You are on page 1of 8

K.H. Hasyim Asyari: Sketsa Biografis Nama lengkap KH.

Hasyim Asyari adalah Muhammad Hasyim Asyari ibn Abd alWahid ibn Abd al-Halimyang mempunyai gelar Pangeran Bonaibn Abd alRahmanyang dikenal dengan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyoibn Abdullah ibn Abdu al-Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ain al-Yaqinyang disebut dengan Sunan Giri.[6] Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari Selasa Kliwon 24 Dzulqadah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871.KH. Hasyim Asyari wafat pada jam 03.45 dini hari tanggal 25 Juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun. Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu al-Quran dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo. Setelah lama menimba ilmu di pondok pesantren Sidoarjo, ternyata KH. Hasyim Asyari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada KH. Yakub yang merupakan kyai di pesantren tersebut. Kyai Yakub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asyari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan puterinya, Khadijah.Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asyari melangsungkan pernikahan dengan putri KH. Yakub tersebut. Setelah nikah, KH. Hasyim Asyari bersama isterinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua KH. Hasyim Asyari menganjurkannya untuk menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, KH. Hasyim Asyari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, di antaranya adalah ilmu fiqh Syfiiyah dan ilmu hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim. Di saat KH. Hasyim Asyari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Makkah, isterinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Sungguhpun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. KH. Hasyim Asyari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syeikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Atthar, Syeikh Sayid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid Abdullah alZawawy, Syeikh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. KH. Hasyim Asyari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu, ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. Keberhasilan KH. Hasyim Asyri dalam membuka kajian keagamaan ini didukung oleh faktor kepribadiannya yang luhur dan pantang putus asa, disamping ia memiliki kekuatan spiritual, karamah (keajaiban yang dimiliki oleh seorang wali). James Fox, seorang antropolog dari Australian National Universtity (ANU), menganggap KH. Hasyim Asyri seorang wali, sebagaimana dalam tulisannya: Jika kiai pandai masih dianggap sebagai wali, ada satu figur dalam sejarah Jawa

kini yang dapat menjadi kandidat utama untuk peran wali. Ini adalah ulama besar, Hadratus Syaikhkiai Hashim Ashari [Hasyim Asyri] Memiliki ilmu dan dipandang sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinya, Hasyim Asyari semasa hidupnya menjadi pusat pertalian yang menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap memiliki keistimewaan luar biasa. Menurut garis keturunannya, tidak saja ia berasal dari garis keturunan ulama pandai, dia juga keturunan Prabu Brawijaya. Bagi Hasyim Asyari, semangat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak ada putus-putusnya. Ia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang dicapai pada saat itu. Semangat ini kemudian mendorong Hasyim Asyari untuk berpindah ke tempat lain. Akhirnya, ia memilih daerah yang penuh dengan tantangan dan dikenal sebagai daerah hitam. Tepat pada tanggal 26 Rabi al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Pebruari 1906 M., Hasyim Asyari mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah KH. Hasyim Asyari banyak melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan sehingga ia tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal, tetapi juga pemimpin masyarakat secara informal. Sebagai pemimpin pesantren, KH. Hasyim Asyri melakukan pengembangan institiusi pesantrennya, termasuk mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum belajar. Jika pada saat itu pesantren hanya mengembangkan sistem halaqah, maka KH. Hasyim Asyri memperkenalkan sistem belajar madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, di samping pendidikan keagamaan. Patut diketahui bahwa sistem madrasah dan memasukan kurikulum pendidikan umum di dalam pesantren ini merupakan sesuatu yang relatif baru dalam dunia pendidikan pesantren pada saat itu. Sedangkan perannya sebagai pemimpin informal, KH. Hasyim Asyri memberikan bantuan pengobatan kepada masyarakat yang membutuhkan, termasuk juga kepada keturunan Belanda. Aktivitas KH. Hasyim Asyari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh Abdul Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi ini didukung oleh para ulama, terutama ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya, organisasi ini dikembangkan untuk meresponi wacana khilafah dan gerakan purifikasi yang ketika itu dikembangkan Rasyid Ridla di Mesir, tetapi pada perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekonstruksi sosial keagamaan yang lebih umum. Bahkan, dewasa ini, Nahdlatul Ulama berkembang menjadi organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Sebagai seorang intelektual, KH. Hasyim Asyari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, di antaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis KH. Hasyim Asyari yang terkenal adalah sebagai berikut. 1. Adab al-lim wa al-mutaallim fm yahtj ilaih al-mutaallim f Ahwl taallum wa m yatawaqaf alaih al-muallim f maqmat talmih. 2. Ziydat talqt, radda fh manzhmat al-syaikh Abd Allh bin Ysn al-Fsrni allat bihujbih al Ahl Jamiyyah Nahdlat al-Ulam.

