You are on page 1of 8

ANALISIS RISIKO PAPARAN DEBU KAPAS TERHADAP

PENURUNAN FUNGSI PARU PEKERJA INDUSTRI TEKSTIL PT.X



RISK ANALYSIS OF EXPOSURE TO COTTON DUST ON LUNG FUNCTION
IMPAIRMENT IN COTTON TEXTILE WORKERS PT.X

Rani
1
, Katharina Oginawati
2
Program Studi Teknik Lingkungan ITB, Jl. Ganeca 10, Bandung, 40132
Email:
1)
rani_kardita@yahoo.com,
2)
ogi@elga@net.id

Abstrak : Industri tekstil merupakan salah industri terbesar di Jawa Barat yang memberikan kontribusi
sebesar 65% terhadap devisa negara selain dari migas. Pekerja industri tekstil merupakan kelompok yang
berisiko mengalami penurunan fungsi pernafasan karena pada proses produksinya dihasilkan debu kapas
yang dapat mengganggu kesehatan paru. Penelitian ini dilakukan di PT.X pada unit spinning dan weaving
dengan metode cross sectional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh dari debu kapas
terhadap penurunan fungsi paru (FEV
1.0
) pekerja di unit spinning dan weaving. Jumlah sampel yang terpapar
adalah 40 orang dan jumlah sampel tidak terpapar adalah 25 orang dengan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Konsentrasi debu kapas yang terhirup dihitung dengan menggunakan personal dust sampler
dengan filter PVC dan kapasitas paru-paru diperiksa dengan menggunakan spirometer vitalograph. Dari
penelitian ini diketahui bahwa rata-rata debu kapas yang tertangkap oleh personal dust sampler di unit
weaving dan spinning adalah sebesar 1,248 mg/m
3
dan 0,909 mg/m
3
yang menunjukan bahwa nilai tersebut
telah melampuai NAB KepMen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.01/1997 yaitu sebesar 0,2 mg/m
3
. Hazard
Indeks pada unit weaving dan spinning adalah 1,22 dan 0,95. Nilai rata-rata FEV
1.0
pada unit weaving dan
spinning adalah sebesar 1,615 li dan 1,789 li atau telah mengalami penurunan sebesar 30,45% dan 28,68%
dari nilai prediksi normal PPI 1992 sesuai dengan tingkatan umur dan tinggi badan. Dari kurva dosis respon
antara ADD dengan FEV
1.0
terlihat adanya hubungan yang konsisten antara dosis debu kapas yang masuk
kedalam sistem pernafasan pekerja dengan penurunan nilai FEV
1.0
dengan nilai R 0,951
.
Kelompok yang
terpapar debu kapas mempunyai resiko relatif mengalami penurunan fungsi paru sedang (FEV
1.0
antara
40%-59%) sebesar 4,19 kali lebih besar daripada kelompok tidak terpapar debu, dan mengalami penurunan
fungsi paru ringan (FEV
1.0
antara 60%-79%) sebesar 1,67 kali lebih besar daripada kelompok tidak
terpapar debu kapas.

Kata Kunci : Debu kapas, FEV
1.0
, personal dust sampler, spirometer vitalograph, tekstil

Abstract : Textile industry is one of the largest industries in West Java, which contributed 65% of national
income other than oil and gas company. Cotton textile workers are a group of people that are potentially
risked of decreased respiratory function because of cotton dust which is produced during the process. This
research was conducted in PT.X on spinning and weaving units with cross sectional method. The purpose of
this study was to see the effect of cotton dust on lung function decline (FEV1.0) in the spinning and weaving
workers. The number of samples is 40 persons exposed and unexposed sample number is 25 people with
previously determined criteria. Inhalation of cotton dust concentration was calculated by using personal dust
sampler with PVC filters and lung capacity measurement using a spirometer vitalograph. From this research
note that the average of respirable cotton dust in weaving and spinning units amounted to 1,248 mg/m
3
and
0,909 mg/m
3
which shows that the value higher than the RfD from KepMen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.01/1997 that is equal to 0, 2 mg/m
3
. Hazard Index in weaving and spinning are 1,22 and 0,95. The
average value of FEV
1.0
on weaving and spinning units amounted to 1,615 and 1,789 li or has decreased
about 30,45% and 28,68% of the normal predicted value from PPI in 1997 according to age level and height.
From the dose response curve between ADD and FEV
1.0
there are consistency relationship between dose of
cotton dust enters the respiratory system of workers with decreasing of the FEV
1.0
with R value 0,920. The
group exposed to cotton dust have a relative risk of experiencing a moderate decline in lung function (FEV
1.0

between 40% -59%) by 4,2 times larger than the group not exposed to dust, and decreased lung function mild
(FEV
1.0
between 60% -79%) 1,67 times larger than the group not exposed to cotton dust.

