuah peristiwa dapat digunakan untuk

menghilangkan subyek atau objek pelaku tindakan.

Yang menjadi subyek dalam nominalisasi tersebut adalah Daan. Sedangkan

obyek pelaku tindakan dihilangkan atau disembunyikan dalam kalimat ini. Hal ini

menunjukkan bahwa pembentukan citra tertentu diarahkan bukan pada subyek pelaku

tindakan (Daan) yang tertera pada kalimat, tetapi lebih kepada obyek pelaku tindakan

yang disembunyikan dalam kalimat. Penyembunyian obyek pelaku tindakan tersebut

tentu mengacu pada Hamid. Penyembunyian Hamid sebagai obyek pelaku tindakan

inilah yang ditekankan lewat kalimat konotatif tersebut. Karenanya, pembuktian dan

pemaknaan depictions ini mesti dilakukan dalam kaitannya dengan Hamid.


http://prys3107.blogspot.com  149
prys.3107@gmail.com 
 

Kata ’nyanyian’ pada kalimat di atas mengkonotasikan bentuk perbuatan

seseorang dalam membeberkan informasi keterlibatan seseorang lain pada sebuah

kasus hukum. Penggunaan kata konotatif tersebut mengacu pada bentuk keterangan

informasi yang diberikan Daan kepada KPK ketika diperiksa 7 Februari 2006 yang

saat itu status Daan masih sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan kotak suara

pemilu (par 3, kal 2 dan 3). Dalam pemeriksaan itulah, Daan memberikan keterangan

kepada KPK mengenai keterlibatan Hamid pada kasus korupsi pengadaan segel

amplop surat suara pemilu presiden. Daan juga menyebutkan keterlibatan Hamid

kepada ’sejumlah wartawan yang menunggu Daan keluar dari ruang pemeriksaan’

(par 5, kal 3).

Pembuktian ini menunjukkan bahwa kata konotatif tersebut menggambarkan

pembeberan informasi kepada KPK dan wartawan yang dilakukan Daan mengenai

adanya keterlibatan Hamid pada kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara

pemilu presiden. Lewat kata konotatif inilah Tempo membangkitkan keterkaitan

Hamid sebagai seseorang yang diinformasikan juga terlibat dalam kasus korupsi

pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden.

Keterkaitan Hamid yang dibangkitkan lewat penggunaan kata konotatif

’nyanyian’, lebih dipertegas lagi lewat penggunaan kata konotatif ’terusik’ dalam

kalimat tersebut. Kata ’terusik’ pada kalimat di atas mengkonotasikan sebuah

keadaan yang begitu mengganggu pikiran dan perasaan seseorang. Penggunaan kata

konotatif tersebut mengacu pada keadaan pikiran dan perasaan Hamid yang begitu

terganggu.
http://prys3107.blogspot.com  150
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian ini menunjukkan bahwa kata konotatif tersebut menggambarkan

keadaan yang begitu mengganggu pikiran dan perasaan Hamid atas pembeberan

informasi yang dilakukan Daan. Lewat kata konotatif inilah Tempo menegaskan

pembeberan informasi keterkaitan Hamid dalam kasus korupsi pengadaan segel

amplop surat suara pemilu presiden, sekaligus mengungkapkan keadaan pikiran dan

perasaan Hamid yang begitu terganggu atas keterlibatannya itu yang tidak hanya

diketahui oleh KPK dan wartawan, tetapi juga telah diketahui publik.

Pengungkapan keterkaitan Hamid serta keadaan pikiran dan perasaan dirinya

yang begitu terganggu lewat dua kata konotatif tersebut, kemudian semakin

dipertegas lagi lewat penggunaan frase ’meneer Daan’. Kata ’meneer Daan’ ini

mengacu pada kata ganti atau julukan yang diberikan kepada seseorang yang tinggi

status sosialnya. Dalam kosakata bahasa Belanda, definisi Meneer adalah tuan. Maka,

’meneer’ adalah julukan yang diberikan seorang bawahan kepada tuannya. Julukan

ini juga menunjukkan hubungan kekuasaan dan sosial yang vertikal dalam

masyarakat.

Pada kalimat konotatif tersebut, penggunaan frase ’meneer Daan’ mengacu

pada jabatan Daan selaku ketua pengadaan segel amplop surat suara pemilu legislatif

dan pemilu presiden (par 4, kal 1). Maka frase ini mengkonotasikan status diri Hamid

dalam hubungan kekuasaan yang vertikal dengan Daan. Dalam artian, frase tersebut

menggambarkan status sosial Hamid sebagai bawahan (anggota) dan status Daan

sebagai tuan (ketua). Yang perlu diperhatikan, frase ini tidak begitu saja diberikan

Tempo, tetapi merupakan frase pinjaman dari perkataan Hamid (par 2) yang
http://prys3107.blogspot.com  151
prys.3107@gmail.com 
 

kemudian dipertegas oleh Tempo. Dalam hal ini, Hamid memosisikan dirinya sebagai

bawahan dengan menjuluki Daan sebagai tuannya, sekaligus juga menunjukkan

upaya Hamid dalam menunjukkan kesan bahwa Daan adalah pihak yang lebih

berkuasa atas dirinya.

Penulis menganalisis bahwa lewat penjulukan frase ’meneer Daan’, Hamid

hendak menyesatkan karakter Daan sebagai pihak yang lebih berkuasa dan

bertanggungjawab atas kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu

presiden. Penyesatan karakter yang dilakukan Hamid atas Daan ini mengacu pada

keterangan Bakri Asnuri yang diwawancarai Tempo selaku sekretaris panitia

pengadaan segel KPU. Bakri mengatakan ”Daan Dimara memang menjadi ketua

pengadaan segel, tapi negosiasi harganya dilakukan Hamid Awaludin.” (par 20, kal 2)

Pembuktian ini menunjukkan upaya Hamid dalam menyesatkan karakter Daan

lewat frase ’meneer Daan’ demi mengelak tanggungjawabnya atas kasus korupsi

pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden yang kini telah diketahui publik.

Upaya penyesatan karakter inilah yang dipinjam sekaligus dipertegas oleh Tempo

dalam mengarahkan citra tertentu atas Hamid.

Sebagai kesimpulan, kata konotatif ’terusik’, ’nyanyian’, dan frase ’meneer

Daan’ yang dirangkai Tempo menjadi ’terusik nyanyian meneer Daan’, merupakan

depictions yang digunakan Tempo demi mengungkapkan fakta bahwa Hamid sebagai

pihak yang keadaan pikiran dan perasaannya begitu terganggu karena keterlibatan

dalam kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden telah

diketahui publik, serta Hamid sebagai pihak mengelak dari tanggungjawabnya itu.
http://prys3107.blogspot.com  152
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian ini menunjukkan bahwa penggunaan depictions tersebut

merupakan upaya Tempo dalam mengarahkan citra buruk atas Hamid, yakni sebagai

seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab.

Sehingga tampak wajar bila hal ini membangkitkan prasangka kepada Hamid sebagai

seseorang yang patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di KPU.

Politik Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat

penggunaan analogi untuk mengungkapkan makna kesuksesan semu dari peristiwa

penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 karena adanya fakta kasus dugaan korupsi

KPU yang baru diketahui setelah pemilu berakhir. Serta analogi untuk

mengungkapkan makna adanya fakta korupsi yang terkesan ditutup-tutupi dalam

sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004.

Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat

penggunaan depictions ‘Daan ditembak dua tuduhan sekaligus’ demi mengarahkan

citra Daan sebagai pihak yang dikorbankan; depictions ’tanggung jawab kasus ini

sepenuhnya dipikul Daan Dimara’ demi membangkitkan prasangka bahwa ada pihak

lain yang lebih berkuasa dari Daan yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban

atas kasus korupsi ini; serta depictions pada kalimat konotatif ’Terusik Nyanyian

Meneer Daan’ demi mengarahkan citra buruk atas Hamid, yakni sebagai seseorang

yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab atas kasus

korupsi.
http://prys3107.blogspot.com  153
prys.3107@gmail.com 
 

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan depictions

sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan adanya

fakta korupsi yang terkesan ditutup-tutupi dalam sejumlah proyek pengadaan barang

dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004, dan secara khusus mengarahkan citra

Daan sebagai pihak yang menjadi korban, yang kemudian mengarahkan citra Hamid

sebagai pihak yang lebih berkuasa dari Daan yang seharusnya dimintai

pertanggungjawaban atas kasus korupsi ini. Citra Hamid juga diarahkan sebagai

seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab.

Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 2

Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif

pada sampel 2, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:

1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak

menunjukkan bahwa kontroversi kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas

suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan Hamid Awaludin penting

dan patut diketahui khalayak. Cara Tempo memunculkan banyak pihak yang

diwawancarai dalam teks berita ini memperkuat pentingnya kontroversi ini

diselesaikan secara hukum, sebab ada kepentingan pihak tertentu yang

menginginkan agar kasus ini tidak segera terungkap. Penulis juga menemukan

adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu

serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini.


http://prys3107.blogspot.com  154
prys.3107@gmail.com 
 

2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa

dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan dialog,

dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung dan

utuh, Tempo hendak menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil

pada teks berita tersebut. Penggunaan dialog tersebut juga menyiratkan karakter

Tokoh yang terlibat dalam pemberitaan ditampilkan serealistis mungkin dalam

kehidupan sehari-hari mereka. Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca

masuk ke dalam penceritaan, yang kemudian dapat mengundang penafsiran dan

perluasan makna. Di titik inilah terlihat unsur ambiguitas dalam penggunaan

dialog, serta pada teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan akhir sebab

akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera, sebuah hal yang jelas sangat

dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan

(straightness).

3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan

depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus

dalam mengarahkan citra Daan sebagai pihak yang menjadi korban, yang

kemudian mengarahkan citra Hamid sebagai pihak yang lebih berkuasa dari Daan

yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus korupsi ini. Citra

Hamid juga diarahkan sebagai seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan

mengelak dari tanggungjawab.


http://prys3107.blogspot.com  155
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  156
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  157
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  158
prys.3107@gmail.com 
 

Sampel 3

Judul : Memburu Tersangka Baru (Laporan Utama Sidik Jari di Sekitar Yusril)

Edisi : 4 Maret 2007

Penulis : Wenseslaut Manggut, Arif Kuswardono

Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)

¾ Tema yang diangkat

Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kasus korupsi pengadaan mesin

sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Setidaknya ada tiga sub

tema dalam teks berita ini, yakni fakta kejanggalan pada penyelesaian kasus ini,

dugaan keterlibatan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dalam kasus ini,

serta perseteruan antara Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dengan Yusril.

Pada sub tema pertama, kejanggalan penyelesaian kasus ini merupakan

analisis Tempo yang didapat dari penelusuran investigatif perihal proyek pengadaan

mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang saat itu

dipimpin Yusril. Penulis menyimak kejanggalan yang disebutkan Tempo antara lain

adalah pelaksanaan proyek yang dilakukan jauh sebelum kontrak kerja dengan PT

Sentral Filindo selaku rekanan kerja. Kejangalan juga disebutkan Tempo terletak

pada kesimpangsiuran penerimaan dana yang selisihnya mencapai enam miliar

rupiah. Kejanggalan berikutnya adalah PT Sentral Filindo tidak memiliki bank

guarantee sebagai bank yang seharusnya menjadi sumber modal awal Filindo.

Tema kemudian digiring pada sub tema berikutnya yang menelusuri

keterlibatan Yusril dalam kasus ini. Namun dalam hal ini Tempo lebih menyajikan
http://prys3107.blogspot.com  159
prys.3107@gmail.com 
 

kesimpangsiuran informasi dari para tersangka dan saksi. Sedangkan sub tema

perseteruan antara Ruki dengan Yusril diposisikan secara menonjol sebagai pembuka

atau news peg dari teks berita ini. Perseteruan ini ditengahi langsung oleh Presiden RI

Susilo Bambang Yudhoyono dengan menggelar rapat terbatas di Istana Negara.

Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan

multi liputan, yakni peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara (par 1

dan 2), peristiwa ketika jumpa pers setelah rapat terbatas digelar (par 3 s/d 5),

keterangan Apendi selaku pimpinan proyek pengadaan mesin sidik jari (par 9),

keterangan Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean

(par 11 s/d 30), keterangan Fachmi Yandri (par 27 dan 28), keterangan Abdurrahman

Tadjo (par 31 s/d 33), keterangan Yusril (par 24 s/d 35), keterangan Ruki (par 36),

keterangan sumber anonim (par 15, 16, 28), serta analisis Tempo yang didukung oleh

penelusuran referensi perkembangan kasus ini. Multi liputan tersebut menunjukkan

liputan dilakukan dengan terencana pada waktu yang berbeda.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa tema yang diangkat pada sampel ini

–yakni tema kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Depatemen Hukum dan

Perundang-undangan– adalah tema dengan cakupan peristiwa yang luas. Ini terlihat

dari pembagian tiga sub tema yang menyoalkan seputar kejanggalan kasus, dugaan

keterlibatan Yusril, serta perseteruan Ruki dengan Yusril. Dalam menyajikan teks

berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang

berbeda.
http://prys3107.blogspot.com  160
prys.3107@gmail.com 
 

¾ Penempatan berita

Pada edisi 4 Maret 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Sidik Jari di

Sekitar Yusril’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh Ruki tengah berhadapan dengan

Yusril dan diberi judul sama dengan liputan utama. Judul ini juga menjadi judul

rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Sidik

Jari di Sekitar Yusril tersebut berjumlah tiga tulisan berita dan dua tulisan wawancara

yang terbentang dari halaman 26 s/d 35.

Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan

pertama menempati enam halaman dan diberi caption pada halaman bagian atas

dengan judul rubrik ‘Sidik Jari di Sekitar Yusril’. Sampel ini diawali dua halaman

pembuka yang dihabiskan dengan ilustrasi grafis tokoh Ruki-Yusril-dan SBY, serta

judul teks berita dan dua paragraf pembuka dengan karakter font cukup besar dan

menonjol.

Teks berita baru mulai ditempatkan pada halaman ketiga yang dilengkapi

dengan foto rapat terbatas di Istana Negara yang dihadiri juga oleh SBY, Jusuf Kalla,

Yusril, Sudi Silalahi, dan Ruki untuk secara khusus membahas persoalan Ruki-

Yusril. Foto lain menggambarkan proses pembuatan paspor yang menggunakan

system biometrik dan mesin sidik jari. Sebuah data grafis juga ditampilkan tersendiri

berisi profil lima tokoh yang terkait dengan kasus ini. Pada sisi atas di halaman 29

dan sisi bawah di halaman 30, ditampilkan kutipan Ruki dan Yusril lengkap dengan

ilustrasi wajah keduanya.


http://prys3107.blogspot.com  161
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini

sebagai peristiwa utama yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan

penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang begitu padat informasi,

padat ilustrasi dan grafis, serta memiliki nilai artistik.

Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)

Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa peristiwa yang

diangkat Tempo adalah tema kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen

Hukum dan Perundang-undangan dengan pembagian tiga sub tema yang menyoalkan

seputar kejanggalan kasus, dugaan keterlibatan Yusril, dan perseteruan Ruki dengan

Yusril. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan

terencana pada waktu yang berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai

peristiwa utama yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan

posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang begitu padat informasi, padat ilustrasi

dan grafis, serta memiliki nilai artistik.

Menyimak dari luasnya cakupan tema peristiwa dan penempatan berita yang

diperhitungkan, maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas

peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa tema

peristiwa yang penting dan patut diketahui khalayak ini membutuhkan pemaparan

yang lengkap dan menyeluruh, yakni dengan melakukan multi liputan, analisis

mendalam, investigatif serta disuguhkan dengan penempatan berita yang cukup

diperhitungkan baik secara teknis maupun secara artistik. Penulis menemukan adanya

perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta
http://prys3107.blogspot.com  162
prys.3107@gmail.com 
 

perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas

peristiwa.

Yang juga menjadi pemaknaan penulis adalah, Tempo hendak menunjukkan

bahwa meski ada kesimpangsiuran informasi, namun penyelesaian kasus ini terus

diusahakan oleh para penyidik dengan mencari bukti lain dan memburu para

tersangka baru. Ini ditunjukkan dengan pemberian label (labeling) Tempo pada teks

penutup berita yang menyebutkan peristiwa tersebut kini tengah memasuki ‘babak

ketiga’. Labelling ini juga menyiratkan bahwa Tempo akan terus memantau

perkembangan terbaru dari kasus korupsi tersebut.

Estetika Bahasa (Pembuktian)

¾ Penyusunan adegan

Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal, bagian

tengah, dan bagian akhir teks. Pada bagian awal teks, ada tiga penyusunan adegan

yang dilakukan Tempo. Pertama, adalah rekaman peristiwa pertemuan antara Ruki

dengan Yusril di Istana Negara, Jakarta, beberapa hari sebelum teks berita ini dimuat.

Dalam latar tempat dan waktu inilah, adegan disusun dengan menampilkan

percakapan antara Ruki dan Yusril ketika menghadiri rapat kabinet terbatas yang

digelar SBY. Hal ini ditulis Tempo sebagai pembuka teks berita (lead) berikut (par 1

dan 2):

Dua pejabat penting yang tengah berseteru itu bertemu di Istana Negara,
Jakarta, Jumat pekan lalu. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra
menghampiri Taufiequrahman Ruki, yang tengah mengobrol dengan seorang
http://prys3107.blogspot.com  163
prys.3107@gmail.com 
 

pejabat. “Gue pikir lu stroke,” ujar Yusril sembari mengajak bersalaman.


Ruki sontak terbahak. Belum sempat dia membalas canda itu, Yusril, yang
kala itu tampil necis dengan jas hitam, ngeloyor pergi. Tapi Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi ini tak hendak kalah set. “Mau panco,” dia berseru
sembari mengepalkan tangan ke arah Yusril. Beberapa pejabat yang menyaksikan
guyonan itu ikut tertawa. Ada pula yang cuma tersipu.

Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tak

hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam

suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan

Yusril di Istana Negara terjadi. Yang patut disimak adalah adegan ini ditulis Tempo

berdasarkan observasi wartawan Tempo di lapangan. Hal ini menunjukkan ada upaya

rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan

ini secara langsung dan utuh. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai

pembuka atau news peg dari teks berita.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menyusun adegan pertama pada

awal teks dengan penggunaan bahasa yang tak hanya menampilkan informasi perihal

tema yang diangkat, tetapi juga merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan

peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.

Adegan kemudian beralih ke penyusunan adegan kedua di bagian awal teks

sebagai pokok persoalan, yakni peristiwa yang terjadi saat rapat terbatas berlangsung.

Lalu berlanjut ke penyusunan adegan ketiga yang disusun mulai dari peristiwa masa

lalu secara kronologis, yakni pemeriksaan KPK terhadap Yusril dua pekan

sebelumnya hingga menimbulkan polemik.


http://prys3107.blogspot.com  164
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menyusun adegan ketiga pada

awal teks dengan menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang

masa lalu secara kronologis. Dari sudut pandang estetika bahasa, penggunaan teknik

kilas balik ini merupakan cerita dalam cerita yang dalam kaidah sastra lazim disebut

bingkai cerita.

Kemudian pada bagian tengah teks, adegan disusun dengan pemaparan fakta-

fakta yang mengandung kejanggalan atas kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di

Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Pemaparan kejanggalan kasus ini

antara lain adalah ketidakjelasan kontrak kerja pelaksanaan proyek (par 11),

kesimpangsiuran penerimaan dana (par 13), dan tiadanya bank guarantee sebagai

bank yang seharusnya menjadi sumber modal awal PT Sentral Filindo (par 16).

Pembuktian ini menunjukkan bahwa bagian tengah teks ini disusun dengan

penelusuran investigasi dan hasil analisis Tempo atas fakta-fakta mengenai

pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan.

Baru di bagian akhir teks, adegan disusun dengan pemaparan fakta

keterlibatan Yusril dalam kasus ini. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut (par 19

dan 20):

Sejauhmana keterlibatan Yusril Ihza Mahendra dalam kasus ini terus


ditelusuri para penyidik. Keterangan para tersangka dan sejumlah saksi masih
simpang-siur. Tapi soal penunjukkan langsung itu memang atas restu Menteri
Yusril.
Lihatlah fakta berikut ini. Pada 14 Oktober 2004, Zulkarnain mengirim memo
kepada Yusril Izha Mahendra. Isinya meminta Pak Menteri menyetujui metode
penunjukkan langsung dalam proyek ini. Empat hari kemudian, Yusril menjawab
memo itu. Isinya, dia setuju dengan metode penunjukkan langsung tersebut.
http://prys3107.blogspot.com  165
prys.3107@gmail.com 
 

Bagian akhir teks yang disusun dengan pemaparan fakta keterlibatan Yusril

dalam kasus ini kemudian ditutup dengan kutipan pernyataan Ruki yang meggelar

jumpa pers setelah pertemuan di Istana Negara tersebut. Dalam teks berita tersebut

ditulis bahwa Ruki memastikan bakal ada tersangka baru dalam beberapa waktu ke

depan (par 35, kal 2). Hal inilah yang membuat Tempo menutup teks berita dengan

komentar Tempo atas pernyataan Ruki tersebut dengan gaya narasi berikut ini (par

35, kal 3): “Siapa tahu si tersangka baru bisa membuka babak ketiga dari kasus ini.”

Pembuktian ini menunjukan bahwa bagian akhir teks ini disusun dengan

pemaparan fakta keterlibatan Yusril, dan teks berita ini ditutup dengan satu kalimat

komentar Tempo dengan gaya narasi. Pada kalimat penutup inilah, Tempo

menggunakan teknik teks terbuka, yakni menunda kesimpulan akhir sebab akhir

peristiwanya belum dapat diketahui segera.

¾ Perspektif orang ketiga

Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini terlihat pada bagian

awal teks berita. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo memanfaatkan perspektif

tokoh-tokoh yang muncul –yakni Yusril, Ruki, dan beberapa pejabat lain– secara

terbatas. Hal ini ditunjukkan pada pembuka teks berita yang telah penulis kutip di

halaman 162-163.

