You are on page 1of 109

Abimanyu

ABIMANYU dikenal pula dengan nama : Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa dengan Dewi Sumbadra, putri Prabu Basudewa, raja Negara Mandura dengan Dewi Badrahini. Ia mempunyaai 13 orang saudara lain ibu, yaitu : Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat Wahyu Hidayat, yang mempunyai daya : mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat wahyu Cakraningrat, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar. Abimanyu mempunyai sifat dan perwatakan; halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang isteri, yaitu : 1. Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna , Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi, dan 2. Dewi Utari, putri Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra Parikesit. Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuda oleh gada Kyai Glinggang milik Jayadrata, satria Banakeling.

Amba
DEWI AMBA adalah putri sulung dari tiga bersaudara, putri Prabu Darmahumbara, raja negara Giyantipura dengan peramisuri Dewi Swargandini. Kedua adik kandungnya bernama; Dewi Ambika/Ambalika dan Dewi Ambiki/Ambaliki. Dewi Amba dan kedua adiknya menjadi putri boyongan Resi Bisma/Dewabrata, putra Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi/Dewi Gangga dari negara Astina yang telah berhasil memenangkan sayembara tanding di negara Giyantipura dengan membunuh Wahmuka dan Arimuka. Karena merasa sebelumnya telah dipertunangkan dengan Prabu Citramuka, raja negara Swantipura, Dewi Amba memohon kepada Dewabrata agar dikembalikan kepada Prabu Citramuka. Persoalan mulai timbul. Dewi Amba yang ditolak oleh Prabu Citramuka karena telah menjadi putri boyongan, keinginannya ikut ke Astina juga ditolak Dewabarata. Karena Dewi Amba terus mendesak dan memaksanya, akhirnya tanpa sengaja ia tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya bermaksud untuk menakutnakutinya.Sebelum meninggal Dewi Amba mengeluarkan kutukan, akan menuntut balas kematiannya dengan perantaraan seorang prajurit wanita. Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata menjadi kenyataan. Dalam perang Bharatayuda arwahnya menjelma dalam tubuh Dewi Srikandi yang berhasil menewaskan Resi Bisma/Dewabrata.

Anggraini
DEWI ANGGRINI adalah istri Prabu Ekalaya/Palgunadi, rajanegara Paranggelung. Ia berwajah cantik karena putri hapsari/bidadari Warsiki. Dewi Anggraini mempunyai sifat dan perwatakan; setia, murah hati, baik budi, sabar dan jatmika (selalu dengan sopan santun), menarik hati dan sangat berbakti terhadap suami. Ketika terjadi permusuhan antara Prabu Ekalaya dengan Arjuna akibat dari perbuatan Arjuna yang menggangu dirinya, dan suaminya, Prabu Ekalaya mati dibunuh Resi Drona dengan cara memotong ibu jari tangan kanannya yang memakai cincin sakti Mustika Ampal, Dewi Anggraini menunjukan kesetiaannya sebagai istri sejati. Ia melakukan bela pati, bunuh diri untuk kehormatan suami dan dirinya sendiri. Dewi Anggraini mati sebagai lambang kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Walaupun menghadapi godaan yang berwujud keindahan dan kelebihan orang lain, namun Dewi Anggraini tetap teguh cinta kesetianya ke

Antaboga
ANTABOGA, SANG HYANG, atau Sang Hyang Nagasesa atau Sang Hyang Anantaboga atau Sang Hyang Basuki adalah dewa penguasa dasar bumi. Dewa itu beristana di Kahyangan Saptapratala, atau lapisan ke tujuh dasar bumi. Dari istrinya yang bernama Dewi Supreti, ia mempunyai dua anak, yaitu Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. Dalam pewayangan disebutkan, walaupun terletak di dasar bumi, keadaan di Saptapratala tidak jauh berbeda dengan di kahyangan lainnya. Sang Hyang Antaboga adalah putra Anantanaga. Ibunya bernama Dewi Wasu, putri Anantaswara. Walaupun dalam keadaan biasa Sang Hyang Antaboga serupa dengan ujud manusia, tetapi dalam keadaan triwikrama, tubuhnya berubah menjadi ular naga besar. Selain itu, setiap 1000 tahun sekali, Sang Hyang Antaboga berganti kulit (mlung-sungi). Dalam pewayangan, dalang menceritakan bahwa Sang Hyang Antaboga memiliki Aji Kawastrawam, yang membuatnya dapat menjelma menjadi apa saja, sesuai dengan yang dikehendakinya. Antara lain ia pernah menjelma menjadi garangan putih (semacam musang hutan atau cerpelai) yang menyelamatkan Pandawa dan Kunti dari amukan api pada peristiwa Bale Sigalagala. Putrinya, Dewi Nagagini, menikah dengan Bima, orang kedua dalam keluarga Pandawa. Cucunya yang lahir dari Dewi Nagagini bernama Antareja atau Anantaraja. Sang Hyang Antaboga mempunyai kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta. Air sakti itu kemudian diberikan kepada cucunya Antareja dan pernah dimanfaatkan untuk menghidupkan Dewi Wara Subadra yang mati karena dibunuh Burisrawa dalam lakon Subadra Larung. Sang Hyang Antaboga pernah dimintai tolong Batara Guru menangkap Bambang Nagatatmala, anaknya sendiri. Waktu itu Nagatatmala kepergok sedang berkasihkasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati. Namun para dewa gagal me-nangkapnya karena kalah sakti. Karena Nagatatmala memang bersalah, walau itu anaknya, Sang Hyang Antaboga terpaksa menangkapnya. Namun Dewa Ular itu tidak menyangka Batara Guru akan menjatuhkan hukuman mati pada anaknya, dengan memasukkannya ke Kawah Candradimuka. Untunglah Dewi Supreti, istrinya, kemudian menghidupkan kembali Bambang Nagatatmala dengan Tirta Amerta. Batara Guru juga pernah mengambil kulit yang tersisa ketika Sang Hyang Antaboga mlungsungi dan menciptanya menjadi makhluk ganas yang menge-rikan. Batara Guru menamakan makhluk ganas itu Candrabirawa. Sang Hyang Antaboga, ketika masih muda disebut Nagasesa. Walaupun ia cucu Sang Hyang Wenang, ujudnya tetap seekor naga, karena ayahnya yang ber-nama Antawisesa juga seekor naga. Ibu Nagasesa bernama Dewi Sayati, putri Sang

Hyang Wenang. Suatu ketika para dewa berusaha mendapatkan Tirta Amerta yang membuat mereka bisa menghi-dupkan orang mati. Guna memperoleh Tirta Amerta para dewa harus membor dasar samudra. Mereka mencabut Gunung Mandira dari tempatnya, dibawa ke samudra, dibalikkan sehingga puncaknya berada di bawah, lalu memutarnya untuk melubangi dasar samudra itu. Namun setelah berhasil memutarnya, para dewa tidak sanggup mencabut kembali gunung itu. Padahal jika gunung itu tidak bisa dicabut, mustahil Tirta Amerta dapat diambil. Pada saat para dewa sedang bingung itulah Nagasesa datang membantu. Dengan cara melingkarkan badannya yang panjang ke gunung itu dan membetotnya ke atas, Nagasesa berhasil menjebol Gunung Mandira, dan kemudian menempatkannya di tempat semula. Dengan demikian para dewa dapat mengambil Tirta Amerta yang mereka inginkan. Itu pula sebabnya, Nagasesa yang kelak lebih dikenal dengan nama Sang Hyang Antaboga juga memiliki Tirta Amerta. ***) Jasa Nagasesa yang kedua adalah ketika ia menye-rahkan Cupu Linggamanik kepada Batara Guru. Para dewa memang sangat menginginkan cupu mustika itu. Waktu itu Nagasesa sedang bertapa di Guwaringrong dengan mulut terbuka. Tiba-tiba melesatlah seberkas

CATATAN KAKI: ***) Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan Tirta Amerta, para dewa bukan membor samudra, melainkan mengaduk-aduknya. Ini didasarkan atas arti kata ngebur dalam bahasa Jawa, yang artinya mengaduk-aduk, mengacau, membuat air samudra itu menjadi kacau. cahaya terang memasuki mulutnya. Nagasesa lang-sung mengatupkan mulutnya, dan saat itulah muncul Batara Guru. Dewa itu menanyakan kemana perginya cahaya berkilauan yang memasuki Guwaringrong. Nagasesa menjawab, cahaya mustika itu ada pada dirinya dan akan diserahkan kepada Batara Guru, bilamana pemuka dewa itu mau memeliharanya baik-baik. Batara Guru menyanggupinya, sehingga ia mendapatkan Cupu Linggamanik yang semula berujud cahaya itu. Cupu Linggamanik sangat penting bagi para dewa, karena benda itu mempunyai khasiat dapat membawa ketentraman di kahyangan. Itulah sebabnya semua dewa di kahyangan merasa berhutang budi pada ke-baikan hati Nagasesa. Karena jasa-jasanya itu para dewa lalu mengha-diahi Nagasesa kedudukan yang sederajat dengan para dewa, dan berhak atas gelar Batara atau Sang Hyang. Sejak itu ia bergelar Sang Hyang Antaboga. Para dewa juga memberinya hak sebagai penguasa alam bawah tanah. Tidak hanya itu, oleh para dewa Na-gasesa juga diberi Aji Kawastram ***) yang mem-buatnya sanggup mengubah ujud dirinya menjadi manusia atau makhluk apa pun yang dikehendakinya. Untuk membangun ikatan keluarga, para dewa juga menghadiahkan seorang bidadari bernama Dewi Supreti sebagai istrinya.

Perlu diketahui, cucu Sang Hyang Antaboga, yakni Antareja, hanya terdapat dalam pewayangan di Indonesia. Dalam Kitab Mahabarata, Antareja tidak pernah ada, karena tokoh itu memang asli ciptaan nenek moyang orang Indonesia. CATATAN KAKI = ***) Sebagian dalang menyebutnya Aji Kemayan. Sebenarnya sebutan itu keliru, karena Kemayan yang berasal dari kata maya adalah aji untuk membuat pemilik ilmu itu menjadi tidak terlihat oleh mata biasa. Kata maya, artinya, tak terlihat. Jadi, yang benar adalah Aji Kawastram. Sang Hyang Antaboga pernah berbuat khilaf ketika dalam sebuah lakon carangan terbujuk hasutan Prabu Boma Narakasura, cucunya, untuk meminta Wahyu Senapati pada Batara Guru. Bersama dengan menantunya, Prabu Kresna, yang suami Dewi Pertiwi, Antaboga berangkat ke kahyangan. Ternyata Batara Guru tidak bersedia memberikan wahyu itu pada Boma, karena menurut pendapatnya Gatotkaca lebih pantas dan lebih berhak. Selisih pendapat yang hampir memanas ini karena Sang Hyang Antaboga hendak bersikeras, tetapi akhirnya silang pendapat itu dapat diredakan oleh Batara Narada. Wahyu Senapati tetap diperuntukkan bagi Gatotkaca. Nama Antaboga atau Anantaboga artinya (naga yang) kelokannya tidak mengenal batas. Kata an atau artinya tidak; kata anta artinya batas; sedangkan kata boga atau bhoga atinya kelokan. Yang kelokannya tidak mengenal batas, maksudnya adalah ular naga yang besarnya luar biasa. Lihat Antareja; dan Candrabirawa.

Antarja
ANANTAREJA adalah putera Bima/Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Nagagini, putri Hyang Anantaboga dengan Dewi Supreti dari Kahyangan Saptapratala. Ia mempunyai 2 (dua) orang saudara lelaki lain ibu, bernama: Raden Gatotkaca, putra Bima dengan Dewi Arimbi, dan Arya Anantasena, putra Bima dengan Dewi Urangayu. Sejak kecil Anatareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapratala (dasar bumi). Ia memiliki ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi/tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi. Anantareja memiliki sifat dan perwatakan : jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular/taksaka di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda. Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuda atas kemauannya sendiri dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuda.

Antasena
ANANTASENA adalah Putra Bima/Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Urangayu, putri Hyang Mintuna (Dewa ikan air tawar) di Kisiknarmada. Ia mempunyai 2 (dua) orang saudara seayah lain ibu, yaitu : Anantareja, putra Dewi Nagagini, dan Gatotkaca, putra Dewi Arimbi. Sejak kecil Anantasena tinggal bersama ibu dan kakeknya di Kisiknarmada. Seluruh badannya berkulit sisik ikan/udang hingga kebal terhadap senjata. Anantasena dapat hidup di darat dan di dalam air. Ia mempunyai kesaktian berupa sungut sakti, mahluk apapun yang tersentuh dan terkena bisa-nya akan menemui kematian. Anantasena juga memiliki pusaka Cupu Madusena, yang dapat

mengembalikan kematian di luar takdir. Ia juga tidak dapat mati selama masih bersinggungan dengan air atau uap air. Anantasena berwatak jujur, terus terang, bersahaja, berani kerena membela kebenaran, tidak pernah berdusta. Setelah dewasa, Anantasena menjadi raja di negara Dasarsamodra, bekas negaranya Prabu Ganggatrimuka yang mati terbunuh dalam peperangan. Anatasena meninggal sebelum perang Bharatayuda. Ia mati moksa (lenyap dengan seluruh raganya) atas kehendak/kekuasaan Sang Hyang Wenang

Arimbi
DEWI ARIMBI atau Hidimbi (Mahabharata) adalah putri kedua Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani, dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung, bernama; Arimba/Hidimba, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana. Dewi Arimbi menikah dengan Bima/Werkudara, salah seorang dari lima satria Pandawa, putra Prabu Pandu, raja negara Astina dari permaisuri Dewi Kunti. Dari perkawinan itu ia mempumyai seorang putra yang diberi nama Gatotkaca. Dewi Arimbi menjadi raja negara Pringgandani, menggantikan kedudukan kakaknya, Prabu Arimba, yang tewas dalam peperangan melawan Bima. Namun karena ia lebih sering tinggal di Kesatrian Jodipati mengikuti suaminya, kekuasaan

negara Pringgandani diwakilkan kepada adiknya, Brajadenta sampai Gatotokaca dewasa dan diangkat menjadai raja negara Pringgandani bergelar Prabu Kacanegara. Dewi Arimbi mempunyai kesaktian; dapat beralih rupa dari wujudnya raksasa menjadi putri cantik jelita. Ia mempunyai sifat dan perwatakan; jujur, setia, berbakti dan sangat sayang terhadap putranya. Akhir kehidupannya diceritakan, gugur di medan Perang Bharatayuda membela putranya, Gatotokaca yang gugur karena panah Kunta milik Adipati Karna, raja negara Awangga.

Arjuna
ARJUNA adalah putra Prabu Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita --- putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Ia merupakan anak ke-tiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara. Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa. Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain ;

Gendewa ( dari Bathara Indra ), Panah Ardadadali ( dari Bathara Kuwera ), Panah Cundamanik ( dari Bathara Narada ). Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain ; Keris Kiai Kalanadah, Panah Sangkali ( dari Resi Durna ), Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kiai Sarotama, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni ( diberikan pada Abimanyu ), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton ( pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani ) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain ; Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak. Adapun istri dan anakanaknya adalah : 1. Dewi Sumbadra , berputra Raden Abimanyu. 2. Dewi Larasati , berputra Raden Sumitra dan Bratalaras. 3. Dewi Srikandi 4. Dewi Ulupi/Palupi , berputra Bambang Irawan 5. Dewi Jimambang , berputra Kumaladewa dan Kumalasakti 6. Dewi Ratri , berputra Bambang Wijanarka 7. Dewi Dresanala , berputra Raden Wisanggeni 8. Dewi Wilutama , berputra Bambang Wilugangga 9. Dewi Manuhara , berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati 10. Dewi Supraba , berputra Raden Prabakusuma 11. Dewi Antakawulan , berputra Bambang Antakadewa 12. Dewi Maeswara 13. Dewi Retno Kasimpar 14. Dewi Juwitaningrat , berputra Bambang Sumbada 15. Dewi Dyah Sarimaya. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu ; Kampuh/Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja

negara Paranggelung). Ia juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain ; Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Bathara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara ( perayu ulung ) dan Margana ( suka menolong ). Arjuna memiliki sifat perwatakan ; Cerdik pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bhatarayuda, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia muksa ( mati sempurna ) bersama ke-empat saudaranya yang lain.

Arya Prabu Rukma


ARYA PRABU RUKMA adalah putra Prabu Basukunti, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung bernama; Arya Basudewa, Dewi Kunti/Dewi Prita dan Arya Ugrasena. Arya Prabu Rukma menikah dengan Dewi Rumbini, putra Prabu Rumbaka, raja Negara Kumbina. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama ; Dewi Rukmini dan Arya Rukmana. Secara tidak resmi Arya Prabu Rukma juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati keraton Mandura, dan mempunyai seorang putri bernama Ken Rarasati/Dewi Larasati. Arya Prabu Rukma mempunyai sifat dan perwatakan berani, cerdik pandai, trengginas, mahir mempergunakan senjata panah dan ahli strategi perang. Ia menjadi raja negara Kumbina menggantikan mertuanya, Prabu Rumbaka, dan bergelar Prabu Bismaka, Prabu Wasukunti atau Prabu Hirayana. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Bismaka/Arya Prabu Rukma gugur di medan perang melawan Prabu Bomanarakasura, raja negara Surateleng atau Trajutisna.

Aswatama
BAMBANG ASWATAMA adalah putra Resi Drona dari padepokan Sokalima, dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan

bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda Sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana/Resi Drona terbang menyeberangi lautan. Ketika ayahnya, Resi Drona menjadi guru Keluarga Pandawa dan Kurawa di negara Astina, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat dan perwatakan ; pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Cundamanik. Karena kecewa dengan sikap Prabu Duryudana yang terlalu membela Prabu Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Adipati Karna. Aswatama memutuskan mundur dari kegiatan perang Bharatayuda. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Astina, secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Astina. Ia berhasil membunuh Drestadyumna (pembunuh ayahnya, Resi Drona), Pancawala (putra Prabu Puntadewa), Dewi Banowati (Janda Prabu Duryudana) dan Dewi Srikandi, sebelum akhirnya ia mati oleh Bima, badannya hancur dipukul gada Rujakpala.

Bagaspati
BAGAWAN BAGASPATI yang sewaktu mudanya bernama Bambang Anggana Putra, adalah putra Resi Jaladara dari Pertapaan Dewasana, dengan Dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja negara Magada. Pada mulanya Bambang Anggana Putra berwujud satria tampan, tetapi kerena terkena kutukan Sanghyang Manikmaya tatkala akan memperistri Dewi Darmastuti wujudnya berubah menjadi raksasa. Ia kemudian menjadi brahmana di pertapaan Argabelah dan bergelar

Bagawan Bagaspati.. Bagaspati sangat sakti. Ia memiliki Ajian Candrabirawa, sehingga tidak bisa mati kecuali atas kemauannya sendiri. Ia menikah dengan Dewi Dharmastuti, seorang hapsari/bidadari, dan berputra Dewi Pujawati. Bagaspati mempunyai watak; sabar, ikhlas, percaya akan kekuasaan Tuhan, rela berkorban dan sangat sayang pada putrinya. Ia bersahabat karib dengan Prabu Mandrapati, raja negara Mandara yang merupakan saudara seperguruan. Akhir riwayatnya diceritakan, karena rasa cintanya dan demi kebahagiaan putrinya, Dewi Pujawati, Bagaspati rela mati dibunuh Narasoma, menantunya sendiri. Sebelum tewas, ia menyerahkan Aji Candrabirawa kepada Narasoma.

Bagong
BAGONG terjadi dari bayangan Sanghyang Ismaya atas sabda Sanghyang Tunggal, ayahnya. Ketika Sanghyang Ismaya akan turun ke Arcapada, ia mohon kepada ayahnya seorang kawan yang akan menemaninya, karena Ismaya yang ditugaskan mengawasi trah keturunan Witaradya merasa tidak sah apabila sesuatu persaksian hanya dilakukan oleh seseorang. Sanghyang Tunggal kemudian menyuruh Sanghyang Ismaya menoleh ke belakang , tahu-tahu telah ada seseorang yang bentuk tubuhnya hampir menyerupai dirinya. Di dalam cerita pedalangan Jawa, Bagong dikenal pula dengan nama Bawor, Carub atau Astrajingga. Ia mempunyai tabiat ; lagak lagu katanya kekanak-kanakan, lucu, suara besar agak serak (agor ; Jawa), tindakannya seperti

orang bodoh, kata-katanya menjengkelkan, tetapi selalu tepat. Bagong menikah dengan Endang Bagnyawati, anak Prabu Balya raja Gandarwa di Pucangsewu. Perkawinannya itu bersamaan dengan perkawinan Semar dengan Dewi Kanistri dan perkawinan Resi Manumayasa dengan Dewi Kaniraras, kakak Dewi Kanistri, putri Bathara Hira. Seperti halnya dengan Semar, Bagong berumur sangat panjang, ia hidup sampai jaman Madya

Baladewa
PRABU BALADEWA yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maekah (Jawa). Ia lahir kembar bersama adiknya, Narayana dan mempunyai adik lain ibu bernama; Dewi Sumbadra/Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura. Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir dalam olah ketrampilan mempergunakan gada, hingga Bima dan Duryudana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti; Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Bathara Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati/Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama : Wisata dan Wimuka. Prabu Baladewa diyakini sebagi titisan Sanghyang Basuki , Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Bharatayuda, Prabu Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Astina setelah Prabu Kalimataya/Prabu Puntadewa, dengan gelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Yadawa.

Baladewa

PRABU BALADEWA yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maekah (Jawa). Ia lahir kembar bersama adiknya, Narayana dan mempunyai adik lain ibu bernama; Dewi Sumbadra/Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura. Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir dalam olah ketrampilan mempergunakan gada, hingga Bima dan Duryudana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti; Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Bathara Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati/Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama : Wisata dan Wimuka. Prabu Baladewa diyakini sebagi titisan Sanghyang Basuki , Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Bharatayuda, Prabu Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Astina setelah Prabu Kalimataya/Prabu Puntadewa, dengan gelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Yadawa.

Banuwati
DEWI BANOWATI adalah putri Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia mempunyai empat saudara kandung masing-masing bernama; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata. Dewi Banowati menikah dengan Prabu Suyudana/Duryadana, raja negara Astina, putra Prabu Drestarasta dengan Dewi Gandari. Dari perkawinan tersebut ia meperoleh dua orang putra bernama; Leksmanamandrakumara dan Dewi Laksmanawati. Dewi Banowati berwatak; jujur, penuh belas kasih, jatmika (selalu dengan sopan santun) dan agak sedikit genit. Akhir riwayatnya diceritakan, ia mati dibunuh oleh Aswatama putra Resi Durna, setelah berakhirnya perang Bharatayuda, saat menunggu boyongan/pindahan keluarga Pandawa dari Negara Amarta ke negara Astina.

Basudewa
PRABU BASUDEWA adalah putra sulung Prabu Basukunti raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama; Dewi Prita/Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena. Prabu Basudewa mempunyai tiga orang isteri/permaisuri dan 4 (empat) orang putra. Dengan permaisuri Dewi Mahira/Maerah (Jawa) ia berputra Kangsa. Kangsa sebenaranya putra Prabu Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu dan berhasil mengadakan hubungan asmara dengan Dewi Mahira. Dengan permaisuri Dewi Mahindra/Maerah (Jawa), Prabu Basudewa memperoleh dua orang putra bernama; Kakrasana dan Narayana. Sedangkan dengan permaisuri Dewi Badrahini ia berputra Dewi Wara Sumbadra/Dewi Lara Ireng. Secara tidak resmi, Prabu Basudewa juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati Keraton Mandura, dan memperoleh seorang putra bernama Arya Udawa. Prabu Basudewa sangat sayang kepada keluarganya. Ia pandai olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing. Setelah usia lanjut, ia menyerahkan Kerajaan Mandura kepada putranya, Kakrasana, dan hidup sebagai pendeta di Pertapaan Randugumbala. Prabu Basudewa meninggal saat negara Mandura digempur Prabu Sitija/ Bomanarakasura raja Negara Surateleng

Basukesti
ARYA BASUKESTI adalah putra Prabu Basupati/Basuparicara, raja negara Wirata dengan permaisuri Dewi Anganti/Dewi Girika, putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi Suktimati. Ia mempunyai dua orang saudara kandung bernama; Arya Basunanda dan Arya Basumurti. Arya Basukesti menjadi raja negara Wirata menggantikan kedudukan kakaknya, Prabu Basunanda yang mengundurkan diri hidup sebagai brahmana. Atas kemurahan hatinya, Prabu Basukesti mengijinkan dan menyerahkan puncak gunung Retawu di kawasan gunung Saptaarga kepada Manumayasa, putra Bathara Parikenan dengan Dewi Brahmananeki, membagun sebuah padepokan/pertapaan. Prabu Basukesti pernah meninggalkan tahta kerajaan Wirata dan pergi bertapa sebagai ruwat atas nasibnya, karena setiap memiliki permaisuri selalu saja meninggal. Untuk sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Arya Basumurti. Beberapa tahun kemudian, Prabu Basukesti kembali ke istana dan mendapat permaisuri bernama Dewi Adrika/Dewi Pancawati. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama ; Dewi Basuwati, Dewi Basutari dan Arya Basukiswara. Prabu Basukesti meninggal dalam usia lanjut. Sebagai penggantinya, Arya Basukiswara diangkat menjadi raja negara Wirata.

