You are on page 1of 33

I.

Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka Pemerintah secara intensif melakukan berbagai kebijakan strategis berkaitan dengan program pembangunan. Pembangunan nasional mengandalkan sumber dana dari pajak, untuk itu dilaksanakan reformasi dibidang perpajakan (tax reform), Berdasarkan kewenangannya, pajak dibedakan sebagai Pajak Pusat dan Pajak Daerah, dimana Pajak Daerah, berperan penting sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagai penopang Pembangunan Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak propinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan tidak melebihi tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi belum memiliki peranan yang signifikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga sebagian besar belanja APBD dibiayai dana perimbangan. Dalam banyak hal, dana perimbangan tidak sepenuhnya dapat menutup kebutuhan belanja Daerah. Untuk daerah propinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya kewenangan propinsi dalam penetapan tarif Pajak, propinsi tidak dapat menyesuaikan penerimaan pajaknya. Pengaturan kewenangan perpajakan saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan. Basis pajak sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan propinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan belanjanya. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Perluasan kewenangan perpajakan tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak harus dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, yaitu tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru. Untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi 1|Page

masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Untuk menghindari perang tarif pajak antar daerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor. Pengaturan tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan seragam secara nasional. Kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan Daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif atas kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan belanjanya semakin besar sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif. Jenis Pajak Daerah yang diatur dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meliputi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Kendaraan Bermotor Di Atas Air (PKBDA), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Diatas Air (BBNKBDA), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dan Pajak Rokok. Tinjauan utama kajian ini adalah melakukan analisis atas pajak kendaraan bermotor serta pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Hal ini diperlukan, mengingat kontribusi pajak ini terhadap PAD propinsi berkisar antara 40 60 persen. Saat ini total pajak ptopinsi di Indonesia mencapai Rp. 40 Triliun Rupiah. Kendaraan merupakan jenis kepemilikan pribadi yang paling banyak terkena berbagai jenis pungutan. Pungutan atas kendaraan dimulai dari pembuatan kendaraan yang dikenakan tariff PPN 10%, Distribusi kendaraan dikenakan tariff PPN 10%, Pajak Barang mewah dikenakan tariff PPN 30%, Bea Balik nama kendaraan dikenakan tariff 5%, dan seterusnya, sampai parkir kendaraan dan pembelian bahan bakar kendaraan masih dikenakan berbagai jenis pajak. Dengan berbagai jenis pungutan ini, maka tidak heran, harga kendaraan di Indonesia menjadi yang termahal dibandingkan dinegara lain. Namun demikian, berbagai pungutan ini hal ini tidak menyurutkan minat masyarakat terhadap kepemilikan kendaraan bermotor. Saat ini pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai 15% per tahun (setiap tahun rata-rata 600.000 unit mobil terjual dan 8 juta motor). Sejalan dengan pertumbuhan penjualan kendaraan tersebut juga tumbuh penjualan bahan bakar kendaraan (tumbuh rata-rata 19% per tahun). Hal ini mengakibatkan timbulnya kemacetan dan polusi yang parah diperkotaan. Kemacetan bukan hanya persoalan wilayah, karena menimbulkan biaya tinggi akibat pemborosan energi, waktu, dan polusi, juga berpengaruh negatif terhadap perekonomian 2|Page

nasional. Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa 63 persen dari total penduduk perkotaan menghabiskan 20-30 persen pendapatan untuk bertransportasi, akibatnya, daya beli menjadi rendah, dan akan yang berimbas terhadap perekonomian. Hasil penelitian Bank Dunia menunjukkan, persentase pendapatan yang digunakan untuk angkutan umum di negara berkembang seharusnya tidak melebihi 10 persen agar perekonomian dapat berputar positif. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak terkendali mengakibatkan kerugian ekonomi akibat inefisiensi sistem transportasi sebesar Rp 5,5 triliun per tahun dan akibat penurunan kualitas udara buruk sebesar Rp 2,8 triliun per tahun untuk propinsi Jakarta saja (data propinsi lain tidak tersedia). Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan iklim yang diakibatkan oleh karbondioksida yang menyebabkan pemanasan global. Bukti nyata dari adanya pemanasan global ini adalah peningkatan rata-rata suhu dunia mencapai 0,5 % per tahun. Bukti lain adalah meningkatnya rata-rata suhu daerah perkotaan, seperti suhu Kota Bandung pada Jumat 13 November 2011 mencapai 32 derajat Celcius. Eksternalitas negatif ini yang harus menjadi dasar pertimbangan pembuat kebijakan dalam menetapkan sistem serta tarif pajak. Hal ini mengakibatkan besaran pendapatan pajak propinsi (dari kendaraan) menjadi tidak signifikan apabila dibandingkan dengan dampak negative yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, dibutuhkan kajian yang komprehensif dalam mengetahui bagaimana perhitungan pajak daerah masih dapat disempurnakan dengan menambahkan variabel biaya polusi sebagai beban tambahan bagi pemilik kendaraan. Untuk itu kajian ini dimulai dari membentuk model yang dapat digunakan sebagai dasar perhitungan pajak propinsi, kemudian dihitung biaya polusi dan kemacetan yang ditimbulkan olehnya. Selanjutnya dari model ini dibentuk model baru yang dapat mengakomodasi adanya polusi tersebut. Sistimatika Penulisan Tulisan dimulai dari bagian pertama yang berisikan latarbelakang dan perumusan masalah, selanjutnya pada bagian kedua membahas tujuan penelitian kerangka pemikiran dan proses yang akan dilakukan. Pada bagian ketiga membahas metode penelitian berisikan metode yang digunakan dalam penelltian, pemilihan sampel dan sumber data serta metode analisis data yang digunakan untuk memberikan gambaran hasil analisis. Pada bagian keempat adalah analisis data mulai dari deskripsi data sampai dengan hasil olahan prediksi dan model simulasi data menggunakan simulator sedangkan bagian terakhir berisikan hasil kesimpulan serta rekomendasi terutama dalam hal pengambilan kebijakan. II. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dan manfaat yang hendak dicapai melalui penulisan tulisan ini antara lain sebagai berikut : 1. Bagaimana pertumbuhan kendaraan di Indonesia. 2. Bagaimana kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kendaraan di Indonesia 3. Bagaimana kinerja pendapatan Pajak Propinsi di Indonesia. 3|Page

4. 5. 6. 7. 8.

Bagaimana biaya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kendaraan di Indonesia Faktor apa saja yang menjadi dasar perhitungan prediksi pendapatan Pajak Propinsi di Indonesia. Bagaimana model prediksi pendapatan pajak Propinsi di Indonnesia. Bagaimana model prediksi pendapatan pajak Propinsi di Indonesia dengan menambahkan faktor kerusakan lingkungan sebagai suatu alternatif dibidang perpajakan. Bagaimana model prediksi pendapatan pajak Propinsi di Indonesia dapat meningkatkan stabilitas keuangan daerah.

III Landasan Teoritis III.1. Pengertian Pajak dan Dasar Hukumnya Pajak memegang peranan yang penting yaitu sebagai sumber penerimaan yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan kegiatan pemerintahan dan pembangunan serta sebagai alat regulasi. Sebagai regulasi pajak dipergunakan sebagai redistribusi pendapatan, stabilitas ekonomi, realokasi sumbersumber ekonomi. Menurut Soemarso (2007); Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada dalam masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu berkumpul untuk tujuan tertentu. Untuk kelangsungan hidup masing-masing diperlukan biaya. Biaya hidup individu menjadi beban dari individu yang bersangkutan, sedangkan biaya hidup Negara adalah untuk kelangsungan hidup alat alat Negara, administrasi Negara, lembaga lembaga Negara, dan seterusnya yang harus dibiayai dari penghasilan Negara. Pengertian pajak menurut Azhari Aziz; pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapatditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai belanja-belanja umum berhubung dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Soemasro, dalam Perpajakan, memberikan definisi pajak sebagai berikut : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang Undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tidak mendapat jasa timbal balik ( kontra prestasi ), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk belanja umum. Dan penjelasannya sebagai berikut : Dapat dipaksakan artinya : bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan, terhadap pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan jasa timbale balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi. Menurut Prof.DBA. Supramono, secara historis pajak sudah lama menjadi bagian yang menyatu dalam kehidupan suatu bangsa. Adam Smith, David Ricardo, John Stuart Mill dan Thomas Malthus, berpendapat bahwa pajak sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan suatu Negara. 4|Page

Pengertian Pajak menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah : Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dari beberapa pengertian tentang definisi Pajak sebagaimana tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Pajak merupakan : a. Iuran atau kontribusi ( di dalam Undang Undang lebih ditekankan pada istilah peran serta ) yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan yang berakibat adanya sanksi. b. Yang dipungut oleh Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah Propinsi ; Pemerintah Daerah Propinsi/Kota, yang tidak mendapatkan imbalan secara langsung. c. Yang oleh Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah Propinsi ataupun Pemerintah Propinsi/Kota; dipergunakan untuk membiayai belanja dalam penyelenggaraan negara / pemerintahan. IV Metodologi dan Data Pada pembahasan paper ini dibagi kedalam dua bagian yaitu metodologi penelitian, data yang mencakup metode pengumpulan serta penentuan dan metode analisis yang digunakan IV.1. Metodologi Penelitian. Metode pendekatan yang dilakukan dalam penulisan tulisan ini adalah Metode Deskriptif eksploratori. Metode ini adalah suatu metode pendekatan yang selain menekankan pada deskripsi dan pencarian indikator-indikator yang relevan untuk dipergunakan sebagai prediktor dalam pengembangan model persamaan matematika untuk memprediksi tingkat kewajaran pendapatan pajak dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Jawa Barat. Pendekatan secara yuridis dalam penelitian ini juga digunakan berupa pendekatan dari segi peraturan perundang undangan dan norma norma hukum sesuai dengan permasalahan yang ada. Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah merupakan tipe penelitian deskriptif analitis, yaitu suatu penggambaran terhadap berbagai permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan memberikan suatu kesimpulan yang tidak bersifat umum. Penelitian deskriptif ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar mengungkap fakta. Hasil penelitian ditekankan pada memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti.

