You are on page 1of 10

Pemahaman Tindak Tutur dalam Suatu Percakapan

1. Pendahuluan Dewasa ini, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah masih berkutat pada semantik yang terbatas pada makna kata, tanpa menyentuh semantik kalimat dan sintaksis yang berkisar pada analisis bentuk kalimat tanpa banyak mengusik makna kalimat. Perhatian guru pada teori kalimat ketimbang melatih siswa megujarkan kalimat dalam penggunaan bahasa yang senyatanya. Dari semua isu dalam teori umum tentang penggunaan bahasa, teori tindak tutur mungkin merupakan isu yang paling luas menarik minat. Para psikolog, misalnya mengemukakan bahwa pemerolehan konsep-konsep yang melandasi tindak tutur mungkin merupakan prasyarat bagi pemerolehan bahasa pada umumnya. Para filosof melihat potensi ini untuk diterapkan, antara lain dalam pelajaran etika. Sementara para linguis melihat pentingnya teori tindak tutur sebagai sesuatu yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan-persoalan dalam sintaksis, semantic, dan belajar bahasa kedua. Dalam kehidupan sehari-hari, tiap anggota masyarakat selalu melakukan interaksi sosial. Dalam interaksi sosial tersebut, pada umumnya, mereka menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam hal ini, penggunaan bahasa tersebut dapat berupa wacana ataupun percakapan yang diwujudkan menggunakan satu, beberapa, atau banyak tuturan. Tiap tuturan (dalam wacana atau percakapan) yang disampaikan oleh penutur atau penulis kepada mitra tutur atau pembaca mempunyai makna atau maksud dengan tujuan tertentu. Makna atau maksud dan tujuan tuturan itu (dapat dikatakan) menyatakan tindakan. Maksud dan tujuan yang menyatakan tindakan yang melekat pada tuturan itu disebut dengan tindak tutur. Hal itu sejalan dengan pandangan Grice (1975) yang menyatakan bahwa berkomunikasi itu ibarat suatu proses kerja sama antara penyapa dan pesapa melalui wahana bahasa untuk mencapai negosiasi makna. Setiap percakapan tentu akan menimbulkan penafsiran terhadap mitra tutur. Sudah tentu tindak tutur mampu membantu penutur maupun mitra tutur untuk mengartikan maksud tuturan. Dengan tindak tutur yang tepat tentu maksud tuturan akan tersampaikan dengan sempurna sesuai dengan konteks tuturan. Pemahaman terhadap tuturan juga akan mempermudah komunikasi antara penutur dengan mitra tutur. Kemengertian itu juga akan menjadi dasar komunikasi selanjutnya yang akan dilakukan. Komunikasi yang baik akan terjadi apabila antara penutur dan mitra tutur terjadi kesalingmengertian sehingga komunikasi akan terjalin dengan baik.

2. Penggunaan Bahasa dalam Percakapan Pemahaman terhadap penggunaan tindak tutur pelaku tutur dalam suatu percakapan berdasarkan paradigma fungsional dilakukan dengan cara memandang pemakaian bahasa dalam suatu percakapan sebagai penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Dalam pandangan tersebut, suatu percakapan dapat dikatakan sebagai peristiwa tutur dan sebagai wacana. Sebagai peristiwa tutur, percakapan merupakan aktivitas komunikasi verbal berupa rangkaian ujaran pelaku tutur dalam konteks interaksi sosial budaya penuturnya (Hymes, 1974 dan Yule, 1998). Kemudian sebagai wacana, suatu percakapan merupakan aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial berupa peristiwa komunikasi yang ditandai oleh penggunaan bahasa antara penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan sosial (Cook, 1989 dan Richard, 1995:3). Secara singkat, dapat dikatakan bahwa suatu percakapan merupakan peristiwa tutur berbentuk wacana yang terlihat sebagai aktivitas penggunaan bahasa berupa sebuah pertukaran tuturan bersemuka antara penutur dan mitra tutur untuk mencapai tujuan sosial sesuai dengan norma sosial budaya yang berlaku di tempat terjadinya interaksi. Upaya menempatkan suatu percakapan sebagai peristiwa tutur berbentuk wacana dalam norma sosial budaya penuturnya dapat dikategorikan ke dalam kajian terhadap bahasa berdasarkan pendekatan sosiolinguistik dan antropologi dengan melibatkan pragmatik. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Shiffrin (1994:97-105) bahwa kajian sosiolinguistik dan antropologi terhadap bahasa dengan melibatkan kajian pragmatik merupakan kajian sosiolinguistik interaksional. Shiffrin (1994:137) menegaskan bahwa pendekatan pragmatik yang melihat percakapan sebagai wacana sering dikaitkan dengan pendekatan sosiolinguistik dan antropologi yang melihat percakapan sebagai pemakaian bahasa berdasarkan norma sosial budaya penuturnya. Hal itu dilakukan berdasarkan pengakuan terhadap adanya kemungkinan dan kebiasaan komunikasi dalam suatu budaya dan fakta bahwa masing-masing kebiasaan itu merupakan bagian yang terintegrasi dengan hal yang diketahui dan dilakukan peserta tutur sebagai anggota budaya tertentu. Sementara itu, Leech (1995:15-16) mengatakan bahwa kajian percakapan yang membatasi diri pada kondisi-kondisi sosial tertentu dan terikat pada data percakapan lokal merupakan bidang kajian sosiopragmatik. Hal itu berdasarkan kenyataan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan beroperasi secara berbeda dalam kebudayaankebudayaan dan masyarakat bahasa berbeda, dalam situasi sosial berbeda, kelas sosial berbeda, dan sebagainya. Kemudian, tuturan siswa dalam suatu percakapan merupakan unit terkecil dari peristiwa tutur. Sebagai unit terkecil peristiwa tutur, tuturan dapat dipandang sebagai tindak tutur atau tuturan yang menyatakan tindakan.

Berdasarkan paradigma tersebut, kajian terhadap penggunaan tindak tutur siswa dalam suatu percakapan perlu dilakukan dengan menggunakan beberapa ancangan teoretis sebagai satu kesatuan yang bersifat eklektik. Ancangan teoretis yang dimaksud adalah gabungan beberapa teori, mencakup: teori tindak tutur, pragmatik, dan sosiolinguistik termasuk etnografi komunikasi. Hal tersebut dapat dilihat pada uraian berikut. 3. Peran Teori Tindak Tutur Teori tindak tutur digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi tindak tutur dalam tuturan siswa dalam suatu percakapan. Hal itu bertolak dari pandangan bahwa tuturan yang bervariasi dalam percakapan siswa terhadap guru dan terhadap siswa di kelas menunjukkan adanya tindak tutur siswa yang bervariasi, baik bentuk, fungsi maupun strategi penyampaiannya. Keberadaan tindak tutur siswa tersebut perlu diidentifikasi melalui tuturan mereka dalam suatu percakapan. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tindak tutur siswa tersebut adalah teori tindak tutur. Dalam hal ini, berdasarkan teori tindak tutur Austin, Brown dan Yule (1986:250) menjelaskan bahwa tiap jenis tindak tutur yang dinyatakan dengan verba performatif eksplisit dapat dikenali melalui keadaan atau kondisi yang menyertainya dan verba performatif yang secara eksplisit menandainya. Ujaran: Saya namakan kapal ini the Queen Elizabeth dapat dikenali sebagai tindak tutur dari kondisi yang menyertainya, yaitu menyenangkan dan verba performatif (namakan) yang menyatakan tindakan. Kemudian tiap jenis tindak tutur yang dinyatakan dengan verba yang relatif sulit dikenali, dapat dikenali melalui kondisi dalam penggunaannya. Misalnya: Keluar dapat diidentifikasi sebagai bentuk tindak tutur direktif yang menyatakan perintah, jika (kondisinya) digunakan guru untuk menyuruh siswa keluar dari kelas. 