Basukiswara

ARYA BASUKISWARA adalah putra Bungsu prabu Basukesti, raja negara Wirata dengan permaisuri Dewi Adrika/Dewi Pancawati. Ia mempunyai dua orang kakak kandung masing-masing bernama ; Dewi Pasuwati dan Dewi Basutari. Basukiswara menjadi raja negara Wirata menggantikan kedudukan ayahnya, Prabu Basukesti. Ia memerintah dengan arif dan bijaksana, adil dan sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Prabu Basukiswara juga menjalin hubungan yang sangat erat dengan Resi Manumayasa dari padepokan Retawu di gunung Saptaarga. Prabu Basukiswara menikah dengan Dewi Kiswati, dan mempunyai dua orang putra masing-masing bernama ; Arya Basuketi dan Arya Kistawan. Merasa usianya sudah lanjut dan tak mampu lagi memerintah, ia memutuskan untuk hidup sebagai brahmana. Tahta dan negara Wirata diserahkan kepada putra sulungnya, Arya Basuketi.

Basukunti
PRABU BASUKUNTI atau WASUKUNTI yang waktu mudanya bernama Suradewa, adalah putera sulung Prabu Wasukunteya, raja Negara Mandura dengan permaisuri Dewi Sungganawati. Ia mempunyai adik kandung bernama Kuntadewa, yang setelah menjadi raja negara Boja bergelar Prabu Kuntiboja. Prabu Basukunti menikah dengan Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh 4 ( empat ) orang putra masing-masing bernama: Arya Basudewa, Dewi Prita/Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena. Prabu Basukunti mempunyai sifat dan perwatakan; berani, cerdik pandai, arif bijaksana dan suka menolong. Setelah usianya lanjut, ia menyerahkan tahta kerajaan Mandura kepada putra sulungnya, Arya Basudewa dan hidup sebagai brahmana sampai meninggal.

Basunanda
Arya Basunanda menjadi raja negara Wirata menggantikan kedudukan ayahnya, Prabu Basupati yang mengundurkan diri. Prabu Basunanda menikah dengan Dewi Swakawati, dan mempunyai dua orang putra masing-masing bernama ; Dewi Basundari dan Arya Basundara. Prabu Basunanda tidak terlalu lama memerintah negara Wirata. Ia mengikuti jejak Prabu Basupati, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk selanjutnya hidup sebagai brahmana. Karena waktu itu putra-putranya masih kecil, tahta kerajaan Wirata diserahkan kepada adiknya, Arya Basukesti.

Basupati
PRABU BASUPATI dikenal pula dengan nama Prabu Basuparicara (Mahabharata). Ia Putra Bathara Srinada/Prabu Basurata, raja negara Wirata yang pertama dengan permaisuri Dewi Bramaniyuta, Putri Bathara Brahma. Prabu Basupati mempunyai adik kandung bernama Bramananeki yang menikah dengan Bambang Parikenan, putra Bathara Bremani/Brahmanaresi dengan Dewi Srihuna/Srihunon. Karena ketekunannya bertapa, Prabu Basupati menjadi sangat sakti , juga tahu segala bahasa binatang. Ia mendapat anugerah Bathara Indra berwujud sebuah kereta sakti bernama Amarajaya lengkap dengan bendera perangnya yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata. Dengan kereta sakti Amarajaya, Prabu Basupati menaklukkan tujuh negara, masuk ke dalam wilayah kekuasaan negara Wirata. Prabu Basupati menikah dengan Dewi Angati atau Dewi Girika (Mahabharata), putri

Bagawan Kolagiri dengan Dewi Suktimati. Dari perkawinan tersebut, ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama ; Arya Basunada, Arya Basukesti dan Arya Bamurti. Prabu Basupati memerintah negara Wirata sampai berusia lanjut. Ia menyerahkan tahta Kerajaan Wirata kepada Arya Basunada, kemudian hidup sebagai brahmana sampai meninggal dalam keadaan bermudra.

Basurata
PRABU BASURATA adalah raja negara Wirata yang pertama. Pada waktu mudanya ia bernama Bathara Srinada. Prabu Basurata adalah Putra Bathara Wisnu yang bertahta di Kahyangan Untarasegara, dengan permaisuri Dewi Srisekar. Ia mempunyai dua orang saudara kandungmasing-masing bernama ; Bathara Srigati dan Bathara Srinadi. Prabu Basurata menikah dengan Dewi Bramaniyuta, Putri Bathara Brahma dengan Dewi Sarasyati dari Kahyangan Daksinageni. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama ; Arya Basupati/Basuparicara dan Dewi Bramananeki. Setelah menikahkan putrinya, Dewi Brahmananeki dengan Bambang Parikenan, putra Bathara Bremani/Brahmanaresi (Putra Bathara Brahma dengan Dewi Raraswati) dengan Dewi Srihuna (Putri Bathara Wisnu dengan Dewi Sripujayanti), Prabu Basurata berkeinginan moksa. Ia kemudian menyerahkan tahta dan negara Wirata kepada putranya, Arya Basupati.

Bima
BIMA atau WERKUDARA dikenal pula dengan nama; Balawa, Bratasena, Birawa, Dandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, atau Wijasena. Ia putra kedua Prabu Pandu, raja Negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai dua orang saudara kandung bernama: Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu ; Nakula dan Sadewa. Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia memiliki keistimewaan ahli bermain ganda dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah ; Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol. Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain; Kampuh/kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem. Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu : 1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja, 2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan 3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena Akhir riwayat Bima diceritakan, mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuda.

Bogadatta
BOGADATTA atau Bogadenta adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia bersaudara 100 orang --{ 99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa. Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.

Bogadatta menjadi raja di negara Turilaya. Ia pandai bermain gada. Selain sakti, Bogadatta juga memiliki kendaraan gajah bernama Murdiningkung dengan srati/pawang seorang prajurit wanita bernama Murdiningsih. Di medan peperangan, ketiganya merupakan pasangan yang menakutkan lawan dan tak terkalahkan. Bila salah satu diantara mereka mati, dan diloncati salah satu diantara yang hidup, maka yang mati akan hidup kembali. Dalam perang Bharatayuda, Bogadatta maju kemedan peperangan bersama gajah Murdiningkung dan srati Murdiningsih. Mereka semua mati dalam peperangan oleh panah Trisula milik Arjuna.

Bomantara
RABU BOMANTARA adalah raja negara Trajutisna/Prajatisa. Ia masih keturunan Bathara Kalayuwana, putra Bathara Kala dengan Bathari Durga/Dewi Pramuni dari kahyangan Setragandamayit. Karena ketekunanya bertapa, ia menjadi sangat sakti. Berwatak angkara murka, kejam, bengis dan selalu menurutkan kata hatinya. Prabu Bomantara pernah menyerang Suralaya dan mengalahkan para Dewa. Ia kemudian menyerang negara Gowasiluman, menewaskan Prabu Arimbaji untuk menguasai wilayah hutan Tunggarana. Belum puas dengan kekuasaan yang dimiliki, Prabu Bomantara kemudian menyerang negara Surateleng. Akhirnya Prabu Bomantara tewas dalam pertempuran melawan Prabu Narakasura yang waktu mudanya bernama Bambang Sitija, raja negara Surateleng, putra Prabu Kresna dengan Dewi Pretiwi. Arwahnya manunggal dalam tubuh Prabu Sitija. Negara Surateleng dan Prajatisa oleh Prabu Sitija/Narakasura dijadikan satu, Prabu Sitija kemudian bergelar Prabu Bomanarakasura

Brajadenta
BRAJADENTA adalah putra ketiga Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung bernama; Arimba / Hidimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesana, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana. Brajadenta berwatak keras hati, ingin menangnya sendiri, berani serta ingin selalu menurutkan kata hatinya. Brajadenta sangat sakti. Oleh kakaknya, Dewi Arimbi, Brajadenta ditunjuk sebagai wakil raja memegang tampuk pemerintahan negara Pringgandani selama Dewi Arimbi ikut suaminya, Bima tinggal di Jadipati. Akhir riwayatnya diceritakan, karena tidak setuju dengan pengangkatan Gatotkaca, putra Dewi Arimbi dengan Bima sebagai raja Pringgandani, Brajadenta dengan dibantu oleh ketiga adiknya, Brajamusti, Brajalamatan dan Brajawikalpa, melakukan pemberontakan karena ingin secara mutlak menguasai negara Pringgandani. Pemberontakannya dapat ditumpas oleh Gatotkaca dengan tewasnya Brajalamatan dan Brajawikalpa. Brajadenta dan Brajamusti berhasil melarikan diri dan berlindung pada kemenakannya, Prabu Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja di negara Gowasiluman di hutan Tunggarana. Dengan bantuan Bathari Durga, Brajadenta kembali memasuki negara Pringgandini untuk membunuh Gatotkaca. Usahanya kembali menghalami kekagalan. Brajadenta akhirnya tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca. Arwahnya menjelma menjadi ajian/keaktian dan merasuk/menunggal dalam gigi Gatotkaca. Sejak itu Gatotkaca memiliki kesaktian; barang siapa kena gigitannya pasti binasa.

Brajalamatan
BRAJALAMATAN adalah putra keenam Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung, masing-masing bernama ; Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Brajadenta, Arya Prabakesa, Brajamusti, Brajawikalpa dan Kalabendana. Brajalamatan berwatak keras hati dan agak berangasan, mudah marah, pemberani dan sangat sakti. Brajalamatan sangat menentang keputusan Dewi Arimbi yang akan menyerahkan tahta kerajaan Pringgandani kepada Gatotkaca, putranya dengan Bima. Karena itu Brajalamatan ikut mendukung dan terlibat langsung gerakan pemberontakan yang dilakukan Brajadenta dan Brajamusti dalam upaya merebut tahta kerajaan Pringgandani dari tangan Gatotkaca. Dalam peperangan perebutan kekuasaan itu, Brajalamatan akhirnya mati di tangan Gatotkaca. Arwahnya kemudian menjelma menjadi ajian/kesaktian manunggal di tangan kiri Gatotkaca.

Brajamusti
BRAJAMUSTI adalah putra ke-lima Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung bernama; Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana. Brajamusti mempunyai sifat mudah naik darah, agak bengis, keras hati dan ingin menang sendiri. Ia sangat sakti. Bersama kakaknya, Brajadenta dan kedua adiknya, Brajalamantan dan Brajawikalpa, ia melakukan pemberontakan merebut tahta negara Pringgandani dari kekuasaan Dewi Arimbi. Ketika pemberontakan gagal dengan tewasnya Brajalamatan dan Brajawikalpa oleh Gatotkaca, Brajamusti dan Brajadenta melarikan diri, berlindung pada kemenakannya, Prabu Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja negara Guwasiluman di hutan Tunggarana. Dengan bantuan Bathari Durga, Brajamusti kembali beraniat membunuh Gatotkaca melalui tangan ketiga. Ia menjelma menjadi Gatotkaca palsu dan menganggu Dewi Banowati, istri Prabu Duryudana, raja negara Astina. Namun perbuatanya terseburt dapat dibongkar oleh Gatotkaca. Akhirnya Brajamusti tewas dalam petempuran melawan Gatotkaca, dan arwahnya menjadi ajian/kesaktian merasuk/menunggal dalam tangan kanan Gatotkaca.

Brajawikalpa
BRAJAWIKALPA adalah putra ketujuh Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung masing-masing bernama; Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Brajadenta, Arya Prabakesa, Brajamusti, Brajalamatan dan Kalabendana. Brajawikalpa mempunyai sifat perwatakan ; pemberani, tangguh, setia, sedikit serakah dan tidak mempunyai pendirian yang tetap. Ia juga ikut mendungkung Brajadenta dan saudara-saudaranya yang lain ketika menentang Dewi Arimbi yang akan mengangkat Gatotkaca sebagai raja Pringgandani. Brajawikalpa juga ikut terlibat langsung pemberontakan yang dipimpin oleh Brajadenta dan Brajamusti, walau sebelumnya telah diperingatkan oleh Kalabendana. Dalam peperangan pemberontakan tersebut, Brahjawikalpa tewas dalam pertempuan melawan Gatotkaca. Arwahnya menjelma menjadi ajian/kesaktian berujud perisai yang manunggal dalam punggung Gatotkaca.

Burisrawa
ARYA BURISRAWA adalah putra ke-empat Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia mempunyai empat orang saudara kandung masingmasing bernama ; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati dan Bambang Rukmarata. Burisrawa berwujud setengah raksasa, gagah perkasa dan sangat sakti. Ia berwatak sombong, senang menurutkan kata hatinya, pendendam, ingin selalu menang sendiri, senang membuat keonaran dan membuat peristiwa - peristiwa

yang penuh dengan kekerasan. Burisrawa menikah dengan Dewi Kiswari, putri Prabu Kiswaka, raja negara Cedisekar/Cindekembang dan berputra Arya Kiswara. Ia sangat akrab hubungannya dengan Prabu Baladewa, raja Mandura, Prabu Duryudana, raja Astina dan Adipati Karna, raja Awangga karena hubungan saudara ipar. Dalam perang Bhratayuda, Burisrawa berada di pihak keluarga Kurawa. Ia gugur dalam peperangan melawan Arya Setyaki, putra Prabu Setyajid/Ugrasena, raja negara Lesanpura.

Cakil
CAKIL atau Gendirpenjalin, berwujud raksasa dengan gigi tonggos berpangkat tumenggung. Tokoh Cakil hanya dikenal dalam ceruita pedalangan Jawa dan selalu dimunculkan dalam perang kembang, perang antara satria melawan raksasa yang merupakan lambang nafsu angkara murka. Cakil memiliki sifat; pemberani, tangkas, trengginas, banyak tingkah dan pandai bicara. Ia berwatak kejam, serakah, selalu menurutkan kata hati dan mau menangnya sendiri. Cakil selalu ada dan hidup di setiap negara raksasa. Ia merupakan raksasa hutan (selalu tinggal di hutan) dengan tugas merampok para satria atau merusak dan mengganggu ketenteraman kehidupan para brahmana di pertapaan. Dalam setiap peperangan Cakil mesti menemui ajalnya, karena ia dan anak buahnya merupakan lambang nafsu angkara murka manusia yang memang harus dilenyapkan

Dadungawuk
DADUNGAWUK adalah raksasa kerdil anak buah Bathari Durga, raja makhluk siluman yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Dadungawuk tinggal di hutan Krendayana, bertugas menggembalakan kerbau/Andanu (Jawa) milik Bathari Durga. Kerbau Andanu berjumlah 40 ekor, semuanya berwarna hitam, berkaki putih

(=pancal panggung/Jawa). Karena indahnya pernah dipinjam keluarga Pandawa untuk memenuhi persyaratan permintaan Dewi Sumbadra, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini dari negara Mandura, ketika dipinang oleh Arjuna. Pada mulanya Dadungawuk menolak. Tetapi setelah dikalahkan oleh Bima, Dadungawuk bersedia menyerahkan Andanu, yang akan digunakan untuk memeriahkan pawai perkawinan Dewi Subadra dengan Arjuna yang pestanya diselenggarkan di negara Dwarawati. Atas seijin Bathari Durga, Dadungawuk sendiri bertindak sebagai pawangnya. Setelah pesta perkawinan selesai, Dadungawuk dan Andanu kembali kehutan Kerndayana.

Dananjaya
ARYA DANANJAYA menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja Jin negara Madukara, di kawasan hutan Mertani. Ia mempunyai dua kakak kandung, yaitu : Prabu Yudhistira, raja Jin negara Mertani dan Arya Dandunwacana yang bersemayam di kesatrian Jodipati. Arya Dananjaya juga mempunyai dua saudara seayah lain ibu masing-masing bernama ; Ditya Sapujagad yang bertempat tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di kesatrian Baweratalun. Arya Dananjaya sangat sakti. Ia memiliki pusaka berupa jala sutra yang berwujud emas. Bersama kakaknya, Arya Danduwacana, Arya Dananjaya menjadi benteng dan senapati perang negara Mertani, sebuah kerajaan siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker.

Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa, putra Prabu Pandu raja negara Astina, berkat daya kesaktian minyak Jayengkaton yang diperoleh Arjuna dari Bagawan Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani, Arya Dananjaya yang kalah dalam peperangan melawan Arjuna, akhirnya menjelma/sejiwa dengan Arjuna. Kepada Arjuna ia menyerahkan ; Nama Dananjaya menjadi nama sebutan Arjuna, pusaka Jala Sutra Emas, negara Madukara beserta seluruh balatentaranya, dan memberi saran kepada Arjuna untuk mengawini Dewi Ratri, putri Prabu Yudhistira dengan Dewi Rahina yang sesungguhnya pewaris tunggal negara Madukara.

Dandunwacana
ARYA DANDUNWACANA adalah adik Prabu Yudhistira, yang menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja Jin negara Mertani. Ia bersemayam di kesatrian Jodipati. Arya Dandunwacana mempunyai adik kandung bernama ; Arya Dananjaya yang bersemayam di kesatiran Madukara. Arya Dandunwacana juga mempumyai dua saudara seayah lain ibu masing-masing bernama ; Ditya Sapujagad, bertempat tinggal di kesatiran Sawojajar dan Ditya Sapulebu yang bertempat tinggal di kesatiran Baweratalun. Arya Dandunwacana bertubuh tinggi besar, gagah perkasa. Berwatak pemberani, jujur, setia dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Ia bersama adik-adiknya menjadi senapati perang negara Mertani, sebuah kerajaan siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan sebuah hutan belantara yang angker. Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa, putra Prabu Pandu raja negara Astina, berkat daya kesaktian Minyak Jayengkaton milik Arjuna pemberian dari Bagawan Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani, Arya Dandunwacana yang kalah dalam peperangan melawan Bima/Werkudara akhirnya menjelma/sejiwa dengan diri Bima. Kepada Bima, Arya Dandunwacana menyerahkan; hak memakai nama Arya Dandunwacana, negara Jodipati, gada pusaka bernama Rujakpala dan seluruh balatentaranya antara lain Patih Gagakbaka dan para putra Slagahima antara lain ; Podangbinurehan, Dandangminangsi, Jangettinelon, Celengdemalung, Menjanganketawang dan Cecakandon.

Danurwenda
ARYA DANURWENDA adalah putra Arya Anantareja, raja negara Jangkarbumi dengan permaisuri Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa dari negara Tasikraja. Ketika berlangsungnya perang Bharatayuda, Arya Danurwenda masih kecil. Ia tetap tinggal di kahyangan Saptapratala bersama kakeknya, Hyang Anantaboga. Danurwenda memiliki sifat dan perwatakan; jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaannya kepada Sang Maha Pencipta. Ia berkulit Napakawaca, sehingga kebal terhadap segala macam senjata. Danurwenda juga mewarisi cincin Mustikabumi dari ayahnya, Anantareja, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi/tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Arya Danurwenda menikah dengan Dewi Kadriti, cucu Prabu Kurandageni dari negara Tirtakandasan. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Nagapratala. Danurwenda tidak bersedia menjadi raja negara Jangkarbumi, tetapi ia memilih menjadi patih negara Astina di bawah pemerintahan Prabu Parikesit. Negara Jangkarbumi diserahkan kepada putranya, Nagapratala.

Darmahambara
PRABU DARMAHAMBARA adalah raja negara Giyantipura. Permaisurinya bernama Dewi Swargandini, dan mempunyai tiga orang putri masing-masing bernama; Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika/Ambiki. Prabu Darmahambara pernah menyelenggarakan sayembara tanding pilih menantu untuk dua orang putrinya, Dewi Ambika dan Dewi Ambiki. Putri sulungnya, Dewi Amba tidak ikut dipertaruhkan karena sebelunya telah bertunangan dengan Prabu Citramuka, raja negara Srawantipura. Sayembara tanding dimenangkan oleh Dewabrata/Bisma dari negara Astina setelah mengalahkan dua raksasa kembar, Wahmuka dan Arimuka yang menjadin jago negara Giyantipura. Ketiga putri Prabu Darmahambara mengalami nasib yang berbeda. Dewi Amba secara tidak sengaja tewas oleh Dewabrata. Dewi Ambika menikah dengan Prabu Citragada dan Dewi Ambiki dengan Prabu Wicitrawirya, keduanya putra Prabu Santanu dengan Dewi Durgandini dari negara Astina. Setelah Prabu Citragada dan Prabu Wicitrawirya meninggal, Dewi Ambika menikah dengan Arya Drestarasta dan Dewi Ambiki dengan Pandu, keduanya putra Dewi Durgandini dengan Bagawan Abiyasa, dari pertapaan Retawu. Dewi Ambika menurunkan keluarga Kurawa sedangkan Dewi Ambiki menurunkan keluarga Pandawa

Dewayani
DEWI DEWAYANI adalah nenek-moyang keluarga wangsa Yadawa, Wresni dan

Andaka. Ia merupakan putri tunggal Resi Sukra dengan Dewi Jayanti, putri Sanghyang Indra. Resi Sukra adalah brahmana mahasakti yang menjadi guru para daitya/raksasa di negara Sakiya. Karena menghendaki kemenangan para daitya, Resi Sukra bertapa memuja Bathara Prameswara selama l.000 tahun dan mendapat ilmu Sanjiwani, mantra sakti yang dapat menghidupkan orang mati. Karena berselisih dengan Dewi Sarmista, putri tunggal Prabu Wrisaparwa, raja daitya negara Parwata, Dewayani meminta Resi Sukra, ayahnya agar menghukum Prabu Wrisaparma dan Dewi Sarmista yang telah menghina dan mendorongnya ke dalam lumpur. Karena takut terhadap kutuk pastu Resi Sukra, Prabu Wrisaparwa dan Dewi Sarmista memohon ampun dan bersedia memenuhi serta melaksanakan apa yang diminta/dikehendaki Dewayani. Dewayani meminta agar Sarmista menjadi budaknya, dan dipenuhi dengan senang hati oleh Sarmista. Dewayani kemudian menikah dengan Prabu Yayati, raja negara Astina. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki, masing-masing bernama ; Yadu dan Turwasu. Kedua putranya tersebut kelak menurunkan golongan wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka (keluarga Mandura, Lesanpura, Kumbina dan Dwarawti). Dewayani akhirnya dimadu dengan Dewi Sarmista yang diambil istri Prabu Yayati, dan berputra tiga orang lelaki, masing-masing bernama ; Druhyu, Anu dan Puru (menurunkan wangsa Kuru/Pandawa-Kurawa).

Drestadyumna
ARYA DRESTADYUMNA atau Trustajumena adalah putra bungsu Prabu Drupada, raja negara Pancala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai kakak kandung dua orang masingmasing bernama; Dewi Drupadi, istri Prabu Yudhistira, raja Amarta, dan Dewi

Srikandi, istri Arjuna. Konon Arya Drestadyumna lahir dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang menginginkan seorang putra lelaki yang dapat membinasakan Resi Drona yang telah mengalahkan dan menghinanya. Drestadyumna berwajah tampan, memiliki sifat pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas. Ia menikah dengan Dewi Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki bernama; Drestaka dan Drestara. Drestadyumna ikut terjun dalam kancah perang Bharatayuda. Ia tampil sebagai senapati perang Pandawa, menghadapi senapati perang Kurawa, yaitu Resi Drona. Pada saat itu roh Ekalaya, raja negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada Resi Drona menyusup dalam diri Drestadyumna. Setelah melalui pertempuran sengit, akhirnya Resi Drona dapat dibinasakan oleh Drestadyumna dengan dipenggal lehernya. Drestadyumna mati setelah berakhirnya perang Bharatayuda. Ia tewas dibunuh Aswatama, putra Resi Drona, yang berhasil menyusup masuk istana Astina dalam usahanya membunuh bayi Parikesit.

