You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik istilah asingnya yaitu Student-Centered Learning, disingkat SCL lahir pada awal abad ke20, yaitu pada saat orang-orang mulai meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif dalam proses inkuiri, yaitu proses memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri. Dibawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education (lahir di Amerika Serikat) yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Para pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menganggap bahwa peserta didik sebagai kantong kosong yang baru berisi bila diisi oleh guru (teori Tabula rasa).
John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas adalah laboratorium yang memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak

guru untuk menggunakan masalah riil sehari-hari untuk dipecahkan oleh peserta didik, sebagai bahan pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang memuat masalah-masalah nyata yang sedang dihadapi, tidak tentang hal-hal yang abstrak bagi peserta didik. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan learning by doing.

Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah peserta didik. Menurut Marhaeni, (2004:2-4) melalui pendidikan setiap individu meski disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat, baik untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap maupun untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan. Untuk itu pendidikan yang relevan harus bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu: 1) learning to know, 2) learning to do, 3) leraning to be, dan 4) learning to live together. Dengan demikian pendidikan saat ini harus mampu membekali setiap pelajar dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai dan sikap, di mana proses belajar bukan semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge-based) tetapi mencerminkan keempat pilar di atas. Hasan (1993:92) (dalam Lasmawan, 2001:30) menyatakan bahwa tujuan dari pembelajaran IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan nilai-nilai peserta didik sebagai individu, sosial dan budaya. Pelaksanaan pembelajaran IPS diharapkan lebih menekankan pada aspek pendidikan daripada concept transfer. Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran IPS seperti yang telah diuraikan di atas, telah dilakukan berbagai upaya antara lain: (1) perbaikan-perbaikan kurikulum, (2) pelatihan-pelatihan bagi guru-guru dan (3) pertemuan guru-guru IPS (MGMP) untuk pembahasan materi pelajaran. Sementara di sekolah sendiri telah dilakukan berbagai upaya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran IPS antara lain: (1) mengadakan pengayaan materi, (2) menambah sarana dan prasarana belajar, dan (3) memamfaatkan waktu dengan baik. Dengan demikian, Seyogianya hasil belajar IPS siswa dapat ditingkatkan dengan baik dan bisa mencapai KKM 66 pada skala 100

sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kurikulum (KTSP). Namun kenyataannya, hasil belajar IPS yang dicapai oleh siswa masih jauh dari harapan dan masih berada di bawah KKM yang telah ditargetkan. Hal ini tampak dari data hasil ulangan harian I pada semester I tahun ajaran 2009/2010 menunjukkan nilai rata-rata mata pelajaran IPS yang diraih oleh siswa kelas VIIIB hanya mencapai 58,46 dengan nilai tertinggi 75,00 dan terendah 45,00. Sementara itu aktivitas belajar siswa masih rendah dan hanya didominasi oleh guru. Rendahnya aktivitas dan prestasi belajar IPS pada ulangan harian I semester I tahun pelajaran 2009/2010 dipandang perlu untuk melalukan refleksi atau perbaikanperbaikan pada metode pembelajaran dan penilaian pada pembelajaran IPS. Mengacu pada berkembangnya pemikiran bahwa belajar akan lebih bermakna jika siswa secara langsung mengalami sendiri apa yang dipelajari dan bukan mengetahuinya, maka model belajar yang dianggap relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran IPS adalah model pembelajaran kontekstual. Penerapan model

pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran IPS, merupakan dua sisi yang saling mendukung. Pendidikan IPS mengamanatkan agar pembelajarannya menggunakan masyarakat sebagai tempat, media atau laboratriumnya. Dengan menggunakan masyarakat sebagai laboratriumnya, maka pendidikan IPS akan mampu

menghadirkan materi pembelajaran dengan keadaaan yang sesungguhnya pada lingkungan atau masyarakat. KTSP menyarankan agar selama proses belajar berlangsung guru dapat memonitor partisifasi siswa secara terus menerus agar pelaksanaan penilaian kelas yang lebih efektif agar pencapaian kompetisi masingmasing peserta didik dapat diketahui dengan menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah unjuk kerja atau kinerja (Performaces) siswa. Dalam PP No.19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan dalam pasal 64 ayat 1 dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan. Pasal 19 ayat 3 dinyatakan bahwa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah penilaian menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan

