You are on page 1of 37

DIFTERI DAN PERTUSIS

dr Syarifah Hanum P, SpA

DIPHTERIA ETIOLOGI Corynebacterium diphteriae Bakteria aerob, tak berkapsul, tidak membentuk spora, sebagian besar tidak motile, pleomorfik, gram poisitif EPIDEMIOLOGI Di daerah endemik insidensi tertinggi <15 tahun. Era vaksinasi: bergeser ke usia dewasa.

PATOGENESIS C diphteriae toksigenik maupun non toksigenik dapat menginfeksi kulit dan mukosa dan kadang organ lain setelah terjadi bakteriemia. Bakteri hidup pada permukaan kulit atau selaput mukosa saluran napas, menyebabkan reaksi inflamasi lokal. Memproduksi eksotoksin polipeptida 62 kD yang dapat menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan. Membentukl koagulum terdiri atas bakteri mati, sel epitel, fibrin, leukosit, eritrosit, yang semakin tebal sehingga terbentuk pseudomembran berwarna coklat kelabu yang melekat ke jaringan di bawahnya.

Paralisis palatum molle dan hipofaring. Absorpsi toksin dapat menyebabkan nekrosis tubuli ginjal, trombositopenia, kardiomiopati dan demyelinisasi serabut saraf. Kardiomiopati dan demyelinisasi serabut saraf biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi mukokutaneus, mungkin disebabkan oleh reaksi imunologis.

MANIFESTASI KLINIS Tergantung lokasi anatomis infeksi, status kekebalan, produksi dan distribusi toksin. DIPHTERIA PADA SALURAN NAPAS Masa inkubasi: 2-4 hari. Fokus primer: tosil atau faring (94%) hidung laring Nares anterior Infeksi pada nares anterior (lebih sering pada bayi): rhinitis serosanguineus, purulen dan erosif disertai pembentukan membran.

Karakteristik: ulserasi dangkal pada nares eksterna dan bibir atas. Diphteria tonsilar dan faringeal Nyeri tenggorokan (gejala awal), hanya setengahnya menderita demam dan lebih sedikit lagi yang menderita disfagia, serak, maleise atau nyeri kepala. Injeksi faring ringan diikuti pembentukan membran pada tonsil unilateral atau bilateral, meluas ke uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring, area glottis. Edema jaringan lunak dan pembesaran limfonodi: bull neck appearance.

Derajat perluasan lokal berhubungan dengan keparahan penyakit, bull neck, dan fatalitas karena sumbatan jalan napas serta komplikasi yang dimediasi toksin. Beda diphteria dengan faringitas eksudativa karena Streptococcus pyogenes dan Epstein-Barr virus: pseudomembran yang lengket, perluasan melebihi daerah fausial, jarang didapatkan demam dan disfagia. Diphteria laring Serak, stridor,dispneu, batuk menggonggong. Ancaman sufokasi karena sumbatan saluran napas.

Membedakan dengan epiglottitis atau tracheitis karena penyebab lain: tidak adanya gejala lain dan visualisasi pseudomembran DIPHTERIA KULIT Infeksi indolen dan tidak progresif. Ulkus superfisial seperti ektima dan tidak membaik, dilapisi membran coklat-kelabu, eritema, nyeri, eksudat. Sering disertai oleh infeksi sekunder. Kolonisasi sal napas dan komplikasi toksik jarang ditemukan.

Bull Neck

INFEKSI PADA TEMPAT LAIN Kadang terjadi pada telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulserativa), traktus genitalis (vulvovaginitis purulenta dan ulserativa). Dapat dibedakan dari penyakit lain berdasar gejala klinis, ulserasi, pembentukan membran dan perdarahan submukosa. Bila terjadi septikemia biasanya fatal. Endokarditis jarang didapatkan. Arthritis pyogenik umumnya terjadi karena strain non toksigenik.

KARDIOMIOPATI TOKSIK Terjadi pada 10-25% kasus diphteria, menyebabkan 50-60% kematian akibat diphteria. Risiko komplikasi berbanding lurus dengan beratnya kelaina orofaring dan keterlambatan pemberian antitoksin. Umumnya terjadi 2-3 minggu setelah onset penyakit. Dapat muncul setelah minggu I (umumnya fatal). Kadang muncul 6 minggu setelah onset penyakit.

Takikardia tidak sesuai dengan demam, interval P-R memanjang, perubahan gelombang ST-T, kardiomiopati dilatasi dan hipertrofi. Disritmia tunggal atau progresif: Blokade jantung derajat I, II atau III; disosiasi atrioventrikular; takikardia ventrikular. Peningkatan SGOT sesuai tingkat kerusakan otot jantung. Gagal jantung kongestif terjadi akut atau perlahan. Bila terjadi aritmia berat, pasien yang selamat dapat menderita gangguan hantaran permanen. Sisanya umumnya sembuh tanpa sekuele.