Drona
RESI DRONA atau Durna yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama ; Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Resi Drona berwatak; tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya,

tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna). Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada. Dalam peran Bharatayuda Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Resi Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumna, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumna.

Drupada
PRABU DRUPADA yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/Resi Drona dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya. Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan

Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata. Ia menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan/dikawinkan dengan Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama; Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna. Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Drona, dan separo dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Drona dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa. Di dalam perang besar Bharatayuda, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan Resi Drona terkena panah Cundamanik.

Drupadi
DEWI DRUPADI atau Dewi Kresna dan dikenal pula dengan nama Pancali (Mahabharata) adalah putri sulung Prabu Drupada, raja negara Pancala dengan permaisuri Dewi Gandawati, Putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai dua orang adik kandung bernama ; Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna. Dewi Drupadi berwajah sangat cantik, luhur budinya, bijaksana,sabar, teliti dan

setia. Ia selalu berbakti terhadap suaminya. Menurut pedalangan Jawa, Dewi Drupadi menikah dengan Prabu Yudhistira/Puntadewa, raja negara Amarta dan berputra Pancawala. Sedangkan menurut Mahabharata, Dewi Drupadi menikah dengan lima orang satria Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh lima orang putra, yaitu; 1.Partawindya dari Yudhistira. 2. Srutasoma dari Bima. 3. Srutakirti dari Arjuna 4. Srutanika dari Nakula 5. Srutawarman dari Sahadewa. Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Drupadi mati moksa bersama-sama dengan kelima satria Pandawa setelah berakhirnya perang Bharatayuda.

Dursala
DURSALA adalah putra Arya Dursasana, Adipati Banjarjumut yang merupakan salah satu dari seratus orang keluarga Kurawa dengan Dewi Saltani. Ia berbadan besar, gagah dan bermulut lemar. Dursala mempunyai watak dan sifat; takabur, besar kepala dan senang meremehkan orang lain, ia sangat sakti. Selain pernah berguru pada Resi Drona, Dursala juga menjadi murid kesayangan Bagawan Pisaca, seorang pendeta raksasa dari pertapaan Carangwulung di hutan Wanayasa. Ia diberi Aji Gineng oleh Bagawan Pisaca yang berkhasiat kesaktian siapa saja yang digertaknya badannya akan hancur lebur. Dursala menikah dengan Dewi Sumini. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra yang diberi nama Arya Susena. Dursala tewas dalam pertempuran

melawan Gatotkaca tatkala ia bermaksud menguasai negara Amarta. Badannya hancur terkena hantaman Aji Narantaka

Dursasana
DURSASANA adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia bersaudara 100 orang --{99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa. Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati. Dursasana menikah dengan Dewi Saltani, putri Adipati Banjarjungut. Dari perkawinan ini ia berputra seorang lelaki bernama Dursala. Dursasana berbadan besar, gagah dan bermulut lebar, mempunyai watak dan sifat; takabur,gemar bertindak sewenang-wenang, besar kepala, senang meremehkan dan menghina orang lain. Ia mempunyai pusaka sebuah keris yang luar biasa besarnya bernama Kyai Barla. Dursasana mati di medan perang Bharatayuda oleh Bima/Werkudara dalam keadaan sangat menyedihkan. Dadanya dibelah dengan kuku Pancanaka. Darah yang menyembur ditampung Bima untuk memenuhi sumpah Dewi Drupadi, yang akan dibuat kramas dan mencuci rambutnya. Anggota tubuh dan kepala Dursasana

hancur berkeping-keping, dihantam gada Rujakpala.

Dursilawati
DEWI DURSILAWATI adalah satu-satunya wanita dari 100 (seratus) orang putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Diantara 100 orang, keluarga Kurawa yang dikenal dalam pedalangan adalah; Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjar Jumut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, dan Widandini (raja negara Purantara) . Dewi Dursilawati sangat dimanja oleh orang tuanya dan saudara-saudaranya.

Hidupnya serba mewah, keinginanya selalu terlaksana. Ia jarang sekali keluar dari lingkungan istana. Wataknya bersahaja, menarik hati, gaya dan kata-katanya serba menarik.Dewi Dursilawati menikah dengan Arya Sinduraja/Arya Tirtanata atau lebih dikenal dengan nama Arya Jayadrata, raja negara Sindu. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya Wiruta dan Arya Surata. Setelah berakhirnya perang Bharatayuda dengan tewasnya suaminya, Arya Jayadrata dan seluruh saudaranya dimedan perang Kurusetra, Dewi Dursilawati tinggal dinegara Sindu bersama putranya, Arya Surata yang bertahta menjadi raja negara Sindu menggantikan ayahnya. Sesekali ia datang kenegara Astina untuk membangun dan melanggengkan keakraban hubungan kekeluarga dengan keluarga Pandawa dan keturunannya.

Ekalaya
EKALAYA atau Ekalya (Mahabharata) dalam cerita pedalangan dikenal pula dengan nama Palgunadi. Ia adalah raja negara Paranggelung. Ekalaya mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini, putri hapsari/bidadari Warsiki. Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya berwatak; jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya. Dalam perselisihannya dengan Arjuna, dengan penuh keikhlasan Ekalaya merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang

kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona. Dalam perang Bharatayuda kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumna satria Pancala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya.

Erawati
DEWI ERAWATI adalah putri sulung Prabu Salya raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia mempunyai empat saudara kandung masing-masing bernama; Dewi Surtikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata. Dewi Erawati menikah dengan Prabu Baladewa/Kakrasana, raja negara Mandura, putra Prabu Basudewa dari permaisuri Dewi Mahindra/Maerah (Ped. Jawa). Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama; Winata dan Wimuka/Wilmuka. Dewi Erawati berwatak; penuh belas kasih, setia, sabar dan wingit. Ia dan suaminya hidup tenang dan bahagia sampai masa sesudah perang Bharatayuda. Hal ini karena mereka sekeluarga berada di luar pertikaian keluarga Kurawa dan keluarga Pandawa yang meletus dalam perang Bharatayuda.

Gagakbaka
GAGAKBAKA adalah patih negara Jodipati, semenjak jaman Arya Dandunwacana, sampai kemudian diserahkan kepada Bima/Werkudara setelah keluarga Pandawa berhasil membangun negara Amarta di bekas hutan Mertani. Gagakbaka berperawakan tinggi besar dan gagah perkasa. Ia sangat setia dan taat dalam pengabdiannya terhadap negara dan junjungannya. Gagakbaka pernah disuruh oleh Bima pergi kepertapaan Pandansurat untuk meminta kesediaan Resi Prancandaseta (Kera putih) menari di alun-alun negara Dwarawati memeriahkan upacara perkawinan Arjuna dengan Dewi Sumbadra. Pada mulanya Resi Pancandaseta menolak. Tapi setelah kalah berperang melawan Gagakbaka akhirnya bersedia pula datang dan menari di alun-alun Dwarawati. Gagakbaka ikut terjun ke medan perang Bharatayuda memimpin pasukan balatentara Jodipati. Ia tewas dalam pertempuran melawan Prabu Salya, raja negara Mandaraka.

Gandabayu
PRABU GANDABAYU adalah raja negara Pancala. Konon ia masih keturunan Resi Suksrana, murid Resi Boma, nama samaran Bathara Bayu ketika menjadi raja di negara Medanggora. Prabu Gandabayu menikah dengan Dewi Gandarini, dan berputra dua orang bernama; Dewi Gandawati dan Arya Gandamana. Prabu Gandabayu menurut wujudnya telah mencerminkan wataknya; gagah berani, teguh sentosa, bersahaja, pendiam dan sakti. Ia mempunyai hubungan yang sangat karib dengan Prabu Pandudewanata, raja negara Astina, sehingga Dewi Gandawati dikawinkan dengan Arya Sucitra, punggawa dan murid kesayangan Prabu Pandudewanata. Prabu Gandabayu memerintah negara Pancala sampai mangkatnya. Karena penggantinya, putra mahkota Arya Gandamana tidak bersedia memegang kedudukan raja dan lebih senang menjabat Patih di negara Astina, tahta kerajaan kemudian diserahkan kepada Arya Sucitra, menantunya yang setelah menjadi

Gandamana
ARYA GANDAMANA adalah putra mahkota negara Pancala. Putra Prabu Gandabayu dengan permaisuri Dewi Gandarini. Ia mempunyai kakak kandung bernama Dewi Gandawati. Arya Gandamana adalah kesatria yang tiada tandingannya. Ia berwajah tampan, gagah, tegap, pendiam, pemberani, kuat dan sakti serta memiliki ilmu andalan Aji Bandungbandawasa dan Glagah Pangantol-atol. Arya Gandamana pernah menderita penyakit yang tak tersembuhkan. Penyakit itu baru sembuh setelah ia berikrar, mengucapkan sumpah tidak akan menjadi raja sesuai wangsit Dewata. Gandamana kemudian pergi mengabdikan ke negara Astina kehadapan Prabu Pandu, dan diangkat menjadi patih negara Astina. Jabatan itu dipegangnya sampai ia harus meninggalkan negara Astina karena penghianatan Sakuni. Ketika ayahnya, Prabu Gandabayu meninggal, Gandamana tetap teguh dengan sumpahnya. Ia relakan haknya menjadi raja kepada kakak iparnya, Arya Sucitra yang menjadi raja Pancala bergelar Prabu Drupada. Akhir riwayat Gandamana diceritakan; menurut Mahabharata, Gandamana tewas dalam peperangan melawan Bima saat terjadi penyerbuan anak-anak Kurawa dan Pandawa ke negara Pancala atas perintah Resi Drona. Sedangkan menurut pedalangan, Gandamana tewas dalam peperangan melawan Bima saat ia melakukan pasanggiri/sayembara tanding dalam upaya mencarikan jodoh untuk Dewi Drupadi.

Gandari
DEWI GANDARI adalah putra Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung, masingmasing bernama ; Arya Sakuni, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa. Dewi Gandari menikah dengan Prabu Drestarasta, raja negara Astina, putra Prabu Kresnadwipayana/Bagawan Abiyasa dengan permaisuri Dewi Ambika. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh 100 (seratus) orang anak, tetapi pada waktu lahirnya berwujud gumpalan darah kental, yang oleh Dewi Gandari dicerai beraikan menjadi seratus potongan, dan atas kehendak Dewata menjelma menjadi bayi Manusia. Keseratus putra Dewi Gandari tersebut dikenal dengan nama Sata Kurawa. Diantara mereka yang terkenal dalam pedalangan adalah: Duryudana (raja negara Astina). Bogadatta, (raja negara Turilaya), Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati. Dewi Gandari mempunyai sifat kejam dan bengis. Ia selalu mementingkan diri sendiri dan tidak segan-segan berkhianat serta pendendam. Dendam dan kebenciannya terhadap Pandu, menjadi penyebab utama kebencian anak-anaknya, Kurawa terhadap Pandawa. Ia mati terjun ke dalam Pancaka/api pembakaran jenazah bersama Dewi Kunti dan Prabu Drestarasta setelah berakhirnya perang Bharatayuda.

Gandawati
DEWI GANDAWATI adalah putri sulung Prabu Gandabayu, raja negara Pancala atau Pancalaradya (pedalangan Jawa) dengan permaisuri Dewi Gandarini. Ia mempunyai seorang adik kandung bernama Arya Gandamana yang menjadi patih negara Astina pada jaman pemerintahan Prabu Pandu. Dewi Gandawati seorang putri cantik jelita, luhur budinya, bijaksana, sabar dan teliti serta setia. Ia sangat berbakti terhadap suaminya. Dewi Gandawati menikah dengan Arya Sucitra, putra Arya Sangara dari Hargajambangan yang telah lama mengabdi dan berguru pada Prabu Pandu di negara Astina. Sepeninggal Prabu Gandabayu, Arya Sucitra, suaminya naik tahta kerajaan Pancala, bergelar Prabu Drupada. Hal ini karena Gandamana menolak untuk dinobatkan menjadi raja. Dari perkawinan tersebut Dewi Gandawati memperoleh tiga orang putra, masing-masing bernama ; 1. Dewi Drupadi atau Pancali (Mahabharata) yang kemudian menjadi istri Prabu Yudhistira, raja negara Amarta. 2. Dewi Srikandi, yang kemudian menjadi istri Arjuna, 3. Dretadyumna/ Trustajumena, yang dalam perang Bharatayuda berhasil membunuh Resi Drona. Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Gandawati ikut belapati, terjun ke dalam pancaka (api pembakaran jenasah) Prabu Drupada, suaminya yang gugur di medan perang Bharatayuda melawan Resi Drona.

Garbanata
PRABU GARBANATA adalah raja negara Garbaruci. Ia masih keturunan Prabu Kalaruci, raja negara Karanggubarja, yang tewas dalam peperangan melawan Prabu Pandu saat menyerang Suralaya, karena ingin memperistri bidadari, Dewi Wersini. Prabu Garbanata menikah dengan Dewi Danawati, putri Prabu Kalayaksa, raja negara Garbasumanda. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putri yang bernama Dewi Garbarini. Terdorong oleh rasa dendam terhadap keluarga Mandura, Prabu Garbanata ingin merebut kembali negara Karanggubarja yang kini telah dikuasai oleh Prabu Setyajid/Arya Ugrasena dan berganti nama menjadi negara Lesanpura. Penyerangan besar-besaran pun dilakukan terhadap negara Lesanpura. Dalam penyerangan tersebut Prabu Garbanata kalah dalam peperangan melawan Arya Setyaki, putra Prabu Setyajid dengan Dewi Wersini, yang memilki senjata gada Wesikuning peninggalan Arya Singamulangjaya, senapati perang negara Dwarawati. Perdamaian pun akhirnya dilakukan antara negara Garbaruci dengan Lesanpura. Untuk mengukuhkan tali persaudraan, Dewi Garbarini, putri Prabu Garbasumanda kemudian dijodohkan dengan Arya Setyaki.

Gardapati
GARDAPATI adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia bersaudara 100 orang --{99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata

Kurawa. Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapura , Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati. Gardapati berwatak keras hati, congkak, cerdik dan licik. Ia pandai dalam olah ketrampilan mempergunakan senjata gada dan lembing. Dengan kesaktiannya, ia berhasil merebut negara Bukasapta, dan mengangkat dirinya menjadi raja bergelar Prabu Gardapati. Adik kesayangannya Gardapura di angkat menjadi raja muda bergelar Prabu Anom Gardapura. Saat berlangsungnya perang Bharatayuda, Gardapati diangkat menjadi senapati perang Kurawa dengan senapati pendamping Prabu Wresaya, raja negara Glagahtinalang. Gardapati tewas dalam peperangan melawan Bima. Tubuhnya hancur dihantam gada Rujakpala.

Gardapura
GARDAPURA adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia bersaudara 100 orang -{99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa. Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantura) dan Dewi Dursilawati.

Gardapura bersifat sombong, keras kepala, cerdik dan licik. Ia pandai dalam olah ketrampilan mempergunakan senjata gada dan panah. Gardapura sangat dekat hubungannya dengan Gardapati, kakaknya. Ketika Gardapati menjadi raja di negara Bukasapta, ia diangkat sebagai raja pendamping dengan gelar Prabu Anom Gardapura. Saat berlangsungnya perang Bharatayuda, Gardapura diangkat sebagai Senapati pendamping, mendampingi Resi Drona yang berkedudukan sebagai Senapati utama. Ia tewas dalam peperangan melawan Bima. Kepalanya hancur dihantam gada Rujakpala.

Gareng
GARENG lazim disebut sebagai anaknya Semar, dan masuk dalam golongan panakawan. Aslinya, Gareng bernama Bambang Sukskati, putra Resi Sukskadi dari padepokan Bluluktiba. Bertahun-tahun Bambang Sukskati bertapa di bukit Candala untuk mendapatkan kesaktian. Setelah selesai tapanya, ia kemudian minta ijin pada ayahnya untuk pergi menaklukan raja-raja. Di tengah perjalanan Bambang Sukskati bertemu dengan Bambang Panyukilan, putra Bagawan Salantara dari padepokan Kembangsore. Karena sama-sama congkaknya dan sama-sama mempertahankan pendiriannya, terjadilah peperangan antara keduanya. Mereka mempunyai kesaktian yang seimbang, sehingga tiada yang kalah dan menang. Mereka juga tak mau berhenti berkelahi walau tubuh mereka telah saling cacad tak karuan. Perkelahian baru berakhir setelah dilerai oleh Semar/Sanghyang Ismaya. Karena sabda Sanghyang Ismaya, berubahlah wujud keduanya menjadi sangat jelek. Tubuh Bambang Sukskati menjadi cacad. Matanya juling, hidung bulat bundar, tak berleher, perut gendut, kaki pincang, tangannya bengkok/tekle/ceko (Jawa). Oleh Sanghyang Ismaya namanya diganti menjadi Nala Gareng, sedangkan Bambang Panyukilan menjadi Ptruk. Nala Gareng menikah dengan Dewi Sariwati, putri Prabu Sarawasesa dengan permaisuri Dewi Saradewati dari negara Salarengka, yang diperolehnya atas bantuan Resi Tritusta dari negara Purwaduksina. Nala Gareng berumur sangat panjang, ia hidup sampai jaman Madya.

Gatotkaca
GATOTKACA, terkenal sebagai ksatria perkasa berotot kawat bertulang besi. Ia adalah anak Bima, ibunya bernama Dewi Arimbi. Dalam pewayangan, Gatotkaca adalah seorang raja muda di Pringgadani, yang rakyatnya hampir seluruhnya terdiri atas bangsa raksasa. Negeri ini diwarisinya dari ibunya. Sebelum itu, kakak ibunya yang bernama Arimba, menjadi raja di negeri itu. Sebagai raja muda di Pringgadani, Gatotkaca banyak dibantu oleh patihnya, Brajamusti, adik Arimbi. Begitu lahir di dunia, Gatotkaca telah membuat huru-hara. Tali pusarnya tidak dapat diputus. Berbagai macam pisau dan senjata tak mampu memotong tali pusar itu. Akhirnya keluarga Pandawa sepakat menugasi Arjuna mencari senjata ampuh

untuk keperluan itu. Sementara itu para dewa pun tahu peristiwa itu. Untuk menolongnya Batara Guru mengutus Batara Narada turun ke bumi membawa senjata pemotong tali pusar Gatotkaca. Namun Batara Narada membuat kekeliruan. Senjata, yang bernama Kunta Wijayandanu, itu bukan diserahkan pada Arjuna, me-lainkan pada Karna yang wajah dan penampilannya mirip Arjuna. Untuk memperoleh senjata pemberian dewa itu Arjuna terpaksa mencoba merebutnya dari tangan Karna. Usahanya ini tak berhasil. Arjuna hanya dapat merebut sarung (warangka) senjata sakti itu. Sedangkan bilah senjata Kunta tetap dilarikan Karna. Untunglah ternyata sarung Kunta itu pun dapat digu-nakan memotong tali pusar Gatotkaca. Namun, begitu tali pusar itu putus, warangka Kunta langsung melesat masuk ke dalam pusar bayi itu. Setelah tali pusarnya putus, atas izin Bima dan keluarga Pandawa lainnya, Gatotkaca dibawa Batara Narada ke Kahyangan untuk meng-hadapi Kala Sakipu dan Kala Pracona yang mengamuk. Mula-mula Bima dan Dewi Arimbi tidak merelakan anaknya yang baru lahir itu dibawa Narada. Namun, setelah dewa itu menjelaskan bahwa me-nurut ramalan para dewa, Kala Sakipu dan Kala Pracona memang hanya dikalahkan oleh bayi yang di-namakan Tutuka itu, Bima dan Arimbi mengizinkan. Di kahyangan, Bayi Tutuka langsung ditaruh dihadapan kedua raksasa sakti itu. Kala Sakipu langsung memungut bayi itu dan mengunyahnya, tetapi ternyata Tutuka bukan bayi biasa. Tubuhnya tetap utuh, walaupun raksasa itu mengunyah kuat-kuat. Karena kesal, bayi itu dibantingnya sekuat tenaga ke tanah. Tutuka pingsan. Setelah ditinggal pergi kedua raksasa itu, Bayi Tutuka diambil olah Batara Narada, dan dimasukkan ke Kawah Candradimuka. Di sini Gatotkaca digembleng oleh Empu Batara Anggajali. Setelah penggemblengan selesai, begitu muncul kembali dari Kawah Candradimuka, bayi itu sudah berubah ujud menjadi ksatria muda yang perkasa. Ia mengenakan Caping Basunanda, penutup kepala gaib, yang menyebabkannya tidak akan kehujanan dan tidak pula kepanasan. Ia juga mengenakan terompah Padakacarma yang jika digunakan menendang, musuhnya akan mati. Para dewa lalu menyuruhnya berkelahi melawan bala tentara raksasa pimpinan Prabu Kala Pracona dan Patih Kala Sakipu lagi. Gatotkaca ternyata sanggup menunaikan tugas itu dengan baik. Kala Pracona dan Kala Sakipu dapat dibunuhnya. Dalam pewayangan Gatotkaca mempunyai tiga orang istri. Istri pertamanya Dewi Pregiwa, anak Arjuna. Istrinya yang kedua Dewi Sumpani, dan yang ketiga Dewi Suryawati, putri Batara Surya. Dari perkawinan dengan Pergiwa, Gatotkaca mendapat seorang anak bernama Sasikirana. Dengan Dewi Sumpani ia mempunyai anak bernama Arya Jayasumpena. Sedangkan Suryakaca adalah anaknya dari Dewi Suryawati.