kompetensi dasar yang harus dikuasai, dan teknik penilaian tersebut dapat berupa tes tertulis, observasi, praktek dan penugasan. Pada tataran empirik, penelitian Depdiknas (2006) menemukan bahwa lemahnya keterampilan siswa dalam berpikir (bahkan hanya terampil dalam menghafal) tidak terlepas dari kebiasaan guru dalam melakukan evaluasi akhir yang hanya mengukur tingkat kemampuan yang rendah saja melalui tes tertulis (paper and pencil test). Siswa dengan potensi kemampuan berpikir tingkat tinggi tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. Kebiasaan guru (juga dosen ?) yang melakukan asesmen hanya untuk mengukur tingkat kemampuan berpikir rendah patut dipertanyakan. Mengingat landasan yuridis formal asesmen sebagai pijakan praktik pembelajaran di sekolah telah ditetapkan oleh pemerintah melalui PP No.19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan. Pasal 64 ayat 1 menyatakan bahwa penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pendidik dilakukan secara

berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah penerapan model pembelajaran kontekstual dan assesmen kinerja dapat meningkatkan aktivitas belajar IPS ? 2. Apakah yang dimaksud pembelajaran kontekstual dan assesmen kinerja? 3. Bagaimana Implikasi asesmen dalam pembelajaran?

BAB II PEMBAHASAN

Komponen yang sangat penting setelah berlangsungnya proses belajar mengajar adalah melihat hasil belajar siswa atau prestasi belajar siswa. Prestasi belajar IPS dalam penelitian ini adalah tingkat penguasaan kognitif siswa terhadap materi pelajaran IPS setelah mengalami proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, berupa nilai yang dituangkan dalam bentuk angka yang diperoleh dari hasil menjawab tes prestasi belajar IPS yang diberikan pada akhir penelitian. Prestasi yang dimaksud dalam hal ini adalah kecakapan nyata yang diperoleh siswa setelah belajar bukan kecakapan potensial, karena prestasi belajar ini dapat dilihat secara nyata yang berupa nilai setelah mengerjakan suatu test. Tes yang digunakan untuk menentukan prestasi belajar sering diistilahkan dengan tes prestasi belajar. Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not apart from, instruction). Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world problems), bukan masalah dunia sekolah (school work-kind of problems). Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metode dan criteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar. Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan sensirimotorik). I. DEFENISI ASESMEN KINERJA Evaluasi pembelajaran adalah kegiatan yang meliputi pengukuran dan penilaian dalam suatu proses pendidikan yang melingkupi komponen input, proses, maupun output pendidikan (Hughes, 1989; Alderson,1992). Evaluasi dalam khasanah pendidikan di Indonesia menjadi identik dengan penilaian dan sering disebut juga dengan asesmen (assessment) yang berarti pengambilan keputusan berdasarkan pada suatu kegiatan pengukuran terlebih dahulu.

Asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang menggunakan berbagai bentuk tugas-tugas untuk memperoleh informasi tentang apa dan sejauh mana yang telah dilakukan dalam suatu program. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil yang diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut. Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Asesmen ini menginginkan peserta didik untuk dapat mendemonstrasikan bahwa mereka dapat mengerjakan tugas tertentu seperti menulis esai, melakukan eksperimen,

menginterpretasi solusi untuk suatu masalah, memainkan sebuah lagu, atau menggambar sesuatu. Dalam hal ini penekanannya adalah pada pengujian pengetahuan prosedural. Keberhasilan pembelajaran merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari suatu upaya pendidik dalam berusaha membelajarkan peserta didik, sedangkan peserta didik berupaya menguasai kompetensi yang telah dibelajarkan. Upaya pendidik dan peserta didik ini akan diketahui dari kondisi keberhasilan pembelajaran, sehingga akan diperoleh informasi seberapa efektif dan efisien kegiatan pembelajaran telah dilakukan bersama antara pendidik dengan peserta didik. Kemampuan dan daya serap peserta didik merupakan suatu kondisi yang dimiliki peserta didik dalam menguasai seperangkat materi atau seperangkat kompetensi yang dengan sengaja dan sadar dibelajarkan. Kondisi ini dapat diketahui dari asesmen terhadap upaya pembelajaran yang sedang atau telah dilakukan pendidik. Dari suatu asesmen pembelajaran akan diperoleh informasi yang sangat berharga, sebagai balikan (feedback) atau backwash dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan pendidik. Dari data hasil penilaian akan diperoleh informasi bagian materi atau kompetensi yang pada umumnya belum dikuasai oleh peserta didik.