Keywords : cotton dust, FEV
1.0
, personal dust sampler, spirometer vitalograph, textile

I. PENDAHULUAN
Industri tekstil selain menghasilkan kain grey dan kain jadi sebagai produk utama
juga menghasilkan pencemar berupa limbah padat, limbah cair, gas, bising dan debu kapas.
Pekerja industri tekstil merupakan kelompok yang berisiko mengalami penurunan fungsi
pernafasan karena pada proses produksinya dihasilkan debu kapas yang dapat mengganggu
kesehatan paru. Pada lingkungan industri tekstil sering dijumpai penyakit Byssinosis.
Penyakit ini memberikan keluhan khas yaitu dada rasa tertekan dan sesak napas pada hari
kerja pertama setelah hari libur, sehingga dinamakan Monday tightness. Gejala ini
berkurang jika pekerja meninggalkan lingkungan kerja, keluhan ini timbul dikarenakan
obstruksi pada saluran pernapasan (Baratawidjaja, 1989).
Prevalensi penurunan fungsi paru-paru di berbagai Negara bervariasi antara 1%
sampai 88% dan pada umumnya tergantung dari kadar debu di lingkungan kerja (Karnagi,
1996). Pada penelitian sebelumnya kadar debu respirabel lingkungan kerja rata-rata
dibagian spinning adalah sekitar 0,407 mg/m
3
dan bagian carding 0,396 mg/m
3
. Sementara
itu prevalensi bisinosis sekitar 27%, batuk kronis 6%, bronchitis kronis 4,5% dan obstruksi
akut sekitar 4,5% (Karnagi, 1996). Nilai Ambang Batas debu kapas menurut Menteri
tenaga kerja dan transmigrasi No.01/1997 adalah 0,2 mg/m
3
selama jam kerja, sedangkan
berdasarkan OSHA Recommendation tahun 1999 adalah 1 mg/m
3
debu kapas.
Menurut Oldenberg (2006) dan Held & Uhlig (2000) efek kesehatan dari debu kapas
tidak hanya disebabkan oleh serat kapas itu sendiri tetapi juga oleh materi lain yang ada
dalam debu kapas tersebut yaitu adanya mikroorganisme yang menghasilkan endotoksin.
Menurut Douglas dkk. dan Wang dkk.(1984 & 2007) efek kesehatan akibat debu kapas
juga disebabkan oleh adanya bakteri gram negative yang memiliki lapisan lipopolisakarida
yang dapat menimbulkan gejala sesak nafas. Dalam penelitian Simpson dkk (1999)
menemukan konsentrasi debu kapas di bagian blowing sebesar 1,07 (0,72-5,9) mg/m
3

dengan konsentrasi endotoksin 9730 EU/m
3
, Christiani dkk (1993) menemukan konsentrasi
kapas di unit carding 1,58 (0,74-2,58) mg/m
3
, endotoksin 3440 EU/m
3
.
Efek kesehatan akibat debu kapas dapat bersifat akut maupun kronis. Efek akut terjadi
pada pemajanan dengan konsentrasi yang tinggi selama 6 jam pertama, efeknya adalah
batuk kering, iritasi saluran mucosa, dan demam (Baratawidjaja, 1989). Menurut Wang
dkk. inhalasi debu kapas secara kontinyu dapat menyebabkan penurunan nilai FEV
1.0

sebanyak 10 ml/tahun, sementara itu Glindmeyer dkk (1994) menyatakan bahwa penurunan
FEV
1.0
dapat mencapai 34,6-35,4 ml/tahun pada pekerja tekstil kapas yang nilainya jauh
lebih besar dibandingkan dengan pekerja industri tekstil sutera. Penurunan ini bersifat
permanen apabila pekerja tidak dipindahkan dari tempat kerjanya. FEV
1.0.
adalah kapasitas
vital paksa selama 1 detik pertama.
Pekerja industri tekstil merupakan orang yang potensial terpajan debu kapas, karena
mereka bekerja 8 jam per hari, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengaruh debu
kapas terhadap kesehatan pernafasan pekerja karena pekerja adalah aset perusahaan yang
penting.