Dalam Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada hari ke-15 oleh senjata Kunta yang dilemparkan Karna. Senjata Kunta Wijayandanu itu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk ke dalam warangkanya. Saat berhadapan dengan Adipati Karna sebenarnya Gatotkaca sudah tahu akan bahaya yang mengancam jiwanya. Karena itu ketika Karna melemparkan senjata Kunta, ia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti itu terus saja memburunya, sehingga akhirnya Gatotkaca gugur. Ketika jatuh ke bumi, Gatotkaca berusaha agar jatuh tepat pada tubuh Adipati Karna, tetapi senapati Kurawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga yang hancur hanyalah kereta perangnya. Sebenarnya, sewaktu berhadapan dengan Gatotkaca, Adipati Karna enggan menggunakan senjata Kunta. Ia merencanakan hanya akan menggunakan senjata sakti itu bila nanti berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Prabu Anom Duryudana menyaksikan betapa Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban dan kerusakan di pihak Kurawa, ia mendesak agar Karna menggunakan senjata pamungkas itu. Akibatnya, sesudah Gatotkaca gugur, sebenarnya Karna sudah tidak lagi memiliki senjata sakti yang benar-benar dapat diandalkan. Sebagai raja muda Pringgadani, Gatotkaca bergelar Prabu Anom Kacanagara. Namun, gelar ini hampir tidak pernah disebut dalam pergelaran wayang. Nama lain Gatotkaca yang lebih terkenal adalah Tutuka, Guritna, Gurubaya, Purbaya, Bimasiwi, Krincingwesi, Arimbiatmaja, dan Bimaputra. Pada Wayang Golek Purwa Sunda, ada lagi nama alias Gatotkaca, yakni Kalananata, Kancingjaya, Trincingwesi, dan Mladangtengah. Gatotkaca amat sayang pada sepupunya, Abimanyu. Sewaktu Abimanyu hendak menikah dengan Dewi Siti Sundari, Gatotkaca banyak memberikan bantuannya. Pengangkatan Gatotkaca sebagai penguasa Pringgadani sebenarnya tidak disetujui pamannya, Bra-jadenta. Adik Dewi Arimbi ini menganggap dirinya lebih pantas menduduki jabatan itu, karena ia le-laki, dan anak kandung Prabu Trembaka raja Pring-gadani terdahulu. Untuk berhasilnya pemberontakan yang dilakukannya Brajadenta minta dukungan Batari Durga dan Kurawa. Namun pemberontakan ini gagal karena Brajadenta ditentang adik-adiknya, terutama Brajamusti. Brajadenta akhirnya mati bersama-sama dengan Brajamusti, ketika mereka berperang tanding. Arwah Brajadenta akhirnya menyusup ke telapak tangan kanan Gatotkaca, sedang arwah Brajamusti di tangan kirinya. Dengan demikian kesaktian Gatotkaca makin bertambah. Gatotkaca pernah melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya. Ia sampai hati membunuh Kalabendana, hanya karena pamannya itu mengatakan pada Dewi Utari bahwa Abimanyu akan menikah lagi dengan Dewi Utari. Padahal Kalabendana adalah pengasuhnya sejak bayi, dan amat menyayangi Gatotkaca. Menjelang ajalnya, Kalabendana mengatakan bahwa ia tidak mau masuk ke sorga bilamana tidak bersama-sama dengan Gatotkaca. Karena itu, ketika Gatotkaca menghindari senjata Kunta Wijayanda-nu dengan cara terbang setinggi-tingginya,

arwah Kalabendana mendorong senjata sakti itu sehingga dapat mencapai pusar putra kesayangan Bima itu. Beberapa tahun menjelang Baratayuda, Gatotkaca pernah bertindak kurang bijaksana. Ia mengum-pulkan saudara-saudaranya, para putra Pandawa, untuk mengadakan latihan perang di Tegal Kurusetra. Tindakannya ini dilakukan tanpa izin dan pemberita-huan dari para Pandawa. Baru saja latihan perang itu dimulai, datanglah utusan dari Kerajaan Astina yang dipimpin oleh Dursala, putra Dursasana, yang menuntut agar latihan perang itu segera dihentikan. Gatotkaca dan saudara-saudaranya menolak tuntutan itu. Maka terjadilah perang tanding antara Gatotkaca dengan Dursala. Pada perang tanding itu Gatotkaca terkena pukulan Aji Gineng yang dimilliki oleh Dursala, sehingga pingsan. Ia segera diamankan oleh saudara-saudaranya, para putra Pandawa. Di tempat yang aman Antareja menyembuhkannya dengan Tirta Amerta yang dimilikinya. Gatotkaca langsung pulih seperti sedia kala. Namun, ia sadar, bahwa kesaktiannya belum bisa mengimbangi Dursala. Selain malu, Gatotkaca saat itu juga tergugah untuk menambah ilmu dan kesaktiannya. Ia lalu berguru pada Resi Seta, putra Prabu Matswapati dari Wirata. Dari Resi Seta putra Bima itu mendapatkan Aji Narantaka. Setelah menguasai ilmu sakti itu Gatotkaca segera pergi mencari Dursala. Dalam perjalanan ia berjumpa dengan Dewi Sumpani, yang menyatakan keinginannya untuk diperistri. Gatotkaca menjawab, jika mampu menerima hantaman Aji Na rantaka, maka ia bersedia memperistri wanita cantik itu.

Berbagai Lakon yang Melibatkan Gatotkaca 1. Gatotkaca Lair (Lahirnya Gatotkaca) 2. Pregiwa - Pregiwati 3. Gatotkaca Sungging 4. Gatotkaca Sewu 5. Gatotkaca Rebutan Kikis 6. Wahyu Senapati 7. Brajadenta - Brajamusti 8. Kalabendana Lena 9. Gantotkaca Rante 10. Subadra Larung 11. Aji Narantaka 12. Gatotkaca Gugur

Dewi Sumpani ternyata mampu menahan Aji Narantaka. Sesuai janjinya, Gatotkaca lalu memperistri Dewi Sumpani. Dari perkawinan itu mereka kelak mendapat anak yang diberi nama Jayasumpena. Keinginan Gatotkaca untuk bertemu kembali dengan Dursala akhirnya terlaksana. Dalam pertem-puran yang kedua kalinya ini, dengan Aji Narantaka itu

Gatotkaca mengalahkan Dursala. Meskipun Gatotkaca selalu dilukiskan gagah perkasa, tetapi pecinta wayang pada umumnya tidak menganggapnya memiliki kesaktian yang hebat. Dalam pewayangan, lawan-lawan Gatotkaca biasanya hanyalah raksasa-raksasa biasa, yakni Butaprepat, yang seringkali dibunuhnya dengan cara memuntir kepalanya. Dalam perang melawan raksasa, Gatotkaca selalu bahu membahu dengan Abimanyu. Gatotkaca menyambar dari udara, dan Abimanyu di darat. Lawan-lawan Gatotkaca yang cukup sakti, hanyalah Prabu Kala Pracona, Patih Kala Sakipu, Boma Narakasura, dan Dursala. Karena Dewi Arimbi sesungguhnya seorang raseksi (raksasa perempuan), maka dulu Gatotkaca dalam Wayang Kulit Purwa digambarkan berujud raksasa, lengkap dengan taringnya. Namun sejak Susuhunan Paku Buwana II memerintah Kartasura, penampilan peraga wayang Gatotkaca dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa diubah menjadi ksatria tampan dan gagah, dengan wajah mirip Bima. Yang diambil sebagai pola adalah bentuk seni rupa wayang peraga Antareja tetapi diberi praba. Nama Gatotkaca yang diberikan pada anak Bima ini berarti rambut gelung bundar. Gatot artinya se-suatu yang berbentuk bundar, sedangkan kata kaca artinya rambut. Nama itu diberikan karena waktu lahir, anak Bima itu telah bergelung rambut bundar di atas kepalanya. Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta, tokoh Gatotkaca ditampilkan dalam enam wanda, yakni wanda Kilat, Tatit, Guntur, Panglawung, Gelap, dan Dukun. Pada tahun 1960-an Ir. Sukarno, Presiden RI, menambah lagi dengan tiga wanda ciptaannya, yakni Gatotkaca wanda Guntur Geni, Guntur Prahara, dan Guntur Samodra. Pelaksanaan pembuatan wayang Gatotkaca untuk ketiga wanda itu dilakukan oleh Ki Cerma Saweda dari Surakarta. Mengenai soal wanda ini, ada sedikit perbedaan antara seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta dengan gagrak Yogyakarta. Di Surakarta, wanda-wanda Gatotkaca adalah wanda Tatit yang diciptakan oleh raja Kartasura, Paku Buwana II (1655 Saka atau 1733 Masehi). Bentuk badannya tegap, mukanya tidak terlalu tunduk, bahu belakang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan bahu depan. Wanda Kilat diciptakan pada zaman pe-merintahan Paku Buwana I, yakni pada tahun 1627 Saka atau 1705 Masehi. Kedudukan bahu depan dan bahu belakang rata, mukanya agak tunduk tetapi tidak setunduk pada wanda Tatit, pinggangnya lebih ram-ping dan posisinya agak maju, sehingga menampilkan kesan gagah. Wanda Gelap mempunyai kesan bentuk badan yang lebih kekar dan tegap, bahu belakang lebih tinggi dibandingkan dengan bahu depan, sedangkan mukanya lebih tunduk ke bawah dibandingkan dengan wanda Tatit. Kapan dan oleh siapa wanda ini diciptakan, tidak diketahui dengan jelas. Gatotkaca wanda Gelap merupakan ciptaan keraton terakhir, yakni pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV (1788 - 1820) di Surakarta. Badannya kekar dan kokoh, bahu belakang lebih tinggi dibandingkan bahu depan, dengan muka agak

datar. Pinggangnya langsing seperti pada wanda Kilat. Wanda Guntur, yang diciptakan pada tahun 1578 Saka atau 1656 Masehi, merupakan wanda Gatotkaca yang tertua dalam bentuknya yang kita kenal sekarang ini. Dulu, sebelum diciptakan peraga Gatotkaca wan-da Guntur, Wayang Kulit Purwa menggambarkan ben-tuk Gatotkaca sebagai raksasa, dengan tubuh besar, wajah raksasa, lengkap dengan taringnya. Dengan pertimbangan bahwa wajah seorang anak tentu tidak jauh beda dengan orang tuanya, Sunan Amangkurat Seda Tegal Arum, raja Mataram, memerintahkan para penatah dan penyungging keraton untuk menciptakan bentuk baru peraga Gatotkaca dengan meninggalkan bentuk raksasa sama sekali. Tubuh dan wajahnya dipantaskan sebagai anak Bima. Maka terciptalah bentuk baru Gatotkaca yang disebut wanda Guntur itu. Bentuk badan Gatotkaca wanda Guntur menampilkan kesan kokoh, kuat, dengan bahu depan lebih rendah daripada bagu belakang, seolah mencerminkan sifat andap asor. Wajahnya juga memandang ke bawah, tunduk. Pinggangnya tidak seramping pinggang Gatotkaca wanda Kilat. Secara keseluruhan bentuk tubuh wanda Guntur seolah condong ke depan. Sementara itu, seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta, membagi Gatotkaca atas empat wanda, yakni wanda Kutis yang biasanya dimainkan untuk adegan perang ampyak; wanda Prabu yang menampilkan kesan berwibawa, khusus ditampilkan pada kedudukan Gatotkaca sebagai raja di Pringgadani; wanda Paseban dipakai kalau Gatotkaca sedang menghadap para Pandawa; sedangkan wanda Dukun dipakai jika Ki Dalang menampilkan adegan Gatotkaca sedang bertapa. Bentuk bagian perut Gatotkaca wanda Dukun ini, agak gendut dibandingkan ukuran perut Gatotkaca pada wanda lainnya. Baca Bima; Pergiwati, Dewi; dan Sukarno.

Gendari
DEWI GANDARI adalah putra Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung, masingmasing bernama ; Arya Sakuni, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa. Dewi Gandari menikah dengan Prabu Drestarasta, raja negara Astina, putra Prabu Kresnadwipayana/Bagawan Abiyasa dengan permaisuri Dewi Ambika. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh 100 (seratus) orang anak, tetapi pada waktu lahirnya berwujud gumpalan darah kental, yang oleh Dewi Gandari dicerai beraikan menjadi seratus potongan, dan atas kehendak Dewata menjelma menjadi bayi Manusia. Keseratus putra Dewi Gandari tersebut dikenal dengan nama Sata Kurawa. Diantara mereka yang terkenal dalam pedalangan adalah: Duryudana (raja negara Astina). Bogadatta, (raja negara Turilaya), Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati. Dewi Gandari mempunyai sifat kejam dan bengis. Ia selalu mementingkan diri sendiri dan tidak segan-segan berkhianat serta pendendam. Dendam dan kebenciannya terhadap Pandu, menjadi penyebab utama kebencian anak-anaknya, Kurawa terhadap Pandawa. Ia mati terjun ke dalam Pancaka/api pembakaran jenazah bersama Dewi Kunti dan Prabu Drestarasta setelah berakhirnya perang Bharatayuda.

Hangyanawati
DEWI HANGYANAWATI atau Yadnyanawati adalah putri Prabu Narakasura, raja negara Surateleng dengan permaisuri Dewi Yadnyagini. Ia berwajah sangat cantik dan memiliki sifat perwatakan ; lembut, sederhana, baik budi, penuh belas kasih dan teguh dalam pendirian. Dewi Hagnyanawati adalah titisan Bathari Dermi, istri Bathara Derma, yang menitis pada Raden Samba/Wisnubrata, putra Prabu Krtesna dengan permaisuri Dewi Jembawati. Setelah Prabu Narakasura tewas dalam peperangan di negara Dwarawati melawan Bambang Sitija. Putra Prasbu Kresna dengan Dewi Pertiwi dan negara Surateleng dikuasai Bambang Sitija, Dewi Hagnyanawati diperistri oleh Bambang Sitija yang setelah menjadi raja negara Surateleng dan Prajatisa bergelar Prabu Bomanarakasuira. Dari perkawinan ini ia memperoleh seorang putra yang diberi nama ; Arya Watubaji. Sesuai dengan ketentuan Dewata, karena tiba saatnya titis Bathari Dermi harus bersatu kembali dengan titis Bathara Derma, suaminya, dengan bantuan Dewi

Wilutama, Dewi Hagnyanawati dipertemukan dengan Raden Samba, di keputrian negera Surateleng. Setelah ada kesepakatan, mereka kemudian meninggalkan keputrian Surateleng pergi ke negara Dwarawati. Perbuatan Dewi Hagnyawati dan Raden Samba ini membangkitkan kemarahan Prabu Bomanarakasura, yang segera menyerang negara Dwarawati untuk merebut kembali Dewi Hagnyanawati istrinya. Prabu Bomanarakasura tewas dalam peperangan melawan Prabu Kresna, ayahnya sendiri. Dewi Hagnyanawati kemudian menjadi istri Raden Samba, sesuai dengan takdir dewata. Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Hagnyanawati mati bunuh diri terjun ke dalam pancaka (api pembakaran jenasah) bela mati atas kematian Raden Samba yang tewas dalam peristiwa perang gada sesama wangsa Yadawa

Irawan
BAMBANG IRAWAN adalah putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Ulupi, putri Bagawan Kanwa (Bagawan Jayawilapa-pedalangan Jawa), dari pertapaan Yasarata. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, bernama; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabukusuma, Wijanarka, Antakadena dan Bambang Sumbada. Irawan lahir di pertapaan Yasarata dan sejak kecil tinggal di pertapaan bersama ibu dan kakeknya. Ia berwatak tenang, jatmika, tekun dan wingit. Menurut kisah pedalangan Irawan tewas dalam peperangan melawan Ditya Kalasrenggi putra Prabu Jatagempol dengan Dewi Jatagini dari negara Gowabarong, menjelang pecah perang Bharatayuda. Sedangkan menurut Mahabharata, Irawan gugur dalam awal perang Bharatayuda melawan Ditya Kalaseringgi, raja negara Gowabarong yang berperang di pihak keluarga Kurawa/Astina.

Jahnawi
DEWI JAHNAWI atau Dewi Gangga (Mahabharata) adalah seorang hapsari/bidadari yang turun ke Arcapada karena kutukan Bhatara Brahma. Ia ditetapkan akan bersuamikan Bathara Mahabhima yang karena kutukan Bathara Brahma akan menjelma menjadi putra Prabu Pratipa, raja negara Astina. Dewi Jahnawi menikah dengan Prabu Santanu, putra Prabu Pratipa dari negara Astina dengan permaisuri Dewi Sumanda. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh delapan orang putra, tetapi hanya seorang yang ia kehendaki hidup dan diberi nama Dewabrata. Sedangkan tujuh putranya yang lain begitu lahir ia buang kesungai Gangga. Sesuai perjanjiannya dengan Prabu Santanu, begitu kelahiran Dewabrata, Dewi Jahnawi kembali ke kahyangan hidup sebagai hapsari/bidadari. Bayi Dewabrata ia serahkan pada asuhan Prabu Santanu.

Jarasanda
PRABU JARASANDA adalah raja negara Magada. Ia masih keturunan Prabu Darmawisesa, raja raksasa dari negara Widarba. Karenanya berbadan tinggi besar, gagah, perkasa dan berwajah setengah raksasa. Prabu Jarasanda berwatak angkara murka, ingin menangnya sendiri, penganiaya, bengis, keras hati, berani serta selalu menurutkan kata hatinya. Ia sangat sakti, dengan dukungan sahabat karibnya yang juga sekutunya, Prabu Supala raja negara Kadi, Prabu Jarasanda berkeinginan menjadi raja besar yang menguasai jagad raya. Untuk memenuhi ambisinya, Prabu Jarasanda bermaksud menyelenggarakan persembahan darah seratus orang raja kepada Bathari Durga. Karena niat jahatnya itu bertentangan dengan kodrat hidup dan dapat merusak ketentraman jagad raya, maka ia harus berhadapan dengan Bathara Wisnu. Prabu Jarasanda akhirnya tewas dalam pertempuran melawan Bima/Werkudara. Tubuhnya hancur terkena hantaman gada Rujakpala.

Jatagempol
PRABU JATAGEMPOL adalah raja raksasa di negara Guwabarong. Ia masih keturunan Prabu Kalasasradewa, raja raksasa di negara Guwamiring yang tewas dalam pertempuran melawan Prabu Pandu. Karena ia dan prajuritnya menyerang negara Mandura untuk merebut Dewi Arumbini, istri Arya Prabu Rukma. Karena ketekunannya bertapa, Prabu Jatagempol menjadi sangat sakti, berwatak angkara murka, bengis dan selalu ingin menangnya sendiri. Prabu Jatagenpol menikah dengan Dewi Jatagini, dan mempunyai seorang anak bernama Kalasrenggi. Untuk membalas dendam kematian Prabu Kalasasradewa, ayahnya, Prabu Jatagempol menyerang negara Amarta. Ia ingin membinasakan keluarga Pandawa yang merupakan keturunan Prabu Pandu. Prabu Jatagempol tewas dalam pertempuran melawan Arjuna. Tubuhnya hancur terkena panah Kyai Sarotama.

Jatagempol
PRABU JATAGEMPOL adalah raja raksasa di negara Guwabarong. Ia masih keturunan Prabu Kalasasradewa, raja raksasa di negara Guwamiring yang tewas dalam pertempuran melawan Prabu Pandu. Karena ia dan prajuritnya menyerang negara Mandura untuk merebut Dewi Arumbini, istri Arya Prabu Rukma. Karena ketekunannya bertapa, Prabu Jatagempol menjadi sangat sakti, berwatak angkara murka, bengis dan selalu ingin menangnya sendiri. Prabu Jatagenpol menikah dengan Dewi Jatagini, dan mempunyai seorang anak bernama Kalasrenggi.

Untuk membalas dendam kematian Prabu Kalasasradewa, ayahnya, Prabu Jatagempol menyerang negara Amarta. Ia ingin membinasakan keluarga Pandawa yang merupakan keturunan Prabu Pandu. Prabu Jatagempol tewas dalam pertempuran melawan Arjuna. Tubuhnya hancur terkena panah Kyai Sarotama.

Jayadrata
ARYA JAYADRATA nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Ia putra angkat Resi Sapwani/Sempani dari padepokan Kalingga, yang tercipta dari bungkus Bima/Werkudara. Arya Tirtanata kemudian dinobatkan sebagai raja negara Sindu, dan bergelar Prabu Sinduraja. Karena ingin memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Prabu Sinduraja pergi ke negara Astina untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya dengan nama patihnya, Jayadrata. Di negara Astina Jayadrata bertemu dengan Keluarga Kurawa, dan akhirnya diambil menantu Prabu Drestarasta, dikawinkan dengan Dewi Dursilawati dan diangkat sebagai Adipati Buanakeling. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama; Arya Wirata dan Arya Surata. Jayadrata mempunyai sifat perwatakan; berani, penuh kesungguhan dan setia. Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia diberi pusaka gada bernama Kyai Glinggang. Jayadrata tewas oleh Arjuna di medan perang Bharatayuda sebagai senapati perang Kurawa. Kepalanya terpangkas lepas dari badannya oleh panah sakti Pasopati.

Jayamurcita
PRABU JAYAMURCITA adalah raja negara Plangkawati. Ia mempunyai adik kandung benrama Jayasemadi yang menjabat patih nagera Plangkawati. Mereka masih keturunan Prabu Kumbala, raja negara Madukara (lama). Merasa sangat sakti, Prabu Jayamurcita, mengutus adiknya, patih Jayasemedi pergi ke negara Madukara untuk melamar Dewi Sumbadra, istri Arjuna. Perbuatannya yang lancang tersebut menimbulkan kemarahan Abimanyu, putra tunggal Dewi Sumbadra dengan Arjuna Dengan bantuan saudara sepupunya, Raden Gatotkaca, raja negara Pringgandani, Abimanyu menyerang negara Plangklawati. Patih Jayasemedi tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca, sedangkan Prabu Jayamurcita tewas oleh Abimanyu oleh tusukan keris Pulanggeni. Sebelum menemui ajalnya, Prabu Jayamurcita menyerahkan kekuasaan negara Plangkawati beserta gelar keprabuannya dan seluruh balatentaranya kepada Abimanyu. Prabu Jayamurcita kemudian mati moksa, sukmanya manunggal dalam tubuh Abimanyu.

Jayasupena
ARYA JAYASUPENA atau Jayasumpena adalah putra Gatotkaca, raja negara Pringgandani dengan Dewi Sumpani, putri Prabu Sarawisesa dari negara Selarengka. Ia mempunyai dua orang saudara seayah lain ibu, bernama; Bambang Sasikirana, putra Dewi Pregiwa, dan Arya Suryakaca, putra Dewi Suryawati, putri Bathara Surya dengan permaisuri Dewi Ngruni. Arya Jayasupena tidak ikut terjun kekancah perang Bharatayuda, karena ketika

perang berlangsung ia masih kecil. Ia berperawakan mirip dengan ayahnya, Gatotkaca. Demikian pula dengan tabiat, kesetiaan, keberanian dan kegagahannya tak berbeda dengan Gatotkaca, berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik pandai, waspada, gesit, tangkas dan terampil, tabah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Perbedaannya, Jayasupena tidak bisa terbang. Setelah berakhiornya perang Bharatayuda dan negara Astina kembali ke dalam kekuasaan negara Pandawa, Arya Jayasupena diangkat menjadi panglima perang negara Astina dalam masa pemerintahan Prabu Parikesit.

Jembawati
DEWI JEMBAWATI adalah Putri tunggal Resi Jembawan (berwujud kera/Wanara) dari pertapaan Gadamadana, dengan Dewi Trijata, putri Gunawan Wibisana dengan Dewi Triwati (seorang hapsari/bidadari) dari negara Alengka/Singgela. Sesuai janji Dewata kepada Dewi Trijata, ibunya, Dewi Jembawati dapat bersuamikan Prabu Kresna, raja negara Dwarawati, yang merupakan raja titisan Sanghyang Wisnu yang terakhir. Dari perkawinan tersebut, ia memperoleh dua orang putra bernama ; Samba, yang berwajah sangat tampan, dan Gunadewa, berwujud sebagai wanara / kera, karena garis keturunan dari Resi Jembawan. Dewi Jembawati berwatak jujur, setia, sabar, sangat berbakti dan penuh belas kasih. Selama menjadi permaisuri Prabu Kresna, ia lebih sering tinggal di pertapaan Gadamadana mengasuh Gunadewa, daripada tinggal di istana Dwarawati. Ia meninggal dalam usia lanjut dan dimakamkan di pertapaan Gadamadana.

Jungkungmadeya
PRABU JUNGKUNGMADEYA adalah raja negara Awu-awulangit. Tokoh Jungkungmardeya hanya dikenal dalam cerita pedalangan Jawa dan dimunculkan dalam lakon "Cocogan". Prabu Jungkungmardeya sangat sakti, selain memiliki aji sirep juga dapat beralih rupa. Prabu Jungkungmardeya bercita-cita ingin memperistri Dewi Srikandi, putri kedua Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari negara Pancala. Ketika lamarannya ditolak, dengan beralih rupa menjadi Arya Drestadyumna (adik Dewi Srikandi) palsu, ia berhasil memasuki keputrian Pancala dan menculik Dewi Srikandi. Drestadyumna yang mengetahui perbuatannya, berusaha merebut Dewi Srikandi dari tangan Prabu Jungkungmardeya, tapi aklhirnya tewas terbunuh dalam peperangan. Untuk membebaskan Dewi Srikandi, Prabu Drupada kemudian meminta bantuan keluarga Pandawa. Karena mati sebelum takdir, Drestadyumna dapat dihidupkan

kembali oleh Prabu Kresna, raja negara Dwarawati, berkat kesaktian Bunga Wjayakusuma. Arjuna yang mengejar ke negara Awu-awulangit berhasil menemukan Dewi Srikandi. Prabu Jungkungmardeya akhirnya tewas dalam peperangan melawan Arjuna dengan panah Pasopati.

Kalabendana
ARYA KALABENDANA adalah putra bungsu Prabu Arimbaka raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung, bernama; Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Brajadenta, Prabkesa, Brajamusti, Brajalamatan dan Brajawikalpa. Kalabendana mempunyai sifat dan perwatakan; sangat jujur, setia, suka berterus terang dan tidak bisa menyimpan rahasia. Kalabendana meninggal karena pukulan/tamparan Gatotkaca yang tidak sengaja membunuhnya. Tamparan Gatotkaca ke kepala Kalabendana hanya bermaksud menghentikan teriakan Kalabendana yang membuka rahasia perkawinan Abimanyu (putra Arjuna dengan Dewi Sumbandra) dengan Siti Sundari (putri Prabu Kresna dengan Dewi Pratiwi) tatkala Abimanyu akan menikah dengan Dewi Utari, putri bungsu Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata. Dendam Kalabendana terhadap Gatotkaca terlampiaskan saat berlangsung perang Bharatayuda. Arwahnya mengantar/menuntun senjata Kunta yang dilepas Adipati Karna, raja Awangga, tepat menghujam masuk ke dalam pusar Gatotkaca yang mengakibatkan kematiannya.