5|Page

IV.2. Data Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum terarah pada penelitian data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengkaitkan kondisi sosial dengan masalah masalah hukum yang terjadi di masyarakat. Sedangkan data sekunder berupa bahan hukum dan dokumen yang menjadi pijakan dasar peneliti dalam rangka menjawab permasalahan dan tujuan penelitiannya. Data sekunder yang digunakan adalah DJAK berupa data keuangan pemerintah propinsi, Badan Pusat Statistik (BPS), Gaikindo, dll Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh untuk mendapatkan pendekatan empiris yang menekankan penelitian yang bertujuan memperoleh pengetahuan empiris dengan cara terjun langsung pada obyek penelitian, yaitu pelaksanaan pemungutan pajak kendaraan bermotor di Unit Pelayanan Pendapatan di Propinsi Jawa Barat. Dalam suatu penelitian, pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian dan sifatnya mutlak untuk dilakukan karena data merupakan elemen elemen penting yang mendukung keberhasilan suatu peneltian. Dari data yang diperoleh akan diperoleh gambaran yang jelas tentang obyek yang akan diteliti, sehingga akan membantu kita menarik suatu kesimpulan dari obyek penelitian. Metode Pengumpulan Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data Primer : Data Primer diperoleh melalui penelitian di lapangan merupakan upaya memperoleh data primer berupa, wawancara, keterangan atau informasi dari responden. Dalam penelitian ini respondennya adalah semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan pajak kendaraan bermotor di Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) / Samsat Propinsi Jawa Barat. 2. Data Sekunder: Data Sekunder ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan teori dan azas hukum serta pemikiran konseptual serta penelitian pendahulu yang berkaitan dengan peraturan perundang undangan, literatur, karya tulis ilmiah dan lain sebagainya. IV.3 Metode analisis Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan menyusun data yang telah diperoleh secara sistematis sehingga diperoleh gambaran mengenai masalah atau keadaan yang diteliti. Setelah dilakukan analisis data secara kuantitatif, kemudian akan ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode berfikir deduktif yaitu suatu pola berfikir yang mendasarkan pada hal hal yang bersifat umum, untuk kemudian ditarik suatu generalisasi atau kesimpulan yang bersifat khusus. IV.3.1 Perkembangan Pajak Serta Perubahan Iklim Perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia semakin meningkat, fenomena tersebut mendorong perencana pendapatan untuk mengetahui secara lebih mendalam 6|Page

tentang Pajak Kendaraan Bermotor PKB dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebagai salah satu jenis Pajak Daerah Propinsi. Pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia berfluktuasi sejalan dengan keadaan ekonomi dan suku bunga perbankan. Rata-rata pertumbuhan jumlah kendaraan sebesar 16% berhubungan erat dengan rata-rata pertumbuhan pendapatan pajak propinsi di Indonesia. Namun demikian, alokasi pendapatan tersebut saat ini baru mencukupi pada perbaikan infrastruktur, belum menyentuh seluruh aspek yang diakibatkan karena kendaraan tersebut, yaitu polusi dan perubahan iklim. Dampak negatif ini harus diperhitungkan untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi propinsi dan kabupaten/kota dibawahnya(karena 30% pajak ini dikembalikan ke kabupaten/kota) untuk membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Hal ini menjadi tantangan bagi pembuat kebijakan untuk dapat menjamin kehidupan masyarakat yang lebih baik melalui program penghijauan dan perluasan taman kota sebagai mentuk tanggungjawab pemerintah dalam menanggulangi polusi dan pemanasan global. Untuk program tersebut dibutuhkan anggaran yang mencukupi, serta stabilitas pungutan untuk dapat membiayai program dalam jangka panjang. Dengan pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai 15% per tahun mendorong pertumbuhan penjualan bahan bakar kendaraan (tumbuh rata-rata 19% per tahun). Hal ini mengakibatkan timbulnya kemacetan yang parah diperkotaan. Kemacetan menimbulkan biaya tinggi akibat pemborosan energi, waktu, dan polusi, juga berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak terkendali mengakibatkan kerugian ekonomi akibat inefisiensi sistem transportasi sebesar Rp 5,5 triliun per tahun dan akibat penurunan kualitas udara buruk sebesar Rp 2,8 triliun per tahun untuk propinsi Jakarta saja (data propinsi lain tidak tersedia). Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan iklim yang diakibatkan oleh karbondioksida yang menyebabkan pemanasan global. Bukti nyata dari adanyapemanasan global ini adalah peningkatan rata-rata suhu dunia mencapai 0,5 % per tahun. Bukti lain adalah meningkatnya rata-rata suhu daerah perkotaan, seperti suhu Kota Bandung pada Jumat 13 november 2011 mencapai 32 derajat Celcius. Eksternalitas negatif ini yang harus menjadi dasar pertimbangan pembuat kebijakan dalam menetapkan system serta tarif pajak. Hal ini mengakibatkan besaran pendapatan pajak propinsi (dari kendaraan) menjadi tidak signifikan apabila dibandingkan dengan dampak negative tang dirasakan masyarakat. Gambaran pola pikir kajian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

7|Page

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Indikator yang digunakan dalam pengembangan model prediksi Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Jawa Barat antara lain adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk, Jumlah kendaraan (bus, Truk, Mobil Penumpang, Sepeda Motor), Jumlah kendaraan Baru, Harga kendaraan baru dan lama serta mutasi antar propinsi. Fokus dari penelitian, adalah pengamatan dan penelitian mengenai Prediksi dan pelaksanaan pemungutan pajak, bagaimana metoda penentuan target pendapatan, dan apakah terjadi hambatanhambatan dalam pelaksanaan pemungutannya serta bagaimana upaya upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan hambatan tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan serta gambaran bagi fiskus, wajib pajak, serta praktisi dan masyarakat umum tentang pelaksanaan pemungutan pajak kendaraan bermotor dan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah, serta bagaimana sistem dan tarif pajak ini dapat menjaamin stabilitas keuangan daerah untuk dapat menjamin pembangunan yang berkesinambungan. IV.3.2. Pendekatan Analisis Biaya kemacetan timbul dari hubungan antara kecepatan dengan aliran di jalan dan hubungan antara kecepatan dengan biaya kendaraan. (Lihat Gambar 1). Jika batas aliran lalu lintas yang ada dilampaui, maka rata-rata kecepatan lalu lintas akan turun. Pada saat kecepatan mulai turun maka biaya operasi kendaraan akan meningkat dalam kisaran 0 45 mil/jam dan waktu untuk melakukan perjalanan akan meningkat. Sementara itu, waktu berarti biaya dan nilai yang merupakan dua bagian dari total biaya perjalanan yang ditimbulkan oleh menurunnya kecepatan akibat meningkatnya aliran lalu lintas.

8|Page

Selisih antara marginal social cost dan marginal private cost merupakan congestion cost yang disebabkan oleh adanya tambahan kendaraan pada ruas jalan yang sama dan keseimbangan (equilibrium) tercapai di titik F dengan arus lalu lintas sebanyak Q2 dan biaya sebesar P2. Dari sudut pandang sosial, maka arus lalu lintas sebanyak Q1 terlalu berlebihan karena pengemudi kendaraan hanya menikmati manfaat sebesar Q1E atau P4. Tambahan kendaraan setelah titik optimal Q2 harus mengeluarkan biaya sebesar Q2Q1HF namun hanya menikmati manfaat sebesar Q2Q1EF, sehingga terdapat welfare gain yang hilang sebesar luasan FEH. Oleh karena itu, penghitungan beban biaya kemacetan didasarkan pada perbedaan antara biaya marginal social cost dan marginal private cost dari suatu perjalanan. Gambar 2. Estimasi biaya kemacetan.

Keterangan : kemacetan ditunjukkan dalam persamaan [1]. C ij =C ij M C m C m SC C ij M C (1) C m P dimana : C ij C m = biaya kemacetan moda m dari i ke j m C ij M C = marginal social cost/biaya yang dikeluarkan masyarakat dari perjalanan i C S ke j dengan moda m. m C ij M C = marginal private cost/biaya yang dikeluarkan pengguna kendaraan C P pribadi dari perjalanan i ke j dengan moda m. Agar sesuai dengan prinsip pricing, maka biaya kemacetan harus seimbang dengan MSC supaya aliran yang terjadi akan turun dari Q1 ke Q2, sehingga MSC seluruh pengguna kendaraan dari perjalanan terakhir harus sesuai dengan MPC yang dirasakan. Hal ini dapat diwujudkan jika diberlakukan sistem congestion charging sebesar FG atau P2-P3. IV.3.3. Prediktor dan Simulator Flowchart model analisis simulasi pendapatan pajak dapat dilihat pada gambar di bawah ini : Gambar 3 9|Page

Flowchart Model Analisis Simulasi Pendapatan Pajak

V. Analisis Sesuai dengan sistematika penulisan maka hasil analisis dibagi menjadi dua bagian besar yaitu deskriptif data dana analisis data, dari hasil pengolahan data maka sebagai hasil akhir dilanjutnya pada pengambilan kesimpulan dalam menjawab permasalahan. V.1 Deskriptif Data Dalam deskripsi data dapat dilihat bahwa jumlah sampel berkisar antara 92-104 observasi dimana rata-rata untuk pajak di Jawa Barat sebesar 27.084 dan rata-rata terkecil adalah variable jumlah bus sebanyak 994, sedangkan rata-rata terbesar adalah variable PDRB Jawa Barat yaitu sebesar 15.699.000. Data yang terdistribusi normal mempunyai nilai skewness kisaran nol sedangkan kurtosisnya bernilai tiga. Jika dilihat dari sudut distribusi normal maka seluruh variable mempunyai nilai skewness yang besar dari nol sehingga dapat dikatakan bahwa data tidak terdistribusi normal atau right skewness, sementara itu untuk nilai kurtosis ada beberapa variable seperti PDRB, Penduduk dan speda motor yang bernilai kecil dari 3 atau disebut sebagai Playkurtic sedangkan sisanya bernilai besar dari 3 dan dapat dikatakan sebagai Leptokurtic. Dengan demikian untuk data Jawa Barat tidak berdistribusi normal dikarenakan nilai skewness dan kurtosis yang mempunyai deviasi yang tinggi. Tabel 1 10 | P a g e