4. Peran Pragmatik Pragmatik digunakan dalam kajian penggunaan tindak tutur siswa dalam suatu percakapan untuk mengidentifikasi tindak tutur siswa dalam percakapan siswa terhadap guru dan terhadap siswa. Dalam hal ini, penggunaan tindak tutur siswa terhadap guru dan terhadap siswa dalam suatu percakapan dapat dinyatakan dengan tuturan bermodus deklaratif, interogatif, atau imperatif yang tidak ditandai modalitas dan verba eksplisit. Penggunaan tindak tutur yang demikian itu perlu dipahami dengan melibatkan pragmatik sebagai studi kebahasaan yang bertugas mempelajari makna tuturan berdasarkan konteks. Hal itu tampak pada pandangan yang disampaikan Leech (1983) (dalam Wijana, 1996:6) bahwa pragmatik adalah studi kebahasaan yang terkait konteks. Dalam hal ini, kajian 3

pragmatik menyangkut makna tuturan dalam hubungannya dengan situasi tutur. Sejalan dengan pendapat tersebut, Van Dijk (1977) (dalam Bachman 1990:89) mengatakan bahwa dalam kajian pragmatik, kaidah-kaidah konvensional bahasa dan manifestasinya dalam pengucapan dalam bentuk tuturan merupakan domain empiris dalam interpretasi. Leech (1993:1) mengatakan bahwa upaya menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman pragmatik, yaitu bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Berdasarkan pendapat Jucker (1998), Dardjowijojo (2003:26) secara jelas mengungkapkan bahwa pragmatik merujuk ke kajian makna dalam penggunaan bahasa pada interaksi antarpenutur. Karena mengkaji makna penggunaan bahasa dalam interaksi, maka pragmatik juga memperhatikan aspek-aspek lain dalam komunikasi, seperti pengetahuan dunia, hubungan antara pembicara dan pendengar ataupun orang ketiga, dan macam-macam tindak tutur. Berdasarkan uraian tersebut, suatu tuturan dalam konteks dapat mempunyai berbagai makna atau maksud ataupun fungsi berbeda-beda. Hal itu dapat diungkap melalui pemahaman secara pragmatik. Wijana (1996) memberikan contoh sebagai berikut: Letaknya jauh dari kota. Secara formal, tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya, kalimat tersebut merupakan kalimat deklaratif, yang berfungsi untuk menginformasikan sesuatu, yakni tempat yang bersangkutan jauh dari kota. Tetapi bila konteks keberadaan kalimat itu dipertimbangkan secara seksama, suatu kalimat (atau tuturan) memungkinkan untuk menyatakan berbagai maksud. Misalnya tuturan letaknya jauh dari kota dalam pada 5. b, berbeda dengan yang terdapat pada 6. 5. a : Kita berangkat ke Sanur hari Minggu, ya? b : Letaknya jauh dari kota. Rumahku kosong. Orang tuaku sedang tidak di rumah. 6. Telah dibuka warung sate Tegal. Letaknya jauh dari kota. Hawanya Tempat parkirnya luas. Tuturan Letaknya jauh dari kota pada 5. b berfungsi untuk secara tidak langsung menolak ajakan Mt, sedangkan pada 6 berfungsi membujuk Mt dalam hal ini calon konsumen secara tidak langsung menyatakan bahwa warung sate itu tenang, jauh dari keramaian kota, bebas polusi, dan sebagainya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kalimat sebagai tuturan akan jelas maknanya bila berada dalam konteks. Dengan terungkapnya makna atau maksud tuturan dalam konteks interaksi, dapat identifikasi secara jelas fungsi tindak tutur yang disampaikan Pn terhadap Mt, misalnya meminta, menanyakan sebagai fungsi direktif atau menolak, melaporkan sebagai fungsi segar.