Kalakatung
KALAKATUNG atau sering pula disebut dengan nama Butaterong adalah raksasa hutan. Bertubuh gemuk pendek, kepala gundul dan berhidung besar bulat seperti terong. Dalam cerita pedalangan, Kalakatung biasa ditampilkan sebagai anak buah Cakil atau Yayahgriwa. Kalakatung biasanya berpenampilan lucu karerna suaranya yang bindeng (memiliki suara hidung yang setengah tersendat). Daya berpkirnya lambat, namun memiliki gerakan yang cekatan. Karena pembawaannya yang agak tolol ini, maka ia selalu menjadi bahan ejekan para panakawan. Dalam peperangan, Kalakatung biasanya mati oleh Gareng atau Petruk.

Kalaruci
PRABU KALARUCI adalah raja raksasa negara Karanggubarja. Ia masih keturnan Bathara Kalagotama, putra Bathara Kala dengan Dewi Pramuni dari kahyangan Setragandamayit. Prabu Kalaruci mempunyai saudara kandung bernama Kalayaksadewa yang menjadi raja di negara Gowamiring. Merasa sangat sakti, Pabu Kalaruci datang ke Suralaya untuk meminang Dewi Wersini, seorang bidadari keturunan Sanghyang Pancaresi, yang waktu itu telah diperjodohkan dengan Arya Ugrasena, putra ke-empat Prabu Basukunti, dari negara Mandura. Arya Ugrasena yang didatangan ke Suralaya, ternyata tak mampu mengalahkan Prabu Kalaruci.

Bathara Guru kemudian mengutus Bathara Narada turun ke Arcapada untuk meminta bantuan Prabu Pandu, raka negara Astina, yang juga kakak ipar Ugrasena (Pandu menikah dengan Dewi Kunti, kakak Arya Ugrasena). Pandu kemudian pergi ke Suralaya dengan mengerahkan pasukan Astina dibawah pimpian patih Gandamana dan Arya Sucitra. Dalam peperangan tersebut, Prabu Kalaruci dapat dibinasakan oleh Pandu. Dewi Wersini dan negara Karanggubarja kemudiasn disertahkan kepada Arya Ugrasena.

Kalasasradewa
PRABU KALASASRADEWA adalah raja raksasa negara Guwamiring. Ia mampunyai dua saudara kandung masing-masing bernama; Prabu Kalarodra raja di negara Girikadasar, dan Prabu Kalayaksa yang menjadi di negara Garbasumanda. Mereka masih keturunan Bathara Kalagotama, putra Bathara Kala dengan Dewi Pramuni dari Kahyangan Setragandamayit. Sebagai keturnan Dewi Pramuni/Bathari Durga, Prabu Kalasasradewa sangat sakti. Berwatak angkara murka, serakah, tinggi hati dan mau menangnya sendiri. Ia pernah menyerang negara Kumbina, untuk dapat memperistri Dewi Rumbini, putri Prabu Rumbaka, yang sudah dipertunangkan dengan Arya Prabu Rukma, putra ketiga Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Peperangan pun tidak dapat dihindarkan antara Mandura melawan Gowamiring. Dalam peperangan tersebut semua putra-putra Mandura, seperti Arya Prabu Rukma, Arya Ugrasena, juga Prabu Basudewa tidak dapat mengalahkan Prabu Kalasasradewa. Prabu Basudewa kemudian meminta bantuan Prabu Pandu, raja negara Astina, suami dari Dewi Kunti (adik Prabu Basudewa). Prabu Kalasasradewa akhirnya tewas dalam peperangan melawan Prabu Pandu.

Kalayasa
PRABU KALAYAKSA adalah raja raksasa negara Garbasumanda. Ia mempunyai dua saudara kandung masing-masing bernama; Prabu Kalarodra raja nergara Girikadasar dan Prabu Kalasasradewa yang menjadi raja di negara Guwamiring. Mareka masih keturunan Bathara Kalagotama, putra Bathara Kala dengan Dewi Pramuni/Bathari Durga dari Kahyangan Setragandamayit. Prabu Kalayaksa memiliki sfat dan perwatakan ; bengis, kejam, serakah, suka menurutkan kata hati, mau menangnya sendiri, pemberani dan sangat sakti. Prabu Kalayaksa nenjadi seteru negara Mandura, sejak jaman pemerintahan Prabu Baskunti. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan angkatan perannya, Prabu Kalayaksa menyerang negara Mandura. Selain ingin merebut Dewi Badrahini, istri Prabu Basudewa, juga untuk membalas dendam atas kematian saudaranya, Prabu

Kalasasradewa yang tewas dalam peperangan melawan Prabu Pandu di negara Mandura. Prabu Kalayaksa berhasil menguasai sebagian wilayah negara Mandura, bahkan nyaris menguasai kerajaan Mandura, karena tidak satupun putra-putra Mandura yang berthasil menandingi kesaktiannya. Tapi akhirnya Prabu Kalayaksa mengalami nasib yang sama seperti Prabu Kalasasradewa. Ia tewas dalam pertempuran melawan Prabu Pandu, raja negara Astina. Kematian Prabu Kalayaksa bertepatan dengan kelahiran Raden Arjuna/Peermadi putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti

Kangsa
KANGSA, sering pula disebut Kangsadewa sesungguhnya putra Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang beralih rupa menjadi Prabu Basudewa dan berhasil bermain asmara dengan Dewi Mahira/Maerah (Jawa), permaisuri Prabu Basudewa, raja Mandura. Ia lahir di negara Bombawirayang, dan sejak kecil hidup dalam asuhan ditya Suratrimantra, adik Prabu Gorawangsa. Setelah remaja, oleh Suratrimantra, Kangsa dibawa ke negara Mandura untuk menuntut haknya sebagai putra Prabu Basudewa. Karena sangat sakti, Prabu Basudewa akkhirnya bersedia mengakui Kangsa sebagi putranya dan diberi kedudukan Adipati di Kesatrian Sengkapura Kangsa berwatak angkara murka, ingin menangnya sendiri, penghianat, keras hati, berani dan selalu menurutkan kata hatinya. Dengan dukungan Suratimantra, pamannya yang sakti, Kangsa berniat merebut tahta kekuasaan negara Mandura dari tangan Prabu Basudewa. Pemberontakan Kangsa gagal. Ia mati terbunuh dalam peperangan melawan Kakrasana dan Narayana, putra Prabu Basudewa dari permaisuri Dewi Mahendra/Maekah (Jawa). Sedangkan Suratimatra tewas melawan Bima/Werkudara, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti

Karna
KARNA, yang lebih terkenal dengan sebutan Adipati Karna adalah lawan utama Arjuna dalam Baratayuda. Padahal kedua ksatria itu sama-sama putra Dewi Kunti. Basukarna adalah putra sulung, sedangkan Arjuna anak yang ketiga. Dalam dunia pewayangan Basukarna merupakan profil tokoh wayang yang otodidak, berjuang sendiri tanpa mengandalkan bantuan keluarga. Ia juga menjadi perlambang bagi karakter manusia yang tahu membalas budi, sekaligus rela berkorban bagi menangnya kebenaran, walaupun untuk itu ia harus mengorbankan jiwa dan bahkan juga nama baiknya. Basukarna adalah anak buangan. Ibunya adalah Dewi Kunti alias Dewi Prita, putri bungsu raja Mandura, Prabu Basukunti. Waktu masih berusia remaja, Dewi Kunti mencoba-coba mengguna-kan Aji Adityarhedaya, yakni ilmu un-tuk mendatangkan seorang dewa yang dikehendakinya. Ilmu dipelajarinya dari gurunya, Resi Druwasa, yang se-ngaja didatangkan Prabu Basukunti ke Keraton Mandura untuk mendidik Dewi Kunti. Ternyata ilmu ajaran Resi Druwasa itu benar-benar ampuh. Dengan mem-baca mantra Aji Adityarhedaya, Dewi Prita alias Kunti berhasil mendatangkan Batara Surya. Tetapi kedatangan Batara Surya yang tampan itu membuat Dewi Kunti mengandung, padahal ia masih gadis. ***) Setelah Prabu Kuntiboja mengetahui perihal musibah yang menimpa putrinya, ia amat marah dan segera memanggil Resi Druwasa. Guru Besar itu dipersalahkan telah mengajarkan ilmu tingkat tinggi pada gadis yang belum dewasa. Resi Druwasa mengaku bersalah dan bersedia menjamin keperawanan Dewi Kunti. Tetapi pertapa itu juga menjelaskan, bahwa kelak Dewi Kunti akan memerlukan ilmu itu.

CATATAN KAKI =***) Dewi Prita mempunyai kebiasaan buruk, sering bangun siang. Manakala hari telah terang, dan matahari sudah naik, ia masih tergolek di tempat tidurnya. Sinar terang matahari yang masuk ke kamarnya membuatnya kagum. Tanpa sadar ia mengamalkan Aji Adityarhedaya sambil membayangkan ketampanan Batara Surya. Dengan ilmunya yang tinggi, sesudah masa kehamilannya cukup, Druwasa mengeluarkan jabang bayi yang dikandung melalui telinga Dewi Kunti. Alasannya, ilmu itu masuk dan diresapi oleh Kunti melalui telinganya. Itulah sebabnya, ia diberi nama Karna - yang artinya telinga. Nama lain baginya adalah Talingasmara. Dalam pewayangan ia juga disebut Suryaputra, atau Suryatmaja, karena anak Kunti itu memang benar hasil pertemuan ibunya dengan Batara Surya. Dua nama yang terakhir ini digunakan oleh sebagian besar dalang untuk menyebut Karna sewaktu masih muda. Setelah lahir, Prabu Basukunti segera memerintahkan agar bayi itu dibuang. Maka, bayi Karna pun ditaruh dalam sebuah peti dan dihanyutkan di Sungai Gangga. Sebelum bayinya dibuang Dewi Prita alias Kunti sempat memperhatikan, di telinga bayi itu terdapat Anting Mustika yang memancarkan sinar kemilau. Bayi yang malang itu kemudian ditemukan dan dirawat dengan baik oleh Adirata, seorang sais kereta kerajaan di Keraton Astina. Yang memerintah Astina saat itu adalah Prabu Krisna Dwipayana. Bayi itu lalu diaku anak dan dipelihara dengan penuh kasih sayang oleh Adirata dan istrinya yang bernama Nyai Nanda (Dalam Mahabarata Nyai Nanda disebut Radha. Itulah sebabnya, Basukarna juga disebut Radhea atau Ara-dea). Kebetulan mereka memang tidak punya anak. Tahun berganti tahun, dan takhta Astina diduduki oleh Prabu Pandu Dewanata, menggantikan Prabu Krisna Dwipayana yang mengundurkan diri karena hendak menjadi pertapa. Ketika Prabu Pandu me-ninggal dalam usia muda, Drestarastra menggantikannya untuk sementara waktu, sebagai wali para Pandawa yang saat itu masih kecil-kecil. Menjelang masa remaja, Basukarna sering ikut ayah angkatnya ke Keraton Astina. Di sana ia selalu mengintip dan mencuri dengar dengan penuh perha-tian segala yang diajarkan oleh Resi Krepa dan Begawan Drona kepada murid-muridnya, yaitu para Kurawa dan para Pandawa. Dengan demikian segala sesuatu yang diajarkan oleh kedua mahaguru itu diketahui dan dipahami dengan baik oleh Karna. Minat dan semangat Basukarna untuk belajar amat tinggi. Suatu hari ia memberanikan diri men-jumpai Begawan Drona dan minta agar guru besar itu mau menerima dirinya sebagai murid. Namun permohonan itu ditolak, karena Drona terikat aturan istana: hanya boleh mengajar para pangeran, yakni putra-putra Drestarastra, Pandu, dan Yama Widura. Resi Krepa, guru besar lainnya juga bersikap sama dengan Begawan Drona. Dengan penolakan itu Basukarna tetap hanya bisa belajar dengan cara meng-intip dan mencuri dengar.

Untuk mengetahui sampai di mana tingkat kemajuan ilmu dan keterampilan para Pandawa dan Kurawa, secara berkala Begawan Drona dan Resi Krepa mengadakan uji keterampilan bagi mereka. Pada acara ujian seperti itu ternyata Pandawa selalu unggul. Lebih-lebih Arjuna. Pada setiap pertandingan ksatria remaja yang tampan ini selalu mendapat angka tertinggi. Keunggulan ini membuat Arjuna lalu bersikap sombong. Basukarna yang sejak semula menyaksikan acara itu, merasa panas hati melihat kesombongan dan keangkuhan Arjuna. Walaupun ayah angkatnya telah berusaha mencegah, dengan nekad Karna lalu me-nantang Arjuna untuk adu tanding dalam ketrampilan keprajuritan dengan dirinya. Tantangan Karna ini ditolak Arjuna, karena sebagai seorang putra raja Arjuna merasa dirinya tidak pantas melayani tantangan Karna yang hanya anak seorang sais kereta. Tantangan Karna itu memang mengejutkan semua orang, termasuk para Kurawa. Duryudana, si Sulung dalam keluarga Kurawa segera memanfaatkan peristiwa itu. Dengan pengaruh yang dimilikinya selaku putra Prabu Drestarastra, saat itu juga Duryudana mengangkat Basukarna sebagai adipati di Kadipaten Awangga. ***) Dengan kedudukan Karna sebagai seorang adipati, tidak ada lagi alasan bagi Arjuna untuk menolak tantangan itu. Adu tanding pun dimulai. Dan ternyata keduanya sama kuat dan sama mahirnya. Resi Krepa dan Begawan Drona akhirnya memberikan penilaian tidak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Keduanya seimbang sama kuat. Dewi Kunti yang menyaksikan acara pertandingan itu, saat itu sudah yakin benar bahwa Karna sesungguhnya adalah anak sulungnya, yang belasan tahun sebelumnya dihanyutkan di sungai. Selain wajahnya yang amat mirip dengan Arjuna, gerak-gerik Karna boleh dibilang sama dengan Ksatria Panengah Pandawa itu. Lagi pula. dari telinga Karna memancar sinar kemilau Anting Mustika yang telah menempel sejak dilahirkan. Namun untuk segera mengakuinya sebagai anak, Dewi Kunti merasa tidak menemukan alasan yang tepat. Dewi Kunti tercekam oleh perasaan antara yakin dan ragu. Yakin, karena baik raut wajah maupun bentuk tubuh Karna seolah bayangan Arjuna, dan Anting Mustika itu pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu. Namun Kunti juga ragu, apakah jika ia tiba-tiba mengakui Karna sebagai anak akan membuat situasi menjadi baik, ataukah sebaliknya. Selain berguru secara tidak langsung pada Begawan Drona dan Resi Krepa yakni hanya dengan mendengar dan melihat dari kejauhan, Karna sempat pula berguru pada seorang brahmana sakti bernama Rama Parasu alias Rama Bargawa. Ini dilakukan setelah permohonan Karna untuk diterima menjadi murid resmi Begawan Drona dan Resi Krepa, ditolak.

CATATAN KAKI = ***) Menurut pewayangan, Karna menjadi Adipati di Awangga

bukan karena hadiah atau diangkat oleh Duryudana, tetapi karena hasil usahanya sendiri. Karna memperoleh negeri itu setelah me-ngalahkan Prabu Karnamandra, yaitu raja penguasa di Awangga. Untuk dapat berguru pada brahmana yang kesaktiannya tidak tertandingi siapa pun di dunia ini, Karna harus menyamar sebagai brahmana. Penyamaran itu terpaksa dilakukan karena Rama Bargawa amat membenci golongan ksatria. Dari gurunya yang ini Basukarna antara lain mendapat ilmu Bramastra, yakni ilmu ketrampilan memanah. ***) Sesudah mewariskan berbagai ilmunya, barulah Rama Bargawa sadar bahwa Karna sebenarnya bukan dari golongan brahmana, melainkan seorang ksatria. Penyamaran Basukarna ini terbongkar manakala Rama Bargawa tidur berbantal paha muridnya. Saat itu seekor ketonggeng, sejenis kalajengking berbisa, menyengat paha Basukarna. Namun untuk menjaga jangan sampai gurunya terbangun, dengan sekuat tenaga Karna menahan rasa sakit yang alang kepalang itu, sehingga keringatnya bercucuran. Rama Bargawa justru terbangun ketika peluh Karna menetes ke wajahnya. Sewaktu tahu apa yang terjadi, sadarlah Sang Guru bahwa muridnya itu tentu berasal dari golongan ksatria. Hanya seorang ksatria yang tangguh sanggup menahan rasa sakit yang demikian hebat. Karena merasa ditipu, dengan marah Rama Bar-gawa mengucapkan kutukannya: Kelak dalam Baratayuda, pada saat yang genting - yang menentukan hidup atau mati, Karna akan lupa bunyi mantera ilmu Bramastra. Dan, kelak ternyata, kutukan itu akan terbukti. Basukarna menikah dengan Dewi Surtikanti, putri Prabu Salya, raja Mandraka. Pernikahan ini sebenarnya tidak disetujui oleh Prabu Salya, yang telah merencanakan akan menikahkan Surtikanti dengan Duryudana. Saat itu Duryudana sudah berkedudukan sebagai Prabu Anom, atau raja muda. Oleh sebab itu Karna diam-diam lalu sering masuk ke Istana Mandraka dan secara sembunyi-sembunyi memadu kasih dengan sang Dewi, bahkan kemudian melarikan Dewi Surtikanti, sehingga mereka terpaksa dinikahkan. Sejak itu timbullah kebencian Prabu Salya terhadap Karna, walaupun telah menjadi menantunya. Prabu Anom Duryudana sendiri sebenarnya amat sakit hati pada tindakan Karna melarikan Dewi Surtikanti, justru pada saat raja muda Astina itu sedang menyiapkan lamarannya pada Prabu Salya. Namun karena keluarga Kurawa sangat memerlukan tenaga

CATATAN KAKI = ***) Sebagian dalang menyebut ilmu itu Aji Kunta Bramasta. Basukarna, terutama pada saat menghadapi Baratayuda kelak, masalah Dewi Surtikanti itu tidak diperpanjang lagi. Apalagi kemudian Prabu Salya menjanjikan akan menikahkan Duryudana dengan Dewi Banowati, adik Surtikanti.

Karena perkawinannya dengan Dewi Surtikanti itu, Karna mempunyai dua orang raja besar sebagai ipar, yakni Prabu Anom Duryudana, dan Prabu Ba-ladewa yang sebelumnya telah menikahi Dewi Erawati, putri sulung Prabu Salya. Adipati Awangga itu memiliki sifat pantang berkhianat, tahu membalas budi, percaya diri, teguh dalam pendirian, dan membenci orang yang terlalu mengagungagungkan kebangsawanannya. Karena selalu diperlakukan dengan baik dan dihargai oleh Kurawa, Adipati Karna merasa berhutang budi pada Duryudana dan adik-adiknya. Itu pula yang me-nyebabkan ada sebagian pecinta wayang menggolongkan Basukarna sebagai tokoh yang berpihak pada kejahatan dan mabuk akan derajat serta kedudukan. Selain seimbang kesaktiannya, penampilan dan wajah Basukarna amat mirip dengan Arjuna. Itulah sebabnya Batara Narada pernah keliru menganggap Arjuna tatkala akan memberikan senjata Kunta Wijayandanu. Senjata pusaka pemberian dewa itu seharusnya diberikan kepada Arjuna untuk memotong tali pusar Gatotkaca yang baru lahir. Dalam perja-lanannya mencari Arjuna, Batara Narada yang secara kebetulan berjumpa dengan Basukarna, salah lihat, mengira bertemu Arjuna dan memberikan senjata Kunta Wijayandanu pada Karna. ***) Arjuna kemudian berusaha merebut kembali senjata pusaka itu, tetapi gagal. Yang berhasil direbut hanyalah wa-rangkanya (sarung) saja. Dalam pewayangan, kisah mengenai senjata Kun-ta ini diceritakan dalam lakon Lahirnya Gatotkaca.

CATATAN KAKI = ***)Dalang ternama, Ki Nartasabda, dalam lakon Banjaran Karna menceritakan bahwa Batara Surya yang tahu rencana perjalanan Batara Narada memberitahu Karna agar mencegat dewa itu, dan mengaku sebagai Arjuna. Jadi, perjumpaan Karna dengan Narada bukan suatu kebetulan. Meskipun sebelumnya telah tahu, tetapi baru tiga hari sebelum pecah Baratayuda, Basukarna yakin benar bahwa ia sesungguhnya adalah putra sulung Dewi Kunti. Berarti ia adalah saudara tua yang seibu dengan Yudistira, Bima, dan Arjuna. Yang meya-kinkan adalah penjelasan yang diberikan oleh ayahnya sendiri, yaitu Batara Surya. Waktu itu Batara Surya datang menjumpainya dan menceritakan siapa sebe-narnya Basukarna sesungguhnya. Batara Surya juga memperingatkan agar Karna waspada, sebab Batara Endra, ayah Arjuna akan datang menemuinya dan membujuknya dengan berbagai cara guna mele-mahkan Karna. "Ingatlah Karna, dari aku sejak lahir engkau telah kuwarisi Anting Mustika dan Kotang Kerei Kaswargan. Anting Mustika berkhasiat akan mengingatkan engkau bilamana ada bahaya mengan-cam, sedangkan dengan Kotang Kerei Kaswargan engkau akan kebal terhadap senjata apa pun. Jangan sampai kedua pusaka itu lepas dari tanganmu, siapa pun yang memintanya."

Ketika itu Basukarna menjawab: "Ayahanda, ... itu tergantung pada siapa yang memintanya. Jika seorang brahmana datang meminta, sebagai seorang ksatria tentu pantang bagi hamba untuk menolaknya, walaupun yang diminta itu langsung menyangkut keamanan jiwa hamba ..." Apa yang diperingatkan oleh Batara Surya memang terjadi. Esok harinya, dua hari menjelang Baratayuda berlangsung Batara Endra datang menjumpainya dalam ujud seorang brahmana tua. Seperti yang diduga oleh Batara Surya, saat itu brahmana tua yang sebenarnya penjelmaan Batara Endra meminta Anting Mustika dan Kotang Kerei Kaswargan. Tanpa menanyakan, apa alasan brahmana itu memintanya, dengan hati teguh dan ikhlas Karna menjawab: "Bilamana Bapa Brahmana memang menginginkan, ambillah. Namun hamba tidak memiliki kemampuan melepaskan kedua pusaka pemberian Ayahanda Batara Surya ini dari tubuh hamba. Hanya seorang dewa saja yang akan sanggup melepaskannya ..." Brahmana tua itu menjawab: "Jangan khawatir, ksatria mulia. Hamba sendiri yang akan melepaskannya." Karena brahmana itu memang penjelmaan dewa, dengan mudah ia melepaskan kedua pusaka andalan Basukarna. Namun, pada saat itu sebenarnya hati kecil Endra terharu dan heran menyaksikan ketulusan hati Karna. Rasa simpati itu menyebabkan Batara Endra - yang masih dalam ujud brahmana, berkata: "Karna, engkau sungguh seorang ksatria sejati yang berbudi luhur. Sudah sepantasnya jika ksatria agung seperti Tuanku memiliki senjata pamungkas yang ampuh. Karenanya, sebagai ganti barang yang hamba ambil, terimalah pemberian hamba berupa anak panah Wijayacapa." Basukarna: "Hamba telah menyerahkan dengan ikhlas kedua barang yang Bapa Brahmana minta. Bilamana Bapa Brahmana juga memberikan senjata pamungkas itu dengan ikhlas, dengan senang hati hamba akan menerimanya." Demikianlah, hari itu Karna kehilangan dua pusaka yang merupakan perisai dirinya, tetapi mendapat pusaka pengganti sebuah senjata pamungkas. Sehari menjelang Baratayuda, beberapa saat setelah Prabu Kresna sebagai duta yang gagal kemu-dian dikroyok para Kurawa sehingga terpaksa me-lakukan triwikrama, terjadi peristiwa sebagai berikut: Sebelum pulang ke Kerajaan Wirata untuk me-laporkan hasil perundingannya pada pihak Pandawa, Kresna secara khusus datang menemui Karna. Pada pertemuan empat mata, raja Dwarawati itu berusaha membujuk Karna agar bersedia menyeberang ke pihak Pandawa. Saat itulah terjadi perdebatan dan adu pendapat di antara mereka. Karna menolak bujukan itu dengan alasan, bahwa sebagai ksatria sudah selayaknya ia harus tahu membalas budi. Kurawa telah memberikan kemuliaan duniawi dan derajat kepangkatan kepadanya. Kini, tibalah saatnya bagi Karna untuk membalas budi baik para Kurawa.