Data Variabel Jawa Barat


N Statistic pajak_jabar pdrb_jabar penduduk_jabar sedan_jabar jeep_jabar minibus_jabar bus_jabar truck_jabar alatberat_jabar sepedamotor_jabar Valid N (listwise) 92 100 101 104 104 104 104 104 104 104 92 Range Statistic 1.81E5 7.02E7 4.23E6 6.75E4 2.72E4 1.40E5 4940.00 5.08E4 4.81E4 5.55E5 Minimum Statistic 761.54 7.86E5 1.67E5 59.00 43.00 512.00 67.00 857.00 .00 13275.00 Maximum Statistic 1.82E5 7.10E7 4.40E6 67551.00 27202.00 1.41E5 5007.00 51683.00 48084.00 5.69E5 Mean Statistic 2.7084E4 1.5699E7 1.5953E6 5.6040E3 2.2755E3 1.7592E4 9.9444E2 9.4528E3 2.5882E3 1.3920E5 Std. Deviation Statistic 34264.69773 1.48639E7 9.88597E5 12341.09927 4725.10810 24704.20873 808.43253 8027.98699 6417.72700 1.17729E5 Variance Statistic 1.174E9 2.209E14 9.773E11 1.523E8 2.233E7 6.103E8 6.536E5 6.445E7 4.119E7 1.386E10 Skewness Statistic 2.343 1.645 .924 3.597 4.110 3.002 2.573 2.906 4.339 1.566 Std. Error .251 .241 .240 .237 .237 .237 .237 .237 .237 .237 Kurtosis Statistic 5.844 2.214 1.127 13.287 17.224 9.859 8.601 11.497 25.173 2.099 Std. Error .498 .478 .476 .469 .469 .469 .469 .469 .469 .469

Ket : pajak dalam juta, pdrb dalam juta

Selanjutnya, untuk kasus Indonesia maka data yang ada menunjukkan nilai rata-rata tertinggi untuk PDRB dan nilai terkecil rata-rata untuk variabel sepeda motor. Tabel 2 Data Variabel Indonesia
Descriptive Statistics N Statistic pajak_indo pdrb_indo penduduk_indo panjang_jalan_indo Mobil_penumpang_indo mobil_beban_indo bus_indo sepeda_motor_indo Valid N (listwise) 95 95 95 95 95 95 95 95 95 Range Statistic 7.39E6 5.33E5 3.96E7 2.49E4 1.84E6 9.69E5 5.05E5 7.59E6 Minimum Statistic 11275.00 2369.00 8.65E5 1273.00 88.00 182.00 22.00 648.00 Maximum Statistic 7.40E6 5.35E5 4.04E7 26202.00 1.84E6 9.69E5 5.05E5 7.59E6 Mean Statistic 7.7476E5 9.8302E4 7.9261E6 9.7865E3 2.2182E5 1.3792E5 6.2122E4 1.1838E6 Std. Deviation Statistic 1.27762E6 1.38894E5 1.07764E7 6570.47078 3.49822E5 1.78436E5 1.02987E5 1.63698E6 Variance Statistic 1.632E12 1.929E10 1.161E14 4.317E7 1.224E11 3.184E10 1.061E10 2.680E12 Skewness Statistic 3.105 1.870 2.076 1.171 3.054 2.491 3.002 2.282 Std. Error .247 .247 .247 .247 .247 .247 .247 .247 Kurtosis Statistic 11.014 2.439 2.967 .581 10.219 7.225 9.133 4.525 Std. Error .490 .490 .490 .490 .490 .490 .490 .490

Ket : pajak dalam juta, pdrb dalam milyar

Dalam konteks distribusi normal nilai skewness seluruhnya berada diatas nilai nol yang artinya data tidak terdistribusi normal atau disebut dengan right skewness, sementara itu nilai kurtosis yang kecil dari 3 ada sebanyak 4 variabel yaitu PDRB, penduduk, panjang jalan dan sepeda motor sedangkan sisanya mempunyai kurtosis yang besar dari 3 atau disebut dengan Leptokurtic Karakteristik data untuk pendekatan langsung dalam jumlah kendaraan mempunyai nilai rata-rata terbesar untuk variable pajak sedangkan nilai terkecil untuk variable mutasi antar polda.

Tabel 3 Data Variabel Pendekatan Langsung dengan 11 | P a g e

Jumlah Kendaraan Indonesia


Descriptive Statistics N Statistic pajak stnkbaru_bbn stnk_perpanjang mutas_antar_polda mutasi_dalam_wilayah_polda Valid N (listwise) 66 56 55 52 52 50 Range Statistic 9.40E6 2.38E6 3.18E6 1.89E5 1.06E5 Minimum Statistic 8.00 49.00 29.00 107.00 24.00 Maximum Statistic 9.40E6 2.38E6 3.18E6 1.89E5 1.06E5 Mean Statistic 8.6394E5 2.5325E5 1.9860E5 1.4746E4 8.4391E3 Std. Deviation Statistic 1.45427E6 4.87207E5 5.26830E5 38448.62331 22232.97124 Variance Statistic 2.115E12 2.374E11 2.776E11 1.478E9 4.943E8 Skewness Statistic 3.827 2.913 4.348 3.582 3.803 Std. Error .295 .319 .322 .330 .330 Kurtosis Statistic 18.479 8.432 21.172 12.613 14.173 Std. Error .582 .628 .634 .650 .650

Ket : pajak dalam juta Jika dilihat dari aspek distrbusi normal maka seluruh variable mempunyai nilai skewness besar dari nol dan selanjutnya untuk nilai kurtosis hanya satu variable yang bernilai kecil dari angka 3 (playkurtic) sedangkan sisanya lainnya seluruh kurtosisnya bernilai diatas 3. V.2 Analisis Data Analisis data secara eseluruhan dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah model prediktif stokhastik yang bertujuan untuk melakukan peramalan pendapatan pajak serta potensi yang dimiliki. Kedua, hasil analisis prediksi dilanjutkan dengan simulasi dengan menggunakan simulator yang bertujuan untuk melihat potensi dan pendapatan pajak di tiga kondisi yaitu pesimis, moderate dan optimis. V.2.1 Model Prediktif Stokhastik PKB dan BBNKB Propinsi Jawa Barat Potensi kendaraan bermotor serta kondisi jenis kendaraan dan realisasi PKB dan BBNKB di Propinsi Jawa Barat sampai akhir tahun 2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 5 Potensi Kendaraan Bermotor di Jawa Barat Sampai Akhir Tahun 2010
Jenis Kendaraan Jumlah Sedan (Iii) 182,134 Jeep (Iv) 74,972 St. Wagon/ Minibus (I) 698,789 Bus/ Micro Bus (V) 23,584 Pu/ Lt/ Truck (Ii) 320,191 Alat Berat 78 Kendaraan Khusus Jumlah Roda 4 1,299,748 8 Kendaraan Roda 2 (Motor) 7,636,482 Jumlah Seluruh Kendaraan 8,936,230 Sumber : Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 % 14.0 5.8 53.8 1.8 24.6 0.0 14.5 85.5

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jenis kendaraan yang terbanyak adalah minibus sebanyak 698.789 atau 53.8 persen dari seluruh jumlah kendaraan roda 4, kemudian diikuti oleh truk yang mencapai 320.191 buah atau 24,6 persen. Jumlah sedan mencapai 14 persen sedangkan jeep dan micro bus tidak sampai 10 persen, dilain sisi terlihat 12 | P a g e

bahwa jumlah roda empat di jawa Barat tidak sampai 15 persen dari seluruh total kendaraan yang ada dan yang paling mendominasi justru berasal dari kendaraan roda dua yakni sebesar 85.5 persen. Tabel 6 Kondisi Jenis Kendaraan dan Realisasi PKB dan BBNKB di Jawa Barat Sampai Akhir Tahun 2010 dalam Juta Rupiah
No . 1 Jenis Kendaraan Kendaraan Pribadi Sedan Jeep Mini Bus Micro Bus/Bus Light Pick Up Truck Alat Berat Motor Skpd (Unit) Pkb Pokok (Rp) 163,078.0 8 110,504.1 9 724,647.4 7 5,432.05 315,244.9 5 47.13 829,520.0 1 2,148,473. 88 7,405.17 18,122.56 2.38 10,954.35 18,377.49 8.71 54,870.66 2,203,344. 54 Bbnkb 1 Pokok (Rp) 87,493.27 150,548.7 9 1,022,789. 26 4,492.85 234,661.5 4 71.89 1,329,954. 10 2,830,011. 69 28,813.92 3,246.28 13,859.15 48,785.96 26.15 94,731.46 2,924,743. 15 Bbnkb 2 Pokok (Rp) 9,776.75 3,696.16 23,618.87 153.44 5,571.09 1.73 20,277.45 63,095.49

144,893 68,090 577,111 5,571 264,512 54 5,846,839 6,907,07 0

Kendaraan Umum Sedan Mini Bus Jeep Micro Bus/Bus Light Pick Up Truck Alat Berat Total

