You are on page 1of 4

Palar Siahaan 0806352372

Pelaksanaan Pengamanan di Selat Malaka

Isu PSI memiliki pengaruh signifikan terhadap isu keamanan di Selat Malaka. Penolakan Indonesia untuk bergabung dengan PSI berkonsekuensi pada tuntutan kapabilitas Indonesia untuk mengamankan Selat Malaka yang merupakan salah satu nadi perdagangan baik bagi Indonesia maupun littoral state, yakni Malaysia dan Singapura. Kebijakan Indonesia dengan menolak ajakan AS untuk masuk ke dalam PSI juga memiliki dampak terhadap hubungan Indonesia dengan user state (negara-negara yang menggunakan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan, seperti AS). Dengan demikian, untuk melihat upaya pelaksanaan pengamanan di Selat Malaka oleh Indonesia, kita perlu memperhatikan hubungan Indonesia dengan littoral state dan juga user state. Adapun hukum internasional yang berhubungan dengan keamanan di Selat Malaka ialah Pasal 34 ayat 1 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang berbunyi: the regime of passage through straits used for international navigation established in this Part shall not in other respects affect the legal status of the waters forming such straits or the exercise by the States bordering the straits of their sovereignty or jurisdiction over such waters and their air space, bed and subsoil Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa di Selat Malaka berlaku rezim khusus, yaitu meskipun Selat tersebut digunakan untuk pelayaran internasional, tapi pemilik kedaulatan selat adalah ketiga negara (littoral state) yang mengelilinginya, yaitu Indonesia, Singapura, dan Malaysia yang merupakan laut teritorial negara tersebut. Lebih lanjut, UNCLOS juga mengatur hak lintas transit negara pengguna (user state) di Selat Malaka yang dijabarkan dalam Pasal 39 bahwa negara pengguna (user state) Selat Malaka harus menghormati kedaulatan dan hak berdaulat littoral state di Selat Malaka seperti yang meliputi berlayar tanpa henti, terus-menerus, serta secepat mungkin dengan cara sewajarnya, kecuali diperlukan alasan untuk force majeure. Selain itu, negara pengguna dikenakan prinsip tidak mengancam dan atau menggunakan kekuatan apapun yang mengancam kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan dengan selat, atau menggunakan cara lain yang bertentangan dengan hukum internasional. User state juga harus menaati peraturan hukum internasional mengenai keselamatan laut yang berkaitan dengan pencemaran dari kapal; menaati peraturan penerbangan yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) bagi pesawat udara sipil; tidak melakukan kegiatan penelitian atau survei tanpa izin littoral state; serta tidak

melakukan penangkapan ikan, menaikkan atau menurunkan komoditas, mata uang, ataupun manusia yang bertentangan dengan peraturan bea cukai, fiskal imigrasi, ataupun saniter littoral state. Dalam pasal 43 UNCLOS juga disebutkan bahwa negara pengguna (user state) dan littoral state harus bekerjasama dalam upaya peningkatan perbaikan dan keselamatan di Selat Malaka. Navigational and safety aids and other improvements and the prevention, reduction and control of pollution User States and states bordering a state should by agreement cooperate: (a) in the establishment and the maintenance in a state of necessary navigational and safety aids and other improvements in aid of international navigational; and (b) for the prevention, reduction, and control of pollution from ships. Oleh karena itu, littoral state (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) harus aktif bekerjasama dalam rangka pertahanan keamanan di Selat Malaka. Bagi Indonesia sendiri, pengamanan di Selat Malaka dilakukan dalam rangka untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengamanan Selat Malaka oleh Indonesia

Berdasarkan hukum international (UNCLOS tahun 1982), Indonesia sebagai littoral state memiliki kewajiban untuk melakukan upaya pengamanan di Selat Malaka. Sementara itu, sebagai negara berdaulat, Indonesia harus mengontrol campur tangan negara luar berikut segala aktivitasnya di Selat Malaka. Oleh karenanya, Indonesia dituntut untuk membuat mekanisme pengamanan sendiri di Selat Malaka guna menjaga keutuhan NKRI. Dalam hal ini, Indonesia memiliki institusi berwenang dalam menangani setiap persoalan keamanan, penegakan hukuk, serta keselamatan di Selat Malaka, yakni Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Polisi Republik Indonesia, dan Badan Koordinasi Keamanan Laut.1 Dalam praktiknya, TNI AL adalah institusi yang paling sering diandalkan karena ia merupakan barisan terdepan Indonesia di Selat Malaka. Dalam menjalankan upaya pengamanan di Selat Malaka, TNI AL melakukan berbagai operasi hingga operasi khusus yang berkaitan dengan usaha preventif dan represif. Akan tetapi, berbagai operasi TNI AL tersebut secara khusus dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis operasi, yakni Gelas Operasi Keamanan Laut dan Gelar Pangkalan dan Satuan Operasional TNI AL.