Pada kutipan tersebut, perspektif orang ketiga yang digunakan tempo tidak

mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat

yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Dari sudut pandang estetika bahasa,

meleburnya perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh-tokoh


http://prys3107.blogspot.com  166
prys.3107@gmail.com 
 

yang ditulisnya disebut sebagai perspektif orang ketiga amatan (third person observer

narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh

yang diceritakannya.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga amatan

dalam sampel ini dilakukan Tempo dengan merekam suasana-demi-suasana untuk

menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.

Tempo menggunakan perspektif orang ketiga amatan lewat deskripsi peristiwa

tersebut.

¾ Penempatan detail

Penempatan detail dalam sampel ini antara lain diungkapkan pada rincian

peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi. Detail yang

ditampilkan adalah perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama

pejabat. Hal ini terlihat pada pembuka teks berita yang telah penulis kutip di halaman

162-163.

Pada kutipan tersebut, detail perilaku menunjukkan bagaimana perseteruan

Ruki dan Yusril ditingkahi dengan perilaku santai dan guyon keduanya. Detail gestur

tubuh ditampilkan saat Ruki ‘mengepalkan tangan ke arah Yusril’. Detail pakaian

ditempatkan pada Yusril ‘yang kala itu tampil necis dengan jas hitam’. Detail

hubungan dengan sesama pejabat ditampilkan dengan deskripsi ‘Beberapa pejabat

yang menyaksikan guyonan itu ikut tertawa. Ada pula yang cuma tersipu.’

Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo banyak menggunakan

penempatan detail perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama
http://prys3107.blogspot.com  167
prys.3107@gmail.com 
 

pejabat, khususnya dalam mendeskripsikan peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril

di Istana Negara.

Estetika Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa

hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain

adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan pertama pada awal teks dengan

penggunaan bahasa yang tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang

diangkat, tetapi juga merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa

saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.

Penyusunan adegan ketiga pada awal teks menggunakan teknik kilas balik

(flashback) yang merekam ulang masa lalu secara kronologis sebagai bingkai cerita.

Penyusunan adegan pada bagian tengah teks ini dengan penelusuran investigasi dan

hasil analisis Tempo atas fakta mengenai pengadaan mesin sidik jari di Departemen

Hukum dan Perundang-undangan. Serta penyusunan adegan pada bagian akhir teks

ini pemaparan fakta keterlibatan Yusril, dan teks berita ini ditutup dengan satu

kalimat komentar Tempo dengan gaya narasi. Pada kalimat penutup inilah, Tempo

menggunakan teknik teks terbuka, yakni menunda kesimpulan akhir sebab akhir

peristiwanya belum dapat diketahui segera.

Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang

menghadirkan perspektif orang ketiga amatan (third person observer narrator)

sebatas pengamatan terlibat yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja untuk

menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.
http://prys3107.blogspot.com  168
prys.3107@gmail.com 
 

Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak

penempatan detail perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama

pejabat secara rinci dalam mendeskripsikan peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril

di Istana Negara.

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang

terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif

orang ketiga, dan penempatan detail.

Khusus pada penempatan detail, penulis berpendapat bahwa Tempo hendak

memotret latar belakang kehidupan tokoh di balik kasus korupsi dan perseteruan

Ruki-Yusril. Penulis juga berpendapat bahwa hal ini melambangkan setting

komunitas sosial tertentu menyangkut status dan prestise yang melingkupi tokoh Ruki

dan Yusril. Maka dengan begitu, pembaca akan mendapatkan gambaran peristiwa

yang tak hanya informatif, namun juga mendalam dan bermakna.

Penempatan detail yang terperinci pada perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan

hubungan dengan sesama tokoh, sesungguhnya merupakan detail yang selintas saja

dan bukanlah informasi penting. Namun secara kreatif Tempo menggunakannya demi

memperkuat pengadegan dan penokohan dari peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini

berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan

detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.


http://prys3107.blogspot.com  169
prys.3107@gmail.com 
 

Politik Bahasa (Pembuktian)

¾ Metafora

Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan dua analogi sebagai bentuk

politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat

konotatif. Pertama, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Kasus ini bertabur

kejanggalan’ (par 10, kal 1).

Frase konotatif ‘bertabur kejanggalan’ menganalogikan banyaknya

ketidakberesan pada sesuatu hal atau peristiwa. Maka pada kalimat di atas, frase

konotatif tersebut mengacu pada banyaknya ketidakberesan yang terjadi dalam

peristiwa kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan

Perundang-undangan.

Penulis menganalisis bahwa analogi tersebut tidak hanya menunjukkan

adanya tindakan korupsi pada peristiwa proyek pengadaan mesin sidik jari, tetapi

juga menunjukkan bahwa banyaknya ketidakberesan pada peristiwa penyidikan kasus

korupsi ini. Sehingga hal tersebut membangkitkan prasangka bahwa memang ada hal

yang ditutup-tutupi dalam peristiwa ini dan ada pihak yang memang sengaja

menghambat penyelesaian kasus korupsi tersebut.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

analogi tersebut adalah makna pengungkapan banyaknya ketidakberesan pada

penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan

Perundang-undangan, serta membangkitkan prasangka adanya pihak yang sengaja

menghambat penyelesaian kasus korupsi tersebut.


http://prys3107.blogspot.com  170
prys.3107@gmail.com 
 

Prasangka di atas kemudian diperkuat dengan penggunaan analogi kedua,

yakni pada kalimat ‘Sejumlah anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak

tahu-menahu soal proyek yang dikenal sangat empuk tersebut’ (par 13, kal 2).

Pada kalimat di atas, frase konotatif ‘proyek yang dikenal sangat empuk’

menganalogikan sifat dari sesuatu peristiwa, kegiatan, pekerjaan, atau hal yang dapat

menghasilkan banyak uang. Dengan kata lain, frase tersebut menganalogikan bahwa

proyek pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan

merupakan proyek yang dikenal dapat menghasilkan banyak uang.

Penulis kemudian menyimak bahwa penggunaan kata ‘dikenal’ dalam frase

tersebut tidak secara pasti menjelaskan siapa objek yang diacunya. Penulis

menganalisis bahwa penggunaan kata ‘dikenal’ dalam frase tersebut dilakukan

Tempo dalam mengandaikan pembaca (publik luas) sebagai obyek acuannya yang

telah mengetahui hal tersebut. Dengan kata lain, frase konotatif ‘proyek yang dikenal

sangat empuk’ menganalogikan bahwa proyek pengadaan mesin sidik jari tersebut

merupakan proyek yang dapat menghasilkan banyak uang dan juga telah diketahui

publik secara luas.

Frase konotatif inilah yang kemudian digabung dengan frase ‘Sejumlah

anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak tahu-menahu’ dalam memperkuat

prasangka Tempo bahwa ada pihak yang pura-pura tidak tahu tentang proyek tersebut

demi menutup-nutupi kasus ini, yaitu pihak anggota panitia sendiri. Bentuk analogi

semacam ini disebut proterito yang seolah-olah merahasiakan sesuatu tetapi

kemudian membukanya juga.


http://prys3107.blogspot.com  171
prys.3107@gmail.com 
 

Maka kalimat konotatif ‘Sejumlah anggota panitia pengadaan ini juga

mengaku tidak tahu-menahu soal proyek yang dikenal sangat empuk tersebut’

digunakan dalam menganalogikan bahwa ada pihak yang pura-pura tidak tahu tentang

proyek yang dapat menghasilkan banyak uang tersebut. Pihak tersebut adalah tersebut

anggota panitia pengadaan sendiri yang berpura-pura tidak tahu-menahu demi

menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

analogi tersebut adalah makna pengungkapan rahasia yang ditutupi anggota panitia

pengadaan dengan memberi kesaksian bohong dan berpura-pura tidak tahu-menahu

demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini.

¾ Depictions

Pada sampel ini, ada satu depictions yang akan dianalisis sebagai bentuk

politik bahasa Tempo dalam mengarahkan citra tertentu. Depictions tersebut tertuang

lewat kalimat konotatif ‘Sidik Jari di Sekitar Yusril’. Kalimat ini memang tidak

tercantum di dalam teks berita. Namun kalimat tersebut tampak menonjol karena ia

adalah judul rubrik liputan utama yang ditempatkan di halaman bagian atas dari

sampel.

Pada kalimat tersebut, frase ‘sidik jari’ mengacu pada mesin sidik jari, atau

lebih luas lagi menganalogikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di

Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Penempatan nama Yusril sebagai

obyek pelaku, menunjukkan bahwa kasus korupsi tersebut memiliki keterkaitan

dengan Yusril. Keterkaitan tersebut adalah jabatan Yusril sebagai Menteri Hukum
http://prys3107.blogspot.com  172
prys.3107@gmail.com 
 

dan Perundang-undangan ketika proyek pengadaan mesin sidik jari dilakukan di

tahun 2004. Keterkaitan Yusril di sini juga bisa diartikan sebagai keterlibatan Yusril

dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa penggunaan depictions tersebut

merupakan upaya Tempo dalam mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang

memiliki keterlibatan dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari

sehubungan dengan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

Politik Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat

penggunaan analogi pada kalimat konotatif ‘Kasus ini bertabur kejanggalan’ sebagai

makna pengungkapan banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi

pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan, serta

membangkitkan prasangka adanya pihak yang sengaja menghambat penyelesaian

kasus korupsi tersebut.

Penggunaan analogi proterito juga dilakukan Tempo lewat kalimat ‘Sejumlah

anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak tahu-menahu soal proyek yang

dikenal sangat empuk tersebut’ sebagai makna pengungkapan rahasia yang ditutupi

anggota panitia pengadaan dengan memberi kesaksian bohong dan berpura-pura tidak

tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini.

Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat

penggunaan depictions ’Sidik Jari di Sekitar Yusril’ sebagai upaya Tempo dalam
http://prys3107.blogspot.com  173
prys.3107@gmail.com 
 

mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang memiliki keterlibatan dalam kasus

korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari sehubungan dengan jabatannya

sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan depictions

sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan

banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari

di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Salah satunya dengan

mengungkapkan kesaksian bohong anggota panitia pengadaan yang berpura-pura

tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi

ini, dan secara khusus mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang memiliki

keterlibatan dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari sehubungan

dengan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 3

Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif

pada sampel 3, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:

1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak

menunjukkan bahwa kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen

Hukum dan Perundang-undangan merupakan peristiwa penting dan patut

diketahui khalayak. Tempo juga hendak menunjukkan bahwa meski ada

kesimpangsiuran informasi, namun penyelesaian kasus ini terus diusahakan oleh


http://prys3107.blogspot.com  174
prys.3107@gmail.com 
 

para penyidik dengan mencari bukti lain dan memburu para tersangka baru.

Tempo sendiri akan terus memantau perkembangan terbaru dari kasus korupsi

tersebut. Karena itu, peristiwa ini membutuhkan pemaparan yang lengkap dan

menyeluruh, yakni dengan melakukan multi liputan, analisis mendalam,

investigatif serta disuguhkan dengan penempatan berita yang cukup

diperhitungkan baik secara teknis maupun secara artistik. Penulis menemukan

adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu

serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo

atas peristiwa.

2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa

dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang

ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penempatan detail, Tempo hendak

memotret latar belakang kehidupan tokoh Ruki dan Yusril yang diberitakannya,

serta melambangkan setting komunitas sosial tertentu menyangkut status dan

prestise yang melingkupi tokoh tersebut. Dengan begitu, pembaca akan

mendapatkan gambaran peristiwa yang tak hanya informatif, namun juga

mendalam dan bermakna. Penempatan detail yang terperinci pada perilaku, gestur

tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama tokoh, sesungguhnya merupakan

detail yang selintas saja dan bukanlah informasi penting. Secara kreatif Tempo

menggunakannya demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari peristiwa

dalam teks berita ini. Hal ini berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional
http://prys3107.blogspot.com  175
prys.3107@gmail.com 
 

yang menghindari penempatan detail selintas dan mensyaratkan pemuatan

informasi penting sebagai prioritas.

3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions

sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan

banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik

jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan, salah satunya dengan

mengungkapkan kesaksian bohong anggota panitia pengadaan yang berpura-pura

tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus

korupsi ini, dan secara khusus mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang

memiliki keterlibatan dalam kasus korupsi tersebut.


http://prys3107.blogspot.com  176
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  177
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  178
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  179
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  180
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  181
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  182
prys.3107@gmail.com 
 

Sampel 4

Judul : Riwayat Pendek Rekening Tebet

Edisi : 25 Maret 2007

Penulis : Budi Setyarso

Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)

¾ Tema yang diangkat

Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kasus pencairan sejumlah uang

milik Tommy Soeharto di Bank Paribas di London. Uang bermasalah tersebut

kemudian juga ditransfer ke salah satu rekening di Bank BNI cabang Tebet, Jakarta

Selatan atas nama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) milik

Departemen Hukum dan HAM. Penelusuran keberadaan rekening inilah yang

menjadi fokus peristiwa dalam teks berita tersebut.

Bisa disimak bahwa liputan dalam teks berita ini tidak berangkat dari suatu

kejadian atau peristiwa, namun Tempo sendirilah yang membuat peristiwa ini. Dalam

menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan liputan yang partisipatif, yakni ketika

Tempo turut menjadi satu tokoh dalam peristiwa. Dengan kata lain, ada keterlibatan

(immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung dalam melakukan penelusuran

keberadaan rekening AHU secara mandiri. Keterlibatan ini menunjukkan liputan

dilakukan dengan mandiri dan terencana dengan nuansa investigasi yang kental.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa lewat teks berita ini, Tempo

mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai

pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks
http://prys3107.blogspot.com  183
prys.3107@gmail.com 
 

berita ini, ada keterlibatan (immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung dalam

melakukan penelusuran keberadaan rekening AHU secara mandiri. Keterlibatan ini

menunjukkan liputan dilakukan dengan mandiri dan terencana dengan nuansa

investigasi yang kental.

¾ Penempatan berita

Pada edisi 25 Maret 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Menteri Hamid

dan Duit Tommy’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh Hamid tengah mengangkat

telepon sambil tersenyum dan diberi judul “Hamid… Hamid’. Judul ini juga menjadi

judul rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama

Menteri Hamid dan Duit Tommy tersebut berjumlah tiga tulisan berita dan satu

tulisan wawancara yang terbentang dari halaman 26 s/d 35. Teks berita yang menjadi

sample ini ditempatkan Tempo sebagai tulisam kedua yang menempati satu halaman

yang dilengkapi dengan satu foto Bank BNI cabang Tebet.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini

sebagai bagian dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak.

Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tidak begitu menonjol.

Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)

Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tema peristiwa

yang diangkat Tempo adalah upaya penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank

BNI cabang Tebet dalam kaitannya dengan kasus pencairan sejumlah uang

bermasalah milik Tommy Soeharto di Bank Paribas di London. Dalam menyajikan

teks berita ini, ada keterlibatan (immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung,
http://prys3107.blogspot.com  184
prys.3107@gmail.com 
 

mandiri dan terencana dengan nuansa investigasi yang kental. Tempo menempatkan

teks berita ini sebagai bagian dari peristiwa utama yang juga penting dan patut

diketahui khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tidak begitu menonjol.

Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam

sampel ini adalah, liputan dalam teks berita ini tidak berangkat dari suatu kejadian

atau peristiwa, namun Tempo sendirilah yang membuat peristiwa ini. Karenanya,

liputan peristiwa ini dilakukan Tempo upaya yang mandiri dengan nuansa investigasi

yang kental. Upaya penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank BNI cabang

Tebet merupakan bagian pelengkap yang tak hanya mendukung liputan utama Tempo

pada edisi tersebut, namun juga membangkitkan kesan bahwa ada hal yang ditutup-

tutupi dalam kasus kasus pencairan sejumlah uang bermasalah milik Tommy

Soeharto di Bank Paribas di London. Penulis menemukan adanya perencanaan

agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang

matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.

Estetika Bahasa (Pembuktian)

¾ Penyusunan adegan

Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal teks. Pada

bagian ini, adegan disusun berdasarkan peristiwa penyetoran uang ke rekening di

Bank BNI Cabang Tebet. Pada adegan ini, wartawan Tempo sendiri yang menjadi

salah satu tokohnya. Hal ini ditunjukkan pada kutipan par 1 berikut:
http://prys3107.blogspot.com  185
prys.3107@gmail.com 
 

Kasir Bank BNI Cabang Tebet, Jakarta Selatan, itu tersenyum sopan lalu
meminta maaf. Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo.
“Rekening yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya.
“Kapan rekening itu ditutup?”
“Sejak setahun yang lalu, Pak.”

Dari kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang

merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang

di bank terjadi. Tampak bahwa peristiwa tersebut ditampilkan sebagai rekaman

faktual yang hidup, sebab dialami langsung oleh penulisnya sendiri. Adegan ini

diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau news peg dari teks berita.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa penyusunan adegan pada bagian awal

teks dilakukan Tempo dengan penggunaan bahasa yang menghadirkan peristiwa

secara langsung sebagai rekaman faktual yang hidup.

¾ Dialog

Penggunaan dialog dalam sampel ini terlihat pada adegan yang menampilkan

isi percakapan antara Tempo dengan kasir bank. Dialog tersebut sebagai berikut (par

1 s/d 3):

Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo. “Rekening


yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya.
“Kapan rekening itu ditutup?”
“Sejak setahun yang lalu, Pak.”

Penggunaan dialog juga terlihat pada par 4 berikut ini:

. . . “Benar, rekening itu atas nama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum


Umum?” Nona kasir menjawab pasti: “Benar, Pak.”
http://prys3107.blogspot.com  186
prys.3107@gmail.com 
 

Pada kedua dialog tersebut, Tempo menggunakan teknik kutipan langsung

yang menghadirkan isi percakapan secara utuh. Teknik penggunaan dialog seperti ini

sangat tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada

karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah

Tempo menyusun dialog tersebut berdasarkan persitiwa yang dialami penulisnya

sendiri, maka jelas bahwa dalam hal ini Tempo adalah pihak yang berada saat

peristiwa itu terjadi dan berperan sebagai salah satu tokoh dalam teks berita ini.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa ada penggunaan dialog yang sangat tidak

lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra

semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan dialog merupakan upaya

rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan

ini secara langsung dan utuh.

¾ Perspektif orang ketiga

Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini terlihat pada bagian

awal teks berita. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo memanfaatkan perspektif

tokoh nona kasir yang ditunjukkan pada par 1:

Kasir Bank BNI Cabang Tebet, Jakarta Selatan, itu tersenyum sopan lalu
meminta maaf. Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo.
“Rekening yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya.

Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan Tempo tidak

mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat

yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja, terutama pada kalimat ‘tersenyum sopan
http://prys3107.blogspot.com  187
prys.3107@gmail.com 
 

lalu meminta maaf’. Dari sudut pandang estetika bahasa, perspektif penulis selaku

narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya disebut sebagai perspektif

orang ketiga amatan (third person observer narrator). Teknik ini menyiratkan

keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh yang diceritakannya.

Juga penulis perhatikan, penggunaan perspektif orang ketiga amatan ini

kemudian beralih ke perspektif orang pertama di mana Tempo muncul sebagai salah

satu tokohnya. Hal ini ditunjukkan dalam kalimat berikut (par 4):

Kamis pagi pekan lalu, Tempo berusaha menyetor sejumlah uang ke rekening
bernomor 0047885273 di bank itu. “Benar, rekening itu atas nama Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum?” Nona kasir menjawab pasti: “Benar,
Pak.”

Pada kutipan tersebutlah, penulis menemukan bahwa Tempo mengunakan

perspektif orang pertama sebagai alat yang menceritakan jalannya peristiwa. Kutipan

ini juga menunjukkan keterlibatan perspektif orang pertama (Tempo) dalam tokoh

nona kasir dalam kalimat ‘Nona kasir menjawab pasti’. Dari sudut pandang estetika

bahasa, kehadiran perspektif penulis selaku narator (Tempo) disebut sebagai

perspektif orang pertama sertaan (first person participant narrator). Teknik ini

menunjukkan adanya keterlibatan perspektif orang pertama (Tempo) dalam tokoh

nona kasir.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa upaya Tempo menghadirkan

peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi, dilakukan dengan menggunakan

perspektif orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama

sertaan dalam sampel ini.


http://prys3107.blogspot.com  188
prys.3107@gmail.com 
 

Estetika Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa

hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain

adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menghadirkan peristiwa

secara langsung sebagai rekaman faktual yang hidup.

Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan adanya penggunaan

dialog yang sangat tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak

digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan

dialog merupakan upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk

menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh.

Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan penggunaan

perspektif orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama

sertaan sebagai upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di

bank terjadi.

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang

terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan

dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung

dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak menerangkan

bagaimana penyusuran keberadaan rekening AHU bermula, yakni dengan

menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil pada teks berita tersebut.

Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca menyaksikan peristiwa dalam teks
http://prys3107.blogspot.com  189
prys.3107@gmail.com 
 

berita ini secara langsung. Juga pada penggunaan perspektif orang ketiga amatan,

yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama sertaan, penulis berpendapat

bahwa hal ini tak hanya menunjukkan upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa

saat penyetoran uang di bank terjadi, tetapi juga merupakan sebuah eksperimentasi

dalam penulisan jurnalisme.

Politik Bahasa (Pembuktian)

¾ Metafora

Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan analogi sebagai bentuk

politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat

konotatif. Antara lain adalah penggunaan analogi pada baris kalimat di bawah judul,

‘Satu di antara ribuan rekening siluman’.

Kata konotatif ‘siluman’ menganalogikan sesuatu hal seperti hantu yang tidak

jelas keberadaannya. Kata ‘siluman’ juga dapat digunakan untuk menganalogikan

sesuatu yang mengancam, menakutkan, atau menimbulkan masalah. Sedangkan frase

‘rekening siluman’ sendiri mengacu pada rekening AHU milik Departemen Hukum

dan Hak Asasi Manusia di Bank BNI cabang Tebet sebagai tempat transfer uang

bermasalah milik Tommy Soeharto.