Kresna: "Dinda Karna, Baratayuda yang akan dimulai esok hari, bukan perang kecil. Perang itu me-rupakan pertarungan antara pihak yang benar dengan pihak yang salah. Antara kebaikan dan keadilan me-lawan keserakahan kebatilan. Jadi, dalam hal ini soal balas budi bukanlah hal yang mutlak harus dilakukan, karena membela kebenaran bagi seorang ksatria lebih mutlak harus dilaksanakan." Karna: "Kakanda Kresna, sebagai seorang titisan Wisnu mestinya kakanda maklum, jika Adinda berpihak pada para Kurawa dan berperang melawan adik-adikku para Pandawa, bukan berarti Adinda berpihak pada keangkaramurkaan. Adinda berperang di pihak mereka semata-mata hanya menjalani darma ksatria, membalas kebaikan dengan kebaikan pula. Itu adalah kewajiban Adinda. Jika Adinda harus berperang melawan adik-adik para Pandawa, bukan berarti Adinda berperang melawan kebaikan dan kebenaran, melainkan juga hanya karena menjalani darma ksatria. Soal kalah atau menang bagi Adinda bukan lagi merupakan hal yang penting. Yang penting, sebagai ksatria Adinda harus menjalankan kewajiban sebagai prajurit menghadapi lawannya." Kresna: "Tetapi, Dinda Karna. Dengan adanya Adinda di pihak Kurawa, tentu akan menyulitkan para Pandawa untuk memenangkan Baratayuda." Karna: "Kakanda Kresna. Adinda tahu benar, adik-adikku para Pandawa bukan ksatria yang takut dan enggan menghadapi kesulitan." Kresna: "Saya memahami hal itu. Namun, jika Adinda Karna mau menyeberang ke pihak Pandawa, tentu Kurawa tidak akan meneruskan niatnya me-nempuh jalan perang, sehingga Baratayuda dapat dicegah." Karna: "Justru Adinda yang sebenarnya sangat menginginkan Baratayuda segera terjadi." Kresna: "Mengapa? Peperangan akan selalu membawa penderitaan bagi banyak orang. Bilamana Adinda Karna dapat mencegahnya, mengapa itu tidak Adinda lakukan? Apa alasannya?" Karna: "Kakanda Kresna yang bijaksana, ... Adinda telah mengenal para Kurawa, satu persatu secara pribadi sejak mereka masih kecil, sejak masih remaja. Adinda mengenal benar tabiat dan watak mereka, pendirian mereka. Adinda tahu benar akan keserakahan mereka, sifat iri, culas, dan dengki mereka. Rasanya, mereka memang dilahirkan sebagai manusia-manusia pembawa sifat buruk yang tidak lagi dapat diperbaiki. Bahkan Maharesi Bisma, Kakek Abiyasa, Begawan Drona, Resi Krepa, yang tinggi wibawanya pun tidak sanggup memperbaiki sifat-sifat buruk mereka. Tidak satu pun saran dan nasihat baik dari para pini sepuh Astina yang mereka dengar. Mereka hanya mengikuti hasutan jahat dari Paman Sengkuni dan Ibunda Dewi Gendari. Kakanda Kresna, Adinda berpendapat tidak ada cara lain untuk memberantas keangkaramurkaan dan kebatilan yang telah belasan tahun terjadi di Astina, kecuali dengan meniadakan keberadaan mereka di dunia ini. Itulah sebabnya, bagaimana pun, Barata-yuda harus segera terjadi. Saya berketetapan hati untuk memihak Kurawa, saya sengaja membakar-bakar semangat Adinda Duryudana, saya bujuk mereka agar jangan takut berperang, ... itu semua agar Baratayuda dapat segera

terjadi sebagaimana seharusnya." Kresna: "Adinda Karna. Kakanda benar-benar menaruh hormat akan pendirian Adinda yang teguh itu. Namun dengan adanya Dinda Basukarna di pihak Kurawa, bagaimana pun, Baratayuda tentu akan berlangsung lebih lama dan korban di kedua pihak akan lebih banyak. Tidakkah hal ini Dinda pertimbangkan?" Karna: "Adinda memahami hal itu. Namun, bu-kankah jer basuki mawa beya? Kakanda Prabu Kresna tentu sudah faham benar, Baratayuda adalah peristiwa yang menjadi sarana untuk memusnahkan segala yang jahat dan yang angkara. Untuk mencapai masyarakat dunia yang tenteram dan damai, selalu harus ada yang menjadi korban, dan selalu harus ada yang dikor-bankan. Itu sudah merupakan hukum alam yang berlaku pada zaman apa pun. Adinda tahu, bahwa menurut takdir pada Baratayuda nanti Adinda harus berhadapan dengan Arjuna. Entah siapa yang akan kalah, dan siapa yang akan unggul, kita semua belum tahu. Seandainya Adinda yang gugur, maka Adinda ikhlas sebab pe-ngorbanan Adinda adalah untuk kemenangan adik-adik para Pandawa dan itu berarti pengorbanan Adinda adalah untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Demikian pula, seandainya Adinda yang menang, Arjuna pun sebagai ksatria harus ikhlas karena pengorbanannya tentu tidak sia-sia." Kresna: "Adinda Karna, cobalah Adinda renungkan sekali lagi. Pengorbanan Adinda Karna dengan pengorbanan Adinda Arjuna, jelas berbeda. Jika Adinda Basukarna gugur dalam Baratayuda nanti, sejarah akan mencatat Adinda Karna gugur karena berperang di pihak yang salah. Adinda Basukarna tewas karena membela pihak angkara. Sedangkan jika Dinda Arjuna yang gugur, maka ia akan dianggap sebagai pahlawan pembela keberaran. Coba renungkan hal itu." Karna: "Itu pun Adinda pahami. Namun, bukankah sebagai ksatria kita tidak boleh memperhitungkan untung rugi dalam menjalankan darmanya? Adinda berperang di pihak Kurawa karena menjalankan darma Adinda sebagai ksatria. Hamba tidak peduli lagi tentang bagaimana sejarah akan mencatat nama Adinda. Biarlah sejarah mencatat Adinda sebagai pembela nafsu angkara pihak Kurawa. Biarlah nama baik Adinda hancur karena sikap Adinda dalam menjalankan darma. Karena nama baik itu pun telah Dinda ikhlaskan sebagai pengorbanan demi tegaknya kebenaran dan keadilan .." Prabu Kresna tidak bisa berkata-kata lagi. Dengan penuh haru dipeluknya putra sulung Kunti itu erat-erat. "Semoga Yang Maha Mengetahui selalu memberikan berkah kepadamu, Dinda Basukarna ..." kata titisan Wisnu itu. Setelah pertemuannya dengan Prabu Kresna, lewat tengah hari, Adipati Karna pergi ke Sungai Gangga hendak mensucikan dirinya. Hati kecilnya merasa, ia akan gugur dalam perang besar antarke-luarga Barata itu. Karenanya, sebelum menghadap pada Sang Pencipta, anak pungut Sais Adirata itu ingin lebih dahulu mensucikan tubuhnya. Di tepi sungai yang dianggap suci itu, secara kebetulan Karna bertemu dengan Dewi Kunti yang juga baru saja selesai mensucikan tubuhnya. Sekali lagi, sebagaimana perjumpaanya dengan Prabu Kresna, kali ini Dewi Kunti juga berusaha membujuk Adipati Karna agar mau menyeberang ke pihak Pandawa.

"Basukarna anakku, ... sebenar-benarnyalah bahwa engkau itu anak sulungku. Para dewa dapat menjadi saksi. Hanya karena keadaan, engkau terpaksa berpisah dengan adik-adikmu para Pandawa. Hanya karena keadaan yang membuatmu terpaksa bergabung dengan pihak Kurawa. Namun, perang besar akan terjadi esok hari. Aku, ibumu ini, sangat berharap engkau tidak berdiri di pihak yang berlawanan dengan adik-adikmu. Bergabunglah engkau bersama kelima adikmu. Jika harapanku ini engkau kabulkan, berarti engkau membahagiakan wanita yang pernah melahirkanmu." Dengan penuh hormat Karna menjawab: "Ibunda Dewi Kunti yang amat hamba hormati. Hamba mengerti, keadaan telah membuat hamba terpaksa berpisah dengan adik-adik hamba. Hamba juga mengerti bahwa karena keadaan pula hamba sekarang berdiri di pihak Kurawa yang merupakan lawan para Pandawa, adik-adik hamba. Namun, bukankah kita tidak dapat hanya menyalahkan keadaan? Bilamana Ibunda Dewi Kunti mengharapkan agar hamba menyeberang ke pihak Pandawa dan meninggalkan Kurawa, maka itu berarti hamba menyalahi darma hamba sebagai seorang ksatria. Hamba akan menjadi pengkhianat bagi Kurawa yang selama ini telah memberikan derajat dan kemuliaan pada hamba. Hamba akan menjadi manusia yang tidak tahu membalas budi, yang membalas kebaikan orang dengan pengkhianatan. Baratayuda yang akan dimulai esok hari, bukan alasan bagi hamba untuk mengecewakan harapan para Kurawa yang mengandalkan kekuatan hamba ..." Kunti: "Karna, Anakku. Ibunda mengerti, engkau adalah prajurit sejati. Engkau seorang ksatria utama. Namun, cobalah engkau renungkan barang sejenak. Selain harus menjalani darmamu sebagai seorang ksatria, engkau pun mempunyai kewajiban menjalankan darmamu sebagai seorang putra terhadap ibumu. Tidak adakah keinginanmu untuk membahagiakan wanita yang telah melahirkanmu?" Karna: "Ibunda Dewi Kunti, junjungan hamba. Tentu saja hamba ingin membahagiakan Ibunda Dewi. Hamba ingin agar Ibunda Kunti dapat merasakan kebahagiaan serta bangga, bilamana hamba dapat menjalankan darma hamba sebagai seorang ksatria." Kunti: "Tetapi ..., Karna Anakku. Engkau tentu juga tahu, dalam Baratayuda nanti besar kemungkinan engkau akan berhadapan dengan adikmu, Arjuna. Tidak bisa tidak, salah satu dari kalian berdua akan menjadi korban kekejaman perang besar itu. Dapatkah engkau membayangkan, betapa remuknya hati seorang ibu, manakala ia tahu dua orang putranya saling ber-hadapan di medan perang dengan tekad akan saling membunuh? Dapatkah kau bayangkan itu, anakku?" Kunti tidak lagi dapat menahan air matanya. Basukarna pun terharu mendengar kata-kata yang diucapkan oleh wanita yang dulu melahirkannya itu. Namun, dengan menguatkan hati, Basukarna berkata dengan lembut: "Ibunda Dewi Kunti yang hamba hormati. Hamba yang hina ini memahami benar kepedihan hati Ibunda Dewi. Namun hamba mohon, .... anggaplah kepedihan itu sebagai pengorbanan Ibunda untuk ketentraman dan kedamaian masyarakat banyak. Ibunda tentu juga tahu, bahwa Baratayuda adalah salah satu sarana dan jalan untuk membebaskan dunia dari keangkaramurkaan yang selama ini dilakukan oleh para Kurawa. Semua orang yang melangkah pada jalan darmanya harus ikut berkorban demi ketentraman dunia. Ada yang ditakdirkan harus mengorbankan jiwanya, ada yang

harus mengorbankan suaminya, mengorbankan orang yang disayanginya, dan ... tentunya tidak terkecuali Ibunda Dewi. Bilamana ternyata dalam Baratayuda nanti Adinda Arjuna yang terpaksa menjadi korban, maka ia akan gugur sebagai pahlawan. Ibunda Dewi dapat membanggakannya, walaupun tentu dalam kesedihan se-orang ibu yang kehilangan putra. Demikian pula, bilamana hamba yang tewas dalam perang tanding itu, Ibunda Dewi pun boleh merasa bangga karena hamba tewas dalam menjalankan darma hamba sebagai seorang prajurit, sebagai ksatria. Jika hamba gugur, maka hamba bukan mati sebagai pengkhianat" Kunti merasa, tidak akan ada manfaatnya ia membujuk Karna lebih lanjut. Sekarang ibu para Pandawa itu tahu benar keteguhan hati anak sulungnya itu. Karena itu, Kunti lalu berkata: "Anakku, Karna. Aku tidak lagi dapat merangkai kata-kata. Kesedihanku sebagai seorang ibu, membuat tenggorokanku serasa tersumbuat. Tetapi, ... kumohon kepadamu, izinkan aku memelukmu, anakku. Puluhan tahun, sejak engkau masih berujud bayi merah, aku telah kehilangan engkau. Aku tidak berkesempatan merawat, memelihara dan mengasihimu. Untuk itu, maafkanlah Ibumu ini. Biarlah aku memelukmu barang sejenak, anakku ...." Dengan air mata bercucuran Dewi Kunti memeluk anak sulungnya, menciumi ubunubunnya, sambil berkata terisak di sela tangisnya: "Restuku untukmu, anakku. Doaku untukmu, buah hatiku ...." Pertimbangan Karna dalam mengambil keputusan itu adalah, karena sebagai ksatria ia harus tahu membalas budi kepada Kurawa yang sudah memberinya kedudukan, kemuliaan, derajat dan pangkat. Tanpa bantuan Suyudana dan keluarga Kurawa lainnya, ia akan tetap dikenal sebagai anak sais kereta Adirata. Pertimbangan yang lain adalah, jika ia tidak ikut beperang, mungkin Baratayuda akan gagal, batal, tidak terlaksana, karena bisa jadi Duryudana akan memilih jalan damai. Dan, jika ini terjadi berarti kesewenangan di dunia akan tetap berjalan terus. Sikap Basukarna yang siap untuk mati dalam pe-rang juga dibuktikan ketika ia menolak tawaran bantuan Naga Ardawalika yang diam-diam akan ikut menyerang Arjuna. Walaupun tawaran bantuannya ditolak, ketika tahu bahwa Adipati Karna gugur, Ardawalika atas inisiatifnya sendiri langsung menyerang Arjuna, tetapi ksatria Pandawa itu pun berhasil membunuhnya. Dalam Baratayuda, Basukarna sebagai panglima perang di pihak Kurawa, pada hari ke-15 berhasil membunuh Gatotkaca dengan senjata Kunta Wijayandanu. Penggunaan senjata pamungkas ini se-benarnya sama sekali di luar rencananya. Sejak ia menerima Kunta dari tangan Batara Narada, ia merencanakan penggunaan senjata sakti yang hanya dapat sekali digunakan itu untuk menghadapi Arjuna. Hati kecil Basukarna memang menaruh dendam pada Arjuna sejak ksatria Pandawa itu menghinanya di hadapan umum dengan menolak mengadu ketrampilan dengannya. Namun sewaktu Gatotkaca memporakpo-randakan barisan prajurit Kurawa dan membunuh beberapa adik Duryudana, penguasa Astina itu mulai khawatir. Di tengah pertempuran Duryudana mencari Basukarna dan memintanya untuk menghadapi Gatotkaca. Semula Adipati Karna menolak karena ia sedang mencari-

cari Arjuna. Duryudana lalu meng-ingatkan, bahwa perang ini bukan perang pribadi. Ia minta agar Basukarna melupakan dulu dendam pribadinya, dan lebih memikirkan kemenangan bagi seluruh Kurawa. Karena desakan Duryudana ini, Basukarna terpaksa menghadapi Gatotkaca. Putra Bima itu memang berhasil dikalahkannya, namun dengan demikian ia kehilangan Kunta Wijayandanu. Waktu berperang tanding melawan Arjuna, Basukarna sudah tidak lagi memiliki senjata andalan. Supaya dirinya sederajat dengan Arjuna, ia minta agar mertuanya Prabu Salya bersedia menjadi saisnya. Alasannya, kereta perang Arjuna dikemudikan Sri Kresna, raja Dwarawati. Agar seimbang dan tampak sederajat, kereta perangnya juga harus dikendalikan seorang raja, dan menurut anggapannya, yang paling tepat adalah Prabu Salya. Permintaan ini amat menyakitkan hati Prabu Salya dan serta merta raja Mandraka itu mendampratnya, dan mengatakannya sebagai menantu yang tidak tahu diri. Duryudana dengan cepat melerai, kemudian membujuk Prabu Salya. Hanya karena bujukan Duryudana, akhirnya Salya mau menuruti permintaan Basukarna. Peristiwa itu menambah kebencian raja Mandraka itu pada menantunya itu. Di medan perang Karna menggunakan kereta perang bernama Jaladra, sedangkan kereta perang Arjuna bernama Jatisura. Kedua kereta perang yang berisi dua ksatria utama itu seolah menjadi primadona pertempuran. Pada suatu kesempatan Basukarna melepaskan panah pusakanya Wijayacapa, dibidikkan tepat ke leher Arjuna. Namun, pada saat yang tepat Prabu Salya menarik tali kekang kuda, sehingga kereta perang yang dikendarainya tergoncang. Panah Wijayacapa meluncur deras, tetapi bidikannya tidak tepat lagi. Panah sakti itu hanya menyambar mahkota gelung rambut Arjuna. Sesaat berikutnya Arjuna me-lepaskan anak panah pusaka Pasopati dan tepat menebas leher Basukarna. ***) Karna yang berperang dengan sepenuh hati akhirnya gugur sebagai ksatria utama dalam Bara-tayuda, sebagaimana dikehendakinya. Ia telah mendarmabaktikan jiwanya pada Kerajaan Astina yang telah mengangkat derajatnya dari kedudukan anak sais menjadi seorang adipati. Ia juga telah merelakan jiwanya untuk membahagiakan Dewi Kunti, ibu kandung yang tidak pernah menyusui, mengasuh, dan mengasihinya. Karena jika bukan dia yang gugur, maka Arjunalah yang harus tewas dalam perang tanding itu. Dan, bila ini terjadi tentu akan membuat ibunya lebih berduka. Sementara itu, ketika tubuh Karna roboh ke bumi, keris Kyai Jalak Kaladite yang disandangnya lepas dari warangkanya (sarung keris) dan melayang, melesat ke arah dada Arjuna. Tetapi Arjuna yang selalu waspada segera menangkis serangan keris itu dengan gendewa pusakanya. Basukarna, seorang anak yang terbuang sejak bayi, seorang anak pungut sais kereta bernama Adirata, gugur dalam keyakinan untuk menjalankan darmanya sebagai ksatria utama.

CATATAN KAKI = ***) Menurut salah satu versi Ma-habarata di India, Basukarna

gugur karena siasat licik Kresna. Waktu itu salah satu roda kereta perang Karna terperosok ke dalam lumpur. Karna lalu melepaskan seluruh senjatanya, turun dari kereta, kemudian mencoba mendorong kereta itu untuk membebaskan roda kereta yang terbenam di lumpur. Pada saat itu Kresna memberi isyarat, agar Arjuna melepaskan anak panahnya. Jadi, Karna terpanah dalam keadaan tidak bersenjata; sesuatu yang sebenarnya terlarang dalam Baratayuda. Dari perkawinannya dengan Dewi Surtikanti, putri Prabu Salya, Basukarna mendapat dua orang putra, yaitu Warsasena dan Warsakusuma. Kelak Warsakusuma kawin dengan Dewi Lesmanawati, putri Prabu Anom Duryudana. Dengan demikian, hu-bungan Basukarna dengan Duryudana, selain sebagai ipar, ia juga merupakan besan. Dewi Surtikanti meninggal karena bunuh diri. Pada saat Baratayuda berlangsung, ia selalu mengikuti berita dari medan perang yang disampaikan oleh Patih Adimanggala, yakni patih Kadipaten Awangga. Suatu hari, patih Kadipaten Awangga itu menyampaikan be-rita yang tidak jelas, sehingga Dewi Surtikanti salah mengerti. Ia mengira suaminya gugur di palagan Ba-ratayuda. Tanpa pikir panjang Surtikanti bunuh diri dengan mencabut patrem (keris kecil) lalu menusukkannya ke dadanya sendiri. Kematian Dewi Surtikanti membuat Adipati Karna amat marah. Ia mempersalahkan Adimanggala. Tanpa banyak bicara Karna segera membunuh Patih Adimanggala. Tetapi versi lain menyebutkan, Patih Adimanggala gugur bersama (sampyuh - Bhs. Jawa) ketika ia bertempur melawan Patih Udawa, abang satu ibu lain ayah. Perkawinan Basukarna alias Basusena dengan Dewi Surtikanti sebenarnya dapat berlangsung dengan bantuan Arjuna. Kisahnya begini: Suatu ketika Keraton Mandraka geger karena Dewi Surtikanti dilarikan oleh seorang ksatria muda yang tampan. Mulanya ksatria itu memasuki keputren dan berasyikmasyuk dengan Dewi Surikanti. Ketika mereka dipergoki para dayang istana dan terjadi ke-ributan, ksatria itu segera lari membawa sang Dewi. Para prajurit yang berusaha menghalanginya, tidak sanggup menghadapi kesaktian ksatria tampan itu. Kejadian ini membuat marah Prabu Salya dan Prabu Anom Duryudana, karena sebenarnya Dewi Surtikanti akan dikawinkan dengan raja muda Astina itu. Dari keterangan para dayang, yang menyebut bahwa pria yang melarikan sang Putri itu sangat tampan, Prabu Salya dan Duryudana langsung menu-duh Permadi (nama panggilan Arjuna selagi muda) sebagai pelakunya. Permadi mencoba membantah, namun tidak seorang pun yang percaya. Resi Bisma lalu mengambil kebijaksanaan: Permadi harus mencari pelaku penculikan atas Dewi Surtikanti dalam waktu tiga hari. Bila dalam waktu itu Permadi tidak berhasil, maka ia akan dijatuhi hukuman sebagai si Penculik. Permadi sanggup.

Dalam waktu singkat, Permadi menemukan Dewi Surtikanti di Istana Awangga. Karenanya, ksatria Pandawa itu minta agar Basukarna menurut dibawa ke Mandraka sebagai tertuduh. Karna menolak, dan terjadilah perang tanding. Adu ketrampilan dan kesaktian di antara keduanya begitu seru sehingga kahyangan goncang karenanya. Batara Narada lalu

Lakon-lakon Yang Melibatkan Basukarna Pandadaran Siswa Sokalima Bale Sigala-gala Suryatmaja - Surtikanti Brantalaras Rabi Banjaran Karna Salya Gugur Bisma Gugur Karna Tanding

turun ke dunia untuk melihat apa yang menjadi penyebabnya. Setelah tahu apa yang terjadi, dewa itu segera melerainya. Narada menjelaskan bahwa sebenarnya keduanya bersaudara. Diterangkan, Karna sebenarnya adalah putra sulung Dewi Kunti yang ketika masih bayi dibuang ke Sungai Gangga dan ditemukan oleh Adirata. Sedangkan Permadi adalah anak Kunti yang keempat. Dengan penjelasan itu mereka pun berdamai. Basukarna bersedia membawa kembali Dewi Surti-kanti ke Mandraka, karena Permadi menyanggupi akan memintakan maaf pada Prabu Salya, sekaligus membujuknya agar Karna diterima sebagai menantu. Usaha Permadi ini berhasil. Basukarna diakui oleh Prabu Salya sebagai menantu, walaupun hati kecilnya masih tetap tak menyukai Karna, yang dianggapnya telah memberikan malu kepadanya. Sedangkan Duryudana yang amat kecewa karena gagal kawin, terpaksa menerima kenyataan itu. Lagi pula, Duryudana juga berusaha tetap memelihara persahabatannya dengan Karna, yang diharapkan bantuannya pada saat pecah Baratayuda kelak. Dalam pewayangan di Indonesia, mengenai peran Basukarna dalam memantik api perang Baratayuda ada dua versi. Sebagian dalang menceritakan bahwa Basukarna sengaja menyulut api perang dengan maksud agar angkara murka keluarga Kurawa cepat hancur punah dengan terjadinya perang besar itu. Ia tahu benar kekuatan Kurawa dan sekutunya tidak akan sanggup menandingi para Pandawa, namun ia membesar-besarkan hati dan membakar semangat Prabu Anom Duryudana, sehingga penguasa Astina itu memilih jalan peperangan daripada perdamaian. Guna me-nyirnakan angkara murka, ia sanggup mengorbankan jiwanya, dan bahkan juga nama baiknya.

