You are on page 1of 9

Pengertian Shadaqah dan Dasar ayat

Shadaqah dalam artiannya : Komitmen Sedangkan dalam tinjauan hukum shadaqah bisa dihukumi wajib ketika berbentuk: zakat, Nafkah dan Nadzar sedangkan berkekuatan hukum Sunnah ketika: Hadiah, Hibah, Wakaf, Ujrah, Sewa, Barter, Hutang dll Adapun dalam kekuatan hukumnya dalam Alquran secara eksplisit tidak disebutkan (terangkan), akan tetapi dalam kaitannya terdapat 73 ayat Al-Quran yang menerangkannya, salah satu diantaranya: 1. Al-Anam: 27 dan 30 2. As saba: 31 3. Al Baqarah: 261 (Tentang motivasi dan peruntukan wakaf) 4. Al-Baqarah: 267 (Hal-hal yang diwakafkan) 5. Ali Imran: 92 6. An Nahel: 96 7. Al haj: 77
(http://m-syarifuddin.blogspot.com/2010/03/pengertian-shadaqah-dan-dasarayat.html)

Definisi Zakat, Infaq dan Shadaqah


(Posted in Tsaqofah by Hafsa Mutazz on the September 7th, 2007 )

Zakat menurut bahasa artinya adalah berkembang (an namaa`) atau pensucian (at tath-hiir). Adapun menurut syara, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin muayyanah) (Zallum, 1983 : 147). Dengan perkataan hak yang telah ditentukan besarnya (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak berupa pemberian harta yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan yang wajib (dikeluarkan) (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu, seperti shadaqah tathawwu (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan pada harta-harta tertentu (fi amwaalin muayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.

Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Tarifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan alat transportasi yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lainlain sedang zakat dapat diumpamakan dengan mobil, sebagai salah satu alat transportasi. Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima di siang hari bulan Ramadhan, adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima. Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal). Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini : Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara: Al wasilatu ilal haram haram Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula. Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara : Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya Dalam urf para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini yang hukumnya sunnah bukan zakat.

Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara terdapat lafazh shadaqah yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT : Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat (QS At Taubah : 60) Dalam ayat tersebut, zakat-zakat diungkapkan dengan lafazh ash shadaqaat. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman : beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka (HR. Bukhari dan Muslim). Pada hadits di atas, kata zakat diungkapkan dengan kata shadaqah. Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah dalam konteks ayat atau hadits tertentu artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh ash shadaqaat diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan faridhatan minallah (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh ash shadaqaat dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain. Begitu pula pada hadits Muadz, kata shadaqah diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh iftaradha (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan shadaqah pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain. Dengan demikian, kata shadaqah tidak dapat diartikan sebagai zakat, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya. Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang maruf (benar dalam pandangan syara). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : Kullu marufin shadaqah (Setiap kebajikan, adalah shadaqah). Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar maruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah. Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Tarifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.

Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (Kullu marufin shadaqah) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar maruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91). Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata shadaqah, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang maruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan : Al Ashlu fil kalaam al haqiqah. Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya). (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151) Namun demikian, bisa saja lafazh shadaqah dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, shadaqah dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (At Taubah : 103) Kata shadaqah pada ayat di atas dapat diartikan zakat, karena kalimat sesudahnya kamu membersihkan dan mensucikan mereka menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu that-hiir (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai shadaqah (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai penebus dosa daripada zakat. Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata shadaqah dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah (Ibnu Katsir, 1989 : 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah Juz I (1992 : 277) juga menyatakan, shadaqah dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu. [ Muhammad Shiddiq Al Jawi ] REFERENSI

An Nabhani, Taqiyyudin. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III. tp. Al Quds. Cet. II.