3. al-Tanbiht al-wjibt liman yashna al-maulid al-munkart. 4. al-Rislat al-jmiat, sharh fh ahwal al-maut wa asyrth al-sat ma bayn mafhm al-sunnah wa al-bidah. 5. al-Nr al-mubn f mahabbah sayyid al-mursaln, bain fhi man al-mahabbah lirasl Allh ma w yataallaq bih man itttbih wa ihy al-sunnatih. 6. Hsyiyah al fath al-rahmn bi syarh rislat al-wal Rusln li syaikh al-Ism Zakariy al-Anshri. 7. al-Durr al-muntatsirah f al-masil al-tisi asyrat, sharh fh masalat al-thriqah wa al-wilyah wa m yataallaq bihim min al-umr al-muhimmah li ahl al-tharqah. 8. al-Tibyn f al-nahy an muqthiah al-ikhwn, bain fh ahammiyat shillat al-rahim wa dharur qathih. 9. al-Rislat al-tauhdiyah, wahiya rislah shaghrat f bayn aqdah ahl al-sunnah wa al-jamah. 10. al-Qalid f bayn m yajib min al-aqid. Akan tetapi, cukup disayangkan bahwa sejumlah karya KH. Hasyim Asyri itu tidak seluruhnya dapat diperoleh oleh masyarakat umum secara bebas. Ada sebagian karya-karyanya yang belum dipublikasikan. Dimungkinkan karya-karya yang belum dipublikasikan itu disebabkan oleh sistem dokumentasi yang kurang maksimal. Terbukti, perhatian organisasi ke-NU-an kurang terlihat dalam mendokumentasikan dan mempublikasikan karya-karya KH. Hasyim Asyari, yang merupakan founding father NU. Sungguhpun demikian, dari sebagian karya KH. Hasyim Asyri dan data-data yang tersedia itu cukup memberikan ketertarikan bagi sebagian intelektual untuk melakukan penelitian dari berbagai perspektif. Terbukti terdapatnya penelitian yang memfokuskan baik pada ketokohan KH. Hasyim Asyri maupun pada pemikirannya yang relatif banyak. Bahkan, penelitian itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri an sich, tetapi juga di luar negeri. Karya Kependidikan: Adab al-lim wa al-Mutaallim Kitab Adab al-lim wa al-Mutaallim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumaday al-Tsni tahun 1343 H.KH. Hasyim Asyari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.Dalam konteks ini, KH. Hasyim Asyri tampaknya berkeinginan bahwa dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan itu disertai oleh perilaku sosial yang santun (al-akhlq al-karmah). Memang, konsep kependidikan yang bertitik tolak pada etika, termasuk karya KH. Hasyim Asyri, ini kurang menjanjikan bagi pengembangan nalar yang kritis. Hal ini lebih disebabkan oleh titik sentral antara akhlak yang luhur dan nalar yang kritis berseberangan secara diametral. Akhlak lebih dibanyak ditentukan oleh faktor keyakinan (hati), sebagai sumber berperilaku, sedangkan nalar beranjak dari akal pikiran (ratio). Keduanya, hati dan akal pada akhirnya akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda.