Maka pada kalimat tersebut, frase konotatif ‘rekening siluman’

menganalogikan fakta tidak jelasnya keberadaan rekening AHU sebagai tempat

transfer uang bermasalah milik Tommy Soeharto yang tidak dilaporkan ke

Departemen Keuangan. Sifat ketidakjelasan inilah yang kemudian membuat rekening


http://prys3107.blogspot.com  190
prys.3107@gmail.com 
 

AHU dipandang sebagai suatu masalah yang menakutkan, yakni sebagai salah satu

dari ribuan rekening milik berbagai departemen pemerintahan yang disalahgunakan

dan melakukan korupsi.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta tidak jelasnya keberadaan

rekening AHU sebagai salah satu dari ribuan rekening milik berbagai departemen

pemerintahan yang disalahgunakan untuk korupsi.

Pengungkapan fakta tidak jelasnya keberadaan rekening AHU ini kemudian

dipertegas lagi lewat pengunaan analogi berikutnya, yakni ‘Riwayat Pendek

Rekening Tebet’ (judul teks berita), dan ‘Riwayat rekening itu ternyata tak panjang”

(par 14, kal 1).

Pada judul dan kalimat tersebut, analogi yang digunakan tertuang dalam frase

konotatif yang serupa, yakni ‘riwayat pendek’. Kata ‘riwayat’ memiliki arti cerita

turun temurun yang telah dialami/ dijalankan seseorang dan memiliki kandungan

mengandung sejarah. Maka frase ‘riwayat pendek’ hendak menganalogikan sebuah

peristiwa atau cerita turun temurun yang memiliki kandungan mengandung sejarah

dalam rentang waktu yang singkat. Dengan kata lain, peristiwa tersebut bukan hanya

benar-benar terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi juga telah menjadi bagian dari

masyarakatnya sendiri.

Dalam hal ini, Tempo menggunakan frase konotatif ‘riwayat pendek’ untuk

menganalogikan keberadaan rekening AHU yang meskipun singkat namun memiliki

kandungan sejarahnya sendiri, dan telah menjadi bagian dari masyarakat di kalangan
http://prys3107.blogspot.com  191
prys.3107@gmail.com 
 

departemen.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta keberadaan rekening AHU yang

singkat dan telah menjadi catatan sejarah. Jika dikaitkan dengan pembuktian frase

konotatif sebelumnya (‘rekening siluman’ sebagai pengungkapan fakta ketidakjelasan

keberadaan rekening AHU), maka frase konotatif ‘riwayat pendek’ hendak

membangkitkan kecurigaan bahwa ketidakjelasan keberadaan rekening AHU

disebabkan oleh adanya pihak-pihak yang berupaya mengaburkan keberadaan

rekening tersebut. Dalam artian, lewat frase tersebut Tempo hendak mengungkapkan

bahwa ada pihak yang sengaja menutup-nutupi perihal keberadaan rekening AHU.

Politik Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat

penggunaan analogi, yakni dalam frase konotatif ‘rekening siluman’ yang

menganalogikan fakta keberadaan rekening AHU sebagai salah satu dari ribuan

rekening milik berbagai departemen pemerintahan yang tidak jelas, menakutkan, dan

disalahgunakan untuk melakukan korupsi; frase konotatif ‘riwayat pendek’ untuk

menganalogikan keberadaan rekening AHU yang meskipun singkat namun memiliki

kandungan sejarahnya sendiri, dan telah menjadi bagian dari masyarakat di kalangan

departemen, sekaligus mengungkapkan bahwa ada pihak yang sengaja menutup-

nutupi perihal keberadaan rekening AHU.


http://prys3107.blogspot.com  192
prys.3107@gmail.com 
 

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi sebagai bentuk politik

bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan bahwa ada pihak yang sengaja

menutup-nutupi keberadaan rekening AHU di Departemen Hukum dan HAM. Pihak

tersebut mestilah pihak yang paling bertanggung jawab di Direktorat Jenderal

Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM, yakni Hamid

Awaluddin sebagai Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu.

Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 4

Berdasarkan rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif pada

sampel 4, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:

1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah liputan Tempo dalam

teks berita ini tidak berangkat dari suatu kejadian atau peristiwa, namun Tempo

sendirilah yang membuat peristiwa ini. Karenanya, liputan peristiwa ini dilakukan

Tempo upaya yang mandiri dengan nuansa investigasi yang kental. Upaya

penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank BNI cabang Tebet merupakan

bagian pelengkap yang tak hanya mendukung liputan utama Tempo pada edisi

tersebut, namun juga membangkitkan kesan bahwa ada hal yang ditutup-tutupi

dalam kasus kasus pencairan sejumlah uang bermasalah milik Tommy Soeharto

di Bank Paribas di London. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda

(agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang

matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.
http://prys3107.blogspot.com  193
prys.3107@gmail.com 
 

2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa

dalam teks berita tersebut –khususnya pada penyusunan adegan, penggunaan

dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara

langsung dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak

menerangkan bagaimana penyusuran keberadaan rekening AHU bermula, yakni

dengan menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil pada teks berita

tersebut. Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca menyaksikan

peristiwa dalam teks berita ini secara langsung. Juga pada penggunaan perspektif

orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama sertaan,

penulis berpendapat bahwa hal ini tak hanya menunjukkan upaya Tempo dalam

menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi, tetapi juga

merupakan sebuah eksperimentasi dalam penulisan jurnalisme.

3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi sebagai

bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan bahwa ada

pihak yang sengaja menutup-nutupi keberadaan rekening AHU di Departemen

Hukum dan HAM. Pihak tersebut mestilah pihak yang paling bertanggung jawab

di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum

dan HAM, yakni Hamid Awaluddin sebagai Menteri Hukum dan HAM Kabinet

Indonesia Bersatu.
http://prys3107.blogspot.com  194
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  195
prys.3107@gmail.com 
 

Sampel 5

Judul : Mereka yang Kembali ke Laptop

Edisi : 20 Mei 2007

Penulis : Wenseslaut Manggut, Wahyu Dhyatmika

Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)

¾ Tema yang diangkat

Tema yang diangkat pada sampel ini adalah reshuffle Kabinet Indonesia

Bersatu. Tema besar ini kemudian dibagi menjadi dua sub tema, yakni aktivitas para

mantan menteri yang dicopot dari kabinet, dan korupsi pengadaan segel amplop

kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan mantan Menteri Hukum dan

HAM Hamid Awaludin.

Pada sub tema pertama, aktivitas para mantan menteri yang dicopot dari

kabinet ditulis Tempo dengan nuansa human interest. Para mantan menteri yang

disorot dalam teks berita ini adalah Saifullah Yusuf selaku mantan Menteri Negara

Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Abdul Rahman Saleh selaku mantan

Jaksa Agung, Yusril Ihza Mahendra selaku mantan Menteri Sekretaris Negara, dan

Hamid Awaludin selaku mantan Menteri Hukum dan HAM. Sub tema ini menjadi

pembuka teks berita. Sub tema kemudian beralih pada informasi seputar korupsi

pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid.

Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan

multi liputan, yakni peristiwa Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan

Pemuda Anshor (par 1 s/d 3), peristiwa acara ‘Welcoming Back’ di Hotel Santika
http://prys3107.blogspot.com  196
prys.3107@gmail.com 
 

(par 8 s/d 11), peristiwa diskusi yang digelar Dewan Perwakilan Daerah di Senayan

(par 14), peristiwa kepindahan Yusril dari kompleks menteri di Jakarta Selatan (par

16), peristiwa kepindahan Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan (par

19), peristiwa pengaduan Daan Dimara ke kantor polisi (par 25), dan penelusuran

referensi perkembangan terbaru kasus korupsi yang melibatkan Hamid (par 21 s/d

24). Multi liputan tersebut menunjukkan liputan dilakukan dengan terencana pada

waktu yang berbeda.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa tema yang diangkat Tempo dalam teks

berita ini adalah reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu sebagai tema besar. Dua sub

tema dalam teks berita ini adalah aktivitas para mantan menteri yang dicopot dari

kabinet ditulis dengan nuansa human interest, dan korupsi pengadaan segel amplop

kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan mantan Menteri Hukum dan

HAM Hamid Awaludin. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi

liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda.

¾ Penempatan berita

Pada edisi 20 Mei 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Reshuffle

Kabinet’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh SBY tengah duduk menghadapi papan

catur dan diberi judul “Para Penasihat di Balik Reshuffle’. Judul ini juga menjadi

judul rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama

Reshuffle Kabinet tersebut berjumlah empat berita yang terbentang dari halaman 28

s/d 39. Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan

keempat yang menempati dua halaman dan diberi bingkai coklat dan hitam
http://prys3107.blogspot.com  197
prys.3107@gmail.com 
 

memanjang pada halaman bagian atas dengan judul rubrik ‘Nasional Reshuffle

Kabinet’. Sampel ini juga dilengkapi dengan satu foto Hamid tengah dikerubungi

wartawan setelah pengumuman reshuffle kabinet, dan satu foto rumah tinggal Abdul

Rahman Saleh. Selebihnya, tidak ada data grafis atau tata letak yang menonjol dalam

teks berita ini.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini

sebagai bagian akhir dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui

khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tampak tidak begitu menonjol.

Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)

Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tema peristiwa

yang diangkat Tempo adalah tema yang diangkat Tempo dalam teks berita ini adalah

reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu sebagai tema besar, dan sub tema aktivitas para

mantan menteri yang dicopot dari kabinet ditulis dengan nuansa human interest, serta

korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan

mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Dalam menyajikan teks berita

ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda.

Tempo menempatkan teks berita ini sebagai bagian akhir dari peristiwa utama yang

juga penting dan patut diketahui khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini

tampak tidak begitu menonjol.

Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam

sampel ini adalah, Tempo hendak menampilkan sisi lain dari peristiwa reshuffle

kabinet, yakni dengan menyajikan liputan bernuansa human interest perihal aktivitas
http://prys3107.blogspot.com  198
prys.3107@gmail.com 
 

para mantan menteri. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda (agenda

setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam

teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa. Juga menjadi pemaknaan

penulis, teks berita ini merupakan upaya lanjutan dan terencana dari Tempo dalam

memberitakan kelanjutan kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu

presiden 2004 yang melibatkan Hamid.

Estetika Bahasa (Pembuktian)

¾ Penyusunan adegan

Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal dan tengah

teks. Pada bagian awal teks, penyusunan adegan dibuka dengan rekaman peristiwa

Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor. Hal ini ditunjukkan

dalam kutipan berikut ini (par 1 dan 2):

Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu. Tapi Saifullah
Yusuf masih jingkrak-jingkrak di lapangan badminton kantor Gerakan Pemuda
Anshor, di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mengenakan celana putih dan kaus
serupa, Saifullah melompat-lompat bak pemain professional.
Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah
berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras.
Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di
tubuh.

Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tidak

langsung menyajikan informasi perihal tema yang diangkat, namun lebih kepada

rekaman suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat peristiwa

Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor terjadi. Dalam latar
http://prys3107.blogspot.com  199
prys.3107@gmail.com 
 

tempat dan waktu tersebutlah, penyusunan adegan di sini terlihat padat dengan

penggunaan bahasa yang intens lengkap dengan kandungan nuansa emosi untuk

menggambarkan peristiwa. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka

atau news peg dari teks berita.

Di bagian tengah teks, penyusunan adegan terlihat pada rekaman peristiwa

acara ‘Welcoming Back’ di Hotel Santika. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut

ini (par 9 kal 2-3, dan par 10 kal 1-2):

. . . Diberi tajuk “Welcoming Back”, acara malam itu memang didedikasikan


untuk Arman. Sebuah foto besar yang memperlihatkan Arman tengah memakai
sepatu dan sejumlah karikatur tentang bekas bintang film ini dipajang.
Kawan lama tumpah di situ. Di antaranya Adnan Buyung Nasution . . .

Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang

menampilkan rekaman suasana peristiwa untuk menghadirkan saat peristiwa acara

‘Welcoming Back’ di Hotel Santika berlangsung.

Penyusunan adegan juga terlihat pada rekaman peristiwa diskusi yang digelar

Dewan Perwakilan Daerah di Senayan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini

(par 14):

Jumat pekan lalu, Yusril menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang digelar
Dewan Perwakila Daerah di Senayan. Dia berbicara soal amandemen undang-
undang. Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok Djarum
kesukaannya . . .

Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang

menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan tindakan Yusril di waktu

istirahat peristiwa diskusi tersebut.


http://prys3107.blogspot.com  200
prys.3107@gmail.com 
 

Penyusunan adegan berikutnya terlihat pada rekaman peristiwa kepindahan

Yusril dari kompleks menteri di Jakarta Selatan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan

berikut ini (par 16):

Yusril sendiri sibuk mengemasi barang dari Widya Chandra, kompleks


menteri di Jakarta Selatan. Kamis pekan lalu, lima orang pekerja mengangkut 50
pot tanaman dari rumah itu dengan menumpang Daihatsu.

Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang

menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan suasana saat peristiwa

kepindahan Yusril terjadi.

Penyusunan adegan pada bagian tengah teks kemudian terlihat pada rekaman

peristiwa kepindahan Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Hal ini

ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 19):

Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan


Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus.
Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Kardus-
kardus itu ditumpuk di ruang tengah.

Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang

menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan suasana saat peristiwa

kepindahan Hamid terjadi.

Seluruh penyusunan adegan tersebut membuktikan bahwa Tempo tidak secara

langsung menyajikan informasi penting perihal tema yang diangkat, namun lebih

menonjolkan peristiwa sehari-hari lewat berbagai rekaman suasana-demi-suasana dan

tindakan tokoh yang dirangkai demi menghadirkan peristiwa secara langsung.


http://prys3107.blogspot.com  201
prys.3107@gmail.com 
 

¾ Perspektif orang ketiga

Perspektif orang ketiga yang digunakan secara menonjol dalam sampel ini

yaitu perspektif Saifullah dan beberapa tokoh lain pada awal teks. Dalam

menggunakan teknik ini, Tempo menggunakan perspektif Saifullah dan beberapa

tokoh lain secara terbatas. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 2 dan 3):

Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah
berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras.
Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di
tubuh.
Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri Negara
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini. Penyanyi balada Franky
Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak. “Kini saya
lebih bebas dan banyak waktu bermain dengan teman-teman,” kata Saifullah.

Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan tempo tidak

mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat

yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Dari sudut pandang estetika bahasa,

meleburnya perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh-tokoh

yang ditulisnya disebut sebagai perspektif orang ketiga amatan (third person observer

narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh

yang diceritakannya.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga amatan

dalam sampel ini dilakukan Tempo dengan merekam suasana-demi-suasana untuk

menghadirkan peristiwa saat Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda

Anshor.
http://prys3107.blogspot.com  202
prys.3107@gmail.com 
 

Perspektif orang ketiga yang juga digunakan Tempo terlihat pada kutipan

berikut ini (par 11):

Keluar dari ruang pesta itu, Arman masih punya tugas yang membuatnya
pusing tujuh keliling: mencari rumah kontrakan. Maklum, rumah kecilnya di
sebuah gang di Jakarta Timur tak kuat lagi menampung buku-buku yang dibeli
selama ini.

Kalimat di atas menunjukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke dalam

perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Arman, yakni perasaan ‘pusing

tujuh keliling’, suasana kecilnya rumah Arman pada kata ‘rumah kecilnya’ dan ‘tak

kuat lagi menampung buku-buku’. Penggunaan perspektif orang ketiga semestaan ini

menyiratkan keterlibatan penulis terhadap perasaan, suasana, dan emosi yang dialami

tokoh yang diceritakannya.

Perspektif orang ketiga juga digunakan Tempo seperti terlihat pada kutipan

berikut ini (par 19):

Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan


Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus.
Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Kardus-
kardus itu ditumpuk di ruang tengah.

Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan Tempo tidak

mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat

yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Penggunaan perspektif perspektif orang

ketiga amatan ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh yang

diceritakannya.
http://prys3107.blogspot.com  203
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian pada perspektif orang ketiga tersebut menunjukkan upaya Tempo

menghadirkan rangkaian peristiwa secara langsung dilakukan dengan menggunakan

perspektif orang ketiga amatan dan semestaan. Hal ini menyiratkan adanya

keterlibatan Tempo –baik secara terbatas maupun secara partisipatif– dalam

rangkaian peristiwa pada teks berita ini.

¾ Penempatan detail

Penempatan detail dalam sampel ini antara lain ditampilkan pada rincian

peristiwa saat Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor.

Detail yang ditampilkan adalah suasana, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan

kawan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut (par 1 s/d 3):

Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu. Tapi Saifullah
Yusuf masih jingkrak-jingkrak di lapangan badminton kantor Gerakan Pemuda
Anshor, di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mengenakan celana putih dan kaus
serupa, Saifullah melompat-lompat bak pemain professional.
Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah
berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras.
Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di
tubuh.
Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri Negara
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini. Penyanyi balada Franky
Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak. “Kini saya
lebih bebas dan banyak waktu bermain dengan teman-teman,” kata Saifullah.

Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail suasana ditampilkan dengan

kalimat ‘Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu’. Detail gestur

tubuh ditampilkan pada kalimat ‘Tapi Saifullah Yusuf masih jingkrak-jingkrak’,

‘Saifullah melompat-lompat’, ‘Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke

kandang lawan, seraya berpekik keras’, ‘Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat
http://prys3107.blogspot.com  204
prys.3107@gmail.com 
 

yang mengalir deras di tubuh’. Detail pakaian ditampilkan pada kalimat ‘Mengenakan

celana putih dan kaus serupa’. Detail hubungan dengan kawan ditampilkan pada

kalimat ‘Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri

Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini’ dan ‘Penyanyi balada

Franky Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak’.

Penempatan detail juga ditampilkan pada rincian peristiwa saat acara

‘Welcoming Back’ di Hotel Santika. Detail yang ditampilkan adalah dekorasi

ruangan dan hubungan sesama kawan. Hal ini terlihat pada par 9 kal 2-3, dan par 10

kal 1-2 seperti yang telah penulis kutip di halaman 188.

Dari kutipan tersebut dapat disimak bahwa detail dekorasi ruangan

ditampilkan pada kalimat ‘Sebuah foto besar yang memperlihatkan Arman tengah

memakai sepatu dan sejumlah karikatur tentang bekas bintang film ini dipajang’. Lalu

detail hubungan sesama kawan ditampilkan pada kalimat ‘Kawan lama tumpah di

situ. Di antaranya Adnan Buyung Nasution’.

Penempatan detail lalu ditampilkan pada rincian peristiwa saat acara diskusi

yang digelar Dewan Perwakilan Daerah di Senayan. Detail yang ditampilkan adalah

perilaku. Hal ini terlihat pada kutipan berikut (par 14):

Jumat pekan lalu, Yusril menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang
digelar Dewan Perwakila Daerah di Senayan. Dia berbicara soal amandemen
undang-undang. Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok
Djarum kesukaannya . . .
http://prys3107.blogspot.com  205
prys.3107@gmail.com 
 

Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail perilaku ditampilkan pada

kalimat ‘Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok Djarum

kesukaannya’.

Penempatan detail kemudian ditampilkan pada rincian peristiwa kepindahan

Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Detail yang ditampilkan adalah

detail barang. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 19):

Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan


Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus.
Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Kardus-
kardus itu ditumpuk di ruang tengah.

Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail barang ditampilkan pada kata

‘kitab-kitab’, ‘sejumlah kardus’, dan ‘Kardus-kardus itu ditumpuk di ruang tengah’.

Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa Tempo banyak menggunakan

penempatan detail pada tiap-tiap adegan peristiwa yang dirangkai. Detail tersebut

antara lain adalah suasana, gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan. dekorasi

ruangan. perilaku, dan barang. Detail ini digunakan demi memperkuat pengadegan

dan penokohan dari tiap-tiap peristiwa.

Estetika Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa

hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain

adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa

Tempo tidak secara langsung menyajikan informasi penting perihal tema yang

diangkat, namun lebih menonjolkan peristiwa sehari-hari lewat berbagai rekaman


http://prys3107.blogspot.com  206
prys.3107@gmail.com 
 

suasana-demi-suasana dan tindakan tokoh yang dirangkai demi menghadirkan

peristiwa secara langsung.

Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang

menghadirkan perspektif orang ketiga amatan dan semestaan sebagai upaya Tempo

menghadirkan rangkaian peristiwa secara langsung dilakukan dengan menggunakan

Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo –baik secara terbatas maupun secara

partisipatif– dalam rangkaian peristiwa pada teks berita ini.

Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak

penempatan detail secara terperinci yang memperkuat pengadegan dan penokohan

dari tiap peristiwa dalam teks berita ini. Detail tersebut antara lain adalah suasana,

gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan, dekorasi ruangan, perilaku, dan

barang.

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang

terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif

orang ketiga, dan penempatan detail. Dengan menyimak secara khusus pada

banyaknya jumlah peristiwa yang ada teks berita ini, terlihat bahwa Tempo

melakukan rekonstruksi berbagai peristiwa yang ada dan membentuknya menjadi

rangkaian adegan dalam satu benang merah yang sama. Maka penulis berpendapat

bahwa Tempo menuliskan teks berita ini secara kreatif.

Khusus pada penempatan detail, penulis berpendapat bahwa Tempo hendak

memotret latar belakang kehidupan masing-masing tokoh dalam teks berita ini.
http://prys3107.blogspot.com  207
prys.3107@gmail.com 
 

Penulis juga berpendapat bahwa hal ini melambangkan setting komunitas sosial

tertentu menyangkut status dan prestise yang melingkupi tokoh Saifullah Yusuf

selaku mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Abdul

Rahman Saleh selaku mantan Jaksa Agung, Yusril Ihza Mahendra selaku mantan

Menteri Sekretaris Negara, dan Hamid Awaludin selaku mantan Menteri Hukum dan

HAM. Dengan begitu, pembaca akan mendapatkan gambaran peristiwa yang tak

hanya informatif, namun juga mendalam dan bermakna.

Penempatan detail suasana, gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan,

dekorasi ruangan, perilaku, dan barang yang ditampilkan secara terperinci di tiap-tiap

peristiwa, merupakan detail yang sesungguhnya selintas saja dan bukanlah informasi

penting. Namun secara kreatif pula Tempo menggunakannya demi memperkuat

pengadegan dan penokohan dari tiap-tiap peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini

berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan

detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.

