You are on page 1of 87

Buku Geger Talangsari Page 1

Buku Geger Talangsari


PENGANTAR
Balai Pustaka

KARYA ini, hasil pekerjaan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Widjiono
Wasis, yang disusun dan ditulis -menurut Ramadhan K.H.- dengan gaya yang
ganjil, tidak konvensional, lancar, dan jarang terdapat dalam buku-buku
serupa mengenai penelitian peristiwa.

Penulis telah mengeluarkan biaya dan perhatian yang luar biasa, termasuk
waktu yang sangat panjang dalam proses penelitian yang tidak selalu berjalan
lancar, sampai akhirnya berhasil menyuguhkan karya ini.

Yang cukup menarik ialah penutup dari karya ini, mengedepankan islah sebagai
pokok untuk menyelesaikan setiap perselisihan -seberapa pun kadamya- demi
kedamaian dan persatuan serta untuk menghindari perpecahan yang tidak
berujung.

Semoga buku ini mampu memberikan sumbangan yang berarti.

Balai Pustaka

PENGANTAR RAMADHAN K.H.


Sebuah Pertimbangan

SEORANG sahabat baru, Saudara Widjiono Wasis menyuguhkan sebuah naskah yang
ternyata mengikat perhatian saya, menyebabkan saya ingin terus membacanya.
la mencantumkan judul pada naskahnya itu GEGER TALANGSARI, Serpihan Gerakan
Darul Islam. Di bulan Februari 1989 telah terjadi peristiwa yang
menggegerkan di Cihideung, Lampung. Rombongan pejabat muspika diserang dan
Kapten Soetiman dibunuh. Kelanjutannya adalah bentrokan fisik antara rakyat
bersama tentara dan polisi dengan mereka yang membunuh petugas negara itu;
yang bemama Warsidi menjadi pembicaraan orang, termasuk sejumlah
pengikutnya. Dan kemudian Warsidi pun diakhiri hidupnya dengan tembakan
peluru, sementara sejumlah orang juga jadi korban. Tak jelas benar
berapajumlahnya.

Peristiwa ini menjadi perhatian Wasis, terutama -seperti diceritakannya


sendiri kepada saya-, karena adanya pro-kontra mengenai kasus ini. Ada pihak
yang ingin mengungkit dan mempersoalkan, tetapi kata Wasis, masyarakat
setempat menolaknya dengan keras. Selain itu, -masih kata dia, gegeran
Talangsari punya ciri dan cara yang unik, tentang perkembangan sejarah
perjuangan Islam di Indonesia.

Wasis tergerak hatinya untuk mengadakan penelitian tentang peristiwa ini,


yang bagaimana pun juga menyangkut keyakinan hidup, agama, Islam. Dan kalau
sudah bicara tentang ini, kita jadi ingat, apa hubungan peristiwa ini dengan
Darul Islam (DI), dengan NII (Negara Islam Indonesia), dengan ajaran atau
pandangan hidup tokoh-tokoh berpengaruh yang berkaitan atau seperti
berkaitan dengan ini, semisal SM Kartosoewirjo, Daoed Beureuh, Ibnu Hajar,
Kahar Muzakkar, dengan peristiwa Cicendo, pembajakan Woyla, Tragedi Tanjung
Priok. Hampir satu tahun Wasis bekerja untuk mendapatkan gambaran yang
dirasakannya pantas dan bisa dipertanggungjawabkannya di hadapan umum. la
mulai bekerja untuk ini di bulan Mei 2000 dan dianggapnya selesai di bulan
April 200 1, dengan terhitung 2 ( dua) bulan mengadakan penelitian lapangan
di Lampung, sekian waktu di sejumlah perpustakaan dan tempat bacaan lainnya,

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 2

dan 3 (tiga) bulan menu1iskan hasil penelitiannya. Syukur bahwa ia menaruh


perhatian banyak pada sejarah, terutama sejarah kontemporer, pada buku-buku
biografi dan otobiografi, pada hasil-hasil wawancara orang, dan juga pada
dunia sastra. Dengan latar belakang itu ia diringankan oleh pengetahuannya
yang sudah dimilikinya. Ada pula disebutnya hasil pekerjaannya yang sudah
pemah ia hidangkan kepada umum, antaranya Ensiklopedi Nusantara (1989/PT.
DianRakyat),AlmanakJagad Raya (1992/PT. Dian Rakyat) di samping duabuah buku
lainnya yang agak menyimpang dari perhatiannya yang utama, tetapi pasti
menjadi sasaran penerbit: Kamus Bisnis ( 1994/PT. Dian Rakyat) dan
Ensiklopedi Pelajar (1995/PT. Dian Rakyat).

***

Saya sendiri jauh dari menguasai materi yang digarap oleh peneliti muda
Wasis ini. Akan tetapi, hasil pekerjaan peneliti lapangan ini rasanya cukup
menarik perhatian umum seperti saya, dengan susunan dan cara penulisannya,
gayanya yang ganjil, jarang terdapat di dalam buku-buku yang serupa mengenai
penelitian peristiwa, tidak konvensional dan lancar. Pengetahuannya dan
pendiriannya mengenai Islam mencolok, termasuk mengenai islah, sebagai
penyelesaian persoalan. Dan yang menyebabkan saya berani memberikan komentar
atas hasil pekerjaan Sdr. Wasis ini, adalah sekurang-kurangnya adanya
keterangan Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono yang pemah menangani peristiwa
ini sewaktu masih menjadi Komandan Korem Garuda Hitam -Lampung, dengan
pangkat Kolonel waktu itu. Letjen (Pum.) itu mengemukakan kepada saya, bahwa
data-data yang didapat dan diangkat oleh Sdr. Wasis adalah benar. Harap
diingat bahwa A.M. Hendropriyono tampak tidak kunjung henti menambah ilmunya
di pelbagai pendidikan. Mengemukakan begitu, berarti mempertaruhkan
reputasinya sebagai intelektual.

***

Kesimpulan Wasis setelah ia mengadakan penelitian lapangan dengan cara


mengadakan wawancara dengan sejumlah orang yang dianggapnya penting untuk
memberikan kesaksian, ialah bahwa peristiwa itu bukan pemberontakan.
Kelompok Warsidi bukan gerakan separatis seperti yang kini ( th 2001) ada di
Aceh atau yang di Maluku dan Irian Jaya. Dia juga bukan aliran sesat yang
timbul tenggelam. Kelompok Warsidi juga bukan gerakan makar. Tanda-tanda
makar tidak ditemukannya pada kelompok ini, seperti diceritakannya kepada
saya. Mereka tidak melengkapi diri dengan senjata-senjata organik, sejenis
atau setingkat militer. Kelompok ini, menurut Wasis, lebih tepat disebut
sebagai gerakan pengacau keamanan yang membuat kerusuhan dalam skala besar,
setelah merasa bersalah membunuh seorang petinggi militer di daerah
tersebut.
Tentunya pekerjaan penelitian seperti yang dilakukan Wasis ini mengeluarkan
tenaga dan menyita waktu yang tidak sedikit. "Hal terberat tapi sekaligus
terindah", kata peneliti ini, "adalah mencari tokoh-tokoh pengikut Warsidi",
orang yang berperan dalam peristiwa yang pemah menggegerkan Lampung 12 tahun
yang lalu itu. Namun, penelitian seperti ini, -termasuk mengenai peristiwa
yang menyedihkan di Lampung itu-, tentunya tidak berhenti sampai di sini.
Sumbangan kerja peneliti lain ditunggu oleh banyak pihak.

***

Ramadhan K.H.
Jakarta, 5 Juni 2001

DASAR PEMIKIRAN
DI MASA lalu, ada banyak peristiwa. Terlebih jika menyangkut kehidupan
politik di Indonesia, sedikit saja ada gejolak, orang langsung berteriak,
pasti ada orang Islam berontak. Nyatanya memang demikian. Apalagi setelah
muncul berbagai peristiwa, beruntun seperti diatur, kapan harus.bergerak dan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 3

kapan tidak.

Munculnya rentetan peristiwa itu memancing orang untuk berspekulasi,


menghubung-hubungkan peristiwa satu dengan yang lain. Tragedi Tanjung Priok
1984 misalnya, dikait-kaitkan dengan Peristiwa Talangsari Lampung 1989.
Malahan membias jauh, menyebut-nyebut berbagai peristiwa gegeran di sejumlah
tempat. Peristiwa Cicendo Bandung 1981, peristiwa pembajakan Woyla 1981,
peristi wa Haurkoneng sampai ke teror Warman yang tewas 1981, seluruhnya di
gebyah uyah, sama.

Spekulasi tersebut agaknya jauh panggang dari api. Kaitan peristiwa satu
dengan yang lain, tak saling
berhubungan secara langsung dan oleh karenanya tak cukup sekedar dugaan.
Masing-masing kejadian punya karakter dan tokoh yang berbeda. Akar
persoalannya juga berlainan, tidak saling berkait, satu dan lainnya. Tanjung
Priok misalnya, memunculkan tokoh dadakan yang bemama Amir Biki. Tentu
berbeda dengan geger di Talangsari, Lampung, yang menokohkan Warsidi.

Huru hara Tanjung Priok, mungkin lebih pas disebut sebagai musibah dari pada
tragedi perjuangan umat. Di sana, tak tergambar ada nuansa skenario atau
alur cerita yang mengawali dan mengakhirinya. Kejadiannya begitu mendadak
dan meledak tiba-tiba. Jika dari peris- tiwa itu, kemudian membawa korban
dan memunculkan sejumlah pahlawan, tentu soal lain. Kasus Cicendo dan kasus
Imron, juga punya karakter yang berbeda lagi. Kedua peristiwa itu merupakan
gerakan protes atas suatu kebijakan. Cuma cara mengekspresikannya agak tak
lazim, membajak kapal terbang dengan kekerasan.

Peristiwa Lampung bukan gerakan protes, juga bukan kecelakaan yang datangnya
tiba-tiba. la jauh dari nuansa Cicendo, Imron dan Tanjung Priok. Bahkan juga
tidak sama dengan geger Haurkoneng, apalagi gerakan Warman yang senantiasa
menebar teror, kapan dan di mana saja. Lampung punya ciri dan cara yang
berbeda, sekaligus unik. Peristiwanya, tempatnya, orang-orangnya,
dramaturginya, historisnya, seluruhnya saling berkait secara sistematis,
terencana dan teratur.

Di Lampung ada gegeran. Ada angkaramurka yang tak terkendali. Ada gerombolan
yang tak memahami; "di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung". Di
Lampung, ada rojopati. Ada jelujur benang merah, antara Warsidi dan gerakan
Nll. Antara mereka dan suatu daerah yang bemama Ngruki. Tak cuma itu, di
sana juga ada gairah orang-orang yang ingin mewujudkan mimpi, mendirikan
sebuah perkampungan antik, sebagai "basis perjuangan"-nya. Dan dari
peristiwa Lampung, juga lahir gerakan rujuk antar petikai bernama islah.
Uniknya, gerakan islah itu justru lahir dari mereka, orang-orang yang
menciptakan gegeran itu sendiri. itulah renik-pernik, centang-perenang yang
mendasari mengapa buku Geger Talangsari ini terbit dan mengapa kini ada di
tangan Anda.

Menyoal Angka
Buku ini, sekaligus merupakan jawaban saya, untuk berbagai pertanyaan
seputar teka-teki Peristiwa Lampung 1989 dan permasalahannya. Yang menarik
dari Peristiwa Lampung ialah pertanyaan tentang berapakah jumlah korban
Talangsari, baik yang hidup maupun yang sudah pupus. Siapa yang membunuh
mereka, bagaimana cara membunuhnya, alatnya, saksinya, waktunya dan seabreg
pertanyaan lain yang tak henti-henti ingin diketahui orang.

Oleh sebab itu, ketika ada segelintir orang meneriak- kan angka,jumlah
korban peristiwa Talangsari, beberapa media masa berebut menayangkan temuan
tersebut. Tak seorang pun bertanya, dari mana asal angka itu, bagai- mana
cara mendapatkannya dan menggunakan tolok ukur apa, sehingga angka itu
muncul.

Bagian 1 - Senjakala Lampung Tengah

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 4

SENJAKALA LAMPUNG TENGAH


Tonggak Sejarah

LAMPUNG, 1989. Inilah daerah lumbung, gudang pangan bagi Sumatera, juga
seanteronya. Kesuburan alam disana adalah berkah bagi warga penghuninya. Tak
hanya beras dan palawija, tebu, tembakau, karet, coklat, kopi dan vanili
juga tumbuh merebak. Komoditas andalan sejak zaman dahulu adalah lada. Salah
satu jenis rempah, primadona pasar Eropa.

Ketika Portugis menduduki Malaka 1511, lada hitam Lampung menjadi rebutan.
Perselisihan dan silang-sengketa tak terelakkan. Bahkan palawija berwarna
hitam itu mengundang permusuhan antarmanusia, tak kenal bangsa.
Lampung-Portugis bertikai tak kenal hari. Perseteruan kian bertambah tinggi.
Balon peperangan pecah. Adu kekuatan berlangsung dua tahun: 1518-1520.
Lampung dibantu Palembang, menang. Portugis tunggang-langgang hingga
terjengkang. Sejak saat itu, Eropa tak berminat lagi menginjakkan kakinya ke
tanah penghasil lada di ujung Sumatera ini.

Hubungan dagang Lampung-Palembang mengembang, tetapi terhalang oleh


kesultanan Banten yang tak boleh diabaikan. Kesultanan Banten dan Palembang
memang tak pernah akur. Perdagangan lada yang membaik di Eropa, menjadikan
dua kesultanan ini kehilangan akal. Mereka melupakan norma-norma yang telah
ditanamkan oleh para leluhurnya melalui ajaran-ajaran agama. Padahal,
Lampung punya kepentingan terhadap dua kesultanan yang tengah bersitegang
itu.

Berabad tahun silam, Banten dan Lampung merupakan satu kesatuan wilayah,
tatkala Jawa dan Sumatera belum dibelah oleh amarah Krakatau yang me1egenda.
Itu sebabnya, meski Selat Sunda memisahkan daratannya, hubungan antar-kedua
daerah tak pemah berubah. Banyak penduduk Banten pindah ke wilayah itu
membuka huma, berladang di sana. Pengaruh Kesultanan Banten kian menguat
terhadap Lampung, setelah Fatahil1ah mempersunting Putri Sinar Alam, anak
Ratu Pugung (sekarang wilayah Jabung, Lampung Tengah).

Dari perkawinan ini lahir seorang anak bemama Hurairi yang kelak bemama Haji
Muhammad Zaka Wa1iul1ah Ratu Darah Putih, bergelar Minak Kejala Ratu. Dia
ini1ah pendiri Keratuan Darah Putih yang berpusat di Kauripan (termasuk
Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan) dan merupakan cikal bakal pejuang
Lampung yang terkenal, Raden Intan.

Sewaktu berlangsung perang Banten-Pa1embang pada 1596-1608, keberpihakan


Lampung terapung- apung di antara dua kepentingan. Sesama penghasil
lada,dengan bursa pemasaran di Palembang, hubungan Lampung-Pa1embang barus
baik. Namun perkawinan Putri Sinar Alam dengan Fatahillah penguasa Banten
juga tak boleh rusak. Dilema itu baru terpecahkan ketika Banten menyerang
Palembang. Perkawinan Banten-Lampung agaknya bernuansa politik Fatahillah,
untuk memperoleh dukungan Lampung.

Kesultanan Banten memang sudah lama mengkhawatirkan Palembang akan mengambil


alih perdagangan lada dari Lampung. Palembang memang sejak lama menjadi
salah satu bandar lada bagi Sumatera Selatan, Jambi, dan Bangka. Malah
diperkirakan Palembang akan memperluas pasokan lada dari Tulang Bawang di
Lampung. Bila dibiarkan, bisa membahayakan Banten. Sebab, selama ini Lampung
merupakan satu-satunya pemasok lada terbaik bagi Banten untuk konsumsi
Eropa.

Bandar Banten pada saat itu memang telah berkembang menjadi pelabuban dagang
penting di belahan Barat Nusantara. pedagang-pedagang Eropa dan Asia
melakukan pemasaran barang-barang mereka di pelabuban ini dan pulangnya
membawa basil bumi, seperti: lada, merica, pala, dan bahkan jahe serta
barang-barang lainnya.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 5

Sementara itu, VOC (Kompeni Dagang Belanda) yang tengah menjelajahi Asia
Tenggara berlabuh di Teluk Lampung untuk memantau perdagangan rempah di
sana. Perusahaan dagang Belanda itu kabarnya sudah lama mengincar komoditas
'emas hitam' nya Lampung. Kapal pertama singgah di sana dan menduduki Pulau
Sebesi 23 Agustus 1624. Tapi tak bertahan lama, kekacauan dan wabah penyakit
menolakkan kembali kapal mereka. Baru pada tahun 1661, Belanda datang lagi
dengan dua kapa1 yang lebih besar, berlabuh di Teluk Semangka.

VOC punya alasan mengapa tidak mendarat di pelabuhan Banten dan bemiaga di
bandar itu. Harga lada di Banten saat itu 15 Teals, padahal jika dibeli di
Lampung-daerah asa1nya, cuma seharga 7 sampai 9 Teals saja. Alasan seperti
inilah yang membuat pedagang Eropa tak berhubungan langsung dengan Banten
dan lebih memilih berlabuh di Lampung.

Namun, untuk langsung berdagang di sana, tidak mudah. Pengaruh kesultanan


Banten yang sudah lama terjalin akrab menjadi penghalang. Lebih-Iebih
setelah Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Banten. Hubungan Lampung-Banten
seperti tak bisa dipisahkan. Tentu saja ini menyulitkan dan mengganjal
keinginan Kompeni menguasai Lampung. Bahkan Belanda semakin yakin tidak
mungkin bisa menguasai Lampung tanpa menundukkan Banten, terlebih-lebih
setelah permintaannya untuk mendirikan pelabuhan kecil di Lampung ditolak
keras oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu Belanda menaruh kesumat dengan
penguasa Banten tersebut.

Dari Kesultanan Banten diperoleh kabar, ada konflik antara Tirtayasa dengan
Sultan Haji, putranya sendiri yang sedang berselisih paham. Belanda
cepat-cepat menemui Sultan Haji dan menghasut agar segera mengambil alih
kekuasaan. Pengaruh VOC ditelan mentah oleh anak durhaka itu. Dengan bantuan
Belanda. Sultan Haji membunuh orang tuanya. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa
tewas, ia mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten, menggantikan sang ayah.

Sebagai imbalan, VOC mendapat hak monopoli atas perdagangan lada. Sejak saat
itu, Lampung-negeri tempat lahir Raden Intan silih berganti menjadi wilayah
eksplorasi dan eksploitasi VOC, Belanda, Inggris, dan kembali lagi ke tangan
Belanda sampai Jepang mendudukinya tahun 1942. Selama kurun itu, perlawanan
para petani dan ontran-ontran rakyat senantiasa mewamai Bumi Ruwa Jurai,
Lampung.

Perlawanan Raden Intan.


Ada perlawanan melegenda. Raden Intan dan pewarisnya membuat ontran-ontran.
Raja Negararatu di dekat Kalianda itu menampik perlakuan Belanda
yangsemena-mena. Sebagaibangsawan yang memiliki darah Fatahillah, pendiri
Banten, Raden Intan tak bisa diam. la kemudian mbalelo dan terang-terangan
menabtih genderang perang.

Pertarungan demi pertarungan meletup. Korban kedua belab pibak berjatuhan.


Di mana-mana rakyat bicara tentang perlawanan. Mereka sibuk dengan senjata
terapang, badik, beladau, penduk, dan payan. Cangkul dan sabit mereka
tinggalkan. Sawah dan ladang terabaikan. Musim tuai pun tak memberi basil
yang berarti. Tak banyak petani, Kompeni juga rugi. Akhimya, Belanda
melakukan perdamaian. Kekuasaan Raden Intan dipulihkan. Bahkan beliau berhak
menerima pensiunan dari Belanda.

Untuk menjaga keselamatan rakyatnya, tawaran itu diterima. Namun sebagai


panutan, raja yang bergelar Dalom Kusuma Ratu IV itu pantang mengkhianati
aspirasi arus bawah. Diam-diam ia mengatur perlawan rakyat di berbagai
tempat, sementara dirinya berdamai dengan Kompeni. Namun, taktik dua muka
itu tak ber tahan lama. Belanda tak mudah dikecoh, dia cepat mengendus
gelagat sang pangeran. Segera serdadu dikerahkan untuk menangkap sang
pemimpin yang saat itu sedang sakit. Dengan siasat pura-pura menyerah, raja
Negararatu itu mempersilahkan serdadu Belanda beristirahat. Sementara

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 6

serdadu terlelap, ia memerintahkan anak buahnya agar mengatur siasat


penyergapan. Pada 13 Desember 1825, pertempuran pecah. Dalam bentrokan itu
komandan pasukan Belanda, Lelievre, tewas. Operasi penangkapan Raden Intan I
gaga1 total.

Tigatahun kemudian (1828), Raden Intan wafat. Dia digantikan putranya, Raden
Irnba II gelar Kusuma Ratu (1828-1834). Raden Imba tetap melanjutkan
semangat perjuangan ayahandanya. Raja muda ini berhasil menanarnkan pengaruh
ke raja-raja dan sultan-sultan lainnya untuk melawan. Belanda merasa
terancam. Asisten Residen Dubois, dalarn suratnya kepada Gubemur Jenderal,
menganjurkan agar segera menumpas kekuatan kepala-kepala suku di Lampung dan
menangkapRaden Imba II.

Maka tahun l832, sebuah kapal perang dan tiga kapal penjelajah berkekuatan
300 orang serdadu Belanda, dibantu 100 orang narapidana, menyerang Lampung.
Penyerangan ini sia-sia, malah Kapten Hoffman, komandan perangnya, hanya
pulang nama. Belanda kesetanan dan marah besar. Hatinya bagaikan api, tak
sabar dan segera mengadakan penyerangan berikutnya dengan kekuatan yang
lebih besar. Namun yang ini pun kecewa, karena tak menghasilkan apa-apa.
Belanda kembali ke barak dengan tangan hampa, tanpa membawa Raden Imba.

Belanda kian sasar dan hatinya penasaran. Penyerangan yang ketiga dimulai 25
September 1834. Kal ini serangan dipimpin Kolonel Elout dengan 21 opsir yang
berpengalaman. Belanda menurunkan 800 serdadu istimewa, dilengkapi senjata
yang lebih besar. Meriam-meriam besar dan kecil dibawa serta untuk menumpas
Raja muda di Negararatu itu. Penumpasan itu memakan waktu lebih dari satu
bulan dan berhasil merebut benteng Raja Gepah meskipun tetap tak berhasil
menangkap Raden Imba II yang bisa meloloskan diri dengan meminta bantuan
Raja Lingga. Sayang, penguasa Lingga itu berkhianat. Raja penjilat kompeni
tersebut menyerahkan tokoh pujaan Lampung ke tangan Belanda. Raden Imba
dibawa ke Batavia kemudian dibuang ke Pulau Timor hingga ajal1838.

Meski Belanda berhasil membasmi sang pahlawan, semangat perlawanan rakyat


Lampung terhadap penjajah tak pemah menggantung. Putra Raden Imba II,
menggantikan kedudukannya melanjutkan jihad melawan Belanda. Putra mahkota
ini kelak dinobatkan sebagai Raden Intan II. Dia kemudian menghiasi perang
panjang Belanda-Lampung, berlangsung hingga 1856 sampai kepemimpinan
digantikan keturunan berikutnya.

Setelah perang panjang, pada 5 Oktober 1856 Raden lntan II masuk perangkap,
ketika memenuhi undangan Raden Ngerapat. Bersama seorang pengikutnya, dia
dicegat dan ditangkap oleh keparat. Di sana, di tangan Raden Ngerapat,
kusuma 'bangsa Lampung itu mati terhormat. Jenazahnya segera diusung ke
hadapan Toean Kolonel Waleson. Dua kiai ternama didatangkan untuk memberi
kesaksian. "Betoel Toean, ini Raden Intan, Allahu akbar" .

Gerilya rakyat tetap semangat meskipun pemimpinnya ditangkap. Pergerakan


mereka bagaikan angin yang menyelinap ke hutan-hutan pedalaman. Per lawanan
dari desa ke desa silih bermunculan. Namun, amarah rakyat sia-'sia
menghadapi organisasi militer Belanda yang sudah sangat terlatih. Setiap ada
ontran-ontran dan gegeran cepat ditumpas. Meskipun demikian, pemerintahan
kolonial tak pernah bisa tenang memerintah daerah penghasil rempah-rempah
itu.

Pada tahun 1890 ketika keadaan di Lampung benar - benar dianggap aman,
Belanda baru memutuskan untuk membuka perkebunan besar-besaran. Sampai pada
setengah abad kemudian, Jepang datang dan mengusir penjajah zalim itu,
hingga Indonesia merdeka.

Senjakala Lampung Tengah


Sernbi1an belas' tahun setelah Indonesia rnerdeka, Larnpung rnandiri sebagai
propinsi tersendiri (18 Maret .1964). Larnbang daerahnya berbentuk perisai
dengan unsur-unsur padi dan lada (hasil bumi), laduk, payan, golok dan
tombak (senjata tradisional), gong ( demokrasi), sigar (keagungan budaya),

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 7

dan payung jurai (tempal berteduh). Yang terakhir itu bermakna akomodatif,
siapa pun boleh datang dan berteduh serta berlindung di situ, suatu
kesadaran bahwa Bumi Lampung telah dihuni oleh penduduk pribumi dan
pendatang. Oleh karenanya, moto provinsi ini ialah Sang Bumi Ruwa Jurai.

Gubernur pertama Lampung, Kusno Danu Upoyo, cuma dua tahun menjabat
(1964-1966). Penggantinya berturut-turut adalah Zainal Abidin Pagaralam
(1966- 1973), R. Sutiyoso (1973-1978), Yasir Hadibrata (1978- 1988) yang
akhirnya digantikan oleh Poedjono Pranyoto. Baru setahun Poedjono menjadi
penguasa, di Lampung terjadi huru-hara dan tangisan duka anak manusia yang
berontak di kaki Gunung Balak. Persisnya, di Cihideung, dusun Talangsari
III, Way Jepara, Lampung Tengah.

Kabupaten Lampung Tergah seluas 9.189,5 kilo meter persegi, dengan Ibu kota
Metro, merupakan basis pangan bagi provinsi ini. Lebih dari 60 % kebutuhan
konsumsi di provinsi dipasok oleh Lampung Tengah. Selain padi, palawija, dan
hasil perkebunan lainnya, di Gunung Waja dan Sukadana -keduanya wilayah
Lampung Tengah- juga terdapat deposit besi yang cukup besar. Tak pelak,
banyak orang yang mengadu nasib ke wilayah paling ujung daratan Sumatera
itu. Gelombang pendatang yang terus membandang di tanah seberang itu, kian
mengundang orang-orang Jawa yang berpenghasilan kurang dan hidupnya
menyandang hutang, lantaran tanah pertanian mereka kian menyempit dan
menggersang.

Dengan demikian Lampung tak hanya daerah lumbung. la juga daerah kantung,
daerah tampungan bagi orang-orang buangan, baik yang terbuang karena
perilaku sosial J;naupun yang terlempar oleh kondisi ekonomi. Di sana mereka
aman dari kejaran hukum dan lilitan utang. Maka, apa yang mereka terima di
kawasan penghasil rempah dan palawija itu merupakan pilihan yang baik,
dibanding kehidupan sebelumnya.

Kehadiran para pendatang dari Jawa itu temyata semakin meningkat dan kian
membludak. Pada tahun 1922, terdapat 5.500 pendatang dari Jawa. Akan tetapi,
delapan tahun kemudian jumlahnya menjadi 33 ribu jiwa. Membanjirnya
pendatang ini menyebabkan orang-orang Jawa semakin menyelusup jauh ke
pedalaman wilayah yang masih dikuasai satwa gajah Sumatera ini. Lampung
Tengah mulai dirambah sejak 1935, terutama di daerah Metro. Bahkan pada
tahun 1941 di daerah ini lebih banyak pendatang dari pada penduduk aslinya.