12,674 62,858 5 15,361 17,972 8 108,878 7,015,94 8

8.27 627.20 260.67 425.71 1,321.85 64,417.33

Sumber : Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Barat

Peningkatan potensi pendapatan Propinsi Jawa Barat melalui : a. Pajak Progresif. Pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik. Penerapan Pajak progresif untuk PKB didasarkan pada pertimbangan keadilan. Adalah adil memberikan beban lebih kepada orang yang memiliki beberapa kendaraan bermotor yang memiliki tingkat kemampuan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih banyak kecenderungannya menjadi penyebab terjadinya kemacetan dan kerusakan jalan. Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ttg Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 13 | P a g e

Pengenaan tarif untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor Roda 4 (Empat) kedua dan seterusnya didasarkan atas nama dan alamat yang sama sesuai tanda pengenal diri ditetapkan sebagai berikut : PKB kepemilikan kedua, sebesar 2,25% PKB kepemilikan ketiga, sebesar 2,75% PKB kepemilikan keempat, sebesar 3,25% PKB kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75% Ketentuan tersebut berlaku sama terhadap Kepemilikan Kendaraan Bermotor Roda 2 (dua). Langkah-langkah persiapan penentuan penerapan Pajak Progresif adalah sebagai berikut : Validasi database kendaraan di Pusat Informasi Pendapatan; Berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/ Kota; Koordinasi dengan BPS untuk pelaksanaan Survey Domisili Kendaraan Bermotor; Study Banding dengan daerah yang sudah menerapkan pajak progresif Sosialisasi penerapan Pajak Progresif di seluruh Cabang Pelayanan DISPENDA Prov. Jabar. b. Pengenaan pajak terhadap kendaraan pemerintah, pemerintah daerah, TNI dan POLRI. Hal ini berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 ttg Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bahwa kendaraan Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan POLRI dikenakan pajak, dengan tarif paling rendah 0,5% dan paling tinggi 1% dan dalam Raperda Prov. Jawa Barat No. . Tahun 2011 ttg Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terhadap kendaraan Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan POLRI dikenakan tarif sebesar 0,5%. Model prediksi Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Jawa Barat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Pendekatan secara angregat (Nasional), Pendekatan Secara Regional (Jawa Barat), Pendekatan langsung (Jumlah Kendaraan) dan Pendekatan Simulasi. Beberapa asumsi yang digunakan adalah keadaaan perekonomi normal, harga bahan bakar bermotor (BBM) normal, suku bungan bank atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 7%, data pertumbuhan penduduk yang digunakan bearasal dari BPS, data pertumbuhan kendaraan yang digunakan bearasal dari Gaikindo dan laju pertumbuhan ekonomi normal. Penyimpangan dari asumsi ini akan mengakibatkan kenaikan atau penurunan pajak sehingga dilakukan strategi penyesuaian target pajak. Misalkan dari moderate menjadi pesimis sesuai dengan pengaruh dari variabel-veriabel yang berubah.

14 | P a g e

V.2.2 Model Prediksi Pajak Berdasarkan Data Propinsi di Indonesia Model pertama yang akan digunakan sebagai dasar perediksi kinerja pajak Propinsi Jawa Barat adalah dengan menggunakan data panel dari kinerja pajak seluruh propinsi di Indonesia. Model ini dibentuk dengan menggunakan indikator (prediktor) yang relevan yaitu; (1) Jumlah Penduduk, (2) Produk Domestik regional Bruto (PDRB), (3) Jumlah kendaraan. Sebelum dibuat model tersebut, berikut analisis perbandingan (1) Pajak per Kendaraan, (2) Produk Domestik regional Bruto (PDRB) per kapita. Tabel 7 Pajak per Kendaraan Menurut Propinsi di Indonesia tahun 2004 2007 (Rupiah)
N o 1 2 3 4 5 6 Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Jumlah rata-rata Deviasi 2004 827,115.81 506,908.93 175,470.47 193,654.95 325,397.59 2,756,095. 76 9,508,906. 06 452,805.05 884,184.14 2005 840,175.93 534,624.60 218,158.28 213,381.39 385,105.60 2,799,829. 78 7,625,700. 03 346,622.73 165,058.77 2006 2007*

928,773.37 621,647.75 545,407.61 315,506.08 318,491.41 241,102.59 170,865.72 509,049.34 344,425.38 3,316,436. 1,586,409. 73 90 7,425,916. 7,750,817. 41 02 371,295.82 352,309.86 151,400.83 124,376.09

Catatan : *) angka sementara Sumber : djpk.depkeu.go.id

Nilai rata-rata pajak tertinggi di Indonesia adalah Propinsi DKI Jakarta sebesar 6,253 Triliyun rupiah, sedangkan rata-rata pajak terendah di Indonesia adalah Propinsi Maluku Utara sebesar 15,6 Milyar rupiah. Nilai rata-rata pajak di Indonesia sebesar 505,2 Milyar rupiah sedangkan rata-rata pajak di Propinsi Jawa Barat sebesar 2,753 Triliyun rupiah. Hal ini menunjukkan kinerja pajak di Propinsi Jawa Barat di atas ratarata propinsi lain di Indonesia (5.45 kali rata-rata propinsi di Indonesia). Jumlah kendaraan rata-rata tertinggi di Indonesia adalah Propinsi DKI Jakarta sebanyak 7.579.175 unit, sedangkan jumlah kendaraan rata-rata terendah adalah Propinsi Maluku Utara sebanyak 55.631 unit. Jumlah rata-rata kendaraan di Indonesia sebanyak 1.462.144 unit sedangkan jumlah kendaraan Propinsi Jawa Barat sebanyak 4,956,126 unit. Hal ini menunjukkan jumlah kendaraan di Propinsi Jawa Barat di atas rata-rata propinsi lain di Indonesia (3.34 kali rata-rata propinsi di Indonesia). Nilai rata-rata pajak per jumlah kendaraan tertinggi di Indonesia adalah Propinsi Banten sebesar 2,614 juta rupiah per unit, sedangkan rata-rata pajak per jumlah kendaraan 15 | P a g e

terendah di Indonesia adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp 159.422,00 per unit. Rata-rata pajak per kendaraan di Indonesia sebesar Rp 380.758,00 per unit sedangkan rata-rata pajak kendaraan di Propinsi Jawa Barat sebesar Rp 552.147,00 per unit. Hal ini menunjukkan kinerja pajak di Propinsi Jawa Barat di atas rata-rata propinsi lain di Indonesia (1.45 kali rata-rata propinsi di Indonesia). Rata-rata pendapatan pajak propinsi per kendaraan di Indonesia tumbuh sebesar 55,6 persen per tahun dengan sebaran (rentang) sangat lebar (standar deviasi 1,9 kali ratarata). Hal ini menunjukan adanya ketimpangan pendapatan pajak antar daerah yang sangat tinggi. Kontribusi pajak Jawa Barat per kendaraan terhadap nasional rata-rata mencapai 8,2 persen dan cenderung berfluktuasi. Hal ini menunjukan bahwa kinerja ekonomi/pajak kendaraan Jawa Barat diatas rata-rata propinsi lain di Indonesia. Tabel 8 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku per Kapita, Menurut Propinsi di Indonesia tahun 2004 2008 (Rupiah)
No 1 2 3 4 5 6 Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakart a Jawa Timur Banten jumlah rata-rata deviasi 2004 43,487,398.5 9 7,964,510.56 6,090,569.31 6,779,707.66 9,635,645.95 8,140,671.94 204,728,262. 34 7,582,528.23 3,559,580.17 2005 49,871,287.53 9,963,591.85 7,352,019.72 7,724,408.10 15,788,103.15 9,090,373.67 248,933,915.2 7 9,219,774.64 4,619,267.86 2006 57,286,659.78 11,903,873.21 8,811,708.74 8,884,195.76 13,184,689.55 10,226,037.93 277,371,326.9 7 10,273,012.11 5,070,121.46 2007* 64,267,002.51 13,020,206.57 9,727,105.96 9,845,582.63 14,923,872.11 10,929,093.08 313,543,614.9 6 11,612,726.48 5,883,205.16 2008** 76,349,923.90 14,641,154.61 11,259,289.96 11,287,514.12 17,271,010.90 12,120,540.74 360,959,799.5 8 13,368,881.47 7,075,020.38

Catatan : *) angka sementara **) angka sangat sementara Sumber : BPS

Nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku tertinggi di Indonesia adalah Propinsi Jawa Timur sebesar 474,3 Triliyun rupiah, sedangkan terendah di Indonesia adalah Propinsi Maluku Utara sebesar 2,96 Triliyun rupiah. Nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku di Indonesia sebesar 77,6 Triliyun rupiah sedangkan di Propinsi Jawa Barat sebesar 459,4 Triliyun rupiah. Hal ini menunjukkan kinerja produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku di Propinsi Jawa Barat di atas rata-rata propinsi lain di Indonesia (5,92 kali rata-rata propinsi di Indonesia). Jumlah penduduk rata-rata tertinggi di Indonesia adalah Propinsi Jawa Barat sebanyak 39,7 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk rata-rata terendah adalah Propinsi Gorontalo sebanyak 879 ribu jiwa, jumlah rata-rata penduduk di Indonesia sebanyak 7,3 16 | P a g e

juta jiwa. Hal ini menunjukkan jumlah penduduk di Propinsi Jawa Barat di atas rata-rata propinsi lain di Indonesia (5,4 kali rata-rata propinsi di Indonesia). Nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita tertinggi di Indonesia adalah Propinsi Riau sebesar 28,03 juta rupiah per orang, sedangkan rata-rata terendah di Indonesia adalah Propinsi Maluku Utara sebesar 3,2 juta per orang. Rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita di Indonesia sebesar 10,4 juta rupiah per orang sedangkan rata-rata di Propinsi Jawa Barat sebesar 11,5 juta rupiah per orang. Hal ini menunjukkan kinerja produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita di Propinsi Jawa Barat di atas ratarata propinsi lain di Indonesia (1.1 kali rata-rata propinsi di Indonesia). Rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita di Indonesia tumbuh sebesar 15,3 persen per tahun dengan sebaran atau rentang (standar deviasi 0,5 kali rata-rata). Hal ini menunjukan adanya ketimpangan produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita antar daerah yang tinggi. Kontribusi produk domestik regional bruto Jawa Barat atas dasar harga berlaku per kapita terhadap nasional rata-rata mencapai 4,1 persen dan cenderung meningkat. Hal ini menunjukan bahwa kinerja ekonomi/produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku Jawa Barat di atas rata-rata propinsi lain di Indonesia. Gambar 4 Maping Pajak/Jumlah Kendaraan vs Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Menurut Propinsi di Indonesia tahun 2007

