You are on page 1of 27

DEMAM DAN INFEKSI BAKTERI

DEMAM Demam (pireksia) adalah keadaan kenaikan suhu tubuh di atas normal, di mana suhu tubuh normal 36,5-37,2oC dan batas suhu subnormal adalah 37,2oC (suhu tubuh normal anak 36,137,8oC atau 37+1-1,5oC). Sedangkan hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai setinggi 41oC atau lebih, dan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di bawah 35oC. Biasanya terdapat perbedaan antara pengukuran suhu di aksila, oral, membran timpani maupun rektal, di mana batas suhu normal aksila 37-37,2oC (34,7-37,3oC pada anak-anak), oral 37,6oC (35,5-37,5oC pada anak-anak), membran timpani 35,8-38oC (pada anak-anak) dan rektal 37,237,5oC (36,6-38oC pada anak-anak), perbedaan sekitar 0,5oC dengan suhu rektal lebih tinggi daripada suhu oral). Dikenal variasi diurnal pada tubuh, yaitu suhu terendah di pagi hari sekitar pukul 02.00-06.00 sebelum bangun tidur (37,2oC pada pukul 06.00) dan suhu tertinggi di sore hari sekitar pukul 16.00-19.00 (37,7oC pada pukul 16.00), perbedaan kedua waktu pengukuran dapat mencapai 1oC. Demam merupakan akibat peningkatan pusat pengaturan suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diatur, disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan pembatasan panas dan IL-1 tidak terlibat pada keadaan ini (hipotalamus dalam keadaan normal). Demam terjadi karea penglepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, dan terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh dan berkemampuan untuk merangsang IL-1, sedangkan pirogen endogen berasal dari dalam tubuh dan mempunyai kemampuan untuk merangsnag demam dengan mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Kausa demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan toksemia, keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat, adanya gangguan pada pusat regulasi suhu sentral yang menyebabkan peninggian temperatur seperti pada heat stroke, perdarahan otak, koma atau gangguan sentral lainnya, sedangkan pada perdarahan internal disaat terjadi reabsorpsi darah dapat pula menyebabkan peningkatan temperatur. Pirogen eksogen
1

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar, dan pirogen eksogen umumnya berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit untuk merangsang sintesis IL-1 dan pirogen eksogen dapat bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengaturan suhu (misalnya endotoksin). Pirogen mikrobial 1. Bakteri Gram-negatif Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichi coli, Salmonela) disebabkan adanya heat stable factor yaitu endotoksin. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu liposakarida, endotoksin ini menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis. Endotoksin Gram-negatif tidak selalu merangsang terjadinya demam, pada bayi dan anak-anak infeksi bakteri Gram-negatif justru menyebabkan hipotermia. 2. Bakteri Gram-positif Pirogen utama bakteri Gram-positif (misalnya stafilokokus) adalah peptidoglikan dinding sel. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh basil Gram-positif pada umumnya demam yang ditimbulkannya tidak begitu tinggi dibandingkan dengan Gram-positif piogenik atau bakteri Gram-negatif lainnya. 3. Virus Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invasi langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologik terhadap komponen virus termasuk di antaranya pembentukan antibodi, induksi oleh interferon dan nekrosis sel akibat virus. 4. Jamur Produk jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen yang akan merangsang terjadinya demam, dan demam umumnya timbul ketika mikroba beradal dalam peredaran darah.

Pirogen nonmikrobial 1. Fagositosis


2

Fagositosis antigen nonmikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk terjadinya demam dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imum. 2. Kompleks antigen-antibodi Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul akibat rekasi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitasi (immune fever) atau oleh antigen yang diaktivasi selT untuk memproduksi limfokin, yang sebaliknya akan merangsang monosit dan makrofag untuk melepaskan IL-1. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1. 3. Steroid Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia, ethiocholanolon dan metabolik androgen dapat merangsang IL-1. Ethiocholanolon memproduksi demam hanya bila disuntikan secara intramuskular (bukan intravena), dan diduga akibat pelepasan IL-1 oleh jaringan subkutis pada tempat penyuntikan (pada sindrom adrenogenital dan fever of unknown origin). 4. Sistem monosit-makrofag Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi IL-1 dan terjadinya demam. Monosit dan makrofag berperan dalam pertahanan tubuh termasuk di antaranya merusak dan menelan (engulfing) mikroba, mengenal antigen dan mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit, aktivasi limfosit T, dan destruksi sel tumor. Monosit dan makrofag mempunyai 2 produk utama yaitu IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Pirogen endogen Interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor (TNF), dan interferon (INF) adalah jenis pirogen endogen. 1. Interleukin-1 (IL-1) Interleukin-1 (IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel sekretori dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas melalui membran sel ke dalam sirkulasi. Selain makrofag sebagai sumber utama produksi IL-1, pada sel Kupffer (di hati), keratinosit, sel Langerhans pankreas, serta astrosit juga memproduksi IL-1. Pada jaringan otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga berperan dalam respons imun dalam susunan saraf pusat (SSP) dan demam sekunder terhadap perdarahan SSP. Interleukin-1 (IL-1) mempunyai
3

banyak fungsi, fungsi primer menginduksi demam pada hipotalamus untuk menaikkan suhu dan fungsi lainnya seperti berperan dalam aktivitas sel T dan B, reaksi fase akut, respons inflamasi, stimulasi kolagenase dan prostaglandin E2, proteolisis otot, sebagai supresi nafsu makan, absorpsi tulang dan merangsang rasa kantuk/tidur.
2. Tumor necrosis factor (TNF)