1953

An Nabhani, Taqiyyudin. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Darul Ummah. Beirut cetakan IV, 1990 An Nabhani, Taqiyyudin. Muqaddimah Dustur. tp. t-tp. 1963 An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982 As Sabiq, As Sayyid. Fiqhus Sunnah Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992. Az Zaibari, Amir Said. Kiat Menjadi Pakar Fiqih. Gema Risalah Press. Bandung. 1998 Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996 Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul Marifah. Beirut. Cetakan III. 1989 Ulwan, Abdullah Nasih. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985 Usman, Muhlish. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta. cetakan I. 1996 Yunus, Mahmud. Al Fiqhul Wadhih Juz II. Maktabah As Sadiyah Putra. Padang. 1936 Zallum, Abdul Qadim. Al Amwal fi Daulatil Khilafah. Darul Ilmi lil Malayin. Beirut. cetakan I, 1983

Pengertian Zakat Infak dan Shadaqah


Mukadimah Zakat merupakan salah satu pokok agama yang sangat penting dan strategis dalam Islam, karena zakat adalah rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Jika shalat berfungsi untuk membentuk keshalihan dari sisi pribadi seperti mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, maka zakat berfungsi membentuk keshalihan dalam sistem sosial kemasyarakatan seperti memberantas kemiskinan, menumbuhkan rasa kepedulian dan cinta kasih terhadap golongan yang lebih lemah. Pembentukan keshalihan pribadi dan keshalihan dalam sistem masyarakat inilah salah satu tujuan diturunkannya Risalah Islam sebagai rahmatallil alamin oleh Allah SWT kepada manusia. Dengan zakat, Allah SWT menghendaki kebaikan kehidupan manusia dengan ajaran-Nya agar hidup tolong menolong, gotong royong dan selalu menjalin persaudaraan. Adanya perbedaan harta, kekayaan dan status sosial dalam kehidupan adalah sunatullah yang tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Bahkan adanya perbedaan status sosial itulah manusia membutuhkan antara satu dengan lainnya. Dan zakat (juga infaq dan shadaqah) adalah salah satu instrumen paling efektif untuk menyatukan umat manusia dalam naungan kecintaan dan kedamaian

hidupnya di dunia, untuk menggapai kebaikan di akhirat. Pengertian Zakat Dan Perbedaannya Dengan Infaq dan Shadaqah 1. Makna Zakat Secara Bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah (HR. AtTirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.". (QS : At-Taubah : 103). Sedangkan istilah zakat berarti derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah, dan waktu suatu kekayaan atau harta yang wajib diserahkan; dan pendayagunaannya pun ditentukan pula, yaitu dari umat Islam untuk umat Islam. 2. Makna Infaq Pengertian infaq adalah lebih luas dan lebih umum dibanding dengan zakat. Tidak ditentukan jenisnya, jumlahnya dan waktunya suatu kekayaan atau harta harus didermakan. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menetukan jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya diserahkan. 3. Makna Shadaqah Adapun Shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis kepada saudaranya, menyalurkan syahwatnya pada istri dsb. Dan shadaqoh adalah ungkapan kejujuran (shiddiq) iman seseorang. (http://www.semuabisnis.com/articles/169611/1/Pengertian-Zakat-Infaq-Shadaqahdan-Perbedaannya/Page1.html)

Shadaqah adalah baik seluruhnya, namun antara satu dengan yang lain berbeda keutamaan dan nilainya, tergantung kondisi orang yang bersedekah dan kepentingan proyek atau sasaran shadaqah tersebut. Di antara shadaqah yang utama menurut Islam adalah sebagai berikut: 1. Shadaqah Sirriyah Yaitu shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Shadaqah ini sangat utama karena lebih medekati ikhlas dan selamat dari sifat pamer. Allah subhanahu wataala telah berfirman, Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:271) Yang perlu kita perhatikan di dalam ayat di atas adalah, bahwa yang utama untuk disembunyikan terbatas pada shadaqah kepada fakir miskin secara khusus. Hal ini dikarenakan ada banyak jenis shadaqah yang mau tidak mau harus tampak, seperti membangun sekolah, jembatan, membuat sumur, membekali pasukan jihad dan lain sebagainya.

