You are on page 1of 7

INFARK MIOKARDIUM AKUT DENGAN ELEVASI ST

Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI juga terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, di mana injuri ini dicetuskan oleh factor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan rspons terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti factor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Factor Vll dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.

Manifestasi Klinis
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA, seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada pada angina sebagai berikut : Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. Factor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.

Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2 mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau 1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis. 1. Anamnesis Pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dianamnesis apakah nyeri dadanya bersal dari jantung atau dari luar jantung. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta factor-faktor resiko antara lain hipertensi,

diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. 2. Pemeriksaan fisis Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferor menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan precordial friction rub. Peningkatan suhu sampai 380 C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasien STEMI. 3. Pemeriksaan penunjang a. Elektrokardiogram Pemeriksaan EGK 12 sandapan harus dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan

presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. b. Laboratorium Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard). CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miorkard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu : Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. Creatinine Cinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

Lactic dehydrogenase (LDH), meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Komplikasi
1. Disfungsi ventricular

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan perununan hemodinamik, gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
2. Gangguan hemodinamik termasuk gagal pemompaan (pump failure). 3. Syok kardiogenik. 4. Infark ventrikel kanan. 5. Aritmia pasca STEMI.

Mekanisme terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard. 6. Ekstrasistol ventrikel 7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel 8. Komplikasi mekanik : rupture muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding ventrikel. 9. Perikarditis.

Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA : Klas Definisi I II Tak ada tanda gagal jantung kongestif +S3 dan/atau ronki basah Mortalitas (%) 6 17

III IV

Edema paru Syok kardiogenik

30-40 60-80

Klas Indeks kardiak (L/min/m2) I II III IV >2,2 >2,2 <2,2 <2,2

PCWP (mmHg) <18 >18 <18 >18

Mortalitas (%) 3 9 23 51

Factor resiko (bobot) Usia 65-74 tahun (2 poin) Usia >75 tahun (3 poin) Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin) Frekuensi jantung >100 mmHg (2 poin) Klasifikasi killip II-IV (2 poin) Berat <67 kg (1 poin) Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) Waktu ke reperfusi >4 jam (1 poin) Skor resiko = total poin (0-14)

Skor risiko/mortalitas 30 hari (%) 0 (0,8) 1 (1,6) 2 (2,2) 3 (4,4) 4 (7,3) 5 (12,4) 6 (16,1) 7 (23,4) 8 (26,8) >8 (35,9)

Klasifikasi killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana : S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.

Klasifikasi forrester berdasarkan monitroring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP). TIMI risk score adalah sistem prognostic paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

You might also like