Tumor necrosis factor (TNF) dihasilkan oleh monosit dan makrofag, limfosit, sel NK (natural-killer), sel kupffer, astrosit otak, sebagai respons tubuh terhadap rangsang atau luka yang invasif. Tumor necrosis factor (TNF) dalam jumlah sedikit mempunyai efek biologik yang menguntungkan dan TNF dapat mengubah pertahanan tubuh terjadap infeksi dan merangsang pemulihan jaringan menjadi normal (termasuk penyembuhan luka), namun TNF juga mempunyai efek langsung terhadap sel tumor. Tumor necrosis factor (TNF) juga mempunyai efek merangsang produksi IL-1 dan dapat pula langsung merangsang hipotalamus dalam induksi demam, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan neutrofil, serta meningkatkan fagositosis dan sitotoksik. Bila jumlah TNF yang dilepaskan di karingan terlalu banyak, maka TNF akan diikuti kerusakan jaringan yang mematikan serta syok (syok septik atau toksik). 3. Interferon (INF) Interferon (INF) diproduksi oleh limfosit T yang teraktivasi, dan INF mempunyai kemampuan untuk merintangi replikasi virus di dalam sel yang terinfeksi. Interferon (INF) terbagi atas 3 jenis molekul yang berbeda yaitu INF-, INF-, dan INF-. INF- dan INF- diproduksi oleh hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas, dan makrofag) sebagai respons terhadap infeksi virus, sedangkan sintesis INF- dibatasi oleh limfosit T. Interferon- dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi sel B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi sebagai pirogen endogen dapat secara tidak langsung pada makrofag untuk melepaskan IL-1 (macrophage activating factor) atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. 4. Interleukin 2 (IL-2) Interleukin 2 (IL-2) merupakan limfokin kedua (setelah INF) yang dilepaskan oleh limsoft T yang teraktivitas sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin 2 (IL-2) dapat menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1, TNF, dan INF-, yang akan menginduksi aktivitas sel
4

endotel, mendahului bocornya pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan edema paru dan retensi cairan yang hebat. Patogenesis demam Suhu tubuh terdiri dari suhu permukaan dan suhu inti, di mana suhu permukaan adalah suhu yang terdapat pada permukaan tubuh (pada kulit dan jaringan subkutan) dan suhu inti adalah sihi yang terdapat pada organ visera yang terlindung dari paparan suhu lingkungan sekitar. Pengaturan suhu tubuh memerlukan mekanisme perifer yang utuh yaitu keseimbangan produksi dan pelepasan panas, serta fungsi pusat pengatur suhu di hipotalamus yang mengatur seluruh mekanisme. Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung, tiroid, pankreas dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada tingkat sel yang melibatkan adenosin trifosfat (ATP). Pada orang dewasa dan anak yang lebih besar untuk mempertahankan panas dengan cara vasokontriksi dan memproduksi panas dengan menggigil sebagai respons terhadap selesma atau kenaikan suhu. Pada lingkungan panas atau bila suhu meningkat, pusat pengaturan suhu di hipotalamus mempengaruhi serabut eferen dari sistem saraf otonom untuk melebarkan pembuluh darah, sehingga peningkatan aliran darah di kulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit ke sekitarnya dalam bentuk keringat. Di lain pihak, pada lingkungan dingin, terjadi vasokontriksi atau penurunan peredaran darah di kulit untuk mempertahankan suhu tubuh. Tubuh melepaskan panas melalui 4 cara, yaitu radiasi, penguapan, konveksi dan konduksi. Secara umum, 60% panas dilepaskan secara radiasi (transfer dari permukaan kulit melalui permukaan luar dengan gelombang elektromagnet), 25% lainnya dilepaskan melalui penguapan dari kulit dan paru dalam bentuk air yang diubah dari bentuk cair ke gas (58 kkal dilepaskan untuk setiap 100 ml air). Konveksi adalah pemindahan panas melalui pergerakan udara atau cairan yang menyelimuti permukaan kulit, sedangkan konduksi adalah pemindahan panas antara 2 objek secara langsung pada suhu berbeda. Pada daerah spesifik dari IL-1 preoptik dan hipotalamus anterior, yang mengandung sekelompok saraf termosentif yang berlokasi di dinding rostral ventrikel III, disebut juga sebagai korpus kalosum lamina terminalis yaitu batas antara sirkulasi dan otak. Saraf termosensitif ini terpengaruh oleh daerah yang dialiri darah dan masukan dari reseptor kulit dan otot, saraf yang
5