Politik Bahasa (Pembuktian)

¾ Metafora

Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan analogi sebagai bentuk

politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat

konotatif, yakni penggunaan analogi pada kalimat judul, ‘Mereka yang Kembali ke

Laptop’, dan ‘Kembali ke “laptop” –itulah yang dilakukan sejumlah menteri yang

disetip dari kabinet’ (par 8, kal 1).


http://prys3107.blogspot.com  208
prys.3107@gmail.com 
 

Frase konotatif ’kembali ke laptop’ merupakan frase yang dipopulerkan oleh

Tukul Arwana dalam talkshow komedi Empat Mata di stasiun televisi swasta Trans7.

Frase ini kerap digunakan Tukul setiap kali ia menyudahi lawakannya untuk kembali

serius dan konsentrasi ke topik permasalahan awal yang diangkat dalam talkshow-

nya. Dalam kata lain, frase konotatif ‘kembali ke laptop’ versi Tukul digunakan untuk

menganalogikan suatu tindakan yang membutuhkan konsentrasi atau keseriusan.

Frase konotatif yang kemudian menjadi populer di tengah pemirsa (masyarakat)

Indonesia inilah yang dipinjam Tempo dalam mengungkapkan salah satu aspek

peristiwa reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu. Karenanya, makna frase konotatif

versi Tukul tersebut berbeda ketika digunakan Tempo dalam teks beritanya mengenai

peristiwa reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu.

Frase konotatif ’kembali ke laptop’ pada dua kalimat di atas menganalogikan

tindakan sejumlah tokoh setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri dalam

Kabinet Indonesia Bersatu. Adapun Tempo menampilkan tokoh Saifullah Yusuf

(Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal) yang meneruskan

kegiatannya di Gerakan Pemuda Anshor setelah diberhentikan dari kabinet; tokoh

Abdul Rahman Saleh (mantan Jaksa Agung) yang tengah mencari tempat tinggal;

tokoh Yusril Ihza Mahedra (mantan Menteri Sekretaris Negara) yang kembali

menjadi pembicara di sejumlah seminar dan diskusi; serta Hamid Awaluddin (mantan

Menteri Hukum dan HAM) yang tengah pindah dari rumah dinasnya dan akan

kembali mengajar di universitas.


http://prys3107.blogspot.com  209
prys.3107@gmail.com 
 

Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat

analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta tindakan Saifullah, Rahman,

Yusril, dan Hamid setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri dalam

Kabinet Indonesia Bersatu.

¾ Depictions

Pada sampel ini, ada depictions yang digunakan Tempo sebagai bentuk politik

bahasa. Depictions tersebut terlihat pada kalimat berikut (par 21):

Ia memang tidak akan menjadi penganggur. Setidaknya kesibukan lain dia


adalah berurusan dengan penegak hukum.

Pada kalimat di atas, depictions yang digunakan adalah frase ‘tidak akan

menjadi penganggur’. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam mengungkapkan

lebih lanjut lagi mengenai tindakan (kesibukan) Hamid setelah diberhentikan dari

kabinet, yakni berurusan dengan pihak kepolisian atas dugaan keterlibatannya pada

kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004.

Pembuktian ini menunjukkan bahwa depictions tersebut hendak

mengungkapkan fakta tindakan Hamid setelah diberhentikan dari kabinet, sekaligus

mengarahkan citra Hamid sebagai pihak yang kini tengah disorot publik dalam

kaitannya dengan kasus korupsi.

Politik Bahasa (Pemaknaan)

Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat

penggunaan analogi ‘kembali ke laptop’ sebagai makna pengungkapan fakta tindakan


http://prys3107.blogspot.com  210
prys.3107@gmail.com 
 

Saifullah, Rahman, Yusril, dan Hamid setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai

menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu; serta penggunaan depictions ‘tidak akan

menjadi penganggur’ yang mengungkapkan fakta tindakan Hamid berurusan dengan

pihak kepolisian setelah diberhentikan dari kabinet, sekaligus mengarahkan citra

Hamid sebagai pihak yang kini tengah disorot publik dalam kaitannya dengan kasus

korupsi.

Penulis menyimak bahwa keempat tokoh yang ditampilkan dalam teks berita

ini memiliki benang merah yang sama, yakni sama-sama diberhentikan dari kabinet

dan sama-sama diduga memiliki keterlibatan di sejumlah kasus korupsi, semisal

Yusril Ihza Mahendra pada kasus pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum

dan Perundang-undangan dan kasus pencairan uang Tommy Soeharto, serta Hamid

Awaluddin pada kasus pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004.

Namun pada teks berita ini, tokoh yang secara jelas ditampilkan Tempo terkait

dengan kasus korupsi adalah Hamid Awaluddin (par 21-25).

Dalam rangka inilah, penulis menemukan praktik politik bahasa Tempo yang

mengarahkan tema reshuffle kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh

yang terkena reshuffle dalam kasus korupsi, yakni khususnya Hamid.

Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek

politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions sebagai

bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengarahkan tema reshuffle

kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh yang terkena reshuffle dalam

kasus korupsi, yakni secara khusus mengarah pada kasus kasus pengadaan segel
http://prys3107.blogspot.com  211
prys.3107@gmail.com 
 

amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid.

Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 5

Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif

pada sampel 5, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:

1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak

menampilkan sisi lain dari peristiwa reshuffle kabinet, yakni dengan menyajikan

liputan bernuansa human interest perihal aktivitas para mantan menteri. Penulis

menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup

memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai

perlakuan Tempo atas peristiwa. Teks berita ini juga merupakan upaya lanjutan

dan terencana dari Tempo dalam memberitakan kelanjutan kasus korupsi

pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan

Hamid.

2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa

dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang

ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penempatan detail, penulis

berpendapat bahwa Tempo hendak memotret latar belakang kehidupan masing-

masing tokoh dalam teks berita ini. Penulis juga berpendapat bahwa hal ini

melambangkan setting komunitas sosial tertentu menyangkut status dan prestise

yang melingkupi tokoh tersebut. Penempatan detail suasana, gestur tubuh,

pakaian, hubungan dengan kawan, dekorasi ruangan, perilaku, dan barang yang
http://prys3107.blogspot.com  212
prys.3107@gmail.com 
 

ditampilkan secara terperinci di tiap-tiap peristiwa, merupakan detail yang

sesungguhnya selintas saja dan bukanlah informasi penting. Namun secara kreatif

pula Tempo menggunakannya demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari

tiap-tiap peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini berbeda dengan penulisan

jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan detail selintas dan

mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.

3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions

sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengarahkan tema

reshuffle kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh yang terkena

reshuffle dalam kasus korupsi, yakni secara khusus mengarah pada kasus kasus

pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan

Hamid.
http://prys3107.blogspot.com  213
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  214
prys.3107@gmail.com 
 
http://prys3107.blogspot.com  215
prys.3107@gmail.com 
 

B.2. Analisis Discourse Practice2

Aspek Produksi Teks

¾ Pola dan rutinitas produksi berita

Pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dimulai dari rapat masing-

masing kompartemen (bagian) pada hari Senin pukul 10 pagi. Ada sekitar enam

sampai tujuh kompartemen yang rapat selama satu jam. Di situ mereka akan

menjaring usulan berita minggu depan itu kira-kira apa. Usulan juga bisa dari

reporter, magang nulis, staff redaksi, penanggungjawab rubrik, dan redaktur

pelaksana. Setelah mereka putuskan usulan dari lima hingga delapan item. Diikuti

sekitar 30 orang termasuk repoter, masing-masing orang dapat memberikan usulan,

baik itu tema maupun angle tulisan. Pemilihan tema disesuaikan dengan magnitude

(besaran) dan kriteria berita yang layak dalam rapat perencanaan. Khusus pada

peristiwa kasus korupsi, yang menjadi kriteria berita bagi MBM Tempo adalah

adanya fakta dan bukti yang kuat, unsur kepentingan publik yang dirugikan, besarnya

jumlah uang yang dikorupsi, tokohnya kuat, dan kepentingan pembaca MBM Tempo.

Semua itu dilihat dari besaran (magnitude) peristiwanya.


                                                            
2
Dirangkum dari hasil wawancara penulis dengan Redaktur Bahasa MBM
Tempo Sapto Nugroho (Lampiran B) dan Redaktur Desk Nasional MBM Tempo
Wenseslaus Manggut (Lampiran C), serta didukung dengan data wawancara Eka
Shinta Pangeswari dengan Goenawan Mohamad (IISIP Jakarta, 2003: 120-122) dan
data wawancara Ani Wahyuni dengan pihak redaksi MBM Tempo (IISIP Jakarta,
2006: 175-198). Dua data pendukung tersebut penulis gunakan sebagai pembanding
demi mendapatkan gambaran akurat dari keterangan masing-masing narasumber
mengenai discourse practice MBM Tempo. 
http://prys3107.blogspot.com  216
prys.3107@gmail.com 
 

Senin pukul 11 siang diadakan rapat gabungan kompartemen di ruang rapat

lantai satu. Hasil rapat kompartemen dipresentasikan satu-satu. Ada yang diterima,

ada yang ditolak, ada yang mesti diperdalam. Rapat berlangsung hingga jam dua atau

jam tiga. Senin sore setelah selesai rapat gabungan, lalu dibuat lembar penugasan

(term of reference) yang berisi inti masalah tulisan, siapa sumber yang harus kita

hubungi, daftar pertanyaan, hingga nomor kontaknya. Lembar penugasan itu berisi

kurang lebih 50 persen dari tulisan. Yang membuat lembar penugasan adalah staff

redaksi. Ditujukan untuk reporter, calon reporter, dan staff redaksi sendiri.

Hari selasa, dua hingga tiga orang reporter lalu mencari bahan berita di

lapangan sesuai dengan yang dipesan. Ada juga yang ikut kelas kuliah pukul 11 bagi

magang nulis dan repoter, melakukan evaluasi kelemahan, kekurangan dan kekuatan

tulisan minggu lalu. Jam 2 diadakan kelas kuliah untuk level penanggungjawab rubrik

dan redaktur pelaksana.

Perkembangan berita dilihat di rapat checking hari Rabu. Pukul 10 rapat

checking bagi kompartemen tentang liputan yang sudah dijalankan. Pukul 11 rapat

checking bagi gabungan kompartemen. Di situ diperiksa apakah perencanaan hari

Senin itu masih pas, atau ada tambahan, ada yang dikurangi atau digugurkan. Setelah

itu diadakan rapat Partirtur dengan staff desain dan foto.

Hari Kamis kerja seperti biasa, dan berita sudah mulai ditulis.

Rapat terakhir hari Jumat merupakan deadline bagi semua tulisan masuk ke

redaksi. Naskah reporter yang telah masuk ditambah riset referensi lalu disunting oleh

penulis dari staff redaksi. Naskah ini dimasukkan ke redaktur pelaksana, khususunya
http://prys3107.blogspot.com  217
prys.3107@gmail.com 
 

menjelang deadline sejak Jumat pagi hingga Sabtu tengah malam. Kemudian naskah

tersebut naik ke redaktur senior, naik ke redaktur bahasa, naik ke bagian Kreatif

untuk digabungkan dengan foto atau gambar ilustrasi serta tata letak. Jumat deadline

dan checking terakhir. Jumat malam selesai. Sabtu masuk cetak. Senin diulang lagi.

¾ Sisi individu wartawan

Sisi individu wartawan MBM Tempo di sini akan dilihat dari job description-

nya, yakni reporter, penulis (staff redaksi), redaktur pelaksana, redaktur senior,

redaktur bahasa, dan pemimpin redaksi. Latar belakang pendidikan wartawan MBM

tempo rata-rata minimal adalah S-1 dari berbagai latar belakang basis ilmu. Kini

setengah wartawan MBM Tempo sudah mengenyam pendidikan S-2.

Sejak awal terlibat dalam praktik kerja redaksi, seorang reporter dan penulis

akan melewati berbagai tes yang ketat, serta mengikuti kelas kuliah yang diberikan

secara rutin (tiap Selasa atau Jumat) oleh redaktur senior. Kegiatan kelas tersebut

antara lain membahas edisi Tempo yang baru terbit secara evaluatif. Reporter tidak

memiliki hak untuk ikut dalam penulisan berita. Jika reporter sudah memiliki

pengalaman selama dua tahun, baru ia bisa menjadi Penulis. Reporter hanya mencari

bahan berita di lapangan lewat observasi dan wawancara. Semakin kuat fakta yang

dikumpulkan reporter, maka frame reporter tersebutlah yang dipakai Penulis dalam

sebuah berita.

Sisi individu seorang Redaktur Pelaksana dalam hal produksi berita

merupakan posisi yang paling strategis di atas repoter dan penulis. Ia yang memiliki

kewenangan untuk mengembangkan naskah berita. Maka bisa dikatakan, Redaktur


http://prys3107.blogspot.com  218
prys.3107@gmail.com 
 

Pelaksana adalah penulis terakhir seluruh naskah materi yang akan diterbitkan.

Sedangkan peran Redaktur Senior melengkapi redaktur Pelaksana dalam menyunting

naskah berita dan memberi kuliah kepada Reporter dan Penulis. Redaktur Bahasa

kemudian membetulkan penggunaan, meliputi ejaan, kalimat, tata bahasa, penulisan

nama, lembaga dalam dan luar negeri, data jarak atau jumlah.

Ukuran profesionalitas individu wartawan MBM Tempo juga dilihat dari

penggunaan sistem nilai. Sejak awal masuk menjadi calon repoter hingga menempati

posisi redaktur pelaksana, sistem penilaian menentukan jenjang karir dan gaji yang

diterima wartawan MBM Tempo. Yang juga patut dicatat, semua wartawan MBM

Tempo sejak awal sudah diarahkan supaya membaca novel, menonton film, teater

agar memperkaya diri dengan bacaan atau wawasan secara luas.

¾ Hubungan dengan struktur organisasi media

Meski dari sisi individu wartawan terlihat garis kewenangan yang tegas,

namun suasana hubungan profesional di antara sesama wartawan MBM Tempo

cenderung tidak kaku, bebas berpendapat, bahkan dibebaskan untuk saling adu

argumen dalam hal peliputan. Selain dilihat dari sistem penilaian, Hubungan

wartawan dengan struktur organisasi media juga dapat disimak dari kewajiban

mengikuti kelas kuliah yang diadakan tiap minggu. Dalam kelas kuliah inilah nilai-

nilai dan praktik jurnalisme MBM Tempo ditanamkan. Lewat kelas kuliah

tersebutlah, tak dapat dipungkiri pengaruh GM dan pendiri awal MBM Tempo yang

kini menempati posisi redaktur senior dalam mewarisi tradisi gaya jurnalisme MBM

Tempo hingga saat ini.


http://prys3107.blogspot.com  219
prys.3107@gmail.com 
 

Pada aspek produksi teks, observasi yang telah penulis rencanakan tidak dapat

dilakukan karena keterbatasan izin dari pihak MBM Tempo.

Aspek Konsumsi Teks

Mengacu pada survei Nielsen Media Index 2003, MBM Tempo memiliki

535.000 pembaca di tingkat nasional. Berbagai penghargaan dalam kaitannya dengan

jumlah dan kepuasan pembaca juga diraih, misal saja ‘The Most Read News

Magazine’ oleh AC Nielsen, ‘The Most Statisfactory News Magazine’ oleh Frontier,

‘The Most Popular Brand News Magazine’ oleh Mars-Frontier-Swa. Semua

penghargaan tersebut diraih pada tahun 1999.

Di antara majalah berita serupa yang terbit di Indonesia (Gatra, Forum

Keadilan, dan Bussines Week), MBM Tempo menguasai 66 persen pangsa pasar

pembaca. Tersebar di berbagai wilayah Indonesia, distibusi pembaca terbesar yakni di

Jakarta (44,5 persen).

Karakteristik pembaca MBM Tempo antara lain adalah jenis kelamin (pria 71

persen, wanita 29 persen), indeks level pekerjaan (white colar: 250, blue colar: 90,

enterpreneur: 75, pelajar: 50, ibu rumah tangga: 25, dan lain-lain: 25), indeks level

pendidikan (Sekolah Dasar: 45, Sekolah Lanjutan Pertama: 90, Sekolah Lanjutan

Atas: 220, Akademi: 80, Universitas: 80, dan pasca sarjana: 25).

Satpo Nugroho selaku redaktur bahasa MBM Tempo menjelaskan, betapa

posisi pembaca MBM Tempo juga diperhitungkan redaksi ketika menyajikan sebuah

berita: “Itu sudah termasuk dalam pilihan berita. Misalnya kita milih Mayangsari
http://prys3107.blogspot.com  220
prys.3107@gmail.com 
 

dikupas habis, itu bukan segmen pembaca Tempo. Sudah dari perencanaan dan

penulisan, kita sudah memikirkan segmen pembaca.”3

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Wenseslaus Manggut selaku redaktur

Desk Nasional MBM Tempo, “Kami berasumsi bahwa pembaca Tempo itu kelas

menengah ke atas. Tema harus dipilih sesuai dengan kepentingan pembaca kita. Tapi

pertimbangan yang paling utama di Tempo adalah adanya unsur kepentingan

publik.”4

Pada aspek konsumsi teks, observasi yang telah penulis rencanakan tidak

dapat dilakukan karena keterbatasan izin dari pihak MBM Tempo.

B.3. Analisis Socioculture Practice

Situasional

Pada aspek situasional, ada dua suasana khas dan unik sebagai konteks sosial

di Indonesia dalam kurun waktu pada saat teks diproduksi. Pertama, munculnya

genre ‘sastra koran’ di mana karakteristik jurnalisme menyusup dalam penciptaan

karya sastra. Hal ini juga menunjukkan kian menguatnya persinggungan antara dunia

sastra dengan media massa di Indonesia pada permulaan tahun 2000.

Media massa, khususnya suratkabar, kian menjadi ruang publikasi karya yang

ampuh dan strategis bagi para sastrawan senior dan junior di Indonesia. Sedangkan
                                                            
3
Lampiran B 
4
Lampiran C 
http://prys3107.blogspot.com  221
prys.3107@gmail.com 
 

media massa yang mengkhususkan pada penerbitan sastra, malah tidak berkembang

di Indonesia. Mengenai suasana khas dan unik ini, Seno Gumira Ajidarma

mengatakan demikian:

Cerita pendek Indonesia dimuat di media massa umum: edisi hari minggu
setiap Koran, majalah hiburan, majalah wanita, bahkan majalah in-house
perusahaan asuransi. Sementara itu, majalah sastra, karena keberadaannya yang
memprihatinkan, seolah-olah malah bukan menjadi bagian dari media massa,
melainkan tumpukan kertas.5

Tersedianya rubrik budaya yang memuat karya puisi, cerpen, prosa, dan kritik

sastra di setiap terbitan surat kabar hari minggu, membuat perkembangan dunia sastra

Indonesia mengenal apa yang disebut sebagai ‘sastra koran’, yakni mengacu pada

pemuatannya pada edisi munggu koran-koran terkemuka di Indonesia.

Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Donny Anggoro yang menyebutkan

Kompas sebagai salah satu surat kabar yang memuat prosa atau cerpen karya

sastrawan Indonesia:

Pada masa kini harus diakui bentuk khazanah prosa bernama cerpen tengah
menjadi primadona sehingga tak urung Kompas masih tiap tahun menerbitkan
antologi cerpen terbaiknya dari karya yang dimuat di harian itu . . . Istilah “sastra
koran” yang pernah diungkapkan Budiarto Danujaya dalam esai pengantar Dua
Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000 pun muncul di pelbagai diskusi
karena lanskap sejarah sastra terkini . . . berasal dari pemuatannya di koran-koran
terkemuka.6

                                                            
5
Seno Gumira Ajidarma, ”Cerita Pendek dan Realitas Indonesia”, dalam
Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (Edisi
Kedua), Bentang, Yogyakarta, 2005, hal.23
 
6
Donny Anggoro, ”Catatan Sastra 2003: Tahun Emas Cerpen dan
Pendobrakan Sastra Koran”, dalam Donny Anggoro, Sastra yang Malas, Tiga
Serangkai, Solo, 2004, hal.101  
http://prys3107.blogspot.com  222
prys.3107@gmail.com 
 

Budiarto Danujaya sendiri mengatakan demikian:

Tambahan istilah koran pada satra koran tersebut ternyata tak sekedar atributif
belaka. Sekurang-kurangnya, ada beberapa kecenderungan karakteristik koran–
sebagai bagian kecenderungan media massa umumnya– yang menyerobot masuk
mewarnai cerpen-cerpen koran itu.
..................................................................
Maka, tak mengejutkan jika masalah yang sedang ramai dipergunjingkan media
massa dua tahun belakangan ini pulalah yang menjadi latar persoalan pada
kebanyakan cerpen-cerpen ini.7

Dari kutipan di atas, penulis memahami bahwa karakteristik media massa

(suratkabar) yang mengedepankan fakta dan aktualitas, turut mempengaruhi

kecenderungan penciptaan karya sastra yang sejatinya bersifat fiksional. Sastra koran

adalah kecenderungan di mana karakteristik jurnalisme menyusup dalam penciptaan

karya sastra. Dalam artian, genre ‘sastra koran’ lahir dari dialektika antara praktik

sastra yang estetik dengan praktik jurnalisme yang memunculkan tema-tema sosial,

ekonomi, politik dan hukum.

Meski begitu, dalam hal ini sastra koran tidak bisa dipandang sebagai produk

jurnalistik dan bukan merupakan inovasi dalam praktik jurnalisme. Karenanya

kemunculan sastra koran pada tahun 2000 di Indonesia hanya akan dipandang sebagai

konteks sosial yang turut mempengaruhi praktik media massa, khususnya MBM

Tempo, dalam mengembangkan inovasi penulisan jurnalismenya.

                                                            
7
Budiarto Danujaya, ”Realitas ‘Koran’ pada Sastra Koran”, dalam Kenedi
Nurhan (Ed.), Dua Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000, Penerbit
Harian Kompas, Jakarta, 2000, hal.134-135  
http://prys3107.blogspot.com  223
prys.3107@gmail.com 
 

Suasana khas dan unik sebagai konteks sosial kedua yang akan penulis

uraikan, ialah adanya persepsi masyarakat bahwa berbagai pemerintahan saat ini tidak

bersih dari praktik korupsi. Masyarakat juga cenderung tidak percaya terhadap upaya

pemerintah saat ini dalam memberantas korupsi.