Sumber : data yang sudah diolah

Jika mapping data pada kurva diatas di plot kedalam bentuk table maka ada empat kuadran yang dapat membagi seluruh propinsi di Indonesia sesuai dengan jumlah besaran pajak dengan PDRB per kapita yang dapat dilihat pada table berikut ini

17 | P a g e

Tabel 9 Maping Pajak/Jumlah Kendaraan vs Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Menurut Propinsi di Indonesia tahun 2004-2007
Keterangan Kuadran I 2004 Prov. Babel Prov. Jabar Prov. Jatim Prov. Bali Prov. Lampung Prov. Sultra 2005 Prov. Sumut Prov. Babel Prov. Jabar Prov. Jatim Prov. Bali Prov. Lampung Prov. Sultra Prov. Sulsel Prov. Gorontalo Prov. Malut Prov. Sumbar Prov. Sumsel Prov. Jambi Prov.Yogyakarta Prov. Kalteng Prov. Sulut Prov. Bengkulu Prov. Jateng Prov. Kalbar Prov. NTT Prov. Maluku 2006 Prov. Sumut Prov. Babel Prov. Jabar Prov. Jatim Prov. Bali Prov. Kalsel Prov. Lampung Prov. Sultra 2007 Prov. Sumut Prov. Babel Prov. Jabar Prov. Jatim Prov. Kalsel Prov. Papua Prov. Lampung

Kuadran II

Kuadran III

Prov. Sumbar Prov. Jambi Prov. Sumsel Prov. Kalsel Prov. Sulut Prov. Bengkulu Prov. Jateng Prov.Yogyakarta Prov. Kalbar Prov. NTT Prov. Maluku

Prov. Sumbar Prov. Sumsel Prov. Kalteng

Prov. Sumbar Prov. Sumsel Prov. Jambi Prov. Kalteng Prov. Bengkulu Prov. Jateng Prov.Yogyakarta Prov. Kalbar Prov. Kalteng Prov. Sulut Prov. Gorontalo Prov. NTT Prov. Maluku

Kuadran IV

Prov. Jambi Prov. Bengkulu Prov. Jateng Prov.Yogyakarta Prov. Kalbar Prov. Sulut Prov. Maluku Prov. NTT

Catatan : Propinsi yang dihilangkan dari data adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Banten.

Sumber : data yang sudah diolah Data di atas menunjukkan bahwa seluruh propinsi terbagi kedalam empat kuadran: Kuadran III Kuadran I Kuadran IV Kuadran II Penjelasan dari tabel sebelumnya dapat diinterpretasikan dengan kriteria pada tabel sebagai berikut: Tabel 10 Kriteria Kuadran untuk Pajak/Kendaraan dan PDRB per Kapita

18 | P a g e

Kuadran I II III

Pajak/kendaraa n Di atas rata-rata Di atas rata-rata

PDRB per Kapita Di atas rata-rata Di bawah rata-rata

Di bawah rataDi atas rata-rata rata IV Di bawah rataDi bawah rata-rata rata Tabel 11 Hasil Persamaan Regresi untuk Y1 sampai dengan Y4

Model Persamaan Regresi


Pengembangan Model Pendekatan Secara Agregat (Nasional) Y1 = -165550,526 + 5,270 X1+1,238 X2+2,377 X3 Model (Constant) pdrb MP BUS Koefisien b -165550.526 5.27*** 1.238*** 2.377*** Model Pendekatan Langsung (Jumlah Kendaraan) Y2 = 200176,413 + 2,515 X1+0,538 X2 stnk_baru stnk_perp Model (Constant) _dan_bbn anjang Koefisien b 200176.413 2.515*** 0.538 Model Pendekatan secara regional (Propinsi Jawa Barat) Y3= -13284,863 + 0,718 X1+6,974 X2+0,321 X3+1.023 X4 mobil_pe mobil_bar Model (Constant) Pdrb Penduduk numpang ang Koefisien b -13284.863 0.718*** 6.974*** 0.321*** 1.023*** Model Pajak Kendaraan Bermotor Pendekatan secara Regional (Propinsi Jawa Barat) Y4= 1394,523 - 0,204 X1+2,697 X2 +1,893 X3 - 11.662X4+0,402 X5+0.111 X6 Model Koefisien b (Constant) 1394.523 Sedan -0.204 Jeep 2.697* Mini_Bus 1.893*** Bus -11.662 Truck 0.402 Sepeda_ Motor 0.111***

R2
0.916

0.609

0.868

0.982

Keterangan: **** sig 1 %, **

sig 5 %, *

sig 10%

Model Akhir setelah dilakukan Reduksi Variabel yang tidak signifikan sehingga diperoleh angka R2 sebesar 0,916 atau 91,6%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen yaitu PDRB, mobil penumpang, dan bus terhadap variabel dependen yaitu pajak sebesar 91,6% sedangkan sisanya sebesar 8,4% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Dari tabel di atas dapat dihasilkan persamaan regresi dimana Y1 adalah Pajak (juta rupiah, X1 adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam milyar rupiah, X2 adalah jumlah mobil penumpang (unit) dan X3 adalah jumlah Bus (unit). Angka-angka ini dapat diartikan koefisien regresi variabel PDRB sebesar sebesar 5,270 yang artinya jika PDRB mengalami kenaikan sebesar 1 Milyar Rupiah maka pajak akan mengalami kenaikan sebesar 5,270 (juta rupiah) atau Rp 5.270.000,00. Koefisien 19 | P a g e

bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara PDRB dengan pajak, semakin besar nilai PDRB maka akan semakin besar pendapatan negara melalui pajak. Sementara itu koefisien regresi variabel mobil penumpang sebesar sebesar 1,238 yang artinya jika mobil penumpang mengalami kenaikan sebesar 1 unit maka pajak akan mengalami kenaikan sebesar 1,238 (juta rupiah) atau Rp 1.238.000,00. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara mobil penumpang dengan pajak, semakin meningkat jumlah mobil penumpang maka akan semakin besar pendapatan negara melalui pajak. Selanjutnya koefisien regresi variabel Bus sebesar sebesar 2,377 yang artinya jika Bus mengalami kenaikan sebesar 1 unit maka pajak akan mengalami kenaikan sebesar 2,377 (juta rupiah) atau Rp 2.377.000,00. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara Bus dengan pajak, semakin meningkat jumlah Bus maka akan semakin besar pendapatan negara melalui pajak. V.2.3 Model Prediksi Pajak Berdasarkan Model Prediksi Langsung Model kedua yang akan digunakan sebagai dasar prediksi kinerja Pajak Propinsi Jawa Barat adalah dengan menggunakan data panel dari kinerja pajak seluruh Propinsi di Indonesia. Model ini dibentuk dengan menggunakan indikator (prediktor) yang relevan yaitu; (1) SYNK Baru dan STNK BBN II, (2) STNK Perpanjang (3) Mutasi Antar Polda, dan (4) Mutasi dalam wilayah Polda. Rata-rata penerbitan STNK dan Mutasi kendaraan di Indonesia tumbuh sebesar 25 persen per tahun dengan sebaran (rentang) sangat lebar (standar deviasi 2,52 kali ratarata). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan jumlah penerbitan STNK dan Mutasi kendaraan antar daerah di Indonesia. Dari perhitungan di atas pada tabel 11 diperoleh angka R2 sebesar 0,609 atau 60,9%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen yaitu STNK baru dan STNK BBN II, serta STNK Perpanjang terhadap variabel dependen yaitu pajak sebesar 60,9 % sedangkan sisanya sebesar 39,1% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Dari tabel di atas dapat dihasilkan persamaan regresi dari Model Langsung dimana Y2 adalah pajak Propinsi di Indonesia (juta rupiah), X1 adalah Jumlah STNK baru dan STNK BBN II dan X2 adalah Jumlah STNK Perpanjang. Angka-angka ini dapat diartikan dimana koefisien regresi variabel Jumlah STNK baru dan STNK BBN II sebesar 2,515 yang artinya jika Jumlah STNK baru dan STNK BBN II mengalami kenaikan sebesar 1 unit maka pajak di Indonesia akan mengalami kenaikan sebesar 2,515 (juta rupiah) atau Rp 2.515.000,00. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara Jumlah STNK baru dan STNK BBN II dengan pajak, semakin besar nilai PDRB maka akan semakin besar pendapatan Indonesia melalui pajak. Selanjutnya koefisien regresi variabel Mutasi antar Polda sebesar 0,538 yang artinya jika STNK Perpanjangan mengalami kenaikan sebesar 1 unit maka pajak akan mengalami kenaikan sebesar 0,538 (juta rupiah) atau Rp 538.000,00. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara STNK Perpanjang dengan pajak, semakin 20 | P a g e

