You are on page 1of 2

PELANGI TERAKHIR Alya berjalan tergesa-gesa tanpa peduli kalau aku masih belum mengerti apa yang dia

maksud. Kami berdua melewati lorong rumah sakit yang penuh hiruk pikuk kesibukan. Alya tidak menoleh sama sekali, dia bahkan tak melirik ketika ada mayat berpapasan dengannya. Aku semakin penasaran dengan apa yang mau dia tunjukkan padaku di tempat ini. Dini hari, setelah sholat tahajud, aku tanpa sengaja menjatuhkan mug hingga pecah. Perasaan aneh langsung membuatku merinding. Aku menatap terpaku pada benda itu dengan perasaan bingung. Mug itu sudah lama berada di meja tapi tak pernah kupakai lagi. Aku juga sudah hampir lupa dengan keberadaannya. Tapi kenapa dia menunjukkan dirinya padaku sekarang.? Saat itulah Alya menelepon. Sudah lama sekali dia tidak pernah menghubungiku. Setidaknya setelah kami lulus kuliah. Aku bertanya-tanya, ada apa anak ini tumben mencariku. Tapi yang kudapat bukanlah jawaban, melainkan pertanyaan lagi. Dia membawaku ke rumah sakit tapi tidak menjelaskan apa yang mau dia perlihatkan. Dia membawaku ke ruangan yang agak jauh di belakang. Begitu melihat siapa yang berada di dalam jantungku seperti terhenti sejenak. Langkahku juga terhenti. Ruangan putih itu tiba-tiba menjadi angker. Kakiku menjadi sangat berat untuk mengikuti Alya masuk ke dalam. "Ayo masuk!" kata Alya sambil menoleh ke arahku. Aku ragu. Dua orang yang berada di dalam situ serentak menoleh. Mataku bertemu pandang dengan laki-laki yang berdiri di dekat tempat tidur. Namanya Deva. Aku pernah bertemu sekali dengannya, tapi tatapan matanya tidak sedingin ini. " Andri? " kata seseorang menyentakkan kami berdua. Aku menoleh ke gadis yang duduk di atas tempat tidur. "Wuah, dia benar-benar mengenalimu.!" Alya terlonjak girang, tapi aku masih bingung. Pertanyaan lebih aneh masuk ke otakku. "mengenali???" bukankah gadis itu Lita? Bukankah kami teman kuliah juga.? Bagaimana mungkin dia tidak mengenaliku.? Belum sempat kuajukan pertanyaan, Deva menyeruak di antara kami dan keluar dengan ekspresi luar biasa dingin. Aura buruknya bahkan masih terasa saat aku menatap punggungnya ketika dia berlalu. Alya juga tiba-tiba bisu akibat Deva. Mata gadis itu hanya melirik ke sepatunya.

Aku beralih ke Lita. Dia kelihatan bingung, yang dia lakukan hanya terpaku menatapku. Mau tak mau aku terpaksa menatap ke dalam kedua bola matanya. Aku terpaksa menatap kedua mata yang di dalamnya ada ekspresi sedih. Ini menyesakkkanku, apalagi ketika mata itu menjatuhkan air mata. " Andri, dia baru bangun setelah tiga hari koma. Ngga satupun orang yang dia kenali, termasuk Deva. Tapi begitu dokter menanyakan siapa yang kira-kira terpikir di kepalanya, dia menyebutkan namamu." kata Alya setengah berbisik. Wow, namaku? Aku menoleh ke Alya. Tentu saja dengan muka kaget. "maksudmu apa?" tanyaku. "Siapa tahu setelah ketemu kamu ingatannya cepat kembali. Setelah kecelakaan dia ngga kenal siapa-siapa. Deva aja kesulitan, dia ngga mau ngomong sama siapapun." Kepalaku seperti tertimpa sesuatu yang berat. Otakku tiba-tiba macet, padahal aku perlukan untuk berpikir. Sementara itu, di depanku duduk Lita yang mengusap-usap air matanya dengan wajah polos. Wajahnya kelihatan bingung juga. Dia ragu melirik ke arahku, tapi sekali berhasil melihat, air matanya pasti jatuh lagi. Walaupun aku tidak benarbenar tahu apa yang membuatnya seperti itu, aku ikut sedih melihatnya. Ingatanku mendadak ditarik jauh ke belakang. Aku sama sekali tidak menginginkan ini. Badanku tergerak melihat air mata gadis itu. Tanpa sadar, aku sudah di dekatnya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. Saat itu juga gadis itu tersenyum sambil menutup mata. Tangannya menahan tanganku agar tetap di pipinya. ****

You might also like