asertif. Kemudian dapat pula diidentifikasi secara jelas tuturan sebagai bentuk tindak tutur, seperti tuturan dengan modus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Hal itu sekaligus mengungkapkan strategi penyampaian tindak tutur, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini, Brown dan Levinson (1978) mengatakan bahwa tuturan yang mengekspresikan tindak tutur pada umumnya menggambarkan strategi tertentu. Berdasarkan kelangsungan dan ketidaklangsungan penyampaian tindak tutur, Searle (1975) mengemukakan bahwa berdasarkan kemungkinan pengaruh ujaran dalam konteks, pada kesempatan tertentu, strategi penyampaiannya dapat dibedakan atas tindak tutur langsung dan tak langsung. Coulthard (1979:26-28), Wijana (1996:29-33), dan Brown dan Yule (1986:232) menjelaskan bahwa tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang realisasinya memfungsikan tuturan secara konvensional; tuturan deklaratif difungsikan secara konvensional untuk menginformasikan sesuatu, tuturan interogatif untuk bertanya; dan tuturan imperatif untuk menyuruh, mengajak, atau memohon. Sedangkan tindak tutur tak langsung adalah tindak tutur yang realisasinya tidak memfungsikan tuturan atau kalimat secara konvensional; maksud untuk memerintah dapat dituturkan dalam tuturan deklaratif atau interogatif agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Dalam upaya memahami penggunaan tindak tutur pelaku tutur dalam suatu percakapan, kajian pragmatik juga diperlukan untuk menilai dan menjelaskan kebenaran dan kondisi yang mendukung penggunaan tindak tutur, untuk menentukan pencapaian pemahaman bersama, dan untuk menentukan kewajaran dan kesopanan penggunaan tindak tutur siswa berdasarkan norma yang berlaku dalam interaksi dan suatu percakapan. Pemahaman tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis kekoherensian tujuan, maksud, atau makna sosial melalui pola tutur berupa pasangan berdekatan. Kajian tindak tutur yang demikian itu dapat dikategorikan dalam analisis wacana percakapan. Renkema (1993) (dalam Pramono, 1998:64) menjelaskan bahwa analisis hubungan mengenai bentuk dan fungsi bahasa dalam struktur interaksi verbal merupakan analisis wacana. Analisis wacana merupakan cabang pragmatik. 5. Peran Sosiolinguistik dan Etnografi Komunikasi Dalam kajian terhadap penggunaan tindak tutur siswa dalam suatu percakapan, juga dilibatkan kajian sosiolinguistik. Kajian sosiolinguistik digunakan untuk mengidentifikasi dan memahami ciri-ciri kebahasaan dan norma sosial yang berperan sebagai pemicu penggunaan bahasa berupa tindak tutur dalam percakapan. Adanya kajian tersebut akan membantu mendapatkan gambaran tentang kewajaran dan kesantunan penggunaan tindak tutur pelaku tutur dalam norma sosial dan budaya yang berlaku dalam interaksi sosial. Hal tersebut sejalan dengan 5

yang dikatakan Holmes (2001:1) bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat. Dalam kajian tersebut tercakup upaya menyelidiki fungsi-fungsi (makna, maksud, atau tujuan) sosial penggunaan bahasa dan cara-cara orang menggunakan bahasa untuk menyampaikan fungsi atau makna sosial. Dalam konteks sosial yang berbeda, seseorang akan memperhatikan hal, seperti dengan siapa, di mana, atau kapan berbicara, dan kemudian menentukan pilihan bahasa dan cara atau gaya berbicara. Pemahaman terhadap penggunaan tindak tutur dalam suatu percakapan secara sosiolinguistik, dilakukan dengan cara seperti disarankan Holmes (2001:13) yang menyatakan bahwa langkah-langkah penting yang perlu dilakukan untuk dapat memberikan penjelasan terhadap pemakaian bahasa dalam kehidupan sosial masyarakat adalah dengan: (1) mengidentifikasi dengan cermat pilihan bahasa yang dilibatkan, yaitu variasi linguistik (kosa kata, bunyi, intonasi, konstruksi gramatikal, dialek, dan bahasa) dan (2) mengidentifikasi secara cermat faktor-faktor nonlinguistik atau faktor sosial yang berbeda yang mengiringi penutur menggunakan suatu bentuk (ciri-ciri tersebut berkaitan dengan peserta, latar, atau fungsi interaksi), bukannya bentuk yang