meningkat STNK Perpanjang maka akan semakin besar pendapatan Indonesia melalui pajak. V.2.4. Model Prediksi Pajak Berdasarkan Data Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Model ketiga yang akan digunakan sebagai dasar prediksi kinerja Pajak Propinsi Jawa Barat adalah dengan menggunakan data panel dari kinerja pajak seluruh Kabupaten atau Kota di Propinsi Jawa Barat. Model ini dibentuk dengan menggunakan indikator (prediktor) yang relevan yaitu; (1) Produk Domestik regional Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat, (2) Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Barat (3) Jumlah Mobil Penumpang (sedan, jeep, dan mini bus) Propinsi Jawa Barat, dan (4) Jumlah Mobil Barang (truck dan bus) Propinsi Jawa Barat. Nilai rata-rata pajak tertinggi di Propinsi Jawa Barat adalah Kota Bandung sebesar 145,7 Milyar rupiah, sedangkan rata-rata pajak terendah di Propinsi Jawa Barat adalah Kota Banjar sebesar 921,21 juta rupiah. Nilai rata-rata pajak di Propinsi Jawa Barat sebesar Rp 27 Milyar rupiah sedangkan rata-rata pajak di Kota Bandung sebesar 145,7 Milyar rupiah. Hal ini menunjukkan kinerja pajak di Kota Bandung di atas rata-rata Kabupaten atau Kota lain di Propinsi Jawa Barat (5,4 kali rata-rata Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat). Jumlah kendaraan rata-rata tertinggi di Propinsi Jawa Barat adalah Kota Bandung sebanyak 703.673 unit, sedangkan jumlah kendaraan rata-rata terendah adalah Kota Banjar sebanyak 28.936 unit. Jumlah rata-rata kendaraan di Propinsi Jawa Barat sebanyak 177.702 unit. Hal ini menunjukkan jumlah kendaraan di Kota Bandung di atas rata-rata Kabupaten atau Kota lain di Propinsi Jawa Barat (3,96 kali rata-rata Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat). Nilai rata-rata pajak per jumlah kendaraan tertinggi di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor sebesar Rp 350.552,63 per unit, sedangkan rata-rata pajak per jumlah kendaraan terendah di Propinsi Jawa Barat adalah Kota Banjar sebesar Rp 34.554,42 per unit. Rata-rata pajak per kendaraan di Propinsi Jawa Barat sebesar Rp 140.335,39 per unit sedangkan rata-rata pajak kendaraan di Kota Bandung sebesar Rp 205.261,65 per unit. Hal ini menunjukkan kinerja pajak di Kota Bandung di atas rata-rata Kabupaten atau Kota lain di Propinsi Jawa Barat (1.46 kali rata-rata Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat). Rata-rata pendapatan pajak kabupaten kota per kendaraan di Propinsi Jawa Barat turun sebesar 8 persen per tahun dengan sebaran (rentang) sangat lebar (standar deviasi 0,71 kali rata-rata). Hal ini menunjukan adanya ketimpangan pendapatan pajak antar daerah yang sangat tinggi. Kontribusi pajak Kota Bandung per kendaraan terhadap Propinsi Jawa Barat rata-rata mencapai 6,5 persen dan cenderung meningkat. Hal ini 21 | P a g e

menunjukan bahwa kinerja ekonomi/pajak kendaraan Kota Bandung diatas rata-rata Kabupaten atau Kota lain di Propinsi Jawa Barat. Nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku tertinggi di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Bekasi sebesar 58,78 Triliyun rupiah, sedangkan terendah di Propinsi Jawa Barat adalah Kota Banjar sebesar 1,05 Triliyun rupiah. Nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku di Propinsi Jawa Barat sebesar 15,7 Triliyun rupiah sedangkan di Kota Bandung sebesar 39,2 Triliyun rupiah. Hal ini menunjukkan kinerja produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku di Kota Bandung di atas rata-rata Kabupaten atau Kota lain di Propinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk rata-rata tertinggi di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor sebanyak 4,1 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk rata-rata terendah adalah Kota Banjar sebanyak 174 ribu jiwa. Jumlah rata-rata penduduk di Propinsi Jawa Barat sebanyak 1,59 juta jiwa sedangkan Kota Bandung sebanyak 2,32 juta jiwa. Hal ini menunjukkan jumlah penduduk di Kota Bandung di atas rata-rata Kabupaten atau Kota lain di Propinsi Jawa Barat. Nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita tertinggi di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Bekasi sebesar 29,7 juta rupiah per orang, sedangkan rata-rata terendah di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Tasikmalaya sebesar 4,46 juta per orang. Rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita di Propinsi Jawa Barat sebesar 10 juta rupiah per jiwa sedangkan rata-rata di Kota Bandung sebesar 16,8 juta rupiah per orang. Hal ini menunjukkan kinerja produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita di Kota Bandung di atas rata-rata Kabupaten atau Kota lain di Propinsi Jawa Barat (1.67 kali rata-rata Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat). Rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku per kapita di Propinsi Jawa Barat tumbuh sebesar 16,1 persen per tahun dengan sebaran (rentang) sangat lebar (standar deviasi 0,67 kali rata-rata). Hal ini menunjukan adanya ketimpangan pendapatan pajak antar daerah yang sangat tinggi. Kontribusi produk domestik regional bruto Kota Bandung atas dasar harga berlaku per kapita terhadap Propinsi Jawa Barat rata-rata mencapai 6,6 persen dan cenderung meningkat. Hal ini menunjukan bahwa kinerja ekonomi/produk domestik regional bruto atas dasar harga berlaku Kota Bandung diatas rata-rata Kabupaten atau Kota lain di Propinsi Jawa Barat. Maping Pajak/Jumlah Kendaraan vs Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Gambar 5 Maping Pajak/Jumlah Kendaraan vs Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Menurut Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2007

22 | P a g e

Sumber : data yang sudah diolah Mapping data pada kurva diatas di plot kedalam bentuk table maka ada empat kuadran yang dapat membagi seluruh propinsi di Indonesia sesuai dengan jumlah besaran pajak dengan PDRB per kapita yang dapat dilihat pada table berikut ini Tabel 12 Maping Pajak/Jumlah Kendaraan vs Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Menurut Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2007
Keterangan
Kuadran I

2004
Kab. Bekasi Kab. Purwakarta Kota Bandung

2005
Kab. Bekasi Kab. Karawang Kota Bandung

2006
Kab. Bekasi Kab. Karawang Kab. Purwakarta Kota Cirebon Kab. Bandung Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab. Sumedang Kota Bogor Kab. Indramayu Kota Bekasi Kota Cimahi Kab. Ciamis Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Majalengka Kab. Subang Kab. Sukabumi Kab. Tasikmalaya Kota Banjar Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya

2007
Kab. Bandung Kab. Cirebon Kab. Garut Kab. Sukabumi Kab. Tasikmalaya Kab. Bogor Kab. Ciamis Kab. Cianjur Kab. Kuningan Kab. Indramayu Kab. Majalengka Kota Cirebon Kab. Bekasi Kab. Karawang Kab. Purwakarta Kab. Subang Kab. Sumedang Kota Bandung Kota Banjar Kota Bekasi Kota Bogor Kota Cimahi Kota Sukabumi

Kuadran II

Kuadran III

Kuadran IV

Kab. Bandung Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab. Sumedang Kota Bogor Kota Depok Kab. Indramayu Kab. Karawang Kota Cimahi Kota Cirebon Kab. Ciamis Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Subang Kab. Sukabumi Kab. Tasikmalaya Kota Banjar Kota Bekasi Kota Sukabumi Kot Tasikmalaya

Kab. Bandung Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab. Sumedang Kota Bogor Kab. Subang Kota Bekasi Kota Cimahi Kota Cirebon Kab. Ciamis Kab. Cirebon Kab. Garut Kab. Majalengka Kab. Purwakarta Kab. Sukabumi Kab. Tasikmalaya Kota Banjar Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya

23 | P a g e

Dari perhitungan maka hasil output regression setelah reduksi variable dapat dilihat pada tabel 11 di atas diperoleh angka R2 sebesar 0,868 atau 86,8%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen yaitu PDRB, mobil penumpang, dan bus terhadap variabel dependen yaitu pajak sebesar 86,8% sedangkan sisanya sebesar 13,2% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Dari tabel di atas dapat dihasilkan persamaan regresi dimana Y3 adalah Pajak Propinsi Jawa Barat (juta rupiah), X1 adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat dalam juta rupiah, X2: Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Barat (unit), X3 adalah jumlah mobil penumpang (sedan, jeep, dan mini bus) propinsi Jawa Barat (unit), X4 adalah jumlah mobil barang (truck dan bus) propinsi Jawa Barat (unit). Angka-angka ini dapat diartikan bahwa koefisien regresi variabel PDRB Propinsi Jawa Barat sebesar 0,718 yang artinya jika PDRB Propinsi Jawa Barat mengalami kenaikan sebesar 1 juta rupiah maka pajak Propinsi Jawa Barat akan mengalami kenaikan sebesar 718 (ribu rupiah) atau Rp 718.000,00. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara PDRB dengan pajak, semakin besar nilai PDRB maka akan semakin besar pendapatan Propinsi Jawa Barat melalui pajak. Selanjutnya koefisien regresi variabel jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat sebesar 6,974 yang artinya jika jumlah penduduk mengalami kenaikan sebesar 1 orang maka pajak akan mengalami kenaikan sebesar 6,974 (juta rupiah) atau Rp 6.974.000,00. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara jumlah penduduk dengan pajak, semakin meningkat jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat maka akan semakin besar pendapatan Propinsi Jawa Barat melalui pajak. Koefisien regresi variabel Mobil Penumpang (sedan, jeep, dan mini bus) Propinsi Jawa Barat sebesar 0,321 yang artinya jika Mobil Penumpang Propinsi Jawa Barat mengalami kenaikan sebesar 1 unit maka pajak akan mengalami kenaikan sebesar 0,321 (juta rupiah) atau Rp 321.000,00. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara Mobil Penumpang Propinsi Jawa Barat dengan pajak, semakin meningkat jumlah Mobil Penumpang maka akan semakin besar pendapatan Propinsi Jawa Barat melalui pajak. Koefisien regresi variabel Mobil Barang (truck dan bus) Propinsi Jawa Barat sebesar sebesar 1,023 yang artinya jika Mobil Barang Propinsi Jawa Barat mengalami kenaikan sebesar 1 unit maka pajak akan mengalami kenaikan sebesar 1,023 (juta rupiah) atau Rp 1.023.000,00. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara Mobil Barang dengan pajak, semakin meningkat jumlah Mobil Barang Propinsi Jawa Barat maka akan semakin besar pendapatan Propinsi Jawa Barat melalui pajak. V.2.5. Model Prediksi Pajak Kendaraan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Bermotor Berdasarkan Data