Keberhasilan kaum pendatang menyebabkan pemerintah pusat melanjutkan


kebijakan transmigrasi di kawasan penghasil gula bagi Indonesia ini. Pada
mulanya sempat terjadi ketegangan antara pemerintah dengan penduduk asli.
Maklum, pemerintah pusat berkeinginan menempatkan orang-orangnya, para
birokrat pemerintahan tanpa mempedulikan kepentingan adat yang didukung oleh
putra-putra daerah. Sebagian besar tokoh masyarakat yang merasa ditinggalkan
oleh pemerintah pun meniup-niupkan suara, "Belanda saja memperhatikan adat
istiadat, masa pemerintahan sendiri membatasi?" Perang dingin pun mulai
semilir.

Ketegangan ini memuncak 20 Desember 1956 ketik, penduduk asli Sukadana di


dekat Way Jepara, Lampung Tengah, mengirim resolusi dan mosi ke pemerintah
pusat Dan akhimya, justru pada tahun 1959 pemerintah pusat tidak mengakui
eksistensi kepemimpinan adat. Keadaar kian memanas. Sikap pemerintah itu
mencerminkan dukungan terhadap program transrnigrasi yang merupakar
kesinambungan dari kolonisasi yang dinilai luar biasa, efektivitasnya.

Pemerintah saat itu memang rapuh. Kabinetnya, bongkar pasang dan silih
berganti. Ketidakpuasan kelompok aspirator NII (Negara Islam Indonesia) pun
merebak di mana-mana dengan kekuatan bersenjatanya, yakni TII (Tentara Islam
Indonesia) dan gerakan Darul Islam. Pemerintah berusaha membungkarnnya
dengar kekerasan bersenjata dan mencap mereka sebaga pemberontak. Sementara
itu, kalangan militer yang terkena demobilisasi juga dikawatirkan akan
bergabung dengan pemberontak yang pengaruhnya cukup kuat d Jakarta dan Jawa

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 8

Barat.

Maka, untuk menangkal jangan sampai korban demobilisasi bergabung dengan


DI/TII, pemerintal meluncurkan program Biro Rekonstruksi Nasiona (BRN).
Untuk mengawasinya, Kementerian Pertahanan RI juga menggulirkan program
Korps Cadangan Nasional (KCN) yang beranggotakan militer aktif Umurnnya
mereka dikirim ke daerah terpencil di Sumatera Selatan, dengan maksud
menjadi pelopor pembangunan sekaligus membawa unsur keamanan.

Temyata di lapangan, program ini menyimpang dari rencana. Maka, pemerintah


terpaksa mengambil sejumlah kebijakan. Pada tahun 1956 daerah Lampung
rrengah dinyatakan tertutup untuk transmigrasi. Alasannya, sudah terlalu
padat jurnlah penduduknya.

Meski demikian, penduduk Jawa yang tergiur oleh cerita-cerita keberhasilan


para trasmigran, diam-diam merembes dan merambah ke hutan-hutan Lampung.
wilayah sasaran para transmigran swakarsa tersebut antara lain, kawasan
hutan lindung Gunung Balak karena kesuburan tanahnya. Maka sejak 1960
kawasan cagar alam seluas 20 ribu hektar sudah dirambah pendatang yang
tersebar di 1 desa baru, dengan jumlah sekitar seratus ribu jiwa (1970).

Upaya pemerintah untuk reboisasi hutan lindung dan memindahkan para


'muhajirin' sia-sia. Penduduk bersikeras tak mau pergi. Mereka rela mati
demi tanah yang telah mereka ugeri. Sejengkal tanah, sejari bumi, akan
mereka pertahankan sampai titik darah penghabisan. Maka, ketika aparat
pamong praja datang, penduduk pun "menghunus pedang dan parang. Akhimya
suara tong-tongan berkumandang, " Ono rojo pati, ...ono rojo pati, " bisik
dari mulut ke mulut. Pembunuhan telah terjadi.

Akhimya Pemerintah Daerah merasa perlu mengakomodasikan aspirasi para


pendatang yang telah turut, meningkatkan pendapatan daerah itu. Ketiga belas
desa transmigran spontan dan swakarsa, resmi disahkan menjadi desa
persiapan. Gubemur Lampung waktu itu R. Sutiyoso, tergopoh-gopoh
mengeluarkan Surat Keputusan membentuk Kecamatan Gunung Balak dan
melegalisir desa-desa baru tersebut (1974).

Beberapa tahun kemudian keputusan itu ditinjau ulang malahan dibatalkan


karena banjir bandang melanda Lampung. Waduk Way Jepara dangkal akibat
penggundulan hutan lindung. Padahal proyek irigasi itu mampu mengairi 22.000
hektar sawah di sana. Penghijauan kembali harus dilakukan dan para perambah
hutan harus dipindahkan, sukarela atau terpaksa.

Meskipun teramat sangat alot dan memakan perundingan yang berkepanjangan,


toh, akhirnya penghuni Gunung Balak bersedia dipindahkan ke Lampung Utara.
ltu pun dengan mengerahkan TNI-AD ( waktu itu ABRI) yang turut membantu
mempersiapkan lahan bagi mereka (1986). Tetapi sekitar seribu keluarga masih
bertahan karena menunggu selesai panen. Namun, biar sudah sekian kali musim
tuai, mereka tak kunjung pergi. Sebaliknya, pendatang baru terus menyelusuk
masuk ke wilayah Gunung Balak yang telah diputuskan untuk dikosongkan itu.
Kian lama jurnlah mereka kian meruah.

Pemerintah tak sabar. Peringatan demi peringatan tak mereka hiraukan.


Akhimya pada 19 November 1988 dilakukan operasi, melibatkan puluhan petugas.
Rumah-rumah harus dibongkar. Penghuninya dipaksa meninggalkan pemukiman.
Yang bertahan "diamankan". Pondok-pondok dan bangunan yang ada dirobohkan,
malah, kalau perlu, dibakar. Konon, ada sekitar seribu hunian terkena
operasi 'kemanusian' yang oleh penduduk diartikan 'pembinasaan'.

Maka, Kecamatan Grinung Balak tak pemah tegak. Peta almanak Lampung batal
menampung wilayah administrasi yang baru dipersiapkan itu. Sebaliknya,
petugas mengharu biru penduduk. Pondok-pondok dan bangunan yang susah payah
mereka dirikan harus dirobohkan dan dimusnahkan, sampai rata mencium tanah.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 9

Inilah awal dendam, mengapa rakyat pedalaman, membenci aparat pemerintah.


Maka ketika ada orang yang dengan lantang menyatakan bahwa pemerintah telah
zalim dan PancasiIa tidak sah, rakyat pun gegap, gempita menyambutnya.

Ada dendam di Lampung Tengah. Anak -anak tak lagi berlari-lari dengan tawa
jenaka. para Ibu tak tampak seperti biasa, menghabiskan sisa senja dengan
celoteh, remeh. Sebaliknya, kesumat melekat di mana-mana. Dendam di dada
menumbuhkan gregetan. Ontran-ontran dan gegeran, sewaktu-waktu bisa
terulang. Tembang megatruh kenestapaan mulai dilantunkan. Kecerah-ceriaan
kian meredup, menggulung matahari yang nyaris terkatup. ltulah gambaran
Lampung Tengah, di mana, Cihideung bersimpuh pada tengara 1989.

Bagian 2 - Babad Talangsari


BABAD TALANGSARI III
Puisi Gegeran

AMARTA adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem, karto
raharjo, maksudnya ialah negeri yang kaya raya, tenteram, dan sejahtera.
Penghuninya hidup dalam keadaan yang serba ada, segalanya mudah dan semuanya
bisa. Tentu ini hanya ada di dunia para dalang, yang sedang menggambarkan
tentang kejayaan negeri bayang-bayang, yakni, negeri yang penghuninya
mendapat jaminan dan perlindungan tidak hanya dari penguasa, tetapi juga
alam sekitarnya.

Dalam bayangan penulis, semasa kecil, gambaran para dalang itu sesungguhnya
menceritakan dunia nyata tentang jawa, orang-orangnya, suasananya, juga
kehidupannya. Negeri Amarto[a] yang digambarkan dengan setting Jawa, tiada
lain ialah Tanah Jawa, di indonesia. Gambaran yang cukup sederhana, terutama
bagi seorang yang hanya tahu tentang wayang di masa kecilnya.

Tetapi mungkin saja, Jawa dulu dan Jawa sekarang berbeda. Sebagian
penduduknya sudah banyak yang menyeberang, melanglang ke negeri orang,
mening- ga1kan Jawa yang tak lagi "gemah ripah lohjinawi, toto tentrem dan
karto raharjo". Jawa masa lalu tinggal kenangan, masa kini ditinggal orang.
.

Sukidi (40 th. ) agaknya bukan mewakili J awa masa lalu. Kini, dia telah
berada di negeri Sang Bumi Ruwa Jurai, Lampung, meninggalkan Jawa, 28 tahun
sudah, mengikuti jejak para transmigran. Cukup mapan dia, setidaknya bila
dibanding dengan kehidupan ~asa la1unya di Jawa yang semakin tak memberi
harapan. Di sini, di Dusun Talangsari III, Kec. Way Jepara, Lampung Tengah,
Sukidi cukup punya harkat, martabat dan derajat. Dia diho~ati, ma1ahan
djangkat menj~di tokoh masyarakat.
Awalnya, dengan berbekal sebongkah harapan, Sukidi melangkah dari
Banyuwangi, Jawa Timur, menuju ~ampung. Kala itu, tahun 1972, pada saat bumi
Lampung masih belum ¥epenuhan transmigian, Sukidi menepis pandangan; "makan
nggak ~akan, asal kumpul", menjadi "kumpul nggak kumpul, asal makan". Dengan
semangat bulat, ia berangkat, menuju Way Jepara di Lampung Tengah,
meninggalkan sanak kadang dan handai taulan.

Way Jepara adalah satu dari 23 Kecamatan yang a4a di Lampung Tengah. Daerah
seluas 240 km2 ini mempunyai 20 kelurahan dan: sekitar 80 ribu jiwc;1,
berdasarkan sensus tahun 1989. Dari 20 kelurahan itu, satu di antaranya
bemama Rajabasa Lama. Di Kelurahan Rajabasa lama inilah, Talangsari III,
sebuah dusun kecil itu berada. Agaknya dusun yang luasnya cuma 40 hektar ini
tak akan dikenal orang kalau saja tak terjadi gegeran antara anak manusia
yang menghebohkan itu. Talangsari juga tak bakal disebut jika tak ada
kelompok yang membadut menantang pemerintah, mencerca kebijakan dan
mengumbar kejahatan. Sulit dipercaya, tetapi ini nyata.

Babat Alas

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 10

Way Jepara saat Sukidi datang tahun 1972, tentu saja tidak sama dengan Way
Jepara masa kini. Pada saat itu, Way Jepara masih merupakan kawasan hutan
yang tak setiap jengkal tanah mampu dljamah orang. Masih banyak hutan yang
dijadikan istana hewan buruan, Untuk mengubah hutan menjadi hunian, tidak
sembarang orang boleh mengatakan gampang. Hanya orang-orang pilihan dan
tahan ujian yang mampu melakukannya.

Sukidi membabat alas Talangsari, setelah menemukan lokasi yang cocok untuk
dijadikan daerah hunian. Di suatu kawasan yang penuh dengan pohon durian,
Sukidi tertarik untuk menjadikannya tempat tinggal. Dalam bayangan Sukidi,
tempat inilah yang kelak akan menjadi daerah terbaik. Alasannya, selain
suhur, daerah tersebut memiliki unsur tanah merah dan tidak berpasir,
sebagaimana umumnya tanah di Lampung.

Orang Banyuwangi ini segera mencari tahu pemilik tanah. Dari kantor desa
diperoleh kahar, tanah pilihan Sukidi tersebut, temyata milik Amir Puspa
Mega, kepala desa Rajabasa Lama,penduduk asli yang dikenal banyak memiliki
harta peninggalan keluarga. Amir puspa segera akur dengan Sukidi yang
berminat ingin mengolah lahan perawan itu.

Bersama Sudjarwo dan Ngatidjan? teman seperjuangannya, Sukidi mulai menebang


hutan menyiapkan daerah hunian. Pohon kecil, pohon besar ditumbangkan,
belantara menjadi terang. Sepetak dijadikan pemukiman, sepetak lainnya
dijadikan lahan pertanian. Dalam sejarah Talangsari, ketiga orang inilah
yang dianggap sebagai cikal bakal lahimya sebuah perkampungan yang kelak
bemama Dusun Talangsari III.

Cihideung
Membabat alas tidaklah mudah. Hanya pekerja keras dan bermata awas .yang
bisa melakukan pekerjaan ini. tidak semua orang punya kemampuan seperti
mereka. tak cuma cerita, sudah banyak orang melakukan pekerjaan yang sama,
tetapi kandas tak membawa hasil. Cerita tentang cikal bakal Cihideung, dusun
satu agar dengan Talangsari misalnya, punya pengalaman menarik. Konon,
beberapa waktu sebelum Sukidi membabat kebon duren Talangsari, ada
sekelompok orang yang juga ingin menjadikan kawasan perawan untuk dijadikan
hunian. Tanpa sebab yang jelas, mereka meninggalkan kawasan itu setelah
sempat memberi nama Cihideung. Kabarnya, orang-orang tersebut berasal dari
daerah pasundan, Jawa Barat.

Pembukaan Cihideung kemudian dilanjutkan penduduk setempat, tetapi juga


gagal dan akhirnya ditinggal. Kurang lebih dua tahun setelah Sukidi bekerja
keras membuka kebon duren Talangsari, datang rombongan baru meneruskan
pembukaan kawasan Cihideung. Kali ini tiada aral, mereka berhasil dan
menjadikannya tempat hunian dengan nama yang sama, Cihideung. Mereka itu
ialah keluarga Jayus, yang mengaku berasal dari daerah asal Sukidi,
Banyuwangi.

Membuka hutan seperti ini sudah lazim bagi orang-orang Jawa yang datang ke
Lampung. Cara demikian dianggap paling menguntungkan kedua belah pihak.
Pemilik tanah diuntungkan karena tanah mereka menjadi punya nilai ekonomis,
bisa menjadi lahan pertanian atau lahan perkebunan dan bila dijual harganya
tidak serendah manakala masih menjadi hutan belantara.

Bagi pengolah tanah juga untung. Tanpa harus mengeluarkan uang, dia bebas
menggarap tanah seperti milik sendiri. Penggarap akan membagi hasil panen,
hanya bila tanah tersebut menghasilkan sesuatu.

Kondisi seperti itulah yang dialami Sukidi dan teman-temannya. Malah, mereka
punya kesempatan rnembeli sebagian lahan yang mereka garap itu. Amir Puspa
Mega menawarkannya dengan cara cicilan, seberapa Sukidi mampu. Dengan cara
inilah Sukidi bersama teman-temannya kini memiliki beberapa hektar tanah
impiannya. Pada kenyataannya, tanah Amir Puspa seluas kurang lebih 25
hektar, hanya tinggal 6 hektar yang belum terbeli oleh Sukidi dan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 11

kawan-kawannya, yang kini menjadi warga Talangsari III.

Untuk bisa memiliki tanah garapan, Sukidi bersama teman-temannya membeli


dengan cara patungan. Misalnya, satu hektar seharga Rp30.000,00 dirombong
oleh 30 orang. Berarti satu orang hanya dikenakan .Rp 1000 saja. Tetapi,
tanahnya tidak langsung dibagi. Tunggu dulu, sampai bisa membeli secara agak
lebih luas agar bisa dibagi rata sesuai tabungan masing-masing yang tercatat
dalam buku Sukidi.

Tanah Amir Puspa tergolong baik. Ciri-cirinya berwarna merah kehitaman, tak
berpasir, Dibanding tanah merah, tanah berpasir lebih murah, cuma
Rp10.000,00 per hektar. Bagi Sukidi, mengeluarkan sejumlah uang untuk
membeli tanah bukan perkara gampang. Pada zaman itu, kehidupan sulit
mendera. seluruh rakyat. Orang cuma berpeluang untuk mengisi perut.

Sukidi bersama teman-temannya, pergi dari kampung ke kampung untuk menjadi


buruh cangkul di ladang- ladang penduduk agar memperoleh upah. Waktu 3 hari
untuk buruh cangkul.dan 4 hari untuk bekerja di lahan Amir Puspa. Kala
mendapat uang Rp 100,00 separuh ditabung, separuh lainnya dibelikan
macam-macam kebutuhan pokok. Misalnya, minyak tanah dan gaplek. Gaplek
itulah bahan makanan pokok mereka sehari-hari.

Makan Tiwul
Bagi Sukidi, tiwul merupakan makanan utama, sumber tenaga untuk menjalani
aktivitas kehidupannya sehari-hari. Nasi olahan dari gaplek ini mereka
namakan nasi uleng. Cara membuatnya sederhana. Gaplek kering direndam,
kemudian ditumbuk hingga menjadi tepung, lalu dijemur. Tepung gaplek ini
dimasak dengan campuran kacang-kacangan dan sedikit beras untuk menambah
rasa nikmat. Olahan bahan seperti inilah yang disebut nasi uleng.

Cara hidup seperti ini umumnya juga. ditiru oleh pengikut Sukidi lainnya.
Pada awalnya pengikut Sukidi hanya 3 orang, setelah 28 tahun, jumlah
penduduk Sukidi sudah lebih dari 100 KK.

Tukar Wilayah
Ini kisah nyata dua kelurahan, Rajabasa Lama dan Pelabuhan Ratu, saling
tukar wilayah. Alasannya? Ada satu dusun milik Rajabasa Lama, letaknya jauh
dan justru mendekat ke Pelabuhan Ratu. Sebaliknya, ada satu dusun milik
Pelabuhan Ratu, letaknya dekat ke Rajabasa Lama.
Dusun Umbul Kacang, milik Rajabasa Lama, tempatnya menjauh, sekitar 25 km
dari kelurahan induknya, lebih dekat ke Pelabuhan Ratu. Bila hendak ke Umbul
Kacang, para petugas sering melewati beberapa wilayah Pelabuhan Ratu yang
cenderung mendekat ke Desa Rajabasa Lama. Demikian halnya bagi Kelurahan
Pelabuhan Ratu yang mempunyai wilayah sangat jauh dari Kantor Desa. Wilayah
itu bemama Dusun Cihideung yang berbatasan langsung dengan Dusun Kebon Duren
Sukidi, di kelurahan Rajabasa Lama.

Akibat lokasi yang jauh, para petugas kelurahan merasa sulit jika
mengunjungi dusunnya masing-masing. Maka untuk memudahkan administrasi dan
pengawasan, pimpinan kedua kelurahan itu bersepakat tukar wilayah.
Kesepakatan tukar wilayah tersebut berlangsung pada Juli 1988. Umbul Kacang
ikut Pelabuhan Ratu dan Cihideung menjadi milik Rajabasa Lama.

Cihideung dan Kebon Duren letaknya bergandengan, bahkan berbatasan satu


pagar. Masyarakat Rajabasa Lama berunding, mereka sepakat, kedua wilayah
kecil itu digulung menjadi satu. Gabungan dua wilayah itulah yang kemudian
menjadi satu dusun bemama Talangsari III. Dengan adanya kejadian itu,
sesungguhnya Cihideung tinggal nama dan Kebon Duren tinggal cerita.

Talangsari III

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 12

Kalau saja Amir Puspa Mega, orang asli Lampung itu tidak ngotot memutuskan
sebuah nama Talangsari, untuk semua wilayah yang berada di sisi Selatan
Jalan Propinsi yang melintas di wilayahnya, mungkin wilayah itu sudah
bernama. salah satu nama daerah yang ada di Banyuwangi. Pasalnya, sangat
jarang perintis hunian baru di Lampung tidak membawa serta nama kampungnya
ke wilayah rintisan.

Oleh sebab itu, tak perlu heran bila tanah Lampung bagaikan tanah Jawa yang
dipindah, tidak hanya orang- orangnya, tetapi juga kampung halamann:ya. Di
Lampung ada Pekalongan, ada Blambangan, ada juga Sukoharjo dan Wanosobo,
malahan di Lampung Tengah ada kecamatan yang bernama Surabaya. Mungkin pada
suatu ketika akan ada dusun yang bemama Jakarta, boleh jadi.

Talangsari III, sebuah nama permintaan Amir Puspa Mega pada saat menjabat
Kepala Desa. Bagi orang
Lampung, kata talang dan umbul bukan hal baru. Ada beberapa wilayah yang
bernama umbul, misalnya Umbul Puk atau Umbul Hujan Mas di Pakuan Aji.
Mungkin masih lebih banyak lagi nama-nama serupa yang belum terdaftar.

Bila ada beberapa rumah yang mengelompok terdiri dari 5 atau 6 rumah di
peladangan, maka kelompok hunian itu disebut umbul. Dan bila beberapa umbul
itu bertambah, maka dengan sendirinya menjadi talang. Kumpulan talang itulah
yang disebut dusun, cikal bakal sebuah desa. Jadi, Talangsari III adalah
urutan dari nama Talangsari I, Talangsari II yang sudah ada jauh sebelum
Sukidi membuka kebon durian Amir Puspa Mega.

Talangsari III adalah gabungan dua dusun dari dua kelurahan yahg berbeda.
Dusun seluas lebih kurang 40 hektar itu mirip pulau kecil. la dikelilingi
sebuah kali bemama Sungai Beringin melingkari wilayah penghasil coklat
terbaik di daerah itu. Untuk mendatangi "dusun pulau" ini, dihubungkan oleh
lima jembatan yang melintas sungai selebar sekitar dua. setengah meter.
Jembatan-jembatan itulah yang dahulu dirusak oleh gerombolan Warsidi, untuk
menyiasati aparat agar terhalang datang.

Pada mulanya masing-masing punya otoritas dan kewibawaan. Penggabungan itu


baru terjadi sekitar 4 bulan sebelum huru-hara meletus. Secara administrasi
mungkin tak ada masalah. Tetapi secara sosial, tampaknya ada yang
mengganjal, terutama bagi orang-orang tertentu yang kemudian merasa
kehilangan hak martabat kewilayahan, setelah harus bergabung satu nama
menjadi Talangsari III. Apalagi di bawah komando Sukidi yang mereka kenal
sebagai orang yang biasa-biasa saja. Agaknya, masalah ini juga menjadi
pemicu, mengapa Warsidi tak menggubris ketika Sukidi meminta surat-surat
administrasi kelengkapan diri.

Namun sebagai kepala dusun, Sukidi tetap menjalankan fungsinya. Dia mulai
mendata administrasi dusun. Data penduduk, surat-surat kepemilikan tanah dan
segala kegiatan warga mulai didaftar, termasuk menyoal kehadiran Warsidi dan
kelompoknya yang belum melaporkan identitas diri kepada pamong.

Tetapi baru dua atau tiga bulan menjalankan kegiatan, Sukidi mendapat
gangguan dan perlawanan. Berbagai perilaku aneh yang tak lazim
dipertontonkan pada Sukidi. Sikap kurang bersahabat dan mengesankan
permusuhan juga diembuskan oleh Warsidi dan kelompoknya. Sukidi risih dan
sangat bersedih tatkala menyadari bahwa Warsidi semakin tak terkendali. Api
benci mulai dinyalakan. Di dalam dada mereka, hanya ada satu kalimat,.
sumpah serapah dan caci maki yang jauh dari berserah diri.

Bagian 3 - Kronologi Gegeran


GEGER TALANGSARI
Kronologi Gegeran

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 13

PERJALANAN waktu tak mampu dijangkau bahkan oleh Sukidi sekalipun. Pria
setengah baya, Kepala Dusun Talangsari III, way Jepara, Lampung Tengah itu
ketenangannya tiba-tiba terusik oleh tamu misterius. tamu tersebut datang
bersama kelompoknya, tanpa assalamu 'alaikum kepada tuan rumah. Padahal
mereka tidak sekadar bertamu, malah kemudian menetap.

Merasa dilecehkan, Sukidi mengingatkan tamunya. Namun ia segera mendapat


jawaban yang sama sekali tak ia mengerti. "Ini bumi Allah, hanya kepada
Allah, kita menghormat", jawab sang tamu menggurui. Merasa dilecehkan,
Sukidi mengingatkan tamunya. Namun, ia segera mendapat jawaban yang sama
sekali tak ia mengerti. "Ini burni Allah, hanya kepada Allah, kita
menghormat", jawab sang tamu menggurui. Belakangan Sukidi baru mengetahui
bahwa tamu misterius itu, bernama War, Anwar, atau Warsidi alias Anwar
Warsidi, seorang yang ditokohkan menjadi pemimpin kelompok pengajian
bern"ama Jama'ah .Mujahiddin Fisabilillah.

Kelompok Kecil
Kelompok Warsidi di Talangsari punya kaitan historis dengan kelompok kecil
yang ada di Jakarta Kabarnya, yang inembidani kelompok kecil Jakarta itu
ialah Nurhidayat, Ahmad Fauzi, Wahidin, dan Sudarsono. ,Serpihan pemuda
tanggung yang tengah menggebu belajar agama ini, hatinya tak tentram ketika
melihat hukum di Indonesia tak lagi ditegakkan berdasar Islam.

Mereka merasakan ada kezaliman yang telah merusak bangsa dai1 negaranya.
Oleh karena itu, hukum Islam harus ditegakkan. Caranya? Mula-mula harus
merapikan barisan atau saf. Kemudian berjamaah, menggalang kekuatan hingga
menjadi bangunan yang kokoh. Ibarat pohon yang akarnya menghujam ke bumi,
tak mudah tercerabut oleh tiupan-tiupan angin besar atau kecil.

Dari jamaah tersebut, berkembanglah keinginan membuat perkampungan muslim,


yang bebas dari campur tangan penguasa zalim. Di sanalah mereka akan tenang
menjalankan perintah agama dengan baik. Inilah embrio terwujudnya mimpi
besar, tegaknya Negara . Islam di Indonesia-tegaknya NII, yang senantiasa
ingin. dihidup-hidupkan oleh pendukung serta simpatisannya.

Untuk mewujudkan mimpinya, kelompok Jakarta ini memberlakukan doktrin tiga


tahap. Pertama, mentakfirkan selain dia. Artinya, bagi yang tidak mengikuti
hukum Allah, kafir. Termasuk ulama sekalipun, bila menghalangi mereka dalam
menegakkan hukum Allah, halal darahnya. Kedua, menolak Pancasila sebagai
azas. Alasanya, pemerintah dengan Pancasilanya telah menjauhkan umat dari
perilaku Islam. Ketiga, puasa.selang-seling selama 40 hari, membaca wirid
dan salat ma1am berjamaah supaya jiwanya siap menjadi syahid.

Bagi yang lulus menyelesaikan doktrin tahap ini, berhak hijrah ke Lampung
bergabung dengan Warsidi. Dari mereka, Ulama Jamaah Mujahiddin Fisabilillah
lahir dari mereka pula peristiwa berdarah itu ditabur.

Warsidi Tak Terkendali


Setelah kelompok Jakarta bergabung, suara Warsidi makin nyaring. Masyarakat
setempat menggambarkan, perilaku Anwar Warsidi dan kelompoknya semakin tak
terkendali. Setiap khotbahnya selalu menyalakan api permusuhan, menentang
pemerintah dan mencerca Pancasila. Pemerintah dikatakannya sebagai
orang-orang kafir yang kerjanya cuma mengkorup uang rakyat. Oleh sebab itu,
haram hukumnya memakan uang gaji dari pegawai negeri. Dengan sendirinya,
juga tak perlu membayar pajak, apalagi wajib.

Pemah Sukidi mengajak gotong-royong mengeras- kan jalan desa. " Qur 'an tak
mengajarkan orang gotong-royong", jawab mereka segera. Ajakan siskamling pun
mendapat jawaban serupa sehingga sangat tak di- mengerti banyak orang,
termasuk alasan, mengapa mengambil tanaman penduduk tanpa izin.

Sejak itu, masyarakat menjadi tak tenang. Hari-hari mereka dilalui dengan
resah dan ketakutan, setelah sejumlah anak buah Warsidi mendatangi Sukidi
dengan membawa-bawa golok dan pedang. Tanda-tanda perang mulai digelar.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 14

Sebagian penduduk, satu demi satu meninggalkan harta miliknya, mengungsi.


Termasuk keluarga Sukidi sudah pindah ke dusun lain, menjauhkan diri dari
tetor gerombolan.