II. METODOLOGI
Tahapan Persiapan
Tahapan persiapan ini dilakukan pada saat sebelum melakukan pengambilan data.
Adapun tahapan persiapan ini berupa survey tempat penelitian dan penyusunan kuesioner.
Survey tempat penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik dilingkungan kerja hal
yang akan diamati antaralain jumlah pekerja, proses kerja yang berlangsung pada setiap
unit, konsenrasi debu kapas ambient serta kondisi fisik ruang kerja.
Penyebaran Kuesioner
Dalam penelitian ini kuesioner merupakan data pendukung penelitian untuk
mengetahui atribut-atribut. Kuesioner ini diambil dari WAC 296-62-14537 (Part N Cotton
Dust), General Occupational Health Standard dan disusun sesederhana mungkin agar
dimengerti oleh responden yang dijadikan objek penelitian
Pengumpulan Data
a. Sampel
Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan model cross sectional. Sampel
dalam penelitian ini adalah sebanyak 65 orang, yang terdiri atas dua kelompok yaitu
pekerja yang tidak terpajan debu 25 orang (pada unit administrasi) dan pekerja yang
terpajan debu pada unit weaving dan spinning sebanyak 40. Sampel dalam penelitian ini
adalah wanita usia antara 20- 40 tahun dan telah bekerja minimal 2 tahun di industri tekstil
dan tidak memiliki riwayat kerja pada lingkungan yang menghasilkan debu.
Pemeriksaan Inhalable Dust
Pengkuran debu yang terhirup dilakukan dengan mengggunakan alat personal dust
sampling. Alat ini menghisap debu dan dilengkapi oleh sampler holder dan cyclone. Filter
yang digunakan disini adalah Polyvynilchloride (SKC Inc.; pore size 5.0 m, 25 mm
diameter), kuantifikasai dilakukan dengan cara gravimetri yaitu filter ditimbang sebelum
dan sesudah pengumpulan debu, penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan
analitik Merk Mettler Toledo dengan sensitivitas 0,1g. Penimbangan filter dilakukan
dalam ruangan dengan suhu 24C dan kelembaban 45%. Pengambilan sampel dilakukan
selama jam kerja selama 4 jam dengan kecepatan 2 li/menit (Tabak dkk., 2002).
Penggunaannya dengan cara menempelkan alat tersebut ke pakaian pekerja sehingga
ujungnya terletak pada breathing zone
Pemeriksaan Fungsi Paru-paru
Uji fungsi paru-paru dilakukan dengan menggunakan alat Spirometer vitalograph.
Pada penelitian ini parameter yang diamati adalah FEV
1.0.
dan FVC.

