You are on page 1of 8

NAHWU, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA1 Oleh: Anas Fatkhurrozi2 A.

PENDAHULUAN Sebagaimana Mantik yang dijadikan alat berpikir, Nahwu juga mempunyai peranan penting dalam menjaga lisan dari kesalahan berbicara. Seperti apa yang diungkapkan imam al-Akhdari dalam syairnya ; 3 Kesalahan lisan memang sulit dihindari,bahkan kesalahan-kesalahan tersebut sudah ada pada masa sebelum dan sesudah Islam datang ke Jazirah Arab. Banyak periwayatan yang mengatakan tentang seringnya bangsa Arab salah dalam berbicara yakni kesalahan dalam mengirab kalimat (Likhan) seperti riwayat Yaqut sbb; ( : : ) 4kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan dalam mengucapkan kata " " yang seharusnya dibaca karena kedudukannya sebagai khabar . Dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan seperti ini yang terjadi pada masa awal-awal Islam. Melihat kondisi bahasa Arab yang sedikit demi sedikit mengalami kemunduran sesuai dengan pergerakan zaman, akhirnya para ahli bahasa bangun serentak menyusun suatu disiplin ilmu yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan bahasa dari faktor-faktor yang merusak bahasa. Disiplin ilmu tersebut mereka namakan dengan ilmu Nahwu yang dinisbatkan kepada pujian sayyidina Ali kepada penyusun awal ilmu Nahwu; Abul Aswad ad-Duali ( )5. B. PENGARUH BAHASA ARAB TERHADAP ILMU NAHWU Ditilik dari sejarahnya, kehidupan bangsa Arab yang bersuku-suku memberikan efek yang besar terhadap beberapa perbedaan dalam penggunaan bahasa Arab.Diantara perbedaan yang sering terjadi ditengah-tengah bangsa Arab adalah perbedaan dalam penggunaan kalimat,harakat,pengucapan dan penggunaan irab 6. Perbedaan-perbedaan tersebut dikarenakan kemampuan lisan tiap kabilah dalam berbicara (malakah al-lisaaniyyah) berbeda-beda. Hal ini selaras dengan apa yang diucapkan Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya bahwa bahasa adalah suatu ibarat pembicara akan maksud perkataanya ( )7. dan lisan mengambil peranan yang penting dalam pengibaratan tersebut. Perbedaan dalam penggunaan bahasa ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap perbedaan bacaan al-Quran sesuai dengan bahasa dan dialek masing-masing kabilah. Sebagaimana
Makalah ini dipresentasikan pada diskusi Turats Tebuireng Center pada hari Jum at 20 Juli 2007 Yunior Tebuireng Center yang selalu butuh bimbingan dari senior-seniornya. 3 Syarhu as-Sulam fi al-Mantik lil Akhdari. 4 Nasyatu an-Nahwi wa Tarikhu Ahli an-Nuhaat,as-Syeikh Muhammad at-Tantowi,dar elma arif,hal. 16 5 Ibid 6 Dluha al-Islam,alfashl as-sadis fi allughoh wal adab wa an-nahwi,ahmad amin,Darulkutub alilmiyyah,hal.187 7 Muqaddimah,alfashl as-sadis fi alulum dst . ilmu an-Nahwi,Ibnu Khaldun,Maktabah Usroh,hal.1128
2 1

