You are on page 1of 31

BAB I PENDAHULUAN Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan merupakan salah

satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan. Appendisitis dapat terjadi pada setiap usia, perbandingan antara pria dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita penyakit ini. Namun penyakit ini paling sering dijumpai pada dewasa muda antar umur 10- 30 tahun (Smeltzer, 2002). Satu dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insiden tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 1519 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun. Apendisitis jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun (Smeltzer, 2002). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, obstruksi merupakan penyebab yang dominan dan merupakan pencetus untuk terjadinya apendisitis. Kuman-kuman yang merupakan flora normal pada usus dapat berubah menjadi patogen, menurut Schwartz kuman terbanyak penyebab apendisitis akut adalah Bacteriodes Fragilis bersama E.coli. Beberapa gangguan lain pada sistem pencernaan antara lain sebagai berikut: Peritonitis; merupakan peradangan pada selaput perut (peritonium). Gangguan lain adalah salah cerna akibat makan makanan yang merangsang lambung, seperti alkohol dan cabe yang mengakibatkan rasa nyeri yang disebut kolik. Sedangkan produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul rasa nyeri yang disebut tukak lambung. Gesekan akan lebih parah kalau lambung dalam keadaan kosong akibat makan tidak teratur yang

pada akhirnya akan mengakibatkan pendarahan pada lambung. Gangguan lain pada lambung adalah gastritis atau peradangan pada lambung. Dapat pula apendiks terinfeksi sehingga terjadi peradangan yang disebut apendisitis. Pengebotan apendisitis dapat melalui dua cara yaitu operasi dan non operasi pada kasus ringan apendisitis bisa sembuh hanya dengan pengobatan tetapi untuk apendisitis yang sudah luas infeksinya maka harus segera dilakukan operasi apendiktomi. Appendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat appendiks yang meradang (Smeltzer, 2002). Pembedahan segera dilakukan untuk mencegah rupture, terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga parut ( peritonitis ) (Smeltzer, 2002). Hasil akhir operasi pun berbeda tergantung dari tingkatan keparahan, komplikasi setelah operasi antara lain perdarahan, perlengketan organ dalam, atau infeksi pada daerah operasi.

BAB II LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi Nama Jenis Kelamin Umur Kebangsaan Agama Status Pekerjaan Alamat MRS 1.2 Anamnesis Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS Riwayat Perjalanan Penyakit : : Nn. A : Wanita : 14 tahun : Indonesia : Islam : Menikah : Pelajar : Jl. Depati Purbo Rt. 17, Pematang sulur : 6 Oktober 2011

3 hari SMRS penderita mengeluh nyeri pada ulu hati yang hilang timbul. Kemudian 1 hari SMRS penderita mengeluh nyeri berpindah ke perut kanan bawah yang semakin bertambah hebat dan menetap. Penderita juga mengelukkan adanya demam. Penderita merasa tidak napsu makan, mual, dan muntah. Riwayat

BAB (+) normal dan BAK (+) normal. Penderita berobat ke RSUD Raden Mattaher jambi Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal. Penderita mengaku mendapatkan haid terakhir pada bulan september 2011 Riwayat Penyakit maag disangkal Riwayat Penyakit dalam Keluarga :

Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan yang sama disangkal. 1.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Gizi Pernafasan Nadi Tekanan Darah Suhu Kepala Pupil Leher Kelenjar-kelenjar Thorax : - Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Simetris kanan dan kiri : Vocal fremitus (N) Kanan = Kiri : Sonor pada kedua lapang paru : Vesikuler (+) N, Whezing (-), Rhonki (-) : Tampak sakit sedang : Compos mentis : Cukup : 24x/menit : 96x/menit : 110/70 mmHg : 37,2C : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-) : Isokor, refleks cahaya (+/+) : tidak ada kelainan : tidak ada pembesaran

Jantung Inspeksi Palpasi sinistra Perkusi Auskultasi : Batas jantung normal : BJ I,II murni reguler, murmur (-), gallop (-) : : Datar : Lemas, nyeri tekan (+) pada titik Mc Burney, Rovsing sign Blumberg sign (+), defans muskular (-) : Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis teraba di ICS V Linea mid clavicula

Abdomen Inspeksi Palpasi (+), Perkusi Auskultasi

: Tympani : Bising usus (+) normal : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan

Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior

1.4 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Darah Rutin (tanggal 6 Oktober 2011) Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit : 11 gr/dl : 28,9 vol% : 12.000 /mm3 : 289.000 /mm3 (P 12 16 gr/dl) (P 37 43 vol%) (5000 10.000 /mm3) (200.000 500.000 /mm3)