Seperti yang dilansir Harian Seputar Indonesia, hasil survei Transparency

International Indonesia (TII) yang dilakukan pada pertengahan 2006 terhadap 6000

responden dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia menunjukan, ‘dalam indeks

persepsi masyarakat tersebut legislatif, polisi, dan peradilan adalah lembaga-lembaga

yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survei ini menggunakan skala 1-

5. Semakin besar nilai indeks, semakin korup lembaga tersebut.’8

Menanggapi hasil survei tersebut, Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya

Lubis mengatakan, ‘saat ini masyarakat mulai melihat adanya gejala tebang pilih

dalam pemberantasan korupsi, seperti masih adanya koruptor yang tidak tersentuh

hukum dan bisa mendapatkan perlindungan politik dan hukum dari pemerintah.’9

Korupsi telah menjadi bagian dalam berbagai rezim pemerintahan di

Indonesia, termasuk juga pemerintahan yang saat ini tengah dipimpin Presiden RI

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Data TII tersebut merepresentasikan persepsi

ketidakpercayaan masyarakat akan lembaga pemerintahan yang berkuasa sekarang

                                                            
8
DPR Lembaga Paling Korup, Harian Seputar Indonesia, Edisi 10 Desember
2006
 
9
Loc.Cit. 
http://prys3107.blogspot.com  224
prys.3107@gmail.com 
 

bersih dari korupsi. Responden survei juga menyatakan ketidakpercayaannya

terhadap upaya pemerintah dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Dalam kaitan korupsi dengan pemerintahan, Agus Sudibyo berpendapat,

‘upaya pemberantasan korupsi mustahil berjalan efektif jika kondisi struktural dan

kultural yang menopang rezim kerahasiaan masih bertahan.’10

Sudibyo kemudian mengungkapkan perlunya elemen lain sebagai kekuatan

alternatif yang mampu mengontrol pemerintah:

Sejauh ini, yang kita hadapi adalah fenomena negara yang telah menjadi
dirinya sendiri (state of its own), terlepas dari realitas di masyarakat. Tidak ada
kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena
pemerintah begitu kuat dan dominan, dengan struktur birokrasi yang tertutup,
eksklusif, dan proteksionis.11

Berkaitan dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah

mengatasi permasalahan korupsi, penulis memahami bahwa Sudibyo hendak

menekankan pada terciptanya kebebasan informasi dan transparansi pemerintah

kepada publik dalam salah satu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini

kemudian menunjukkan persinggungan praktik media massa dengan upaya

pemberantasan korupsi di Indonesia pada permulaan tahun 2000.

Dalam rangka inilah media massa dituntut menjalankan perannya sebagai

kekuatan alternatif atau watchdog yang mengawasi jalannya pemerintahan,

                                                            
10
Agus Sudibyo, ”Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan”,
dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, hal.80
 
11
Loc.Cit. 
http://prys3107.blogspot.com  225
prys.3107@gmail.com 
 

khususnya pada praktik korupsi. Selain menjadi wahana informasi publik, media

massa juga diharapkan dapat memainkan perannya sebagai salah satu instritusi sosial

yang berpartisipasi secara aktif dalam agenda politik, khsusunya agenda

pemberantasan korupsi. Terlebih lagi bila menyimak tuntutan peran media dalam

upaya pemberantasan korupsi yang disinggung dalam Hari Kebebasan Pers Sedunia

yang digelar UNESCO pada Mei 2005. Dalam acara itu, disepakati bahwa peran

media telah menjadi isu penting dalam membentuk tata pemerintahan yang bersih

(good governance):

Dikemukakan bahwa good governance mencakup gagasan tentang partisipasi


yang lebih besar oleh masyarakat sipil dalam pembuatan keputusan, penegakan
aturan hukum, anti-korupsi, transparansi, akuntabilitas, pengentasan kemiskinan,
dan hak asasi manusia. Hanya jika para jurnalis bebas untuk memonitor,
menginvestigasi dan mengkritisi kebijakan dan tindakan administrasi publik maka
good governance bisa diwujudkan.12

Tim LSPP juga menyebutkan bahwa media hendaknya berakar pada

masyarakat, memberitakan demi kepentingan masyarakat dan mereka

merasionalisasikan segenap aktivitas mereka atas nama masyarakat:

Karena itulah, para praktisi media harus terus bekerja keras untuk membangun
kepercayaan publik. Media yang menolak atau menghindar berurusan dengan
berita-berita panas dan sensitive seperti kasus korupsi berarti menolak melayani
publik pembacanya. Apalagi mengingat upaya kampanye anti-korupsi tidak akan
berhasil, kecuali jika didukung oleh masyarakat.13

                                                            
12
Tim LSPP, Media Sadar Publik, Penerbit LSPP, Jakarta, 2005, hal.1
 
13
Ibid., hal.9 
http://prys3107.blogspot.com  226
prys.3107@gmail.com 
 

Tim LSPP kemudian mencontohkan media massa yang secara intens dalam

memberitakan berbagai kasus korupsi: ‘Salah satu media yang cukup konsisten

membuka kasus-kasus korupsi misalnya adalah Majalah Tempo, yang pernah menulis

berbagai korupsi mulai dari bidang perminyakan, buku pelajaran, hingga ke

perusahaan negara seperti Bulog, yang pernah menyeret Ketua Partai Golkar, Akbar

Tandjung, ke pengadilan.’14

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa isu pentingnya peran media massa

dalam upaya pemberantasan korupsi dipandang sebagai konteks sosial yang turut

mempengaruhi praktik media massa, khususnya MBM Tempo, yang dinilai banyak

kalangan selalu intens dan konsisten dalam memberitakan berbagai kasus korupsi,

baik kasus korupsi yang tengah dipersidangkan maupun yang masih bersifat dugaan.

Institusional

Pada aspek institusional, penulis akan menggali pengaruh institusi organisasi

dalam praktik Jurnalisme Sastra, baik dari dalam MBM Tempo maupun institusi lain

yang ada di luar MBM Tempo.

Dengan menyimak sejarah berdirinya MBM Tempo di tahun 1974, praktik

Jurnalisme Sastra dikembangkan oleh sejumlah awak redaksi yang juga bergelut di

dunia sastra. Sebut saja Goenawan Mohamad (GM), Bur Rusuanto, Putu Wijaya, dan

Syu’bah Asa. Selain menempati posisi penting dalam struktur redaksi, tokoh-tokoh

                                                            
14
Ibid., hal.15 
http://prys3107.blogspot.com  227
prys.3107@gmail.com 
 

tersebut juga dikenal masyarakat Indonesia saat itu sebagai sastrawan. Yang bisa

disebut paling menonjol dalam hal ini, tentunya GM.

Catatan karir GM di dunia pers sudah dimulai sejak 1966 sebagai wartawan

Harian KAMI dan sempat pula menjadi pemimpin redaksi Majalah Ekspres di tahun

1970. Di dunia sastra dan kesenian, esai-esainya memperoleh hadiah pertama majalah

Sastra pada tahun 1963. Ia juga seorang redaktur Majalah Horison pada 1967 hingga

1972. Majalah ini bergerak di bidang penerbitan karya seni dan sastra. Ia juga pernah

menjabat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1969. Di tingkat

internasional, GM mewakili Indonesia di Rotterdam, Belanda pada tahun 1973 untuk

mengikuti Festival Penyair Internasional.15

Catatan karir GM di atas menunjukkan bahwa ia memiliki kredibilitas baik di

bidang jurnalisme maupun di bidang seni, khususnya sastra. Hal ini membuat

karakter GM diakui sebagai wartawan sekaligus sastrawan. Dan tak hanya GM, tapi

MBM Tempo saat itu memang diawaki oleh karyawan yang berasal dari kalangan

wartawan dan seniman. Hal ini kemudian berpengaruh dalam membentuk karakter

penulisan di MBM Tempo pada awal didirikan.

Dalam sebuah wawancara, GM sendiri mengakui karakter penulisan sastra

dalam pemberitaan MBM Tempo: “Dalam arti, bukan straight news seperti koran,

                                                            
15
Happy Alami, Sebelas Penyair Terkenal Indonesia, PT Remaja
Rosdakarya, Jakarta, 2001, hal. 92-93 
http://prys3107.blogspot.com  228
prys.3107@gmail.com 
 

dan disampaikan seolah-olah sebuah cerita pendek, dengan tokoh, latar, dan peristiwa

yang dideskripsikan dengan rinci tapi memikat, mengandung suspense.”16

Maka tak heran bila kemudian praktik penggunaan bahasa di MBM Tempo

dalam memberitakan peristiwa, kerap disusupi penggunaan bahasa yang memiliki

kandungan estetik selayaknya sebuah karya sastra. Secara gamblang GM kemudian

menyebutkan sejumlah alasan mengapa MBM Tempo menggunakan Jurnalisme

Sastra:

Pertama, belum pernah dipakai dalam media cetak Indonesia sebelumnya.


Kedua, untuk menghidupkan bahasa Indonesia sebagai penyampai ide, informasi
dan ekspresi . . . Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan jurnalistik, yang
sanggup melaporkan reportase yang akurat, lengkap, rinci, tapi tetap hidup (tidak
dibebani data), menggugah, sebuah ketrampilan yang melibatkan tidak hanya
kemampuan bahasa, tapi juga kemampuan mengamati, merekam, menganalisa,
dan mensintesiskan kenyataan dan peristiwa. Juga bersikap selalu kreatif dan
inovatif.17

                                                            
16
Wawancara GM dengan Eka Shinta Pangeswari, dalam Eka Shinta
Pangeswari, Gaya Penulisan Laporan Utama Majalah Tempo Pra dan Pascabredel
(Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2003, hal.120 
17
Loc.Cit. 
http://prys3107.blogspot.com  229
prys.3107@gmail.com 
 

Dari penjelasan GM di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan Jurnalisme

Sastra yang dikembangkan awak redaksi MBM Tempo memang disiapkan secara

khusus untuk mengembangkan kemampuan praktik jurnalisme di majalah tersebut

dengan kreatif dan inovatif. Kekuasaan GM dan awak redaksi pada awal MBM

Tempo diterbitkan, membuat majalah tersebut tetap mempraktikkannya hingga

sampai saat ini.

Sosial

Setidaknya ada sejumlah aspek makro sebagai konteks sosial Indonesia yang

penulis pandang mempengaruhi dan menentukan karakter MBM Tempo terkait

dengan tema penelitian ini. Aspek makro tersebut dilihat dari sistem ekonomi-politik-

budaya di Indonesia yang mengacu pada penerapan demokrasi.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan rakyat Aburizal Bakrie

menyebutkan tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia pada 2006 adalah 39,30 juta

jiwa dan di tahun 2007 menurun jadi 37,17 juta jiwa. Sedangkan tingkat

pengangguran di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 11,10 juta jiwa dan pada 2007

menjadi 10,55 juta jiwa.18

Angka ini menunjukkan bahwa setelah demokrasi kembali ditegakkan di era

reformasi, penerapan demokrasi di Indonesia masih menghadapi berbagai

                                                            
18
Demokrasi dan Kesejahteraan, Dialog Jumat Tabloid Republika, Edisi 25
Januari 2008 
http://prys3107.blogspot.com  230
prys.3107@gmail.com 
 

permasalahan sosial dan ekonomi, antara lain tingkat kemiskinan dan pengangguran

yang masih tinggi.

Mengenai hal tersebut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin

mengatakan, faktor utama yang menjadi ukuran sebuah negara demokrasi mampu

memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah angka kemiskinan dan daya beli

masyarakat yang terus meningkat: ’Indonesia belum bisa membuktikan demokrasinya

mampu mengurangi angka kemiskinan.’19

Wakil Presiden Jusuf Kalla, seperti yang dikutip Nuryana mengungkapkan

bahwa proses demokrasi di Indonesia paling boros di dunia. Dengan mengaitkan

pengadaan pemilu sebagai wujud demokrasi, ia mengatakan: ’Dalam demokrasi kita,

terdapat 500 kali pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Itu berarti rata-rata

setahun ada 100 pilkada. Ini berarti setiap 3,5 hari akan pilkada! Tidak ada di dunia

ini pemilu yang boros seperti ini.’20

Sutradara Gintings dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

menambahkan, demokrasi di Indonesia ternyata juga menyaratkan ongkos politik

yang mahal:’Di tengah kondisi rakyatnya yang miskin dan berpendidikan rendah,

                                                            
19
Loc.Cit. 
20
Nuryana, Demokrasi Yang Menyakiti Rakyat, Harian Rakyat Merdeka,
Edisi 29 Januari 2008  
http://prys3107.blogspot.com  231
prys.3107@gmail.com 
 

Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal. Hal ini yang membuat biaya politik

menjadi sangat tinggi dan akhirnya mendorong politisi menjadi lapar uang.’21

Dengan menyimak kebutuhan ongkos politik yang tinggi dalam sistem ini, tak

heran bila korupsi kemudian berkembang di Indonesia. Korupsi kian menjadi

permasalahan tersendiri yang terjadi baik di dalam tubuh pemerintahan maupun

dalam partai politik. Kaitan demokrasi dengan korupsi di Indonesia terungkap dalam

laporan Transparency International’s Corruption Perception Index (CPI) pada tahun

1998: ’Sejumlah negara demokratis di Asia tercatat sebagai negara yang tingkat

korupsinya tinggi, misalnya Filipina (urutan 57), Thailand (64), India (68), dan

Indonesia (80).’22

Menanggapi data CPI tersebut, Indra J Piliang menjelaskan bahwa pada

hakikatnya demokrasi punya kecenderungan untuk menjadikan masyarakat lebih

sejahtera, karena lebih banyak kesempatan terbangun. Namun data CPI tersebut

merupakan bukti bahwa tingkat korupsi berkorelasi negatif dengan perkembangan

demokrasi di Indonesia. Maka agar bisa keluar dari permasalahan ini, ia mengusulkan

agar model demokrasi di Indonesia mesti diperjelas terlebih dahulu:

Untuk itu perlu didefinisikan dengan jelas, demokrasi seperti apa yang ingin
kita terapkan. Demokrasi yang bersifat sentralistis, atau terdesentralisasi dengan
liar. Demokrasi yang sentralistis terhubung dengan gabungan antara sistem
                                                            
21
Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Kompas, Edisi 25 Oktober
2007 
22
Indra J. Piliang, “Korupsi dan Demokrasi”, dalam HCB Dharmawan
(Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.90 
http://prys3107.blogspot.com  232
prys.3107@gmail.com 
 

monarki dengan demokrasi, seperti yang diterapkan di Inggris, Jepang, Belanda,


Thailand, atauy Malaysia yang tingkat korupsinya rendah.
..................................................................
Atau kita langsung mengadopsi model demokrasi Amerika Serikat (AS) yang
tingkat korupsinya rendah.23

Menyoal model demokrasi di Indonesia, Syamsuddin mengatakan bahwa

sistem demokrasi di Indonesia masih berkutat pada masalah-masalah teknis dan

prosedural, ’Demokrasi di Indonesia baru sekadar teknis ketimbang substansial.’24

Pandangan serupa juga dikemukakan Gintings yang menyebutkan demokrasi

di Indonesia sebagai anak kandung kapitalisme. Dan karenanya Indonesia telah

terjebak pada euforia politik global, ekonomi global, dan strategi global. Gintings

kemudian mengatakan, ’akibat sistem yang salah ini, demokrasi yang dihasilkan pun

akan menjadi demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif.’25

Syamsuddin kemudian menyebutkan bahwa ’demokrasi tidak bisa

sepenuhnya diserahkan pada pendekatan proses dan struktural, melainkan harus

dijalankan secara kultural. Tanpa pendekatan kultural, demokrasi tidak akan

berlangsung secara sejati dan demokrasi substansial hanya tinggal impian.’26

Dari rangkaian keterangan di atas penulis memahami, penerapan sistem

demokrasi di Indonesia hingga saat ini dianggap belum mampu menjawab


                                                            
23
Ibid., hal.92 
24
Demokrasi dan Kesejahteraan, Op.Cit. 
25
Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Op.Cit.  
26
Demokrasi dan Kesejahteraan, Op.Cit. 
http://prys3107.blogspot.com  233
prys.3107@gmail.com 
 

permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Juga dengan menyimak kebutuhan

ongkos politik yang tinggi dalam sistem ini, tak heran bila korupsi kemudian

berkembang di Indonesia. Korupsi kian menjadi permasalahan tersendiri yang terjadi

baik di dalam tubuh pemerintahan maupun dalam partai politik.

Juga dalam perkembangannya, sistem demokrasi di Indonesia saat ini dinilai

berada pada tataran prosedural semata, dan belum menyentuh substansi dari

demokrasi itu sendiri. Hingga dapat dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia belum

menemukan bentuknya. Hal inilah yang tampaknya memunculkan korelasi negatif

antara tingkat korupsi dengan perkembangan demokrasi di Indonesia.

Berangkat dari konteks tersebut bisa disimpulkan, MBM Tempo dapat

ditempatkan sebagai salah satu determinan kekuatan alternatif dalam upaya

pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi yang diterapkan secara rancu di

Indonesia. Sejalan dengan pernyataan Syamsuddin yang menyaratkan dimensi

kultural (kebudayaan) sebagai pendekatan demokrasi di Indonesia, praktik Jurnalisme

Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan korupsi –lewat politik bahasa media yang

disusupi kandungan seni yang estetik– bisa dikatakan sebagai salah satu wujud

pendekatan kebudayaan di alam demokrasi Indonesia.

Menyoal fenomena bersinggungannya politik (institusi media) dengan

wilayah seni (estetika) tersebut secara makro, Yasraf Amir Piliang menjelaskan

kecenderungan ini dalam kerangka wacana di mana seni turut merepresentasikan

makna-makna sosial dan ideologis yang berlaku di masyarakat:


http://prys3107.blogspot.com  234
prys.3107@gmail.com 
 

Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan politik-etik di sini tidak dapat


dianggap sebagai satu keputusan intuitif atau individual, akan tetapi harus
melibatkan pengetahuan tentang posisi sosial sebatang tubuh, struktur kehidupan
sosialnya, sehingga seorang individu (seniman, misalnya) memiliki pengetahuan
mengenai apa yang pantas, kurang pantas, dan tak pantas dilakukan dalam
kerangka hubungan sosial. Di dalam masyarakat semacam ini, seni tidak dapat
dipisahkan dari kerangka etik-politiknya, bahkan ia menjadi media representasi
sosial . . . sehingga ia menjadi bagian integratif dari lembaga ideologis dan sosial
yang ada.27

Penjelasan Piliang mengenai keterpaduan antara seni dengan kerangka etik-

politiknya, penulis pandang sesuai dengan konteks makro sosial budaya masyarakat

Indonesia di mana MBM Tempo hidup. Dalam kerangka makro inilah, praktik

Jurnalisme Sastra MBM Tempo secara mikro merepresentasikan makna-makna sosial

dan ideologis tertentu dalam masyarakat Indonesia.

                                                            
27
Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-
Batas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hal.452-453. (Garis bawah pada
kalimat dari penulis) 
http://prys3107.blogspot.com  235
prys.3107@gmail.com 
 

C. Pembahasan

Dengan mengacu pada hasil analisis, pada bagian ini penulis akan menjawab

sejumlah pertanyaan pokok yang telah penulis kemukakan pada Bab I penelitian ini.

Sebagai langkah awal dalam pembahasan, penulis akan terlebih dulu mengulas tiga

level analisis mikro, meso, dan makro, yakni dengan menghubungkan temuan penulis

pada analisis teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pembahasan

kemudian dilanjutkan dengan menyimpulkan jawaban atas pertanyaan pokok penulis

dengan mengacu pada hasil pembahasan awal.

Level Mikro. Secara umum, analisis teks pada kelima sampel menunjukkan

adanya kandungan aspek perlakuan atas peristiwa (agenda setting), estetika bahasa,

dan politik bahasa yang khas pada level mikro praktik Jurnalisme Sastra MBM

Tempo.

Dalam analisis aspek perlakuan atas peristiwa, kelima sampel menunjukkan

adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu

serta perencanaan yang matang. Selain menunjukkan bahwa peristiwa kasus dugaan

korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu merupakan

peristiwa yang penting dan patut diketahui khalayak, penulis juga menyimak bahwa

kelima sampel menunjukkan tema berita yang saling terkait satu sama lain dan

berkelanjutan (continuity). Antara lain hal ini bisa dilihat dari penelusuran MBM

Tempo dalam mengikuti perkembangan kasus dugaan korupsi yang melibatkan

Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mulai dari tahun 2005 (sampel satu)

hingga ia di-reshuffle dari kabinet pada tahun 2007 (sampel 5).


http://prys3107.blogspot.com  236
prys.3107@gmail.com 
 

Dalam analisis aspek estetika bahasa, kelima sampel menunjukkan adanya

penyusunan adegan, penggunaan dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan

detail. Satu sampel paling tidak memuat tiga aspek estetika bahasa, dan masing-

masing sampel hanya mengandung satu atau dua aspek estetika bahasa yang kuat dan

menonjol. Karenanya, penulis menyimak bahwa empat aspek estetika bahasa tersebut

tidak selalu digunakan secara bersamaan dengan menonjol di tiap-tiap sampel. Meski

begitu, tak bisa dipungkiri bahwa teks MBM Tempo secara keseluruhan

menunjukkan penggunaan empat perangkat estetika bahasa tersebut. Perangkat

penyusunan adegan dan penggunaan dialog yang mengundang berbagai penafsiran

makna dan menyerahkan pemaknaan kepada pembaca, mencerminkan adanya

kandungan unsur ambiguitasnya yang begitu kuat dalam praktik Jurnalisme Sastra

MBM Tempo, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme

konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness). Perangkat perspektif

orang ketiga menunjukkan upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa secara

langsung dan partisipatif, di mana wartawan memiliki keterlibatan (immersion)

dengan objek peristiwa yang ditulisnya, sekaligus juga merupakan sebuah

eksperimentasi dalam penulisan jurnalisme. Perangkat penempatan detail terperinci

yang digunakan secara kreatif demi memperkuat pengadegan dan penokohan,

mencerminkan perbedaan teknik penulisan jurnalisme MBM Tempo dengan

penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan detail selintas dan

mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.


http://prys3107.blogspot.com  237
prys.3107@gmail.com 
 

Dalam analisis aspek politik bahasa, kelima sampel menunjukkan kuatnya

simbolisme lewat perangkat metafora dan depictions dalam mengungkapkan fakta,

membangkitkan prasangka, hingga menyesatkan citra tokoh pemberitaan, yakni

sejumlah pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu yang terlibat dalam kasus dugaan

korupsi. Perangkat metafora lewat kata, frase, dan kalimat konotatif sebagai metafora

analogi, digunakan dalam mengungkapkan fakta kesuksesan yang semu dari peristiwa

penyeleggaraan Pemilu Presiden 2004, terkait dengan indikasi korupsi dalam

pengadaan barang di KPU, khususnya pada pengadaan kertas segel amplop suara

pemilu presiden, serta upaya pihak-pihak tertentu dalam menutup-nutupi fakta

korupsi tersebut (sampel satu, dua, dam lima). Metafora analogi (proterito) juga

digunakan dalam mengungkapkan ketidakberesan yang terjadi dalam penyelesaian

kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-

undangan (sampel tiga), dan kasus pencairan uang bermasalah milik Tommy

Soeharto (sampel empat). Ketiga kasus tersebut melibatkan Menteri Hukum dan

HAM Hamid Awaludin, serta Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra

selaku pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Metafora personifikasi dan

metafora hiperbola digunakan dalam menyesatkan karakter dan mengarahkan citra,

khususnya citra dua menteri tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam kasus

korupsi tersebut. Citra kedua menteri tersebut lebih kuat lagi diarahkan dengan

perangkat depictions lewat kata, frase, dan kalimat konotatif. Pembentukan citra

tersebut cenderung mengarah kepada citra Hamid sebagai pejabat negara yang konyol

dan mengelak dari tanggung jawab (sampel satu, dua, tiga, dan lima), serta citra
http://prys3107.blogspot.com  238
prys.3107@gmail.com 
 

Yusril sebagai pejabat negara yang diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi (sampel

tiga dan empat). Depictions juga digunakan dalam mengarahkan tema reshuffle

kabinet pada kelanjutan penyidikan terhadap Hamid dalam kaitannya dengan dugaan

korupsi yang dilakukannya (sampel lima).