yang dikatakan oleh Ibnu Abbas bahwa al-Quran diturunkan dengan tujuh bahasa,lima atau empat diantaranya dengan bahasa ajz dari kabilah Hawazin (disebut sebagai Ulya Hawazin) dan sisanya dari kabilah Saad ibnu Bakar,Jasym ibnu Bakar dan Nasr ibnu Muawiyyah dan yang terakhir dari Bani Tsaqif8. Perbedaan penggunaan bahasa tersebut juga memberikan dampak yang lain terhadap banyaknya sinonim kata dalam bahasa Arab. Saat suatu kabilah tertentu menggunakan nama untuk sesuatu belum tentu kabilah yang lain menggunakan nama yang sama. 9 Bangsa Arab adalah bangsa yang bangga akan bahasanya bahkan sebelum Islam datang ke Jazirah Arab. Satu diantara bukti riil yang dapat kita jadikan contoh terhadap kecintaan mereka terhadap bahasa Arab adalah penyebutan orang-orang yang tidak bisa berbicara bahasa Arab dengan sebutan Ajam10. Dengan adanya beberapa perbedaan diatas, bangsa Arab sendiri kesulitan dalam menentukan bahasa mana yang paling fasih dan yang paling selamat dari percampuran bahasa. Dan juga didukung oleh kecintaan mereka terhadap masing-masing kabilah (chauvimisme). Bahasa Arab yang paling fasih adalah bahasa Arab yang tetap dengan ke-Arabanya dan tidak dirusak dengan campur aduknya bahasa selainnya. Dan dalam hal ini penduduk desalah (Arab Badui) yang memegang peranan , karena bahasa mereka tidak terkontaminasi dengan bahasa yang lain. Hal ini seirama dengan apa yang dianjurkan Ibnu Jinni fi tarki al-akhdi an ahli al-madar kamaa ukhida an ahli al-wabar11. Dikatakan bahwa bahasa kaum Quraisy adalah bahasa yang paling fasih diantara bahasa kabilahkabilah yang lain. Karena Quraisy adalah pusat bertemunya para sasterawan Arab12 . Namun sebagian ulama meragukan keorisinilan dan kefasihan bahasa Quraisy tersebut, karena bangsa Quraiys yang sebagian besar tinggal di kota Mekkah dan sekitarnya adalah ahlul madar dan mereka suka berdagang, dan perdagangan adalah salah satu faktor perusak bahasa. Sebagian ulama tersebut mengatakan bahwa bahasa kabilah Saad ibnu Bakar adalah bahasa yang paling fasih karena Nabi dan pemuda-pemuda Quraisy waktu itu dikirim ke Bani Saad untuk mempelajari bahasa dan fasohah,bahkan Rosulullah disusui dan diasuh oleh salah satu wanita dari Bani Saad. Dapat kita tarik kesimpulan dari pernyataan diatas, jika dilihat dari keorisinilan bahasa, Bani Saad lah yang masih tetap menjaga keorisinilanya dibandingkan suku Quraisy yang suka bepergian,merekalah yang disebut dengan ahlul wabar. Namun sebaliknya jika dilihat dari kefasihan bahasa, suku Quraisylah yang paling fasih karena suku Quraisy yang mayoritas suka bepergian ke Syam,Mesir dan Negara-negara tetangga lainnya adalah pribadi-pribadi yang kuat pentabirannya dalam bahasa,mereka begitu pandai memilih kata-kata yang sekiranya bisa dipahami oleh lawan bicara.
Opcit,hal. 188 Ibid. sebagaimana orang Yaman mengatakan mibrat untuk sukkar . 10 Al-lughoh al-Arabiyyah wa musykilatuhaa wa subulu an-nuhudl bihaa,assayyid khodor,dar al-Wafa ,hal. 20 11 Dluha al-Islam,hal.189 namun dalam penjelasannya beliau mengatakan bahwa seandainya bahasa penduduk kota tidak dirusak dengan bahasa lain dan masih tetap dengan keorisinilanya, maka tidak ada salahnya untuk memakai bahasa penduduk kota tersebut. 12 Bisa dilihat lebih lanjut dalam nasyatun an-Nahwi wa tarikhu asyhuri an-nuhaatnya syekh Muhammad atTantowi
9 8