1.5 Diagnosis Banding Apendisitis akut Adneksitis Akut Kanan Kehamilan Ektopik Kista Ovarium Terpuntir Kanan

1.6 Diagnosis Kerja Suspek Apendisitis akut 1.7 Penatalaksanaan IVFD RL gtt 30/menit Inj Cefotaxime 2 x 1 gram Inj Ketolac 2 x 30 mg Inj Ranitidine 2 x 50 mg

1.8 Pemeriksaan Anjuran USG Abdomen 1.9 Prognosis Quo ad vitam : Dubia ad Bonam Quo ad functionam : Dubia ad Bonam Follow up Tanggal 12-10 2011 Perjalanan Penyakit S : Nyeri perut Kanan bawah O : KU: Tampak sakit sedang Kes : Compos Mentis N : 96 X/i T : 360C Therapi IVFD RL gtt 30/menit Inj Cefotaxime 2 x 1 gram Inj Ketolac 2 x 30 mg Inj Ranitidine 2 x 50 mg

23 10 2010

S : Sesak nafas (+) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM N : 88 X/i T : 370C Mata : Conjungtiva Anemis (+/+) Abdomen : BU (-), Nyeri tekan (+), Distensi Abdomen (+) WBC : 13,9 Hb : 7,8

IVFD Rl 20 gtt/i Cefotxim 2 X 1 gr Ranitidin 2 X 50 mg Transfusi PRC 250 cc

24 10 2010 S : (-) IVFD Rl 20 gtt/i O : K U : tampak sakit berat Cefotxim 2 X 1 gr Kes : CM Ranitidin 2 X 50 mg N : 90 X/i T : 390C wbc : 8,6 hb: 10,1 Persiapan Operasi Pasien dipersiapkan untuk dilakukan laparatomi atas indikasi peritonitis ec trauma tumpul abdomen untuk itu dilakukan pemeriksaan : - Puasa - Darah rutin - Kimia darah lengkap - Foto thorax - PRC 500 cc - Koreksi albumin post operasi 25 10 Durante Op 2010 Dilakukan Operasi pukul 1015 - 1145 dilakukan laparatomi dan apendiktomi Diagnosa Preoperasi : peritonotis Diagnosa Postoperasi : peritonitis purulen Jenis Operasi: elektif khusus Dilakukan tindakan laparatomi pada diagnosa peritonitis juvenile - Dilakukan incisi abdomen -

Abdomen penuh dengan darah bercampur pus dan fibrin. Perlengketan hebat Perlengketan dibebaskan dan didilusi dengan NaCl 0,9% betadin NaCl dst

Didapat lacerasi pada ileum terminal hecting secunder dilanjutkan

aapendiktomi Rawat perdarahan , pasang drain (tube NGT No 16) Tutup luka operasi lapis demi lapis Operasi selesai Post Op (ICU) S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 105/69 mmHg N : 50X/i RR: 33 x/i T : 37,80C WBC : 12,6 Hb: 10,9 Albumin : 1,4 S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 94/74 mmHg N : 154X/i RR: 47 x/i T : 38,50C S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 106/79 mmHg N : 125X/i RR: 37 x/i T : 38,20C Albumin : 2,1 Globulin : 2,4 Protein total : 4,5 S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 116/89 mmHg N : 126X/i Transfusi Albumin 100 cc acc pindah ruangan post albumin IVFD Rl 20 gtt/i Cefotxim 2 X 1 gr Ranitidin 2 X 50 mg Metronidazol 3 X 250 mg Ganti perban

25 10 2010

26 10 2010

IVFD Rl 20 gtt/i Cefotaxim 2 X 1 gr Ranitidin 2 X 50 mg Metronidazol 3 X 250 mg Ganti perban Transfusi albumin 100 cc

27 10 2010

28 10 2010

RR: 26 x/i T : 37,80C 29 10 2010 S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 106/82 mmHg N : 90X/i RR: 23 x/i T : 36,80C WBC : 8 Hb : 7,5 Albumin : 2,4 S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 128/91 mmHg N : 108X/i RR: 28 x/i T : 37,40C WBC : 8,4 Hb : 10,3 Albumin : 2,5 S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 118/83 mmHg N : 110X/i RR: 20 x/i T : 36,60C Albumin : 2,3 S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 111/87 mmHg N : 82X/i RR: 25 x/i T : 36,50C S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 102/65 mmHg N : 107X/i Transfusi albumin 100 cc Transfusi PRC 1 kolf