sensitif terhadap hangat terpengaruh dan meningkat dengan penghangatan (penurunan dingin) dan saraf yang sensitif terhadap dingin meningkat dengan pendinginan (penurunan dengan penghangatan). Interleukin-1 dapat menghambat saraf sensitif terhadap hangat dan merangsang saraf yang sensitif terhadap dingin, dan korpus kalosum lamina terminalis mungkin merupakan sumber prostaglandin. Selama demam, IL-1 masuk ke dalam ruangan perivaskular korpus kalosum lamina terminalis melalui jendela kapiler untuk merangsang sel memproduksi prostaglandin E2 (PGE-2), secara difusi masuk ke dalam preoptik atau regio hipotalamus untuk menyebabkan demam atau bereaksi pada serabut saraf dalam korpus kalosum lamina terminalis. Terdapat 4 jenis reseptor PGE-2 dam setiap sinyal pada sel berbeda jalurnya, namun hanya reseptor yang ketiga (EP-3) yang penting pada proses demam. Meskipun PGE-2 sangat penting dalam demam tetapi PGE-2 bukanlah neurotransmiter, jadi setelah terjadi pelepasan PGE-2 dari sisi otak pada reseptor PGE2 endotelium hipotalamus di sel glial maka selanjutnya akan terjadi pelepasan secara langsung cAMP yang merupakan suatu neurotransmiter. Pelepasan cAMP dari sel glial akan mengaktifkan persaraf terakhir dari pusat termoregulator pada area tersebut. Hasil akhirnya adalah terjadi peningkatan thermostatic set point yang akan memberi sinyal serabut eferen, terutama serabut simpatis untuk memulai menahan panas (vasokontriksi) dan produksi panas (menggigil), serta dibantu dengan tingkah laku manusia yang mencari daerah yang hangat atau menutup tubuh dengan selimut. Hasil peningkatan suhu melajut sampai suhu tubuh mencapai peningkatan set point yang akhirnya terjadilah demam (Gambar 1). Kembalinya suhu menjadi normal diawali oleh vasodilatasi dan berkeringat melalui peningkatan aliran darah kulit yang dikendalikan serabut simpatis.

Gambar 1. Patogenesis Demam Pengukuran suhu tubuh Terdapat beberapa pengukuran suhu tubuh menurut tempat pengukuran, yaitu:
1. Arteri pulmonalis; suhu tubuh yang dianggap paling mendekati suhu yang terukur oleh

thermostat di hipotalamus adalah suhu darah arteri pulmonalis, tetapi cara ini adalah cara invasif di mana menggunakan kateter arteri pulmonalis sehingga hanya sesuai untuk perawatan intensif dan pasien bedah tertentu.
2. Esofagus; suhu esofagus dianggap suhu yang mendekati suhu inti karena dekat dengan

arteri yang membawa darah dari jantung ke otak dan lebih tidak invasif dibandingkan dengan pengukuran suhu arteri pulmonalis. Namun, suhu esofagus tidak sama di sepanjang esofagus, di bagian atas esofagus dipengaruhi oleh udara trakea sedangkan pada bagian 1/3 bawah paralel dengan suhu aliran darah arteri pulmonalis.
3. Kandung kemih; diasumsikan bahwa urin merupakan hasil filtrasi darah yang ekuivalen

dengan 20% curah jantung dan merefleksikan suhu rata-rata aliran darah yang melalui ginjal pada satuan waktu tertentu. Namun, tingkat keakuratan pengukuran suhu sangat dipengaruhi dari jumlah urin yang keluar.
4. Rektal; suhu rektal dikenal sebagai baku emas untuk mengetahui suhu inti tubuh, namun

terdapat beberapa kelemahan (rektum tidak ditemukan sistem termoregulasi). Suhu rektal lebih tinggi dibandingkan tempat lain (seperti arteri pulmonalis), yang mungkin diakibatkan oleh aktivitas metabolik bakteri feses. Suhu rektal berubah sangat lambat dibandingkan dengan penurunan suhu inti, sehingga tidak dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk deteksi hipoperfusi pada keadaan syok. Nilai suhu rektal dipengaruhi oleh kedalaman insersi termometer, kondisi aliran darah, dan ada/tidaknya feses.
5. Membran timpani; membran timpani merupakan tempat yang ideal untuk pengukuran

suhu inti karena terdapat arteri yang berhubungan dengan pusat termoregulasi. Namun, pengukuran suhu membran timpani (dengan metode infrared radiation emitted

detectors/IRED)

masih jarang dipergunakan karena variasi nilai suhu yang berkorelasi

dengan suhu oral atau rektal cukup besar.