Pengamanan di Selat Malaka oleh Indonesia dan littoral state

Koesworo Setiawan. 2007. Buku Putih Keamanan Laut. Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut. Hal 78-79

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, keamanan di Selat Malaka (berdasarkan UNCLOS) merupakan tanggung jawab Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang merupakan littoral state. Oleh karena itu, sejak 20 Juli 2004 diluncurkan program Patroli Terkoordinasi (Patkor) Malsindo (Malaysia, Singapura, dan Indonesia di Singapura.2 Selain itu, littoral state sudah memiliki mekanisme tersendiri dalam pengamanan di Selat Malaka melalui the Joint Statement on the Malacca Strait of 16 November 1971 yang membentuk forum Ministerial Meetings, Senior Official Meetings dan Tripartite Technical Expert Group (TTEG). Hal ini dikarenakan masalah kemanan di Selat Malaka merupakan hal yang sangat sensitif bagi ketiga negara littoral state. Kerjasama lain juga terjalin antara Indonesia dan Singapura pada tanggal 27 Mei 2005 yang berupa pengadaan proyek Surface Picture (Surpic).3 Kerja sama tersebut ditandai dengan penandatanganan naskah kerja sama antara Komanda Gugus Kemanan Laut Komando Kemanan RI Kawasan Barat, Laksamana Pertama TNI Suyitno dan Komandan Coastal Command Republic of Singapore Navy, Kolonel Cheng Teow Hiang di Pangalan TNI AL (Lananl) Batam. Perlu diketahui bahwa Surpic merupakan suatu instrumen elktronika radar modern yang dapat memonitor perkembangan situasi di perairan Selat Malaka secara rinci. Bahkan ketiga negara littoral state (Malaysia, Singapura, dan Indonesia) sepakat untuk mengajak Thailand bergabung mengamankan Selat Malaka sejak Agustus 2005 yang didasari oleh letak geografis Thailand yang dekat dengan Selat Malaka. Sebagai langkah lanjut, pada tanggal 13 September 2005, para menteri pertahanan dari keempat negara yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand meluncurkan suatu kerja sama pengamanan melalui udara, Eyes in the Skiy (EiS)4, guna mendukung program patrol terkoordinasi (patkor) di Selat Malaka. Untuk mempermudah upaya menekan tindak kejahatan laut di Selat Malaka, masing-masing negara mendirikan incident hotline station, yakni Sabang, Dumai (Indonesia), Lumut (Malaysia), Pukhet (Thailand), dan Changi (Singapura).

Pengaman Selat Malaka oleh Indonesia bersama User State

Pada dasarnya, Indonesia bersikap terbuka terhadap berbagai bentuk kerja sama yang bertujuan untuk menghadapi ancaman-ancaman keamanan terhadap Selat Malaka dengan catatan selama bentuk kerjasama tersebut berdasarkan pada penghormatan kedaulatan dan hukum internasional. Sikap terbuka Indonesia tersebut didasari oleh kesadaran akan besarnya ancaman terhadap keamanan Selat Malaka. Indonesia terlihat diuntungkan oleh posisi geografis
2

http://beta.tnial.mil.id/cakrad_cetak.php?id=390, diakses pada tanggal 07 Desember 2011 Ibid Victor Huang dalam Building Maritime Security in Southeast Asia: Outside Not Welcome?, Naval War College

Review, Wntr, 2008

strategis Selat Malak yang merupakan salah satu nadi perdagangan internasional. Oleh karena itu, Indonesia berupaya untuk mengajak negara-negara pengguna (user state) jalur Selat Malaka untuk bersama-sama menjaga keamanan di Selat Malaka dengan dalih untuk menjaga kepentingan bersama. Salah satu upaya yang dilakukan Indonesia ialah dengan mendekati beberapa kelompok negara seperti Singapura, Malaysia, Filipina, India, Pakistan, Cina, dan Rusia dan negara-negara Eropa Timur.5 Hal demikian berdasarkan pendapat pengamat militer Andi Widjajanto mengenai Bab tujuh Peraturan Presiden (PP) no. 7 tahun 2005 tentang kerja sama militer internasional. Uniknya, kebijakan tersebut absen akan Amerika Serikat. Upaya Indonesia melalui PP tersebut kemudia nyata tertuang dalam penandatanganan Joint Declaration between Republic of Indonesia and RRC on Strategic Partnership oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 25 April 2005. Selanjutnya, pada November 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegasakan bahwa Indonesia dan Cina sepakat untuk meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan dan teknis militer dengan melakukan pengamanan di Selat Malaka.6

Pengamat Militer: Kebijakan Pertahanan Tanpa AS, Tepat, diakses dari

http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2005/04/28/brk,20050428-03,id.html pada 7 Desember 2011


6

Diakses dari

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/11/tgl/01/time/005915/idnews/702087/idkan al/10 pada 7 Desember 2011

You might also like