1.1 Langkah-Langkah Dalam Menerapkan Asesmen Dalam menerapkan asesmen kinerja guru perlu memperhatikan beberapa tahapan. Berikut langkah-langkah yang perlu diperhatikan untuk membuat penilaian kinerja yang baik antara lain: 1) Identifikasi semua langkah-langkah penting yang diperlukan atau yang akan mempengaruhi hasil akhir yang terbaik. 2) Tuliskan perilaku kemampuan-kemampuan spesifik yang penting dan siperlukan untuk menyelesaikan tugas dan menghasilkan hasil akhir yang terbaik. 3) Usahakan untuk membuat kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur tidak terlalu banyak sehingga semua criteria tersebut dapat diobservasi selama siswa melaksanakan tugas. 4) Definisikan dengan jelas criteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan kemampuan siswa yang harus dapat diamati (observable) atau karakteristik produk yang dihasilkan. 5) Urutkan kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang dapat diamati. 1.2. Implikasi Dalam Proses Pembelajaran Pada bagian pendahuluan telah dikemukakan bahwa asesmen pembelajaran merupakan bagian integral dari keseluruhan proses belajar-mengajar, sehingga kegiatan asesmen harus dilakukan guru sepanjang rentang waktu berlangsungnya proses pembelajaran. Oleh karena itu mutlah mempersyaratkan kemampuan dan komitmen guru untuk mengases proses dan hasil belajar. Berikut beberapa implikasi terapan dalam proses pembelajaran di sekolah : 1) Asesmen merupakan bagian integral dari proses pembelajaran, sehingga tujuan asesmen harus sejalan dengan tujuan pembelajaran. Implikasinya bahwa guru hendaknya merancang asesmen bersamaan dan melekat dengan design instructional yang disusunnya. Gunakan

kisi-kisi asesmen untuk mengontrol kecakupan kompetensi dan bahan pelajaran. 2) Asesmen harus didasarkan pada tujuan pembelajaran secara utuh, mengukur ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik mengacu pada taksonomi Bloom yang telah direvisi. 3) Menentukan kriteria keberhasilan, baik kriteria dari keberhasilan proses belajar yang dilakukan siswa, ataupun kriteria keberhasilan dari kegiatan mengajar yang dilakukan oleh pendidik, serta keberhasilan program pembelajaran secara keseluruhan. 4) Untuk memperoleh hasil asesmen yang maksimal yang dapat menggambarkan proses dan hasil yang sesungguhnya, asesmen dilakukan sepanjang kegiatan pengajaran ditujukan untuk memotivasi dan mengembangkan kegiatan belajar anak, kemampuan mengajar guru dan untuk kepentingan penyempurnaan program pengajaran. 5) Dalam pelaksanaannya, asesmen pembelajaran ranah afektif

merupakan kegiatan yang berkaitan dengan mengukur dan menilai aspek psikologis yang berupa proses dan hasil belajar yang bersifat afeksi, karena itu asesmen hendaknya dilakukan dengan cermat dan penuh perhitungan termasuk memperhatikan berbagai keterbatasan sebagai berikut. 6) Pengukuran aspek psikologis termasuk pengukuran proses dan hasil pembelajaran pada umumnya dikembangkan berdasar atas sampel tingkah laku yang terbatas, sehingga untuk dapat menjadi sumber informasi yang akurat, asesmen dilakukan dengan perencanaan yang matang dan dilakukan dengan cermat, dengan memperhatikan perolehan sampel yang memadai dari domain tingkah laku dalam pengembangan prosedur dan alat ukur yang baik. 7) Pendefinisian konstruk psikologis pada skala pengukuran merupakan masalah yang cukup pelik, mengingat bahwa kenyataan hasil belajar