6. Oral; pengukuran suhu tubuh secara oral lebih mudah dan berepons terhadap perubahan

suhu inti tubuh. Suhu sublingual cukup relevan secara klinis karena arteri utamanya merupakan cabang dari arteri karotis eksterna dan mempunyai respons yang cepat terhadap perubahan suhu inti tubuh.
7. Aksila; pengukuran suhu tubuh secara aksila juga sangat efisien dan mudah, namun

kelemahannya terletak pada sensitivitasnya yang rendah dan mempunyai variasi suhu tubuh yang tinggi dan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Tipe-tipe demam Terdapat beberapa tipe-tipe demam, antara lain:
1. Demam septik (Gambar 2); di mana suhu tubuh berangsur naik ke tingkat tinggi sekali

pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari, dan sering disertai dengan keluhan menggigil dan berkeringat. 2. Demam heptik (Gambar 3); di mana suhu tubuh berangsur naik ke tingkat tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di normal pada pagi hari.
3. Demam remiten (Gambar 4); di mana suhu tubuh dapat turun setiap hari tetapi tidak

pernah mencapai suhu badan normal, dan perbedaan suhu yang tercatat dapat mencapai 2oC (>1oC) dan sebesar perbedaan suhu pada septik pada tifoid yang dicatat demam (ditemukan demam awal berbagai penyakit virus). dan tidak

Gambar 2. Demam Septik

Gambar 3. Demam Hektik

Gambar 4. Demam Remiten


4. Demam intermiten (Gambar 5); di mana suhu badan dapat turun ke tingkat normal

selama beberapa jam dalam 1 hari biasanya dengan perbedaan suhunya >1oC (ditemukan pada endokarditis bakterial, malaria bruselosis).
5. Demam tersiana dan kuartana; merupakan demam intermiten yang ditandai dengan

periode demam yang diselangi dengan periode normal, bila demam ini terjadi pada setiap 2 hari sekali maka disebut tersiana (demam terjadi pada hari ke-1 dan ke-3, pada malaria oleh Plasmodium vivax) dan bila terjadi 2 hari bebas demam di antara serangan demam maka disebut kuartana (demam terjadi pada hari ke-1 dan ke-4, pada Plasmodium malariae).
6. Demam kontinyu (Gambar 6); di mana terjadi variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda

dan tidak lebih dari 1oC (0,55-0,82oC), dan demam ini meliputi penyakit pneumonia tipe lobar, infeksi kuman Gram-negatif, riketsia, demam tifoid, gangguan sistem saraf pusat, tularemia, dan malaria falciparum. Pada tingkat demam yang terus menerus-tinggi sekali disebut hiperpireksia. 7. Demam siklik; di mana terjadi kenaikan suhu nadan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

10

Gambar 5. Demam Intermiten

Gambar 6. Demam Kontinyu


8. Demam pelana (saddleback/bifasik); di mana pada beberapa hari demam tinggi disusul

oleh penurunan suhu (lebih kurang 1 hari) yang kemudian timbul demam tinggi kembali, jenis demam ini didapatkan pada dengue, yellow fever, Colorado tick fever, Rit valley fever, dan infeksi virus seperti influenza, poliomielitis, dan koriomeningitis limfositik.

11

9. Demam intermiten hepatik (demam Charcot); di mana terjadi episode demam sporadis dan terdapat penurunan suhu yang jelas dan kekambuhan demam, demam ini biasanya pada kolelitiasis, ikterik, leukositosis dan adanya tanda-tanda toksik.
10. Demam Pel-Ebstein; di mana ditandai dengan periode demam setiap minggu atau lebih

lama dan periode afebril yang sama durasinya disertai dengan berulangnya siklus, demam ini biasanya pada penyakit Hodgkin, bruselosis dari tipe Brucella melitensis. Selain itu, terdapat relapsing fever yang mirip dengan demam Pel-Ebstein namun serangan demam berlangsung setiap 5-7 hari.
11. Demam Typhus inversus; di mana terjadi kenaikan suhu tertinggi pada pagi hari bukan

selam senja atau di awal malam, yang dapat ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis.
12. Reaksi Jarisch-Herxheimer, di mana terjadi peningkatan suhu yang sangat tajam dan

eksaserbasi menifestasi klinis, yang dapat ditemukan pada pemberian terapi penisilin pada silifis primer atau sekunder pada beberapa jam, leptospirosis, relapsing fever, dan sesudah terapi tetrasiklin atau kloramfenikol pada bruselosis akut. Pemeriksaan pada demam Terdapat beberapa jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan demam, yaitu:
1. Sero-imunologi (Tabel 1 dan 2); pemeriksaan serologis sangat bermanfaat untuk seorang

pasien dengan fever of undiagnosed origin (FUO) dan biasanya diperlukan 2 spesimen darah untuk pemeriksaan. Suatu kenaikan titer sebesar 4 kali atau lebih mempunyai arti yang sangat besar untuk dapat menentukan kemungkinan penyebab penyakit.
2. Mikrobiologi; isolasi kuman penyebab infeksi merupakan kriteria diagnosis utama pada

pasien disangka demam karena menderita infeksi. Isolasi kuman dapat dilakukan dengan pengambilan darah untuk kultur mikroorganisme (secara aseptik dan sekitar 10 ml yang kemudian dilarutkan dalam media untuk kuman anaerob dan aerob), pada urin, pengambilan sekret pada hidung, usap tenggorokan atau sekresi bronkus, serta dapat pula pada feses (untuk infeksi saluran pencernaan).