Pada mulanya kemurnian dan kefasohahan bahasa Arab dapat dipertahankan dari faktor-faktor yang mempengaruhi rusaknya bahasa. Karena bangsa Arab sendiri enggan untuk bepergian dan berdagang di luar jazirah Arab seperti Roma,Persi dll. Disamping itu mereka juga mendirikan pasarpasar sebagai tempat untuk memenuhi keperluan mereka. Dan di pasar-pasar inilah para sasterawan dan ahli bahasa berkumpul untuk mendiskusikan dan memamerkan karya-karya mereka. Diantara pasar-pasar yang terkenal di Jazirah Arab adalah pasar Ukaz (antara Nahlah dan Thoif) yang dibuka setiap bulan Syawwal,pasar majannah yang dibuka dari tanggal 1 sampai 20 Dzulqodah dan selanjutnya adalah pasar Dzulmajaz (dibelakang Arafah) sampai hari-hari Haji. Di pundak para sasterawan inilah kemurnian bahasa Arab masih bisa dipertahankan13. Ketika Islam datang dan menjalankan ekspansi-ekspansinya ke Negara-negara tetangga maka menyebarlah bahasa Arab ditengah-tengah mereka. Namun hal tersebut memberikan dampak yang tidak bisa dilihat dengan sebelah mata yaitu berubahnya malakah al-lisaniyyah yang disebabkan oleh apa yang sering didengar oleh muslimin Arab dari orang-orang non Arab (Ajam). Karena dengan mendengar yang dikatakan sebagai abu al-malakah14 memicu masuknya bahasa-bahasa asing kedalam bahasa Arab.Dan dengan adanya asimilasi antara orang-orang Arab dan non Arab inilah likhan (keliru bacaan/Irab) secara diam-diam masuk kedalam bahasa Arab. Dan hal tersebut sudah berlangsung sejak para pendatang (mawali wa al-mutaarribun) berbondong-bondong memeluk Islam. 15 Sebenarnya sejak zaman Jahiliyyah bangsa Arab telah menggunakan bahasa-bahasa serapan( ) dari bangsa Ajam seperti penggunaan kata yang berarti raja diraja ( ), yang mempunyai arti cermin ( ) dsb. Pun juga al-Quran menggunakan kata-kata serapan seperti; ... , , , . begitu juga dengan beberapa hadits yang menggunakan bahasa asing yang diarabkan, seperti sabda Beliau ( ) yang mana lafadz berasal dari bahasa Syam yang artinya petani ( )16. Dan masih banyak lagi contoh kalimat-kalimat yang ditarib dari kata-kata Ajam(seperti bahasa Persi,Habsy,Arimi,Yunani dll) 17. Ketika orang-orang Arab ingin memasukkan bahasa Asing kedalam bahasa Arab, maka kata-kata asing tersebut mereka sesuaikan dengan kaidah-kaidah dan wazan-wazan bahasa Arab. Mereka memberikan alamat-alamat Irab,menjama dan memutsannahkannya sebagaimana mereka mengirab kalimat-kalimat Arab. seperti kata yang diserap dari kata . Hal ini selaras dengan ungkapan imam al-Jauhari ( ) yang selanjutnya diamini oleh imam al-Hariri ( .... ). Dan dalam ungkapan selanjutnya beliau mengatakan bahwa kalimat muarrobah (yang diarabkan) yang tidak sesuai dengan tatanan kaidah Arab maka tidak bisa disebut sebagai kalimat Arab tetapi tetap dengan ke-Ajamanya. Namun ungkapan tersebut dikounter oleh imam Sibawaih dan mayoritas ahli bahasa
Nasyatu an-Nahwi wa tarikhu ahli an-Nuhaat,as-syeikh Muhammad at-tantowi,da elma arif,hal.13 Muqaddimah,alfashl as-sadis fi alulum dst . ilmu an-Nahwi,Ibnu Khaldun,Maktabah Usroh,hal.1129 15 Opcit,hal. 16
14 16 17 13

Dluha al-Islam,loc cit, hal. 191 Bisa dipelajari lebih lanjut dalam bukunya G.bergstrasser, at-tathowwur an-Nahwi