Sebagai kesimpulan, uraian ketiga aspek tersebut menunjukkan kuatnya

dimensi estetik dan politik bahasa dari teks pemberitaan MBM Tempo mengenai

kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.

Dalam dimensi estetika bahasa (penyusunan adegan, penggunaan dialog,

perspektif orang ketiga, dan penempatan detail), penulis memandang bahwa

Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM Tempo mengarah pada pencapaian efek

perlokutif kepada pembaca.

Mengenai efek perlokutif, John Langshaw Austin, seperti yang dikutip Teguh

Apriliyanto, menjelaskan :

pemilihan sesuatu kata acapkali menimbulkan pengaruh yang pasti terhadap


perasaan, pemikiran atau perilaku si pendengar atau si penutur itu sendiri. Hal itu
dapat dilakukan dengan cara merancang, mengarahkan atau menetapkan tujuan
tertentu pada perkataan yang akan kita ungkapkan. Efek atau pengaruh yang
muncul dari mengatakan sesuatu itulah yang disebut sebagai tindakan perlokusi.
Kata-kata yang digunakan dipilih secara sengaja (sadar) dengan tujuan
mempengaruhi pendengar (pembaca) secara maksimal.28

                                                            
28
Teguh Apriliyanto, Independensi Media Dibalik Kasus Tempo vs PT
Asian Agri, artikel dalam Jurnal Media Watch, The Habibie Center, Jakarta, Edisi
No.62/ Desember 2007 
http://prys3107.blogspot.com  239
prys.3107@gmail.com 
 

Dari batasan tersebut maka dapat penulis pahami bahwa penggunaan bahasa

yang dirancang secara estetik merupakan salah satu cara demi memunculkan efek

perlokutif kepada pembaca teks, sehingga apa yang tertulis pada teks tersebut akan

tampil sebagai gambaran realitas yang seakan-akan nyata di benak pembaca. Di titik

inilah pembaca yang larut dalam teks dapat mengalami suatu kenikmatan tekstual

(joissance) yang muncul dari interaksinya dengan dimensi estetik sebuah teks.

Pencapaian efek perlokutif dan joissance ini lazim ditemui dalam sebuah karya sastra

dan film fiksi.

Hal tersebut penulis pandang terjadi pada penggunaan perangkat penyusunan

adegan, penggunaan dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail sebagai

dimensi estetika bahasa teks pemberitaan MBM Tempo. Dalam kata lain, dimensi

estetika bahasa dalam teks pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan

korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, dilakukan demi

pencapaian efek perlokutif secara maksimal dan joissance kepada pembaca, sehingga

pembaca akan tertarik dan larut dalam pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus

dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.

Kemudian dalam dimensi politik bahasa media (simbolisme: metafora dan

depictions) penulis memandang bahwa Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM

Tempo mengarah pada pencapaian efek abrasive kepada tokoh yang menjadi pokok

pemberitaan.

Mengenai efek abrasive, Teguh Apriliyanto mengutip hasil penelitian Jurusan

Komunikasi UGM dan Pusat Pengkajian dan Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
http://prys3107.blogspot.com  240
prys.3107@gmail.com 
 

(P3-ISIP) UI terhadap pemberitaan Majalah dan Koran Tempo: ‘Dari sudut pandang

analisis framing, penelitian UGM menyimpulkan liputan Tempo pada kasus AA (PT

Asian Agri –Pen) cenderung mengarah pada pencitraan yang terkesan menekan atau

abrasive terhadap sosok Sukanto Tanoto. Padahal, kasus ini masih pada tahap dugaan

baik dalam hal kasus manipulasi pajak maupun korupsi.’29

Dari keterangan di atas, penulis memahami bahwa abrasive adalah pencitraan

yang terkesan menekan terhadap seseorang. Efek abrasive ini muncul dari

penggunaan bahasa yang mengandung simbolisme sebagai politik bahasa media.

Hal tersebut penulis pandang terjadi pada penggunaan simbolisme berupa

metafora dan depictions sebagai dimensi politik bahasa media dalam teks

pemberitaan MBM Tempo. Efek abrasive tersebut dalam teks berwujud penurunan

status (status degradation) terhadap Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra

dari yang semula baik dan berprestasi, menjadi buruk dan memiliki catatan hitam

dalam karirnya di Kabinet Indonesia Bersatu, sehingga hal tersebut mengarah pada

pembunuhan karakter (character assassination) kedua tokoh tersebut.

Dalam kata lain, dimensi politik bahasa media dalam teks pemberitaan MBM

Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet

Indonesia Bersatu, dilakukan dengan bias dan prasangka demi pencapaian efek

abrasive kepada tokoh yang diberitakan, yakni khususnya pada citra Hamid

Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat negara Kabinet Indonesia
                                                            
29
Ibid. 
http://prys3107.blogspot.com  241
prys.3107@gmail.com 
 

Bersatu yang diberitakan terlibat dalam kasus korupsi.

Level Meso. Analisis produksi dan konsumsi teks MBM Tempo menjelaskan

bagaimana teks dibentuk oleh awak redaksi dan dinikmati oleh pembaca. Kerja

redaksi yang melibatkan reporter, penulis (staff redaksi), redaktur pelaksana, redaktur

senior, hingga redaktur bahasa, mencerminkan bahwa teks berita Jurnalisme Sastra

MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak pihak (kolektif) secara

institusional, dan bukan merupakan kerja individu. Jurnalisme Sastra MBM Tempo

yang dipraktikkan saat ini merupakan warisan tradisi dari para pendiri awal MBM

Tempo semisal GM dan kawan-kawan yang memiliki kualifikasi dalam bidang

kewartawanan maupun kesenian.

Posisi redaktur senior yang ditempati oleh GM dan kawan-kawan pendiri

MBM Tempo juga berperan besar dalam membentuk order of discourse atas praktik

Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM Tempo saat ini, antara lain lewat kelas

kuliah yang diikuti awak redaksi tiap minggunya dan penerapan sistem penilaian.

Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini tidak lagi diawaki seniman (sastrawan),

Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat terus bertahan.

Alasan lain juga karena tuntutan keadaan di mana pers Indonesia kini kian

tumbuh menjadi industri. Munculnya pemain baru di bidang media serta kecanggihan

teknologi komunikasi massa dalam menyajikan liputan jurnalisme, membuat MBM

Tempo bertahan dengan tradisi penulisan yang tidak tergolong hard news, tetapi lebih

kepada news feature. Pembaca MBM Tempo yang berada pada level menengah ke

atas juga mendapat tempat dalam penentuan tema liputan yang akan diangkat.
http://prys3107.blogspot.com  242
prys.3107@gmail.com 
 

Kuatnya agenda setting dalam Jurnalisme Sastra MBM Tempo yang secara

intens mengulas permasalahan korupsi di tubuh pemerintahan, penulis pandang tak

hanya mencerminkan MBM Tempo yang berusaha memainkan fungsi kontrol

sosialnya, namun juga sejalan dengan kondisi masyarakatnya di mana informasi

mengenai kasus korupsi –berikut kontroversinya– merupakan topik yang menarik

perhatian dan perlu diberitakan.

Mengenai motivasi MBM Tempo dalam memberitakan kasus korupsi secara

intens, redaktur Desk Nasional MBM Tempo Wenseslaus Manggut memberi alasan,

’Mengapa Tempo mengangkat kasus korupsi, karena selain kepentingan publik,

korupsi itu berbahaya. Kemudian motivasi lain menciptakan pemerintahan yang

bersih.’30

Uraian level meso di atas membaca penulis pada kesimpulan bahwa praktik

Jurnalisme Sastra MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak pihak

(kolektif) secara institusional dan dikonsumsi oleh khalayak pembaca kelas

menengah ke atas di Indonesia. Dalam hal pemberitaan mengenai kasus dugaan

korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, praktik

Jusnalisme Sastra berangkat dari motivasi MBM Tempo sebagai institusi pers yang

hendak mengambil perannya dalam menciptakan tata pemerintahan yang bersih (good

governence) di Indonesia.

Level Makro. Secara umum, konteks sosial yang melandasi teks, produksi dan
                                                            
30
Lampiran C 
http://prys3107.blogspot.com  243
prys.3107@gmail.com 
 

konsumsi teks Jurnalisme Sastra MBM Tempo berangkat dari persinggungan sistem

pers dengan sistem ekonomi-politik-budaya yang mengacu pada penerapan

demokrasi di Indonesia. Agenda setting yang dimainkan MBM Tempo dalam

menyoroti secara intens persoalan korupsi di Indonesia, mencerminkan partisipasi

politik Tempo dalam upaya perbaikan sistem demokrasi di Indonesia.

Nilai-nilai kebebasan berpikir dan berpendapat dalam kerangka demokrasi

tersebut dapat dilihat dari kandungan ambiguitas dalam teks berita MBM Tempo.

Sebab pada ambiguitas, pembaca MBM Tempo diberi kebebasan untuk mengambil

kesimpulan sendiri dan membentuk opini publik sesuai dengan konteks sosial

masyarakatnya. Sehingga meskipun praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo memiliki

efek perlokutif dalam melarutkan pembaca dan memiliki efek abrasive dalam

mencitrakan secara buruk pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, sulit bagi

penulis untuk mengkategorikan secara rigid bahwa yang dilakukan MBM Tempo

tersebut adalah trial by the press.

Penulis lebih menyepakati bahwa praktik marjinalisasi yang dilakukan MBM

Tempo sekedar menjadi motivator agar khalayak umum sendiri yang menghakimi

kedua tokoh tersebut berdasarkan fakta dan informasi yang disiarkannya. Hal tersebut

merupakan prejudicial publicity, yakni sebagai publisitas yang cenderung

mengarahkan publik untuk menghakimi seseorang atau lembaga di luar pengadilan

formal.

Maka jelas bahwa bias dan prasangka MBM Tempo terhadap Hamid

Awaludin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu
http://prys3107.blogspot.com  244
prys.3107@gmail.com 
 

yang diduga terlibat korupsi, dilakukan Tempo dalam konteks sosial masyarakat

Indonesia yang tidak percaya dengan upaya pemerintah memberantas korupsi dan

pengadilan formal. Sehingga alih-alih menjadi Aparatus Ideologis Negara yang status

quo penguasa dalam kerangka Althusser, praktik MBM Tempo justru menunjukkan

friksi dan counter hegemony-nya sebagai agen ideologis yang mampu menjaga jarak

dan menjadi watchdog bagi rezim SBY-JK yang tengah berkuasa di Indonesia saat

ini.

Seperti yang diberitakan Harian Kompas, Ketua Umum Partai Bulan Bintang

(PBB) MS Kaban menilai bahwa pemberitaan pers terhadap Yusril terkait dengan

kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-

undangan, mengarah pada pembunuhan karakter dan sepihak oleh pers. Dalam berita

yang sama, Sekretaris Jenderal PBB Sahar L. Hassan mengatakan bahwa pemberitaan

pers terhadap kasus ini tidak proporsional.31

Beberapa minggu sebelum reshuffle dilakukan, Hamid dan Yusril tengah

disorot publik terkait dengan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Depatemen

Hukum dan Perundang-undangan. Keduanya lalu dicopot dari jabatannya sebagai

menteri Kabinet Indonesia Bersatu pada reshuffle kabinet II Mei 2007. Meski SBY-

JK tidak menyatakan secara langsung pencopotan dua menteri tersebut karena

pemberitaan media massa dan opini publik, namun cukup logis bila penulis

                                                            
31
DPP PBB Menilai Terjadi Pembunuhan Karakter Yusril, Harian Kompas,
Edisi 5 Mei 2007 
http://prys3107.blogspot.com  245
prys.3107@gmail.com 
 

memandang bahwa dua peristiwa tersebut (pemberitaan pers dan dicopotnya Hamid-

Yusril) memiliki keterkaitan.

Di sinilah kekuatan media massa, khususnya MBM Tempo sebagai agen

ideologis yang melakukan counter hegemony dalam memarjinalkan Hamid dan Yusril

lewat pemberitaan berkesinambungan, lalu menancapkan citra ‘pejabat korup’ kedua

tokoh kepada publik dan memancing opini publik sebagai prejudicial publicity,

hingga kemudian menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan dicopotnya kedua

pejabat negara tersebut dari kabinet. Maka meminjam penyataan Stuart Hall tentang

wacana kritis dalam media, penulis memahami bahwa upaya MBM Tempo dalam

memarjinalkan pejabat negara yang terlibat dalam kasus korupsi, telah melalui proses

pendefinisian dan penandaan yang kompleks sesuai dengan konsensus masyarakat

Indonesia saat ini mengenai pemberantasan korupsi.

Watak MBM Tempo sebagai agen ideologis yang melakukan counter

hegemony tersebut juga bisa disimak dari sisi historis dan institusional MBM Tempo

yang pernah berkali-kali dibredel pemerintah, sehingga membentuk karakter MBM

Tempo sebagai salah satu institusi pers di Indonesia yang berani menentang

penguasa.

Secara historis, terbentuknya praktik estetik dan politik bahasa media

Jurnalisme Sastra pada awal MBM Tempo terbit merupakan salah satu cara

menyiasati represivitas Rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu. Ketika Rezim Orde

Baru tumbang dan represivitas pemerintah saat ini terhadap pers tidak lagi ketat,

watak MBM Tempo sebagai agen ideologis yang melakukan counter hegemony tidak
http://prys3107.blogspot.com  246
prys.3107@gmail.com 
 

lagi bertujuan menentang penguasa, tetapi lebih pada perbaikan demokrasi di

Indonesia lewat penciptaan tata pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan

nepotisme lewat Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik

bahasa media.

Secara institusional, Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai warisan tradisi

dari para pendiri MBM Tempo, terus dipertahankan hingga saat ini lewat pelajaran

dan praktik jurnalisme dalam kelas kuliah yang diikuti awak redaksi tiap minggunya,

serta penerapan sistem penilaian (kredit poin) atas kinerja dan hasil tulisan wartawan

MBM Tempo. Hal tersebut membentuk order of discourse yang khas dalam praktik

diskursif MBM Tempo atas praktik Jurnalisme Sastra yang dikembangkan saat ini.

Selain itu, tuntutan keadaan di mana pers Indonesia kini kian tumbuh menjadi

industri, juga menjadi faktor dipertahankannya praktik Jurnalisme Sastra di MBM

Tempo. Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini tidak lagi diawaki seniman

(sastrawan) dan tidak lagi direpresi pemerintah, Jurnalisme Sastra MBM Tempo

dapat terus bertahan sampai sekarang.

Memandang praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai suatu karya

jurnalisme sekaligus karya seni sastra yang diproduksi secara kolektif dan

institusional, maka dapat penulis pahami bahwa secara makro MBM Tempo hadir

dalam konteks sosial masyarakat Indonesia di mana seni turut merepresentasikan

makna-makna sosial dan ideologis yang berlaku di masyarakat. Dalam kerangka

inilah praktik seni yang estetis tidak bisa dipisahkan dari kerangka etik politiknya.
http://prys3107.blogspot.com  247
prys.3107@gmail.com 
 

Konsepsi Antonio Gramsci yang mengaitkan kritik estetika dengan kritik

politik, mewujud dalam Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik jurnalisme

yang baik secara estetis sekaligus jitu secara politis. Jurnalisme Sastra MBM Tempo

juga membuktikan konsepsi Julia Kristeva bahwa bahasa puisi (the poetic language)

mampu membongkar persoalan mendasar, esensial dan hakiki menyangkut

kemanusiaan itu sendiri, persoalan yakni korupsi di tengah-tengah masyarakat

Indonesia.

Menyoal Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa media

dalam kerangka teori wacana yang digagas Foucault, penulis memahami bahwa kuasa

media (MBM Tempo) lewat pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan pejabat

negara Kabinet Indonesia Bersatu membentuk pengetahuan di masyarakat bahwa

korupsi adalah sesuatu yang buruk dan menjadi musuh bersama.

Dalam kerangka teori wacana Foucault, ia juga merupakan wujud

‘normalisasi’ atas wacana korupsi di Indonesia. Tujuan dari normalisasi ini adalah

‘penyingkiran segala yang dianggap menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak

teratur baik secara psikologis maupun sosial.’32 Dalam hal ini, normalisasi (yang

muncul dari kekuasaan MBM Tempo yang membentuk pengetahuan tentang

buruknya korupsi) dilakukan untuk menyingkirkan korupsi demi perbaikan

demokrasi di Indonesia.

                                                            
32
Ahmad Sahal, Kemudian, Di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis,
Genealogi, dan Dekonstruksi, artikel dalam Jurnal Kalam, Edisi 1/1994 
http://prys3107.blogspot.com  248
prys.3107@gmail.com 
 

Dalam kerangka teori wacana Foucault pula dapat dikatakan bahwa kekuasaan

yang dimiliki MBM Tempo dalam normalisasi wacana korupsi di Indonesia serupa

dengan konsep panopticon33 sebagai model pengawasan dan kontrol media lewat

sosialisasi nilai-nilai moral, etika, dan budaya dalam menyoroti kasus korupsi di

Indonesia. Terlebih lagi dengan keterbukaan informasi publik yang dijamin

konstitusi, MBM Tempo dapat berperan maksimal sebagai watchdog bagi

pemerintahan SBY-JK dan mengawasi kinerja para pejabat negara Kabinet Indonesia

Bersatu.

Maka tak berlebihan pula bila penulis memandang bahwa selain

mengupayakan perbaikan demokrasi di Indonesia, praktik Jurnalisme Sastra MBM

Tempo juga sejalan gagasan Din Syamsuddin yang menyebutkan konsep ‘pendekatan

kultural’ demi pencapaian demokrasi sejati.

                                                            
33
Panopticon merupakan konsep Foucault mengenai model matriks
mekanisme kuasa dalam bentuk penataan ruang sedemikian rupa sehinga semua
penghuninya bisa dipantau secara sangat transparan. Desainnya kira-kira demikian:
sebuah halaman luas, dengan menara di tengahnya dan dikelilingi oleh serangkaian
bangunan yang dibagi-bagi dalam tingkat-tingkat dan sel-sel. Dalam masing-masing
sel terdapat dua jendela: satu untuk menerima sinar dari luar dan satunya lagi
menghadap jendela menara. Dengan begitu, segala isi sel bisa terpantau dari menara.
Masing-masing sel jadinya seperti teater kecil, dengan seorang aktor yang sendirian
tapi secara konstan dan kelihatan terus. Dalam kondisi demikian, para penghuni
merasa diawasi terus menerus sehingga akhirnya ia membatinkan pengawasan dalam
dirinya sendiri. Dia kemudian menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Model
panopticon ini memperlihatkan bagaimana kuasa modern berfungsi secara anonim
dan hadir di mana-mana. Ibid.  
http://prys3107.blogspot.com  249
prys.3107@gmail.com 
 

Sebagai kesimpulan pada level makro, konteks sosial budaya –seperti

ideologi, hegemoni, dan interaksi kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM

Tempo terkait dengan praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan

kasus dugaan korupsi tersebut adalah kian menguatnya persinggungan dunia sastra

dengan jurnalisme di Indonesia lewat kemunculan genre sastra koran; tuntutan

kepada pers untuk memberitakan kasus korupsi dalam peringatan Hari Kebebasan

Pers Sedunia; menguatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan formal

dan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi; serta counter hegemony yang

dijalankan MBM Tempo demi menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih.

Kesemuanya ini mengarah pada persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomi-

politik-budaya yang mengacu pada penerapan dan perbaikan demokrasi di Indonesia.


http://prys3107.blogspot.com 
prys.3107@gmail.com 
 

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan ilmu pengetahuan di era pasca positivisme telah kian marak.

Salah satu kecenderungan yang menarik ialah ketika disiplin ilmu kini mengalami

banyak konvergensi, klaim spesialisasi ilmu menjadi perdebatan. Batas-batas ilmu

pengetahuan yang dulu ditarik dengan tegas oleh para ilmuwan, kini mulai

mengalami keruntuhan. Dalam kata lain, wajah ilmu pengetahuan kita belakangan

hari ini kian disemaraki dengan berkembangnya kajian ilmu yang bercorak multi

disipliner.

Tak terkecuali bagi ranah ilmu sosial yang menjadi induk dari ilmu

komunikasi, dan khususnya lagi ilmu jurnalistik yang menempati wilayah ilmu

praktika komunikasi. Dengan membongkar berbagai klaim spesialisasi ilmu

komunikasi dan jurnalistik, kajian multi disipliner pun dapat mulai digagas.