Tabel 1. Daftar Uji Virologis


12

Tabel 2. Daftar Uji Bakterio-Parasitologis

3. Hematokimia klinis; pemeriksaan ini penting untuk membedakan infeksi virus atau

bakteri yang pada tahap awal dilakukan pemeriksaan hematologi, di mana pada infeksi bakteri akan menunjukkan pergeseran hitung jenis ke kiri dengan atau tanpa leukositosis dan bila hal ini tidak dijumpai maka dapat dilakukan pemeriksaan CRP (C-reaktif protein) yang bila meningkat lebih dari 10 kali maka disebabkan oleh infeksi bakteri. Dapat pula dilakukan
13

pemeriksaan kimia klinis seperti pengukuran kadar serum kalsium, pemeriksaan enzim SGOT/SGPT/GAMA GT, dll.
4. Sinar tembus; foto rontgen (untuk kelainan paru, ginjal, sumsum tulang belakang, saluran

cerna), kolangiografi (pemeriksaan di kuadran kanan atas abdomen), angiografi (emboli paru-paru), angiokardiografi (miksoma atrium), limfangiografi (limfoma abdominal atau retroperitoneal) merupakan beberapa contoh pemeriksaan sinar tembus.
5. Endoskopi; diindikasikan pada demam lama yang disertai diare dan nyeri perut dan dapat

dilakukan sigmoidoskopi atau kolonoskopi (kolitis elserativa), dan dapat pula dilakukan ERCP (endoscopic retrograde choledocho pancreatography) yang digunakan untuk pemeriksaan kandung empedu, saluran empedu, pankreas.
6. Biopsi; biopsi dilakukan pada kelenjar-kelenjar yang membesar atau massa tumor, yang

berguna untuk mengetahui limfoma, metastasis kanker, tuberkulosis, infeksi jamur, hepatitis alkoholik, trikinosis, dll.
7. USG; digunakan untuk mendeteksi kelainan pada hati, ginjal, retroperitoneal, pelvis,

miksoma di atrium atau vegetasi di katub-katub jantung.


8. Pencitraan; pencitraan dapat dilakukan untuk pemeriksaan hati, paru (emboli paru),

infeksi di daerah abdomen, tulang belakang, dll.


9. Laparatomi; laparatomi dapat dilakukan ada suatu petunjuk keras bahwa penyebab

demam adalah karena suatu kelainan utama di abdomen, yang berguna pada abses lokal, limfoma dan penyakit autoimun. Tindakan lebih sederhana dapat dilakukan dengan peritoneoskopi yang berguna untuk mengetahui peritonitis tuberkulosa, karsinomatosis peritoneal, kolesistitis dan infeksi rongga pelvis.
10. Terapi ad juvantibus; usaha ini dapat dilakukan pada UFO bila dalam instansi terakhir di

mana tidak lagi dapat ditempuh jalan lain untuk memperoleh suatu kepastian diagnosis. Prinsip penatalaksaannya adalah bahwa obat yang digunakan harus berdasarkan suatu indikasi yang kuat sesuai pengalaman setempat dan harus bersifat spesifik. Penggunaan terapi ad juvantibus antara lain ketika penggunaan kloramfenikol untuk sangkaan demam tifoid, obat antituberkulosis untuk sangkaan tuberkulosis, aspirin untuk demam reumatik, antikoagulan untuk emboli paru dan kortikosteroid untuk keadaan reumatoid dan lupus eritematous sistemik1,2.

14

DEMAM TIFOID Demam tifoid (typhoid fever) atau tifus abdominal/paratyphoid fever/enteric fever/paratifus abdominal adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna yang disebabkan oleh Salmonela typhi atau Salmonela paratyphi A, B, dan C. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan (demam lebih dari 1 minggu), gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklearr dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyers patch. Etilogi Etiologi demam tifoid adalah disebabkan bakteri tipe salmonella (Gambar 7). Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai kapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Salmonella merupakan kelompok batang gram negatif tidak pernah menfermentasi laktosa atau sukrosa, dan membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa, selain itu juga menghasilkan H2S. Salmonella juga resistan terhadap bahan kimia tertentu (misalnya, hijau brilian, natrium tetrationat, natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri enterik lain, yang berguna untuk menginkulasi isolat salmonella dari feses pada medium. Ada empat jenis salmonella yang dapat menyebabkan demam enterik (Salmonella enteriditis), yaitu Salmonella Paratyphi A (serogrup A), Salmonella Paratyhpi B/Salmonella Schotmuelleri (serogrup B), Salmonella Cholerasuis/Salmonella Hirschfeldii (serogrup C1), dan Salmonella Typhi (serogrup D). Salmonella Typhi, Salmonella Choleraesuis dan mungkin juga Salmonella Paratyhpi A dan Salmonella Paratyphi B bersifat infeksius untuk manusia. Pada salmonella terdapat sekurangnya 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (somatik, terdiri dari zat kompleks liposakarida/oligosakarida yang berasal

dari tubuh kuman).