yang mengatakan bahwa bahasa serapan tidak bisa dikatakan sebagai bahasa Arab walaupun sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku18. Dari sinilah unsur qiyas dalam bahasa masuk kedalam bahasa Arab hingga masa Daulah Abbasiyyah. Dapat disimpulkan dari paparan diatas bahwa dengan berasimilasinya orang-orang Arab kedalam masyarakat non Arab mulailah bahasa Arab mengalami kemunduran. Apalagi pemimpin-pemimpin yang berkuasa bukan orang Arab, sehingga timbullah bahasa pasar yang tidak dapat dikatakan sebagai bahasa Arab yang murni,seperti yang terjadi di Mesir dan damaskus, tetapi kemunduran yang paling hebat adalah kemunduran bahasa Arab-Persia19. Hal ini menimbulkan kesadaran para ulama dan ahli bahasa Arab,sehingga mereka serentak untuk mempertahankan bahasa Arab dari keruntuhannya. Dengan rusaknya bahasa Arab tentu tidak akan ada lagi yang dapat memahami al-Quran, sedangkan al-Quran itu adalah kitab suci yang harus selalu diselidiki dan dipelihara isi dan maknanya. Karena itu mereka merasa, bahwa diatas pundak merekalah terletak kewajiban untuk memelihara al-Quran dengan jalan mempertahankan kemurnian bahasa Arab 20. Untuk itu mereka mengarang ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) agar bahasa Arab itu dapat dipelajari dengan baik oleh umat yang tidak bisa berbahasa Arab, sehingga mereka terhindar dari kesalahan-kesalahan pengucapan dan dapat membaca dengan fasih21. Namun dengan masuknya qiyas dalam bahasa dan unsur pentariban menimbulkan pertanyaan yang tidak bisa kita anggap remeh; Apakah ilmu Nahwu masih bisa dikatakan sebagai ilmu Arab yang murni? Atau ilmu Nahwu sendiri adalah ilmu yang dikutip dari bangsa-bangsa selain Arab? Banyak kaum orientalist menyangka bahwa ilmu Nahwu dinukil dari bahasa Yunani,karena muncul dan berkembangnya ilmu ini di Negara Iraq yang mana mayoritas penduduknya mempelajari kebudayaan Suryani yang diwarisi dari kebudayaan Yunani. Dan pada waktu itu kebudayaan Suryani telah mengenal ilmu Nahwu (gramatika) yang ditulis oleh Aristoteles22. Hal ini ditentang oleh Litman dengan penelitiannya terhadap ungkapan yang dipaparkan imam sibawaih tentang pengertian kalim ( ) sedangkan filosof Yunani membagi kalam menjadi isim,kalimat dan ribath ( ) yang mana arti dari isim adalah isim itu sendiri,kalimat maksudnya adalah fiil (verb) dan ribath adalah huruf (conjunction) kata-kata ini diterjemahkan oleh orang-orang Suryani dari Yunani,dan dari Suryani ke bahasa Arab. Ungkapan ini dipaparkan di buku-buku filsafat tidak dipaparkan di kitab-kitab Nahwu. Adapun ungkapan Sibawaih

Opcit,hal. 192 Al-Qur an dan terjemahnya bab 4 al-Qur an dan ilmu pengetahuan,Mahkota Surabaya,hal. 55 20 Ibid ,hal 56 21 Ibid 22 Nasyatu an-Nahwi wa tarikhu ahli an-Nuhaat,hal. 22
19