Melihat ini, Sukidi tak kuat. la segera melaporkannya kepada Amir Puspa
Mega, Kepala Desa Rajabasa Lama, atasannya. Amir Puspa Mega bersama Sukidi
kemudian melanjutkan ke Kecamatan Way Jepara, melaporkan tabiat Anwar
Warsidi yang meresan banyak orang. Dari sinilah lolongan panjang gerombolan
Warsidi mulai terdengar. Malah, gaungnya memecah langit hingga ke negeri
seberang.

Tangisan duka Talangsari mulai didengungkan. Malapetaka itu menyisakan duka,


tidak saja bagi Warsidi dan pengikutnya, tetapi juga masyarakat desa yang
tak berdosa, sampai kini.

***

KRONOLOGI GEGERAN
Episode :
GUGURNYA KAPTEN SOETIMAN

ADA gegeran di ladang penduduk. seseorang uring-uringan. Harta miliknya


hilang. Serumpun bambu melayang. Pada suatu ketika di hari yang berbeda,
terdengar lagi suara orang-orang kehilangan kelapa. Bukan omong kosong
apalagi berita bohong, beberapa penduduk melapor, kali ini kehilangan
singkong.

Kabar angin itu benar-benar sampai ke telinga Sukidi. Sebagai kepala dusun,
dia tak bisa diam apalagi membisu. Sukidi menyelidik, membuka mata
lebar-lebar dan juga telinganya. Diperoleh kabar, ada warga baru di rumah
Jayus bertabiat tak lazim yang telah mengubah adat, boleh mengambil milik
orang tanpa izin. Serangkaian kejadian aneh itulah awal drama Talangsari III
dibeber.

Sang Kepala Dusun bertandang, menyelisik ke rumah Jayus. Benar, di sana


sudah nongol muka-muka baru yang tak jelas usul dan asalnya. Ketika ditanya
identitas, mereka mengelak. Anehnya mereka tidak memungkiri saat disinggung
soal tanaman penduduk. "Ini burni Allah, semua orang berhak menikmati",
celetuk salah seorang dari mereka. Celetukan itu temyata menjadi buah-bibir
dan masalah, tidak hanya bagi aparat, tetapi juga masyarakat, bahkan sampai
kini berkepanjangan.

Berikut ini urutan kejadian yang membawa petaka tersebut. Sengaja dituturkan
secara rinci, agar bisa memberi gambaran yang pas tentang peristiwa yang
dianggap menghebohkan bagi perjalanan politik di Indonesia itu. Data detail
tuturan seperti ini ternyata masih belum banyak terkuak dan diketahui
masyarakat luas, sehingga apa yang berkembang di masyarakat, seringkali
berbeda dengan fakta yang sebenarnya.
Tuturan ini berdasarkan fakta dan data lapangan yang berhasil dihimpun
langsung dari nara .sumber, baik berupa wawancara maupun dokumen asli.

***

KRONOLOGINYA

Rabu Wage,1l Januari 1989

1.. Sukidi dan Mansur mengirim surat kepada Amir Puspa Mega. Isinya: pada
puku1 20.00 (malam Jumat), Jayus warga Cihideung menerima tamu dari Jakarta,
sebanyak 15 orang, laki-laki dan perempuan.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 15

2.. Tamu-tamu tersebut hendak mengadakan pengajian hari Jumat dipimpin


seorang kiai bernama Pak War. Para pendatang itu tidak membawa identitas dan
tidak melapor kepada aparat setempat.
3.. Malah, kabarnya, pada Jumat berikutnya akan didatangkan lagi tamu-tamu
dari Malaysia.
Kamis Kliwon, 12 Januari 1989

1.. Pukul 10.00 (pagi hari). Berdasarkan laporan Sukidi, Amir Puspa Mega
mengirim surat kepada Zulkifli Maliki, Camat Way Jepara, tentang situasi
Cihideung. Di dalam amplop, dilampirkan surat Sukidi, yang melaporkan
situasi dusunnya.
2.. Pukul11.30 (menjelang Lohor). Hari itu juga, melalui surat, Zulkifli
memanggil Kepala Desa agar segera menghadap Camat Way Jepara, dengan
membawa: Jayus, Pak War, Mansur, dan Sukidi. Dalam surat panggilan itu,
Zulkifli memerintahkan kepala Desa harus segera menghentikan dan melarang
pengajian yang mendatangkan orang-orang dari luar daerah, apalagi tanpa
permsi kepada aparat setempat.

3.. Pukul 16.30 (bakda Asar). Beberapa menit setelah membaca surat dari
Camat, Warsidi segera mengirim jawaban berupa surat ketikan. Isinya ringan,
seperti tanpa beban.
"Yth. Bapak Camat Way Jepara di tempat.
Dengan hormat,
Bahwa surat yang kami terima, sudah kami ketahui isinya.
Perlu diketahui kami dalam kesibukan, dalam mengisi pengajian di berbagai
tempat.
Oleh sebab itu kami tidak bisa datangke Kantor Bapak.
Kami sebagai orang Islam yang sangat menjunjung tinggi Sunnatulloh dan
Sunnaturrosul dalam sebuah Hadist dikatakan:
SEBAIK-BAIKNYA UMARO IALAH YANG MEN- DATANGI ULAMA DAN SEBURUK-BURUKNYA
ULAMA YANG MENDATANGI UMARO.
Oleh karenanya kami mengharap kedatangan Bapak di tempat kami untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Demikian harap maklum ...
Semoga Allah memberi hidayahNya.
Hormat kami, Ttd.
( ...War ...)".-

4.. Zulkifli mengaku, seperti kena tampar ketika membaca surat Warsidi
yang isinya meminta dirinya yang datang dan bukan sebaliknya. la tak
menyangka, suratnya akan mendapat balasan seperti itu.
Jum'at Legi, 13 Januari 1989

1.. Pukul 15.00 Untuk memenuhi permintaan Warsidi, Zulkifli bersama


rombongan: Kades Rajabasa Lama, Kades Labuhan Ratu, Kadus Talangsari III,
Kadus Kelahang dan beberapa staf lain datang ke lokasi.

2.. Pada pertemuan itu, Zu1kifli mempertanyakan maksud hadis yang dikutip
Warsidi dalam suratnya. Kiai War tidak segera menjawab. Setelah mukanya
menoleh ke kiri dan ke kanan, beberapa pengikutnya curna menganggukkan
kepala. "Pokoknya itu ada di hadis", kata Warsidi kemudian.

3.. Zulkifli menggambarkan, pertemuan yang berlangsung satu jam di rumah


panggung itu tidak bersahabat dan menegangkan. Menurut Zulkifli, ada sekitar
30 orang di bangunan tersebut. Malah dari arah belakang, Zulkifli mendengar
seseorang berbisik: "Bunuh saja Camat itu".

4.. Sebelum pamit, Zulkifli mengundang Warsidi untuk menemuinya di kantor


Camat. Kabarnya, Kiai War berjanji akan memenuhi undangan itu, hari Sabtu,
14 Januari 1989.

Sabtu Pahing, 14 Januari 1989

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 16

1.. Pagi itu Zulkifli menunggu Kiai War dari Cihideung. Tetapi sampai
siang, bahkan hingga sore, Warsidi tak kunjung datang.

2.. Kiai War ingkar janji, bukan sementara, malahan selamanya.

Selasa Kliwon, 17 Januari 1989

1.. Dari Pesantren Al Islam, di Desa Labuhan Ratu I, terdengar kabar ada
seorang bemama Usman membuat gara-gara. Guru pesantren ini mengusir Kiai
Junaidi, pemilik Pesantren Al Islam yang pemah menolongnya, beberapa waktu
sebelumnya.

2.. Drama pengusiran terhadap tuan rumah ini berdampak panjang. Belakangan
diketahui, dari surat rahasia Usman, pengambilalihan pondok, ternyata ada
kaitannya dengan Warsidi yang sering mondar-mandir ke tempat itu.

3.. Usman, pria kerempeng kelahiran Semarang, 13 September 1960, punya


sejarah anti pemerintah. Pada tahun 1985, ia divonis Pengadilan Negeri
Sleman, Yogyakarta, 1 tahun penjara, karena menghina Presiden Soeharto.

4.. Ketika hendak diadili, dari mulutnya keluar kata-kata: "Saya tidak
percaya pengadilan berhala. Di Mahkamah Allah nanti kita buktikan siapa yang
benar", sanggah Usman di depan pengadilan.

5.. Selepas menjalani hukuman, Usman menghilang. Belakangan diketahui, dia


sudah ada di Pondok Al Islam, milik Kiai Junaidi yang ia kudeta itu.

6.. Bersama pengurus Yayasan Al Islam, Kades Labuhan Ratu I melaporkan


Usman ke kantor Camat Way Jepara, Lampung.

Jumat Kliwon, 27 Januari 1989

1.. Sepuluh hari setelah membaca surat dari Al Islam, Zulkifli melapor
kepada, Kapten Soetiman, Dan Rarnil Way Jepara.

2.. Dalam laporannya, Zulkifli meminta Soetiman agar segera memeriksa


Usman sekaligus memanggil Jayus berikut Anwar Warsidi, pemimpin kelompok
Mujahiddin Cihideung.

3.. Di dalam surat itu juga disebutkan bahwa Jayus dan Warsidi pemah
dipanggil Camat, tetapi tidak mau datang. Malah ia mengancam akan
membunuhnya, ketika rombongan Camat mendatangi markas mereka.

Sabtu Legi, 28 Januari 1989

1.. Darah Sang Kapten bergolak ketika mendapat laporan seperti itu. Hari
itu juga, Komandan Militer Way Jepara ini segera memangil Usman, Warsidi,dan
Jayus, melalui surat.

2.. Dalam suratnya, Kapten Soetiman memberi kelonggaran kepada mereka


sampai hari Rabu, 1 Februari 1989. Namun, Warsidi cs tetap tak datang, malah
menantang.

Rabu Kliwon, 1 Februari 1989

1.. Amir Puspa Mega, Lurah Rajabasa Lama, melapor kepada Soetiman tentang
kegiatan Warsidi.

2.. Menurut Lurah tersebut, Warsidi dan anak buahnya, semakin hari

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 17

menunjukkan kegiatan-kegiatan aneh, seperti belajar memanah, latihan


beladiri, dan merakit bahan peledak dari botol bekas minuman anggur

Kamis Legi, 2 Februari 1989

1.. Oleh Soetiman, informasi lurah tersebut segera dipalorkan ke Kodim


Metro, Ibu kota Lampung Tengah. Dari atasannya di Kodim, Soetiman mendapat
tugas memantau lokasi dan mengamankan situasi.
2.. Sementara itu, diam-diam, Sukidi menyelinap mendekat lokasi. Dari
balik semak, Sukidi melihat kejadian aneh. Ada sejumlah anak muda mengenakan
seragam pangsi hitam, dengan ikat kepala. Mereka bersenjata pedang, celurit,
golok, dan panah.
3.. Kejadian itu dilaporkan kepada Dan Ramil Soetiman.

Minggu Wage, 5 Februari 1989

1.. Soetiman tak mau kehilangan momentum. la segera memerintahkan 2 orang


anggotanya, Serma Dahlan dan Kopda A. Rahman menuju lokasi.
2.. Dua utusan itu menghubungi perangkat desa Baheram, Sukidi, Poniran,
dan Supar. Masing-masing sebagai Pamong, Kadus, RW, dan RT.
3.. Malam itu, sekitar pukul 23.30, mereka mendekat ke lokasi dan
menangkap 6 pemuda tanggung (satu lepas), yang dicurigai. Dari mereka,
disita sekarung anak.panah, 5 golok, 2 pedang, dan 2 born molotov.
4.. Mereka bernama Sardan bin Sakip (15 th.), Mujiono bin Sadik (15 th.),
Parman bin Bejo (19 th.), Sidik bin Japar (16 th.), Saroko bin Basir (16
th.). Seorang lagi benama Sadar alias Joko berhasil melarikan diri dalam
perjalanan menuju kantor Kelurahan.
5.. Parapemuda tanggung, berusia belasan tahun itu, mengaku berasal dari
Bandar Agung, Labuhan Maringgai, Lampung Tengah, kecuali Saroko, yang
mengaku berasal dari Teluk Betung.
6.. Setelah tak berhasil mengorek keterangan dari mereka, pihak kelurahan
segera mengangkutnya ke Koramil. Aparat Koramil pun tak berhasil
menginterogasi mereka. Kabarnya, mereka sangat teguh memegang sumpah
setianya untuk berdiam diri dan menutup mulut.
7.. Menjelang subuh, mereka kemudian dikirim ke Korem 043 GATAM, di Bandar
Lampung.

Senin Kliwon, 6 Februari 1989

1.. Pukul 01.00 ( dini hari) Warsidi terbelalak ketika mendengar


pengikutnya ditangkap. Kepada Fadhillah dia memerintahkan untuk merebut
kembali anak buahnya yang ditahan aparat. Malam itu juga, Fadhillah
berangkat dengan 12 orang pasukan terlatih. Segala kebutuhan dipersiapkan.
Golok, panah, dan peledak termasuk seperangkat pakaian dikemas. Mereka
berjalan kaki berkilo-kilo meter menerobos belukar menuju Koramil Way
Jepara.
2.. Pukul 06.00 (pagi hari). Fadhillah Cs. sampai tujuan. Sebelum beraksi,
ia mendengar kabar bahwa semua tahanan Talangsari sudah dikirim ke Korem
GATAM di Bandar Lampung. Fadhillah berunding dengan anak buahnya dan sepakat
melanjutkan perjalanan menuju Bandar Lampung. Namun, sebelumnya mereka harus
ke Sidorejo dahulu, singgah di rumah Zamzuri untuk beristirahat dan mengatur
siasat. Dari markas Zamzuri di Sidorejo itulah mereka merencanakan
penyerangan ke Bandar Lampung, pada sore hari.
3.. Pukul 11.00 (siang). Kasdim Metro, Mayor E.O. Sinaga bersama rombongan
datang di Kelurahan Rajabasa Lama, bermaksud ingin bertemu langsung dengan
Kiai War. Dari kantor kelurahan Rajabasa Lama, rombongan Kasdim itu dipandu
Kapt. Soetiman, beriringan menuju sarang Warsidi, yang berjarak sekitar 7
km. Iring-iringan rombongan dibagi tiga regu, yakni regu Korarnil, regu
Kasdim, dan regu Camat. Kapten Soetiman dengan sepeda motor berada paling
depan, memimpin rombongan, disusul 2 jeep kendaraan Kasdim, kemudian diikuti
Camat Zulkifli beserta perangkat desa.
4.. Pukul 11.30 (tengah hari). Rombongan memasuki lokasi. Suasana sepi,
seperti tak ada penghuni. Sayup-sayup terdengar suara sepeda motor Kapten
Soetiman dimatikan. Bersamaan dengan matinya mesin sepeda motor itu,

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 18

tiba-tiba seorang pemuda bertenak. " Allahu Akbar ...," dan sebilah demi
sebilah anak panah melesat dari balik semak menuju ke arah Soetiman. Suara
takbir itu disambut susul-menyusul, bagaikan nyanyian Perang Sabil. Puluhan
anak buah Warsidi bertabur, keluar dari rumah-rumah bambu sambil
mengacungkan senjata pembunuh, menyerang rombongan. Mayor Sinaga terkesima,
mulutnya cuma bisa ternganga, "mundur ...!", teriaknya memerintahkan anak
buahnya agar meninggalkan lokasi. Seketika itu, kendaraan Sinaga berbelok
arah dengan menerjang-terjang pepohonan, laju meninggalkan lokasi. Berbeda
dengan Sinaga, yang selamat Kapten Soetiman menjadi bulan-bulanan anak buah
Warsidi yang tengah kesetanan. la dikejar-kejar, tubuhnya dikoyak-koyak, dan
lehemya ditebas sampai tewas.
5.. Pukul 12.30 (setelah satat Lohor). Di musala Jayus, terjadi pro dan
kontra sesama jamaah. Suasana pondok Warsidi menjadi tak mengental lagi.
Persatuan antar jamaah buyar setelah sadar bahwa mereka telah membunuh
aparat keamanan. Tidak semua anggota Warsidi setuju dengan kejadian itu.
Mereka yang tak punya nyali kemudian meninggalkan perkampungan Warsidi,
melalui berbagai jalur: Pakuan Aji, Talangsari, dan Kelahang. Masyarakat
sekitar menggambarkan ada ketakutan yang menghantui wajah mereka setelah
terjadi pembunuhan aparat. Pada saat terjadi eksodus, Warsidi mengirim
utusan untuk mencari Fadhillah agar segera kembali ke Cihideung.
6.. Pukul 15.30 (usai sholat Ashar). Jenazah Soetiman dikubur. Fadhillah
datang menemui Warsidi. Menurut pengakuan Fadhillah, Warsidi
memerintahkannya untuk mengubah strategi, setelah menyadari Soetiman tewas
ditangan anak buahnya. Fadhillah harus menciptakan huru-hara di seluruh
Lampung agar aparat sibuk dan tidak berkonsentrasi ke Cihideung. Sore itu
Fadhillah berangkat ke Sidorejo menemui pasukannya dengan seonggok beban.
7.. Pukul 19.30 Fadhillah berangkat. Niatnya sudah bulat, perang. Di
kepalanya tak ada kata lain, "Hidup mulia atau mati syahid". Dari rumah
Zamzuri di Sidoredjo, mereka hendak ke Korem GATAM di Bandar Lampung. Dan,
jalur yang akan mereka tempuh ialah melalui Sribawono ke jurusan Panjang
yang berjarak sekitar 90 km. Untuk mempercepat perjalanan, mereka menyewa
angkutan umum. Tetapi sayang, di dalam kendaraan yang hendak mereka sewa,
ada seorang anggota ABRI, Pratu Budi Waluyo yang tetap ingin ikut meskipun
Fadhillah telah membujuknya agar Sang Pratu mau mengerti. Akhirnya Budi
Waluyo sepakat dibawa serta. Dalam perjalanan, mereka berdialog, saling
memperkenalkan diri. "Jadi Bapak tahu kejadian tadi siang di Cihideung?".
Budi Waluyo dengan gagah menjawab: "Saya ikut menyerang, di sana". Mendengar
kata-kata itu, Fadhilah gelap mata. Pedangnya segera dihujamkan ke dada Budi
Waluyo hingga tewas. Menyadari ada pembunuhan, sopir angkutan lari
meninggalkan kendaraannya. Fadhillah bersama pasukan membawa kendaraan
tersebut menuju ibu kota Lampung dan menebar teror sampai pagi.
8.. Pukul 20.00 Sementara Fadhillah membuat kerusuhan suasana di Cihideung
mencekam. Aparat tengah bermuram durja sambil merancang untuk mengambil
jenazah Soetiman dengan paksa, setelah tak ada tanda-tanda damai dari
Warsidi.

Selasa Legi, 7 Februaii 1989

1.. Pukul 01.00 Satu tim pasukan khusus, mengintai lokasi.

2.. Pukul 03.00 Petugas memperingatkan Warsidi berulang-ulatlg melalui


pengeras suara megaphoen agar segera menyerahkan jenazah Soetiman. Tak ada
reaksi Warsidi bahkan juga tak ada tanda-tanda kompromi. Himbauan dan
peringatan seperti itu terkesan tak lagi dihiraukan. Ketika pagi mulai
menyeruak, seseorang dari balik dinding memberi komando jihad. Bersamaan
dengan itu, orang-orang Warsidi berhamburan keluar sambil membawa panah dan
golok menyerang petugas. Tentu saja, ini perbuatan sia-sia karena aparat tak
mungkin membiarkan mereka melakukan penyerangan yang mecmbabi buta seperti
itu.
3.. Pukul 07.00 Loso (60 th) dan Kamarudin (30 th), warga Pakuan Aji yang
menjadi pemandu garis depan, mendengar ada orang merintih-rintih di dalam
sebuah pondok. Kedua orang ini mencari tahu dari mana suara itu berasal.
Belakangan diketahui, seseorang membacok anggotanya sendiri, ketika hendak

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 19

menyerah ke aparat. Kamarudin malah melihat, bangunan rumah bambu itu


kemudian dibakar oleh anak buah Warsidi.
4.. Pukul 11.30 (menjelang Lohor). Kobaran api yang melahap pondok Warsidi
beserta isinya baru bisa dipadamkan. Kini, setelah sebelas tahun berlalu,
masyarakat Talangsari III mulai diresahkan oleh sekelompok orang yang
mengkais kembali luka lama. Para tokoh masyarakat dan juga para pengasuh
Pesantren di Wilayah Lampung Tengah, menduga ada "pemain baru", bertopeng
kemanusiaan membela Warsidi. Kejahatan memang selalu satu kamar dengan
kebenaran, walaupun tidakpemah akur.

Bagian 4 - Sekilas Tentang Anwar Warsidi


SEKILAS TENTANG
ANWAR WARSIDI

FITRAHNYA, tidak ada manusia jelek, apalagi jahat, karena ia adalah cahaya
Ilahi. Sifat keilahian, senantiasa mahabaik, lagi sempurna. Yang ada ialah
manusia membiarkan hatinya kosong, sehingga setan atau anasir jahat lainnya
mengisi dan merusak kalbu. Penghuni kalbu itulah yang menentukan apakah
orang "menjadi" malaikat atau setan.

Itu sebabnya, raja semesta alam memerintahkan kita agar selalu ingat
kepada-Nya, supaya anasir jahat tidak pemah punya kesempatan menjadi
penghuni kalbu.

Apakah Warsidi, tokoh yang hendak kita bicarakan ini, termasuk yang
membiarkan kalbunya kosong melompong dari cahaya keilahian? Suatu pertanyaan
! yang tak mudah dijawab. Tetapi, indikasinya bisa kita ukur, misalnya
dengan berbagai pendapat orang-orang yang mengenal dirinya. Di satu pihak,
orang menyebut kebaikannya lainnya mengatakan kekurangannya. Ragam cerita
dari berbagai pihak, yang belum banyak terkuak dalam media tulis ini, akan
melengkapi kisah tokoh kontraversial, Anwar Warsidi.

Marsudi Menuturkan

Marsudi (65 th.) mungkin satu-satunya nara sumber paling pas untuk didengar
penuturannya. Marsudi ialah adik Warsidi, dari 9 orang keturunan Marto
Pawiro, ayah kandung mereka. Dari 9 bersaudara itu, hanya Marsudi yang
paling sering hidup bersama Warsidi. Bahkan hingga detik-detik terakhir saat
kematian "sang imam", Marsudi tetap setia .mendampinginya.

Usia dua kakak beradik ini juga tak terpaut jauh, hanya selisih 4 tahun.
Sekalipun lebih tua, Marsudi mengaku, adiknya jauh lebih cepat dewasa
dibanding dirinya. Tak hanya itu, sifat sabar dan baik hati juga dimiliki
Warsidi. Kata Marsudi, adiknya itu sejak kecil sudah dicintai dan
kata-katanya diturut oleh teman-temannya. Masih seputar itu, Warsidi sangat
dikenal sebagai seseorang yang rajin dan pekerja keras.

Sayang, sekolahnya cuma sampai di SD. Selanjutnya mereka hanya mengaji pada
seorang ustad desa bernama Kiai Sirot. Dari Kiai Sirot inilah mereka
mendapatkan dasar-dasar agama dengan baik. Berbekal sedikit pengetahuan
agama itulah mereka berangkat ke Lampung, menyusul Maryumi, kakak
perempuannya yang sudah mapan sebagai transmigran di Lampung. Di sana juga
ada Marjudi (Muhammad Judi), kakak Maryumi yang menjadi transmigran, sejak
1939.

Warsidi lahir di desa kecil bemama Sebrang Rowo, kawasan Candi Borobudur,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tahun 1939, sebagai anak terakhir.
Kakak-kakaknya bernama: Marjudi, Maryumi, Marsandi, Marsiyah, Marsidi,

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 20

Marsudi, Suwandi, Dulbahri. Dua kakaknya yang terakhir, Suwandi dan


Dulbahri, telah meninggal dunia sebelum keluarga mereka boyong ke Lampung
Tengah.

Kabarnya, Maryumi sangat membenci Warsidi, setelah adik kandungnya itu


berguru kepada seorang kiai bernama Anwaruddin. Pasalnya, Warsidi tiba-tiba
menjadi aneh. Bahkan, Maryumi dikatakan kafir, setelah ia menasihatinya agar
tidak berguru lagi kepada .Anwaruddin.

Di mata Warsidi, kiai Anwar tergolong ulama besar, berilmu tinggi dan karena
itu wajib ditaati kata-katanya. Warsidi memilih meninggalkan Maryumi dan
mengikuti ke mana Kiai Anwar pergi. Sejak itu mereka mulai menjauh dan
meniti jalan masing-masing.

Anwaruddin ialah seorang guru ngaji di Bandarjaya, Batanghari, Lampung sejak


1965. Pertemuan dua anak manusia ini bukan di tempat pengajian, tetapi di
sebuah masjid di Bandarjaya itu. Ketika Warsidi hendak menunaikan salat,
matanya terkesima melihat seseorang yang telah menyelesaikan salatnya,
terkesan sangat khusuk. Warsidi memperkenalkan diri. Dari perkenalan itu ia
menyimpulkan, Anwaruddin bukan orang sembarangan. Lebih-lebih setelah
Anwaruddin membeberkan kisah hidupnya kepada Warsidi.

Warsidi memutuskan menjadi murid kiai yang baru ia kenal itu. Seluruh ucapan
"gurunya" juga ingin ia tiru, termasuk perilaku Anwaruddin yang pemah
membunuh orang kafir. Menurut Anwaruddin, membunuh orang kafir tidak berdosa
dan memeranginya ialah perbuatan jihad. Dalam pandangan kiai pujaan Warsidi
itu, pemerintah juga digolongkan sebagai orang kafir.

Warsidi semakin banyak mengetahui pandangan-pandangan gurunya. Misalnya,


pemerintahan thoghud harus diperangi dan diganti dengan. pemerintahan Islam.
Bagi siapa yang tidak sama dengan dia dap tidak menjalankan syariat Islam
dengan baik, kafir, Sayang, nasib menentukan lain. Pertemuan mereka
terhalang. Sang guru ditangkap dan dipenjara 'karena mencerca Bung Karno
yang kala itu masih berkuasa.

Masih untung, sang guru asal Banyumas itu segera dilepas sebelum putusan
pengadilan jatuh, tertolong oleh peristiwa G 30/S PKI. Selepas dari penjara,
Anwaruddin diusir oleh masyarakat karena ucapan dan tingkah lakunya tak
membuat sejuk umat. Anwaruddin pindah ke Kogan Lima, Lampung Utara. Warsidi
bersama Juwariah istrinya, juga ikut boyong ke daerah baru, mengikuti sang
guru. Hanya berbekal menjual sepetak tanah, satu-satunya harta, Warsidi
menjalani hidup bersama gurunya sebagai orang usiran. Akhirnya, kehidupan
Warsidi semakin jauh dari kakak-kakaknya, kecuali Marsudi.

Setahun setelah menjadi orang usiran, Anwaruddin meninggal dunia. Warsidi


segera bertindak menggantikan posisi Anwaruddin, termasuk menggantikannya
sebagai suami bagi janda sang guru. Sejak itu, nama Warsidi berubah menjadi
Anwar Warsidi. Tambahan " Anwar" diambilnya dari namaAnwaruddin, semata-mata
agar citra guru besarnya itu tetap melekat dalam dirinya.

Setelah kematian gurunya, Warsidi hijrah ke Pakuan Aji. Selain karena soal
ekonomi, masyarakat juga tak lagi berkenan dengan keberadaan Warsidi dan
keluarganya. Tetapi tak lama di Pakuan Aji, ia kemudian pindah ke Labuhan
Ratu menjadi buruh koret di ladang-ladang penduduk sambil terus mengajar
ngaji bagi penduduk setempat. Di sanalah ia bertemu Jayus yang kemudian
memboyongnya ke Cihideung.

Di Cihideung, Warsidi membawa serta Marsudi, satu-satunya kakak yang paling


mengerti kondisinya. Bersama Marsudi, dia membangun tempat kegiatan yang
berasal dari hibah Jayus, untuk dipersiapkan sebagai pusat pengajian massal.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 21

Belum berkembang, apalagi berbuah, badai malapetaka datang. Sebuah cita-cita


musnah sia-sia, bersama mimpi-mimpinya yang tak sampai.