merupakan suatu kualitas pemahaman siswa terhadap materi, sedang dalam pelaksanaan tes pengukuran hasil belajar, pengajar diharuskan memberikan kuantitas yang berupa angka-angka pada kualitas dari suatu gejala yang bersifat abstrak. 8) Konstruk psikologis dalam proses dan hasil pembelajaran tidak dapat didifinisikan secara tunggal, tetapi selalu berhubungan dengan konstruk yang lain. Dengan demikian dalam pelaksanaan asesmen hendaknya menggunakan teknik asesmen alternatif, disamping teknik yang standar. 9) Perlu dipahami bahwa hasil pengukuran dan nilai yang diperoleh dalam asesmen proses dan hasil belajar mengandung kekeliruan. Angka yang diperoleh sebagai hasil pengukuran baik dengan menggunakan tes ataupun nontes mengandung kesalahan. Untuk itu kegiatan pengukuran dalam prosedur asesmen yang baik harus dipersiapkan sedemikian rupa sehingga dapat memperkecil kekeliruan. Kesalahan dapat bersumber dari alat ukur, dari gejala yang diukur, maupun interpretasi terhadap hasil pengukuran tersebut. Untuk kperluan mengeliminir kesalahan ini disarankan untuk melakukan try out isntrumen pengukurang dan melakukan analisis item. 1.3. Prinsip Asesmen Kinerja Dan Hasil Belajar 1) Prinsip adalah sesuatu yang harus dijadikan pedoman. Prinsip asesmen pembelajaran adalah patokan yang harus dipedomani oleh guru dalam melakukan asesmen proses dan hasil belajar. Ada beberapa prinsip dasar asesmen pembelajaran yang harus dipedomani seperti berikut ini. 2) Memandang asesmen dan kegiatan pembelajaran secara terpadu, sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan proses

pembelajaran.

3) Mengembangkan tugas-tugas asesmen langsung dengan kehidupan nyata.

yang

bermakna,

terkait

4) Mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat asesmen sebagai evaluasi diri siswa. 5) Melakukan berbagai strategi asesmen di dalam program pembelajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik. 6) Mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik. 7) Mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik. 8) Menggunakan teknik dan instrument asesmen yang bervariasi.

Asesmen kelas dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran sehari-hari sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai. 9) Melakukan asesmen secara berkesinambungan terhadap semua Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk memantau proses,

kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk tes formatif dan sumatif. II. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL 2.1 Defenisi Pembelajaran Kontekstual 1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.

2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat Knapp & Schell (dalam Depdiknas, 2005) mengidentifikasi beberapa masalah dalam pembelajaran, antara lain bahwa peserta didik kesulitan dalam menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah-masalah kompleks dan dalam setting yang berbeda, seperti masalah pada bidang lain atau masalah di luar sekolah. Begitu juga dalam pembelajaran IPS, siswa kurang mampu menghubungkan konsep-konsep dasar dengan kehidupan sehari-harinya. Pembelajaran yang diterapkan selama ini di sekolah adalah pembelajaran konvensional yang bersifat teoritik dan mekanistik serta jarang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Tentunya pembelajaran yang demikian membuat siswa akan beranggapan belajar IPS tidak ada artinya bagi mereka. Penerapan model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran IPS, merupakan dua sisi yang saling mendukung. Pendidikan IPS mengamanatkan agar pembelajarannya menggunakan masyarakat sebagai tempat, media atau

laboratriumnya. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning community), pemodelan (modeling), penilaian sebenarnya (Authentic assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajaran. Pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apapun, bidang studi apa saja, dan kelas bagaimanapun keadaannya. Dalam proses pembelajaran, kebermaknaan tidak hanya terletak pada model pembelajaran yang digunakan, tetapi juga diartikan sebagai kesesuaian antara perencanaan, pelaksanan dan evaluasi belajar. KTSP menyarankan agar selama proses belajar berlangsung guru dapat memonitor partisifasi siswa secara terus menerus agar pelaksanaan penilaian kelas yang lebih efektif agar pencapaian

kompetisi masing-masing peserta didik dapat diketahui dengan menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah unjuk kerja atau kinerja (Performaces) siswa. 2.2 Pemikiran tentang belajar Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. 1) Proses belajar y Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru y Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan. y Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. y Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. y Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. y Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang. 2) Transfer Belajar y y Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit) y Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu

3) Siswa sebagai Pembelajar y Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. y Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. y Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui. y Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. 4) Pentingnya Lingkungan Belajar y Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan. y Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan

dibandingkan hasilnya. y Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar. y Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. 2.3 Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran

Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya dengan : a) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. b) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik c) Ciptakan masyarakat belajar. d) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran e) Lakukan refleksi di akhir pertemuan f) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara 2.4 Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual a. Konstruktivisme Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal. y Pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan Inquiry y Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. y Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis Questioning (Bertanya) y Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. y Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry Learning Community (Masyarakat Belajar) y Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar. y Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. y Tukar pengalaman dan berbagi ide Modeling (Pemodelan) y Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar. y Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya y

b.