18

diatas adalah istilah-istilah Arab yang tidak diterjemahkan dan tidak dinukil dari bahasa Suryani ataupun Yunani23. Dari ungkapan Litman tersebut Ahmad Amin memberikan konklusi bahwa pengaruh Yunani dan Suryani pada masa awal penyusunan Nahwu hanyalah pengaruh yang lemah, hanya saja metode qiyas dan kaidah-kaidah yang sering digunakan dalam ilmu Nahwu banyak diadopsi dari falsafat Yunani24. C. PENYUSUN ILMU NAHWU Ulama Nahwu berbeda pendapat tentang siapakah penyusun ilmu Nahwu, ada yang berpendapat bahwa ilmu Nahwu sudah ada sebelum Abul Aswa ad-Duali,diantara ahli Nahwu yang berpendapat tentang hal ini adalah Ibnu Faris25. Pendapat ini didukung dengan adanya peristiwa kesalahan orang Badui ketika mambaca salah satu ayat surat Baroah pada masa kekhalifahan Umar ibnu Khattab26. Ada pula yang berpendapat bahwa penyusun ilmu Nahwu adalah Abul Aswa ad-Duali atas nasehat imam Ali karrama Allahu wajhahu sebagaimana Ibnu sallam dan Ibnu Qutaibah berpendapat akan hal ini,ada juga yang mengatakan bahwa penyusun ilmu Nahwu adalah imam Ali sendiri yang mana beliau memberikan perintah kepada Abul Aswa ad-Duali untuk menulis perkataan beliau tentang kalam ( ..... ) setelah menyusun perkataan imam Ali tersebut, Abul Aswad ad-Duali menambahkan beberapa bab tentang Naat dan Athaf,kemudian bab tentang Taajjub dan Istifham sampai kepada bab Inna wa Akhawaatuha, kemudian beliau memperlihatkan tulisan tersebut kepada imam Ali dan menyuruhnya untuk menyusun ilmu Nahwu sesuai dengan bab-bab yang diperlihatkan kepada beliau. Pendapat ini ditolak oleh Ahmad Amin yang mengatakan bahwa hadits tentang penulisan ilmu Nahwu yang disesuaikan dengan pembagian bab falsafi ini adalah hadits khurafat (khayalan belaka). Karena pada masa imam Ali dan Abul Aswad menolak segala disiplin ilmu falsafi khususnya masalah pembagian dan pendifinisian27. Bahkan karena kekhawatiran beberapa ahli Nahwu akan penisbatan imam Ali sebagai penyusun Nahwu mereka menisbatkan penyusunnya kepada Abdu ar-Rahman ibnu Hurmuz (w. 117 H) dan kepada Nasr ibnu Asyim (w. 89 H). Dan pendapat yang shahih dan disepakati oleh jumhur ulama adalah penisbatan ilmu Nahwu kepada Abul Aswad ad-Duali. Karena beliaulah yang memberikan syakl (harakat) dan titik dalam alMushaf28. Dan inilah langkah awal yang dijadikan Abul Aswad dalam menyusun Irab dan kaidahkaidah Nahwu lainnya. Sehingga definisi ilmu Nahwu pada masa itu berbeda dengan definisi ilmu Nahwu pada masa sekarang. Bahkan ibnu Jinni (ulama mutaakhiriin) mendefinisikan ilmu Nahwu dengan 29 . D. PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Dluha al-Islam,hal. 224 Ibid 25 Khosoisu madzhab al-Andalus an-Nahwi, Abdul Qodir Rahim al-Haiti,Jami atu Qoryunis,hal.33 26 Nasyatu an-Nahwi wa tarikhu ahli an-Nuhaat,hal. 25 27 Dluha al-Islam,loc cit, hal. 219 28 Seperti ayat ditulis 29 Op cit .
24