2. Antigen H (yang berasal dari flagela dibentuk dari protein). 3. Antigen Vi (yang berasal dari simpai kuman).

Salmonella typhi dapat manusia, dan bila dapat mensekresikannya nafas, urin dan tinja
15

hidup di dalam tubuh manusia yang terinfeksi melalui sekret saluran dalam jangka waktu

yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberap minggu bila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian, namun hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (suhu 63oC). Pada demam tifoid jenis salmonella yang sering menyebabkan penyakit ini adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi (S. parathypi), di mana dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui rute oral ke oral, makanan atau minuman yang terkontaminasi atau makanan yang terkontaminasi oleh tangan carier (biasanya keluar bersama-sama dengan tinja/rute oral fekal), lalat yang mengkontaminasi makanan, maupun terjadi transmisi transplasental dari ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya.

Gambar 7. Bakteri Salmonella Patogenesis Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam terjadi melalui makanan yang terkontaminasi, sebagian akan musnah dalam lambung dan sisanya lolos masuk ke dalam usus halus dan berkembang biak. Dan bila respons imunitas humoral mukosa (Ig A) usus kurang baik, makan kuman akan menembus ke sel-sel epitel (sel-M) dan ke lamina propria dan akan berkembang biak serta difagosit oleh makrofag. Di dalam makrofag, kuman dapat hidup di dalamnya dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya di melalui duktus torakikus, kuman yang ada di dalam makrofag akan masuk ke dalam sirkulasi darah (menyebabkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ ini kuman akan meninggalkan makrofag dan akan berkembang biak di luar sel atau

16

ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi dan mengakibatkan bakteremia yang kedua dengan gejala infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu disekresikan secara intermittent ke dalam lumen usus dan sebagian lainnya dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Setelah masa inkubasi selama 10-14 hari (periode inkubasi 7-20 hari), akan terjadi proses yang sama lagi, namun karena makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat menfagositosis salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi, yang akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, konstipasi, instabilitas vaskular (bradikardia), gangguan mental dan koagulasi. Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan di mana Salmonella typhi (endotoksin) intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ. Perdarahan saluran cerna akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus, dan proses patologis jaringan limfoid dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat menginduksi perforasi. Selain itu endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler akibat timbulnya gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. Manifestasi Klinis Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 (periode inkubasi antar 5-40 hari), yang tersingkat 4 hari jika terinfeksi melalui makanan dan terlama dapat mencapai 30 hari jika terinfeksi minuman, dengan gejala pada minggu pertama yang serupa dengan infeksi akut pada umumnya, yaitu: 1. Demam; pada kasus yang khas dapat berlangsung selama 3 minggu dengan sifat demam meningkat perlahan-lahan setiap hari dan terutama pada sore hingga malam hari atau febris remiten dan suhu tidak beberapa tinggi.
2. Nyeri kepala, pusing. 3. Nyeri otot. 4. Anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare (obstipasi kemudian disusul episode diare),

perasaan tidak enak di perut.


17

5. Batuk dan epistaksis. Pada minggu kedua gejala makin jelas berupa:
1. Demam; yang terus terjadi namun dengan keadaan bradikardia relatif (peningkatan suhu

10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit). Sedangkan pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Lidah yang berselaput putih kotor (coated tongue), dengan kotor di tengah sedangkan

tepi dan ujung merah serta tremor (jarang). 3. Hepatomegali, splenomegali, maupun meterorismus (perut kembung). 4. Terjadi gangguan kesadaran seperti apatis, somolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
5. Dapat juga terjadi Roseolae atau Rose spots (jarang) pada punggung dan anggota gerak,

merupakan bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit (Gambar 8). Ruam makulopapular merah ini berukuran 1-5 mm yang sering terjadi pada daerah abdomen, toraks, ekstrimitas, dan punggu pada orang kulit putih, dan muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.

Gambar 8. Rose Spots/Roseolae Pada Kulit Penderita Demam Tifoid Pada minggu ketiga bila keadaan membaik maka suhu turun, gejala dan keluhan berkurang. Sedangkan bila minggu ketiga memburuk maka penderita mengalami delirium, stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi inkontinesia alvi dan urine. Selain itu, terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan abdomen meningkat, disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi miokardial toksik. Dan bila minggu keempat, penderita akan mengalami penyembuhan.

18

Diagnosis Untuk mendiagnosis demam tifoid selain dapat melakukan anamnesis dan mengetahui gejala klinis maupun pemeriksaan fisis, maka diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikannya, yaitu: 1. Pemeriksaan rutin Pada pemeriksaan darah perifer lengkap (pada minggu pertama) sering ditemukan leukopenia, leukositosis atau leukosit normal, anemia ringan, trombositopenia, LED (Laju Endap Darah) yang meningkat, dan pada hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Pemeriksaan sumsum tulang akan didapatkan gambaran hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritpoesis, granulopoesis dan trombopoesis berkurang. 2. Biakan empedu Pada pemeriksaan ini dilakukan biakan urine yang positif setelah minggu kedua, sedangkan pada feses didapatkan hasil positif mulai minggu kedua atau ketiga. Jika pemeriksaan contoh urine dan feses dua kali berturut-turut menunjukan negatif maka digunakan untuk menetukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi carier. Untuk itu dapat digunakan beberapa beberapa medium untuk biakan, yaitu:
1. Pada medium diferensial; Medium EMB, MacConkey, atau deoksikolat memungkinkan