c.

d.

e.

f. Reflection ( Refleksi) y Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari. y Mencatat apa yang telah dipelajari. y Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok g. Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya) Prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan

(pengetahuan,

ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa. 2.4 Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual Dalam

Pembelajaran IPS Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut ;

a)

Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar.

b) c) d) e)

Nyatakan tujuan umum pembelajarannya. Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran

2.5 Rancangan Pembelajaran Kontekstual Dalam Pembelajaran IPS. Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran IPS pada prinsipnya terdiri dari tiga langkah yaitu : 1. Kegiatan Pendahuluan (Awal) Kegiatan utama yang dilaksanakan dalam pendahuluan pembelajaran ini di antaranya untuk menciptakan kondisi-kondisi awal pembelajaran yang kondusif, melaksanakan kegiatan apersepsi (apperception), dan penilaian awal (pre-test). Penciptaan kondisi awal pembelajaran dilakukan dengan cara: mengecek atau memeriksa kehadiran peserta didik (presence, attendance), menumbuhkan kesiapan belajar peserta didik (readiness), menciptakan suasana belajar yang demokratis, membangkitkan motivasi belajar peserta didik, dan membangkitkan perhatian peserta didik. Melaksanakan apersepsi (apperception) dilakukan dengan cara: mengajukan pertanyaan tentang bahan pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya dan memberikan komentar terhadap jawaban peserta didik, dilanjutkan dengan mengulas materi pelajaran yang akan dibahas. 2. Kegiatan Inti Pembelajaran Kegiatan inti merupakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembelajaran terpadu yang menekankan pada proses pembentukan pengalaman belajar

peserta didik (learning experiences ). Kegiatan lainnya di awal kegiatan inti pembelajaran terpadu yaitu menjelaskan alternatif kegiatan belajar yang akan dialami peserta didik. Dalam tahapan ini guru perlu menyampaikan kepada peserta didik tentang kegiatan-kegiatan belajar yang harus ditempuh peserta didik dalam mempelajari tema/topik, atau materi pembelajaran terpadu. Kegiatan belajar yang ditempuh peserta didik dalam pembelajaran terpadu lebih diutamakan pada terjadinya proses belajar yang berkadar aktivitas tinggi. Pembelajaran berorientasi pada aktivitas peserta didik, sedangkan guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan-kemudahan kepada peserta didik untuk belajar. Peserta didik diarahkan untuk mencari dan menemukan sendiri apa yang dipelajarinya, sehingga prinsip-prinsip belajar dalam teori konstruktivisme dapat dijalankan. Dalam hal ini, guru harus berupaya menyajikan bahan pelajaran dengan strategi mengajar yang bervariasi, yang mendorong peserta didik pada upaya penemuan pengetahuan baru. 3. Kegiatan Akhir (Penutup) dan Tindak Lanjut Secara umum kegiatan akhir dan tindak lanjut dalam pembelajaran terpadu di antaranya: a) menyimpulkan pelajaran dan kegiatan refleksi; b) melaksanakan penilaian akhir (post test); c) melaksanakan tindak lanjut pembelajaran melalui kegiatan pemberian tugas atau latihan yang harus dikerjakan di rumah, menjelaskan kembali bahan pelajaran yang dianggap sulit oleh peserta didik, membaca materi pelajaran tertentu, dan memberikan motivasi atau bimbingan belajar; dan d) mengemukakan topik yang akan dibahas pada waktu yang akan datang, dan menutup kegiatan pembelajaran.