Model yang akan digunakan sebagai dasar prediksi kinerja Pajak Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat adalah dengan menggunakan data panel dari kinerja pajak kendaraan bermotor seluruh Kabupaten atau Kota di Propinsi Jawa Barat. Model ini 24 | P a g e

dibentuk dengan menggunakan indikator (prediktor) yang relevan yaitu; (1) Jumlah Sedan , (2) Jumlah Jeep/Sejenisnya (3) Jumlah Mini Bus, (4) Jumlah Bus, (5) Jumlah Truck atau Pick Up, dan (6) Jumlah Sepeda Motor. Dari perhitungan di atas diperoleh angka R2 sebesar 0,982 atau 98,2%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen yaitu Sedan, Jeep, Mini Bus, Bus, Truck dan Sepeda Motor terhadap variabel dependen yaitu Pajak Kendaraan Bermotor sebesar 98,2% sedangkan sisanya sebesar 1,8% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Dari persamaan yang ada dimana Y4 adalah Pajak Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat (juta rupiah), X1 adalah Jumlah Sedan Propinsi Jawa Barat (unit), X2 adalah Jumlah Jeep Propinsi Jawa Barat (unit), X3 adalah Jumlah Mini Bus Propinsi Jawa Barat (unit), X4 adalah jumlah Bus Propinsi Jawa Barat (unit), X5 adalah Jumlah Truck Propinsi Jawa Barat (unit) dan X6 adalah jumlah Sepeda Motor Propinsi Jawa Barat (unit) Pada model di atas terdapat koefisien negatif yaitu variabel Sedan dan Bus. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya sehingga harus dilakukan analisis lanjutan yaitu Analisis Komponen Utama. Pada analisis ini kita mengelompokkan variabelvariabel independen ke dalam dua faktor atau lebih yaitu: 1. Faktor 1 terdiri dari variabel independen : Sedan, Jeep, Mini Bus, Bus, dan Truck. 2. Faktor 2 terdiri dari variabel independen : Sepeda Motor Berdasarkan faktor ini diperoleh persamaan regresi yang baru yaitu : 1. Persamaan regresi variabel independen (Sedan, Jeep, Mini Bus, Bus, dan Truck) terhadap variabel dependen (Faktor 1) sebagai berikut : Y5 = -0,990 + 2,14.E-5 X1+2,77.E-5 X2 +2,147.E-5 X3 + 0,001X4+4,369.E-5 X5 dimana : Y : Faktor 1 X1 : Jumlah Sedan Propinsi Jawa Barat (unit) X2 : Jumlah Jeep Propinsi Jawa Barat (unit) X3 : Jumlah Mini Bus Propinsi Jawa Barat (unit) X4 : Jumlah Bus Propinsi Jawa Barat (unit) X5 : Jumlah Truck Propinsi Jawa Barat (unit) 2. Persamaan regresi variabel independen (Sepeda Motor) terhadap variabel dependen (Faktor 2) sebagai berikut : Y6 = -0,760 + 4,839.E-6 X1 dimana : Y : Faktor 2 X1 : Jumlah Sepeda Motor Propinsi Jawa Barat (unit)

25 | P a g e

3. Persamaan regresi variabel independen (Faktor 1 dan Faktor 2) terhadap variabel dependen (Pajak Kendaraan Bermotor) sebagai berikut : Y7 = 50492,980 + 49194,212 X1+9882,827 X2 dimana : Y : Pajak Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat (juta rupiah) X1 : Faktor 1 X2 : Faktor 2 Dari perhitungan di atas diperoleh angka R2 sebesar 0,933 atau 93,3%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen yaitu Faktor 1(Sedan, Jeep, Mini Bus, Bus, dan Truck), dan Faktor 2 (Sepeda Motor) terhadap variabel dependen yaitu Pajak Kendaraan Bermotor sebesar 93,3% sedangkan sisanya sebesar 6,7% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. V.2.6 Simulasi Potensi Pajak Kendaraan Bermotor di Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 Simulasi potensi penerimaan pajak di Propinsi Jawa Barat tahun 2011 berdasarkan ketiga model diatas, dapat ditentukan model terbaik adalah dengan model dengan pendekatan regional. Hasil simulasi model tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan simulator diperoleh sebagai berikut : Tabel 13 Deskriptif Statistik Mean 6936992.079 Standard Error 3701.641848 Standard Deviation 641143.1752 Range 3049161.958 Minimum 5420662.414 Maximum 8469824.372 Count 30000 Berdasarkan model simulator diatas dapat diketahui rata-rata potensi penerimaan pajak Propinsi Jawa Barat tahun 2011 sebesar 6,937 Triliun Rupiah dengan standar deviasi sebesar 641 Milyar rupiah. Kondisi minimum penerimaan pajak sebesar 5,421 Triliun rupiah sedangkan kondisi maksimum penerimaan pajak sebesar 8,470 Triliun rupiah. Hasil Simulasi dapat dilihat pada table berikut ini Tabel 14 Strategi penetapan target pendapatan Pajak dapat menggunakan pendekatan pesimis, moderate dan optimis
N Pesimis Moderate Optimis

26 | P a g e

o 1 2 3 4 5 6 7 8

Pendapatan Pajak 5.965 6,305 6,480 6,884 2,225 2,301 2,383 2,464 2,145 2,563 2,637 3,090 1,113 1,191 1,230 1,308

Probabilit as Pencapai an 11,16% 11,12%. 4,58%. 7,84%. 6,57%. 8,06%. 25,07%. 25,00%.

Pendapatan Pajak 6,304 6,984 6,884 7,571 2,301 2,451 2,464 2,628 2,563 3,399 3,090 3,997 1,191 1,348 1,308 1,464

Probabilit as Pencapaia n 76,66%. 76,51%. 91,31%. 90,88%. 84,47%. 84,72%. 49,98%. 50,33%.

Pendapat an Pajak 6,984 7,324 7,571 7,935 2,451 2,526 2,628 2,710 3,399 3,818 3,997 4,450 1,348 1,426 1,464 1,542

Probabilit as Pencapaia n 12,18%. 12,38 %. 4,11%. 1,28%. 8,96%. 7,22%. 24,95%. 24,67%.

Keterangan 1 Potensi Pajak Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 Dengan Pendekatan Secara Regional 2 Potensi Pajak Propinsi Jawa Barat Tahun 2012 Dengan Pendekatan Secara Regional 3 Potensi Pajak Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 4 Potensi Pajak Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2012 5 Potensi Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 6 Potensi Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2012 7 Potensi Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 8 Potensi Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2012

Gambar selanjutnya menunjukan distribusi frekuensi kemungkinan kejadian pendapatan Pajak dengan menggunakan variabel random menunjukan bahwa dengan adanya variasi dalam (1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat dalam juta rupiah, (2) Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Barat (unit, (3) Jumlah Mobil Penumpang (sedan, jeep, dan mini bus) Propinsi Jawa Barat (unit), (4) Jumlah Mobil Barang (truck dan bus) Propinsi Jawa Barat (unit) dapat menimbulkan pola variasi Pajak antara 5.965 7,324 Triliun Rupiah pada tahun 2011 sedangkan pada tahun 2012 pola variasi Pajak antara 6,480 7,935 Triliun Rupiah. Gambar 6 Potensi Pajak Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 dan Tahun 2012 Dengan Pendekatan Secara Regional (Juta Rupiah)

27 | P a g e

Sumber : data yang sudah diolah V.2.7 Simulasi Potensi Pajak Kendaraan Bermotor di Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 Simulasi potensi penerimaan pajak kendaraan bermotor di Propinsi Jawa Barat tahun 2011 berdasarkan model dengan pendekatan regional. Berdasarkan model simulator diatas dapat diketahui rata-rata potensi penerimaan pajak Propinsi Jawa Barat tahun 2011 sebesar 2,374 Triliun Rupiah dengan standar deviasi sebesar 44,4 Milyar rupiah. Kondisi minimum penerimaan pajak sebesar 2,225 Triliun rupiah sedangkan kondisi maksimum penerimaan pajak sebesar 2,526 Triliun rupiah. Gambar 7 Potensi Pajak Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 dan Tahun 2012 (Juta Rupiah)

Sumber : data yang sudah diolah

Gambar diatas menunjukan distribusi frekuensi kemungkinan kejadian pendapatan Pajak kendaraan Bermotor dengan menggunakan variabel random menunjukan bahwa dengan adanya variasi dalam (1) Jumlah Sedan , (2) Jumlah Jeep/Sejenisnya (3) Jumlah Mini Bus, (4) Jumlah Bus, (5) Jumlah Truck atau Pick Up, dan (6) Jumlah Sepeda Motor dapat menimbulkan pola variasi Pajak Kendaraan Bermotor antara 2,240 2,526 Triliun Rupiah pada tahun 2011 sedangkan pada tahun 2012 pola variasi Pajak Kendaraan Bermotor antara 2,383 2,710 Triliun Rupiah. V.2.8. Simulasi Potensi Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) di Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 28 | P a g e

Simulasi potensi penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Propinsi Jawa Barat tahun 2011 berdasarkan model dengan pendekatan regional. Berdasarkan model simulator diatas dapat diketahui rata-rata potensi penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat tahun 2011 sebesar 3,001 Triliun Rupiah dengan standar deviasi sebesar 286,8 Milyar rupiah. Kondisi minimum penerimaan BBNKB sebesar 2,146 Triliun rupiah sedangkan kondisi maksimum penerimaan pajak sebesar 3,818 Triliun rupiah. Gambar 8 menunjukan distribusi frekuensi kemungkinan kejadian pendapatan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dengan menggunakan variabel random, dapat menimbulkan pola variasi Pajak antara 2,229 3,818 Triliun Rupiah pada tahun 2011 sedangkan pada tahun 2012 pola variasi Pajak antara 2,229 3,818 Triliun Rupiah. .