23

Setelah Abul Aswad ad-Duali menyusun Nahwu atas nasehat sayyidina Ali, ilmu ini berkembang pesat di negara Iraq. Karena disamping kedua tokoh kita ini tinggal disana,likhan juga sering terjadi di negeri ini dan banyaknya mawalli yang datang untuk memperdalam bahasa Arab. Dari sinilah penyusunan dan pembukuan ilmu Nahwu bekembang sedikit demi sedikit dan disempurnakan pada masa daulah Umayyah. Dan puncak kejayaan ilmu Nahwu dimulai pada saat terjadinya perdebatan panjang tentang Nahwu antara ulama Basrah dan Kuffah pada abad kedua hingga abad ketiga Hijriah yang mempengaruhi munculnya Madzhab baru di Baghdad yang pada akhirnya pada abad keempat ilmu Nahwu telah menyebar ke negara-negara Islam baik yang di Timur ataupun yang di Barat30. Jika dilihat berdasarkan tempat, perkembangan ilmu Nahwu bisa dibagi menjadi empat bagian; 1. Masa penyusunan dan pembentukan ilmu Nahwu yang berpusat di kota Basroh. 2. Masa pertumbuhan dan berkembangnya ilmu Nahwu di Basroh-Kuffah. 3. Masa penyempurnaan yang juga berpusat di Basroh dan Kuffah,dan 4. Periode pentarjihan di Baghdad31. Berikut penjelasan periodesasi ilmu Nahwu yang dimulai dari masa pembentukan hingga masa pentarjihan (dari Madrasah Basroh hingga Madrasah Baghdad): 1. Masa penyusunan dan pembentukan ilmu Nahwu (Basroh) Masa ini dimulai dari founding father Nahwu sendiri yaitu Abul Aswad ad-Duali hingga masa imam Kholil ibnu Ahmad dan berakhir pada masa Daulah Umayyah. Periode ini hanya berkembang di Basroh saja, karena Kuffah pada waktu itu disibukkan dengan periwayatan Syiir dan hadits. Setelah Abul Aswad wafat dan ajaran-ajaran Nahwu beliau telah banyak dikenal dan dipelajari oleh penduduk Basroh, muncullah dua golongan ahli Nahwu di kota ini. Golongan pertama yang terdiri dari beberapa murid Abul Aswad seperti; Anbasah ibnu Madan al-Fiil,Nasr ibnu Asyim al-Laitsi,Abdu ar-Rahman ibnu Hurmuz dan Yahya ibnu Yamur alAdwani ini tidak memasukkan unsur-unsur qiyas dalam bahasa karena pada masa mereka jarang sekali ditemui kesalahan dalam pengucapan bahasa Arab pun jarang dijumpai pada masa ini pentasynifan (karangan) ilmu Nahwu. Golongan ini tidak menjumpai masa-masa kedaulatan Abbasiyyah. Sedangkan golongan kedua yang dipimpin oleh Ibnu Abi Ishak al-Hadlromi (w.117 H) dan Abu Amr ibnu al-Alla banyak melakukan pentasynifan dan pengkodifikasian ilmu Nahwu, dan pada masa ini metode Qiyas sudah digunakan32. 2. Masa pertumbuhan dan berkembangnya ilmu Nahwu (Basroh-Kuffah) Periode ini dimulai dari masa imam al-Kholil ibnu Ahmad al-Bashri dan Abu Jafar Muhammad ibnu al-Hasan al-Ruasi sampai pada masa imam al-Mazini dan ibnu as-Sikkit.

Dluhurul Islam,Ahmad Amin,Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,hal.85 Nasyatu an-Nahwi wa tarikhu ahli an-Nuhaat,op cit,hal.37 32 Ibid
31