Salah satu upaya yang telah penulis lakukan lewat penelitian ini adalah

menjembatani ranah jurnalistik dengan ranah sastra dalam satu kajian ilmu

komunikasi. Penulis memandang hal ini cukup kontekstual dilakukan di Indonesia,

mengingat sisi historis negeri ini di mana kedua ranah tersebut telah bersinggungan

sejak Mpu Prapanca melaporkan gambaran faktual kota Majapahit, lewat rangkaian

puisi bertajuk ’Nagarakrtagama’ yang ditulisnya pada 1365.

250
http://prys3107.blogspot.com  251
prys.3107@gmail.com 
 

Eksistensi wartawan-cum-sastrawan semacam Mpu Prapanca kemudian juga

bisa ditemui dalam berbagai tokoh pers Indonesia yang juga akitf di kesenian

(kesusastraan) mulai dari awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru. Tokoh

tersebut bisa disebutkan antara lain R.M.Tirtoadisuryo, Mas Marco Kartodikromo,

Abdul Muis, Roestam Effendi, Pramoedya Ananta Toer, Buya Hamka, Umar Kayam,

Arief Budiman, GM, Putu Wijaya, Bur Rusuanto, Seno Gumira Ajidarma, Ayu

Utami, dan sejumlah nama lainnya. Namun dalam penelitan ini, ranah sastra dan

jurnalisme tidak penulis tempatkan pada praktik individu, tapi lebih praktik institusi

media terkait dengan praktik jurnalisme kontemporer yang dikembangkannya.

Sejatinya, kajian media dalam kerangka paradigma kritis merupakan ragam

penelitian ilmiah yang emansipatoris dan bertujuan membela pihak tertentu yang

dipinggirkan dalam pemberitaan media, khususnya praktik marjinalisasi terhadap

kelompok masyarakat yang lemah, semisal kaum tani, perempuan, mahasiswa

demonstran, atau kalangan marjinal lainnya di masyarakat bawah.

Asumsi paradigma kritis yang menolak pemisahan teori dengan praksis,

memang menyaratkan peneliti selayaknya seorang aktivis, advokat, dan

transformative intellectual dalam upayanya membela kelompok masyarakat lemah

tadi. Kacamata kritis sendiri telah sepakat memandang media bukan lagi sebagai

pihak pelapor peristiwa objektif yang bebas dari relasi kuasa, tetapi sebagai agen

pembentuk realita yang konstruktif menciptakan makna di bawah relasi kuasa tertentu

yang dominan dalam masyarakat.


http://prys3107.blogspot.com  252
prys.3107@gmail.com 
 

Maka dengan melakukan ragam kajian media di bawah payung paradigma ini,

seorang peneliti akan melihat praktik media yang tidak berimbang dan memihak satu

kelompok bukan sebagai kekeliruan atau bias, tetapi memang seperti itulah praktik

yang dijalankan media sebagai efek ideologi. Karenanya, tujuan penelitian bukan lagi

mencari sebanyak apa bias pemberitaan dalam media tersebut, tetapi lebih

ditempatkan sebagai wahana kritik ideologi dominan demi mengupayakan perubahan

transformasi sosial yang timpang dan tidak adil seperti yang tercermin dalam praktik

media yang diteliti.

Analisis wacana kritis sebagai metode yang mampu menggali praktik media

semacam itu, menunjukkan nuansa politis yang kental dari seorang peneliti. Hal ini

kemudian menunjukkan betapa praktik media akan semata-mata dinilai dalam

kerangka politis tertentu, dan penelitian pun dilakukan secara politis pula untuk

menjalankan kritik ideologi media yang dominan.

Namun di sisi lain, penulis sepakat dengan penyataan Eriyanto yang menilai

bahwa kajian semacam ini memang menyederhanakan karakteristik analisis wacana

yang sejatinya memang beragam dan multi disiplin. Sehingga tepat bila Ahmad Sahal

menyayangkan kecenderungan politis dalam ragam kajian semacam ini

menyingkirkan estetika.

Penulis berpendapat bahwa praktik penggunaan bahasa dalam pemberitaan

MBM Tempo, dapat dilihat baik secara politis maupun estetis. Hal inilah yang

membuat penulis tergerak untuk menutupi keterbatasan analisis wacana kritis dengan

memadukan kedua dimensi tersebut secara ekletif, yakni analisis wacana kritis yang
http://prys3107.blogspot.com  253
prys.3107@gmail.com 
 

dapat digunakan untuk mengkaji penggunaan bahasa media sebagai praktik estetik

dan praktik politik bahasa. Maka sebagai uraian penutup, dengan ini penulis

merangkum lima buah kesimpulan penelitian.

Pertama. Dimensi estetika bahasa dalam teks pemberitaan MBM Tempo

mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia

Bersatu, dilakukan demi pencapaian efek perlokutif secara maksimal dan joissance

kepada pembaca, sehingga pembaca akan tertarik dan larut dalam pemberitaan MBM

Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet

Indonesia Bersatu. Sedangkan dimensi politik bahasa media dilakukan dengan bias

dan prasangka demi pencapaian efek abrasive kepada tokoh yang diberitakan, yakni

khususnya pada citra Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat

negara Kabinet Indonesia Bersatu yang diberitakan terlibat dalam kasus korupsi.

Kedua. Jurnalisme Sastra MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak

pihak (kolektif) secara institusional dan dikonsumsi oleh khalayak pembaca kelas

menengah ke atas di Indonesia. Dalam hal pemberitaan mengenai kasus dugaan

korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, praktik

Jusnalisme Sastra berangkat dari motivasi MBM Tempo sebagai institusi pers yang

hendak mengambil perannya dalam menciptakan tata pemerintahan yang bersih (good

governence) di Indonesia.

Ketiga. Secara historis, terbentuknya praktik estetik dan politik bahasa media

Jurnalisme Sastra pada awal MBM Tempo terbit merupakan salah satu cara

menyiasati represivitas Rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu. Ia juga menjadi
http://prys3107.blogspot.com  254
prys.3107@gmail.com 
 

ekkserimen dalam mengembangkan kemampuan jurnalisme sekaligus bertujuan

menarik minat pembaca. Secara institusional, Jurnalisme Sastra MBM Tempo

sebagai warisan tradisi dari para pendiri MBM Tempo, terus dipertahankan hingga

saat ini lewat pelajaran dan praktik jurnalisme dalam kelas kuliah yang diikuti awak

redaksi tiap minggunya, serta penerapan sistem penilaian (kredit poin) atas kinerja

dan hasil tulisan wartawan MBM Tempo. Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini

tidak lagi diawaki seniman (sastrawan) dan tidak lagi direpresi pemerintah,

Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat terus bertahan sampai sekarang.

Keempat. Konteks sosial budaya –seperti ideologi, hegemoni, dan interaksi

kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM Tempo terkait dengan praktik

Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi tersebut

antara lain kian menguatnya persinggungan dunia sastra dengan jurnalisme di

Indonesia lewat kemunculan genre sastra koran, tuntutan kepada pers untuk

memberitakan kasus korupsi dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia,

menguatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan formal dan upaya

pemerintah dalam memberantas korupsi, serta counter hegemony yang dijalankan

MBM Tempo demi menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih.

Kesemuanya ini mengarah pada persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomi-

politik-budaya yang mengacu pada penerapan dan perbaikan demokrasi di Indonesia.

Kelima. Jurnalisme Sastra berkembang di MBM Tempo saat ini sebagai

berkembang sebagai suatu karya jurnalisme sekaligus karya seni sastra yang

diproduksi secara kolektif dan institusional, sebagai warisan tradisi dari para pendiri
http://prys3107.blogspot.com  255
prys.3107@gmail.com 
 

MBM Tempo yang kini dipertahankan oleh para redaktur senior lewat pelajaran dan

praktik jurnalisme dalam kelas kuliah.

Setelah menguraikan lima kesimpulan penelitian di atas, penulis merasa perlu

untuk menjelaskan di mana posisi Jurnalisme Sastra dalam ranah penciptaan teks,

baik dari ranah jurnalisme maupun sastra di Indnesia. Mengacu pada Septiawan

Santana Kurnia, praktik Jurnalisme Sastra di Indonesia dianggap sebagai

perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme kontemporer yang awalnya

berkembang di Amerika Serikat pada 1960-an, kemudian dibawa oleh MBM Tempo

pada tahun 1970-an dan hingga kini mulai dipraktikkan juga di berbagai media massa

di Indonesia.

Namun mengingat luasnya definisi sastra (kesusastraan), penulis juga

mengacu pada Ariel Haryanto yang menyebutkan Jurnalisme Sastra sebagai bagian

dari sastra itu sendiri. Ia menyebutkan Jurnalisme Sastra dalam kategori ‘kesusastraan

yang dipisahkan’ (non-sastra) dengan menyimak kecenderungan mutakhir dari

kesusastraan Indonesia.1

                                                            
1
Ariel Haryanto, Masihkah Politik jadi Panglima? Politik Kesusasteraan
Indonesia Mutakhir, artikel dalam Majalah Prisma, No.8 Tahun XVII, Jakarta, 1988.
Dengan menyimak kecenderungan kesusastraan mutakhir di Indonesia, Ariel
mengklasifikasikan sastra menjadi empat kategori, yakni (1) sastra yang diresmikan
atau diabsahkan, (2) sastra yang terlarang, (3) sastra yang diremehkan, (4) sastra yang
dipisahkan/ non-sastra. Jurnalisme Sastra menurut Ariel termasuk dalam kategori
keempat. 
http://prys3107.blogspot.com  256
prys.3107@gmail.com 
 

Mengenai posisi Jurnalisme Sastra sebagai praktik politik media massa di

ranah kesusastraan Indonesia, Ariel menulis:

Dalam media massa inilah para pemikir politik yang paling berpengaruh dan
pejabat pemerintahan bersastera politik. Itu pula sebabnya lahan inilah yang
paling “politis” dan banyak menjadi sasaran sponsor dan sensor politik negara.
Goenawan Mohamad, Umar Kayam dan Arief Budiman adalah beberapa contoh
menonjol dari generasi peralihan yang kita bicarakan ini. Sementara itu kaum
muda yang menunjukkan bakat bersastera maupun berpikir politis makin lama
makin banyak direkrut media massa. Orang-orang pun berbicara tentang
jurnalisme sastera. Itu sebabnya, kategori non-sastera yang saya ajukan di atas
penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu transformasi mutakhir dari
tradisi kesusasteraan kita.2

Dari keterangan di atas, penulis memahami adanya perbedaan para pakar

mengenai posisi Jurnalisme Sastra di Indonesia. Di satu sisi Jurnalisme Sastra

merupakan perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme di Indonesia. Sedangkan

di sisi lain, ia juga dianggap sebagai transformasi mutakhir dari praktik kesusastraan

di Indonesia. Di titik inilah, penulis merangkum asumsi para pakar tersebut bahwa

Jurnalisme Sastra adalah titik temu atau persinggungan antara praktik jurnalisme

dengan praktik kesusastraan yang terjadi pada alam demokrasi di Indonesia abad 21

ini. Adapun persinggungan ini tampak nyata terjadi di MBM Tempo.

Sebagai penutup, penulis menjawab rumusan masalah penelitian sebagai

berikut: praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo –sebagai praktik estetik dan politik

bahasa media– pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat

negara Kabinet Indonesia Bersatu merupakan persinggungan antara praktik

                                                            
2
Ibid. Huruf kursif dan ejaan dikutip sesuai aslinya. 
http://prys3107.blogspot.com  257
prys.3107@gmail.com 
 

jurnalisme dengan praktik kesusastraan yang dilakukan demi pencapaian efek

perlokutif dan joissance kepada pembaca serta pencapaian efek abrasive kepada

pejabat negara yang diberitakan, sebagai pendekatan kultural dalam mewujudkan

demokrasi sejati di Indonesia.

Tepat pula kiranya bila MBM Tempo sampai saat ini masih mengusung motto

‘Enak dibaca dan perlu’, sebab demikianlah MBM Tempo berpraktik hari ini di

tengah-tengah pembacanya: praktik estetik yang menyajikan kemelimpahan makna

bagi pembaca, sekaligus merupakan praktik politik bahasa yang diperlukan

masyarakat bersama pers dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

B. Saran

Mengenai praktik politik bahasa media lewat pencapaian efek abrasive

terhadap pejabat negara yang diberitakan terlibat kasus korupsi, penulis menyarankan

agar MBM Tempo dapat mengurangi upaya status degradation dan character

assasination yang mengarah pada prejudicial publicity. Sebab jika hal tersebut

menempati porsi yang lebih besar dalam pemberitaan, MBM Tempo dapat terjebak

pada trial by the press yang justru akan mencoreng nama MBM Tempo sendiri, serta

menimbulkan citra buruk pers dalam partisipasinya memberantas korupsi di

Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com
prys.3107@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ajidarma, Seno Gumira, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Edisi
Kedua, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2005

Alami, Happy, Sebelas Penyair Terkenal Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Jakarta,


2001

Althusser, Louis, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resist Book,


Yogyakarta, 2007

Anwar, Rosihan, Menulis Dalam Air, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka


Cipta, Cetakan Kesembilan, Jakarta, 1993

Assegaf, Djafar H., Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan,


Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983

Bachir, Soetrisno, Membangun Kemandirian Bangsa, Penerbit Belantika, Jakarta,


2005

Djuroto, Totok, Manajemen Penerbitan Pers, Pt Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000

Djuyoto, Djujuk, Jurnalistik Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja Raksasa,


Nurcahaya, Yogyakarta, 1985

Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, & Filsafat Komunikasi, Penerbit CV Bandar
Maju, Bandung, 1993

Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS,


Yagyakarta, 2005

--------, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Cetakan ke-4, LKiS,
Yogyakarta, 2005

Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa; Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta,
2004

258
http://prys3107.blogspot.com 259
prys.3107@gmail.com

Harsono¸ Andreas & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan


Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005

Hidayat, Rachmad, Ilmu yang Seksis; Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori
Sosial Maskulin., Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2004

Jay, Martin, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan


Teori Kritis, Kreasi Wacana, 2005

Kartika, Sandra dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman;


Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999

Kurnia, Septiawan Santana, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,


2002

Liftschitz, Mikhail dan Leonardo Salamini, Praksis Seni: Marx & Gramsci, Penerbit
Alinea, Yogyakarta, tanpa tahun

Macdonell, Diane, Teori-Teori Diskursus; Kematian Strukturalisme & Kelahiran


Posstrukturalisme Dari Althusser hingga Foucault, Terjemahan Eko
Wijayanto, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,


2000

Narwaya, St. Tri Guntur, Matinya Ilmu Komunikasi, Resist Book, Yogyakarta, Mei,
2006

Nurudin, Komunikasi Massa, Cesper, Yogyakarta, 2003

Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas


Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004

--------, Sebuah Dunia Yang Menakutkan; Mesin-Mesin Kekerasan Dalam Jagat


Raya Chaos, Penerbit Mizan, Bandung, 2001

Pramudya, Willy dan A.A. Sudirman (Ed.), Laporan Hukum dan HAM LBH Jakarta
2005, Penerbit Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 2005

Pratikto, Riyono, Kreatif Menulis Feature, Alumni Bandung, 1984

Semi, M. Atar, Anatomi Sastra, PT Angkasa Raya, Padang, tanpa tahun


http://prys3107.blogspot.com 260
prys.3107@gmail.com

Setiati, Eni, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi,


Yogyakarta, 2005

Sobur, Alex, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001

Sudibyo, Agus, Ibnu Hamad dan Muhamad Qadari, Kabar-Kabar Kebencian:


Prasangka Agama di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001

Suyanto, Bagong dan Sutinah (Ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005

Tim LSPP, Media Sadar Publik, Penerbit LSPP, Jakarta, 2005

Yudhoyono, Susilo Bambang dan M. Yusuf Kalla, Membangun Indonesia yang


Aman, Adil, dan Sejahtera; Visi, Misi, dan Program, tanpa penerbit, Jakarta,
2004

Zain, Umar Nur, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
http://prys3107.blogspot.com 261
prys.3107@gmail.com

Sumber Lain:

Anggoro, Donny, ”Catatan Sastra 2003: Tahun Emas Cerpen dan Pendobrakan Sastra
Koran”, dalam Donny Anggoro, Sastra yang Malas, Tiga Serangkai, Solo,
2004

Apriliyanto, Teguh, Independensi Media Dibalik Kasus Tempo vs PT Asian Agri,


artikel dalam Jurnal Media Watch, The Habibie Center, Jakarta, Edisi No.62/
Desember 2007

Budianta, Melani, “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme dari Studi Teks ke Studi
Wacana Budaya”, dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas
Indonesia, tanpa tahun

Damono, Sapardi Djoko, “Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca”, dalam Bahan
Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tanpa tahun

Danujaya, Budiarto, ”Realitas ‘Koran’ pada Sastra Koran”, dalam Kenedi Nurhan
(Ed.), Dua Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000, Penerbit Harian
Kompas, Jakarta, 2000

Effendy, Onong Uchjana, Kamus Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,


2001

Eriyanto, “Politik Pemberitaan”, dalam Majalah Pantau Edisi 09.Tahun 2000

Heryanto, Ariel, ”Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia


Mutakhir”, dalam Majalah Prisma, Edisi Sastera dan Masyarakat Orde Baru,
No.8 Tahun XVII, 1988

Hidayat, Dedy N., “Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi dan
Delegitimasi Rejim Orde Baru”, dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra
(Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural
Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP),
Jakarta, 1999

Husein, Fathul A., “Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur”, dalam
Suratkabar Harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Maret 2005

Husodo, Adnan Topan, “Buruk Muka Tetap Dibela”, dalam Koran Tempo, Edisi 11
Oktober 2006
http://prys3107.blogspot.com 262
prys.3107@gmail.com

Huda, Mh. Nurul, “Ideologi Sebagai Praktek Kebudayaan”, dalam Jurnal Filsafat
Driyarkara, Edisi Th.XXVII No.3/2004

Junaedhie, Kurniawan, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta, 1991

Kalim, Nurdin dan Sunudyantoro, “Memburu Sang Ilham di Wonokromo”, dalam


Selingan Iqra, Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 14 Mei 2006

Nuryana, “Demokrasi Yang Menyakiti Rakyat”, dalam Harian Rakyat Merdeka,


Edisi 29 Januari 2008

Piliang, Indra J., “Korupsi dan Demokrasi”, dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad
Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005

Sahal, Ahmad, "Cultural Studies dan Tersingkirnya Estetika”, dalam Harian Kompas
Jumat, 2 Juni 2000

--------, Kemudian, Di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan


Dekonstruksi, artikel dalam Jurnal Kalam, Edisi 1/1994

Siahaan, Henry dan Ainul Ridha, “Desentralisasi Pemberantasan Korupsi”, dalam


Koran Tempo, Edisi 17 oktober 2006

Sudibyo, Agus, ”Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan”, dalam HCB


Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2005

Tim Editorial, Undang-Undang Tentang Korupsi, Penerbit PROGRESIF BOOKS,


Jakarta, 2006

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Demokrasi dan Kesejahteraan, Dialog Jumat Tabloid Republika, Edisi 25 Januari


2008

DPP PBB Menilai Terjadi Pembunuhan Karakter Yusril, Harian Kompas, Edisi 5
Mei 2007

DPR Lembaga Paling Korup, Harian Seputar Indonesia, Edisi 10 Desember 2006
http://prys3107.blogspot.com 263
prys.3107@gmail.com

Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Harian Kompas, Edisi 25 Oktober 2007

Jurnalisme Sastra, Koran Duta Edisi 1 September 2001, www.koranduta.com,


diakses pada 19 Juni 2007

Skripsi:

Fachrizal, Surya, Wacana Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SPL) Pada


Pemberitaan LKBN Antara dan Koran Tempo Mengenai Hukum Cambuk di
Aceh dan Fatwa MUI Tentang SPL dan Ahmadiyah (Skripsi), Institut Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2006

Pangeswari, Eka Shinta, Gaya Penulisan Laporan Utama Majalah Tempo Pra dan
Pascabredel (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2003

Wahyuni, Ani, Konstruksi Realitas Pemberitaan tentang Pemberian Suaka Politik


WNI asal Papua di Majalah Tempo (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Jakarta, 2006
http://prys3107.blogspot.com 264
prys.3107@gmail.com

LAMPIRAN A COMPANY PROFILE MBM TEMPO


http://prys3107.blogspot.com 265
prys.3107@gmail.com
http://prys3107.blogspot.com 266
prys.3107@gmail.com
http://prys3107.blogspot.com 267
prys.3107@gmail.com

Bagan Struktur Organisasi Redaksi MBM Tempo


http://prys3107.blogspot.com 268
prys.3107@gmail.com

Alur Berita MBM Tempo

Rapat
Kompartemen
Alur Berita Di Majalah Tempo
(Redaktur
Pelaksana)
Peliputan :
Penulisan Penulisan
Reporter - Reportase,
Laporan Berita
/SR/TNR - Wawancara (Reporter)
- Riset (Penulis/SR)

Penu- News
Rapat Desk
Perencanaan gasan
(Jabrik Distri-
(PemRed / RE) busi
/SR)

Rapat Checking Rencana


(PemRed/RE) Foto Redaktur Periset Fotografer
Foto Foto (TNR)

Disetujui
oleh
Red. Pel.

RE/Red Editing
Desain Redaktur
Kreatif (RedPel/
Visual Bahasa
(Artistik) Red.Sen)

Ke TEMPRINT
Pem. Red. (menggunakan CD)
http://prys3107.blogspot.com 269
prys.3107@gmail.com

Lampiran B Hasil Wawancara

Nama : Sapto Nugroho

Jabatan : Redaktur Bahasa MBM Tempo

Tanggal : 5 Februari 2008

Apa latar belakang MBM Tempo menggunakan redaktur bahasa?

Penggunaan bahasa Indonesia itu penting, Kemudian akurasi, meliputi data atau

penulisan nama. Kemampuan wartawan kan lain-lain. Dan karena kepedulian GM

(Goenawan Mohamad—pen.) terutama waktu itu. Bahwa bahasa Indonesia kayaknya

kurang dipedulikan. Waktu itu Slamet Djabarudi sebagai redaktur bahasa pertama di

Indonesia. Saya ini termasuk bimbingannya dia, saya sempat berkerja sama dia

sampai Tempo dibredel tahun 93 sebelum dia meninggal.