Kitab Adab al-lim wa al-mutaallim ini, secara keseluruhan, terdiri atas delapan bab yang masing-masing membahas tentang keutamaan ilmu dan ilmuwan serta pembelajaran, etika yang mesti dicamkan dalam belajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru, etika yang harus diperhatikan bagi guru, etika guru ketika dan akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya, etika menggunakan literatur, dan alat-alat yang digunakan dalam belajar. Kedelapan bab tersebut sesungguhnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian penting, yakni signifkansi pendidikan, tanggung jawab dan tugas murid, serta tanggung jawab dan tugas guru. Bagi kalangan pesantren, kitab ini bukanlah literatur baru yang mereka jumpai. Terutama di pesantern-pesantren Jawa Timur, kitab Adab al-lim wa al-mutaallim ini menjadi buku dars yang selalu dikaji. Buku ini telah dicetak dalam jumlah yang relatif banyak yang untuk terbitan pertama dicetak tahun 1415 H. oleh maktabah al-turts al-islmiy pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Secara akademis, sudah ada yang meneliti karya KH. Hasyim Asyari ini namun masih dalam jumlah yang relatif minim. Sejauh penelusuran penulis, paling tidak ada dua penelitian yang telah dilakukan untuk kepentingan penyelesaian tesis di program pascasarjana (S2) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang memfokuskan pada kitab ini. Kedua penelitian tersebut adalah Maslani, M.Ag. dengan judul penelitian Pemikiran KH. Hasyim Asyari dalam Karyanya Adab al-lim wa almutaallim: Suatu Upaya Pengungkapan Belajar-Mengajar tahun 1997 dan Nurdin, M.Ag. dengan judul penelitian Etika Belajar Mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran KH. Hasyim Asyari dalam Kitab Adab al-lim wa al-mutaallim tahun 1999. Pada penelitian pertama, pembahasan tampaknya lebih banyak difokuskan pada teoritisasi mengenai signifikansi pendidikan dan tugas serta tanggung jawab bagi murid dan guru. Sedangkan penelitian terakhir menelusuri konsep etika belajar mengajar dalam perspektif KH. Hasyim Asyari dan implikasinya bagi dunia pendidikan Islam. Karakteristik Pemikiran K.H. Hasyim Asyari Hasan Langgulung membuat polarisasi terhadap karakteristik pemikiran pendidikan. Polarisasi itu didasarkan atas literatur-literatur kependidikan yang ditulis oleh sejumlah penulis-muslim. Menurutnya, ada empat corak pemikiran kependidikan Islam yang dapat dipahami. Pertama, corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqh, tafsir dan hadits yang kemudian mendapat perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm (384-456 H.) dengan karyanya Kitb al-Mufashshal f al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Kedua, corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Contohnya adalah Abdullah ibn Muqaffa (106-142 H./724-759 M.) dengan karyanya Risalat al-Shahbah dan al-Jhiz (160-255 H./755-868 M.) dengan karyanya al-Tj f Akhlk al-Muluk. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis. Contohnya adalah corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mutazilah, Ikhwn al-Shafa dan para filosof. Keempat, pemikiran pendidikan Islam yang berdiri sendiri dan berlainan dengan beberapa corak di atas, tetapi ia tetap berpegang pada semangat al-Quran dan hadits. Corak yang terakhir ini terlihat pada karya Muhammad ibn Sahnn