NEUROPATI TOKSIK Komplikasi neurologis paralel dengan luasnya infeksi dengan onset yang multifasik. 2-3 minggu setelah onset (kadang terjadi akut) terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle, diikuti kelemahan nervi facialis, pharyngeal posterior dan laryngeus, menyebabkan suara sengau, sulit menelan, dan risiko kematian karena aspirasi. Neuropati kranial biasanya terjadi pada minggu ke 5, terjadi paralisis nervi oculomotorius dan ciliaris yang menyebabkan strabismus dan gangguan akomodasi.

Onset polineuropati simetris terjadi 10 hari - 3 bulan setelah onset infeksi orofaring. Menyebabkan defisit neurologis dengan hilangnya refleks tendon dalam. Terjadi kelemahan otot mulai dari distal berjalan ke proksimal (lebih sering) atau sebaliknya. Dapat disertai paralisis diafragma. Dapat terjadi kepulihan spontan. Temuan cairan serebrospinal mirip dengan sindroma Guillan-Barre. Disfungsi pusat vasomotor jarang terjadi dan dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung. Umumnya terjadi 2-3 minggu setelah onset penyakit.

DIAGNOSIS Kultur dengan sampel hasil swab lesi. Sebagian kecil membran harus diambil dengan eksudat di bawahnya. C. diphteriae tahan pengeringan. Sampel dapat dikirim dari tempat jauh untuk dikultur. Harus dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotika dan penentuan toksisitas.

TERAPI Antitoksin diberikan berdasar diagnosis klinis. Berfungsi mengikat toksin yang bebas. Semakin lama jarak infeksi dengan pemberian antitoksin maka efikasi akan semakin rendah. Antibiotika: erythromycin oral atau parenteral: 40-50mg/kg/hari maksimum 2 g dalam 24 jam penicillin G im atau iv 100.000-150.000U/kg/hari bagi 4 dosis prokain penicillin 25.000-50.000U/kg/hari bagi 2 dosis im Antibiotika diberikan selama 14 hari.

Eliminasi bakteri dibuktikan dengan 2 kali kultur negatif dengan selisih 24 jam setelah terapi selesai. Pasien ditempatkan di ruang isolasi. Bed rest selama fase akut, sampai risiko kerusakan jantung sudah dilewati (paling sedikit selama 2 minggu) KOMPLIKASI Sumbatan jalan napas oleh edema dan pseudomembran. Pemberian kortikosteroid untuk miokarditis dan neuritis tidak bermanfaat.

PROGNOSIS Tergantung virulensi organisme (subspecies gravis paling virulen). Case fatality rate untuk diphteria traktus respiratorius adalah 10%. Obstruksi jalan napas dan miokarditis merupakan penyebab kematian yang paling sering.

PENCEGAHAN KONTAK ASIMTOMATIK Profilaksis: erythromycin po selama 7-14 hari benzathine penicillin im 600.000 U (<30 kg) 1.200.000 U (>30 kg) Vaksinasi DT: bila belum mendapat booster 5 thn terakhir/ mendapat <3x vaksinasi dengan diphteria toxoid/anak yg blm mendapat vaksinasi dg diphteria toxoid ke 4 Monitor munculnya gejala dalam 7 hari masa inkubasi Kultur swab hidung, faring, lesi kulit.

KARIER ASIMTOMATIK Antibiotika profilaksis 7-10 hari DT (bila belum diberikan booster 1 tahun terakhir) Isolasi (respirasi atau kontak) sampai 2 x kultur negatif berturut dalam jangka waktu 24 jam Ulang kultur 2 minggu setelah penghentian terapi, bila positif berikan erythromycin po 10 hari dan ulang kultur Kegagalan eradikasi dg antibiotika: s/d 21% Antitoksin tidak diberikan bila tidak ada gejala!

PERTUSSIS
ETIOLOGI Bordetella pertussis Bordetella parapertussis (5%)
Gram negatif, coccobacilli,aerob

EPIDEMIOLOGI 60 juta kasus pertahun, 500.000 kematian. Sangat menular. Infeksi subklinis terjadi pada 80% kontak yang sudah diimunisasi. Perlindungan mulai menurun 3-5 tahun setelah imunisasi dan tidak terukur setelah 12 tahun. Imunisasi pasif dari ibu ke bayi hanya memberikan sedikit perlindungan.