Sebagian dalang yang lain menyebutkan, sikap Basukarna menyulut api peperangan disebabkan karena dendamnya pada para Pandawa, terutama pada Arjuna yang dinilainya angkuh. Gambaran tentang pribadi Basukarna dalam pewayangan pada umumnya memang sedikit lebih baik dibandingkan dengan yang tergambar dalam Kitab Mahabarata. Dalam Mahabarata, selain dendam pada Arjuna, Adipati Awangga itu juga sangat membenci Dewi Drupadi. Kebencian Basukarna pada Dewi Drupadi disebabkan karena peristiwa berikut ini: Ketika Prabu Drupada, raja Pancala (di pewayangan Pancala disebut Cempalaradya) hendak men-carikan jodoh bagi Dewi Drupadi, Basukarna adalah salah seorang pesertanya. Setelah para peserta lain gagal mengangkat gendewa pusaka, Karna ternyata sanggup. Namun pada saat itu Dewi Drupadi berseru dengan nyaring: "Saya adalah putri raja besar, tidak akan mungkin saya menikah dengan pria berdarah sudra (orang biasa, bukan bangsawan)." Kata-kata Dewi Drupadi ini amat menyakitkan hati Basukarna. Tanpa bicara apa pun ia lalu berjalan keluar istana. Kelak, ketika Pandawa kalah main dadu dan Drupadi sebagai barang taruhan dipanggil untuk diper-malukan oleh para Kurawa, Basukarna berkesempatan membalas sakit hatinya. Waktu itu Adipati Karna sengaja memanas-manasi Dursasana agar mene-lanjangi Dewi Drupadi di hadapan umum. Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa tokoh Basukarna dirupakan dalam dua wanda, yakni wanda Badru (Bedru) dan wanda Lontang. Basukarna, yang dalam pewayangan lebih sering disebut Adipati Karna, atau Basusena, oleh Sri Mangkunegara IV (1853 - 1881) dipilih sebagai salah satu tokoh dari tiga orang ksatria teladan dalam Serat Tripama. Ksatria teladan lainnya adalah Kumbakarna dan Bambang Sumantri. Lihat juga Kunti, Dewi; dan Arjuna.

Kartamarma
KARTAMARMA adalah salah seorang diantara 100 orang keluarga Kurawa (Sata Kurawa) yang terkemuka. Ia putra Prabu Drestarasta raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Diantara saudaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah; Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati. Kartamarma memliki perwatakan; keras hati, pandai bicara, cerdik, lincah, agak pengecut dan selalu ingin enaknya sendiri. Ia menikah dengan Dewi Karastri, putri raja Banyutinalang. Setelah mertuanya meninggal. Kartamarma dinobatkan menjadi raja di Banyutinalang. Kartamarma tidak mati di medan perang Bharatayuda. Ia mati dibunuh oleh Bima setelah berakhirnya perang Bharatayuda, tatkala bersama Aswatama menyeludup masuk ke dalam istana negara Astina dengna niat menculik dan membunuh bayi Parikesit, putra Abimanyu dengan Dewi Utari.

Kartapiyoga
KARTAPIYOGA atau Kartawiyoga adalah putra Prabu Kurandageni dari negara Tirtakandasan. Ia berbadan besar, gagah dan berwajah setengah raksasa. Kartawiyoga berwatak keras hati, berani dan selalu menuruti kata hati.

Nama Kartawiyoga mulai dikenal karena dengan kesaktiannya ia nekad memasuki keputrian negara Mandaraka dan menculik Dewi Erawati, putri sulung Prabu Salya dengan Dewi Pujawati/Setyawati. Dewi Erawati ia larikan ke negara Tirtakandasan dengan maksud akan diperistri. Namun sebelum maksud Kartawiyoga terlaksana, telah datang menyusul Kakrasana, putra Prabu Baladewa dengan Dewi Mahindra dari negara Mandura yang datang bersama Arjuna, satu dari lima satria Pandawa untuk membebaskan Dewi Erawati. Akhirnya Kartawiyoga tewas dalam peperangan melawan Kakrasana. Tubuhnya hancur terkena hantaman Alugara.

Kencakarupa
KENCAKARUPA atau Kecaka (Mahabharata) adalah putra angkat Resi Palasara, dari padepokan Retawu, dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti raja negara Wirata. Ia tercipta dari kemudi perahu yang pecah terbentur batu besar, yang digunakan Resi Palasara dan Dewi Durgandini menyeberangi sungai Gangga. Kancakapura terjadi berbarengan dengan saudaranya yang lain, yaitu; Rajamala, Upakeca / Rupakeca, Setatama, Gendawana dan Dewi Ni Yutisnawati / Rekatawati. Kencakarupa juga mempunyai tiga saudara angkat lainnya, yaitu; Bagawan Abiyasa, putra Resi Palasara dengan Dewi Durgandini, Citragada dan Wicitrawirya, keduanya putra Dewi Durgandini dengan Prabu Santanu, raja negara Astina. Kencakarupa berwatak keras hati, penghianat, ingin menangnya sendiri, berani dan

selalu menurutkan kata hati. Sangat sakti dan mahir dalam olah keprajuritan mempergunakan senjata gada dan lembing/tombak. Akhir riwayatnya diceritakan, Kencakarupa tewas dalam peperangan melawan Bilawa/Bima karena bersama saudaranya Rupakenca, Setatama dan Gandawana melakukan pemberontakan untuk mengulingkan kekuasaan raja Wirata, Prabu Matswapati.

Krepa
RESI KREPA atau Kirpa (Mahabharata) adalah putra kedua Prabu Purungaji, raja negara Tempuru dengan permaisuri Dewi Uruwaci. Ia mempunyai kakak kandung bernama Dewi Krepi yang kemudian menjadi istri Resi Drona. Dari padepokan Sokalima Sejak muda Krepa mengabdi di negara Astina sejak masa pemerintahan Prabu Pandu. Karena mahir dalam ilmu falsafah ia diangkat menjadi penasehat kerajaan. Krepa berwatak jujur, setia dan penuh pengabdian. Ia hidup sebagai pendeta wadat (tidak bersentuhan dengan wanita). Ada beberapa versi tentang akhir hidup Resi Krepa, Dalam Mahabharata diceritakan, Resi Krepa hidup sampai jaman Prabu Parikesit, dan diangkat menjadi Parampara/Ahli nujum kerajaan. Cerita Pedalangan menyebutkan, Krepa mati oleh tangan Adipati Karna, karena ia menentang pengangkatan Adipati Karna menjadi Senapati Agung Kurawa. Kisah lain menyebutkan. Krepa mati oleh panah Arjuna setelah berakhirnya perang Bharatayuda, tatkala ia bersama Aswatama menyenludup masuk ke dalam istana Astina untuk membunuh Parikesit.

Krepi
DEWI KREPI atau Kirpi (Mahabharata) adalah putri sulung Prabu Purungaji, raja negara Tempuru dengan Permaisuri Dewi Uruwaci. Ia mempunyai adik kandung bernama Krepa/Kirpa yang menjadi pendeta Istana Negara Astina. Dewi Krepi mempunyai kesaktian dapat beralih rupa menjadi apa saja yang ia kehendaki. Ia pernah beralih rupa menjadi Kuda Sembrani betina untuk menolong Bambang Kumbayana/Resi Drona terbang menyeberangi lautan. Dewi Krepi kemudian menjadi isteri Bambang Kumbayana, dan berputra seorang lelaki bernama Bambang Aswatama. Ketika Resi Drona dan Aswatama tinggal di negara Astina dan berhasil membangun padepokan Sokalima, Dewi Krepi tetap menetap di negara Tumpuru, sampai akhir hayatnya.

Kresna
PRABU KRESNA yang waktu mudanya bernama Narayana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maekah (Jawa). Ia lahir kembar bersama kakaknya, Kakrasana, dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Sumbadra/Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Prabu Kresna juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura. Prabu Kresna adalah titisan Sanghyang Wisnu yang terakhir. Selain sangat sakti dan dapat bertiwikrama, ia juga mempunyai pusaka-pusaka sakti, antara lain; Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, Terompet/Sangkala Pancajahnya, Kaca paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan. Ia mendapat negara Dwarawati setelah mengalahkan Prabu Narasinga, kemudian naik tahta bergelar Prabu Sri Bathara Kresna. Prabu Kresna mempunyai 4 (empat) orang permaisuri : 1.Dewi Jembawati, putri Resi Jembawan dengan Dewi Trijata dari pertapaan Gadamadana, berputra ; Samba dan Gunadewa (berwujud kera). 2.Dewi Rukmini, putri Prabu Bismaka/Arya Prabu Rukma dengan Dewi Rumbini dari negara Kumbina, berputra: Saradewa (berwujud raksasa), Partadewa dan Dewi Titisari/Sitisari. 3.Dewi Setyaboma, putri Prabu Setyajid/Arya Ugrasena dengan Dewi Wersini, dari negara Lesanpura, berputra ; Arya Setyaka. 4.Dewi Pratiwi, istri turunan sebagai titisan Sanghyang Wisnu, putri Nagaraja dari Sumur Jalatunda, berputra ; Bambang Sitija dan Dewi Siti Sundari.

Setelah meninggalnya Prabu Baladewa/Resi Balarama, kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Yadawa, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantaraan panah seorang pemburu bernama Ki Jara yang mengenai kakinya.

Kumaladewa
BAMBANG KUMALADEWA adalah putra Arjuna, satria Pandawa putra Prabu Pandu, raja negara Astina dari permaisuri Dewi Kunti, dengan Dewi Jimambang, putri Bagawan Wilwuk/Wilawuk dari pertapaan Pringcendani. Ia mempunyai adik kandung bernama Bambang Kumalasakti. Kumaladewa juga mempunyai 12 orang saudara lain ibu, bernama; Abimanyu, Sumitra, Wisanggeni, Bambang Irawan, Bratalaras, Wilugangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Wijanarka, Antakawulan dan Bambang Sumbada. Kumaladewa mempunyai sifat dan perwatakan; tenang, pemberani, baik tingkah lakunya dan sangat berbakti. Selain memiliki berbagai ilmu kesaktian, ia juga memiliki cupu berisi minyak Jayengkaton pemberian kakeknya, Bagawan Wilawuk. Daya khasiat minyak Jayengkaton, apabila dioleskan pada pelupuk mata, maka ia akan dapat melihat semua mahluk halus/ mahluk siluman. Sejak kecil, Kumaladewa tinggal bersama ibu dan kakeknya di pertapaan Pringcendani. Akhir riwayatnya diceritakan gugur pada awal pecah perang Bharatayuda melawan Prabu Salya raja negara Mandaraka.

Kunti
DEWI KUNTI atau Dewi Prita (Mahabrata) adalah putri kedua Prabu Basukunti, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung bernama; Arya Basudewa, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena. Dewi Kunti menikah dengan Prabu Pandu, raja negara Astina, putra Bagawan Abiyasa dengan Dewi Ambiki. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Sebelum menikah dengan Prabu Pandu, Dewi Kunti telah mempunyai seorang putra dari Bathara Surya sebagai akibat kesalahannya merapal/membaca mantera Aji Pepanggil/Aji Gineng ajaran Resi Druwasa. Putranya tersebut bernama Basukarna/Aradea atau Suryatmaja yang setelah menjadi raja di negara Awangga dikenal dengan nama Adipati Karna. Dewi Kunti sangat menyenangi dan mempelajari ilmu-ilmu kejiwaan/kebatinan. Ia berwatak penuh belas kasih, setia dan wingit. Dengan penuh kecintaan ia mengasuh dan mendidik dua orang anak tirinya. Nakula dan Sadewa, putra Prabu

Pandu dengan Dewi Madrim, melebihi kecintaannya pada putra-putranya sendiri. Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Kunti mati moksa bersama-sama dengan Dewi Gandari dan Prabu Drestarasta setelah selesainya perang Bharatayuda.

Leksmanamandrakumara
BAMBANG LESMANAMANDRAKUMARA dikenal pula dengan nama Bambang Sarajakusuma (pedalangan Jawa). Ia adalah putra sulung Prabu Suyudana/Duryudana, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Banowati, putri Prabu Salya dengan Dewi Pujawati/Setyawati dari negara Mandaraka. Lesmanamandrakumara mempunyai seorang adik perempuan bernama Dewi Lesmanawati, yang menjadi istri Arya Warsakapura, putra kedua Adipati Karna dengan Dewi Surtikanti dari negara Awangga. Lesmanamandrakumara sangat dimanja oleh orang tuanya. Ia mempunyai daya pikir yang lambat dan agak pengecut. Lesmanamandrakumara ikut terjun di medan pertempuran perang Bharatayuda. Ia yang bermaksud membunuh Abimanyu, putra Arjuna dengan Dewi Sumbadra yang sudah dalam keadaan tak berdaya, akhirnya tewas oleh Abimanyu karena lebih dahulu tertusuk keris Pulanggeni.

Leksmanawati
DEWI LEKSMANAWATI adalah putri Prabu Suryudana/Duryudana, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Banowati putri Prabu Salya dengan Dewi Pujawati/Setyawati dari negara Mandaraka. Ia mempunyai kakak kandung bernama Leksmanamdrakumara/Bambang Sarajakusuma. Dewi Laksmanawati sangat dimanja oleh orang tuanya. Hidupnya serba mewah, keinginanya selalu terlaksana. Ia jarang sekali keluar dari lingkungan istana. Wataknya bersahaja, menarik hati, gaya dan kata-katanya serba menarik. Dewi Leksmanawati menikah dengan Arya Warsakusuma, putra kedua Adipati Karna, raja negara Awangga dengan permaisuri Dewi Surtikanti. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Warsaka, yang setelah perang Bharatayuda diangkat menjadi punggawa istana negara Astina dibawah pemerintahan Prabu Parikesit.

Madrim
DEWI MADRIM atau Dewi Madri adalah putri Prabu Mandrapati, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Tejawati. Ia mempunyai kakak kandung

bernama Narasoma, yang setelah menjadi raja Mandaraka bergelar Prabu Salya. Dewi Madrim menikah dengan Prabu Pandu, raja negara Astina dan menjadi permaisuri ke dua mendampingi Dewi Kunti. Dari perkawinan tersebut, ia berputra dua orang kembar yang diberi nama Nakula dan Sadewa. Dewi Madrim berwatak penuh belas kasih, setia, sabar dan Wingit. Akhir riwayat Dewi Madrim diceritakan, ia terjun kedalam Pancaka (api pembakaran jenazah) ikut bela pati atas kematian suaminya, Prabu Pandu. Kedua putra kembarnya, Nakula dan Sadewa yang masih bayi kemudian diasuh oleh Dewi

Maerah
DEWI MAERAH atau Dewi Mahira (Mahabharata) adalah putra Prabu Kurandapati, raja negara Widarba. Ia mempunyai adik kandung bernama Dewi Mahindra atau Dewi Maekah (pedalangan Jawa). Dewi Maerah dan Dewi Maekah keduanya menjadi permaisuri Prabu Basudewa, raja negara Mandura. Dengan tidak disengaja dan disadarinya, Dewi Maerah telah mengalami malapetaka, digauli oleh Prabu Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu. Atas perbuatannya itu ia mendapat hukuman, diusir keluar dari negara Mandura. Dewi Maerah yang dalam keadaan hamil ditempatkan di negara Bombawirayang, diserahkan kepada ditya Suratrmantra, adik Prabu Gorawangsa. Di tempat pengasingannya itu Dewi Maerah melahirkan seorang putra lelaki yang berwujud setenah raksasa yang diberi nama Kangsa atau Kangsadewa. Setelah Kangsa dewasa dengan terus terang, Dewi Maerah menceritakan keadaan sebenarnya, bahwa ia sesungguhnya permaisuri Prabu Basudewa, raja negara Mandura. Kangsa tidak sepenuhnya putra Gorawangsa, tetapi juga putra Prabu Basudewa, sehingga berhak mendapat pengakuan sebagai putra Prabu Basudewa. Dengan dukungan Suratrimantra, Kangsa pergi kenegara Mandura. Ia akhirnya diakui sebagai putra Prabu Basudewa dan diangkat menjadi Adipati di Sengkapura. Oleh Kangsa, Dewi Maerah diboyong ke Sengkapura. Ketika Kangsa tewas dalam peperangan melawan Kakrasana dan Narayana, Dewi Maerah ikut

Mandrapati
PRABU MANDRAPATI adalah putra Prabu Mandradipa raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Ayutamayi. Ia termasuk keturunan Wangsa Yadawa, yang berdasarkan garis keturunan masih memiliki hubungan dengan keluarga Mandura dan Dwarawati (Wangsa Yadawa) Wangsa Boja dan Wangsa Kuru (Kurawa dan Pandawa). Prabu Mandrapati menjadi raja negara Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandradipa yang mengundurkan diri hidup sebagai brahmana.

Prabu Mandrapati menikah dengan Dewi Tejawati, seorang hapsari/bidadari, dan dikarunia 2 (dua) orang putra, yaitu; Narasoma dan Dewi Madrim. Mandrapati mempunyai watak; sabar, ikhlas, percaya akan kekuasaan Tuhan, tahu membalas guna dan selalu bertindak adil. Ia bersahabat karib dengan Bagawan Bagaspati, Pendeta raksasa di pertapaan Argabelah. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Mandrapati meninggal karena bunuh diri akibat tidak tahan menanggung malu atas perbuatan putranya, Narasoma yang sangat tercela membunuh Bagawan Bagasapati.

Mandrapati
PRABU MANDRAPATI adalah putra Prabu Mandradipa raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Ayutamayi. Ia termasuk keturunan Wangsa Yadawa, yang berdasarkan garis keturunan masih memiliki hubungan dengan keluarga Mandura dan Dwarawati (Wangsa Yadawa) Wangsa Boja dan Wangsa Kuru (Kurawa dan Pandawa). Prabu Mandrapati menjadi raja negara Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandradipa yang mengundurkan diri hidup sebagai brahmana. Prabu Mandrapati menikah dengan Dewi Tejawati, seorang hapsari/bidadari, dan dikarunia 2 (dua) orang putra, yaitu; Narasoma dan Dewi Madrim. Mandrapati mempunyai watak; sabar, ikhlas, percaya akan kekuasaan Tuhan, tahu membalas guna dan selalu bertindak adil. Ia bersahabat karib dengan Bagawan Bagaspati, Pendeta raksasa di pertapaan Argabelah. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Mandrapati meninggal karena bunuh diri akibat tidak tahan menanggung malu atas perbuatan putranya, Narasoma yang sangat tercela membunuh Bagawan Bagasapati.

Mayanggaseta
RESI MAYANGGASETA atau Resi Pracandaseta (cerita pedalangan) berwujud kera/wanara putih dan bertempat tinggal di pertapaan Pandansurat, di daerah kerajaan Jodipati, wilayah negara Mertani. Menurut purwacarita, Resi Mayanggaseta masih keturunan Resi Supalawa, kera putih andel kepercayaan Resi Manumayasa/Kanumayasa di pertapaan Paremana, salah satu dari tujuh puncak Gunung Saptaarga. Ketika negara Mertani berhasil ditahklukkan dan dikuasi oleh keluarga Pandawa menjadi negara Amarta, dan kerajaan Jodipati berada dalam kekuasaan Bima/Werkudara, padepokan Pandansurat dimerdekakan, menjadi tanah perdikan yang bebas darti pembayaran pajak atau upeti. Resi Mayanggaseta pernah diminta bantuannya oleh keluarga Pandawa agar

bersedia menari di alun-alun negara Dwarawati sebagai persyaratan memeriahkan upacara perkawinan antara Arjuna dengan Dewi Wara Sumbadra, adik Prabu Kresna raja negara Dwarawati. Untuk meminta kesediaan Resi Mayanggaseta, Bima mengutus patih Gagakbaka ke pertapaan Pandansurat. Pada mulanya Resi Mayanggaseta menolak, karena ia merasa dihinakan/direndahkan martabatnya, sebab walau berwujud kera ia seorang brahmana yang juga bisa berbicara dan beradat istiadat sebagaimana manusia. Selain itu ia juga masih keturunan Resi Supalawa, manusia kera kekasih dewata. Namun setelah ia kalah berperang melawan Gagakbaka, Resi Mayanggaseta akhirnya bersedia memenuhi permintaan Bima dan keluarga Pandawa untuk pergi ke negara Dwarawati, memperrtunjukkan kemahirannya menari. Akhir riwayatnya tidak banyak diceritakan. Konon ia mati moksa karena usia lanjut.

Nagagini
DEWI NAGAGINI adalah putri Hyang Anantaboga dengan Dewi Supreti dari Kahyangan Saptapratala. Ia mempunyai adik kandung bernama Bambang Nagatatmala. Dewi Nagagini menikah dengan Bima/Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, putra Prabu Pandu raja negara Astina, dengan permaisuri Dewi Kunti. Mereka bertemu, tatkala keluarga Pandawa dan Dewi Kunti dalam upaya menyelamatkan diri dari rencana pembunuhan oleh keluarga Kurawa dalam peristiwa ru,ah damar di hutan Wanayasa (peristiwa "Bale Sigala-gala") sampai di Kahyangan Saptapratala. Dari perkawinan tersebut, lahir seorang putra yang diberi nama Arya Anantareja. Dewi Nagagini mempunyai sifat dan perwatakan; setia, sangat berbakti, cinta terhadap sesama makhluk dan suka menolong.

Nakula
NAKULA yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa

tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu berisi, "Banyu Panguripan/Air kehidupan" pemberian Bhatara Indra. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu ; 1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putra masingmasing bernama; Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. 2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik. Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.

Narasinga
PRABU NARASINGA adalah raja negara Dwaraka/Dwarawati. Ia masih bersaudara dengan Prabu Narakasura, raja negara Surateleng, yang berarti masih keturunan Bathara Kalayuwana, putra Bathara Kala dengan Bathari Durga/Dewi Pramuni dari kahyangan Sentragandamayit/Ganda Umayi. Karena ketekunannya bertapa, Narasinga menjadi sangat sakti. Ia merebut negara Dwarawati setelah menewaskan Prabu Yudakalakresna dalam satu peperangan. Setelah mengangkat dirinya menjadi raja negara Dwarawati bergelar Prabu Narasingamurti, Arya Singamulangjaya, adik mendiang Prabu Yudakalakresna diangkatnya menajadi Senapati perangnya. Prabu Narasinga tidak terlalu lama memerintah negara Dwarawati. Ia tewas dalam

peperangan melawan Narayana, putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dari permaisuri Dewi Mahendra/Maerah (Jawa), yang merebut negara Dwarawati dengan bantuan keluarga Pandawa. Senapati perang Dwarawati, Arya Singamulajaya tewas dalam peperangan melawan Arya Setyaki putra Arya Ugarsena/Prabu Setyajid dengan Dewi Wersini, dari negara Lesanpura.

Nirbita
ARYA NIRBITA adalah putra Arya Setatama, putra angkat Resi Palasara dengan Dewi Durgandini/Dewi Setyawati, putri Prabu Basukesti dari negara Wirata. Ibunya bernama Dewi Kandini, enam keturunan dari Bathara Brahmanakanda, putra Sanghyang Brahma. Arya Nirbita pernah berguru pada Resi Parasara di padepokan Paremana, salah satu puncak gunung Saptaarga dalam hal ilmu kasidan/kesaktian. Sedangkan dalam olah keprajuritan, selain berguru pada ayahnya, ia juga berguru pada Rajamala pamannya. Karena itu selain sakti, Arya Nirbita sangat pandai bermain gada dan senjata trisula. Arya Nirbita memiliki sifat dan perwatakan ; jujur, setia, patuh pada perintah dan sangat berbakti kepada negara dan rajanya. Setelah ayahnya, Arya Setatama tewas dalam pertempuran melawan Jagalabilawa/Bima karena terlibat dalam tindakan makar menggulingkan Prabu Durgandana/Matswapati yang dilakukan Rupakenca dan Kencakarupa, oleh Prabu Matswapati ia diangkat menjadi patih negara Wirata menggantikasn ayahnya. Arya Nirbita menikah dengan Dewi Kuwari, putri Arya Kidangtalun, andel Resi Palasara, manusia yang tercipta dari seekor menjangan/kidang sewaktu Resi Palasara menjadi raja di kerajaan Gajahoya..Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra yang diberi nama Arya Kawakwa. Pada saat berkobarnya perang Bharatayuda, Arya Nirbita memangku jabatan pimpinan pasukan negara Wirata terjun ke medan perang membela keluarga Pandawa. Ia gugur dalam pertempuran melawan Prabu Salya, raja negara Mandaraka.