lain. Pemahaman terhadap penggunaan tindak tutur dalam interaksi dapat juga melibatkan kajian etnografi komunikasi. Hal itu dilakukan karena pada prinsipnya, kajian terhadap tindak tutur dalam percakapan berupaya mendeskripsikan dan menjelaskan penggunaan tindak tutur penutur berdasarkan kaidah komunikasi verbal dalam interaksi sosial diwarnai norma sosial budaya masyarakat tuturnya. Ancangan etnografi komunikasi yang dimaksud biasanya mengacu kepada pandangan Hymes (dalam Ibrahim, 1993:295) yang menyatakan bahwa pendekatan terhadap sosiolinguistik di mana penggunaan bahasa dihubungkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural disebut etnografi bicara atau etnografi komunikasi. Hymes (1972) (dalam Ibrahim, 1993:35-42 dan Sumarsono, 2003:311) juga menjelaskan bahwa etnografi komunikasi berupaya menelaah pula penggunaan tuturan atau ragam tuturan dalam budaya tertentu. Kajian tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk kajian penggunaan tindak tutur dan fungsi tutur serta pola dalam bertindak tutur pada situasi dan peristiwa tutur yang terjadi secara alami. Kajian etnografi komunikasi tersebut dapat membantu dalam memahami norma sosial budaya yang berpengaruh terhadap penggunaan tindak tutur ilokusi pelaku tutur. Hal tersebut selanjutnya dapat membantu memberi gambaran tentang kewajaran dan kesantunan penggunaan tindak tutur pelaku tutur berdasarkan norma sosial dan budaya dalam suatu percakapan. Untuk keperluan tersebut, pemahaman dilakukan dengan berpedoman pada pendapat Hymes (1972) (dalam Ibrahim, 1993:35) yang menyatakan bahwa dalam mengkaji

penggunaan bahasa pada interaksi sosial, perlu diperhatikan unit-unit deskrit aktivitas komunikasi yang memiliki batasan-batasan yang bisa diketahui. Unit-unit yang dimaksud adalah (a) situasi, (b) peristiwa, dan (c) tindak komunikatif. Dalam pandangan tersebut, tuturan pelaku tutur (siswa dan guru) dipandang sebagai tindak komunikatif atau tindak tutur yang digunakan untuk mencapai tujuan sosial tertentu. Sebagai tindak komunikatif, dalam suatu percakapan (peristiwa tutur), tuturan siswa mempunyai pola atau ciri tersendiri dalam pilihan bahasa dan pilihan variasi linguistik. Pola atau ciri tersebut dipengaruhi oleh situasi saat terjadinya komunikasi. Pola atau ciri pemakaian bahasa tersebut menggambarkan pola atau ciri pemakaian bahasa dalam norma sosial budaya masyarakat tuturnya. Sejalan dengan uraian tersebut, percakapan sebagai peristiwa tutur mempunyai komponen tertentu. Komponen tersebut berpengaruh terhadap pilihan bahasa dan pilihan variasi linguistik dan membentuk pola atau ciri penggunaan tindak tutur dalam percakapan antara pelaku tutur. Komponen tersebut disebut komponen tutur. Komponen tutur tersebut oleh Hymes diakronimkan dengan SPEAKING (Hymes, 1974, Wardaugh, 1998:242; Duranti, 2000:288). Dalam penelitian ini, akronim tersebut berfungsi sebagai pedoman untuk mendapatkan gambaran tentang pola atau ciri penggunaan tindak tutur dalam norma sosial budaya yang berlaku di kelas. Komponenkomponen tersebut dapat dilengkapi dengan pandangan-pandangan ahli lain yang sejalan. Komponen tutur tersebut mencakup latar, partisipan, tujuan, isi pesan, kunci, saluran, norma, dan genre. Secara jelas, hal tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini. Latar mencakup tempat tutur dan suasana tutur. Tempat tutur mengacu kepada keadaan fisik, sedangkan suasana tutur mengacu pada suasana psikologis (formal-informal). Tempat dan suasana tutur dapat mempengaruhi pilihan bahasa. Coulthard (1995) menjelaskan bahwa pemilihan bahasa pada tempat dengan suasana resmi cenderung menggunakan formal, seperti di tempat rapat. Dalam percakapan yang dilakukan di taman ataupun di kantin dalam keadaan santai cenderung menggunakan tidak formal. Wardhaugh (1996:296) menyatakan bahwa latar terkait juga dengan derajat keformalan. Dalam latar tertentu, partisipan tutur merasa bebas mengubah suasana ketika mereka mengubah kadar formalitas (misalnya serius ke gurauan) atau mengubah aktivitas di dalamnya. Holmes, (2001) mengatakan bahwa untuk mengukur pengaruh latar sosial terhadap pilihan bahasa atau jenis bahasa dapat digunakan skala formalitas. Dalam situasi transaksi formal, seperti dengan manajer bank di kantornya, bahasanya bersifat formal dan dalam situasi santai, bahasa bersifat informal. Karena dipengaruhi oleh formalitas latarnya, penggunaan bahasa tulis yang bersifat formal cenderung tertata rapi dan menggunakan kata-kata formal. Derajat formalitasnya kebanyakan ditentukan 7