Cerita Dari Pakuan Aji

Kisah Warsidi masih berlanjut. Kali ini datang dari Pakuan A ji, daerah yang
pemah ia singgahi. Kepala desa Pakuan Aji bemama Ismed Inonu (42 th).
Seorang pria kelahiran Pakuan Aji dan merupakan bagian dari yang sedikit
penduduk asli Lampung yang masih tinggal di daerah tersebut. Pada saat
Warsidi berjaya menjadi kiai Cihideung, Ismed sebagai tukang ojek yang
mondar-mandir mengantar jamaah, keluar masuk Talangsari. Kala itu, hanya
dari arah Pakuan Aji, lokasi Warsidi mudah ditempuh.

Ismed mengaku tahu banyak ihwal tokoh Jawa yang paling menghebohkan daerah
Lampung tersebut. Kata Ismed, kedatangan Warsidi di Pakuan Aji seperti
angin, tanpa permisi. Sekali waktu datang, kali lain hilang. Budaya tak
melapor diri agaknya sudah tradisi bagi tokoh ini.

Masyarakat mengenalinya, pertama kali di daerah Umbul Puk, masib wilayah


Pakuan Aji, tahun 1987. Warsidi kemudian pindah ke Umbul Hujan Mas,
menggarap kebon lada milik Marsan dengan cara bagi basil.

Dari mulut Marsan, Ismed Inonu mendengar cerita aneh tentang Anwar Warsidi.
Kata Marsan, ucapan-ucapan Pak War sering ngelantur tak karuan. Misalnya, ia
ingin punya anak yang bertanduk dan berekor. Pemah pula Warsidi
berteriak-teriak tanpa sebab yang jelas di kerumunan orang. Itu juga
sebabnya, Ismed tidak percaya ketika orang-orang mengatakan, kini Warsidi
menjadi kiai di Cihideung dan banyak santri belajar mengaji kepadanya. Meski
demikian, Ismed sempat terkesima ketika banyak tamu dari luar kota, keluar
masuk. Cihideung dan mengaku hendak belajar ngaji ke Kiai Warsidi. Tetapi,
kekaguman Ismed tidak bertahan lama. Kabar angin pun segera semilir. Tersiar
kabar, tamu-tamu Warsidi ternyata membawa masalah.

Ada penduduk di sekitar wilayah marah-marah. Pasalnya, tanaman mereka


dijarah. Ada singkong hilang. Ada bambu ditebang. Bahkan buah kelapa sering
melayang. Masyarakat menjadi tak tenang. Ismed segera bertandang, mencari
dengar dari beberapa orang.

Mereka kernudian rnernbenarkan kabar angin yang diceritakan orang. Kepada


penduduk Pakuan Aji, Isrned mewanti-wanti agar sernakin hati-hatidengan
Warsidi.
Tidak lama setelah itu, Warsidi benar-benar rnenjadi buah bibir di tengah
rnasyarakat Pakuan Aji. Sebagian besar penduduk rnenyaksikan tarnu-tarnu
Warsidi, mernbawa-bawa pedang dan juga belajar rnelontar panah di tengah
sawah. Tak curna itu, rnereka juga belajar merakit bahan peledak dari
botol-botol kosong yang diisi bensin, serbuk gergaji, dan bubuk korek api.
Para pemudanya giat berlatih silat, di kepalanya terikat kain bertuliskan
jihad.

Kian hari, anak buah Warsidi kabarnya sernakin tak terkendali. Warga
rnenjadi tidak tenang, untuk apa senjata-senjata perang itu digalang. Isrned
juga tak bisa menjelaskan bagairnana seorang buruh koret seperti Warsidi
rnendadak rnenjadi kiai, lalu rnenyerukan pembuatan panah dan rnernpelopori
perakitan born di tempat terpencil seperti Cihideung.

Teka-teki itu akhimya tersingkap, setelah Warsidi dan anak buahnya rnembuat
heboh, rnernbunuh Danrarnil Way Jepara, ketika berkunjung ke rnarkas
Warsidi. Kapten Soetirnan ditangkap, tubuhnya dikoyak panah beracun dan
lehernya ditebas hingga tewas. Mayat pemirnpin rornbongan itu ditahan dan
disandera. Peristiwa tersebut rnengagerkan banyak orang, kabutnya tak hanya

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 22

rnenggelapkan langit Larnpung, tetapi juga meredupkan langit rnanca negara.


Kisah pernbantaian Kapten Soetirnan, Danramil Way Jepara inilah klimaks,
bagi teka-teki 'Cerita Dari Pakuan Aji'.

Pengakuan Mushonif dan Fadhillah

Warsidi pada awalnya sangat diharapkan bisa menjadi pemersatu bagi suatu
kelompok yang tengah bertikai karena kelompok Nll pada masa itu sedang
terburai dan terpecah belah. Sesama anggota Nll bahkan para pemimpinnya tak
lagi bersatu, malah cenderung saling ancam hendak membunuh lainnya. Pada
situasi seperti itu, satu-satunya tokoh yang masih bisa diharap menjadi
pemersatu hanya , Warsidi, meski mereka akui belum cukup syarat, layaknya
seorang tokoh besar di lingkungan Nll. Apa boleh buat, ltulah komentar
Mushonif dan juga kesan yang tersirat dari centa Fadhillah.

Kelompok Ngruki di Jawa Tengah memang sedang r kehilangan tokoh besar


Abdullah Sungkar yang kabur ke Malaysia. Padahal, Nll Lampung yang
diharapkan bisa menampung jamaah Ngruki lagi kisruh, lantaran para
pengurusnya bertikai saling berebut pengaruh untuk menjadi ketua. Mereka
ialah Muhammad Rifai dan Zainal Arifin. Keduanya mengangkat dirinya menjadi
pemimpin Nll wilayah Lampung. Sementara itu, ada satu kelompok kecil di
Jakarta yang tengah bermimpi membangun suatu kawasan untuk dijadikan
perkampungan muslim, sebagaimana yang ada di Malaysia. Mereka yang di
Jakarta itu ialah Sudarsono, Nurhidayat, dan Achrnad Fauzi.

Kelompok-kelompok bingung inilah yang kelak kemudian dianggap sebagai


cikal-bakal meletusnya geger Talangsari di Lampung Tengah itu. Sementara
kelompok-kelompok bingung itu mencari sosok pemimpin, Warsidi berpeluang
menjadi pilihan mereka.

Mengapa Warsidi terpilih? Mushonif menyatakan, Warsidi punya tempat,


meskipun tidak terlalu luas, Lahan 1,5 hektar di kawasan Cihideung dinilai
cukup untuk satu kegiatan awal. Alasan lain, Lampting dianggap tidak terlalu
jauh dari Jakarta, dibanding harus ke NTB, misalnya.

Pemuda Mushonif (24 th.), saat Cihideung-meletus, sesungguhnya tidak secara


langsung terlibat kegiatan Warsidi. Saat itu, dia bersama Usman mengajar di
pesantren Al Islam di Labuhan Ratu, tak jauh dari Cihideung, melihat Warsidi
merupakan sosok yang gigih memperjuangkan cita-cita Islam. Di mata Mushonif,
Warsidi termasuk tokoh yang pantas diikuti karena ucapan dan tindakannya
sejalan. Lebih dari itu, Mushonif juga kagum setelah mendengar bahwa seorang
Warsidi berkeinginan hendak membangun suatu "Perkampungan Muslim". Meskipun
belakangan diketahuinya semua itu sesungguhnya akal-akalannya Darsono, yang
mengeksposnya ke Lampung.

Mushonif tak pemah membayangkan, hubungannya dengan Warsidi akan membawanya


ke penjara, hingga 10 tahun di Nusakambangan. Di depan pengadilan, pria
berkacamata ini geram dan melontarkan caci maki kepada aparat, serta sumpah
serapah terhadap pemerintahan Orde Baru yang dianggapnya jahat dan zalim.

Berbeda dengan Mushonif, Fadhillah sejak awal sudah mengagumi Warsidi. la


melukiskan, Warsidi ialah tokoh yang lebih mementingkan orang lain daripada
dirinya sendiri. Seluruh hidup Warsidi, menurut Fadhillah, diperuntukkan
bagi perjuangannya. Bahkan pada detik-detik terakhir menjelang ajal, Warsidi
menyatakan, lebih baik mati syahid daripada menyerah kepada kaum kafir.
Sifat teguh Warsldi inilah yang mengilhami Fadhillah untuk tetap
menjadikannya sebagai tokoh idola bagi dirinya. Kebaikan Warsidi, kata
Fadhillah, sulit diukur dan dicari padanannya. Contohnya, suatu hari, ketika
Fadhilah. sedang melarikan diri ke tengah hutan, orang pertama yang mau

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 23

menemuinya hanyalah Anwar Warsidi. Kata Fadhillah, ucapan-ucapannya


menyentuh kalbu, bagaikan puisi para pujangga yang mampu menyinari
remang-remangnya belantara.

Warsidi menawarkan agar Fadhilah bergabung bersama teman-teman seperjuangan.


"Berjuang tidak bisa sendiri", kata Warsidi. "Kalau masih ada kawan, mengapa
bersendiri di hutan?". Inilah antara lain kata-kata yang terlontar dari
mulut Warsidi, saat menemuinya di tengah hutan, kala itu. Hati Fadhillah
benar-benar runtuh. Dan tak lama kemudian, dia memboyong keluarganya
bergabung dengan Warsidi, menghadang masa depan. Di Cihideung, bersama tokoh
pujaannya itu. Fadhillah menunggu pemimpin sejati. Pemimpin yang tak
meninggalkan umatnya sebagaimana Abdullah Sungkar yang kabur ke Malaysia,
juga pemimpin yang tak sembarang mengangkat diri sendiri, menjadi imam,
seperti Zainal Arifin atau Muhamad Rifai. Meskipun pemimpin ideal itu tak
kunjung datang, sampai malapetaka Cihideung merenggut semua keluarganya,
menjadl tumbal bagl harapannya yang gagal, Fadhillah tetap hormat dan
mencintai Warsidi sampai kini.

Warsidi, Mbedagol
Istilah mbedagol mungkin tidak lazim bagi masyarakat umum. Namun, untuk
kelompok tertentu di daerah Jawa Tengah, sudah biasa terdengar. Istilah ini
digunakan terutama untuk menyebut orang-orang yang keras kepala, egois, tak
mau menerima pendapat orang lain, dan fanatik. Demikianlah kesan yang
terungkap dari Suryadi ( 49 th. ), ketika menceritakan pengalaman hidupnya
bersama Warsidi, beberapa tahun di Cihideung, Lampung Tengah.

Suryadi orang Solo, Jawa Tengah, lari ke Lampung sungguh tak punya rencana
tinggal di Cihideung, lebih-lebih bertemu seseorang yang bemama Anwar
Warsidi. Awal pertemuannya dimulai dari rumah Marsan di Hujan Mas, Pakuan
Aji. Cukup singkat, menjadi buruh koret di peladangan lada.

Pengikut Abdullah Sungkar dari Ngruki, Jawa Tengah yang melarikan diri ke
Lampung lantaran dikejar-kejar aparat ini, tak banyak mempedulikan Warsidi,
karena sejak awal pertemuannya tidak ada tanda-tanda kecocokan dalam hati.
Meskipun demikian, hubungan mereka berlanjut hingga ke Cihideung, rumah
keluarga Jayus. Suryadi dipercaya membuat genteng di perusahaan Jayus.
Sedangkan Warsidi bertugas memakmurkan musala Jayus, sambil merancang
cita-citanya untuk mendirikan sebuah perkampungan muslirn yang digagas
Darsono Cs di J akarta.

Menurut pengakuan Suryadi, mengapa .Warsidi tak pemah cocok dengannya,


karena pandangan Warsidi selalu berlawanan. Warsidi seringkali
mengatasnamakan Alquran dan Sunah Rasul, meski sesungguhnya ucapan seperti
itu, belum layak keluar dari orang sekelas Warsidi.

Tokoh kontroversial ini sering mengkafirkan orang-orang yang selain dia.


Menzalimkan pemerintah, membatalkan Pancasila, dan menghalalkan darah ulama,
bila tak sejalan dengannya. Suryadi menggambarkan, Warsidi ialah tokoh yang
mbedagol, sulit disentuh pendapat orang lain. Ada saja jawaban yang segera
keluar dari mulutnya, manakala orang lain mengingatkan. Misalnya, ketika
diingatkan soal membaca Alquran, Warsidi menjawab, "Kita bukan orang Arab,
maka wajar kalau salah membaca".

Renik pernik seperti itulah yang membuat Suryadi nyaman tinggal di Cihideung
bersama tokoh Warsidi dan segera memutuskan pergi, setahun sebelum tragedi
meletus.

Warsidi Makan Belakangan

Pada awalnya, Warsidi di mata Arifin bin Karyan (44 th.), hanyalah manusia
biasa yang tak banyak kelebihannya. Namun semakin lama bersama Warsidi, la

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 24

tak bisa tidak mengagumi tokoh langka ini. Bertambah hari, Arifin semakin
betah di kompleks Cihideung itu. Hatinya menjadi merasa tenteram, setelah
lama gelisah tak menentu, saat sebelum kenal Warsidi. Di Talangsari inilah
Arifin menemukan kehidupannya meskipun akhimya harus kehilangan seluruh
keluarganya.

Arifin bersama istri dan dua anaknya, serta satu sepupunya, berangkat dari
Tanjung Priok Jakarta, menuju Lampung. Selain ingin meningkatkan harkatnya,
ia juga berkeinginan mencari ketenteraman untuk menjalankan perintah gama.
Di Lampung, dia disambut dengan suka cita oleh jamaah lain yang datang lebih
dulu dari dirinya. Kesan seperti itulah yang hingga kini masih terasa. Saat
itu, seorang yang bemama Warsidi memperkenalkan diri sebagai pemimpin
pengajian. Kata Arifin, Warsidi terkesan sebagai sosok yang sederhana, penuh
perhatian dan tanggung jawab. Istri Warsidi, setiap pagi selalu mendatangi
jamaah dan menanyakan apakah segala kebutuhan untuk hari ini sudah
tercukupi, misalnya beras dan lain-lain.

Bila waktu makan, anak-anak harus makan terlebih dulu, selanjutnya para ibu
dan kemudian disusul para bapak. Warsidi selalu makan paling belakang
setelah semua jamaah selesai. Demikianlah cerita Arifin bin Karyan yang
sempat hidup beberapa bulan bersama komunitas Warsidi.

Ada pro dan kontra, menyoal Warsidi. Ada simpati dan caci maki. Pelangi
kehidupan Warsidi menyisakan kenangan bagi banyak orang, terutama pengikut
setianya. Sosok Warsidi menjadikan ilham bagi para petualang. Hanya
petualang yang tak membiarkan hatinya kosong melompong dari cahaya ilahi,
yang menang. Selebihnya, hanya petualang-petualang yang akan menjadi
pecundang.

Bagian 5 - Biarkan Meraka Bicara


BIARKAN MEREKA BICARA

KETIKA buku ini disusun, ada kabar yang menyatakan, di kawasan Gunung Balak
kini dalam keadaan tidak aman. Kelaparan dan kemiskinan melanda Lampung
Tengah, menjadikan penduduknya dicekam ketakutan begal, perampokan, dan
penjarahan. Padahal di daerah ini, nara sumber buku Geger Talangsari hendak
diambil. Kabar lain juga menyatakan, masyarakat setempat tidak mau bicara
pada pihak yang dicurigai akan menjual Talangsari melalui berbagai LSM, yang
kabarnya sering beroperasi di wilayah Talangsari.

Kenyataan di lapangan jauh berbeda. Masyarakat setempat cukup kooperatif dan


bersahabat. Mereka bercerita apa adanya tentang Warsidi dan Talangsari, pada
11 tahun lalu, kurang lebih. Dari celoteh mereka tergambar ada kesedihan,
gregetan, dan juga kemarahan.

Tonil tentang Warsidi mengisahkan banyak hal yang tak mudah dicerna oleh
masyarakat desa. Teka-teki kehidupannya yang telah menyusahkan banyak orang
masih misteri. Apa yang selama ini mencuat di media massa, soal Warsidi dan
Talangsari, masih merupakan wacana yang belum teruji, apalagi terbukti.

Masyarakat merasa dibohongi dan dipecundangi tentang infomasi Talangsari,


tentang Warsidi yang mirip dagelan Jawa yang belum selesai. Masyarakat juga
ingin menuturkan yang sejujurnya, tentang berbagai kejadian, Pada 11 tahun
lalu. Oleh karena itu, biarkan mereka bicara!

SUKIDI
Mantan Kepala Dukuh Talangsari III. Kini, sesepuh .masyarakat di wilayahnya.

SUKIDI tentu tidak mebayangkan, kelak namanya bakal dikenal orang dan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 25

dicatat dalam lembaran sejarah di negeri ini. Petani asal Banyuwangi, Jawa
Timur ini, berada di Lampung sudah sejak 1972. Kala itu cita-citanya cuma
satu, hidup mempunyai lahan sendiri, sesuatu yang sangat sulit ia peroleh
bila tetap tinggal di kampung halamannya, Banyuwangi. Pria pekerja keras
seperti Sukidi memang bukan pemimpi. Sebab, selama hampir 28 tahun di Tanah
Lampung, kini ia memiliki 1,5 hektar lahan pekarangan untuk rumah dan 1,5
hektar lainnya untuk sawah dan ladang perkebunannya.

Makmur? Tentu saja belum. Tetapi, untuk ukuran masyarakat dusun sekecil itu,
cukup terhormat. Buktinya, setelah belasan tahun didaulat menjadi kepala
Dusun, kini ia tetap dijadikan sesepuh. Dijadikan tempat berlabuh dan tempat
mengadu untuk berbagai urusan kampung.

Ketika itu seorang warganya mengeluh, tanaman singkongnya raib dijarah


orang. Tak lazim, ada singkong hilang sebab semua penduduk mempunyai tanaman
ubi kayu itu. Sukidi menyelidik, untuk menguak teka-teki. Ternyata ada warga
baru yang mengubah adat, mengambil tanaman orang tanpa izin. Tabiat warga
baru tersebut menjadi buah bibir, bukan hanya di masyarakat, tetapi meluas
hingga ke kantor desa.

Gegeran orang-orang kecil ini sungguh tak disangka akan menjadi besar dan
meluas. Dari masalah kecil itu, temyata bisa mengakibatkan puluhan nyawa
melayang, malah jeritan mereka berkumandang hingga ke negeri seberang.

Sukidi, orang kecil yang hidup di dusun kecil ini pun ikut kondang. Pria 48
tahun inilah narasumber utama yang pantas dijadikan referensi, ihwal
petualangan Warsidi. Dialah orang pertama sebagai pamong, yang mendapat
perlakuan sangat tidak hormat dari imam rnisterius, pencipta ontran-ontran
Lampung Tengah, II tahun silam.

Bagaimana ceritanya Anda bisa kenal Warsidi?


Awalnya saya hanya kenal Jayus, karena dia teman main voly waktu masih muda.
Saya kenal Warsidi setelah RW Rasemin menceritakan bahwa di rumah Jayus ada
tamu yang sudah cukup lama tetapi tidak mau lapor. Kepada Rasernin saya
katakan agar tamu itu melengkapi identitas diri. Rasernin tidak berhasil.
Saya mendatangi Jayus. Di sana sudah ada sekitar lima orang tamu yang tidak
membawa identitas. Ditanya asal usul dan tujuannya, mereka tidak mau
mengaku. Dari Jayus diperoleh nama, salah satu daritamunya itu bemama Pak
War. Beberapa hari kemudian ada kabar bahwa tamu Jayus semakin bertambah,
malah bertingkah aneh-aneh. Belakangan saya baru tahu, itulah Warsidi dan
kelompoknya. Itu terjadi 15 Desember 1988.

Berapa jumlah mereka waktu itu?


Ketika saya mengadakan cek langsung, cuma ada 5 orang yang tidak saya kenal.
Saya beri nasihat agar melengkapi identitas supaya tidak menimbulkan
kecurigaan. Mereka mengatakan iya, meskipun bohong sampai sekarang.

Apa kesan pertama kali bertemu Warsidi?


Biasa-biasa saja, seperti umumnya orang. Tidak ada tanda-tanda aneh, hanya
saja ia sangat tertutup. Saya mendengar, ia pemah di Pakuan Aji, desa
tetangga sebelah. la tinggal di rumah Marsan dan menjadi buruh koret di
kebun lada Pak Marsan itu. Warsidi kabamya jenis orang yang suka
berpindah-pindah tempat. Bahwa kemudian dia menetap di Cihideung karena
Jayus mengizinkannya tinggal di situ dan memberikan sebidang tanah seluas
1,5 hektar untuk suatu kegiatan kepada Warsidi. Bersama-sama peng- ikutnya,
Warsidi membangun tempat itu katanya untuk pengajian. Dari pengajian itulah
masyarakat tahu ada caci-maki dan celaan yang dituju kan kepada pemerintah.

Jayus terrnasuk orang kaya?


Biasa saja sama seperti saya, petani di desa sini. Bedanya dia punya usaha
genteng dan punya musala kecil. Di situ Jayus dan Warsidi menjalankan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 26

kegiatannya. Saya kenal baik dengan keluarga Jayus karena memang sama-sama
dari Jawa.

Apa nama musholah itu?


Orang-orang di sini menyebutnya Langgar Jayus. Yang membangun langgar itu
dulu Pak Karmo, orang tua Jayus. Saya tahu persis keluarga Jayus karena
mereka termasuk lama di sini. Setelah Warsidi datang bersama rombongannya,
langgar tersebut diberi nama Musholah Mujahiddin.

Setelah ada Warsidi, bagaimana situasinya?


Masyarakat banyak yang mengeluh. Mereka resah, kurang senang dengan perilaku
warga baru itu. Ucapannya tak lazim didengar, misalnya: pemerintah kafir.
Pancasila batal. Mereka juga mengkafirkan siapa pun yang tidak mendukungnya.
Yang sangat menyakitkan hati masyarakat ialah tanaman rakyat dipanen tanpa
izin. Kalau ditegur, mereka segera mengancam. Ini semua saya laporkan pada
Pak Amir Puspamega, Kepala Desa Rajabasa Lama. Oleh Pak Lurah, saya diminta
meningkatkan kewaspadaan. Saya bentuk team ronda malam bersama pamong desa
secara bergilir. Sejak itu tiap hari banyak laporan dari masyarakat bahwa
yang datang ke rumah Jayus bertambah banyak.

Berapa lama suasana seperti itu berlangsung?


Hampir dua bulan rnasyarakat di sini tegang. Banyak anak buah Warsidi
rnernbawa-bawa golok dan rnengayun-ayunkannya di jalanan tanpa sebab.
Masyarakat juga rnelihat ternpat untuk berlatih rnernanah dan berlatih bela
diri. Terakhir ada laporan bahwa rnereka rnengurnpulkan botol-botol kosong,
katanya untuk dibuat born. Oleh karena itu, penduduk sernakin ketakutan,
lebih-lebih setelah rnereka rnelarang penduduk tidak boleh rnernbawa senter
pada rnalam hari dan tidak boleh rnelaksanakan ronda. Dengan larangan itu,
penduduk tarnbah tak rnengerti.

Apa tindakan Pak Sukidi?


Saya datang ke tempat mereka, berdua dengan Babinsa. Rupanya mereka tak
berkenan. Mereka menyindir dengan kata-kata yang tak pantas. Seorang jamaah
bahkan sengaja melintas di depan Babinsa dan kentut di depannya. Ini benar-
benar terjadi. Saya sangat kawatir kalau-kalau Pak Babinsa itu marah, pasti
bahaya bagi kami. Melihat suasana sudah tegang, saya segera minta pamit.
Tetapi sampai di luar, sepeda motor saya raib. Saya bertanya tak ada yang
menjawab. Saya nyalakan senter mencarinya, ternyata sudah mereka buang ke
pinggir Kali Beringin. Saya ambil. Baru beberapa langkah menjalankan sepeda
motor, datang dua orang memegang tangan saya dan berkata: "Pak Kidi, besok
kalau datang lagi, jangan berdua. Tanggung!". Kata-kata mereka sudah tidak
saya pedulikan lagi, saya tancap gas. Tetapi, mereka mengejar. Saya
ketakutan, tancap gas lagi, kabur. Saya melihat jam, saat itu sudah pukul
11.00 malam. Sejak itu, banyak orang bilang bahwa saya dicari orang-orang
Warsidi hendak dibunuh. Keluarga saya mengungsi dan saya tidak lagi pulang
ke rumah sebab rumah saya ditunggui mereka.

Mengapa tidak lapor ke polisi atau aparat lainnya?


Paginya, 3 Februari 1989, pas hari Jumat, saya lapor ke Desa, lalu Desa
melaporkan ke Kecamatan. Malamnya (malam Sabtu), dari Kecamatan meluncur dua
orang, Babinsa dan Kaur Pemerintahan ke lokasi untuk berdialog dengan
Warsidi. Situasi tambah panas. Mereka diancam dengan golok, sabit dan
celurit oleh anak buah Warsidi. Mereka ngeri dan segera kabur, meninggalkan
lokasi. Hari Minggu, 5 Februari 1989 utusan dari Way Jepara datang lagi.
Serma Dahlan dan Koptu Rachman minta ditemani. Saya bersama Baheram, juga RT
dan RW menemani mereka memantau lokasi. Pukul 11 malam kami berangkat secara
diam-diam pada malam itu, ada 10 orang anak buah Warsidi menguasai pos jaga.
Setelah kami intip, langsung kami tangkap. Berhasil ditangkap 6 orang
berikut pedang golok, celurit, bom molotov, serta sekarung anak panah,
Karena penduduk banyak yang minta panah tersebut, hanya 53 buah saja yang
tinggal sebagai barang bukti.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 27

Setelah itu bagaimana situasinya ?


Malam itu juga, setelah ada penangkapan, warga saya menyaksikan ada beberapa
anak buah Warsidi meninggalkan lokasi. Seperti pindah, mereka membawa serta
segala peranti dapur, tikar, bantal, dan lain-lain. Mereka menuju ke arah
desa Pancasila. Jumlahnya tidak bisa dihitung karena gelap. Yang jelas, saat
itu, warga saya melihat orang-orang Warsidi meninggalkan lokasi sambil
membawa serta barang-barangnya.

Pada hari apa waktu itu?


Senin, 6 Februari 1989. Saya ingat betul. Karena pada siang harinya sekitar
pukul 10.00, saya diminta mengikuti rombangan Kasdim Bapak Sinaga, ke
lokasi. Katanya hendak memberikan pengarahan langsung dengan Warsidi.
Rombong- an dipimpin oleh Pak Soetiman. Komandan Ramil itu naik sepeda motor
paling depan. Pak Kasdim naik Jeep, disusuhombongan yang juga naik Jeep di
belakang Kasdim. Pak Camat naik motor di belakang rombongan saya. Sebelum
masuk lokasi, Pak Soetiman dicegat gerombolan Warsidi. Pak Soetiman kemudian
diberondong panah dari semak dan dari pos jaga. Saya melihatnya ngeri
sekali.

Kabarnya Soetiman menembak, sebelum masuk?


Itu bohong. Saya melihat sendiri. Saya berani disumpah, itu bohong. Soetiman
belum menembak, sudah dipanah. Malah Pak Kasdim masih di dalam kendaraan
berteriak-teriak supaya Pak Timan mundur, tetapi suasana sudah tidak terkend
ali. Masing-masing kemudian berusaha menyelamatkan diri. Saya masih ingat
betul waktu itu Pak Timan baru turun dari motor, lalu diserang dengan
teriakan "AllahuAkbar, AllahuAkbar. Kapir kamu ", saya melihat betul waktu
itu. Malah ketika saya lari ke arah Timur bertemu tentara yang kena panah di
dadanya. Saya lihat Sertu Yatin merintih-rintih kesakitan, cepat-cepat saya
seret masuk ke mobil. Waktu itu saya di samping Pak Kasdim, hanya dia yang
saya dengar mengeluarkan tembakan ke atas. Kasdim menyuruh mundur, tetapi
jeep-nya tidak bisa karena terhalang. Akhimya jeep itu memutar dan menerobos
kebun singkong, lari meninggalkan lokasi. Sampai di situlah cerita saya.
Selanjutnya saya bertahan di kantor kelurahan hingga peristiwa Talangsari
itu selesai.

Mengapa bertahan di kantor kelurahan?