Pancatnyana
DITYA PANCATNYANA adalah patih negara Surateleng pada masa pemerintahan Prabu Narakasura. Selain sakti, ia juga cerdik dan mahir dalam tata gelar perang. Ketika Prabu Narakasura tewas dalam peperangan melawan Bambang Sitija, putra Prabu Kresna, raja negara Dwarawati dengan Dewi Pretiwi, dan Bambang Sitija menjadi raja Surateleng, Pancatnyana tetap menduduki jabatan patih. Pancatnyana pula yang mengatur strategi perang dan menghancurkan angkatan

perang negara Prajatisa di bawah pimpinan Prabu Bomantara yang menyerang negara Surateleng. Prabu Bomantara tewas dalam peperangan melawan Prabu Sitija/Narakasura. Ketika negara Prajatisa disatukan dengan Surateleng, kekuasaan Pancatnyana semakin besar, ia menjadi patih Surateleng/Prajatisa dan orang kepercayaan Prabu Bomanarakasura (nama gelar Bambang Sitija setelah menjadi raja Surateleng dan Prajatisa). Akhir riwayatnya diceritakan, Pancatnyana tewas dalam peperangan melawan Prabu Gatotkaca, raja negara Praiggandani dalam peristiwa persengketaan hutan Tunggarana.

Parikesit
PARIKESIT adalah putra Abimanyu/Angkawijaya satria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, putri Prabu Matswapti dengan Dewi Ni Yustinawati dari negara Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuda, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Astina setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Astina. Parikesit naik tahta negara Astina menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudhistira setelah menjadi raja negara Astina. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil. Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putra, yaitu ; 1. Dewi Puyangan, berputra ; Ramayana dan Pramasata 2. Dewi Gentang, berputra ; Dewi Tamioyi 3. Dewi Satapi/Dewi Tapen, berputra ; Yudayana dan Dewi Pramasti 4. Dewi Impun, berputra ; Dewi Niyedi 5. Dewi Dangan, berputra ; Ramaprawa dan Basanta. Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan : Prabu Parikesit meninggal karena digigit Naga Taksaka sesuai dengan kutukan Brahmana Granggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengkalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya. Bagawan Sarmiti.

Pergiwa
ENDANG PREGIWA adalah putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Manuhara, putri Bagawan Sidik Wacana dari pertapaan Andong Sumiwi. Ia mempunyai saudara kandung yang merupakan adik kembarnya bernama Endang Pregiwati. Pregiwa juga mempunyai 12 orang saudara lain ibu bernama; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wilugangga, Prabakusuma, Wijarnaka, Antakadewa dan Bambang

Sumbada. Sejak kecil Pregiwa dan adik kandungnya, Pregiwati tinggal di pertapaan Andong Sumiwi bersama ibu dan kakeknya. Baru setelah remaja, ia dan Pregiwati meninggalkan pertapaan pergi ke Mandukara untuk mencari ayahnya, Arjuna. Pregiwa memiliki sifat dan perwatakan; setia, baik budi, sabar dan jatmika (selalu dengan sopan santun). Pregiwa menikah dengan Raden Gatotkaca, raja negara Pringgondani, putra Bima dengan Dewi Arimbi, yang berarti masih saudara sepupunya sendiri. Dari perkawinan tersebut, ia mempunyai seorang putra yang diberi nama Arya Sasikirana.

Pergiwati
ENDANG PREGIWATI adalah putri Arjuna, putra Prabu Pandu raja negara Astina dari permaisuri Dewi Kunti, dengan Dewi Manuhara, putri Bagawan Sidik Wacana dari pertapaan Andong Sumiwi. Ia mempunyai saudara kandung yang merupakan kakak kembarnya bernama Endang Pregiwa. Pregiwati juga mempunyai 12 orang saudara lain ibu, bernama; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wilugangga, Prabakusuma, Wijanarka, Antakadewa dan Bambang Sumbada. Sejak kecil Endang Pregiwati dan kakaknya, Pregiwa tinggal di pertapaan Andong Sumiwi bersama ibu dan kakeknya. Baru setelah remaja ia dan Pregiwa pergi ke Madukara untuk menemui ayahnya, Arjuna. Pregiwati memiliki sifat dan perwatakan; setia, jujur, sabar dan jatmika (selalu dengan sopan santun), menarik hati/merakati dan mudah tersinggung. Pregiwati menikah dengan Raden Pancawala, putra Prabu Puntadewa, raja negara Amarta dengan Dewi Drupadi yang berarti masih saudara sepupu sendiri.

Prabakesa
ARYA PRABAKESA atau Prabakeswa (Mahabharata) adalah putra ke-empat Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh saudara kandung, bernama; Arimba/Hidimba. Dewi Arimbi, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana. Prabakesa mempunyai sifat dan perwatakan; jujur, setia, berbakti dan teguh dalam pendirian. Ia dan adik bungsunya, Arya Kalabendana menentang rencana pemberontakan Brajadenta dan tiga saudaranya yang akan merebut kekuasaan dan tahta kerajaan Pringgandani dari tangan Dewi Arimbi. Ketika Gatotkaca naik tahta menjadi raja Pringgandani mengantikan ibunya, Dewi

Arimbi, Prabakesa diangkat menjadi patih negara Pringgandani. Akhir riwayatnya diceritakan, gugur dalam perang Bharatayuda bersama-sama Gatotkaca melawan Adipati Karna, raja negara Awangga.

Prabakusuma
BAMBANG PRABAKUSUMA di dalam pedalangan Jawa disebut dengan nama Bambang Priyambada. Ia adalah putra Arjuna, satria Pandawa putra Prabu Pandu, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Kunti, dengan Dewi Supraba, putri Bathara Indra. Prabakusuma lahir di Kahyangan Kainderan saat Arjuna menjadi raja di Suralaya bergelar Prabu Kariti sebagai anugerah Sanghyang Jagadnata/Sanghyang Manikmaya atas jasanya membunuh Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manikmantaka. Prabakusuma mempunyai sifat dan perwatakan; halus, tenang, jatmika, baik tingkah lakunya, besar tanggung jawabnya, juga ahli dalam ilmu pengobatan. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilugangga, Bambang Irawan, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Wijarnaka, Antakawulan dan Bambang Sumbada. Prabakusuma pernah menjadi penyelamat keluarga Pandawa. Ia berhasil merebut kembali pusaka Jamus Kalimasada dari tangan si pencuri, Dewi Mustakaweni, putri Prabu Niwatakawaca dari negara Manikmantaka, Dewi Mustakaweni kemudian menjadi istri Prabakusuma. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabakusuma gugur pada awal perang Bharatayuda bersama-sama dengan Sumitra, Wilugangga, Wijanarka dan Antakadewa saat melawan Resi Bisma.

Pracona
PRABU PRACONA adalah raja raksasa dari negara Tasikwaja, atau sering pula disebut negara Gilingwesi. Konon ia masih keturunan Prabu Jonggirupaksa raja negara Jonggarba. Ia sangat sakti, berwatak angkara murka, bengis dan selalu ingin benarnya sendiri. Prabu Pracona ingin mempunyai isteri seorang bidadari. Ia kemudian mengutus patihnya, Detya Sakipu pergi ke Suralaya meminang/melamar Dewi Gagarmayang. Karena lamarannya ditolak Bathara Guru, Prabu Pracona dan Sakipu mengamuk di Suralaya, mengalahkan semua para Dewa. Atas keputusan Bathara Guru, Bambang Tetuka/Gatotkaca, putra Dewi Arimbi dari negara Pringgandani dengan Bima/Werkudara yang waktu itu belum berumur sepekan, dipinjam ke Suralaya sebagai jago kadewatan melawan Prabu Pracona

dan Kasipu. Prabu Pracona dan Patih Sakipu akhirnya tewas dalam peperangan melawan Bambang Tetuka yang sebelunya telah dimasukan kedalam kawah Candradimuka, diaduk dengan segala macam senjata milik para Dewa.

Pragota
ARYA PRAGOTA konon adalah putra Arya Ugrasena yang setelah naik tahta negara Lesanpura bergelar Prabu Setyajid, dengan Ken Sagupi, seorang swarawati Keraton Mandura. Setelah Ken Sagupi dikawinkan dengan Antagopa, seorang gembala dan tinggal di kabuyutan Widarakanda/Widarakandang, Arya Pragota dianggap sebagai putra Ken Sagupi dengan Antagopa. Arya Pragota mempunyai adik kandung bernama Arya Adimanggala yang menjadi patih Adipati Karna di negara Awangga. Selain itu dari garis keturunan Arya Ugrasena, ia mempunyai dua orang saudara bernama; Dewi Setyaboma (istri Prabu Kresna) dan Arya Setyaki. Sedangkan dari garis keturunan ibunya, Ken Sagupi, selain Arya Adimanggala ia mempunyai dua orang saudara, yaitu; Arya Udawa, putra Ken Sagupi dengan Prabu Basudewa, dan Dewi Rarasati/Larasati, putri Ken Sagupi dengan Arya Prabu Rukma. Arya Pragota mempunyai perawakan tinggi besar dan gagah. Suaranya lantang, senang bergurau, kalau bicara disudahi dengan gelak tawa yang berderai. Ia menjadi patih negara Mandura mendampingi Prabu Baladewa. Akhir riwayatnya diceritakan; Arya Pragota tewas dalam peristiwa perang gada antara keluarga sendiri Trah Yadawa, Wresni dan Andaka, setelah selesainya perang Bharatayuda.

Pratiwi
DEWI PRATIWI adalah putri Prabu Nagaraja, raja di kerajaan Sumur Jalatunda. Ia mempunyai adik kandung bernama Bambang Pratiwanggana. Dewi Pratiwi sesungguhnya istri Bathara Wisnu, Dewa keadilan dan kesejahteraan. Ketika Bathara Wisnu turun ke Mancapda dan menitis pada Narayana/Prabu Kresna. Dewi Pratiwi ikut menjadi isteri Prabu Kresna. Kedua putranya, yaitu : Bambang Sitija dan Dewi Siti Sundari, juga ikut turun sebagai putra Prabu Kresna. Bambang Sitija menjadi raja di negara Surateleng dan bergelar Prabu Bomanarakasura. Sedangkan Dewi Siti Sundari menjadi isteri Abimanyu atau Angkawijaya, putra Arjuna dengan Dewi Sumbadra.

Dewi Pratiwi berwatak setia, jujur, penuh belas kasih, dan sangat berbakti. Ia sangat sakti dan memiliki pusaka Cangkok Wijayamulya, yang kemudian diberikan kepada putranya, Sitija.

Pujawati
DEWI PUJAWATI adalah putri tunggal Bagawan Bagaspati brahmana raksasa dari pertapaan Argabelah, dengan Dewi Darmastuti, seorang hapsari/bidadari. Ia menikah dengan Narasoma/Prabu Salya, putra sulung Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka. Perkawinan Dewi Pujawati dengan Narasoma/Prabu Salya dikarunia lima orang putra, masing-masing bernama; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata. Dewi Pujawati berwatak; jujur, setia, sabar, penuh belas kasih dan sangat berbakti terhadap suami. Karena kesetiaanya terhadap suaminya itulah maka oleh Prabu Salya namanya diganti menjadi Dewi Setyawati. Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Pujawati/Setyawati mati bunuh diri, ikut bela pati sebagai rasa cinta dan baktinya terhadap suamiya, Prabu Salya yang gugur di medan perang Bharatayuda.

Puntadewa
PUNTADEWA adalah putra sulung Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Ia mempunyai dua orang adik kandung masing-masing bernama ; Bima/Werkudara dan Arjuna, dan dua orang adik kembar lain ibu, bernama Nakula/Pinten dan Sahadewa/Tansen, putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dari negara Mandaraka. Puntadewa adalah titisan Bathara Darma. Ia mempunyai watak; sabar, ikhlas, percaya atas kekuasaan Tuhan, tekun dalam agamanya, tahu membalas guna dan selalu bertindak adil dan jujur. Ia juga terkenal pandai bermain catur. Setelah Pandawa berhasil membangun negara Amarta di hutan Mertani, Puntadewa dinobatkan sebagai raja negara Amarta bergelar Prabu Darmakusuma. Ia juga bergelar Prabu Yudhistira karena dalam tubuhnya menunggal arwah Prabu Yudhistira, raja jin negara Mertani. Prabu Puntadewa menikah dengan Dewi Drupadi, putri Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari negara Pancala, dan mempunyai seorang putra bernama Pancawala. Prabu Puntadewa mempunyai pusaka kerajaan berwujud payung bernama Kyai Tunggulnaga dan sebuah tombak bernama Kyai Karawelang.

Dalam perang Bharatayuda, Prabu Puntadewa tampil sebagai senapati perang Pandawa, dan berhasil menewaskan Prabu Salya, raja negara Mandaraka. Sesudah berakhirnya perang Bharatayuda, Prabu Puntadewa menjadi raja negara Astina bergelar Prabu Karimataya / Kalimataya. Setelah menobatkan Parikesit, putra Abimanyu dengan Dewi Utari sebagai raja negara Astina, Prabu Puntadewa memimpin perjalanan moksa para Pandawa yang diikuti Dewi Drupadi menuju ke Nirwana.

Purocana
PUROCANA adalah patih Mangkubumi negara Astina di bawah pemerintahan prabu Pandudewanata. Dengan demikian kekuasaannya di bawah patih utama, Arya Gamdamana, putra Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Selain ahli dalam tata pemerintahan dan kenegaraan, Purocana juga ahli dalam tata bangunan. Ia seorang arsitek ulung. Sayangnya ia berwatak lilck dan culas, serta berjiwa penjilat. Purocana ikut membantu Arya Sakuni merebut kedudukan patih negara Astina dengan mencelakakan Arya Gandamana. Setelah Drestarasta menjadi raja negara Astina menggantikan Prabu Pandu, Purocana tetap menjabat sebagai patih Manmgkubumi dan menjadi orang keprcayaan Patih Sakuni. Atas perintah Arya Sakuni, Purocana menjadi perencana dan palaksana pembangunan "Rumah Damar" di hutan Wanayasa untuk membiunasakan keluarga Pandawa. Akhirnya Purocana ikut mati terbakar dalam peristiwa kebakaran "Rumah Damar" yang dibuatnya sendiri. Sedangkan keluarga Pandawa selamat berkat terowongan yang dibuat Yamawidura.

Radeya
PRABU RADEYA adalah raja negara Petapralaya. Di dalam cerita pedalangan Jawa, Prabu Radeya mempunyai anak angkat bernama Basukarna atau Aradeya yang sesungguhnya putra Bathara Surya dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti raja negara Mandura. Basukarna diambil sebagai anak ketika Prabu Radeya masih menjalani bulan madu dengan istrinya, Dewi Nirada, sebagai persyaratan agar segera mempunyai anak sendiri.Sedangkan menurut Mahabharata yang mengambil Basukarna sebagai anak adalah suami-istri Adirata dan Ni Rada, sais kereta kerajaan Astina. Dari perkawinannya dengan Dewi Nirada, Prabu Radeya memperoleh dua orang putra-putri, masing-masing bernama ; Bambang Suryanirada dan Dewi Suryawati. Tokoh Prabu Radeya hanya ditampilkan dalam lakon "Alap-alapan Surtikanti", kisah perkawinan Basukarna/Suryaputra dengan Dewi Surtikanti, putri kedua Prabu Salya dengan Dewi Pujawati/Setyawati dari negara Mandaraka. Dalam peristiwa perang besar Bharatayudha antara keluarga Pandawa dan Kurawa di Tegal Kurusetra, Prabu Radeya berpihak pada keluarga Kurawa. Ia maju ke medan pertempuran memimpin sendiri prajurit negara Petapralaya. Prabu Radeya tewas dalam pertempuran melawan Arjuna.

Rajamala
RAJAMALA adalah putra angkat Resi Palasara, dari padepokan Retawu dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti raja negara Wirata. Ia tercipta dari mala penyakit Dewi Durgandini/Dewi Lara Amis yang tertelan seekor ikan betina. Ia terjadi berbarengan dengan saudaranya yang lain, bernama; Kecaka/Kencakarupa, Upakeca/Rupakenca, Setatama, Gandawana dan Dewi Ni Yutisnawati/Rekatawati. Rajamala juga mempunyai tiga orang saudara angkat lainnya yaitu : Bagawan Abiyasa, putra Resi Palasara dengan Dewi Durgandini, Citragada dan Wicitrawiya, keduanya putra Dewi Duragandini dengan Prabu Santanu, raja negara Astina. Rajamala berwatak keras hati, berani, ingin selalu menangnya sendiri dan selalu menurutkan kata hati. Ia sangat sakti, tidak bisa mati selama masih terkena air. Menurut ketentuan dewata, hanya ada lima orang satria yang dapat mengalahkan dan membunuh Rajamala, yaitu: Resi Bisma, Adipati Karna, Resi Balarama/Baladewa, Duryudana dan Bima. Rajamala akhirnya tewas dalam peperangan melawan Bima, yang waktu itu hidup menyamar dinegara Wirata dengan nama Balawa, sebagai tindakan Rajamala yang ingin menjamah Salidri nama samaran Dewi Drupadi.

Rarasati
DEWI RARASATI atau Dewi Larasati, konon adalah putri Arya Prabu Rukma yang setelah naik tahta negara Kumbina bergelar Prabu Bismaka, dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura. Setelah Ken Sagupi dikawinkan dengan Antagopa, seorang gembala dan tinggal di Kebuyutan Widarakanda/Widarakandang, Dewi Rarasati dianggap sebagai putri Ken Sagupi dengan Antagopa. Dari garis keturunan ayahnya, Arya Prabu Rukma, Dewi Rarasati mempunyai seorang saudara bernama Dewi Rukmini (istri Prabu Kresna), putri Arya Prabu Rukma.dengan permaisuri Dewi Rumbini. Sedangkan dari garis keturunan ibuny, Ken Sagupi, ia mempunyai tiga orang saudara, yaitu : Arya Udawa, putra Ken Sagupi dengan Arya Basudewa, dan Arya Pragota serta Arya Adimanggala, keduanya putra Ken Sagupi dengan Arya Ugrasena. Dewi Rarasati berwatak setia, patuh dan berbakti. Ia memiliki tabiat senang menyenangkan hati orang lain, sabar, sangat menginsyafi, mengerti dan menguasai dirinya. Selain pandai dalam mengurus rumah tangga. Dewi Rarasati juga pandai berolah keparajuritan. Ia mahir menggunakan senjata panah dan keris. Dewi Rarasati menikah dengan Arjuna dan menjadi isterinya yang pertama. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama; Bambang Sumitra dan Bratalaras. Ia sangat dekat hubungannya dengan Dewi Sumbadra, istri pertama Arjuna, karena semasa kecil hidup bersama di Widarakandang.

Retna Kasimpar
DEWI RETNA KASIMPAR adalah putri Prabu Jayaindra, raja negara Tasikmadu dengan permaisuri Dewi Retnawati. Ia mempunyai saudara lain ibu bernama Dewi Retnajuwita, putri prabu Jayaindra dengan Dewi Ceklatoma. Dewi Retna Kasimpar merupakan satu-satunya wanita di dunia yang memiliki gajah putih dan sekaligus menjadi pawangnya. Gajah putih berpawang wanita/putri ini pernah menjadi persyaratan Dewi Banowati, putri ketiga Prabu Salya dengan Dewi Pujawati/Setyawati dari negara Mandaraka, untuk dapat menerima pinangan Prabu Duryudana, raja negara Astina. Arjuna yang dimintai bantuan oleh keluarga kurawa, berhasil mendapatkan Dewi Retna Kasimpar dan gajah putihnya, setelah lebih dulu mengalahkan Prabu Kurandageni, raja negara Tirtakandasan yang ingin memperistri Dewi Retna Kasimpar. Dewi Retna Kasimpar kemudian menjadi isteri Arjuna. Dari perkawinan tersebut ia tidak mempunyai putra.

Rukmarata BAMBANG RUKMARATA adalah putra bungsu Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan Permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia mempunyai empat orang saudara kandung, yaitu; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati dan Arya Burisrawa. Rukmarata mempunyai sifat dan perwatakan; halus, tenang, cerdik pandai, hatinya keras dan sedikit suka usil. Ia tewas di hantam gada Kyai Pecatnyawa oleh Resi Seta, putra Prabu Matswapati dari negara Wirata, pada awal perang Bharatayuda akibat dari keusilannya, memanah Resi Seta dari luar garis pertempuran. Rukmini DEWI RUKMINI adalah putri sulung Prabu Bismaka / Arya Prabu Rukma, raja negara Kumbina dengan permaisuri Dewi Rumbini. Ia mempunyai adik kandung bernama Arya Rukmana dan saudara lain ibu bernama Dewi Rarasati/Dewi Larasati putri Arya Prabu Rukma dengan Ken Sagupi seorang swarawati keraton Mandura. Dewi Rukmini menikah dengan saudara sepupunya, Narayana, putra Prabu Basudewa raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maerah (Jawa). Setelah Narayana berhasil merebut negara Dwarawati dari kekuasaan Prabu Narasinga, dan menobatkan diri sebagai raja Dwarawati bergelar Prabu Sri Bathara Kresna, Dewi Rukmini diangkat menjadi permaisuri. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh 3 (tiga) orang putra masing-masing bernama: Saranadewa (berwujud raksasa), Partadewa dan Dewi Titisari/Sitisari, yang setelah dewasa menjadi isteri Bambang Irawan, putra Arjuna dengan Dewi Ulupi/Palupi. Dewi Rukmini berwatak : penuh belas kasih, sabar, setia dan jatmika (selalu dengan sopan santun). Ia meningal dalam usia lanjut. Setelah Prabu Kresna mati moksa, ia bersama isteri Prabu Kresna yang lain, terjun ke dalam Pancaka (api pembakaran jenazah), bela pati menyusul suaminya kembali ke Nirwana. Rupakenca RUPAKENCA atau Upakenca (Mahabharta) adalah putra angkat Resi Palasara, dari padepokan Retawu, dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti raja negara Wirata. Ia tercipta dari kemudi perahu yang pecah terbentur batu besar, yang digunakan Resi Palasara dan Dewi Durgandini menyeberangi sungai Gangga. Rupakenca terjadi berbarengan dengan saudaranya yang lain, bernama; Rajamala, Kencaka/Kencakarupa, Setatama, Gandawanadan Dewi Ni Yutisnawati/Rekatawati. Rupakenca juga mempunyai tiga orang saudara angkat lainnya, bernama; Bagawan Abiyasa, putra Resi Palasara dengan Dewi Durgandini, Citragada dan Wicitrawirya, keduanya putra Dewi Durgandini dengan Prabu Santanu, raja negara Astina.

Rupakenca berwatak tinggi hati, sombong, keras kepala dan mau menangnya sendiri. Sangat sakti dan mahir dalam olah keprajuritan mempergunakan senjata gada dan lembing. Akhir riwayatnya diceritakan, Rupakenca tewas dalam peperangan melawan Bilawa/Bima karena bersama saudaranya Kencakarupa, Setatama dan Gandawana melakukan pemberontakan untuk mengulingkan kekuasaan raja Wirata, Prabu Matswapati. Sadewa SAHADEWA atau Sadewa yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (=buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima/bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula. Sadewa juga mempunyai tiga orang saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Sadewa adalah titisan Bathara Aswin, Dewa Tabib. Ia sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang mistikus. Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan lembing. Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa. Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara Amarta. Sahadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati (Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala). Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa). Setelah selesai perang Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Kalimataya/Prabu Yudhistrira. Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa bersama ke empat saudaranya

You might also like