2.6 Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Dan Asesmen Kinerja Peningkatan kualitas interaksi atau respon siswa terhadap pembelajaran IPS setelah diterapkannya model pembelajaran kontekstual dan asesmen kinerja diharapakan : 1) Siswa menjadi lebih bersemangat dan bergairah ketika belajar mata pelajaran IPS setelah diterapkannnya model pembelajaran kontekstual dan asesmen kinerja, 2) Pola interaksi yang terjadi tidak lagi hanya antara guru dengan siswa, tetapi juga siswa dengan siswa dalam kelompok yang lainnya (multi arah) sehingga terbentuknya masyarakat belajar yang efektif, 3) Dengan pola interaksi yang bersifat multi arah, mereka akan dapat kesempatan yang relatif lebih banyak untuk menemukan pendapat atau ide-ide dan saling bertukar pikiran dengan teman, 4) Siswa yang pada awalnya sering belajar sendiri dan ada yang bermain-main saat diskusi kelompok dan setelah pembelajaran berikutnya mulai melibatkan diri secara aktif dan mulai mengambil peran dalam pembelajaran, 5) Keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat cendrung mengalami peningkatan, 6) Partisifasi siswa dalam menyimpulkan hasil belajar menunjukan suasana yang dimamis dan interaktif dari yang semulanya didominasi oleh siswa yang lebih pintar, kini sudah tampak adanya pemerataan dalam menyimpulkan hasil belajar. 7) Siswa sudah mulai terbiasa membuat laporan dan mempresentasikannya di depan kelas. 2.7 Kelemahan Pembelajaran Kontekstual Walaupun model pembelajaran kontekstual dan asesmen kinerja memiliki kelebihan tetapi juga ditemukan kelemahan. Kelemahan-kelamahan yang menjadi kendala dalam pengembangan model pembelajaran kontekstual dan asesmen kinerja selama berlangsungnya penelitian yaitu: 1)Dalam pembelajaran kontekstual banyak

menghabiskan waktu dan tenaga sehingga target kurikulum tidak tercapai, 2) Dalam pembelajaran kontekstual belajar dalam bentuk kelompok sering disalahgunakan oleh siswa dan membicarakan hal-hal di luar pelajaran akibatnya waktu yang disediakan kadang-kadang molor, 3) Masih terbatasnya wawasan dan pemahaman guru tentang teknik belajar pembelajaran kontekstual dan asesmen kinerja. Bagi guru model pembelajaran kontekstual dan asesmen kinerja merupakan hal yang relatif baru, 4) Kemampuan masing-masing siswa berbeda sehingga dalam penerapan model pembelajaran kontekstual dan asesmen kinerja lebih banyak didominasi oleh siswa yang berkempuan lebih pintar dan sebaliknya siswa yang kempuannya rendah merasa canggung atau minder, dan 5) dalam penerapan model pembelajaran kontekstual dibutuhkan sarana dan sarana yang memadai, misalnya buku penunjang, LKS dan lainnya.

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Asesmen merupakan bagian integral dari proses pembelajaran, sehingga tujuan asesmen harus sejalan dengan tujuan pembelajaran. Implikasinya bahwa guru hendaknya merancang asesmen bersamaan dan melekat dengan design instructional yang disusunnya. Gunakan kisi-kisi asesmen untuk mengontrol kecakupan kompetensi dan bahan pelajaran. Penerapan model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran IPS, merupakan dua sisi yang saling mendukung. Pendidikan IPS mengamanatkan agar pembelajarannya menggunakan masyarakat sebagai tempat, media atau

laboratriumnya. Dengan menggunakan masyarakat sebagai laboratriumnya, maka pendidikan IPS akan mampu menghadirkan materi pembelajaran dengan keadaaan yang sesungguhnya pada lingkungan atau masyarakat. Pembelajaran kontekstual dapat mendukung siswa dalam berpikir kritis, mentransfer pengetahuan, menganalisis data, dan memecahkan masalah. Selain itu diharapkan pembelajaran kontekstual mampu menjadi solusi atas rendahnya prestasi belajar IPS.

B. SARAN Hendaknya setiap pegelola pendidikan khususnya para guru selalu berusaha untuk mengembangkan lagi berbagai strategi atau pendekatan pembelajaran yang ada. Sebaiknya para guru dalam melaksanakan tugasnya berpegang teguh pada prinsip daya guna ( efisiensi ) dan hasil guna ( efekifitas ) dalam mewujudkan tugas-tugas yang telah direncanakan dalam persiapan pembelajaran dan atau rencana pembelajaran dan guru selalu berusaha untuk lebih memahami faktor-faktor yang dapat mendorong ataupun menghambat terjadinya proses belajar mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Lorin W.. Krathwohl, David R.. (2010). Kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan asesmen: revisi Taksonomi Bloom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ngalim Purwanto.M. 1990. Psikologi Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya.Bandung. Farisi,M.I. 2005. Belajar dan pembelajaran. Paket untuk Mahasiswa program S1 FKIP UIM Pamekasan. Pamekasan : Tidak ditebitkan. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/29/pembelajaran-kontekstual/ Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Peraturan Pemerintah RI Nomer 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. http:// www.Depdiknas.or.id.

You might also like