Kalau saya keluar, sangat bahaya. Mereka mengatakan ini gara-gara Sukidi.
Jadi, mereka mencari saya terus, katanya akan dibunuh. Untuk memantau
situasi, saya percayakan beberapa warga yang berhubungan terus-menerus
dengan saya. Dari laporan warga, saya mengetahui, siang itu terjadi lagi
rombongan yang lari meninggalkan lokasi Warsidi. Warga saya menceritakan,
anak buah Warsidi yang keluar lokasi itu benar-benar seperti pindah.
Laki-laki, perempuan, dan anak-anaknya pun dibawa pergi. Jumlah mereka yang
pergi meninggalkan Warsidi diperkirakan sekitar 70 sampai 80 orang. Sambil
berjalan keluar, mereka mengatakan: "Jangan ikut Warsidi lagi. Kita ini
ingin hidup. Orang Islam kok membunuh. Kita nggak mau mati, kita ingin
hidup".

Jadi, seperti orang pindah?


Betul, semua penduduk saya menyaksikan itu seperti orang pindah. Tadinya
saya berpikir, di tempat Warsidi itu sudah kosong. Paling hanya dedengkotnya
saja yang masih tinggal di sana. Semua rakyat tahu, mereka itu banyak yang
pindah. ltu yang lewat Talangsari, belum yang melalui Pakuan Aji dan yang
menuju Kelahang. Pokoknya pasti banyak yang sudah meninggalkan Warsidi.

Setelah peristiwa yang menggegerkan dunia itu rampung, kini aparat dituduh
melanggar HAM oleh beberapa LSM. Bagaimana itu?
.
Jelas menurut saya itu tidak adil dan malah terbalik. Yang melanggar HAM itu
bukan aparat, tetapi Warsidi dan pendukungnya itu. Yang dibunuh duluan
aparat negara, namanya Soetiman. Siapa pun dia, Soetiman itu sah sebagai
aparat negara. Lalu atasan Soetiman merasa bertanggung jawab. Mendengar anak
buahnya dibunuh dan mayatnya disandera, ia segera bertindak ingin mengambil

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 28

jenazah. Namun, dia dihalangi, malah diperangi dan terjadi pertempuran. Apa
itu salah? Jadi kebelinger kalau mereka itu mau memperkarakan aparat. Lalu
bagaimana dengan Pratu Budi Waluyo, Serma Sudargo, Serda Arifin Sembiring,
Lurah Santoso Arifin yang mereka bunuh dengan kejam di Gunung Balak,
Sidoredjo itu ? Wah, jelas itu nggak bisa. Seluruh warga saya pasti tidak
senang dengan itu dan mereka pasti siap memberi keterangan. Apalagi setelah
mereka merasa menjadi korban keganasan Warsidi. Masyarakat merasa dirugikan,
diresahkan dan derita itu masih dirasakan sampai sekarang. Karni seharusnya
yang berhak menuntut karena karni dirugikan dan dikorbankan.

Contoh pengorbanan masyarakat itu seperti apa ?


Sampai sekarang, kalau ada masyarakat Talangsari III yang hendak melamar
pekerjaan, selalu dipersoalkan keterlibatannya dengan kasus Warsidi dan
dicari-cari alasan untuk dipersulit. Itu kan sangat menyakitkan. Yang jelas,
seluruh rakyat Talangsari III kompak akan mengadakan pembelaan. Dan ini
tidak main-main karena seluruh rakyat merasa dirugikan. Malah mungkin kami
akan balik menuntut. Kami betul-betul sudah siap. Seluruh desa siap menuntut
balik bila situasinya terus memanas,

Kelihatannya beberapa LSM masih ngotot, mengungkit-ungkit soal Talangsari


III
ltu hak rnereka. Tapi, rnenurut saya, sebaiknya jangan cari rnasalah karena
rakyat pasti akan rnarah. Tidak percaya ? Lihatlah nanti ! .Rakyat karni
sudah ingin hidup tenterarn, aman, dan darnai. Itulah tuntutan dan darnbaan
rnasyarakat Talangsari III.

BIARKAN MEREKA BICARA

SURYADI
la mengaku pengikut setia Abdullah Sungkal: Beberapa tahun bersama Warsidi,
kedamaiannya hilang. la segera hengkang, meninggalkan Warsidi setahun
sebelum ditumpas Pemerintah.

Da'i asal Solo ini terkesan serba ringan, terutama ringan bicara, ringan
senyum, bahkan mungkin ringan tubuhnya. Jalannya cepat, berjingkat-jingkat,
seperti mengejar yang pemah hilang. Sekalipun ringan bicara, orang lain tak
mudah menebak apa yang ada dalam pikirannya. Karena pria 49 tahun ini mampu
mengatakan "tidak", sekalipun dalam hatinya berkata "ya".

Inilah yang membedakan Suryadi dan KH. Abdullah Sungkar, yang serba
blak-blakan, mengatakan apa adanya. Bila menurutnya seseorang telah berbuat
zalim, tak boleh dikatakan selain itu. Termasuk Soeharto, tatkala masih
berkuasa sekalipun. KH. Abdullah Sungkar ialah perintis pengajian Usrohdi
Desa Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Dan Suryadi berguru kepadanya, walaupun
sekali lagi, dia mampu mengatakan tidak.

Bagaimana bisa bergabung dengan Abdullah Sungkar?


Awalnya, saya tertarik pada muridnya Kiai Sungkar. Setelah saya mengikuti
pengajian Kiai Sungkar, temyata bagus dan betah, sampai dibubarkannya
pengajian itu. Inti ajaran Kiai Sungkar ialah keteguhan iman dan disiplin.
Jangan pernah goyah terhadap ketetapan Allah. Inilah yang saya dapatkan dari
pengajian Ngruki saat itu. Sayang pengajian itu tidak berumur panjang,
Abdullah Sungkar curiga akan dipenjara lagi oleh Pemerintah, dia lalu pergi.
Terakhir baru ada kabar dia sudah di Malaysia.

Sejarah Anda sampai ke Lampung?


Setelah pengajian dibubarkan, saya ke Jakarta, ke rumah Khusnul, salah
seorang murid Abdullah Sungkar. Di rumah Khusnul sudah banyak kelompok
jamaah lain. Saya kurang pas karena pandangan mereka terlalu keras, bertolak
belakang dengan hati saya. Saya kembali ke Solo, belum sempat istirahat ada
kabar bahwa saya dicari aparat. Saya bergegas pergi ke Semarang, menuju

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 29

rumah Thoha. Di sana sudah ada Budiman. Bersama Budiman inilah saya ke
Lampung, menuju rumah Hassan Tito di Braja Dewa. Lurah Braja Dewa saat itu
bemama Ibu Sakeh, seorang wanita yang dinikahi Roja'i. Roja'i adalah seorang
anggota NII versi Ajengan Masduki yang sudah berbaikan dengan gubernur NII
Lampung yang bemama Zaenal Arifin. Saat itu yang menjadi camat untuk Way
Jepara ialah Warsidi.

Hassan Tito itu siapa ?


Dia pemimpin kelompok jamaah NIl. Di rumahnya banyak tamu, antara lain dari
Temanggung dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah. Tidak lama saya di situ,
kemudian diajak ke rumah Dalhari Nurmanto di Karang Anyar, Labuhan
Maringgai, bertani sambil mengajar ngaji anak-anak. Tetapi di sana juga
tidak lama. Hassan Tito mengajak lagi pergi ke suatu tempat baru namanya
Umbul Hujan Mas, tahun 1986. Di Umbul Hujan Mas itulah saya bertemu Warsidi
dan bersamanya, selama hampir 3 bulan mengolah lahan pertanian lada, milik
Marsan.

Apa yang Anda ketahui tentang Warsidi?


Dia bercerita tentang dirinya. Lahir dari seorang petani di Magelang, Jawa
Tengah bernama Pak Marto Pawiro. Saudaranya banyak, dia anak terakhir dari 9
bersaudara. la hijrah ke Lampung bersama orang tuanya tatkala masih remaja
kecil, sebagai transmigran di daerah Metro Lampung Tengah. Suatu hari di
sebuah masjid di Metro, dia melihat seorang ustad yang tampak khusuk
menjalankan salat. Warsidi tertarik dan ingin menjadi muridnya. Ustad yang
dikagumi Warsidi itu bernama Anwaruddin, sampai kemudian menjadi guru
kebanggaan Warsidi. Sejak itu, Warsidi mengikuti ke mana gurunya pergi.
Ketika gurunya meninggal, Warsidi menggantikan kedudukan Anwaruddin, temasuk
menggantikannya sebagai suami janda sang guru. Bahkan namanya diganti
menjadi Anwar Warsidi agar bisa mewarisi ilmu Anwaruddin. Warsidi kemudian
berpindah-pindah tempat sampai ke Umbul Hujan Mas dan bertemu saya di sana.

Bagaimana Warsidi bisa ke Cihideung?


Jarak Umbul Hujan Mas dengan Cihideung tidak fjauh. Apalagi kalau memintas
jalan, hanya Ibeberapa menit saja. Warsidi sering salat Jumat di masjid Pak
Jayus, orang Banyuwangi yang sudah lama berdomisili di sana. Mereka sering
berbincang. Tak lama setelah itu, Jayus menawarkan tempat di dekat masjid
untuk Warsidi. Sayapun ikut pindah dan menjadi karyawan Pak J ayus, untuk
membuat genteng, sambil tetap melanjutkan profesi saya sebagai da'i.

Sebegitu jauh dengan Warsidi, apa yang Anda ketahui tentang ajaran Warsidi?
Warsidi tidak mengajarkan sesuatu, tetapi pandangannya, menurut saya, sangat
bahaya. Suatu hari, dia mengatakan kepada saya, tentang "kalimah toyibah "
Laa illaha ilallah". Dia mengartikan, Laa illah itu sama dengan tidak ada
Allah. Orang yang tidak percaya kepada Allah itu artinya kosong, tidak
bertuhan, sama dengan PKI. Sedangkan ilallah itu sama dengan mengenal Allah,
artinya kaffah. Jadi kalau mau mengenal Allah, orang harus kosong dulu,
harus kosong dulu, baru diisi Allah artinya baru menjadl Islam kaffah. "Kudu
nyebut PKI disik, baru mengko biso dadi Islam", begitu kata Warsidi. Kalau
ini diceritakan pada orang yang tidak ngerti agama, pasti berbahaya.
Disumpah sampai akherat pun, ini pasti tidak benar.

Kabarnya ia tidak akur dengan pemerintah?


Sebenamya cara bicaranya itu yang membuat tidak akur dengan pemerintah.
Cukup banyak juga yang disc;lmpaikan selama saya berkumpul dengan dia.
Antara lain begini hukum, selain hukum Allah, kafir. Hormat bendera,
musyrik. Gotong royong, bit'ah. Pemerintah kita itu Thoghud dan hukumnya
batal diikuti. Pandangan-pandangan seperti itulah yang membuat saya tidak
betah dengan dia. Dalam batin saya, belum pantas orang seukuran Warsidi
bicara-bicara masalah begituan karena pengetahuannya tentang agama masih
rendah sekali. Saya kemudian meninggalkan dia dan berdakwa di luar
Cihideung, ke Sidoredjo, Gunung Terang, Karang Anyardan juga ke Desa
Pancasila, hingga tahun 1988.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 30

Setelah itu Anda ke mana ?


Saya kembali ke rumah Dalhari Nurmanto, di Karang Anyar, Labuhan Maringai,
Lampung Timur karena saya difitnah oleh Benny salah seorang pengikut
Warsidi. Dia mengatakan, saya itu ingkar sunnah, tidak salat lagi, Islam
saya batal, dan lain-lain. Termasuk haram hukumnya mengikuti orang yang
sudah murtad, seperti saya. Maka daerah-daerah binaan saya yang tadinya
sudah mapan berpaling menuju ke tempat Warsidi. Sejak itu saya tidak
mendengar lagi perkembangannya, sampai terjadi huru-hara Cihideung 1989.

Apa kesan terakhir tentang Warsidi?


Warsidi itu orangnya, ya pokoknya mbedagol begitulah. Orang harus malu
mengikuti apa yang dia inginkan. Kalau mau mengikutinya, Warsidi sangat baik
dengan orang tersebut. Nyawanya pun seakan-akan dia berikan pada orang yang
mau ikut dia. Tetapi kalau orang tidak mau mengikuti dia, jadinya juga
sebaliknya, dijahati, difitnah, dirusak bahkan mungkin kalau blsa
dibunuhnya. Termasuk saya yang diperlakukan seperti itu. Kalau diingatkan
Warsidi itu ada saja jawabnya. Pernah sekali saya ingatkan dengan mengutip
suatu ayat Alquran. "Wong Jowo wae kok, nganggo boso Arab barang. Wong jowo,
yo wong jowo, nganggo boso Jowo wae". (Orang jawa kok berbahasa Arab. Orang
Jawa, ya perggunakan bahasa Jawa saja", kata Warsidi berkilah. Malah ada
yang lebih parah, karena kita bukan orang Arab, kalau kita baca Alquran,
boleh salah. ltu kata dia, sewaktu bersama-sama di Cihideung.

Marsudi
Kakak kandung Warsidi. Selalu mengaku satu- satunya algojo yang menebas
leher Soetiman hingga tewas. Bangga?

SETELAH sekian lama Peristiwa Talangsari berlau, kini Marsudi sudah berusia
65 tahun. Pria berkulit pucat, berwajah keriput ini tampak tak seseram
tindakannya ketika membunuh Soetiman tanpa rasa dosa, sebelas tahun lalu. Di
sudut matanya, masih menyisakan air mata berkaca-kaca, seakan menyimpan
sejarah panjang, hidupnya yang kian muram. Tetapi di bibimya yang tipis,
bicaranya masih ringan seperti tak punya beban. Itu sebabnya suaranya tetap
lantang ketika diajak bicara soal masa lalunya, soal pemerintah, soal agama
bahkan soal Warsidi, adik kandung yang ia banggakan.

Senin Kliwon, 6 Februari 1989 pagi, suasana pondok Warsidi di Dusun


Cihideung sesungguhnya sudah dalam keadaan tegang karena malam Senin
sebelumnya ada 5 orang anggota jamaah ditangkap petugas. Warsidi
memerintahkan jamaahnya untuk siaga penuh, kalau-kalau ada penangkapan
susulan.

Sekitar pukul 11.00 siang, Soetiman bersama rombongan datang memasuki


lokasi, tanpa memberi tanda-tanda damai. Seseorang lalu berteriak menyerukan
takbir, lainnya menyusul dan menyambut kedatangan Danramil Soetiman dengan
seperangkat alat pembunuh.

Marsudi mengira, Soetiman hendak mengadakan penangkapan ulang. Ketika salah


seorang anak buah Warsidi meneriakkan takbir, yang tergambar di benak
Warsidi ialah isyarat perang. Melibat Soetiman terhuyung-buyung sambil
mengacung-acungkan pistol tidak berbunyi, Marsudi segera mengejarnya. dan
sekali tebas di pundak Soetiman, Danramil itu sempat mengbindar dan
melarikan diri. Marsudi mengejar. Tebasan susulan dari Marsudi yang tengah
kesetanan tepat mengenai tengkuk sebelah belakang Soetiman, prajurit
pemberani itu, tak bisa menghindar lagi, tubuhnya limbung, menghempas bumi,
mencium tanah dan tewas seketika.

Marsudi, alias Pak Su, bin Marto Pawiro, membeberkan perbuatannya itu,
tuntas tanpa hijab di depan pengadilan. Kepada Majelis Hakim, Marsudi tak
tunjukkan rasa sesal apalagi rasa bersalah. Kepada Lilis, kakak kandung
Warsidi yang dijerat pasal 110 (1) jo 107 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 KUHP itu
juga menceritakan kisah hidupnya, tuntas dan gamblang.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 31

Benar, Anda yang membacok Soetiman waktu itu ?


Iya, saya yang membacok Soetiman. Saya melihat dia sudah kena panah, tetapi
masih mengacung-acungkan senjata. Waktu itu senjatanya tidak berbunyi lagi.
Dia mau lari, lalu saya kejar .dan saya sabet punggungnya dengan golok.
Masih lari juga. Saya kejar lagi. Sekali ini saya sabet lehernya, langsung
jatuh. Seterusnya, anak-anak yang ngurusi dia.

Mengapa Soetiman dibunuh ?


Dia menembak-nembak mau menangkap kita, masa dibiarkan. Anak-anak sudah
ditangkapi pada malam Senin itu. Ada lima orang yang dibawa dan belum
kembali. Sekarang dia datang, pasti akan menangkap lagi, jadi kita bunuh
saja. Apalagi suasananya sudah kacau dan tidak menentu, jadi saya tidak bisa
berpikir lain.

Setelah membunuh Soetiman, Anda menyesal ?


Tidak. Katau soal itu, dari dulu saya tidak pemah menyesal karena dia yang
salah. Dia yang datang ke tempat kami. Dia yang memerangi kami, kami cuma
mempertahankan diri. Mempertahankan diri itu baik kalau mati jadi syahid.
Jadi, kami tidak salah karena kami diperangi, ditangkapi. Itu sebabnya saya
tidak menyesal membunuh Soetiman.

Warsidi waktu itu ada di mana ?


Di masjid. Dia selalu di masjid, berdoa untuk jamaah, malah di saat-saat
terakhir, dia jarang pulang. Pagi hari, ketika tentara sudah mengepung
pondok, saya ikut bergerak, tetapi tertembak. Saya terus lari ke masjid. Di
masjid, Warsidi melihat darah. Dia marah. Saya masih ingat Warsidi bilang :
"Lho Kang, kok kowe wis koyo ngono, saiki gantian aku sing perang ", dia
meloncat. Sejak itu saya berpisah, tidak melihat dia lagi. Saya pingsan di
masjid, setelah sadar saya sudah dibungkus tikar oleh tentara dan dilempar
ke mobil. Saya bangun sudah ada di rumah sakit.

Apa kesan terakhir tentang Warsidi ?


Banyak orang bilang, wajah Warsidi mirip saya. Di desa kalau orang mencari
saya, sering keliru dengan Warsidi. Mana yang muda dan mana yang tua, sulit
dibedakan. Kelebihan dia, kalau sudah bicara, orang langsung tertarik. Saya
baru melihat orang seperti itu. Warsidi itu sangat sabar, malah
sabar-sabarnya orang. Sebenarnya dia itu orang yang baik.

Tapi, banyak orang yang mengatakan dia sering menghina pemerintah. Bagaimana
itu?
Memang banyak orang salah kaprah, bicara keras katanya jelek. Warsidi itu
tidak punya salah apa-apa. Dia hanya ingin menegakkan agama berdasarkan
Quran dan Hadis warisan Rasul. Itu saja. Jadi, sama sekali nggak nyimpang.
Sejak mulai dari Pak Anwaruddin ya begitu. Warsidi dan saya itu penerus Pak
Anwar yang. sudah pecah dengan pemerintah, sejak dulu. Oleh sebab itu,
ketika saya ditanya hakim soal Pancasila, saya jawab: Pancasila itu batal.
Sebab, gaweane menungso. Bayar pajak juga batal, di Islam tidak ada pajak.
Yang ada zakat, infak, dan sodaqoh. Soal pemerintah, saya katakan, pamong
lebih jahat daripada garong. Sebab, kalau garong, hanya jahat pada orang
kaya. Tapi pamong jahatnya kepada siapa saja, termasuk jahat kepada orang
miskin. Ketika hakim menawarkan pembela, saya jawab: " Allah dan Rasul akan
menemani dan membela saya'. Akhimya, hakim mengatakan, saya tidak dihukum
lama, cuma seumur hidup. Dia bertanya, apa kamu sanggup? Saya katakan, "Dua
kali seumur hidup, saya sanggup. Karena itu hanya sebentar".

Apa yang Bapak inginkan dalam hidup ini ?


Setelah Warsidi tidak ada, saya hanya ingin mati. Harusnya saya saja yang
mati. Lebih cepat, lebih bagus karena saya tidak punya apa-apa. Beda dengan
Warsidi, punya harapan besar. Bahkan, dia diharapkan bisa menjadi pemimpin.
Tetapi sayang, dia mati duluan.

Bapak masih punya istri?


Sekarang tidak. Dulu saya punya istri dua kali. Istri pertama namanya

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 32

Fathonah, mendapat tiga anak: Chiril Anam, Ikhya' , dan Nurhidayat. Lalu
kami dicerai oleh orang tuannya karena tidak senang saya ikut ngaji seperti
ini, apalagi setelah tahu saya ngaji di tempat Anwaruddin. Terpaksa saya
lepas meskipun masih saling mencintai. Istri kedua bernama Juminah punya 4
anak. Juminah inilah yang saya ajak ke Cihideung bersama Warsidi. Waktu
kejadian, Juminah mati bersama dua anak saya. Yang hidup tinggal dua: Subur
dan Surip.

Bagaimana cerita tentang Kiai Anwaruddin, guru ngaji yang Bapak sebut tadi?
Kiai Anwaruddin itu memang guru saya dan juga guru Warsidi. Ketemunya di
Masjid Batanghari, Metro, melalui kakak ipar saya, Zainuddin. Dasarnya saya
dan Warsidi sudah mengagumi Kiai yang punya wawasan luas itu. Sayangnya,
Kiai itu bentrok dengan masyarakat di sekitar Masjid, kemudian
berpindah-pindah tempat. Setahun kemudian Kiai Anwar meninggal dunia.
Istrinya dikawin Warsidi. Tidak lama, Warsidi ada masalah dengan masyarakat,
dia pindah ke Kotabumi dan saya kembali ke Metro. Sampai akhimya Warsidi
menemukan tempat baru di Cihideung. Kemudian saya bersama Warsidi membangun
tempat itu, sampai terjadi peristiwa.

Apa kesan Bapak terhap Kiai Anwaruddin ?


Orang pintar dan pemberani. la bilang, Soekarno itu zalim. Dia kemudian
ditahan di Metro tahun 1965. Tetapi, sebelum pengadilan menjatuhkan vonis, G
30/S PKI meletus sehingga dia tidak jadi diadili dan bebas. Setelah bebas,
murid-muridnya tidak mau mengakui sehingga bentrok, yang akhirnya pindah
tempat sampai ke Lampung Utara.

Dengan Pak Harto bagaimana ?


Kiai Anwar itu belum sampai Pak Harto, terus meninggal. Lalu digantikan adik
saya Warsidi. Kalau Kiai Anwar mengatakan zalim pada Pak Karno, Warsidi
mengatakan zalim pada Pak Harto. Mereka itu sama-sama zalim sama-sama jahat.
Dan orang jahat, apalagi pemerintahan yang jahat, tidak boleh diikuti. Itu
sebabnya kita keras terhadap pemerintahan jahat itu. Terus kita disalahkan.
Kita dimusuhi dan jadinya seperti ini.

Bapak lahir di mana ?


Saya lahir di Desa Sebrang Rowo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah. Bapak saya bernama Marto Pawiro, petani yang mempunyai 9 anak.
Saya anak ke-6 dan Warsidi anak yang terakhir. Mereka bemama: Marjudi,
Maryuni, Marsandi, Marsiyah, Marsidi, Marsudi, Suwandi, Dul Bahri, dan
terakhir Warsidi. Bapak saya membawa kami bertransmigrasi ke daerah Lampung,
menyusul Maryumi, kakak saya yang lebih dulu berada di sana. Di Metro itu
kami berkenalan dengan Kiai Anwaruddin.

Sekarang Bapak tinggal di mana ?


Sekarang saya ada di Metro, di rumah mertua saya, Ibu Yomi. Setelah 10 tahun
dipenjara di Nusakambangan, saya ingin menjalani masa tua saya di
Batanghari, Metro, Lampung Tengah.

Bagian 6 - Ahmad Sarikun


BIARKAN MEREKA BICARA

ACHMAD SARIKUN
Dipercaya Warsidi, untuk membangun markas di Gedung Wani, Lampung Tengah.

DESA Gedung Wani, sekitar 25 km dari Cihideung, Talangsari III, sebelas


tahun lalu hendak dijadikan salah satu pusat gerakan melawan pemerintah oleh
Warsidi. Rencana itu kandas karena bangunan pondok bambu yang belum lama
didirikan dibakar massa, hanya beberapa hari setelah kejadian Cihideung
meletus.

Kabarnya, masyarakat setempat yang sedang marah sudah lama curiga terhadap
Sarikun (pengikut setia "Warsidi) yang tiba-tiba berperilaku aneh. Misalnya,

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 33

beberapa anaknya yang sekolah di SD Negeri dipaksa terhenti. Pasalnya, hanya


yang diajarkan Warsidilah yang benar. Inti ajaran Warsidi mengatakan: inilah
zaman yang persis ketika Nabi masih hidup. Perang dihalalkan untuk
menegakkan keadilan. Belakangan baru diketahui Sarikun sudah berbaiat kepada
Warsidi dan merelakan sebagian tanahnya untuk dijadikan pusat gerakan.

Di tanah seluas 1 hektar inilah bangunan markas Warsidi itu didirikan.


Masyarakat marah, tidak ingin massanya kelak bernasib seperti Talangsari
III. Sabtu Pahing, 18 Februari 1989 pagi, mereka rame-rame membakar gubuk
perjuangan itu.

Di Gedung Wani inilah Achrnad Sarikun (60 th.) menetap menjalani masa
tuanya, selepas dari rumah tahanan Nusakambangan. Berikut wawancaranya.

Bisa berkenalan dengan Warsidi, bagaimana?


Saya mendengar dari orang-orang, di Cihideung ada pengajian bagus. Setelah
datang dan melihat sendiri, saya cocok dan tertarik mengikutinya Memang saya
akui pengetahuan agama saya sangat kurang. Itu sebabnya, begitu masuk dalan
kelompok Warsidi, rasanya terus cocok.

Apa yang membuat cocok?


Pertama suasananya, sangat enak seperti dalam keluarga. Kemudian cara
menerangkannya, saya merasa Cocok. Saya langsung memahami dan mengerti bahwa
agama Islam itu seperti ini. Mengerti rukun yang lima, harus dipegang teguh
dan diamalkan. Dari sana, saya merasa menjadi Islam yang benar.

Tiga kali pengajian, apa saja yang sudah diperoleh ?


Sebenarnya baru mempelajari syahadat, yang lain belum. Memang waktunya
sangat singkat dan rasanya cepat sekali. Saya tidak menyangka akan terjadi
seperti itu. Kejadian itu benar-benar musibah dan ujian bagi saya.

Kenapa memilih datang ke Warsidi, kok bukan ke tempat lain, pondok pesantren
misalnya ?
Bukan soal pesantren. Saya ingin ngaji, ketempatnya di sana. Saya pikir,
yang namanya ngaji ya sama saja. Karena saya anggap baik, maka saya mengajak
istri dan keluarga saya ke sana.

Lalu ada kejadian itu. Saya sungguh tidak tahu, kalau akan terjadi peristiwa
yang menyedihkan itu. Mungkin saya tidak akan datang ke sana.

Katanya Anda termasuk yang dipercaya Warsidi untuk membangun markas Gedung
Wani ?
Sebenarnya istilah markas itu tidak ada. Itu bikinan wartawan saja. Lagi
pula yang kami bangun itu untuk musala. Tetapi, memang teman-teman saya yang
dari Cihideung bila hendak ke sini, ya inilah tempat mereka. Termasuk tempat
untuk menginap bagi mereka yang sering datang kesini, mengunjungi saya.
Mungkin karena saya dianggap lebih tua dari mereka, jadi sering dikunjungi.
Hubungan saling kunjung seperti inilah yang membuat saya senang dan merasa
terhormat. Pergaulan mereka kompak dan saling peduli dengan sesama teman.
Perilaku seperti ini tidak saya jumpai di luar kelompok Warsidi.

Kalau begitu, pengajian Warsidi baik?


Saya tidak melihat ada kejelekan di sana. Mereka ngajar agama, itu kan baik
namanya. Kalau kemudian ada perselisihan dengan masyarakat, lalu aparat jadi
terlibat, itu yang saya tidak tahu asal-usulnya. Saya hanya tahu yang
baik-baik saja. Wong saya ingin ngaji kok.

Kabarnya kelompok itu anti Pancasila dan melawan Pemerintah ?


Saya tidak bisa menilai itu. Apalagi di sana saya belum begitu lama. Memang
kelihatan situasinya terasa tegang. Tadinya, saya kira situasi tersebut
biasa-biasa saja karena banyak orang, jadi selalu macam-macamlah. Saya tidak

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 34

menyangka situasinya menjadi cepat berubah. Kejadian itu kok saya lihat
seperti kecelakaan.

Setelah terjadi peristiwa menyedihkan itu, bagaimana pendapat Pak Sarikun ?