oleh hubungan status dan solidaritas, tetapi dalam situasi yang sangat formal akan mempengaruhi pilihan bahasa tanpa memperdulikan hubungan pribadi antara penuturnya. Namun, dalam situasi atau tempat yang bersifat formal, penggunaan bahasa lisan sering terasa tidak terlalu formal karena ada kalanya tidak tertata dengan baik dan adanya penggunaan kata sapaan sebagai penanda persahabatan atau penghormatan. Partisipan mengacu pada PnMt dan pendengar, yang terlibat dalam aktivitas komunikasi yang mempunyai status (berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, kelas sosial, tingkat sosial, dan sebagainya) dan peran sosial tertentu. Status dan peran sosial partisipan tersebut secara signifikan mempengaruhi penggunaan bahasanya. Holmes (2001) menjelaskan bahwa semakin tinggi peran dan status sosial seseorang semakin besar kewenangannya. Sebaliknya, semakin rendah peran dan status sosial seseorang semakin kecil kewenangannya. Hal ini merujuk pada relevansi status relatif (sesuai tempat terjadinya interaksi) dalam pilihan linguistik. Misalnya, kata Sir (dalam bahasa Inggris) yang diucap Ray kepada kepala sekolah yang statusnya lebih tinggi di sekolah dan berhak menyandang istilah terhormat. Tujuan mengacu pada hasil yang diharapkan yang tergambar pada maksud, fungsi, dan tujuan pengekspresian tutur oleh Pn terhadap Mt. Dalam suatu peristiwa tutur, ada tujuan pribadi dan tujuan umum yang hendak dicapai. Dalam proses pembelajaran, tujuan pribadi guru dapat berbeda dengan siswa, dan tujuan pribadi seorang siswa dapat berbeda dengan siswa lain. Dalam pembelajaran di kelas, tujuan-tujuan itu dapat mempengaruhi penggunaan bahasa guru maupun siswa. Misalnya, dalam pembelajaran di kelas siswa mempunyai tujuan pribadi menyampaikan pendapat, menolak, dan sebagainya. Kemudian tujuan itu ada juga yang berupa basa-basi, misalnya sekadar menyampaikan terima kasih. Itu dilakukan terhadap sesama siswa untuk memenuhi norma yang berlaku, bila tidak dilakukan akan terasa aneh atau dianggap tidak wajar dan tidak sopan, atau menyalahi norma yang berlaku. Misalnya, Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya!. Dalam suatu percakapan, tujuan umum mengacu pada tujuan belajar mengajar. Isi pesan mengacu kepada hal yang dikatakan, yang mencakup topik, bentuk penyampaian topik, dan perubahan topik. Anggota suatu masyarakat tutur semestinya tahu topik yang sedang dipercakapkan, kapan topik itu berubah, dan bagaimana mempertahankan topik itu agar tetap menjadi bahan percakapan. Dalam hal ini, topik pembicaraan dan perubahannya akan berpengaruh pada pemilihan bahasanya. Geertz (1973) mengungkapkan bahwa The Javanese used lower style when speaking sosial matters, higher ones if speaking of religious or aesthetic matter. Pn Jawa itu menggunakan pola Ngoko bila topik yang

dibicarakan itu bersifat sehari-hari, dan menggunakan Kromo bila berbicara tentang kebenaran seperti agama dan seni. Kunci dalam komponen tindak tutur Hymes (1974) merujuk pada nada tutur seirama dengan sikap dan tingkah laku penuturnya. Kunci itu kelihatan dari sikap pembicara dengan teman tuturnya, pilihan , dan penataan nosi dan fungsi sesuai dengan norma tata krama menurut budaya yang dimiliki penuturnya. Suatu tindak tutur yang sama, dengan latar dan partisipasi yang sama akan berbeda bila ada kunci yang berbeda, misalnya serius atau main-main. Menurut Hymes, ujaran yang diucapkan dengan nada kasar akan mempunyai arti berlawanan. Orang yang diajak bicara, akan tahu kuncinya dengan melihat tanda-tanda khusus seperti, kerdipan