You are on page 1of 2

I. PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Curah hujan di Indonesia merupakan salah satu faktor pemicu bencana tanah longsor yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan bangunan fisik di permukaan bumi, sehingga mengakibatkan buruknya sector perekonomian disuatu daerah serta dapat mengancam jiwa manusia. Olehkarena itu analisa butir curah hujan sangatlah penting dipelajari untuk memantau dan mengidentifikasi kerawanan suatu daerah. 1.2. Tujuan Menduga distribusi ukuran butir hujan pada berbagai kondisi atmosfer (awal atau akhir hujan). II. TINJAUAN PUSTAKA Presipitasi adalah nama umum dari uap yang mengkondensasi dan jatuh ke tanah dalam rangkaian daur hidrologi. Jumlah presipitasi selalu dinyatakan dengan dalamnya presipitasi (mm). Derajat curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam suatu satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan. Satuan yang dipakai adalah mm/jam. Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daera yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu (Sosrodarsono dan Takeda, 2003). Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi non-cair seperti salju, batu es dan slit. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Di Bumi, hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dua proses yang mungkin terjadi bersamaan dapat mendorong udara semakin jenuh menjelang hujan, yaitu pendinginan udara atau penambahan uap air ke udara. Virga adalah presipitasi yang jatuh ke Bumi namun menguap sebelum mencapai daratan; inilah satu cara penjenuhan udara. Presipitasi terbentuk

melalui tabrakan antara butir air atau kristal es dengan awan. Butir hujan memilik ukuran yang beragam mulai dari pepat, mirip panekuk (butir besar), hingga bola kecil (butir kecil). Ukuran titik hujan dibatasi dari diameter paling kecil (sekitar 0.5 mm) sampai paling besar (sekitar 6 mm). Metode yang digunakan untuk mengukur diameter titik hujan antara lain dengan menggunakan metode kertas penghisap yang terdiri dari beberapa kertas filter, kemudian diletakkan di awan hujan dan dilakukan pengukuran terhadap bintik yang disebabkan oleh titik hujan, metode yang sering digunakan untuk mengukur diameter titik hujan adalah dengan menggunakan tepung yang diletakkan pada sebuah tempat dan dibiarkan terbuka di bawah hujan, kemudian dapat dihitung diameter berupa butir-butir hujan salah satunya adalah hasil pengukuran oleh Laws dan Parson. Pengukuran yang terbaru dilakukan dengan menggunakan peralatan yang modern, antara lain : electromechanical sensor yang dikenal dengan nama Disdrometer, electrostatic sensor dan optical detector. Dengan menggunakan metode diatas diameter titik hujan terkecil yang bisa diukur hanya 0.1 mm. Untuk melakukan pengukuran pada titik hujan yang berdiameter sangat kecil digunakan suatu metode yang menggunakan panci yang di dalamnya diberi minyak kemudian diletakkan di bawah hujan. Maka titik-titik hujan yang mengapung diatas minyak dengan ukuran yang relatif kecil dapat diukur. Diameter titik hujan terkecil yang dapat diukur adalah 0.025 mm. Pengukuran fotografik dari bentuk curah hujan telah banyak dibuat oleh para peneliti. Pengukuran ini menunjukkan bahwa titik hujan yang memiliki diameter > 1 mm mempunyai bentuk spheroidal (seperti bola) dengan dasar yang datar. Dimana pada prosesnya titik hujan yang jatuh akan berbentuk prolate spheroid dan setelah jatuh diatas permukaan tanah akan berbentuk oblate spheroid. Bentuk dari titik hujan dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini :

diulangi hingga lima kali untuk mendapatkan lima ulangan. d) Tuliskan volume tetesan pada setiap kuadran. e) Setelah kering, ukur diameter noda. f) Buatlah kurva kalibrasi yang menghubungkan antara volume butir hujan pada sumbu y dengan diameter noda yang dihasilkan pada sumbu x. 3.3.2 Pengukuran a. Pada hari hujan, keluarlah dengan kertas saring yang telah diwarnai dan direntangkan pada bingkainya. Lindungi penangkap butir hujan ini dengan payung. b. Keluarkanlah penangkap tersebut dari lindungan payung agar tertetesi butir hujan, usahakan agar tetesan payung tidak menodai penangkap. c. Mencatat waktu mulai terjadinya hujan, jujuh (duration) hujan, keadaan cuaca pada umumnya termasuk kecepatan angin dan arah angin, tipe awan pada saat itu dan tempat pengukuran pada saat melakukan penangkapan butir hujan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Contoh perhitungan Dimana a adalah jari-jari tinggi titik hujan dan b adalah jari-jari lebar titik hujan.

III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Praktikum Sebelum praktikan mengerjakan pengukuran butir hujan, praktikan melakukan kalibrasi terlebih dahulu di Ruang Kelas H103 pada tanggal 14 September 2011. 3.2. Bahan dan Alat a) Kertas saring yang diwarnai dengan larutan bromkresol hijau b) Bingkai perentang kertas saring c) Suntikan mikroliter dengan jarumnya d) Suntikan biasa dengan jarumnya e) Air destilata f) Penggaris g) Payung h) Alat tulis 3.3. Langkah kerja 3.3.1 Kalibrasi Berikut adalah langkah kerja dalam mengkalibrasi. a) Buatlah kuadran pada kertas saring yang telah diwarnai dan direntangkan pada bingkainya. b) Teteskanlah beberapa butir air destilata menggunakan suntikan mikroliter atau suntikan biasa dengan volume tertentu pada kuadran pertama. c) Ulangi langkah kedua hingga memperoleh sejumlah tetesan dengan volume yang berbeda (5 10, 15, 20, 25, 30 l) dan masing-masing

35 30
Volume (liter)

25 20 15 10 5 0 0 1 2 3 4
Diameter rata-rata (cm)

V.

You might also like