deteksi cepat organisme yang tidak menfermentasi laktosa (shigela, proteus, serratia, psedomonas dapat menunjukan hal yang sama). Dengan medium bismuth sulfit akan didapatkan koloni hitam pada salmonella karena memproduksi H2S.
2. Pada medium selektif; spesimen diletakkan pada agar salmonella-shigella (SS), agar

enterik Hektoen, XLD, atau agar deoksikolat-sitrat yang membantuh pertumbuhan salmonella dan shigella melebihi Enterobacteriaceae lain. 3. Pada medium yang diperkaya; spesimen (biasnya feses) juga dletakkan di dalam selenit F atau kaldu tertrationat, keduanya menghambat replikasi bakteri normal usus dan memungkinkan mutliplikasi salmonella. Setelah diinkubasi selama 1-2 hari, spesimen tersebut diletakkan di medium diferensial dan medium selektif. 3. Kultur darah

19

Pada kultur darah jika hasil biakan positif maka dapat dipastikan menderita demam tifoid, namun jika negatif tidak demam tifoid disingkirkan. Demam tifoid yang negatif dapat terjadi karena: 1. Telah mendapat terapi antibiotik.
2. Volume darah kurang (dibutuhkan + 5 cc darah), darah yang diambil sebaiknya secara

bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman. 3. Adanya riwayat vaksinasi. 4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 4. Uji Widal atau uji aglutinasi pengenceran tabung Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Dasar pemeriksaan ini adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi aglutinin, dan jika terjadi reaksi aglutinasi maka pemeriksaannya positif. Pada penderita tersangka demam tifoid, aglutinin dalam serum penderita yaitu:
1. Aglutinin O (tubuh kuman). 2. Aglutinin H (flagela kuman). 3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid, di mana semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Dan pengambilan spesimen serum sedikitnya dua kali dengan selang waktu 7-10 hari untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibodi. Pada fase akut mulamula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. pengenceran serial (dua kali lipat) dari serum yang tidak diketahui diuji terhadap antigen salmonella dengan hasil:
1. Titer O yang tinggi atau meningkat (> 1:160) menandakan infeksi aktif, dapat pula bila

titer O aglutinin sekali periksa >1:200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
2. Titer H yang tinggi atau meningkat (> 1:160) menunjukan riwayat imunisasi atau infeksi

di masa lampau.
3. Titer antibodi yang tinggi pada antigen Vi timbul pada beberapa karier. 20

Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menentap lebih lama lebih lama antara 9-12 bulan. Tidak selalu pemeriksaan Widal positif menunjukan menderita demam tifoid, hal ini dapat dikarenakan: 1. Titer O dan H tinggi karena terdapat aglutinin normal, karena infeksi basil Coli patogen usus. 2. Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dar ibu melalui tali pusat.
3. Terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix).

4. Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau keadaan infeksi subklilnis. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu:
1. Pengobatan dini dengan antibiotik.

2. Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid.


3. Waktu pengambilan darah. 4. Daerah endemik atau non endemik. 5. Riwayat vaksinasi.

6. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi. 7. Faktor teknik pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Penatalaksanan 1. Istirahat dan perawatan; yang bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat dan mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higieni perorang, yang merupakan bentuk dari penatalaksanaan ini. 2. Diet dan terapi penunjang; yang bertujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet yang diberikan seperti bubur saring dan kemudian ditingkatkan
21

menjadi bubur kasar dan akhirnya nasi disesuaikan dengan tingkat penyembuhan pasien, pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. 3. Pemberian antibiotik; yang bertujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Contoh antimikroba yang digunakan:
1. Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500 mg per hari secara oral atau intravena dan diberikan

sampai dengan 7 hari bebas demam, untuk anak-anak diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selam 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun dan pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit maka pengobatan diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis. 2. Tiamfenikol dengan dosis 4 x 500 mg perhari, demam rata-rata menurun pada hari kelima sampai keenam, dan mempunyai komplikasi hematologi (anemia aplastik) yang lebih rendah daripada kloramfenikol.
3. Kotrimoksazol dengan dosis 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg

dan 80 mg trimetroprim) diberikan selama 2 minggu. Pada anak-anak dapat diberikan trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ), dengan dosis TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, biasanya memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan kloramfenikol.
4. Ampisilin dengan dosis yang dianjurkan sekitar 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali

pemberian intravena, sedangkan amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral, dapat digunakan selama 2 minggu, kemampuan menurunkan demam lebih rendah daripada kloramfenikol.
5. Sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dengan dosis antara 3-4 gr dalam

dekstrosa 100 cc diberikan selama 0,5 jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari. Pada anak-anak dapat diberikan seftriakson 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gr/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat rentan.
6. Cefixime dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari per oral selama 10 hari dapat dibeirkan

sebagai alternatif, terutama bila jumlah leukosit <2000/l atau dijumpai resistensi terhadap Salmonella typhi.
7. Golongan flurokuinolon (tidak dianjurkan pada anak-anak), dengan sediaan: 22

1. Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.


2. Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

3. Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari 4. Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari 5. Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari 5. Kombinasi obat antimikroba Kombinasi dua atau lebih antibiotik diindikasikan hanya dalam keadaan toksik tifoid, peritonitis, perforasi atau syok septik serta pernah terbukti lebih dari dua jenis organisme dalam kultur darah kuman salmonella.
6. Kortikosteroid diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok

septik dengan dosis 3 x 5 mg. Pada kasus demam tifoid yang berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma dan syok dapat diberikan deksametason intravena 3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 6 jam samapi 48 jam, di samping antibiotik yang memadai. Pencegahan Ada beberapa tindakan preventif yang dapat dilakukan berdasarkan lokali daerah, yaitu: 1. Daerah non-endemik, antara lain:
1. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi:

1. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan. 2. Penyaringan pengelola pembuatan/distribusi/penjualan makanan-minuman. 3. Pencarian dan pengobatan kasus tifoid. 2. Bila ada kejadian epidemi tifoid 1. Pencarian dan eleminasi sumber penularan. 2. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus. 3. Penyuluhan higieni dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut. 2. Daerah endemik 1. 2. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah memenuhi pendidihan, standar prosedur kesehatan (perebusan yang baik, iodisasi, dan klorinisasi). menjauhi makanan segar (sayur/buah).
23

3.

Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.

Selain itu, pencegahan dapat diberikan vaksin, dengan indikasi: 1. Hendak mengunjungi daerah endemik. 2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid. 3. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Jenis vaksin yang disediakan, yaitu: 1. Vaksin oral: Ty21a (vivotif Berna) yang diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun dan usia efektivitasnya adalah anak 5-9 tahun. 2. Vaksin parenteral: ViCPS (Typhim Vi/Pastuer Merieux), vaksin kapsul polisakarida. Kontraindikasi pemberian vaksinasi, yaitu pada individual yang memiliki reaksi alergi dan efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan. Sedangkan jika diberikan bersamaan dengan obat antimalaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Efek samping pada vaksin Ty21a demam dapat timbul pada orang yang mendapat vaksin (0-5%), sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil seperti demam (0,25%), malaise (0,5%), sakit kepala (1,5%) rash (5%), reaksi nyeri lokal (17%). Vaksin parental seperti heatphenol inactivated memiliki efek samping yang paling besar, antara lain demam (6,7-24%), nyeri kepala (9-10%) dan reaksi nyeri lokal dan edema (3-35%) bahkan rekasi hipotensi, nyeri dada, dan syok pernah dilaporkan. Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari -3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kompikasi 1. Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
2. Komplikasi ekstra-intestinal:

1. Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis. 2. Kompliksai darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis. 3. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis. 4. Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis. 5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis. 6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis. 7. Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.

24

Penatalaksanaan Demam Tifoid Pada Wanita Hamil Dan Pengidap Tifoid (Karier) 1. Pada wanita hamil Pemberian kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrom pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena kemungkinan adanya efek teratogenik terhadap fetus, namun kehamilan lebih lanjut diperbolehkan. Obat golongan flurokuinolon dan kotrimoksazol tidak dianjurkan, sedangkan ampilisin, amoksisilin dan seftriakson diperbolehkan. 2. Pada tifoid karier Pengidap tifoid adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, dan asimtomatik. Kasus karier ini meningkat seiring peningkatan usia, dan adanya penyakit kandung empedu, serta gangguan traktus urinarius. Pada beberapa penelitian, penderita karier sering disertai infeksi kronik traktus urinarius, serta terdapat peningkatan resiko terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolateral, karsinoma pankreas, karsinoma paru, dll. Penderita tifoid kareir dapat didiagnosis dengan ditemukannya kuman Salmonella typhi pada biakan feses atau urin pada seseorang tanpa gejala klinis infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid, dan dapat dinyatakan bukan penderita tifoid karier jika dilakukan biakan secara acak serial minimal 6 kali tidak ditemukan kuman Salmonella typhi. Terapi antibiotik pada kasus demam tifoid karier, yaitu: 1. Tanpa disertai kasus kolelitiasis; dilakukan terapi selama 3 bulan dengan pilihan: 1. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari. 2. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari. 3. Trimetropin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari. 2. Disertai kasus kolelitiasis 1. Dilakukan kolesistektomi di tambah Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari atau amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari atau trimetropin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari, selama 28 hari. 2. Dilakukan kolesistektomi di tambah siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari atau norfloksasin 400 mg/2 kali/hari.

25

3.

Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinarius, yang bertujuan 1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau 2. Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB, bila perlu diberikan 3 dosis dengan interval 2 minggu.

untuk melakukan eradikasi Schistosoma Haematobium, dengan pilihan:

Dan jika sudah dilakukan eradikasi Schistosoma Haematobium, baru diberikan regimen pada pengobatan tifoid karier tanpa disertai kasus kolelitiasis1,2,3, 4.

Daftar Pustaka
1. Aru W. Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta: FKUI,

2006.
2. Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi 2.

Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2008.


3. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2, Cetakan 11. Jakarta:

FKUI, 2005.
4. Geo F. Brooks, dkk. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg, Edisi 23.

Jakarta: EGC, 2008. 5.


26

6.

27

You might also like