30

Masa ini adalah titik awal bertemunya dua aliran Nahwu yang berpusat di Basroh dan kuffah. Madrasah Basroh dipimpin oleh imam ketiga Basroh yaitu imam Kholil sedangkan Madrasah Kuffah dipimpin oleh imam ar-Ruasi yang juga menjadi imam pertama Kuffah di bidang Nahwu33. Pada masa inilah terjadinya perdebatan sengit antara dua Madzhab Nahwu, dan diantara penyebab asasi terjadinya perdebatan tersebut adalah sekitar boleh tidaknya qiyas dipakai dalam bahasa. Madrasah Basrah lebih mengunggulkan dan mempercayai qiyas. Jika ada dua bahasa, yang satu berdasarkan atas qiyas dan yang satunya lagi tidak berdasarkan atas qiyas,maka mereka lebih mengunggulkan bahasa yang berdasarkan qiyas. Dan apabila terdapat suatu kata yang tidak sesuai dengan qiyas mereka anggap kata tersebut jarang atau syadz dan tidak berlaku atasnya qiyas dan dianjurkan untuk mengikuti pendapat pada umumnya. Sedangkan madrasah Kuffah tidak mengikuti metode tersebut, mereka menghormati setiap sesuatu yang keluar dari lisan orang Arab dan diberikan kebebasan dalam menggunakan kata-kata tersebut walaupun penggunaannya tidak sesuai dengan kaidah pada umumnya 34. Sepeninggal imam Kholil madrasah Basroh dipimpin oleh imam Sibawaih yang produktif dalam mengarang kitab-kitab Nahwu kemudian diteruskan oleh imam al-Akhfas. Dan di Kuffah, sepeninggal imam ar-Ruasi, imam kedua Kuffah al-KusaI menggantikan kedudukan beliau dan diteruskan oleh imam al-Farra. Pada masa ini ilmu Sharaf menjadi bagian dari ilmu Nahwu,berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang hanya membahas Nahwu dari segi akhir kalimat saja. 3. Masa penyempurnaan (Basroh-Kuffah) Masa ini dimulai dari masa Abu Utsman al-Mazini ulama keenam Basroh dan Yaqub ibnu Sikkit imam keempat Kuffah, dan berakhir pada masa imam al-Mubarrod Basroh dan Tsalab imam kelima Kuffah. Masa ini masih berkesinambungan dengan masa sebelumnya, pada masa ini masih terjadi perdebatan antara dua madzhab. Karena kefanatikan mereka terhadap masing-masing madzhab, mereka terdorong untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan pendahulu mereka,meringkas apa yang seharusnya diringkas,menjabarkan apa yang berhak untuk dijabarkan dan menyempurnakan istilah-istilah Nahwu dan dipisahkannya pembahasan Sharaf dari Nahwu. Dan masa ini berakhir pada akhir abad ketiga Hijriyyah. 4. Periode pentarjihan (Baghdad) Madzhab ini banyak dipengaruhi oleh madzhab Basroh-Kuffah dan mengambil pendapat yang paling unggul diantara dua madzhab tersebut. Madzhab Baghdad ini bertahan pada masa yang cukup lama, karena Baghdad sendiri adalah ibukota negara dan tempat berkumpulnya ulama-ulama negara Islam. Hanya saja pada masa tersebut terjadi kekacauan yang disebabkan oleh penyergapan bangsa Turki kepada khalifah Jafar alMutawakkil pada tahun 247 H. yang pada akhirnya tampuk kepemerintahan diserahkan kepada bani
33 34

Ibid Dluha al-Islam,hal.226

Buwaihi. Kekacauan tersebut menyebabkan ulama-ulama Baghdad yang kebanyakan dari Arab dan Persi berpencar ke negara-negara timur dan barat. Namun dengan menyebarnya ulama-ulama tersebut menyebar pulalah ilmu Nahwu ke seantero dunia35. E. PENUTUP Demikianlah sekelumit tentang sejarah Nahwu, yang berkembang dari Basroh, Basroh-Kuffah hingga ke Baghdad dan menyebar ke penjuru negara-negara Islam. Dan atas jasa-jasa ulama yang telah mengenalkan kepada kita ilmu Nahwu, seyogyanya kita memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya karena dengan merekalah kita bisa menjaga bahasa al-Quran dari kesalahankesalahan bacaan. Dan diantara bentuk penghormatan kita kepada mereka adalah mengkaji karyakarya mereka secara mendalam dan istiqomah sehingga peradaban Islam bisa kita pertahankan sampai datangnya hari akhir. Dan atas segala bentuk kesalahan dan kekurangan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Cukup, itu saja.......!!!!

BIBILIOGRAFI  ..Al-Quran dan terjemahnya,MAHKOTA.Surabaya. 1989  Ahmad Amin, Dluha al-Islam,Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,Beirut. 2004  Muhammad at-Tantowi,Nasyatu an-Nahwi wa Tarikhu Asyhuri an-Nuhaat,Dar alMaarif,Kairo.  G.Bergstrasser,At-Tathawwur an-Nahwi,Maktabah al-Khanji,Kairo. 2003  Ibn Khaldun,Muqaddimah,Maktabah Usroh,Kairo. 2006  Abd. Qadir Rahim al-Hiti,Khosoisu Madzhabi al-Andalus an-Nahwi,Jamiatu Qoryunis. 1993  Sayyid Khodor,Al-Lughoh al-Arabiyyah wa Musykilaatuha wa Subulu an-Nuhudl biha,Dar al-Wafa  Abd.ar-Rahim Farj al-Jundi,Syarhu as-Sulam lil Akhdlori,Maktabah Azhariah li atTurats,Kairo.2006  Ahmad Amin,Dluhuru al-Islam, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,Beirut

35

Opcit

You might also like