Itu pengalaman hidup saya yang sangat berat dan menyedihkan. Apalagi anak
saya mati menjadi korban di sana. Saya sangat sedih dengan peristiwa itu.

Bapak menyalahkan siapa, Warsidi atau Pemerintah ?


Saya rasa dua-duanya salah. Sebab, tidak akan terjadi apa-apa bila
masing-masing tidak ingin menangnya sendiri.

Dari pihak Warsidi, apa yang salah ?


Jamaah tidak ada yang ngatur. Mereka berjalan sendiri-sendiri. Pada saat
peristiwa terjadi, mestinya mereka tidak melawan dan menuruti perintah untuk
menyerah. Sebenamya kesalahan yang paling besar adalah mereka tidak mau
menyerah. Saya sendiri tidak tahu mengapa mereka tidak mau menyerah.

Apa ada yang melawan ?


Saya melihat dari kelompok Jakarta itu yang banyak melakukan perlawanan dan
sangat keras pendiriannya. Disuruh keluar rumah, tidak mau. Disuruh menyerah
malah melawan. Coba kalau mereka turuti, pasti tidak banyak korban. Buktinya
saya tidak diapa-apakan, istri saya juga. Waktu itu istri saya bersama
Ruminah tidak boleh keluar, tapi nekat. Pak Su (Marsudi), yang sudah tidak
berdaya karena tertembak, sampai sekarang masih hidup.

Siapa yang melarang ke luar rumah ?


Ya, Si Alex yang dari Jakarta itu. Saya sendiri sebenarnya tidak banyak tahu
soal mereka. Dan, juga tidak jelas benar siapa-siapa mereka itu.

Dari kelompok Warsidi, selain Alex siapa yang melawan?


Sebenarnya banyak juga, tetapi yang paling kelihatan melawan, semua dari
Jakarta yang dipimpin Alex. Merekadisuruh melawan aparat dan tidak boleh
menyerah. Akhimya kan Alex mati dan Usman juga mati bersama keluarganya.

Pada saat ditangkap, apa Bapak disiksa ?


Nggak, cuma ditendang dan disuruh jongkok, lalu dibawa ke Korem. Saat itu
kalau semua orang mau keluar dan menuruti perintah, saya rasa pasti tidak
terjadi perang seperti itu.

Dari pihak aparat, di mana salahnya ?


Mereka itu menembak-nembak. Jadi, menambah suasana takut. Mungkin karena
takutnya itu mereka tidak bisa lagi berpikir sehat sehingga ngawur dan
ngajak mati bersama-sama. ltu hanya perkiraaan saya yang belum tentu benar.

Bapak tahu ada yang ditembak?


Jujur saya tidak melihat sendiri. Saya hanya mendengar suara tembakan. Saya
tidak tahu ada yang ditembak atau tidak karena waktu itu saya tiarap dan
melihat ke bawah. Saya dikumpulkan dan terus dibawa entah ke mana saya sudah
lupa.

Apa Bapak tahu siapa yang membakar gubug-gubug itu?


Saya benar-benar nggak tahu, soalnya kejadiannya sangat cepat. Tiba-tiba api
cepat membakar rumah itu. Dengan situasi yang sudah sangat panik, mana
mungkin orang ingat siapa yang membakar atau siapa yang tertembak.

Ada kabar, yang membakar rumah itu Alex?


Mungkin juga, sebab waktu itu saya tidak melihat. Memang katanya kaki Alex
sudah tertembak. Dan hanya Alex yang tahu bahan bakar bensin itu untuk bom
molotov. Cuma sekarang, kenapa Alex membakar gubug yang ada jamaahnya di
sana? Kalau memang benar dia, kira-kira apa ya alasannya? Nah, itu kan nggak
jelas. Jadi, saya tidak bisa mengomentari ini.

Berapa banyak yang mati saat itu?


Saya tidak tahu. Yang jelas anak saya Yusuf ikut mati di sana dan sampai

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 35

sekarang saya tidak tahu di mana kuburnya.

Jamaah Warsidi itu menempati berapa rumah?


Saya ingat ada 4 bangunan rumah, satu masjid. Tiap rumah isinya tidak sama.
Ada yang 15, 20, sampai 25 orang. Mungkin kalau dijumlah ada sekitar 100
orang, kurang lebih...

Dari sejumlah itu, apa mati semua ?


Ya tidak. Buktinya saya masih hidup. Cuma saya tidak tahu berapa yang masih
hidup.

Sekarang aparat dituduh bersalah oleh kelompok tertentu. Apa komentar Bapak?
Kalau saya, tidak mau menuduh dan tidak mau mengatakan salah karena mereka
melaksanakan tugas. Sekarang kan sudah terjadi islah, apalagi yang
dipersoalkan.

Siapa yang ber-islah


Waktu itu dari aparat diwakili Hendropriyono karena dia komandan Korem
Lampung saat peristiwa itu terjadi. Dari pihak Warsidi, diwakili Darsono,
juga saya dan masih ada beberapa lagi yang lain. Saya anggap itu sudah cukup
karena sesuai dengan ajaran Islam, setahu saya islah itu cara yang paling
benar.

Alasannya apa ?
Ya alasannya, ajaran Islarn itu tidak ada dendarn. Itu kalau saya, yang lain
saya tidak tahu. Karena kita manusia bagaimana pun tetap ada salahnya. Yang
keliru dibetulkan, yang salah dimaafkan, ya sudah. Kalau saya begitu.

Kabarnya islah itu karena uang ?


Tidak benar itu. Kalau waktu itu karena uang, saya pasti tidak datang dan
tidak mau. Itu kalau saya, orang lain, saya tidak tabu.

FADHILLAH
Punya peran penting pada saat huru-hlira Lampung Tengah. Dialah panglima
perang GPK Warsidi yang lerhasil membuat " keos ", daerah di ujung selatan
pulau Sumatera ini.

KETIKA ditangkap, Fadhillah mengaku bernama Sugito. Tetapi, masyarakat


Pakuan Aji, yang menangkapnya 8 Februari 1989, sehari setelah peristiwa
Talangsari, tak mudah dikecoh. Sugito kurang licin dalam bersiasat. Pria
kelahiran 13 Desemher 1959 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah itu, akhirnya
mengaku bernama Fadhillah, panglima perang GPK Warsidi yang telah membuat
ontran-ontran sepanjang malam di ibu kota Lampung, sesaat sebelum gegeran
Talangsari berlangsung.

Fadhillah punya kenangan khusus bila mengingat kejadian itu. Lelaki


berperangai "keras" ini mengaku sangat mencintai Warsidi karena Warsidilah
yang hanyak menaruh perhatian pada saat ia buron dari kampung halamannya,
tersasar hingga Lampung. Fadhillah memang termasuk salah seorang yang diburu
aparat. Dialah satu pengikut fanatik Abdullah Supgkar pimpinan Pondok
Ngruki, Solo, yang berhasil melarikan diri ke Malaysia.

Abdullah Sungkar oleh pemerintah dicap sehagai tokoh fundamentalis, keras


terhadap yang menurutnya tidak sesuai ajaran Alquran dan Hadist. Bagi
Sungkar tidak ada yang boleh ditutup-tutupi, yang benar harus dikatakan
benar dan yang salah apa lagi. Oleh sebab itu, baginya tidak ada halangan
ketika ia mengatakan "kafir" pada pemerintah dan "thoghud" terhadap
undang-undangnya. Pandangan Kiai Sungkar inilah yang memancar dan menghiasi
kehidupan Fadillah.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 36

Bagaimana sampai begitu fanatik dengan Abdullah Sungkar ?


Tahun 1985, di Solo ada pengajian, Usroh namanya. Saya mengikuti pengajian
itu. Tambah hari semakin tertarik, akhirnya bersimpati sampai sekarang,
terutama pada kiai-nya, yaitu Bapak Abdullah Sungkar. Saya sangat tertarik
kepada beliau karena dialah tokoh agama yang paling pantas diteladani.
Ilmunya tinggi, santun, dan penyayang pada semua orang terkenal jujur dan
tidak munafik sebagaimana banyak ulama lainnya. Memang dia dibenci
pemerintah Mungkin karena sering mengkritik dan sering mengatakan
pemerintahan Orde Baru tidak sah karena tidak berjalan di atas reI Alquran
dan Hadist. Pak Sungkar mau ditangkap, tetapi di berhasil menyelamatkan diri
ke Malaysia.

Kok Anda bisa ke Lampung, bagaimana ceritanya ?


Setelah tidak berhasil menangkap ustad Sungkar pemerintah marah. Pengajian
dibubarkan, seluruh pengikutnya dicari dan ditangkapi, termasuk saya juga
akan ditangkap. Baik saya kabur ke Lampung bersama keluarga karena di sana
banyak teman pengajian serupa. Saya tinggal di rumah Dalhari Nurmanto di
Karang Anyar, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, sampai pengajian pecah.
Pimpinannya menjadi dua Moch.Rifai dan Zainal Arifin. Sebelum pecah,
pengajian NIl Lampung dipimpin Abdul Kodir Barozak. Setelah Abdul Kodir
Barozak masuk penjara, pimpinan diambil alih Zainal Arifin. Tapi, Dalhari
Nurmanto uring-uringan karena dia tidak masuk dalam kepengurusan jamaah.
Dalhari marah, kemudian menunjuk pemimpin baru, Moch. Rifai itu. Setelah
pecah, jamaah bingung, termasuk Warsidi yang menjadi bawahan Zainal Arifin,
juga ikut bingung. Warsidi pergi, tidak mau lagi gabung dengan keduanya.
Saya masih tinggal di rumah Dalhari, diajak membunuh Zainal Arifin,
alasannya, Arifin juga mau membunuhnya. Saya tidak mau, karena Islam
melarang membunuh sesama muslim. Dalam kondisi seperti itu saya putuskan
untuk uzlah (mengasingkan diri) ke hutan supaya tidak bergabung dengan orang
yang saling ingin membunuh.

Pindah ke hutan, bagaimana maksudnya ?


Ada sebidang tanah milik jamaah, boleh ditempati. Hubungan saya dengan
mereka sementara putus. Sehari-hari saya mencari kayu dan menjualnya untuk
hidup. Saat kondisi saya seperti itu, Warsidi datang, menemui saya dan
membujuk agar saya bergabung dengan jamaah lain di tempatnya. Dia bilang:
"Kalau masih ada kawan, mengapa sendiri di hutan. Kita berkumpul dulu sambil
menunggu pemimpin". Saya ke sana dan akhimya bergabung.

Apa yang Anda ketahui tentang Warsidi ?


Dia orang baik dan juga calon pemimpin yang baik. Saat itu Warsidi sudah
menjadi Camat NII Lampung, yang ditunjuk Zainal Arifin. Di Cihideung inilah
Warsidi membina jamaah yang datang dari berbagai daerah di Jawa, termasuk
dari Ngruki dan Jakarta.

Apa saja yang dilakukan Warsidi saat itu ?


Membangun tempat, yang tadinya rumah biasa dibuat menjadi panggung, meminta
kejelasan kepada Zainal Arifin maupun Moch. Rifai, tetapi dari keduanya
tidak ada jawaban yang tegas. Dalam keadaan tidak jelas seperti itu
diputuskan untuk mencari dan mendatangkan Abdullah Sungkar dari Malaysia ke
Lampung. Sayang, sebelum Bapak Sungkar datang, sudah lebih dulu terjadi
peristiwa itu. Akhimya, Zainal Arifin juga ditangkap, bukan sebagai pengikut
Warsidi, tetapi dikaitkan dengan NII. Moch. Rifai sampai sekarang belum
ketahuan nasibnya.

Seberapa jauh hubungan Warsidi dengan NII ?


Memang kami ini jamaah NII, tetapi kami sudah tidak bicara NII lagi pada
saat itu karena jamaah Waisidi sudah berbaur dengan banyak kelompok dengan
latar belakang yang berbeda-beda. Bagi kami yang penting mempersiapkan suatu
perkampungan muslim dulu, selebihnya akan bergerak dari bawah tanah.

Berapa lama Anda mengikuti Warsidi ?


Sebenarnya tidak lama. Tetapi, saya kenal dia sudah sejak di Labuhan
Maringgai. Kemudian, kami bertemu di Cihideung ini untuk membangun , tempat

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 37

pengajian seluas 1,5 hektar, wakaf dari Pak Jayus. Selain itu, saya juga
punya tugas membantu Pak Sarikun di Gedung Wani, membangun bedeng untuk
musala. Bedeng Gedung Wani itulah yang akhimya dibakar oleh masyarakat.

Bagaimana Anda mengikuti perkembangan Cihideung, sementara Anda juga di


Gedung Wani ?
Saya tetap mondar-mandir, Cihideung-Gedung Wani dan tetap berhubungan dengan
beberapa orang penting. Misalnya, dengan Ibu Sakeh, yang menjadi lurah di
Desa Brajadewa. Lurah Brajadewa itu menjadi anggota jamaah Warsidi, karena
Rojai, Suaminya, sudah lama menjadi aktivis NII. Dari kantor kecamatan, Ibu
Sakeh memperoleh informasi bahwa aparat akan menertibkan Warsidi. Informasi
itu disampaikannya ke Cihideung dan Warsidi segera memerintahkan jamaah
untuk siap siaga. Pos-pos kamling harus dijaga oleh orang pondok. Masyarakat
dilarang ikut menjaga pos. Tak lama setelah itu (Minggu malam, 5 Februari.
1989), ada 5 jamaah ditangkap petugas. Warsidi marah. Malam itu juga saya
diperintah untuk segera merebut tahananan sampai dapat. Tapi, sebelum saya
berhasil menemukan 5 orang yang ditangkap itu, siangnya sudah terjadi
insiden. Kapten Soetiman terbunuh dan suasana pondok mulai mencekam.

Cara Anda mencari 5 anak buah yang ditangkap itu ?


Malarn itu juga saya berangkat, bersarna 12 orang jalan kaki berkilo-kilo,
lengkap dengan segala peralatan. Golok, pedang panah, dan born molotov kami
siapkan. Pukul 06.00 pagi, kami baru sampai di Koramil Way Jepara. Sebelum
masuk Koramil, sudah banyak orang berkerumun. Dari orang itu. saya mendengar
bahwa tahanan yang ditangkap katanya sudah dipindah ke Korem. Kami kemudian
berniat segera ke Korem di Tanjung Karang.

Kalau misalnya tahanan masih ada di Koramil, apa yang Anda lakukan ?
Rencananya, akan saya minta baik-baik. Kalau tidak bisa, saya rebut dengan
kekerasan. Pokoknya harus direbut. Tetapi karena mereka tidak ada di sana,
kami putuskan untuk mencarinya ke kota. Sebelum berangkat ke Korem Lampung,
kami sepakat singgah ke rumah Pak Zamzuri di Sidoredjo untuk mengatur
siasat. Kira-kira pukul, dua siang, sebelum kami berangkat, datang utusan
dari Cihideung, Beny dan Sholeh. Dari mereka, saya tahu bahwa di Pondok
telah terjadi clash. Saya cepat kembali, sampai di sana sekitar pukul empat
sore. Suasana sepi dan sangat tegang, mayat Soetiman kemudian kami kubur.
Kami mengadakan rapat, Warsidi memutuskan supaya tidak lagi konsentrasi pada
ke-5 orang yang ditahan itu. Strategi diubah agar diadakan penyerangan di
pos-pos komando ABRI. Intinya kami harus membuat kerusuhan dan teror di
seluruh Lampung supaya konsentrasi ABRI tidak memusat ke Cihideung.
Pertimbangannya, karena sudah membunuh ABRI, maka pasti akan ada penyerangan
ke kompleks. Sebab itu, teror Lampung harus dibuat.

Strategi Anda untuk menteror Lampung ?


Dari Cihideung saya kembali ke Sidorejo menemui 11 orang pasukan kami. Di
sana kami berunding dan sepakat harus mengobrak-abrik Korem sekaligus akan
melepas 5 teman kami yang ditahan di sana. Karena jarak Sidorejo dan Korem
Lampung itu sangat jauh, maka diputuskan untuk mencarter mobil angkutan dari
Sribawono ke Panjang. Di dalam rnobil ada seorang angggota ABRI, Pratu Budi
Waluyo, sebagai penumpang. Ketika mobil mau dicarter, dia tidak mau turun
dan ingin ikut saja. Dalam perjalanan, kami berkenalan. Saya bertanya:
"Bapak tahu ada kejadian di Cihideung?". la mengatakan tahu, malah mengaku
ikut ke sana. Karena pengakuannya itu, saya langsung bunuh dia. Sopir
ketakutan dan lari bersama kernetnya meninggalkan kami.

Dibunuh, caranya ?
Teman-teman memegang dari belakang, Lalu saya tusuk perut dan dadanya sampai
rnati. Mayatnya kami tinggal di dekat kebon sawit di Wrekan. Karena sopimya
lari, kendaraan disetir teman saya. Sampai di Tanjung Karang, ia mengeluh
setirnya tidak enak. Ketika ada Polisi menghadang, saya keluarkan golok,
malah akan kami tabrak. Tetapi, Polisi mungkin ngeri, akhirnya minggir. Kami
melanjutkan perjalanan untuk membakar kantor Lampung Pos. Saya lempar bom
Molotov,untung tidak rneledak.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 38

Kenapa Anda menyatroni Lampung Pos. Apa hubungannya ?


Memang tidak ada hubungannya. Cuma, dia itu koran yang paling banyak
bohongnya. Dibom saja biar kapok. Dasar mau selamat, bomnya tidak meledak.
Perjalanan berlanjut, tetapi sopirnya mengeluh dan tidak sanggup lagi.
Akhirnya, kendaraan ditinggal di daerah Tigeneneng, antara jalan Natar dan
Metro. Kami berpencar. Saya sendiri berjalan kaki, hendak kembali ke pondok.
Sampai di Cihideung, Selasa sore sekitar pukul 8 malam. Kondisi pondok sudah
hancur.

Bagaimana bisa masuk, sedangkan saat itu, Cihideung ditutup bahkan dijaga
ketat ?
Di lokasi malam itu, saya tidak melihat seorang pun penjaga ada disana. Saya
baru tahu bahwa sebenarnya waktu itu ada banyak penjaga. Setelah saya di
Korem, tentara-tentara di Korem berkata: "Oh, jadi yang datang malam-malam
itu. kamu. Saya tahu, tapi saya tidak mau menembak," katanya. Malam, ketika
saya datang memang dalam keadaan hujan deras, licin, dan gelap. Air kali
yang biasa saya gunakan mandi, meluap, dan banjir. Saya lelah dan tertidur
di puing-puing bekas rumah yang terbakar. Sebenarnya saya sudah tahu situasi
Cihideung dari keluarga Pak Sarikun ketika saya mampir.ke Gedung Wani
sebelum masuk Cihideung. Tetapi, saya penasaran ingin membuktikan sendiri.
Kira-kira pukul 05.00 pagi, saya bangun dan menyusur kali yang menuju arah
Pakuan Aji. Niatnya hendak ke Jakarta. Sampai di
Pakuan Aji, saya ditangkap masyarakat, diserahkan ke aparat setelah mereka
menghajar saya.

Selama di Korem, Anda bertemu Hendropriyono ?


Ya. Saya masih ingat. Waktu saya di sel, saya tidak boleh keluar, termasuk
mau kencing dan bahkan ketika mau berak. Akhirnya saya sengaja berak di
dalam sel. Waktu itu Pak Hendro lewat, dia nengok saya. Mungkin kotoran saya
tercium. Dia melihat kotoran itu. "Kamu berak di sini ?", katanya sambil
nunjuk-nunjuk. "Terus, mau berak di mana ? pintunya dikunci!", jawab saya.
Saat itu juga penjaganya dimarahi dan langsung disuruh ngepel. Setelah itu
saya disuruh ke kantornya. Dia bertanya sana-sini dan kalau ada tamu, saya
dikenalkan tamu-tamunya itu. Akrab sekali dia.

Hendro pernah memukul Anda ?


Tidak pernah. Dia malah bilang kepada anak buahnya. Sebenarnya orang-orang
ini adalah orang-orang yang punya keyakinan bahwa hanya dirinyalah yang
berjuang di jalan Allah. Jangan ada yang memukul lagi kecuali punya alasan
tepat, katanya. Setelah itu saya dipindah ke Raja Basa selama 2 bulan.
Kemudian dikirim ke Nusakambangan, sampai dibebaskan.

***

SUDARSONO
Mengaku sebagai penggagas terciptanya panah, beracun bagi kelompok gerakan
Warsidi 1989. Dia juga salah seorang pemimpin Jamaah Mujahiddin Fisabillah,
yang mengilhami gagasan lahirnya "Perkampungan Muslim" di Lampung.

DARSONO masih mempertahankan ciri khas, berjidad hitam, mengesankan banyak


sujud. Bicaranya ceplas-ceplos seakan-akan anti basa basi. Matanya tajam,
penuh selidik, tak mudah percaya orang. Pria kelahiran Deli, Sumatera, 21
April 1963, asal Jawa ini mengaku ingin cepat mati saja, daripada melihat
Islam tak lagi ditegakkan sebagaimana sunnah Rasul.

Lontaran kata-katanya menyiratkan keprihatinannya tentang perkembangan Islam


di Indonesia. Dari sana lahir gagasan mendirikan perkampungan muslim -model
Darsono, di Cihideung Talangsari III, Lampung Tengah. Gagasannya itu kandas
dan bahkan bermasalah hingga kini, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga
bagi ribuan orang, entah sampai kapan.

Masih ada satu lagi gagasan Darsono, yang membuatnya dikenal sebagai

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 39

pencipta panah beracun. Teman-temannya mengakui, di dunia ini cuma Darsono


yang mampu menciptakan panah model Cihideung itu. Bentuknya khusus dan unik.
Bahan bakunya pun sederhana. Ruji-ruji becak yang sudah tak terpakai dirakit
sampai berbentuk mirip anak panah. Bila tak ada jeruji becak, sepotong bambu
kecil pun masih bisa digunakan sebagai penggantinya.

Tentu saja, pria penuh semangat ini tak menyangka kelak gagasannya
membuahkan sesuatu yang tak pernah, ia kehendaki, menyusahkan banyak orang,
menyakitkan banyak pihak. Ternyata, buah karya tak selalu berbuah manis.
"Mas" Darsono, inilah contohnya.

Bagaimana awal lahirnya gagasan untuk mendirikan perkampungan muslim di


Talangsari itu ?
Sebagai seorang muslim, saya sangat sedih melihat perkembangan Islam seperti
ini. Dalam suatu pengajian ketika bertemu Nurhidayat pemikiran dan gagasan
saya ternyata sejalan dengannya. Di pengajian itu bertemu juga Usman yang
berasal dari pengajian Usroh Ngruki, Solo Usman kecewa dengan Abdullah
Sungkar gurunya yang kabur ke Malaysia, meninggalkan murid-muridnya,
termasuk dia. Akhirnya pengajian Ngruki bubar, seluruh pengikutnya
dikejar-kejar intel untuk ditangkap. Mereka yang selamat pindah ke Lampung,
ikut Warsidi dan menyelenggarakan pengajian yang sama, seperti di Ngruki.
Ketika itu saya dan Nurhidayat ingin membuat perkampungan Islam. Usman
menyambutnya dengan menawarkan dua lokasi. Di Lampung dan di NTB. Saya pilih
Lampung, selain karena dekat dengan Jakarta, mayoritas penduduknya
orang-orang Jawa.

Bertemu usman di mana?


Dia pengikut pengajian tetap Abu Sulaiman Mahmud, ulama mantan sekretaris
Daoed Beureueh, guru besar pengajian itu. Antara Abu Sulaiman Mahmud dengan
Abdullah Sungkar masih satu jalur di basis Negara Islam. Di situlah saya
bertemu Usman. Dia tertarik dengan ide saya mendirikan perkampungan Islam.
Untuk mewujudkan keinginan itu, saya adakan pertemuan di daerah Cibinong,
Bogor. Usman membawa lima utusan dari Lampung. Terbentuklah dewan amir.
Dewan itu memilih seorang amir musyafir. Saya memilih Usman, lainnya memilih
Nurhidayat. Dalam pemilihan itu, saya kalah suara 1 :4, maka Nurhidayatlah
yang dilantik sebagai amir musyafir. Alasan mereka, Nurhidayat berada di
Jakarta, sedangkan Usman di Lampung. Setelah pelantikan, kemudian
disepakati, siapa-siapa yang berbak merekomendasi keberangkatan jamaah ke
Lampung. Mereka itu ialah Nurhidayat, Fauzi, dan saya sendiri.

Fauzi bergabung dengan Anda, bagaimana ceritanya ?


Begini embrio pembentukan Lampung itu saya awali dengan membentuk shaf Ada 4
shaf, Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali. Masing-masing shaf ada yang
memimpin. Shaf Abu Bakar dipimpin Haris Amir Fallah, Shaf Umar dipimpin
Arifin Agule, Shaf Ustman, saya sendiri, sedangkan Shaf Ali dipimpin
Nurhidayat. Terus terang ide ini nyontek pola Darul Arqam di Malaysia.
Ternyata sistim shaf, tidak kompak dan akhirnya bubar. Tingga Nurhidayat dan
saya. Lalu kami ketemu Fauzi dan Wahiddin di Condet, tempat pengajian
orang-orangnya Abdullah Sungkar. Fauzi dan Wahiddin inilah yang direncanakan
untuk mengisi shaf yang kosong itu. Tapi belum terealisir, keburu peristiwa
Lampung meledak.

Seberapa jauh Anda dan Fauzi mengenal lokasi Lampung ?


Saya sudah 3 kali ke Lampung. Fauzi sekali, saya ajak ke sana. Sebab itu,
Fauzi tidak banyak tahu situasi dan perkembangan Lampung. Waktu saya
meninjau lokasi, saya jalan kaki dari Sidoredjo ke Cihideung lewat Gunung
Balak. Di Cihideung ada sekitar 1,5 hektar tanah yang direncanakan .sebagai
pusat kegiatan, sedangkan yang di
Sidoredjo dan di Gedung Wani direncanakan untuk pos persinggahan. Untuk
urusan Lampung, sepenuhnya diserahkan Pak Warsidi, sedangkan Nurhidayat
bagian Jakarta. Fauzi yang belum tahu banyak soal Lampung masih melakukan
konsolidasi. Itu sebabnya ia selalu bilang, gara-gara saya, ia masuk
penjara, katanya. Jadi kalau Fauzi sering bercerita banyak soal peristiwa

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 40

Lampung, itu karena ia banyak membaca koran. Tetapi, secara langsung ia


sendiri tidak banyak tahu.

Kapan terakhir Anda ke Lampung ?


Beberapa hari sebelum kejadian, salah seorang jamaah Lampung ke Jakarta
memberi laporan bahwa Camat Way Jepara memanggil Warsidi. Tetapi, Warsidi
menjawab sebaik-baik umaro mendatangi ulama dan seburuk-buruk ulama yang
mendatangi umaro. Saya bersama Nurhidayat berangkat ke Lampung untuk mencari
jalan keluarnya. Dalam pertemuan itu disepakati, Warsidi akan memenuhi surat
panggilan Camat. Skenarionya, bila pengajian dibubarkan, maka jamaah
dikembalikan ke asalnya masing-masing. Tetapi setelah saya kembali ke
Jakarta, rencana Warsidi berubah. Mereka tetap ngotot, menolak panggilan
Camat. Kabarnya, setelah Camat tak berhasil mendatangkan Warsidi, ia
menyerahkan urusan itu ke Koramil. Setelah Koramil bertindak itulah
peristiwa Cihideung meletus. Komandannya dibunuh dan mayatnya mereka
sandera. Sore harinya, Sofyan datang mengabarkan bahwa di Cihideung telah
terjadi insiden. Ketika itu juga saya mau berangkat ke Lampung, ditahan
Nurhidayat. Sejak itulah komunikasi dengan mereka terputus.

Setelah itu Anda kemana ?


Saya buron dan baru tertangkap setelah 6 bulan kemudian. Di dalam tahanan,
selama 4 bulan saya disiksa. Benar-benar saya merasakan kekejamannya aparat
Soeharto. Sebentar-sebentar saya disetrum, mula-mula dengan dinamo, kalau
belum puas mereka mengambil alat pelumpuh. Sebagai penutup, biasanya saya
benar-benar disetrum dengan listrik. Setelah disiksa 4 bulan, saya diadili
dengan ancaman hukuman mati, kemudian turun menjadi seumur hidup, dan
terakir vonis 17 tahun penjara. Pada kenyataannya saya menjalani hukuman
hanya 9 tahun. Berkah reformasi, saya dilepas dan bisa menikmati kemerdekaan
di alam bebas.