Menurut Wibawa
(2008) parameter ini tidak terpengaruh oleh usaha seseorang dan relatif tidak dipengaruhi
oleh posisi tubuh pada saat pengukuran. Sebelum dilakukan pengukuran setiap pekerja
diukur tinggi dan berat badannya terlebih dahulu, setelah itu baru dilakukan pengukuran
sebanyak tiga kali sehinggga ditemukan nilai maksimal (Setiadji, 1981). Alat ini
diproyeksikan terhadap umur, jenis kelamin dan tinggi badan. Hasil pemeriksaan spirometri
dibandingkan dengan nilai normal paru-paru orang Indonesia hasil penelitian Tim
Pneumobile Project Indonesia tahun 1992, yaitu disebut normal apabila nilai kapasitas vital
paksa (FVC) 80% dan FEV
1.0.
80%.
Berdasarkan aturan OSHA (1999) tentang debu kapas, penurunan kondisi kesehatan
pernapasan pekerja yang bekerja pada industri yang menghasilkan debu kapas dapat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu ; (1) pekerja yang memiliki FEV
1.0.
lebih besar dari 80%
dibandingkan dengan nilai FEV
1.0.
prediksi, tetapi memiliki FEV
1.0.
yang berkurang
sebanyak 5% pada saat bekerja. (2) Pekerja yang memiliki nilai FEV
1.0.
dibawah 80%
dibandingan dengan FEV
1.0.
prediksi sesuai tingkatan umur dan tinggi. Dan yang terakhir
(3) Pekerja yang mempunyai FEV
1.0.
dibawah 60% dan memiliki diagnosa lain atas fungsi
paru-parunya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik pekerja yang disertakan dalam penelitian
Karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian ini didapatkan dari kuesioner.
Diketahui bahwa nilai dari FEV
1.0
seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor
antaralain: kebiasaan merokok, tinggi badan, berat badan, lama kerja usia dan kebiasaan
olahraga (Yunus,1993). Agar dapat membandingkan nilai FEV
1.0
dari kedua kelompok
pekerja dengan benar, maka harus dipastikan terlebih dahulu bahwa kedua kelompok
pekerja tersebut memiliki karakteristik yang sepadan. Tabel 1. menunjukan uji kesadanan
untuk kedua kelompok. Dari data tersebut diketahui bahwa kedua kelompok sepadan dan
layak dibandingkan.
Tabel 1. Uji Kesepadanan Atribut Pekerja
Parameter Nilai Rata-rata Nilai P Keterangan
Terpajan Kontrol
Usia (thn) 27,65 26,65 0,829> 0,05 Tidak berbeda
Tinggi (m) 1,559 1,553 0,651> 0,05 Tidak berbeda
Lama kerja (thn) 8,125 4,120 0,029> 0,05 Tidak Berbeda
Berat (kg) 51,322 54,236 0,100> 0,05 Tidak berbeda
Olah raga 0,175 0,2 0,802> 0,05 Tidak berbeda

Identifikasi bahaya
Identifikasi bahaya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sumber bahaya dapat
membahayakan kesehatan pekerja. Debu kapas yang dimaksud adalam penelitian ini adalah
debu yang dihasilkan selama proses pengolahan kapas, yang dalam debu kapas tersebut
mungkin terkandung berbagai macam materi baik yang organik seperti serat, bakteri, fungi,
dan yang anorganik seperti tanah, dan mungkin sedikit silikat yang tidak menyebabkan efek
yang sifnifikan (OSHA, 1999). Menurut Tabak dan Mahajan (2002 & 1985) debu kapas
memiliki diameter yang beragam dengan kisaran 0,2-15 m dengan bentuk yang
aerodinamik oleh sebab itu filter yang paling efisien untuk menangkap debu kapas di udara
dengan tujuan untuk analisis adalah PVC. Konsentrasi rata-rata debu kapas yang terhirup
oleh pekerja pada unit weaving, spinning dan administrasi dapat dilihat pada Tabel 2. Dari
tabel tersebut diketahui bahwa konsentrasi debu kapas di unit weaving dan spinning telah
melampaui NAB.
Tabel 2. Konsentrasi rata-rata debu kapas pada unit weaving, spinning dan administrasi
Lokasi Jumlah Sampel Rata-rata berat debu (mg) Konsentrasi (mg/m
3
)
Weaving 22 0,5200,338 1,2480,816
Spinning 18 0,3790,256 0,9090,615
Administrasi 25 0,0660,066 0,160,156

Dari hasil pengukuran diketahui bahwa konsentrasi debu kapas di unit weaving lebih
besar daripada di unit spinning hal tersebut disebabkan karena pada unit weaving tidak
terdapat exhaust sama sekali dan upaya pengendalian hazard (debu kapas) terlihat belum
maksimal, yaitu hanya dengan cara menggunakan dust collector berbentuk pipa yang
dipasang pada tengah-tengah garis produksi dan pinggiran garis, dimana pada ruangan ini
terdapat 60 mesin tenun yang aktif. Dust collector ini hanya menangkap debu yang
berjatuhan dilantai, sedangkan untuk debu kapas yang menempel di alat tenun masih
dibersihkan secara manual. Debu-debu kapas yang berterbangan di udara tidak tertangkap
oleh dust collector sehingga konsentrasi debu diruangannya besar.
Penyebab yang lain adalah pada ruang Weaving dilakukan proses penenunan benang
menjadi kain. Di bagian ini benang-benang di tenun menjadi kain dan pada prosesnya
terdapat gesekan-gesekan antara benang, pada saat gesekan ini terlepas debu-debu kapas ke
udara yang berukuran lebih kecil daripada debu yang terdapat di unit spinning. Akibatnya
konsentrasi debu kapas cukup tinggi.