mata, senyuman, postur, aspirasi, dan panjang pendeknya bunyi. Aku benci kamu. Dengan senyuman dan kerdipan, dapat berarti sebaliknya. Hymes (1974) menekankan bahwa, it is a general principle that rules of speaking involve message from, if not by affecting its shape, then by governing its interpretation. Suatu ujaran bisa mempunyai interpretasi yang berbeda-beda, yaitu bisa diinterpretasikan negatif dan positif. Menurut Coulthard (1995) an act may the ten positive face by belittling or negative face by imposing. Misalnya, seseorang dipanggil dengan nama kecilnya oleh teman-temannya, maka ia tidak marah. Tapi jika yang memanggilnya bukan temannya atau kelompoknya maka ia akan marah. Ia akan marah walaupun temannya yang memanggil pada saat dia sedang bekerja. Jadi, bentuk pesan yang sama akan menimbulkan interpretasi yang berbeda di tempat, waktu dan kejadian yang berbeda. Menurut Sumarsono (2002:329) bahwa jika ada konflik antara kunci dan isi tindak tutur, maka kunci mengalahkan isi. Saluran mengacu pada sarana komunikasi berupa tulisan, lisan, isyarat, percakapan telepon, dan sebagainya. Penggunaan saluran komunikasi dapat mempengaruhi bahasa yang digunakan. Ragam bahasa dengan menggunakan saluran lisan untuk percakapan tatap muka berbeda dengan ragam bahasa menggunakan untuk saluran lisan untuk telepon. Norma mengacu pada aturan. Ada aturan yang harus diperhatikan dalam bertutur. Aturan-aturan tersebut telah disepakati oleh masyarakat tutur walaupun tidak tertulis. Namun bila ada yang melanggar, maka akan terjadi konflik, kejutan, timbulnya kesan negatif, dan sebagainya. Aturan tiap masyarakat tutur tidak sama, bergantung kesepakatan atau norma masyarakat tuturnya. Borwn dan Yule (1986:72) menjelaskan bahwa penerapan norma itu dapat dilihat dalam penentuan gilir tutur. May (1996:217) menjelaskan bahwa pada satu sisi, ada jeda-jeda alamiah dalam setiap percakapan. Seorang Pn harus berhenti sejenak untuk bernafas, atau menghindar untuk menyatakan hal-hal tertentu, atau hanya untuk mendeklarasikan bahwa kontribusinya telah selesai. Semua itu merupakan titik transisi alami 9

dalam percakapan yang dapat digunakan pelaku tutur untuk bertutur. Titik-titik semacam ini secara teknis disebut tempat relevansi transisi. Sejalan dengan hal tersebut, Sumarsono (2002:333) mengatakan bahwa pelaku tutur harus pandai-pandai melakukan interpretasi (atau dalam budaya Jawa disebut pandai membaca sasmita) agar dapat menentukan kapan saat yang tepat untuk memohon, minta izin, dan sebagainya. Genre mengacu pada jenis atau kategori-kategori, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya. Jika Pn akan menggunakan puisi untuk menyampaikan ide atau gagasannya, maka berbeda kategorinya dengan pepatah atau kategori lain. Menurut (Coulhard, 1995) bahwa suatu genre bisa terjadi karena tujuan tertentu dalam tempat tertentu dengan partisipasi tertentu. Dengan memanfaatkan prinsip-prinsip pemahaman secara sosiopragmatik dengan model kajian etnografi tersebut, penggunaan tindak tutur siswa dalam suatu percakapan yang mencakup penggunaan bentuk, fungsi, dan strategi penyampaian tindak tutur dapat diidentifikasi, di interpretasi, dan dieksplanasi. 6. Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan ha-hal sebagai berikut . 1. Teori tindak tutur digunakan untuk mengidentifikasi tindak tutur dalam tuturan siswa dalam suatu percakapan. Hal itu bertolak dari pandangan bahwa tuturan yang bervariasi dalam percakapan siswa terhadap guru dan terhadap siswa di kelas menunjukkan adanya tindak tutur siswa yang bervariasi, baik bentuk, fungsi maupun strategi penyampaiannya. 2. Dalam upaya memahami penggunaan tindak tutur pelaku tutur dalam suatu percakapan, kajian pragmatik juga diperlukan untuk menilai dan menjelaskan kebenaran dan kondisi yang mendukung penggunaan tindak tutur, untuk menentukan pencapaian pemahaman bersama, dan untuk menentukan kewajaran dan kesopanan penggunaan tindak tutur siswa berdasarkan norma yang berlaku dalam interaksi dan suatu percakapan.

You might also like