Kabarnya, Anda bersama teman-teman telah melakukanIslah. Apa itu ?


Islah dalam hal ini ialah perjanjian damai (azam) untuk membebaskan
teman-teman yang dikurung di Nusakambangan, melalui usulan Hendropriyono
(saat itu sebagai menteri), kepada Presiden, malah termasuk usulan grasi
buat Husein Al-Habsy (kasus Candi Borobudur), Sudiyatno (kasus Komando
Jihad), Afwan (kasus pesantren kilat), dan Marsudi. (kakak kandung Warsidi).
Alhamdulillah, semua berhasil. Islah itu terjadi setelah para korban
Peristiwa Talangsari (baik dari pihak Warsidi maupun dari pihak ABRI)
bertemu dengan Hendropriyono. Dari hasil pertemuan itu disepakati,
Hendropriyono membantu proses permohonan grasi untuk para narapidana kasus
Lampung.

Keputusan lainnya, Hendro memberi lapangan pekerjaan berupa tambak udang di


Lampung untuk 32 orang, termasuk 28 orang di Bima. Dengan Islah ini, seluruh
korban dan keluarganya telah menyelesaikan masalah dan telah damai secara
Islam. Karena itu, seluruh eks narapidana kasus Lampung tidak ingin kasusnya
diungkit-ungkit lagi.

Tapi ada yang mempersoalkan Islah itu, misalnya Nurhidayat. Komentar Anda ?
Saya sangat menyesalkan sikap dan tindakan Nurhidayat, yang membuat friksi
dan fitnah yang dampaknya sangat memalukan. Fitnah yang berkembang menyebut,
seakan-akan teman-teman telah terbeli, padahal Nurhidayat sendiri yang
paling banyak memakan uang dengan menjual kasus Lampung itu. Friksi ini
telah dimanfaatkan pula oleh beberapa LSM untuk mencari keuntungan sendiri.
Misalnya, Komite Smalam pimpinan Fikri Yasin dan LSM pimpinan Yopi Lasut
yang menggebu-gebu mencampuri kasus Lampung. Padahal pada waktu di penjara,
ia dan kawan-kawan sama sekali tidak menyuarakan hak mereka, apalagi memberi
bantuan. Yang ia bantu justru orang- orang PKl, Timor Timur, lrian Jaya,
PRD, dan seputar kelompok itu saja.

***

ISMED INONU

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 41

Kepala Desa Pakuan Aji, Kecamatan Sukadana, Lampung Timur

SEBELAS tahun lalu, Ismed Inonu masih menjadi tukang ojek yang sering
mengantar jamaah Warsidi ke lokasi Cihideung. Tetapi, kini menjadi Kepala
Desa Pakuan Aji, suatu daerah yang masih berbatasan langsung dengan
Cihideung Talangsari III, tempat Warsidi besama kelompoknya menghimpun
kekuatan melawan pemerintah.
Untuk mencapai markas Warsidi, saat itu jarak paling dekat adalah lewat
jalur Pakuan Aji. Bila ditempuh dengan ojek sepeda motor hanya sekitar 10
menit lamanya. Oleh sebab itu, jamaah yang hendak ke Cihideung lebih memilih
jalur Pakuan Aji, meskipun ada beberapa jalur lain yang juga bisa
menghubungkan markas Warsidi. Pria 42 tahun ini, asli Pakuan Aji. Kabarnya,
ia termasuk salah seorang yang tahu banyak soal tokoh kontroversial itu.
Berikut penuturannya.

Apa yang Anda ketahui tentang Warsidi ?


Saya mengenal Warsidi sebagai seorang buruh koret di kebun. Karena itu, saya
tidak percaya ketika banyak orang dari Jawa mengatakan bahwa, akan ke
Cihideung untuk mengaji kepada Kiai Warsidi. Tamu-tamu dari Jawa itu semakin
banyak dengan tujuan yang sama. Kabarnya mereka malah menetap bersama
Warsidi di pondok itu. Keramaian Cihideung tentu saja menarik perhatian
banyak orang. Malah, kemudian ada kabar bahwa, orang-orang yang datang ke
tempat Warsidi membuat masalah dengan warga sekitar. Tanamannya sering
hilang dicuri orang. Bambu, kelapa, dan bahkan singkong sering melayang.
Terakhir diketahui jamaah Warsidi tak hanya menjarah tanaman masyarakat,
tetapi malah meresahkan karena khotbah-khotbahnya tak lazim didengar oleh
telinga orang desa.

Dalam khotbahnya, Warsidi mengatakan apa saja ?


Mengatakan pemerintah zalim, Pancasila batal, yang tidak berjamaah dengan
Warsidi, kafir. Menghormati bendera itu dosa. Masih banyak lagi
istilah-istilah yang tidak dimengerti oleh masyarakat di sini. Oleh sebab
itu, anak-anak muda di sini saya larang datang dan ikut ngaji di tempat
Warsidi. Apalagi, setelah diketahui mereka itu
anti pemerintah.

Anti Pemerintah, bagaimana ?


Dipanggil Kepala Desa tidak mau. Disuruh rapat dan gotong-royong menolak.
Ronda, katanya tidak penting. Malah mereka berlatih silat dan, membuat
panah, katanya untuk membunuh kafir. Ketika didatangi aparat dia beringas,
rombongan diserang. Komandan Ramil Pak Soetiman dibunuh dan mayatnya
disandera. Masyarakat Pakuan Aji banyak yang ikut membantu aparat ketika
hendak mengambil jenazah Pak Soetiman.

Siapa saja yang ikut aparat ke lokasi Warsidi ?


Loso dan Kamarudin. Mereka diminta aparat untuk menjadi penunjuk jalan,
karena dua orang itu tahu persis situasi pondok. Kata Loso, orang-orang
Warsidi itu beringas dan sangat kejam. Selain menyerang aparat, mereka juga
menyerang anggotanya yang hendak melarikan diri. Malah sampai ada yang
dibacok telinganya, gara-gara akan menyerah kepada aparat. Loso dan
Kamarudin juga menceritakan, bahwa ia telah melihat orang-orang Warsidi
membakar pondok mereka sendiri.

Menurut Anda, mengapa mereka membakar kelompoknya sendiri ?


Saya hanya dengar dari Loso dan Kamarudin, mereka mengatakan yang keluar
murtad dan Islamnya batal. Daripada murtad masuk neraka, lebih baik mati
syahid, masuk surga.

Waktu kejadian, Anda di mana ?


Saya bersama-sama masyarakat ikut nonton. Waktu itu jam 07.00 pagi, saya
manjat pohon. Di bawah pohon itu saya melihat ada seorang anggota Brimob,
ngumpet. Saya tanya, "Kenapa tidak ditembak saja itu orang-orang Warsidi".

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 42

Dia bilang, istrinya lagi hamil tua. Terpaksa berangkat, karena perintah
tugas, katanya.

***

Bagian 7 - K.H. Muhammad Ichsan


BIARKAN MEREKA BICARA

K.H. MUHAMMAD ICHSAN


Pimpinan Pondok Pesantren Roudhatul Hidayah, Desa Mengandung Sari, Jabung,
Lampung Timur

PASANTREN Roudhatul Hidayah ialah salah satu pondok yang secara tidak
langsung terimbas dampak kegiatan Warsidi. Lolongan Warsidi ternyata
terdengar hingga radius 30 km, di mana lembaga pendidikan Islam ini berada.

Ketika itu Kiai Muhammad Ichsan merasa terusik, karena Warsidi mengirim
orang-orangnya untuk menghentikan ritual-ritual yang biasa dilakukan di
pesantennya. Tahlilan dan juga mauludan, misalnya, mereka minta agar tidak
lagi dilakukan. Alasannya, acara seperti itu tidak ada dalam Islam.
Perbuatan kiai pondok ini dinilai mengada-ada dan hukumnya bithah dholalah.

Karuan saja kiai NU, penganut tarekat Qodiriyah Nahsyabandiyah ini berkerut
dahinya. Semenjak di pesantren hingga setua itu belum menemukan dalil yang
melarang tahlilan, apalagi yang menyebut bit'ah dholalah. Yang dia temukan
justru sebaliknya. Bila tahlil diterjemahkan sebagai suatu rangkaian zikir,
maka bukan saja tuntunan Rasul, malahan perintah Allah.

Apa reaksi Pak Kiai waktu itu ?


Wah ..., saya sangat tidak setuju dan banyak yang marah waktu itu. Untung
dia segera pergi dan tidak kembali lagi. Kalau tidak, saya juga tidak tahu
apa jadinya.

Apa yang Kiai tahu tentang Warsidi ?


Saya mendengar khabar, dia mengambil tanaman masyarakat, tanpa merasa
bersalah. Mengatakan yang selain kelompok dia, kafir, termasuk ulama
sekalipun, bila tidak mendukungnya. Melawan pemerintah dan mempersiapkan
senjata perang seperti bom molotov, pedang, dan panah-panah beracun. Masih
banyak lagi kabar lain yang mengkhawatirkan umat. Tadinya saya tidak
percaya. Setelah ada yang datang ke sini dan melarang tahlil seperti itu,
saya baru percaya.

Apa ada jamaah Kiai yang menjadi korban Warsidi ?


Ada, motornya dirampas dan dibawa ke hutan. Tadinya dia hanya melihat-lihat
saja karena ada gegeran dan rame-rame. Pas rame-ramenya datang naik motor.
Sampai di situ dia dibacok.

Mati ?
Nggak mati. Bisa melarikan diri, tetapi akhirnya motornya dirampas oleh
kelompok itu dan dibawa lari ke hutan. Jadi, gerakan Warsidi sudah bukan di
Talangsari saja, malah sudah meluas sampai ke Sidoredjo. Di sana bikin
gegeran, ramai sekali. Satu minggu kemudian masyarakat menemukan motor
tersebut di hutan. Nah, orang yang punya motor kemudian mendapat fitnah
bahwa dia termasuk gerombolan Warsidi. Ditangkap, lalu saya bantu
mengeluarkannya. Orang itu bernama Husni warga NU, di daerah sini.

Apa ciri khas kelompok Warsidi itu ?


Cirinya, kalau orang tidak mau ikut dia dikatakan kafir dan halal darahnya.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 43

Inilah yang membahayakan. Banyak saksi rnata yang rnengetahui sendiri


perilaku gerakan Warsidi itu. Ada yang lucu, kalau orang sudah masuk ke
sana, dia itu terus jadi ngawur. Suka ngambil tanaman orang tanpa izin.
Anak-anak yang sekolah disuruh keluar oleh orang tuanya. Cara bicaranya juga
jadi ngelantur. Hal itu sernakin jelas setelah gerakan Warsidi membuat
rnarkas di Gedung Wani yang tak jauh dari sini, sebab orang sini juga ada
yang ikut. Yang terakhir, mereka malah membunuh Soetiman, Danramil Way
Jepara.

Mengapa mereka membunuh ?


Mereka menganggap, membunuh aparat itu sah, karena termasuk golongan kafir.
Jadi, ketika dipanggil ke Koramil, mereka tidak mau dan mengatakan ularna
itu tidak baik rnendatangi umaro. Itu hanya alasan Warsidi yang ingin
membunuh orang. Mereka sudah mempersiapkan diri membuat panah, bom, dan lain
sebagainya, termasuk latihan beladiri.

Kiai bisa di sini, bagaimana asal-usulnya ?


Dahulu, di daerah ini banyak maksiatnya. Perjudian, maling, garong, pokoknya
mo-limo itu ada semuanya. Maling di daerah sini memang aman, tapi perjudian
luar biasa. Adu jago, dari anak kecil sampai orang tua ada. Cara bicara
rnereka kotor dan jorok. Saya melihat ini prihatin dan sedih. Kalau
terus-menerus begini, rusak umat ini. Akhirna, saya mulai rnasuk dan ngajar
mengaji anak-anak. Satu-dua, sampai akhirnya banyak seperti sekarang.

Terus ?
Saya mendirikan majelis taklim ibu-ibu. Yang pertama ada 3 orang ibu-ibu,
lama-lama .bertambah banyak. Alhamdulillah. Setelah sekian tahun, ada
hasilnya. Masyarakat bertambah baik. Kegiatan keagamaan mereka jalankan,
tetapi kemudian muncul kelompok Warsidi itu.

Apa saja yang dilakukan kelompok Warsidi saat itu ?


Mula-mula ikut pengajian. Di dalam pengajian itulah mereka mengadakan
tanya-jawab. Lama-lama terjadi perdebatan, jamaah menjadi bingung,
masyarakat tidak senang. Lebih-lebih setelah mereka melarang acara Isra'
Mi'raj. Dia bilang, itu bid'ah. Merayakan Maulud Nabi, juga bid'ah. Orang
berkirim doa untuk orang mati dibilang sesat dan tidak akan sampai. Pokoknya
macam-macamlah, sampai gegeran dengan saya.

Menurut Kiai yang seperti itu bagaimana ?


Jelas tidak diterima masyarakat dan menimbulkan kerawanan sosial. Terbukti,
akhirnya peristiwa pemberontakan itu meletus, yang sekarang menyengsarakan
banyak orang. Mereka tadinya ingin ikut mengajar di sini. Tapi nggak jadi
karena ada bentrokan itu.

Selain itu apa lagi yang mereka katakan ?


Mereka mengajak masyarakat, agar mengikuti kelompok Warsidi, karena inilah
saatnya di mana orang sudah harus menjalankan ajaran Islam secara murni dan
benar. Oleh karena itu, bagi yang tidak mau mengikutinya, berarti tidak mau
menegakkan Islam. Orang seperti itu, katanya, batal Islamnya dan kafir
hukumnya. Orang kafir selalu mengerjakan yang musyrik, yakni yang dilarang
Islam, Kata dia, menghormat yang selain Allah itu jelas musyrik. Contohnya
menghormat bendera. Jadi sampai soal menghormat bendera juga dipersoalkan.

Warsidi bersama kelompoknya ditumpas, apa pendapat Kiai ?


Kami dari kalangan pondok pesantren sangat berterimakasih kepada aparat yang
segera bertindak. Sebab kalau tidak, kami akan bertindak sendiri. Kalau itu
terjadi, maka korban pasti lebih banyak lagi. Saat itu kalau kami tidak
ditahan aparat, kami bertindak dan pasti akan terjadi tawuran besar.

Kini orang-orang tertentu, dari kalangan LSM kabarnya mempersalahkan aparat.


Bagaimana menurut Kiai ?
Kami-kami pasti tidak senang. Mengapa aparat dipersalahkan. Kalau boleh,
kami akan ikut menjadi pembelanya. Karena jelas waktu itu gerombolan Warsidi
sangat meresahkan rakyat. Mestinya aparat itu harus diberikan penghargaan,

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 44

bukan sebaliknya.

Apa bentuk pembelaan Kiai ?


Bagaimana orang itu maunya, akan kami ladeni. Pokoknya lahir batin, kami
tidak rela kalau aparat yang menumpas Warsidi itu dianggap salah. Kami tidak
rela betul. Karena sangat tidak pantas orang yang telah berjasa kepada
rakyat dipersalahkan. Saya rasa mereka-mereka itu (maksudnya sejumlah LSM?),
hanya akan membuat kerok Lampung saja.

Apa Kiai sudah tahu, kini ada pihak-pihak yang hendak memperkarakan aparat
keamanan ?
Saya sudah baca berita-berita di surat kabar. Dan saya sangat tidak cocok
dengan berita-berita seperti itu. Saya sanggup menjadi saksi kalau
diperlukan. Saya sudah ngecek di lapangan. Seluruh orang Lampung, terutama
masyarakat sekitar Talangsari dan masyarakat Pondok Pesantren sudah siap
menjadi pembela aparat keamanan. Kami siap mengajukan bukti-bukti bahwa
Warsidi itu menyengsarakan rakyat, mengadakan perlawanan dan pemberontakan.

Apa komentar Kiai terhadap LSM seperti itu ?


Saya minta kalau mau mengungkit-ungkit kembali, silahkan. Tapi bicaralah
yang benar, jangan menipu rakyat dengan berita-berita bohong seperti itu.
Telitilah dulu dan tanya pada masyarakat, apa kata mereka itulah yang benar.
Apalagi pada saat itu, terjadi peperangan. Mereka harus tahu apa itu hukum
perang.

Bagi Islam, hukum perang itu bagaimana ?


Perang itu terjadi apabila masing-masing pihak menyerang. Jadi, yang gugur
di situ, ya sudah. Namanya gugur dalam perang. Asalkan jangan menganiaya dan
memerangi orang yang tidak mau berperang. Berperang melawan kejahatan itu
sangat baik. "Waquljaa'al haqqu wazahaqul baatil, innal baatila kaana
zahuuqaa ". Artinya, kebenaran pasti datang dan kejahatan pasti sirna.

***

K.H. MARZUKI THOHIR


Pimpinan Pondok Pesantren Miftakhul Hudda dan Pondok Pesantren Miftakhul
Fallah. Way Jepara, Lampung Timul: la salah seorang anggota DPRA Lampung
Timur

KIAI Marzuki Thohir, 60 tahun, punya pengalaman unik dengan tokoh


kontraversial Warsidi. Kiai salaf yang kini dipercaya mewakili umatnya di
DPRD Lampung Timur itu, mngurut dada ketika dirinya disebut kiai kafir oleh
Warsidi Cs, hanya karena berpandangan yang tidak sama dengan tokoh
ontran-ontran Cihideung itu.

Kini setelah 11 tahun, dalam ingatan pemilik 2 pesantren ini, serasa baru
kemarin. Masih terngiang di telinganya mendengar nyanyian anak-anak kecil
"ayo bikin panah, untuk membunuh kafir", ketika Marzuki melintas di hadapan
anak-anak itu, pada suatu ketika di tahun 1989.

Kiai Marzuki, mengesankan seorang ulama yang tangkas berpikir dan cerdas
berbicara. Yang tersenyum bukan cuma bibirnya, namun sorot matanya juga
seakan memancarkan senyuman. Perutnya tipis mengangkat bahunya yang bidang.
Seperti lukisan spiritual seorang tokoh yang lebih mementingkan luasnya
hati, ketimbang besamya waduk.

Ketika ditemui di rumahnya, 5 km. dari sarang Warsidi, raut wajah Kiai
Marzuki, masih menyiratkan kenangan lama.

Bisa dijelaskan, bagaimana hal itu bisa terjadi ?


Saat itu jamaah yang mengikuti pengajian saya, sudah banyak. Hingga ke

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 45

daerah Cihideung, di Talangsari itu, termasuk jamaah yang ada di musholah


Jayus. Pengajian yang sudah berjalan dengan baik di hati masyarakat,
digugat. Yang berbeda dengan kelompok Warsidi, kafir. Tentu saja termasuk
saya, karena saya yang merintis di sana, sebelum Warsidi berkembang biak.

Lebih jauh tentang Warsidi, apa yang Kiai ketahui ?


Yang jelas, seluruh masyarakat tidak cocok dengan dia, seperti minyak dan
air. Kelompok Warsidi terang-terangan menentang dan melawan pemerintah.
Komplek yang mereka tempati, diberinya nama Pondok AI Mahdil Aqwal, artinya
sebuah tempat untuk menggalang kekuatan. Mereka juga menghalalkan harta
milik orang lain yang dianggap kafir dan bebas mengambil tanpa perlu ijin
pemiliknya.

Kabarnya, mereka juga mengadakan latihan perang ?


Memang begitu. Malah sebelum peristiwa Talangsari, saya melihat banyak
anak -anak yang membuat panah. Sambil mengatakan: " Ayo kita buat panah,
untuk membunuh kafir" .Padahal ketika itu saya sedang melintas di hadapan
mereka. Tetapi dikatakan begitu.

Jadi syair nyanyian anak-anak sudah seperti itu ?


Waktu itu saya benar-benar sangat prihatin. Anak-anak yang tidak mengerti
masalah, sudah diajari membenci dan membunuh. Penduduk juga tidak mengerti,
mengapa mereka membuat panah dan mengapa yang tidak mendukung dikatakan
kafir. Suasana AI Mahdil Aqwal, benar-benar sudah berlangsung di sana.
Alhamdulillah, aparat cepat bertindak.

Tapi, mengapa aparat digugat dan disalahkan ?


Sudahlah, kebenaran akan tetap menang, tidak perlu sangsi. Gugatan tanpa
dasar, merupakan kejahatan. Kita akan bela kebenaran. Apalagi masalah
Talangsari adalah masalah rakyat. Biarlah rakyat yang akan bicara dan
membelanya. Mereka yang menggugat-gugat aparat, itu liar. Ada kepentingan
lain dan tidak murni untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Mereka hanya
memperalat mahasiswa, mencari uang untuk kepentingan diri sendiri. Kalau
diteruskan, mereka akan berhadapan dengan penduduk dan masyarakat pesantren.

Ada kabar, pihak-pihak tertentu akan mengadakan suatu acara di lokasi


Warsidi. Apa pendapat Kiai ?
Kalau acara seperti itu bisa menimbulkan kerusuhan lagi, pasti kami akan
membubarkannya. Seharusnya acara seperti itu tidak perlu diadakan, sebab
kegunaannya bagi rakyat tidak ada. Lebih baik menyelesaikaan masjid yang
kini sedang dibangun di sana. Masyarakat akan senang, karena selama ini
masyarakat sudah lelah dengan adanya peristiwa Warsidi itu. Jangan lagi
menambah beban masyarakat yang sudah susah. Rakyat Talangsari dan
sekitarnya, bisa marah.

Tentang Al Mahdil Aqwal, apa masyarakat tahu ?


Sebenarnya sudah. Malah saya pernah ngotot. Saya katakan, Al Mahdil Aqwal
yang ada di Cihideung itu, bentuk lain pemberontakan kepada pemerintah
melalui lembaga keagamaan, pesantren. Itu akan memecah belah dan merugikan.
Pemerintah akan mengatakan bahwa pesantren selalu menjadi tukang berontak
dan buat onar.

Apa ciri-ciri mereka ?


Kalau menggunakan ayat, cuma sepotong lalu diperdalam dan dihidup-hidupkan
sebagai kebenaran Islam. Begitu juga dengan hadistnya. Sebentar-sebentar
bicara jihad dan mati syahid. Semua menjadi kafir, kecuali kelompoknya.
Selalu menghubungkan hadits pada apa saja yang orang lain lakukan.

Beda Al Mahdil Aqwal dan Pesantren itu apa ?


Pesantren jelas sebagai tempat belajar para santri untuk memperdalam
pengetahun Islam. Sedangkan pondak Al Mahdil Aqwal, dipergunakan sebagai
tempat menghimpun kekuatan untuk memberontak. Oleh sebab itu, mereka membuat
bom, panah, latihan ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu tenaga dalam lainnya.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 46

Dengan hilangnya Warsidi dan kelompoknya, bagaimana kehidupan masyarakat


kini ?
Masyarakat benar-benar berterimakasih kepada aparat pernerintah yang sudah
berhasil menumnpas kegiatan Warsidi yang tak akur dengan warga. Warsidi
sering mengejek masyatakat sebagai rnanusia yang tidak berjalan di atas rel
Alquran dan Hadis Rasulullah. Pernah saya sampaikan ke Pak Danrem di
Lampung, bahwa ini akibat dari cara-cara memahami Alquran dan Hadis yang
tidak menggunakan ilmu alat. Orang akan mudah menuding orang lain sebagai
kafir dan harus diperangi. Ini sangat membahayakan perkembangan kehidupan
Islam itu sendiri.

Tentang ulama dan umaro, yang disoal Warsidi itu ?


Itu anak kecil yang baru tahu agama. Pengertiannya tidak sesederhana itu.
Kita harus lihat keperluan dan konteknya apa. Jadi, jangan asal bicara. Dari
dulu selalu membahas soal-soal begituan. Kalau orang Islam masih
berpandangan sesempit itu, pasti tidak bisa maju.

Berapa lama Pak Kiai pernah bersinggungan dengan Warsidi dan kelompoknya ?
Sebelum ada Warsidi, pengajian saya sudah sampai di Cihideung dan lancar.
Mereka datang dan ikut bergabung. Ketika saya menerangkan hukum wajib,
mereka protes dan mengatakan, pengajian saya keluar dari hukum Islam.
Menurut mereka berjamaah itu wajib. Sedangkan saya mengatakan, tidak. Sebab
yang wajib itu sholatnya, bukan jamaahnya. Sejak itu, kami berpisah.

Setelah kejadian itu, apa tindakan Kiai ?


Saya tegaskan pada umat, siapa yang ideologinya sama dengan saya, boleh
ikut, yang lain silahkan pisah. Akhirnya kami berjalan sendiri-sendiri. Saya
pernah mengatakan mereka ini bahaya. Akhirnya terbukti, mereka membentuk
kelompok Al Mahdil Aqwal itu.

KaIau masih ingat, waktu itu ada berapa orang ?


Waktu saya masih di sana, ada 15 sampai 20 orang. Setelah itu saya tidak
tahu lagi. Mungkin sudah bertambah banyak lagi.

Bagaimana dengan jumlah yang pernah mereka sebut hingga ratusan ?


Jelas, mereka itu bohong. Menggunakan ukuran apa pun, tempat seperti itu,
tak akan memuat ratusan orang. Tak akan ada orang percaya.

Saat pertama berkenalan dengan Warsidi, apa kesan Bapak. Adakah ciri-ciri
keulamaannya ?
Sepengetahuan saya, ilmu agamanya masih dangkal. Terutama dalam penguasaan
Alquran, termasuk cara membacanya. Kesan saya, Warsidi itu termasuk tipe
orang-orang yang hanya bermodal nekad.

Kini banyak LSM yang bergentayangan menyoal Talangsari. Apa pendapat Kiai ?
Kalau ingin mendapat penghormatan dari masyarakat, mereka harus bicara
jujur. Tidak mengatakan benar jika tahu ada kesalahan. Saya kira,
orang-orang yang mengatasnamakan LSM itu orang-orang yang kwalitasnya masih
rendah. Itulah sebabnya gerakan mereka sering di luar nalar, ngawur dan
tidak bermutu.

Ada pendapat, Warsidi Cs itu patut dibela karena mereka teraniaya. Menurut
Kiai bagaimana ?
Kalau yang ngomong itu orang-orang di Lampung Kota atau malah di Jakarta
sana sebaiknya jangan dianggap. Mereka umumnya tidak tahu masalah. Mereka
hanya ngarang. Cari uang tidak gampang. Dengan mengatasnamakan LSM, lalu
berteriak, mereka bisa gampang mendapatkan uang.

Pesan Kiai ?
Sekali lagi saya ingin menyatakan, Warsidi dan kelompoknya itu tidak akur

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 47

dengan masyarakat setempat. Mereka seperti minyak dan air. Kehadiran mereka
tidak dikehendaki. Selain menyakiti hati, mereka juga mengancam dan
menakut-nakuti rakyat. Bahkan mereka juga menipu. Berdalih dagang genteng,
tetapi setelah uang diserahkan, genteng tidak dikirim. Saya, salah satunya
yang kena tipu tersebut.

***

A.M. Hendropriyono
Mantan Komandan KOREM 043 Garuda Hitam Lampung, kena serimpung. Dicerca oleh
para pencari untung. Tetapi didukung orang sekampung, hingga ke ujung dusun.

ORANG boleh berang, malah boleh tidak percaya. Tetapi, ini kisah nyata
Hendropriyono, keloro-loro, lari tergopoh-gopoh ke ujung Dusun Talangsari,
mencari anak buah yang mati digorok Warsidi. Padahal, dia bisa saja menjadi
perkutut yang tinggal manggung di sangkar sambil menghitung hari. Situasi
gawat, minggat. Situasi untung, bergabung. Dijamin aman dan pasti nyaman.
Tanggung jawab pun menjadi ringan, malah mungkin bisa cuci tangan.

Kini, Hendro tak bisa menghindar dan pasti juga tak nyaman. Setelah sebelas
tahun peristiwa Lampung, ia diserimpung oleh orang-orang yang mencari
untung. Achmad Fauzi bin Isnan, misalnya. Seseorang yang oleh Sudarsono,
dinilai tidak banyak tahu soal Lampung, tetapi paling berbusa bibirnya bila
menyoal Lampung, tak henti-henti mencari peluang agar mendapat "proyek" dari
Hendro. Ketika suatu hari, salah seorang sahabatnya bertanya tentang
kegiatannya, Fauzi dengan bangga, menjawab: "Sekarang sedang mengerjakan
proyek, menginjak kaki Hendro", kata Fauzi sambil mengulum senyum.