30 10 2010

31 10 2010

1 11 - 2010

Transfusi albumin 100 cc

2 11 - 2010

P cek elektrolit

RR: 22 x/i T : 380Cc WBC : 13,5 Albumin : 2,4 Protein : 5,8 3 11 - 2010

Hb : 8,2 Globulin : 3,4 Dopamin 50 gr Koreksi KCl 11/2 flash Albumin 100 cc

4 11 - 2010

S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 83/51 mmHg N : 96X/i RR: 24 x/i T : 38,50C Pemeriksaan Laboratorium WBC : 15,8 H 103/mm3 RBC : 4,40 106/mm3 HGB : 11,1 g/dl HCT : 35,0 % PLT : 388 103/mm3 PCT : 292 % Elektrolit : Na : 136,50 mmol/L K : 1,92 mmol/L Cl : 99,45 mmol/L S : nyeri perut O : KU: tampak sakit berat Kesadaran : CM TD : 120/80 mmHg N : 107 x/menit RR : 38 x/menit Suhu : 37,6 x/menit Kepala : CA -/-, SI -/-, pupil isokor, Refleks cahaya (+) Hidung : terpasang NGT (cairan warna Hijau) Leher : pembesaran KGB (-) Thorax : I : Simetris kanan dan kiri, Ictus Cordis tidak terlihat P : Vocal fremitus (N) Ka=Ki,

IVFD Rl 20 gtt/i Cefotxim 2 X 1 gr Ranitidin 2 X 50 mg Metronidazol 3 X 250 mg Ganti perban

Ictus cordis teraba di ICS V li nea mid clavikularis sinistra P : sonor, batas jantung normal A : Jantung : BJ I,II murni reguler, G (-), M (-) Paru : Vesikuler (N), W (-), R (-) Abdomen : I : datar, tampak jahitan operasi, A : BU (+) melemah P : Supel, NT (+) P : Timpani, NK (+) Pemeriksaan Laboratorium Albumin : 3 g/dl Elektrolit : Na : 140,1 mmol/L K : 3,3 mmol/L Cl : 107,3 mmol/L S : Sesak nafas, BAB (+) warna hitam O: KU : tampak sakit berat Kes : CM TD : 120/80 mmHg N : 114 x/menit RR : 32 x/menit Suhu: 36,50C Kepala : CA -/-, SI -/-, pupil isokor, Refleks cahaya (+) Hidung : terpasang NGT (cairan warna Hijau) Leher : pembesaran KGB (-) Thorax : I : Simetris kanan dan kiri, Ictus Cordis tidak terlihat P : Vocal fremitus (N) Ka=Ki, Ictus cordis teraba di ICS V li

5 - 11 - 2010

Ceftriaxon 1 X 2 gr Ranitidin 3 X 25 mg Metronidazol 3 X 250 mg Ganti perban

6 11 - 2010

nea mid clavikularis sinistra P : sonor, batas jantung normal A : Jantung : BJ I,II murni reguler, G (-), M (-) Paru : Vesikuler (N), W (-), R (-) Abdomen : I : datar, tampak jahitan operasi, A : BU (+) melemah P : Supel, NT (+) P : Timpani, NK (+) Pemeriksaan Laboratorium WBC : 13,8 H 103/mm3 RBC : 4,05 106/mm3 HGB : 10,2 g/dl HCT : 32,1 % PLT : 488 103/mm3 PCT : 353 % S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 121/84 mmHg N : 111X/i RR: 21 x/i T : 37,50C S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 115/90 mmHg N : 119X/i RR: 23 x/i T : 36,50C S : Luka jaitan masih basah O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 112/80 mmHg Rencana operasi ulang tanggal 10 Transfusi PRC 250 cc

7 11 - 2010

8 11 - 2010

N : 112X/i RR: 34 x/i T : 36,80C WBC : 12,9 Hb : 9,2 Albumin :2,6 Kreatinin : 0,3 9 11 - 2010

RBC : 3,24 Ureum: 27,3 Globulin : 9,3 Rencana relaparatomi

S : Os belum kentut, luka masih basah, O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 116/78 mmHg N : 114X/i RR: 24 x/i nafas spontan T : 36,80C Na : 130,55 K : 2,77 Cl : 100,96 CT : 4,5 BT : 5 S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 132/94 mmHg N : 96X/i RR: 22 x/i T : 36,50C WBC : 11,3 HB : 13,6