(wafat 256 H./871 M.) dengan karyanya Adab al-Muallim, dan Burhan al-Dn alZarnuji (wafat 571 atau 591 H.) dengan karyanya Talm al-Mutaallim Thariq alTaallum. Jika mengacu pada tawaran Hasan Langgulung di atas maka tampaknya Adab allim wa al-mutaallim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini didasarkan atas kenyataan yang ada dalam kitab tersebut yang tidak memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqh, sastera, dan filsafat. Kitab ini semata-mata memberi petunjuk praktis bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu, Adab al-lim wa al-mutaallim mempunyai banyak kesamaan dengan Talm alMutaallim karya al-Zarnuji dan lebih-lebih dengan Tadzkirat al-Smi wa alMutakalim f Adab al-lim wa al-mutaallim karya Ibn Jamah. Kesamaan ini paling tidak adalah pada tingkat sama-sama membahas secara khusus ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan sejumlah ulama. Di sisi lain, karakter pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asyari dapat dimasukkan ke dalam garis madzhab Syafiiyah. Bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan hal itu adalah banyaknya ulama syafiiyah, termasuk Imam al-Syafii sendiri, yang sering kali dikutip oleh penulis kitab ini ketimbang ulama madzhab lain. Dengan pengungkapan ide-ide madzhab yang dianutnya, menurut Abd al-Muidz Khan, pasti mempengaruhi pemikirannya tentang pendidikan. Kecenderungan lain dalam pemikiran KH. Hasyim Asyari adalah mengetengahkan nilai-nilai estetis yang bernafaskan sufistik. Kecenderungan ini dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya, misalnya dalam keutamaan menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan bahwa bagi KH Hasyim Asyari keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah bagi orang yang benar-benar li Allh tala. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan aspek-aspek keduniawian. Kecenderungan demikian agaknya lebih didominasi oleh pemikiran KH. Hasyim Asyri yang juga menekankan pada dimensi sufistik sehingga cukup kentara nuansa-nuansa demikian pada karyanya itu. Bahkan, kecenderungan ini merupakan wacana umum bagi literatur-literatur kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan-persoalan sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali. Signifikansi Pendidikan Sisi pendidikan yang cukup menarik perhatian dalam konsep pendidikan KH. Hasyim Asyari adalah sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan pengajaran. Kekuatan dalam hal ini terlihat pada penekanannya bahwa eksistensi ulama, sebagai orang yang memiliki ilmu, menduduki tempat yang tinggi. Karena itu, dalam bab pertama kitab Adab al-lim wa al-mutaallim, KH. Hasyim Asyari mengawali pembahasannya mengenai hal itu dengan urutan-urutan argumentasi nash (al-Quran) kemudian hadits dan pendapat para ulama. KH. Hasyim Asyari memaparkan tingginya status penuntut ilmu dan ulama dengan mengetengahkan dalil bahwa Allah mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman.Di tempat lain, KH. Hasyim Asyari menggabungkan surat al-Fathir (Q.S. 35) ayat 8 dan surat al-Bayinah (Q.S. 89) ayat 7-8. Premis dalam surat pertama

menyatakan bahwa ulama merupakan makhluk yang paling takut kepada Allah, sedangkan pada surat kedua dinyatakan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah makhluk yang terbaik. Kedua premis ini kemudian memberi sebuah konklusi bahwa ulama merupakan makhluk yang terbaik di sisi Allah (khair al-bariyyah). Dalam memahami tesis di atas, KH. Hasyim Asyri sesungguhnya berusaha mengedepankan pemikiran bahwa dalam menghadapi segala persoalan hendaknya dimulai dari paradigma normatif yang bersumbu pada titik sentral ketuhanan. Paradigma ini diasumsikan akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan secara tuntas dan tidak menimbulkan spekulasi yang berkepanjangan. Dimensi ketuhanan hendaknya mampu menjelma pada partikulasi-partikkulasi, terutama dalam perilaku sosial, sehingga secara kesuluruhan menunjukkan satu bingkaian yang utuh. Tampaknya, KH. Hasyim Asyri berkeyakinan bahwa orang yang mampu menunjukkan integritas dalam berperilaku adalah makhluk Tuhan yang terbaik. Ketegasan tingginya derajat orang yang berilmu ini