Evaluasi Pajanan
Evaluasi pajanan dilakukan dengan cara menganalisis proses kerja yang dapat
menimbulkan sumber bahaya berupa debu kapas terhadap pekerja. Dari identifikasi bahaya
diketahui bahwa lokasi yang berpotensi menghasilkan sumber bahaya adalah unit weaving
dan spinning. Untuk mengetahui sejauh mana bahaya debu kapas terhadap tingkat
kesehatan pekerja, maka dilakukan analisis resiko kesehatan secara kuantitatif yaitu dengan
menghitung indeks bahaya. Penentuan indeks bahaya dilakukan dengan mencari nilai HQ
(Hazzard quotient) terlebih dahulu, nilai rata-rata HQ, ADD, dan HI pada tiap unit dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata ADD, HQ dan HI pada unit weaving, spinning dan administrasi
Unit Kerja Jumlah sampel ADD (mg/kg.hari) HQ HI
Weaving 22 0,240,167 1,22 1,22
Spinning 18 0,190,128 0,95 0,95
Administrasi 25 0,0190,287 0,09 0,09

Dari Tabel 3 terlihat bahwa rata-rata Indeks Bahaya (HI) untuk kelompok pekerja di
unit weaving dan spinning adalah 1,22 dan 0,95. Karena nilai HI di unit weaving lebih
besar dari 1 dan konsentrasi debu kapas di unit Spinning lebih besar dari NAB, maka
pekerjaan yang dilakukan pekerja kelompok terpajan termasuk kedalam pekerjaan yang
membahayakan kesehatan paru-paru.

Evaluasi Dosis-Respon
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap hubungan dosis (intake) debu kapas yang
masuk ke sistem pernafasan dengan respon berupa penurunan nilai FEV
1.0.


Analisis ini
bertujuan untuk melihat konsistensi antara intake debu silika dengan respon FEV
1.0
pekerja.
Kurva dosis respon antara ADD dan persentase FEV
1.0.
pada pekerja unit weaving dapat
dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurva hubungan dosis respon debu kapas dengan Persentase FEV
1.0
pada unit weaving
8 = 0.138
30
40
30
60
70
80
90
100
0.00 0.20 0.40 0.60
I
L
V
1
.
0

(

)
ADD (mg]kg.har|)
Pada Gambar 2 terlihat bahwa nilai FEV
1.0
untuk setiap pekerja di unit weaving
cenderung menurun seiring dengan meningkatnya dosis debu kapas yang masuk kedalam
saluran pernafasan pekerja. Korelasi antara kedua faktor tersebut menunjukan nilai 0,138
dimana hubungan keduanya berarti lemah. Hal ini terjadi karena jumlah sampel yang
terbatas sehingga tidak menunjukan hubungan yang sebenarnya, selain itu seperti yang
telah disebutkan sebelumnya bahwa nilai FEV
1.0
seseorang dipengaruhi oleh banyak hal
salah satunya oleh lamanya kerja dan umur. Jika dibandingan dengan aturan dari OSHA
(1999) maka pekerja pada unit weaving telah mengalami penurunan fungsi paru-paru
karena memiliki rata-rata nilai FEV
1.0
sebesar 69,55% pada saat mereka bekerja, sementara
untuk orang normal seharusnya memiliki FEV
1.0
80%.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa konsentrasi debu kapas di unit
spinning lebih sedikit daripada di unit weaving. Oleh sebab itu nilai ADD pada unit ini
lebih kecil dari unit weaving (0,909 mg/m
3
< 1,248 mg/m
3
). Hubungan antara ADD dan
persentase FEV
1.0.
pada pekerja unit spinning dapat dilihat pada Gambar 3. Korelasi antara
kedua faktor tersebut menunjukan nilai 0,067 yang berarti hubungannya juga lemah sama
seperti di unit weaving. Berbeda dengan unit weaving rata-rata persentase FEV
1.0
pada unit
ini adalah 71,32% lebih besar 2% daripada di unit weaving hal ini disebabkan karena
konsentrasi debu di unit ini lebih kecil dan lama kerja dari pekerjanya pun lebih rendah
sehingga nilai ADD pun menjadi lebih rendah. Sementara itu menurut Schilling (1986)
kecilnya nilai korelasi antara kedua variabel dikarenakan pemilihan sampel yang selektif,
jumlah sampel yang terbatas dan karena cepatnya pergantian pekerja pada industri tekstil
sehingga untuk pekerja yang telah meninggalkan pabrik kondisi kesehatan parunya tidak
terkontrol, selain itu pengukuran nilai FEV
1.0
hanya dilakukan sesaat jadi hanya
mencerminkan resiko sesaat bukan life time risk. Namun demikian pekerja pada unit
spinning juga telah mengalami penurunan fungsi paru-paru karena memiliki rata-rata nilai
FEV
1.0
sebesar 71,325% pada saat mereka bekerja.