P : Albumin 100 cc PRC 250 cc NaK 1 flash Periksa CT, BT

10 11 2010

Os masuk ke kamar operasi

Re Operasi Diagnosa Pre Operasi : Relaparatomi Diagnosa Post Operasi : Sekunder hecting lapisan abdomen Dilakukan general anastesi Dilakukan Aseptik anti septik Dilakukan eksplorasi jaringan luka obdomen. Ditemukan jaringan nekrotik dan pus sampai ke lapisan otot, kemudian dibersihkan dan jaringan sekitarnya dilakukan debridement Luka dicuci dengan NaCl dan betadin sampai tidak ada pus yang tersisa dan jaringan nekrotik Dilakukan penjahitan dari fasia sampai ke kulit dengan cara matras

Perdarahan dirawat Operasi selesai S : (-) O : K U : tampak sakit berat Kes : CM TD: 113/78 mmHg N : 98X/i RR: 24 x/i T : 36,80C WBC : 13,9 RBC : 4,61 Hb : 13,2 Na : 129,5 K : 3,3 Cl : 99,46 Albumin : 3,8 Globulin : 3,3 Protein : 7,1 Boleh pindah Cek ulang

11 11 2010

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apendiks Apendiks atau umbai cacing adalah suatu organ yang terdapat pada sekum yang terletak pada proximal colon. Apendix dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobin (Ig-A) walaupun dalam jumlah kecil. Apediks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya yang tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi. Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun. 2.2 Anatomi Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10cm dan berpangkal pada sekum, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus ileum kuadran kanan bawah. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum. Selama anak-anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%), Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).

Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian bawa arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk akhir arteri. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe ileocaecal. Anatomi lokasi apendiks :

2.3 Fisiologis Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis Appendiks menghasilkan lendir 1 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi appendiks. Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi

pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh. 2.4 Pengertian Apendisitis Akut Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Apendisitis akut adalah proses radang bakteria yang timbul secara mendadak, apendisitis disebabkan oleh berbagai faktor.

2.5 Etiologi Apendisitis Akut Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya : 1. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture. 2. Faktor Bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%. 3. Kecenderungan familiar Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen. 4. Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola

makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi. 5. Faktor infeksi saluran pernapasan Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis. 2.6 Patofisiologi Obstruksi lumen Appendiks adalah titik awal munculnya gangren atau perforasi appendisitis. Walau bagaimanapun pada beberapa kasus appendisitis yang dini lumen appendiks masih utuh walaupun sudah ada inflamasi mukosa dan hiperplasia limfoid. Agen infeksi seperti virus (terbanyak) akan mengawali respon inflamasi pada lumen appendiks yang sempit sehingga timbul obstruksi luminal. Obstruksi dengan sekresi mukosa yang terus menerus dan eksudat inflamasi akan meningkatkan tekanan intraluminal, ini akan menghambat aliran limfa. Luminal Capacity Appendic adalah 0.1 ml, bila sekresinya 0.5ml sahaja distal terhadap obstruksi akan meningkatkan tekanan intraluminal 50cm H20.5,6 Mukosa dari appendiks mempunyai sifat khusus dimana ia masih dapat menghasilkan sekresi pada tekanan yang tinggi sehingga distensi dari lumen akan terus meningkat. Distensi ini akan merangsang ujung saraf viseral yang mensarafi appendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri awalnya dirasakan pada umbilikal dan kwadran bawah epigastrium dengan nyerinya yang tumpul dan difus. Nyeri ini dirasakan pada umbilikal karena persarafan appendiks berasal dari Thorakal 10 yang lokasinya pada umbilikal. Maka nyeri pada umbilikal merupakan suatu Reffered Pain. Distensi dari appendiks juga akan meningkatkan peristalsis usus sehingga menimbulkan nyeri kolik. Distensi appendiks dengan mukus ini dikenali dengan Mucocele Appendiks. Selain faktor-faktor ini kuman komensal dalam appendiks yang