Di antara hikmah menyembunyikan shadaqah kepada fakir miskin adalah untuk menutup aib saudara yang miskin tersebut. Sehingga tidak tampak di kalangan manusia serta tidak diketahui kekurangan dirinya. Tidak diketahui bahwa tangannya berada di bawah, bahwa dia orang papa yang tak punya sesuatu apa pun.Ini merupakan nilai tambah tersendiri dalam ihsan terhadap orang fakir. Oleh karena itu Nabi shallallahu alihi wasallam memuji shadaqah sirriyah ini, memuji pelakunya dan memberitahukan bahwa dia termasuk dalam tujuh golongan yang dinaungi Allah nanti pada hari Kiamat. (Thariqul Hijratain) 2. Shadaqah Dalam Kondisi Sehat Bersedekah dalam kondisi sehat dan kuat lebih utama daripada berwasiat ketika sudah menjelang ajal, atau ketika sudah sakit parah dan tipis harapan kesembuhannya. Rasulullah shallallahu alihi wasallam bersabda, "Shadaqah yang paling utama adalah engkau bershadaqah ketika dalam keadaan sehat dan bugar, ketika engkau menginginkan kekayaan melimpah dan takut fakir. Maka jangan kau tunda sehingga ketika ruh sampai tenggorokan baru kau katakan, "Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian." (HR.al-Bukhari dan Muslim) 3. Shadaqah Setelah Kebutuhan Wajib Terpenuhi Allah subhanahu wataala telah berfirman, Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (QS. 2:219) Nabi shallallahu alihi wasallam bersabda, "Tidak ada shadaqah kecuali setelah kebutuhan (wajib) terpenuhi." Dan dalam riwayat yang lain, "Sebaik-baik shadaqah adalah jika kebutuhan yang wajib terpenuhi." (Kedua riwayat ada dalam al-Bukhari) 4. Shadaqah dengan Kemampuan Maksimal Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alihi wasallam, "Shadaqah yang paling utama adalah (infak) maksimal orang yang tak punya. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu." (HR. Abu Dawud) Beliau juga bersabda, "Satu dirham telah mengalahkan seratus ribu dirham." Para sahabat bertanya," Bagaimana itu (wahai Rasululullah)? Beliau menjawab, "Ada seseorang yang hanya mempunyai dua dirham lalu dia bersedakah dengan salah satu dari dua dirham itu. Dan ada seseorang yang mendatangi hartanya yang sangat melimpah ruah, lalu mengambil seratus ribu dirham dan bersedekah dengannya." (HR. an-Nasai, Shahihul Jami') Al-Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, "Hendaknya seseorang memilih untuk bersedekah dengan kelebihan hartanya, dan menyisakan untuk dirinya kecukupan karena khawatir terhadap fitnah fakir. Sebab boleh jadi dia akan menyesal atas apa yang dia lakukan (dengan infak seluruh atau melebihi separuh harta) sehingga merusak pahala. Shadaqah dan kecukupan hendaknya selalu eksis dalam diri manusia. Rasululllah shallallahu alihi wasallam tidak mengingkari Abu Bakar radhiyallahu anhuyang keluar dengan seluruh hartanya, karena Nabi tahu persis kuatnya keyakinan Abu Bakar dan kebenaran tawakkalnya, sehingga beliau tidak khawatir fitnah itu menimpanya sebagaimana Nabi khawatir terhadap selain Abu Bakar. Bersedekah dalam kondisi keluarga sangat butuh dan kekurangan, atau dalam keadaan menanggung banyak hutang bukanlah sesuatu yang dikehendaki dari sedekah itu. Karena membayar hutang dan memberi nafkah keluarga atau diri sendiri yang memang butuh adalah lebih utama. Kecuali jika memang dirinya sanggup untuk bersabar dan membiarkan dirinya mengalah meski sebenarnya membutuhkan sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar radhiyallahu anhu dan juga itsar (mendahulukan orang lain) yang dilakukan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin. (Syarhus Sunnah) 5. Menafkahi Anak Istri Berkenaan dengan ini Rasulullah shallallahu alihi wasallam bersabda, "Seseorang apabila menafkahi keluarganya dengan mengharapkan pahalanya maka dia mendapatkan pahala