seringkali diulang, misalnya dengan argumentasi hadits al-ulam waratsat al-anbiy, [ulama adalah pewaris Nabi]. Hadits ini sesungguhnya menyatakan secara jelas bahwa derajat para ulama adalah setingkat lebih rendah di bawah derajat para Nabi. Sementara menurut KH. Hasyim Asyari, tidak ada derajat yang lebih mulia daripada derajat Nabi. Oleh karena itu, derajat ahli ibadah lebih rendah daripada ulama. Bahkan, KH. Hasyim Asyari sering mengutip hadits dan pendapat ulama serta menyatakan pendapatnya tentang perbandingan ibadah dengan ilmu. Menurut Nabi, tingginya derajat ulama jika dibanding dengan ahli ibadah, pertama, bagaikan utamanya Nabi dibanding dengan manusia selainnya, kedua, bagaikan terangnya bulan purnama dibanding dengan cahaya bintang, dan ketiga, bagi setan lebih sulit menggoda seorang cendekiawan daripada menggoda seorang cendekiawan daripada seribu ahl ibadah. Pemikiran KH. Hasyim Asyari di atas tampaknya mengikuti pemikiran tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti al-Ghazali. Sebab, pemikiran KH. Hasyim Asyari ini sama dengan hirarki yang dibuat oleh al-Ghazali, yakni ahl al-ilm lebih utama daripada ahl al-ibadah, dengan menyajikan alasan-alasan ayat al-Quran, hadits, dan pendapat para ulama. Pemikiran KH. Hasyim Asyari ini tampaknya menyiratkan sebuah pengertian bahwa yang menjadi sentral pendidikan adalah hati. Penekanan pada hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan progresivisme dan essensialisme. Aliran progresivismeyang dipelopori oleh John Deweymenyatakan bahwa sentral pendidikan adalah pikiran dan kecerdasan. Pikiran dan kecerdasan ini merupakan motor penggerak dan penentu ke arah kemajuan sekaligus penuntun bagi subyek untuk mampu menghayati dan menjalankan sebuah program.Dengan demikin, aliran progresivisme menitikberakan pada aspek kecerdasan. Sedangkan aliran essensialisme menyatakan bahwa materi utamalah yang menentukan dan memantapkan pikiran serta kecerdasan manusia. Materi (bahan pengajaran) itulah yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang hakiki dalam sebuah perkembangan peradaban dan kebudayaan.Atas dasar klasifikasi tersebut, menjadi semakin jelas bahwa KH. Hsyim Asyari menempatkan corak kependidikannya sebagai corak yang berbeda dari corak-corak kependidikan yang lain, yakni tidaklah bercorak

progressif ataupun esensialis. Perbedaan-perbedaan ini dimungkinkan oleh karena adanya titik pandang yang tidak sama dalam memahami manusia. Baik aliran progresivisme maupun essensialisme, sama-sama mendasarkan pandangannya pada penelitian-penelitian yang bersifat fisik-empiris. Sedangkan KH. Hasyim Asyariyang identik dengan pemikiran al-Ghazalimenyimpulkan bahwa substansi manusia bukan terletak pada usur fisiknya, tetapi pada hatinya. Sebagai pandangan kependidikan yang didasarkan atas hati, memang dengan sendirinya akan menghadapi kesulitan tersendiri, terutama dikontekskan dalam usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah. Sebab, usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah membutuhkan kerangka empris sehingga agak sulit untuk mencari titik temunya. Kecenderungan para filosof Barat dalam memandang manusia lebih banyak dari sisi antroporsentris, sedangkan filosof Islamdalam hal ini, misalnya, al-Ghazali memandangnya dari sisi theosentris. Dengan demikian, dalam pendidikan Islam, tugas pendidik tidak hanya mencerdaskan pikiransebagaimana aliran progresivismeatau menyiapkan bahan pengajaran yang baiksebagaimana aliran essensialismemelainkan juga pada bagaimana membimbing, mengarahkan, dan menuntun hati agar dekat kepada Allah.Sungguhpun demikian, dalam kenyataan banyak dijumpai bahwa tugas kependidikan lebih banyak difokuskan pada aspek yang terakhir itu, yakni bagaimana membentuk