Gambar 8 Potensi Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 dan Tahun 2012 (Juta Rupiah)

Sumber : data yang sudah diolah V.2.9 Simulasi Potensi Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor di Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 Simulasi potensi penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor di Propinsi Jawa Barat tahun 2011 berdasarkan model dengan pendekatan regional. Berdasarkan model simulator diatas dapat diketahui rata-rata potensi penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor Propinsi Jawa Barat tahun 2011 sebesar 1,270 Triliun Rupiah dengan standar deviasi sebesar 90,1 Milyar rupiah. Kondisi minimum penerimaan pajak 29 | P a g e

sebesar 1,114 Triliun rupiah sedangkan kondisi maksimum penerimaan pajak sebesar 1,426 Triliun rupiah. Gambar 9 Potensi Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Propinsi Jawa Barat Tahun 2011 dan Tahun 2012 (Juta Rupiah)

Sumber : data yang sudah diolah

Gambar diatas menunjukan distribusi frekuensi kemungkinan kejadian pendapatan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dengan menggunakan variabel random, dapat menimbulkan pola variasi Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor antara 1,129 1,426 Triliun Rupiah pada tahun 2011 sedangkan pada tahun 2012 pola variasi Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor antara 1,230 1,542 Triliun Rupiah. VI. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan VI.1. Kesimpulan Berdasar uraian tersebut diatas, dapat kami tarik kesimpulan sebagai berikut : Pajak Daerah khususnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah jenis pajak daerah propinsi yang memberikan kontribusi cukup besar dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi Jawa Barat. Sesuai Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 40 Tahun 2008; Tugas Pokok UPPD adalah melaksanakan sebagian kegiatan Dinas Pendapatan Daerah Propinsi jawa barat di bidang Pelayanan Pendapatan daerah. Dasar Hukum pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) itu sendiri adalah Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor. Dan Peraturan Pelaksanaannya berdasarkan pada Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor : 75 Tahun 2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor. Sistem pemungutan pajak daerah yang dipergunakan dalam Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yaitu Sistem Official Assessment, Hal tersebut dapat dijelaskan dari proses pemungutan pajak berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lainnya yang dipersamakan. Wajib Pajak setelah menerima SKPD atau dokumen lainnya 30 | P a g e

yang dipersamakan tinggal melakukan pembayaran menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) pada UPPD/Samsat. Jika Wajib Pajak tidak atau kurang membayar akan ditagih menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD). Pelaksanaan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) telah berkembang sejalan dengan dengan kemajuan tehnologi, dimana wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban membayar pajak secara langsung melalui Kantor UPPD/Samsat dimana wajib pajak berdomisili atau dapat juga dilakukan melalui bank BRI dan bank Jawa Barat, bahkan dapat juga melakukan pembayaran pajak kendaraan bermotor secara on line yaitu di UPPD/Samsat manapun di Propinsi jawa barat. Wajib Pajak Kendaraan Bermotor dapat memperoleh informasi tentang identitas kendaraan dan besaran nominal pajak kendaraan bermotor melalui layanan SMS 7070. Kendala terhadap keharusan menunjukkan atau melampirkan identitas sesuai dengan Nota Pajak/ STNK dan upaya yang dilakukan berdasarkan logika berfikir yang dipergunakan oleh UPPD / Samsat sebagai perangkat daerah Propinsi jawa barat yang bertugas dalam pemungutan pajak kendaraan bermotor, yaitu bagaimana memberikan pelayanan sebaik baiknya pada wajib pajak dengan mudah, cepat dan akurat sehingga penerimaan pajak tetap diperoleh secara maksimal. Sedangkan kesenjangan teknis yang terjadi dalam pelayanan di UPPD/Samsat dimana idealnya dalam pelayanan kepada masyarakat wajib pajak kendaraan bermotor di UPPD/Samsat, segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan kepada wajib pajak kendaraan dilakukan secara terpadu dalam satu paket sistim baik dari Pemda, Kepolisian maupun Jasa Raharja. Akan tetapi karena adanya tugas dan batasan kewenangan yang berbeda, terkadang muncul ego sektoral yang tidak dapat dihindarkan. Untuk mengatasi hal tersebut, sehingga pelayanan terbaik tetap dapat diberikan kepada wajib pajak, maka untuk proses administrasi yang sebagian dilakukan secara manual hanya diperuntukkan untuk kendaraan kendaraan diluar proses penelitian ulang / pengesahan stnk. Misalnya kendaraan balik nama, proses mutasi masuk, pendaftaran KBM baru, dan sebagainya. Dengan demikian wajib pajak yang hanya melaksanakan pembayaran PKB dan Pengesahan stnk dapat terlayani dengan cepat dan mudah. Dalam mengantisipasi perkembangan jumlah obyek kendaraan bermotor yang cukup pesat memang kurang diimbangi dengan penyediaan tempat pelayanan bagi wajib pajak kendaraan bermotor khususnya di UPPD / Samsat Jawa Barat. Adanya pelayanan pembayaran pajak kendaraan bermotor sistim On Line memudahkan wajib pajak dan juga mengurangi kepadatan volume pembayaran langsung di Kantor UPPD/Samsat. Munculnya kelemahan dalam sistim on line melalui perbankan adalah dimana wajib pajak setelah membayar pajak kendaraan bermotor via bank yang ditunjuk tetap harus melaksanakan pengesahan di UPPD/Samsat setempat. Keadaan tersebut disikapi oleh UPPD/Samsat Jawa Barat dengan cara memberikan kemudahan kepada wajib pajak untuk secara langsung tanpa melewati prosedur dan melaksanakan pengesahan pada petugas yang ditunjuk. VI.1. Rekomendasi Kebijakan 31 | P a g e

Berdasarkan pada hasil pembahasan, maka hal hal yang dapat disampaikan sebagai rekomendasi kepada pihak pihak yang terkait dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor, khususnya Unit Pelayanan Pendapatan daerah (UPPD) / Samsat Propinsi jawa barat, sebagai berikut : 1. Untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik pada masyarakat wajib pajak kendaraan bermotor. Kiranya perlu dicarikan formulasi terbaik khususnya dalam kewajiban pemenuhan persyaratan dalam pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor. Misalnya menghilangkan SPPKB (Surat Pendaftaran Pajak Kendaraan Bermotor) dan atau format Notice Pajak/STNK dibuat sedemikian rupa sehingga wajib pajak tidak perlu repot dalam pembayaran PKB. Secara prinisp yang penting Pajak terpenuhi dan kendaraan jelas kepemilikannya serta kendaraan tersebut sah untuk dipergunakan dijalan raya. Kecuali untuk kendaraan kendaraan baru dan kendaraan yang belum terdaftar di UPPD/Samsat memang perlu untuk identifikasi data awal kepemilikan dan identifikasi kendaraan. 2. Untuk memudahkan dan mempercepat pelayanan di Kantor UPPD / Samsat, kiranya perlu dilakukan penambahan loketloket pembayaran sehingga tidak terjadi antrian yang terlalu banyak. Disamping itu diharapkan Instansi terkait dalam Samsat baik dari UPPD, Polri maupun dari Jasa Raharja, diharapkan menyatukan visi dan persepsi melalui peningkatan koordinasi, sehingga dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak tidak adanya arogansi sektoral dan dengan sendirinya akan tercipta pelayanan publik yang profesional, mudah, murat, cepat dan akurat. 3. Kondisi tempat pelayanan UPPD/Samsat yang kurang memadai hendaknya dilakukan melalui pertimbangan dan perencanaan yang matang, sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah tempat pelayanan yang betul betul sesuai dengan harapan wajib pajak dan juga sesuai dengan kontribusinya terhadap PAD Propinsi jawa barat. 4. Perlu dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan pengembangan terhadap sistim on line dalam pembayaran pajak kendaraan bermotor, sehingga pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dapat dicapai secara maksimal. Sebagai contoh adalah perlu adanya pemikiran tentang bagaimana wajib pajak dapat membayar PKB dan mengurus pengesahan STNK cukup hanya melalui ATM, dan tidak perlu datang untuk pengesahan di UPPD/Samsat. 5. Perlu dilakukan kebijakan lain untuk memberikan pelayanan terbaik yaitu Wajib Pajak Kendaraan Bermotor dapat mengetahui secara dini tentang kewajibannya membayar Pajak Kendaraan Bermotor minimal sebelum jatuh tempo pembayaran pajak, melalui Surat Pemberitahuan Pajak Kendaraan Bermotor (Super KPKB) yang dikirim langsung kepada Wajib Pajak sesuai dengan alamat yang tertera dalam STNK. Untuk menjangkau daerah terpencil dan menjamin sampainya Super KPKB tersebut ketangan atau alamat Wajib Pajak, Dinas PENDAPATAN/UPPD bekerjasama dengan PT.POS Indonesia. 6. Untuk penelitian yang lebih komprehensif dibutuhkan data usia kendaraan, jenis bahan bakar, dan kapasitas mesin agar hasil penelitian mendekati angka yang sebenarnya.

32 | P a g e

VII. Daftar Referensi Azhari Aziz Samudra, (1995), Perpajakan di Indonesia : Keuangan, Pajak, dan Retribusi Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soemarso S.R, (2007). Perpajakan. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Supramono. Prof.DBA. dan Theresia Woro Damayanti, (2010) Perpajakan IndonesiaMekanisme Perhitungan, Yogyakarta, Penerbit Andi. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.

33 | P a g e

You might also like