Gambar 3. Kurva Hubungan Dosis Respon Debu Kapas dengan Persentase FEV
1.0
pada unit Spinning

Dari kondisi kedua unit tersebut diatas terlihat adanya hubungan yang konsisten
antara dosis debu kapas yang masuk kedalam sistem pernafasan pekerja dengan penurunan
nilai FEV
1.0.
Jika dibuat kurva dosis respon untuk semua unit dalam kesatuan maka akan
dihasilkan kurva dosis respon seperti terlihat pada Gambar 4. Pada gambar terlihat bahwa
pekerja pada unit weaving mempunyai kisaran ADD yang paling besar dan juga memiliki
nilai ADD tertinggi dibandingkan pada unit spinning dan unit administrasi. Jika dilihat
hubungan nilai ADD dengan nilai FEV
1.0.
secara keseluruhan maka terdapat hubungan
dosis respon dimana semakin besar dosis debu kapas yang masuk maka penurunan
8 = 0.067
0
20
40
60
80
100
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.30
I
L
V
1
.
0

(

)
ADD (mg]kg.har|)
presentase nilai FEV
1.0.
pun semakin besar, hal ini dapat terlihat lebih jelas jika nilai ADD
untuk setiap unit dirata-ratakan begitu juga dengan nilai presentase FEV
1.0.
dengan nilai R
0,951. Nilai rata-rata ADD dan FEV
1.0.
untuk setiap unit dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Kurva Hubungan Dosis Respon dengan Persentase FEV
1.0
Pada Semua Sampel


Gambar 5. Kurva Hubungan Dosis Respon pada Setiap Unit
Resiko Relatif
Risiko relatif yang akan dihitung dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan
informasi mengenai efek pajanan debu kapas melalui inhalasi, terhadap nilai FEV
1.0
pekerja
dilingkungan PT. X. Jika risiko relatif dilihat dari dua kelompok yaitu kelompok terpajan
debu kapas dan kelompok tidak terpajan terlihat bahwa kelompok terpajan debu kapas
memiliki resiko penurunan fungsi paru sedang dan ringan sebesar 4,19 dan 1,97 kali lebih
besar daripada kelompok tidak terpajan debu kapas. Dari data tersebut terlihat bahwa
pekerja yang terpajan debu kapas berpotensi mengalami penurunan kapasitas paru. Matrik
perhitungan resiko untuk kelompok terpajan dan tidak terpajan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Matrik perhitungan risiko
Kelompok
pekerja
Penurunan
fungsi paru berat
Penurunan fungsi
paru sedang
Penurunan fungsi
paru ringan
Normal
Terpapar 0 11 19 10
Tidak terpapar 0 2 9 14

IV. KESIMPULAN
Konsentrasi rata-rata debu kapas yang terhirup di unit weaving dan spinning adalah
sebesar 1,248 mg/m
3
dan 0,909 mg/m
3
yang menunjukan bahwa nilai tersebut telah
30
40
30
60
70
80
90
100
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.3 0.6
I
L
V
1
.
0

(

)
ADD (mg]kg.har|)
Weavlng
Splnnlng
konLrol
Weavlng
Splnnlng
konLrol
melampuai NAB KepMen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.01/1997 yaitu sebesar
0,2 mg/m
3
.
Nilai rata-rata FEV
1.0
pada unit weaving dan spinning adalah sebesar 1,615 li dan
1,789 li atau telah mengalami penurunan sebesar 30,45% dan 28,68% dari nilai
prediksi normal PPI 1992 sesuai dengan tingkatan umur dan tinggi badan.
Nilai rata-rata Indeks Bahaya (HI) untuk kelompok pekerja di unit weaving dan
spinning adalah 1,22 dan 0,95
Kelompok yang terpapar debu kapas mempunyai resiko relatif mengalami penurunan
fungsi paru sedang (FEV
1.0
antara 40%-59%) sebesar 4,19 kali lebih besar daripada
kelompok tidak terpapar debu, dan mengalami penurunan fungsi paru ringan (FEV
1.0

antara 60%-79%) sebesar 1,67 kali lebih besar daripada kelompok tidak terpapar debu
kapas.