orang-orang yang shaleh dalam perspektif Tuhan, tentunya Tuhan dalam sesuatu yang dipahaminya. Sementara aspek yang lain, yang tidak kalah pentingnya, yakni penguatan kecerdasan dan penguasaan materi pelajaran, menjadi terabaikan. Hal ini dimungkinkan oleh berbagai hal, di antaranya adalah cukup intennya intervensi pemahaman keagamaan yang kurang memberi penghargaan terhadap aspek kecerdasan dalam aplikasi kependidikan. Kenyataan ini semakin mempermudah dalam menafikan dimensi-dimensi kependidikan yang kritis. Relasi Peserta Didik-Pendidik Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, KH. Hasyim Asyari menyarankan kepada peserta didik untuk memperhatikan sepuluh etika yang mesti dicamkan ketika belajar. Kesepuluh etika itu di antaranya adalah membersihkan hati dari berbagai penyakit hati dan keimanan, memiliki niat yang tulusbukan mengharapkan sesuatu yang material, memanfaatkan waktu dengan baik, bersabar dan memiliki sikap qanaah, pandai membagi waktu, tidak terlalu banyak makan dan minum, bersikap hati-hati, menghindari dari makanan yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan, tidak memperbanyak tidur, dan menghindari dari hal-hal yang kurang bermanfaat. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik, peserta didik mesti memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam hal ini, perlu adanya batasan atau karakteristik pendidik yang baik. KH. Hasyim Asyari menyebutkan ciri-ciri tersebut, yaitu cakap dan profesional (kalimaat ahliyatuh), kasih sayang (tahaqqaqat syafaqatuh), berwibawa (zhaharat muruatuh), menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan martabat (urifat iffatuh), berkarya (isytaharat shiynatuh), pandai

mengajar (ahsan talm), dan berwawasan luas (ajwa tafhm). Kehati-hatian dalam memilih pendidik ini didasarkan atas pandangannya bahwa ilmu itu sama dengan agama. Oleh karena itu, peserta didik harus tahu dari mana agama itu diperoleh. Tentu saja, persyaratan-persyaratan itu tidak selamanya secara keseluruhan ditemukan dalam seorang guru. Adanya persyaratan-persyaratan itu tampaknya lebih difokuskan pada kerangka yang dapat menuntun peserta agar kritis-selektif dalam memilih guru sehingga proses pengalaman kependidikannya nanti dapat memberi hasil. Peserta didik harus memiliki anggapan (image) dalam dirinya bahwa pendidik itu mempunyai kelebihan tersendiri dan sangat berwibawa, sehingga peserta didik harus mengetahui dan mengamalkan etika berbicara dengan pendidik. Bahkan, ketika peserta didik berangkat ke pendidik hendaknya bersedekah dan berdoa terlebih dahulu untuk pendidik. Peserta didik harus senantiasa sabar terhadap segala kekasaran dan kesalahan pendidik, selama tidak menjadi kebiasaan dan tidak menggoyahkan keimanan. Meski sikap yang ditampilkan pendidik tidak mencerminkan etika dan akhlak yang luhur, tetapi bagi peserta didik hendaknya menyikapiya dengan arif. Sebab, respon demikian memberi kebahagiaan dan menjaga perasaan pendidik, di samping ilmu yang didapat lebih bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Perspektif demikian agaknya lebih banyak didukung oleh asumsi-asumsi bahwa guru merupakan sosok yang patut digugu dan ditiru sementara peserta didik didudukkan sebagai orang yang belum memiliki kecakapan-kecakapan tertentu sehingga masih menergantungkan pada guru itu. Pola hubungan antara peserta didik dengan pendidik seperti yang dikembangkan KH. Hasyim Asyari di atas agaknya menyiratkan pada sebuah pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh aspek guru. Guru tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (knowledge) kepada peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh secara signifikan terhadap pembentukan perilaku (etika) peserta didik.

You might also like