sedekah." ( HR. al-Bukhari dan Muslim) Beliau juga bersabda, "Ada empat dinar; Satu dinar engkau berikan kepada orang miskin, satu dinar engkau berikan untuk memerdekakan budak, satu dinar engkau infakkan fi sabilillah, satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu. Dinar yang paling utama adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu." (HR. Muslim). 6. Bersedekah Kepada Kerabat Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah radhiyallahu anhu memiliki kebun kurma yang sangat indah dan sangat dia cintai, namanya Bairuha'. Ketika turun ayat, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai." (QS. 3:92) Maka Abu Thalhah mendatangi Rasulullah dan mengatakan bahwa Bairuha' diserahkan kepada beliau, untuk dimanfaatkan sesuai kehendak beliau. Rasulullah shallallahu alihi wasallam menyarankan agar ia dibagikan kepada kerabatnya. Maka Abu Thalhah melakukan apa yang disarankan Nabi tersebut dan membaginya untuk kerabat dan keponakannya.(HR. al-Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu alihi wasallam juga bersabda, "Bersedakah kepada orang miskin adalah sedekah (saja), sedangkan jika kepada kerabat maka ada dua (kebaikan), sedekah dan silaturrahim." (HR. Ahmad, an-Nasa'i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah) Secara lebih khusus, setelah menafkahi keluarga yang menjadi tanggungan, adalah memberikan nafkah kepada dua kelompok, yaitu: Anak yatim yang masih ada hubungan kerabat, sebagaimana firman Allah subhanahu wataala, (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang masih ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. (QS. 90:13-16) Kerabat yang memendam permusuhan, sebagaimana sabda Nabi, "Shadaqah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memendam permusuhan. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzai, Shahihul jami')

7. Bersedekah Kepada Tetangga Allah subhanahu wataala berfirman di dalam surat an-Nisa' ayat 36, di antaranya berisikan perintah agar berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh. Dan Nabi juga telah bersabda memberikan wasiat kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu, "Jika engkau memasak sop maka perbanyaklah kuahnya, lalu bagilah sebagiannya kepada tetanggamu." (HR. Muslim) 8. Bersedekah Kepada Teman di Jalan Allah. Rasulullah shallallahu alihi wasallam bersabda, "Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang untuk keluarganya, dinar yang dinafkahkan seseorang untuk kendaraannya (yang digunakan) di jalan Allah dan dinar yang diinfakkan seseorang kepada temannya fi sabilillah Azza wa Jalla." (HR. Muslim) 9. Berinfak Untuk Perjuangan (Jihad) di Jalam Allah Amat banyak firman Allah subhanahu wataala yang menjelaskan masalah ini, di antaranya, Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Allah. (QS. 9:41) Dan juga firman Allah subhanahu wataala,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. 49:15) Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu alihi wasallam bersabda, "Barang siapa mempersiapkan (membekali dan mempersenjatai) seorang yang berperang maka dia telah ikut berperang." (HR. al-Bukhari dan Muslim) Namun perlu diketahui bahwa bersedekah untuk kepentingan jihad yang utama adalah dalam waktu yang memang dibutuhkan dan mendesak, sebagaimana yang terjadi pada sebagian negri kaum Muslimin. Ada pun dalam kondisi mencukupi dan kaum Muslimin dalam kemenangan maka itu juga baik akan tetapi tidak seutama dibanding kondisi yang pertama. 10. Shadaqah Jariyah Yaitu shadaqah yang pahalanya terus mengalir meskipun orang yang bersedekah telah meninggal dunia. Nabi shallallahu alihi wasallam bersabda, "Jika manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal; Shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaat dan anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim). Di antara yang termasuk proyek shadaqah jariyah adalah pembangunan masjid, madrasah, pengadaan sarana air bersih dan proyek-proyek lain yang dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat. Sumber: Buletin Ash-Shadaqah fadhailuha wa anwauha, Ali bin Muhammad al-Dihami.

(http://www.lazyaumil.org/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=101)

You might also like