bermultiplikasi juga akan meningkatkan distensi dari appendiks. Pada kondisi ini resolusi dapat terjadi dengan spontan atau dengan antibiotik. Apabila penyakitnya berlanjut, distensi appendiks yang semakin bertambah ini akan menyebabkan obstruksi vena dan iskemia pada dinding appendiks. Tekanan dalam lumen yang semakin meningkat akan meningkatkan tekanan vena dan menyebabkan oklusi venula dan kapiler, tetapi aliran arteriol tidak terganggu sehingga akan menimbulkan kongesti vaskular appendiks. Kongesti ini akan menimbulkan refleks nausea dan muntah diikuti dengan nyeri viseral ynag semakin meningkat. Selanjutnya apabila serosa dari appendiks mulai terganggu ,diikuti dengan kehadiran Muscularis Hiatus dan peritonitis lokal, akan menimbulkan gejala nyeri alih ke kuadran kanan bawah. Bila invasi dari bakteri bertambah dalam, akan muncul gejala-gejala demam, takikardia dan leukositosis akibat absorbsi toxin bakteri dan produk dari jaringan yang mati. Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat dikwatirkan pada appendisitis akut. Peritonitis terjadi akibat migrasi bebas bakteri melalui dinding appendiks yang iskemik, perforasi gangren appendiks atau melalui abses appendiks yang lanjut. Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya peritonitis adalah usia lanjut, immunosupresi, diabetes mellitus, obstruksi fecalit pada lumen appendiks, pelvic appendic dan riwayat operasi abdomen, karena ini mengurangi kemampuan omentum untuk menutupi penyebaran kontaminan peritonitis. Pasien dengan faktor-faktor di atas lebih mudah mengalami perburukan klinis yang berakhir dengan peritonitis diffuse dan Sindroma Septik Sistemik. 2.6.1 Apendisitis Akut Katarhalis Bila terjadi obstruksi, sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks, terjadi peninggian tekanan dalam lumen, tekanan ini mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edem dan kemerahan. Pada apendiks edema mukosa ini mulai terlihat dengan adanya luka-luka kecil pada mukosa.

2.6.2 Apedisitis Akut Purulenta Tekanan dalam lumen yang terus bertambah yang disertai edema, menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan thrombus. Hal ini akan memperberat iskemik dan edema pada apendiks. Bakteri yang dalam normal terdapat di daerah ini berinvasi ke dalam dinding, menimbulkan infeksi serosa, sehingga serosa jadi suram, karena dilapisi eksudat dan fibrin. Karena infeksi akan terbentuk nanah terjadi peritonitis lokal. 2.6.3 Apendisitis Akut Gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu terutama bagian ante mesentrial yang peredarannya paling minimal, hingga terjadi infrak dan ganggren. 2.6.4 Apendisitis Perforata Bila apendiks yang sudah ganggren itu pecah, terjadilah perofasi. 2.6.5 Apedisitis Infiltrat yang Fixed Perforasi yang terjadi pada daerah ganggren sehingga nanah dan produksi infeksi mengalir ke dalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis generalisata serta abses sekunder. Bila mekanisme pertahanan tubuh cukup baik, tubuh berusaha melokalisir tempat infeksi tersebut dengan cara membentuk walling off oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum, yaitu membentuk gumpalan masa phlegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan ini tubuh berhasil melokalisir daerah infeksi secara sempurna. 2.6.6 Apendisitis Abses Bila masa lokal yang terbentuk berisi nanah. 2.6.7 Apendsitis Kronis

Jika apendisitis infiltrat menyembuh dengan adanya gejala hilang timbul. 2.7 Gambaran Klinis Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak oleh rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis merupakan nyeri visceral di daerah epigastium di sekita umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.Burney, disini nyeri akan dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Bila apendiks terletak retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan, karena kontraksi otot polos psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum hingga peristaltik meningkat, pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. A. Pemeriksaan Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terjadi perbedaan suhu aksilar dan rectal sampai 1 C. Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi

perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses apendicular. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Peristaltik usus sering normal, peristaltik usus dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan psos lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri. B. Diagnosis Appendisitis akut didiagnosis secara klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Untuk memudahkan diagnosis apenidsitis akut, banyak sistem scoring yang dapat digunakan, salah satunya Alverado Score. Alverado Scoring System dinilai berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan laboratorium yang mudah untuk diaplikasikan.