Bagaimana job desk yang dipegang oleh redaktur bahasa di MBM Tempo?

Membetulkan bahasa, meliputi ejaan, kalimat, tata bahasa, penulisan nama, lembaga

dalam dan luar negeri, data jarak atau jumlah.

Dari hasil analisis teks penelitian ini, saya banyak menemukan penggunaan

bahasa mengandung unsur keindahan (estetis) dan metafora.

Kalau itu, bisa dari saya, bisa dari penulisnya juga. Kalau penulis yang kreatif kan

pemilihan kata atau diksinya itu juga bagus. Saya sebatas membetulkan yang parah

saja. Saya nggak mengubah kata-kata kalau nggak parah-parah banget. Dan memang

karena Tempo terbitnya mingguan, kalau kita menulis reportase, pembaca nggak

mendapatkan sesuatu yang baru. Lain kalau kita baca koran, yang penting beritanya
http://prys3107.blogspot.com 270
prys.3107@gmail.com

saja. Kalau majalah kan nggak begitu, ada analisa, ada cerita-cerita di balik suatu

berita. Jadi porsi hard news itu dikurangi. Jadi ya memang seperti kita menulis novel.

Sejak reporter memang sudah diarahkan supaya membaca novel, menonton film,

teater.

Jadi kekuatannya ada pada reporter?

Reporter itu hanya mencari bahan berita. Yang berperan tetap redaktur pelaksana.

Jahitan tulisan repoter itu kemudian dikombinasikan dengan redaktur pelaksana

sebagai posisi penulis yang paling tinggi.

Mengenai karakter penulisan Tempo yang berbeda dengan penulisan

jurnalisme biasa di media lain?

Itu karena dari awalnya dididik untuk begitu. Dari awalnya reporter magang, diajari

membuat laporan yang bagus. Jadi memang dari awal sudah bertahun-tahun dididik

begitu, hingga menjadi redaktur pelaksana. Jenjang karir di Tempo bisa dibilang sulit,

penyaringannya lebih ketat.

Ada program khususnya untuk itu, misalnya pelatihan penulisan?

Program khusus ya di dalam (internal). Sekalian dinilai sekalian praktik. Kemudian

ada semacam kelas tiap hari selasa yang mendiskusikan majalah yang baru terbit.

Misalnya tulisan ini gimana, kurang tajam, atau ada cerita yang kurang, ini harusnya

diwawancarai, ini kurang berimbang. Yang ikut itu reporter dan reporter senior.
http://prys3107.blogspot.com 271
prys.3107@gmail.com

Bagaimana pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dalam meliput hingga

menyajikan sebuah berita yang layak muat?

Mulai dari rapat awal atau perencanaan tiap Senin, diikuti oleh semua termasuk

reporter. Kemudian melihat perkembangan berita itu di rapat checking hari Rabu.

Rapat terakhir hari Jumat, sekaligus membahas sedikit-sedikit untuk minggu depan.

Naskah reporter yang masuk, ditambah riset dari internet atau media lain, kemudian

dirangkai-rangkai, terus ditulis, dan dimasukkan paling akhir di redaktur pelaksana.

Bagaimana latar belakang pendidikan wartawan yang bekerja di redaksi MBM

Tempo saat ini?

Rata-rata S-1.

Bagaimana suasana hubungan profesional yang ada di antara sesama karyawan

MBM Tempo?

Kalau disini mah atasan dengan bawahan bisa bebas saling mendebat. Apalagi dalam

penentuan berita, yang menentukan itu rapat, bukan orang per orang. Orang

mengusulkan, kemudian rapat menyetujui atau tidak. Kalau rapat tidak menyetujui,

meski yang mengusulkan itu bos paling tinggi, mentah.

Bagaimana posisi pembaca MBM Tempo diperhitungkan redaksi ketika

menyajikan sebuah berita?

Itu sudah termasuk dalam pilihan berita. Misalnya kita milih Mayangsari dikupas

habis, itu bukan segmen pembaca Tempo. Sudah dari perencanaan dan penulisan, kita

sudah memikirkan segmen pembaca.


http://prys3107.blogspot.com 272
prys.3107@gmail.com

Bedanya Tempo yang dulu dengan yang sekarang?

Mungkin karena mengikuti keadaan. Kalau dulu, Tempo berani karena media yang

lain tidak. Kemudian SIUPP susah. Majalah, koran dan televisi juga tidak sebanyak

sekarang. Lebih gampang dulu karena saingan sudah tidak seperti sekarang. Saingan

Tempo secara tidak langsung televisi dan koran.

Apa itu juga yang menjadi alasan mengapa Tempo menggunakan penulisan

yang berbeda?

Ya itu salah satunya karena tuntutan keadaan. Anda nonton berita di televisi kan

nggak bayar. Dari sisi ekonomi susah. Kita mau bikin berita seperti dulu, sekarang

Rakyat Merdeka juga berani. Kalau mau berani-beranian, kita sudah kalah.

Mengenai prestasi Tempo dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia?

Institusi pers kan seharusnya memang begitu, Mas. Institusi pers sebagai kontrol

sosial, mendidik, upaya mengungkapkan kebenaran. Tempo berusaha mengikuti pers

yang ideal itu. Karena nggak semuanya begitu kan, ada yang untuk keperluan pribadi,

atau perusahaan, ada yang mengikuti kehendak pemilik modal. Tempo berusaha

untuk tidak begitu. Seperti yang saya bilang tadi, usul seorang Pemred, atau GM

sekalipun yang dianggap di sini sebagai sesepuh, kalau tidak lolos di rapat tidak

dipakai.

Redaktur Bahasa
MBM Tempo

Sapto Nugroho
http://prys3107.blogspot.com 273
prys.3107@gmail.com

Lampiran C Hasil Wawancara

Nama : Wenseslaus Manggut

Jabatan : Redaktur Desk Nasional MBM Tempo

Tanggal : 8 Februari 2008

Bagaimana pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dalam meliput hingga

menyajikan sebuah berita yang layak muat?

Tiap hari Senin jam 10 pagi itu rapat masing-masing kompartemen (bagian). Ada

sekitar enam sampai tujuh kompartemen yang rapat selama satu jam. Di situ mereka

akan menjaring usulan berita minggu depan itu kira-kira apa. Usulan juga bisa dari

reporter, magang nulis, staff redaksi, penanggungjawab rubrik, dan redaktur

pelaksana. Setelah mereka putuskan usulan dari lima hingga delapan item. Lalu jam

11 siang diadakan rapat gabungan kompartemen di ruang rapat lantai satu. Hasil rapat

kompartemen dipresentasikan satu-satu. Ada yang diterima, ada yang ditolak, ada

yang mesti diperdalam. Rapat berlangsung hingga jam dua atau jam tiga. Senin sore

setelah selesai rapat gabungan, lalu dibuat lembar penugasan (term of reference) yang

berisi inti masalah tulisan, siapa sumber yang harus kita hubungi, daftar pertanyaan,

hingga nomor kontaknya. Jadi lembar penugasan itu berisi kurang lebih 50 persen

dari tulisan. Yang membuat lembar penugasan adalah staff redaksi. Ditujukan untuk

reporter, calon reporter, dan staff redaksi sendiri. Kalau disini, tidak ada berita yang

keluar tanpa rapat. Hari selasa reporter ke lapangan, ada juga yang ikut kelas kuliah

jam 11 bagi magang nulis dan repoter, melakukan evaluasi kelemahan, kekurangan
http://prys3107.blogspot.com 274
prys.3107@gmail.com

dan kekuatan tulisan minggu lalu. Jam 2 diadakan kelas kuliah untuk level

penanggungjawab rubrik dan redaktur pelaksana. Yang dibahas itu tulisan-tulisan

panjang. Hari rabu jam 10 rapat checking bagi kompartemen tentang liputan yang

sudah dijalankan. Jam 11 rapat checking bagi gabungan kompartemen. Di situ

diperiksa apakah perencanaan hari Senin itu masih pas, atau ada tambahan, ada yang

dikurangi atau digugurkan. Setelah itu diadakan rapat Partirtur dengan staff desain

dan foto. Hari Kamis kerja seperti biasa, dan sudah mulai nulis. Jumat deadline dan

checking terakhir. Jumat malam selesai. Sabtu masuk cetak. Senin diulang lagi.

Setelah mendapat lembar penugasan, apa yang harus repoter lakukan?

Reporter itu kan ikut rapat hari Senin yang jam 10 di kompartemennya masing-

masing. Setelah rapat itu dia langsung dapat lembar penugasan. Kalau ada yang tidak

jelas, bisa dia diskusikan dengan redakturnya. Kemudian biasanya dia boleh minta

bahan riset di perpustakaan. Berbekal itulah repoter ke lapangan. Lalu mendapat

bahan sesuai pesanan, reporter lalu menulis laporan yang dimasukkan di keranjang

laporan. Setelah terkumpul, staff redaksi mulai menulis. Kemudain dikirim ke

redaktur untuk di-edit, lalu dikirim ke redaktur bahasa, kemudian ke bagian lay-out,

lalu dibaca Pemred untuk finishing.

Apa peran Redaktur Senior?

Redaktur senior itu melatih orang menjadi redaktur (editor).


http://prys3107.blogspot.com 275
prys.3107@gmail.com

Pertimbangan bagaimana yang digunakan redaktur dalam menyunting dan

menyeleksi bahan berita yang masuk?

Pertimbangan pertama adalah fakta, apakah itu betul terjadi atau tidak. Harus ada

bukti penguat, misalnya dokumen.

Bagaimana latar belakang pendidikan karyawan yang bekerja di redaksi MBM

Tempo saat ini?

Minimal S-1. Tapi umumnya macam-macam. Setengahnya sudah S-2, kebanyakan

dari London dan Amerika. Kita selalu ada program khusus misalnya kursus bahasa

Inggris satu tahun yang dibiayai oleh Tempo mulai dari reporter hingga staff redaksi.

Ada juga yang ingin kuliah, Tempo memberi rekomendasi. Buat yang kuliah di luar

negeri (statusnya non-aktif), Tempo kasih gaji 60 hingga 70 persen.

Bagaimana jenjang karier bagi karyawan yang bekerja di redaksi MBM

Tempo?

Pertama mereka masuk itu calon reporter. Masanya 9 bulan sesuai aturan Depnaker,

baru diputuskan dia diangkat menjadi karyawan atau tidak. Dalam 9 bulan itu dibagi

menjadi tiga semester masing-masing 3 bulan: Januari sampai Maret, Maret sampai

Juni, Juni sampai September. Di semester pertama, hasil tulisan mereka dinilai dari

tingkat akurasi, kualitas, deskripsi, komposisi, dan deadline. Nilai itu dilihat terus

oleh semua orang setiap hari. A itu standard-nya 7,6. Setelah satu semester baru

dievaluasi apa dia lulus. Dan di Tempo itu yang lulus hanya yang nilainya A. Dan B

tidak dianggap lulus. Jadi paling tidak, dalam tiga semester itu dia harus dapat dua A.

Setelah dia lulus, baru masuk reporter. Ada juga yang diangkat reporter setelah 6
http://prys3107.blogspot.com 276
prys.3107@gmail.com

bulan pertama, lulus excellence, A plus, langsung diangkat. Kemudian level reporter

itu sudah lebih berat, harus dapat tiga A dalam satu tahun. Masa reporter dua tahun.

Lalu ke penulis atau staff redaksi selama sekitar dua sampai tiga tahun. Lalu magang

penanggungjawab rubrik (jabrik) selama dua hingga tiga tahun. Lalu menempati

posisi jabrik selama tiga hingga empat tahun. Kemudian magang redaktur (editor)

selama dua hingga tiga tahun. Baru ke redaktur pelaksana. Sampai di situ.

Bagaimana kualifikasi profesi jurnalistik karyawan yang bekerja di redaksi

MBM Tempo?

Menulis dan wawasan sama pentingnya. Pada saat kita menulis itu dinilai mutu

tulisannya.

Bagaimana suasana hubungan profesional yang ada di antara sesama karyawan

MBM Tempo?

Di sini suasananya paling cair. Karena setiap orang punya suara. Mulai dari repoter

baru, pemred atau redaktur pelaksana, semua sama. Dalam rapat siapa saja bisa

ngomong. Semua punya hak. Gaji kita juga tidak tergantung dari atasan. Gaji kita

sangat bergantung pada nilai-nilai yang diperoleh. Jadi hubungan dengan atasan itu

tidak berpengaruh apa-apa. Yang nilai juga bukan dia.

Bagaimana posisi pembaca MBM Tempo diperhitungkan redaksi ketika

menyajikan sebuah berita?

Kami berasumsi bahwa pembaca Tempo itu kelas menengah ke atas. Tema harus

dipilih sesuai dengan kepentingan pembaca kita. Tapi pertimbangan yang paling

utama di Tempo adalah adanya unsur kepentingan publik.


http://prys3107.blogspot.com 277
prys.3107@gmail.com

Saya melihat Tempo intens dalam memberitakan kasus korupsi. Apa motivasi

Tempo dalam hal ini?

Pertama diukur dengan adanya kepentingan publik yang dirugikan. Yang kedua

jumlah uang yang dikorupsi. Yang ketiga tokohnya. Semua itu dilihat dari besaran

(magnitude) kasusnya. Misalnya korupsi 100 juta, yang melakukannya menteri, maka

kita tulis karena tokohnya kuat. Mengapa Tempo mengangkat kasus korupsi, karena

selain kepentingan publik, korupsi itu berbahaya. Kemudian motivasi lain

menciptakan pemerintahan yang bersih. Karena efektivitas hukuman publik itu lebih

tinggi. Ketika seorang koruptor diam-diam diperiksa KPK, nggak ada yang tulis dan

publikasikan, mungkin dia akan santai-santai saja. Tapi ketika dia dipublikasikan,

seluruh dosa dan kejahatannya kita publikasikan, hukuman sosialnya lebih tinggi.

Batasan pemberitaannya sampai di mana? Apakah setelah ditetapkan tersangka

atau terdakwa baru diberitakan? Atau masih bersifat dugaan sudah

diberitakan?

Dugaan, asal buktinya kuat. Polisi belum bergerak pun kita sudah bisa beritakan. Asal

memenuhi kriteria-kriteria tadi. Faktanya ada dan kuat. Dokumennya ada. Dan

banyak sekali kasus yang setelah ditulis baru diperiksa kepolisian.

Dalam kasus dugaan korupsi surat suara yang melibatkan Hamid Awaludin,

saya menyimak Tempo memberitakannya mulai dari Juni 2005 hingga Mei

2007. Apa ada agenda tertentu dari Tempo?

Kasus ini pertama kali kita tulis berawal dari masuk penjaranya anggota KPU.

Tentang harga kertas suara pemilihan legislatif, memang semula kertas suara itu di-
http://prys3107.blogspot.com 278
prys.3107@gmail.com

handle oleh Dan Dimara seharga Rp.129,- per lembar. Di situ keputusan hakim ada

mark-up. Tapi menurut Daan, itu di-handle oleh Hamid seharga Rp.99,- artinya turun

dong, Hamid membantu hemat negara. Tapi angka 99 itu belum termasuk biaya

transportasi dan pengepakan. Jadi kalau dihitung-hitung, di atas 99. Angka 99 pun

tetap di atas harga pasar. Artinya memang ada jumlah yang hilang di situ.

Keterlibatan Hamid juga diperkuat keterangan rapat yang diakui oleh 6 orang. Rapat

itu dipimpin oleh Hamid. Tapi Hamid sendiri yang membantah rapat itu ada. Bahwa

kemudian ditulis berkali-kali, mengikuti proses kasusnya. Jadi bukan karena ingin

menghantam Hamid. Kita itu mengikuti kalau ada peg-nya. Kalau nanti Hamid

diperiksa lagi, kami tulis lagi. Tergantung ada peg dan peristiwa terbarunya. Dan

tolong dicatat agenda setting itu tidak ada. Semua berjalan berdasarkan kriteria tadi,

fakta, magnitude, kepentingan publik, tokoh, kuat buktinya. Kita tempatkan itu dalam

sekian halaman, karena kepentingan publiknya besar sekali dalam kasus ini.

Banyak pakar yang menyebutkan Tempo memiliki gaya Jurnalisme Sastra

dalam liputannya. Apa alasan Tempo tetap menggunakannya sampai sekarang?

Sebetulnya kita sendiri bingung kalau ini disebut Jurnalisme Sastra. Karena apa yang

disebut Jurnalisme Sastra itu pun nggak jelas betul. Yang pasti Tempo menggunakan

teknik jurnalisme bertutur atau berkisah. Sehingga orang terpikat untuk membacanya.

Seperti kawan lama datang bertamu. Kira-kira daya pikatnya seperti itu. Cara ini

masih kita anggap sebagai cara yang ampuh untuk memudahkan atau menarik minat

orang untuk terlibat orang dalam ceritanya.


http://prys3107.blogspot.com 279
prys.3107@gmail.com

Pada sampel dua dalam penelitian saya (Terusik Nyanyian Meneer Daan), saya

menemukan gaya penulisan yang belum pernah ada. Apa ini pendobrakan atau

eksperimen?

Sebenarnya ini eksperimen, kebetulan saya yang nulis. Karena kita merasa bahwa

dialog ini akan lebih kena, mudah dipahami, dan orang masuk dalam suasananya.

Dialog ini saya cek tiga kali. Saya cek ke Daan, saya cek juga ke Hamid, apa betul

kalimat anda pertama seperti ini, ya betul. Bahwa cara penyajiannya begini, ini

memang lebih memikat. Jadi orang bisa membayangkan susasananya seperti apa.

Orang juga bisa membayangkan bahwa apa yang ada dalam pikiran mereka berdua.

Ini jauh lebih kuat efeknya, daripada ditulis biasa. Pertimbangannya itu. Bahwa

apakah ini praktik yang baru, saya belum tahu. Tapi saya pernah pake waktu saya

nulis soal Aceh. Di ending tulisan saya pake dialognya Jusuf Kalla dengan Gubernur

Sumatera Utara.

Apa hal-hal semacam ini yang diajarkan di kelas kuliah?

Iya, di kelas kuliah itu. Misalnya judul yang baik itu seperti apa, nggak lebih dari

empat-lima kata. Lead kira-kira apa. Ending yang baik juga seperti apa.

Saya melihat lead di setiap liputan Tempo selalu menangkap adegan, bukan

informasi penting. Apa alasannya?

Pertama, informasinya sudah lewat. Kalau adegan selalu jauh lebih memikat.
http://prys3107.blogspot.com 280
prys.3107@gmail.com

Saya juga melihat banyak penutup (ending) liputan Tempo yang seakan-akan

meninggalkan pertanyaan. Apakah ini teknik juga?

Penutup ini artinya kita gagal menemukan bukti yang kuat. Kalau kita betul-betul

menemukan bukti dan indikasi yang kuat, kita akan menuliskan segera diperiksa.

Tapi karena ini hanya menyangkut baik Daan maupun Hamid hanya sampai pada

level mereka menguntungkan mitra KPU, apa mereka dapat duit dari situ kita kan

nggak temukan. Karenanya di ending itu siapa yang bersalah masih terus diusut.

Berarti ini batas ketika Tempo tidak menemukan bukti lebih lanjut?

Iya, seperti itu. Meskipun di kuliah hari Selasa itu banyak yang kritik, karena tidak

tuntas. Tugas kita kan menjawab pertanyaan, bukan malah bertanya.

Apa di sini ada wartawan yang juga sastrawan?

Ada. Seno Joko Suyono, Yosep, Idrus, dan Akmal Nasral Basery. Kebanyakan itu

anak-anak di koran (Koran Tempo).

Redaktur Desk Nasional


MBM Tempo

Wenseslaus Manggut
http://prys3107.blogspot.com 281
prys.3107@gmail.com

SURAT PERMOHONAN PENELITIAN


http://prys3107.blogspot.com 282
prys.3107@gmail.com
http://prys3107.blogspot.com 283
prys.3107@gmail.com

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Priyono Santosa


Jenis Kelamin : Pria
Tmp/ Tgl Lahir : Jakarta, 31 Juli 1982
Status : Lajang
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Haji Atun No 11A, RT 009/08, Durensawit, Jakarta Timur
Nomor Telp : 021.949.22778
Alamat Pos-el : prys.3107@gmail.com
Alamat Blog : http://prys3107.blogspot.com

Orang Tua
Ayah : Agus Santosa
Ibu : Sri Marheini

Pendidikan Formal
1988 – 1994 SDN 12 Pondokbambu, Jakarta Timur
1994 – 1997 SMPN 117 Pondokbambu, Jakarta Timur
1997 – 2000 SMUN 71 Durensawit, Jakarta Timur
2000 – 2008 Program studi Ilmu Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (IISIP) Jakarta

Pengalaman Organisasi
2005 – sekarang Divisi Harian Kelompok Seni dan Diskusi (KOMPOSISI)
2006 – 2007 Dewan Redaksi Bulletin ISSUE
2006 – 2007 Ketua Umum UKM Teater Kinasih 2006-2007
2007 Sekretaris Harian Tim Panitia Khusus KM IISIP Jakarta

Pengalaman Kerja
2002 – 2003 Kontributor Majalah Outmagz, Jakarta
2003 - 2004 Kuliah Kerja Lapangan di Harian Radar Bogor
2005 – 2006 Dewan Redaksi Jurnal Sastra ‘RuangMelati’
2007 Sekretaris Redaksi Penerbit Komunitas Kertas
2007 Reporter Tabloid Ekonomi ‘Margin’
2008 Redaktur Naskah Tabloid KUNCI
2008 – Sekarang Layouter Koran Jualbeli
http://prys3107.blogspot.com 284
prys.3107@gmail.com

Prestasi
2005 Pemenang Harapan I ‘Lomba Menulis Cerita’ Gramedia
(cabang Depok) pada 14 Februari 2005
2005 Pemenang Pertama Lomba Penulisan Esai ‘Potret Perempuan
Dalam Era Globalisasi’ FISIP EXPO 2005 – IISIP Jakarta pada
Desember 2005
2007 Penulis Proposal Terbaik Kategori Mahasiswa Tingkat
Nasional dalam ‘Sayembara Bahasa dan Sastra September
2007’ oleh Pusat Bahasa dan Sastra, Depdiknas

Jakarta, Februari 2008


Penulis

Priyono Santosa

You might also like