PATOGENESIS B. pertussis menghasilkan: Filamentous hemaglutinin (FHA) Pertactin (Pn) Fim tipe 2 dan 3 Dermonecrotic factor Tracheal cytotoxin Adenylate cyclase Pertussis toxin (PT)
Perlekatan ke sel2 traktus respiratorius

Kerusakan epitel, mempermudah masuknya PT Menghambat kerja sistem imun

pelepasan histamin, sekresi insulin, inaktivasi leukosit, menyebabkan limfositosis

Penularan Pertussis

MANIFESTASI KLINIS Masa inkubasi 3-12 hari. Terbagi atas stage catarrhal, paroxysmal, convalescence (masing-masing 2 minggu). Gejala catarrhal: kongesti dan rhinorrhea, demam tidak tinggi, bersin, lakrimasi, dan injeksi konjungtiva. Gejala paroxysmal: batuk kering, iritatif, berkembang menjadi batuk khas pertussis. Whoop (tarikan napas inspirasi yang kuat) ditemukan pada bayi < 3 bulan karena otot masih blm kuat untuk menghasilkan tekanan intratoraks negatif secara cepat.

Batuk panjang tanpa putus, dagu dan dada ke depan, lidah keluar, mata melotot dan berair, wajah keunguan, sampai tampak hampir kehilangan kesadaran, batuk akhirnya berhenti dan terdengar suara whoop ketika udara memasuki jalan napas yang separuh terbuka. Batuk diakhiri dengan peluaran sekresi kental dari trakhea yang bercampur dengan epitel mati. Muntah setelah batuk umum terjadi pada anak maupun dewasa. Stage ini terjadi paling panjang pada bayi. Pada puncaknya dapat terjadi lebih dari 1 kali batuk per jam.

Anak yang sudah diimunisasi masih mungkin menderita pertussis, tetapi dengan stage yang lebih pendek masanya. Bayi < 3 bulan: fase catarrhal hanya beberapa hari dan jelas. Apnea, tersedak dan batuk dg gasping menandai onset penyakit. Convalescence diikuti batuk paroksismal intermiten sampai usia 1 tahun.

DIAGNOSIS Gejala klinis: batuk tanpa demam, maleise atau mialgia, eksantema atau enantema, nyeri tenggorokan, serak, takipnea, mengi atau ronchi. Definisi klinis: Batuk 14 hari atau lebih, dengan paling sedikit satu gejala: paroksism, whoop, atau muntah setelah batuk.

Batuk pada pertussis

Perbedaan pertussis dengan infeksi lainnya: Adenovirus: demam, nyeri tenggorok, konjungtivitis Mycoplasma: riwayat demam, nyeri kepala, gejala sistemik pd awal penyakit. Pada auskultasi ditemukan krepitasi. Respiratory synctitial virus: gejala infeksi saluran napas bawah.

Pada bayi yang menderita pertussis, pemeriksaan fisik diantara serangan batuk termasuk frekuensi respirasi umumnya normal, kecuali ada pneumonia sekunder.

Ditemukan leukositosis (15.000-100.000/mmk) dengan limfositosis absolut. Limfosit yang ditemukan adalah limfosit T dan B dengan ukuran normal, bukan limfosit atipik berukuran besar yang biasa ditemukan pada infeksi virus. Pada penyakit berat dan fatal ditemukan angka leukosit yang sangat tinggi dan thrombositosis. Foto thoraks: abnormal ringan. Infiltrat atau edema perihilar. Kadang ditemukan atelektasis, pneumothoraks, pneumomediastinum, udara pada jaringan lunak. Konsolidasi parenkim: infeksi sekunder Gold standard: kultur aspirat nasofaring.

TERAPI Tujuan terapi: mengurangi frekuensi paroksism mengamati keparahan batuk untuk memberikan bantuan bila perlu untuk memberikan nutrisi dan istirahat maksimal Indikasi rawat inap: Bayi < 3 bulan Bayi 3-6 bulan dengan paroksism berat Segala usia bila ada komplikasi

Tujuan rawat inap: 1. Menilai progresi penyakit 2. Mencegah atau mengobati komplikasi 3. Edukasi orangtua tentang perjalanan alamiah penyakit dan perawatan di rumah Paroksism yang tidak mengancam jiwa: durasi < 45 detik wajah berwarna merah, tidak biru takikadia/bradikardia/saturasi oksigen kembali normal pada akhir paroksism dapat memulihkan diri setelah paroksism (whoop/dapat bernapas) dapat mengeluarkan sumbatan mukus masih responsif setelah batuk

Antibiotika: Erythromycin 40-50mg/kg/hari po terbagi 4 dosis (14 hari) Ampicillin, rifampicin, cotrimoxazole cukup efektif Cephalosporin generasi ke 2 tidak efektif. Salbutamol: sedikit mengurangi gejala pemberian dengan aerosol yang merepotkan dapat menginduksi paroksism Kortikosteroid tidak bermanfaat Pertussis immunoglobulin tidak direkomendasikan

Isolasi: dilakukan sampai terapi erythromycin hari ke 5 Pengobatan kontak: erythromycin selama 14 hari <7 tahun: vaksinasi bila vaksinasi belum lengkap KOMPLIKASI Pneumonia, kejang, ensefalopati. Gangguan SSP karena terjadi hipoksemia atau perdarahan karena batuk.

PROGNOSIS Lebih buruk pada bayi < 6 bulan karena sering terjadi komplikasi

You might also like