Daftar Pustaka
Baratawidjaja KG.,(1989): Bisinosis dan Hubungan dengan Obsrtuksi Akut. Disertasi Doktor Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Indonesia: Jakarta
Christiani DC, Ting-ting Y, Zhang S, Wegman DH, Eisen EA. Ryan LA, Olenchock SA, Pothier L, He-lian
D., (1993): Cotton dust and endotoxin exposure and long term decline in lung function: results of a
longitudinal study. American Journal of Industrial Medicine. Vol 35: pp 321-31.
Douglas, J.S., Pamela G. Duncan, (1984): Characteristion of Textile Dust Extracts : I Histamine Release in
Vitro. British Journal of Industrial Medicine. Vol .41: pp 64-69
Glindmeyer GW, Lefante JJ, Jones RN, Rando RJ, Weill H., (1994): Cotton dust and across-shift change in
FEV1 as predictors of annual change in FEV1. American Journal of Respiratoty and Critical Care
Medicine. Vol. 149: pp 584590.
Held, Hanz-Dieter dan Stefan Uhlig, (2000): Mechanism of Endotoxin Induced Airway and Pulmonary
Vascular Hyperreactivity in Mice. American Journal of Respiratoty and Critical Care Medicine.
Vol. 162: pp 1547-1552
Karnagi, Julia, (1996): Prevalensi Bisinosis di Pabrik Tekstil dan Hubungan dengan Konsentrasi Debu Kapas
di Lingkungan Kerja. Tesis Magister Sains Hiperkes Medis. Program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia : Jakarta.
Mahajan, Maresh Chandra, (1985): Evaluation of Cotton Dust Measurement Methods. Thesis in Chemical
Engineering. Texas Technology University: Texas
Oldenberg M. Latza U, Baur X., (2006): Endotoxin exposure and respiratory symptoms in the cotton textile
industry. Arch Environment Health Vol. 59, No 10: pp 519525
OSHA, (1999): Cotton Dust Standart. Fact Sheets High Linghting, US Departement of Labour Programs,
Constituation AVE, Washington DC, USA.
Pneumobile Project Indonesia, (1992): Kuesioner dan Penelitian Fungsi Paru, Program Riset Nasional.
Schlling R.S.F, J.P.W Hughes, Dingwall Fordyce, J.C.Gilson, (1986): An Epidemiological Study of
Byssinosis Among Lancashire Cotton Workes. British Journal Industry Medicine. Vol 12: pp 217-
227
Setiadji, S., B. Nur, B. Gunawan, (1981): Uji Faal Paru-paru. Cermin Dunia Kedoktera. Vol .115: pp 60-67
Simpson JC, Niven RM, Pickering CA, Oldham LA, Fletcher AM, Francis HC. (1999): Comparative personal
exposures to organic dusts and endotoxin. Ann Occup Hygiene. Vol.43, No 2 : pp 107-15.
Tabak, S ., David M Broadway, I.,Manor, G., (2002): Occupational Expossure to Cotton Dust in Cottonseed
Oil Mills. Applied Occupational and Environmental Hygiene. Vol. 17, No 2 : pp 121-130.
Wang, X. R, Zhang, H. X., Sun, B. X., Olenchock D C Chistiani, (2007): Cross-shift Airways Resposes and
Long-Term Decline in FEV
1.0
In Cotton Textile Workers. American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine. Vol 177: pp 316-320.
Wibawa, Kresna (2008): Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Debu terhadap Volume FEV
1.0
Pekerja di
Lingkungan Kerja PT. X. Tesis Program Pascasarjana. Jurusan Teknik Lingkungan. Fakultas
Teknik Sipil dan Lingkungan. Institut Teknologi Bandung
Yunus, F., (1997): Dampak Debu Industri pada Paru-paru Pekerja dan Pengendaliannnya. Cermin Dunia
Kedokteran. Vol .115: pp 45-51

You might also like