Tabel 1. Alverado Score Apabila skor yang didapatkan: 7-10 (emergency surgery group): pasien harus dipersiapkan untuk dilakukan apendektomi emergensi. 5-6 (observation group): pasien harus tetap diobservasi dalam 24 jam dengan evaluasi ulang data klinis dan penilaian ulang skor. 1-4 (discharge home group): setelah diberikan initial symptomatic treatment, pasien dapat dipulangkan dan diminta untuk periksa kembali apabila gejala timbul kembali atau bahkan menjadi lebih buruk. Menurut beberapa penelitian, Alverado Scoring System merupakan sistem yang murah dan cepat yang dapat diaplikasikan dalam keadaan gawat darurat untuk mendiagnosis apendisitis akut. Namun menurut Shrivastava dkk, Alvarado scoring system lebih berguna pada pasien pria daripada pasien wanita. Pada pasien wanita, diperlukan pemeriksaan tambahan untuk mengkonfirmasi diagnosis. 2.8 Diagnosis Banding Adnexitis akut kanan

Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina akan timbul nyeri hebat dipanggul jika uterus digoyangkan. Kehamilan ektopik Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah. Kista ovarium terpuntir Timbul nyeri mendadak dengan intensitas tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG dapat menentukan diagnosis. Gastroenteritis Terjadi mual, muntah, diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan terbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukosit kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. laboratorium biasanya normal karena hitung normal. Limfedenitis Mesenterika Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan sakit perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan, perut samar terutama kanan. Demam Dengue Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, hematokrit yang meningkat. Divertikulosis Meckel Gambaran klinisnya hampir serupa dengan apendisitis akut.

Pembedaan sebelum operasi hanya teoritis dan tidak perlu, sejak diverticulosis

Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang rnirip pada apendisitis akut dan diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama. Intussusception Ini harus dibedakan dengan apendisitis akut karena pengobatan berbeda umur pasien sangat penting, apendisitis jarang pada umur di bawah 2 tahun sedangkan hampir seluruh Intususception idiopatik terjadi di bawah umur 2 tahun. Ulkus Peptikum yang Perforasi Ini sangat mirip dengan apendisitis jika isi gastroduodenum terbalik mengendap turun ke daerah usus bagian kanan (Saekum). Batu Ureter Jika diperkirakan mengendap dekat apendiks, ini menyerupai apendisitis retrocecal. Nyeri menjalar ke labia, scrotum, atau penis, hematuria dan / atau demam atau leukosotosis membatu. Pielography biasanya untuk mengkofirmasi diagnosa. 2.9 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.

Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi. 1. Cairan intravena cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan. 2. Antibiotik Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins, ampicillin sulbaktam, dll, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubeah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis perforasi. Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari bakteria. Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat, penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna bahkan malah berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau provine iodine), anti biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai rongga peritonium dalam kadar bakterisid. Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1 ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada

kadar ini antibiotik bersifat bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat kerusakan pada permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak populer. Setelah pencucian seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi. Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.

Laparoskopik apendiktomi mulai diperkenalkan pada tahun 1987, dan telah sukses dilakukan pada 90-94% kasus apendisitis dan 90% kasus apendisitis perforasi. Saat ini laparoskopik apendiktomi lebih disukai. Prosedurnya, port placement terdiri dari pertama menempatkan port kamera di daerah umbilikus, kemudian melihat langsung ke dalam melalui 2 buah port yang berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihan operasi, pertama apakah 1 port diletakkan di kuadran kanan bawah dan yang lainnya di kuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah. Sekum dan

apendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam metode tersedia untuk pengangkatan apendiks, seperti dectrocauter, endoloops, stapling devices.

Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli bedahnya. Apendiks kemudian diangkat dari abdomen menggunakan sebuah endobag. Laparoskopik apendiktomi mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas operasinya lebih bagus dari segi kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa laparoskopik apendiktomi juga mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Kerugian laparoskopik apendiktomi antara lain mahal dari segi biaya dan juga pengerjaannya yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama dari apendiktomi terbuka. Namun lama pengerjaanya dapat dipersingkat dengan peningkatan pengalaman. Kontraindikasi laparoskopik apendiktomi adalah pada pasien dengan perlengketan intra-abdomen yang signifikan. 2.10 Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa masa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut

mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik kecuali di regio iliaka kanan, abses rongga peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisir di suatu tempat. Paling sering adalah abses rongga pelvis dan subdiafragma. 2.11 Prognosis Bila ditangani dengan baik, prognosis apendiks adalah baik. Secara umum angka kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi tindakan.

DAFTAR PUSTAKA Chapter II. Universitas Sumatera Utara. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19162/4/Chapter%20II.pdf tanggal 26 November 2010 Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute. Diakses www.emedicine.com, tanggal 23 November 2010. Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses dari: www.emedicine.com, tanggal 23 November 2010. Perawat_heri. 2009. Apendisitis. http://perawatheri.blogspot.com/ Diakses tanggal 26 November 2010

Compiled by: AMADEA KURNIA NASTITI

BME '09

0 Comments:

You might also like