Memang kemudian, proyek Fauzi itu berhasil, Masyarakat segera teropini,


setelah Fauzi mencari-cari "aib" Hendro dan membeber-beberkannya di media
massa. Pada saat Fauzi sedang menari-nari kegirangan karena merasa berhasil
bisa menginjak Hendro sebenamya penyusunan buku ini sedang memulai bab A.M.
Hendropriyono.

Pada bab ini, rencana semula hendak mewawancara langsung dengan


A.M.Hendropriyo seputar peristiwa Lampung. Akan tetapi, apa yang
diucapkannya, ternyata hampir sama dengan hasil survey penulis di lapangan
dan juga hampir sama dengan naskah yang disodorkannya kepada penulis saat
wawancara. Maka, penulis segera memutuskan untuk memuat naskah tersebut, apa
adanya. Berbagai alasan mengapa naskah asli, tulisan Hendropriyono ini
dimuat lengkap ialah untuk memberikan hak jawab secara langsung kepada
masyarakat, atas berita ya senantiasa menyoal dirinya.

Di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, tempat kediaman Hendropriyono, nampak tak


pernah sepi dari urusan Lampung. Sudah tak terhitung lagi bila tamu datang
selalu saja mengaku paling banyak tahu soal Lampung. Seorang teman
berkelakar: "Rumah Hendro seperti layaknya kantor Pemda Lampung
Sebentar-sebentar, orang datang, bukan saja urusan Warsidi di Talangsari,
tetapi berbagai urusan Lampung juga disodorkan kepada Hendro", katanya.

***

EKSKLUSIF DAN TERORIS


Laporan dari Mayor Abdul Azis

SENIN, 6 Februari 1989, di Bandar .Lampung. saya, Abdullah Makhmud


Hendropriyono, berpangkat Kolonel, Komandan KOREM 043 Garuda Hitam Lampung,
ketika baru kembali dari Palembang mengikuti rangkaian kegiatan ABRIi Masuk
Desa, menerima laporan dari Kepala Seksi Operasi Mayor Abdul Azis bahwa
seorang Komandan Koramil bernama Kapten Soetiman, disandera oleh suatu
kelompok misterius di suatu lokasi yang terletak di dusun Talangsari III

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 48

desa Rajabasa Lama kecamatan Way Jepara, pada saat melakukan kunjungan di
suatu lokasi, bersama rombongan Camat Way Jepara. Tujuan kunjungan ialah
untuk menemui kelompok yang menurut laporan warga setempat, dipimpin oleh
seorang yang bemama WARSIDI, yang selama 2 ( dua ) bulan terakhir, telah
meresahkan masyarakat karena kehidupannya yang eksklusif dan melakukan
kegiatan-kegiatan tanpa komunikasi sosial yang baik dengan warga desa. Sejak
kedatangan "orang-orang asing", rombongan demi rombongan dari pulau Jawa,
menimbulkan konflik-konflik dengan rakyat setempat.

Konflik-konflik awal dimulai dari hal-hal kecil, seperti pencurian hasil


tanaman rakyat oleh para pemukim baru yang tak dikenal itu, sampai ancaman
fisik terbadap kepala dusun di sana. Jadilah mereka sebagai suatu komunitas
baru yang muncul mendad yang mengundang banyak pertanyaan bagi wara
setempat.

Semakin lama bentuk konflik makin membesar dan memuncak. Lebih-lebih setelah
Kepala Dusun SUKIDI didatangi 5 (lima) orang tak dikenal dengan membawa
senjata parang dan golok, mengaku kelompok Warsidi mengancam hendak membunuh
Sukidi. Warga Talangsari III tidak bisa menerima perlakuan demikian karena
Sukidi ialah seorang tokoh pilihan rakyat. Masyarakat desa Rajabasa Lama
bersama masyarakat Pakuan Aji, desa tetangga terdekat, mulai bersiap-siap,
untuk mengbadapi segala kemungkinan, sambil melaporkan dan meminta aparat
setempat untuk mengambil langkah-langkah penertiban.

Panggilan beberapa kali yang dilakukan Kepa. Desa Amir Puspa Mega, atasan
Sukidi, sampai kedatangan Camat, sebagai umaro mengbadap "ulama" Warsidi,
tidak membuahkan hasil. Sebingga apa dan siapa kelompok tanpa legalitas dan
pernaskahan itu pun tetap kabur, tidak jelas. Namun demikian, para
penanggung jawab daerah tetap sabar dan mengikuti kehendak Warsidi yang
katanya berpedoman kepada Hadis Nabi yaitu: "Sejelek-jeleknya ulama dan
sebaik-baiknya umara, umara lah yang barus menghadap ulama". Maka
berangkatlah Camat Way Jepara Drs. Zulkifli ke tempat Warsidi untuk yang
kedua kali. Namun, kali ini dengan rombongan pejabat daerah lainnya yang
terdiri atas Kasdim Mayor Oloan Sinaga, Kapolsek, Kepala Desa Pakuan Aji,
Kepala Dusun Talangsari III dan beberapa orang lain yang semuanya pejabat
penanggung jawab daerah, ditambah sopir-sopir. Mereka mengendarai dua , buah
jeep dan sepeda-sepeda motor mendekati lokasi Warsidi di Cihideung.
Rombongan diserbu dengan parang dan golok oleh ratusan "jamaah" serta
hamburan anak-anak panah yang dilesatkan dari berbagai penjuru.

Rombongan memilih mundur meninggalkan gerombolan Anwar Warsidi yang sedang


mengamuk itu, untuk menghindari jatuhnya korban, karena tujuan mereka ke
sana untuk berdialog. Tetapi, mereka terus dikejar oleh para penyerang
sehingga Kapten Soetiman tertangkap dan Sertu Yatin menderita luka parah.

Dilanjutkan ke Pangdam
Laporan dari Mayor Abdul Azis ini saya lanjutkan ke Pangdam II Sriwijaya,
Mayjen TNI R.Sunardi, yang sedang berada di Bandar Lampung, dalam rangka
peresmian lapangan tenis baru untuk Korem GATAM.

Panglima Sunardi memerintahkan saya agar segera membebaskan Kapten Soetiman


dan melanjutkan usaha penertiban sesuai permintaan rakyat, yang sudah
mengajukan berkali-kali kepada Kodim Lampung Tengah.

Proses panjang usaha-usaha aparat pemerintah dan jajaran ABRI tingkat


Kecamatan dalam menyelesaikan ketegangan yang semakin membara dianggap oleh
para Kepala Desa dan Dusun setempat, berjalan sangat lamban. Karenanya jika
keadaan kelak makin tidak menentu, rakyat desa bertekad untuk
menyelesaikannya
sendiri.

Ketika para pemuka masyarakat dan jajaran apa keamanan sedang melakukan
pertemuan koordinasi kediaman Kepala Desa Rajabasa Lama, diterima kabar dari

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 49

Kasrem Letkol Purbani bahwa Kapten Soetiman telah tewas dibunuh dan
jenazahnya di tangan Warsidi. Diterima berita pula bahwa Pratu Budi Waluyo
juga telah dibunuh oleh kelompok Warsidi yang lain di Sidorejo bersama
seorang penumpang sipil, di suatu kendaraan umum. Kelompok itu merampas
mobil colt "Wasis" angkutan umum dan membawa kabur kendaraan tersebut
setelah sopirnya bernama Sabrawi serta kernetnya yang bernama Matsari
melarikan diri.

Dengan kendaraan rampasan itu mereka melakukan pelemparan bom molotov ke


kantor Harian Lampung Post, di kota Bandar Lampung.

Atas semua kejadian tersebut jelas terlihat bahwa kelompok Warsidi bukan
suatu kumpulan spiritual apalagi suatu jamaah pengajian Islam yang luhur,
karena mereka telah melakukan keonaran dengan aksi-aksi kriminal yang
bersasaran tak terbatas.

Aksi-aksi onar yang bersasaran tak terbatas bisa disebut teror dan istilah
ini semakin sesuai untuk semua perbuatan yang mereka lakukan kemudian yaitu
ketika pada keesokan harinya tanggal 7 Februari 1989, terjadi lagi
pembunuhan akibat bentrokan fisik terhadap Kepala Desa Sidoredjo (Santoso
Arifin) dan kepala Pos Polisi (Serma Pol Sudargo) dan melukai berat Serda
Pol Arief Sembiring, ketika para petugas itu sedang mengusut perampasan colt
angkutan yang mereka lakukan malam harinya.

Upaya Penertiban Bersama Rakyat


Unsur-unsur Muspida Propinsi dan Kabupaten Lampung Tengah termasuk saya
dengan pengawalan 3 peleton tentara dan 1 peleton Brimob bergerak pada pagi
hari bakda subuh 7 Februari 1989 menuju Cihideung dan menuju Sidoredjo. Ke
Cihideung untuk menghadapi Warsidi dan ke Sidoredjo untuk menghentikan teror
yang dilakukan oleh kelompok mereka yang dipimpin oleh Sugito dan Riyanto,
yang ketika itu bersenjata api rampasan berupa dua pucuk pistol dari
almarhum Serma Pol. Sudargo dan Serda Pol. Arief Sembiring yang luka parah.

Bentrok fisik di Cihideung tak terhindarkan dan Warsidi tewas. Sedangkan


dari pihak ABRI beberapa orang menderita luka berat, seorang diantaranya
berpangkat bintara. Seperti halnya yang dialami rombongan Camat Zulkifli dan
Oloan Sinaga, serangan Warsidi terhadap rombongan kami, mereka lakukan
dengan berteriak -teriak, sambil melesatkan anak panah beracun dari berbagai
penjuru, termasuk dari sebagian pasukannya yang berada pada kedudukan
pertahanan di tanah, yang telah mereka gali sedalam dada. Anak-anak panah
yang digunakan terbuat dengan baik dari ruji-ruji sepeda dan sebagian ada
pula yang terbuat dari bambu.

Bentrokan fisik antara kedua pasukan tak terhindarkan, sementara pengikut


Warsidi bagaikan orang kerasukan setan berteriak-teriak. Dari dua belah
pihak memekikkan gema : ". ..AllahuAkbar ", seolah-olah rebutan untuk meng
claim bahwa pihaknyalah berjalan dalam ridha Allah SWT.

Ketika suasana demikian hiruk pikuk dan suara megaphone untuk menghimbau
kelompok Warsidi agar menghentikan perlawanannya dan usaha mengendalikan
gerakan massa menjadi sukar, tiba-tiba bilik-bilik mukiman Warsidi,
terbakar. Pasukan segera bergerak cepat menuju ke arah pondok-pondok
tersebut bersama masyarakat Rajabasa Lama, Talangsari III Pakuan Aji
memadamkan kobaran api dan sekaligus menyelamatkan korban. Namun tidak semua
orang dapat kita selamatkan dari kobaran api karena mereka yang berada di
dalam pondok dilarang keluar dan diancam penjaga dari kelompok mereka
sendiri: "Jangan ada yang keluar dan menyerah kepada kaflr. Kita akanmati
syahid di sini bersama-sama". Sehingga tatkala api mulai menyala, banyak di
antara mereka yang tak berani keluar dari pondok yang terbakar itu. Di
antara mereka yang tertolong adalah seorang perempuan berna Widaningsih yang
diselamatkan bersama-sama dengan beberapa kawannya oleh salah seorang

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 50

anggota ABRI yang berjibaku masuk ke dalam api yang tengah mengganas.

Seorang remaja perempuan, anak Warsidi bernama Toyibah, melompat keluar


lewat jendela, tetapi segera diikuti oleh ayunan parang dari arah dalam yang
membabat telinga dan sisi kanan kepalanya. Anak tersebut dapat dievakuasi
dan diselamatkan jiwanya, setelah ditangani kemudian oleh para dokter di RS
Abdul Muluk.

Tak seorang pun pengikut Warsidi bisa kita kenali sebab memang semenjak awal
kedatangan mereka, tidak membawa pernaskahan apa-apa. Malah kemudian
diketahui bahwa nama-nama mereka hampir semuanya diganti. Sebagai contoh,
Sugito adalah nama lain dari Fadhillah.

Belakangan, salah seorang bekas rekan Warsidi memberi kesaksian, bahwa yang
membakar pondok-pondok di Cihideung itu ialah pengikut Warsidi sendiri.

Keberingasan yang Meluas


Pada tanggal 9 Februari 1989 bari Kamis lebih kurang pukul 09.00 WIB
sekelompok pengikut Warsidi menyerbu KODIM Lampung Tengah. Mereka turun dari
sebuah kendaraan umum sewaan dan melemparkan bom-bom molotov, mengenai
sepeda motor Serma Kanten sampai terbakar. Bom berikutnya dilempar ke arah
pos penjagaan, tetapi meleset dan hanya mengenai papan nama Primkopad,
sehingga api menjilat bangunan tersebut. Sementara itu, salah seorang
penyerang., berhasil merebut senjata api M-16 dari Pratu Supriadi di pos
jaga. Namun serangan dapat dipatahkan oleb para anggota ABRI di sana dan
senjata dapat direbut kembali. Korban yang jatuh di pibak ABRI ialah seorang
tamtama luka parah.

Pada bari yang sama rakyat di pasar Metro dibuat gempar, karena sekelompok
anggota Warsidi mengamuk di tempat itu dan menjarah barang-barang dagangan
yang
ada. Serta merta pasar menjadi ditutup beberapa hari kar suasana keamanan
yang mencekam.

Pada bakda Asar hari Kamis itu, sekelompok pengikut Warsidi bersenjata golok
dan celurit, memasuki RS Mardi Waluyo, Metro. Mereka mencari anggota-anggota
ABRI yang dirawat inap di sana. Akan tetepi gagal karena penjagaan di rumah
sakit tersebut telah kita perkuat sebelumnya, sehingga dalam perkelahian
dengan Satpam rumah sakit yang bernama Kadar, salah seorarig dari penyerang
dapat tertangkap.

Tidak semua dari mereka yang berbuat onar Lampung sejak 6 Februari itu dapat
tertangkap. Oleh karena itu, mulai 8 Februari 1989, pengacauan yang mereka
perbuat pun cenderung meluas ke luar dari Cihideung, Talangsari III, dan
dari Sidoredjo. Hal ini terlihat dari aksi-aksi mereka tersebut, yang
semakin beringas sampai ke Metro Ibukota Lampung Tengah. menjarah pasar,
bahkan sampai berani hati untuk memasuki rumah sakit.

Demi melindungi dan menentramkan rakyat, kami melakukan koordinasi dan


pertemuan dengan para tokoh agama dan tokoh-tokoh informal daerah guna
menilai apa gerangan sebenarnya gerakan yang dilakukan Warsidi itu.

Kesimpulan yang diambil saat itu ialah gerakan Warsidi dilakukan oleh
kelompok oknum-oknum jamaah "Negara Islam Indonesia" yang menyempal Garis
perjuangan NII, sebenarnya saat itu telah berbeda jauh dengan strategi
kekerasan yang dalam sejarah terbukti telah menimbulkan korban rakyat,
terutama umat Islam sendiri yang. sangat banyak.

Akibat dari meluasnya aksi kekerasan Warsidi, muncul reaksi pembersihan oleh
rakyat secara semesta di seluruh Propinsi Lampung, sehingga tertangkaplah
Zaenal Arifin yang kemudian menjadi tertuduh sebagai Gubernur NIl (Negara

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 51

Islam Indonesia) Propinsi Lampung beserta segenap personil jajarannya.

Keterangan yang diperoleh dari Zaenal Arifin dan kawan-kawannya, membuktikan


bahwa pembiasan gerakan Warsidi dari perjuangan NII merupakan suatu gerakan
serpihan. Penyerpihan Warsidi konon karena provokasi Nurhidayat Cs. yang
dikenal sebagai kelompok empat, yang berkedudukan di Jakarta, sehingga ia
lalu berpaling dari Zaenal Arifin.

Nurhidayat adalah tertuduh yang paling bertanggung jawab terhadap rencana


mendirikan "basis perjuangan" dengan cara kekerasan, melalui Warsidi yang
semula seorang lugu, memiliki 1,5 hektar tanah wakaf dari Jayus di
Cihideung.

***

Bagian 8 - Menghitung Angka


MENGHITUNG ANGKA

Apa arti sebuah angka ?


Kalau kata-kata, tak lagi bermakna. Angka, bisa berarti apa saja, juga bisa
tak berarti apa-apa. Angka adalah keniscayaan. Siapa mengusai angka, ia
tergolong Manusia utama. Siapa mempermainkan, ia akan tercela..

TIBA-TIBA saja, angka menjadi punya makna, ketika segelintir orang rnenyoal
dirinya. Padahal, peristiwanya sendiri telah berlalu hampir sebelas tahun
sudah tatkala Talangsari, Way Jepara, menjerit teraniaya akibat sekelompok
kecil. anak bangsa membuat gara-gara. Warsidi, bersama kelompoknya tak
"menjunjung langit", ketika mereka memijak bumi Talangsari, pada Februari
1989. Masyarakat Talangsari resah, kedamaiannya terkoyak oleh tamu-tamu
misterius yang belum memahami adab. Konflik kecil memuncak tak terkendali.

Peperangan harga diri berobah menjadi perang hidup atau mati. Sejumlah orang
menjadi korban dan sejumlah lainnya menjadi tumbal.
Korban drama Talangsari inilah yang dikais-kais, kembali oleh segelintir
orang, atas nama kelompok tertentu dan untuk kepentingan tertentu pula.
Tetapi, warga masyarakat Talangsari dan sekitarnya sudah hafal dengan
perilaku mereka. Masyarakat tak lagi percaya dengan mereka, malah
menyatakan, pengungkit-ungkit Talangsari itu digambarkan sebagai orang-orang
pencari untung. Menjual Talangsari, untuk kepentingan diri sendiri.

Pengais angka tersebut memang getol menyebar-nyebarkan temuannya, melalui


berbagai media, setelah lebih dari sepuluh tahun peristiwa Talangsari
berlalu. Ternyata tak semua media percaya pada temuan mereka. Dari puluhan
media di negeri ini, cuma beberapa yang sudi menyebar-nyebar isu tentang
jumlah angka yang mereka temukan. Apalagi pengkaisan angka tersebut, terasa
lebih bermuatan politis, ketimbang pembelaan hak azasi manusia. Agaknya,
aroma kebenaran tetap tidak sama dengan aroma dusta, sekalipun dibalut
pakaian kemanusiaan.

Angka yang dipersoalkan itu, tentang tewasnya gerombolan Warsidi yang


berontak di Talangsari, Way Jepara, Larnpung Tengah 1989. sebelas tahun
lalu. Namun ketika zaman reformasi datang, ketika rakyat tak lagi takut
ditangkap, apalagi dipenjara, euforia mengeluarkan pendapat menjadi gaya
hidup sebagian orang. lnilah yang menyemangati beberapa orang menengok
kembali masa lalu, tentang tragedi Talangsari yang mereka anggap belum
selesai. Agaknya target dari spekulasi mereka ialah agar dirinya dikenal
masyarakat, sebagai "pahlawan HAM".

Mereka mulai menghitung dan memunculkan deretan angka 246 orang gerombolan
Warsidi tewas dalam insiden Talangsari, 11 tahun lalu. Temuan versi pencari
untung itu ternyata menjadi masalah karena jumlah yang mereka kuak,

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 52

berselisih jauh dengan temuan masyarakat setempat, pada saat peristiwa


terjadi.

Ketika itu, sehari setelah gegeran, masyarakat Talangsari melaporkan kepada


pemerintah bahwa ada 27 orang gerombolan Warsidi tewas. Jumlah ini kemudian
dilansir oleh seluruh media massa baik nasional ataupun intemasional. Dunia
pers kita pun adem-ayem terhadap angka tersebut. Hingga tahun 1998, sepuluh
tahun kemudian, datanglah isu baru dari sekelompok orang yang menyoal
Talangsari menemukan sejumlah angka baru.

Beberapa pers kita pun mencoba mengangkat isu baru itu. Misalnya Harian
Merdeka, 11 Oktober 1998, menyebut ada 4 pondok terbakar. Tiap pondok dihuni
rata-rata 100 orang: anak-anak, orang dewasa laki-laki serta perempuan, mati
terpanggang. Artinya ada 400 orang, menjadi korban. GATRA, majalah mingguan
22 Agusutus 98, juga mengutip sejumlah angka. Ada 246 penduduk sipil
terbunuh, dalam insiden Talangsari mengiringi robohnya 4 bangunan pondok
yang rata-rata berukuran 6x9 meter, terbakar.

Kedua terbitan itu tak mempersoalkan bagaimana angka-angka itu muncul


tiba-tiba setelah sepuluh tahun peristiwa berlalu. Bagaimana cara
menghitungnya dan ada nuansa apa di balik penguakan angka itu ? Agaknya tak
menjadi soal. Bahwa kemudian soal angka menimbulkan masalah, agaknya juga
soal lain. Temyata sebuah angka bisa menjadikan orang mulia atau nista,
utama atau tercela.

Ribut -ribut soal penguakan angka itulah yang antara lain, menyemangati
penulis buku ini untuk ikut membuktikan sendiri, mencari informasi dan
datang ke lokasi. Di kawasan Gunung Balak, Way Jepara, yang sekarang menjadi
Lampung Timur, ternata banyak hal bisa dikuak. Termasuk menyoal angka. Bukan
sekadar kira-kira atau kata orang, akan tetapi bisa dihitung berdasarkan
logika.

Datang ke Lokasi
Cihideung kini mungkin beda dengan Cihideung masa lalu. Paling tidak,
situasi dan suasananya. Kini yang tampak hanya hamparan ilalang, daunnya
menjurai-jurai seakan mengikuti ke mana angin berlalu. Lepas, tak berbeban.
Di antara lambaian ilalang itu, masih ada satu. atau dua pohon kelapa yang
tersisa. Pohonnya tinggi menjulang ke langit, seakan ingin berlari
meninggalkan bumi yang tak lagi damai, tempat orang bertikai. Ditaksir
usianya sekitar 20 tahun, bahkan bisa lebih. Sehingga segera terbayang saat
gegeran Talangsari terjadi, dialah saksi hidup yang tak mungkin dusta.
Sayang, ia tak bisa bicara.

Berada di lokasi, tiba-tiba ada perasaan malu menghitung angka, khawatir


kalau-kalau salah. Pada situasi seperti itu, teringat masih ada ukuran yang
bisa dipercaya, dialah logika. Bersama penduduk mulailah menapak tilas dan
berlogika. Mula-mula membuat peta lokasi. Kemudian mendata; berapa luasnya
Cihideung sebelum menjadi Talangsari. Berapa luas tanah yang dihadiahkan
kepada Warsidi. Berapa jumlah bangunan rumah atau pondok di hamparan tanah
keluarga Jayus saat itu. Terakhir, berapa luas bangunan yang mereka buat
untuk hunian anggota yang datang dari berbagai tempat itu.

Dari sanalah, ditemukan sejumlah angka. Luas Cihideung, berkisar antara 25


hingga 30 hektare. Jayus dan keluarganya memiliki 5 hektar. Dihadiahkan
hektare untuk suatu kegiatan kelompok yang dipimpin Warsidi. Di tanah seluas
1,5 hektare itulah Warsidi menjalankan kegiatannya dan membangun rumah
panggung dari bambu, berukuran 6 x 9 meter, untuk rumah tinggal. Di
sebelahnya masih ada 3 bangunan lain masing-masing rumah Jayus, rumah
Marsudi dan rumah Pardi.

Di tempat itu mereka menetap ingin membentuk suatu komunitas hidup, sambil
bercita-cita besar, untuk berdirinya suatu perkampungan muslim. Mimpi

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 53

berubah menjadi keinginan mengembangkan suatu "basis perjuangan NII" setelah


ada kelompok ke Jakarta yakni Sudarsono, Nurhidayat, Fauzi d Wahidin, datang
ke Cihideung, kepincut oleh iming iming "Tuan" Usman yang mengaku insinyur
menawarkan lokasi untuk hijrah. Dan Cihideung, Lampung Tengah itulah
pilihannya Ini data baku, yang bisa diperoleh siapa saja. Da data baku
tersebut, semua orang kemudian bisa dengan, mudah berlogika. Adakah sebuah
bangunan berukurn 6 x 9 meter (mirip rumah petak di Jakarta), bisa memuat
100 orang bahkan lebih, dalam kehidupan berumah tangga ada suami, ada istri,
ada anak-anak dan malah ada mertua, cucu bahkan ponakan.

Dalam kondisi seperti itu, orang kemudian bertanya, bagaimana posisi mereka
tidur, di mana membuat dapur untuk memasak bagi 100 orang lebih, di setiap
pondoknya. Juga dipertanyakan, bagaimana mereka mendapat bahan makanan bagi
kehidupan 400 orang, tiap hari ? Harap dicatat ini bukan kehidupan darurat,
dalam sebuah perkemahan yang sementara. Tetapi, kehidupan jamaah Warsidi
berada dalam komunitas perkampungan yang relatif menetap.

Setelah dikonfirmasi dengan banyak pihak, ternyata rata-rata tiap pondok


hanya 25 hingga 30 orang saja penghuninya. Achmad Sarikun, salah seorang
jamaah Warsidi yang fanatik, bersama istrinya menjelaskan. Menurut Sarikun,
dirumah Warsidi ada sekitar 20sampai 25 orang. Sedangkan di tempat Marsudi,
Jayus dan Pardi, rata-rata 15 sampai 20 orang. Dari hitungan Sarikun, bila
dijumlah, maka seluruh jamaah Warsidi ada sekitar 100 orang yang menetap di
komplek itu.
Jumlah ini mendekati logika. Karena, ketika Zulkifli datang ke pondok
Warsidi, Camat yang diancam hendak dibunuh itu, mengatakan ada 25 hingga 30
orang, terkesan penuh pada posisi duduk. Keterangah Zulkifli dibenarkan oleh
Sukidi, yang beberapa kali datang ke lokasi tersebut. la tidak bisa
berkomentar, bagaimana bangunan seperti itu bisa diisi lebih dari 100
manusia, yang juga punya hajat hidup sebagaimana manusia normal lainnya.

Eksodus
Ramai-ramai menghitung jamaah Warsidi, tak mungkin bisa melupakan peristiwa
penting tentang eksodus jama'ah, yang tak lagi taat pada imam. Kejadiannya
begitu cepat. Malah sebagian penduduk sempat merasa takut, ketika
serombongan jama'ah keluar melewati perkampungan masyarakat. Mereka mengira
jamaah Warsidi hendak menyerang perkampungan. Peristiwa ini benar-benar tak
terlupakan, karena kisahnya cukup unik. Saat itu, masyarakat melihat ada
serombongan orang-orang Warsidi, menuju ke desa mereka. Masyarakat
bersembunyi di balik bilik atau di semak belukar. Belakangan baru diketahui,
ternyata mereka cuma numpang lewat.
Pada saat itu terdengar suara: "Sudah jangan lagi ikut Warsidi, orang Islam
kok membunuh. Kita ini ingin hidup. Pemerintah kok dilawan". Kata-kata
seperti inilah yang hingga kini masih sering menjadi celoteh masyarakat
Talangsari yang berangsur-angsur membaik kondisi mereka, setelah
bertahun-tahun dicekam ketakutan dan mendapat stigma jahat, gara-gara
peristiwa Warsidi.

Dari Pakuan Aji, juga diperoleh kabar hampir senada. Sehari sebelum
kejadian, ada gerakan eksodus meninggalkan Warsidi. Gerakan ini dilakukan
oleh orang-orang yang protes, karena menyesalkan terjadinya pembunuhan.
Mereka melihat bagaimana Kapten Soetiman yang datang bersama rombongan
diterjang panah dan golok sampai menemui ajal setelah ditebas lehernya oleh
Marsudi. Tak seluruhnya setuju atas tindakan brutal Marsudi. Mereka yang
tidak sepaham, lalu meninggalkan perkampungan impian.

Dengan adanya peristiwa eksodus itu, menurut masyarakat setempat, otomatis


jumlah mereka semakin sedikit. Kalau seluruh jamaah Warsidi ada 100 orang,
atau katakanlah lebih. Maka yang tertinggal, tentu berkurang. Sukidi pernah

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 54

menyebut angka 70 sampai 80 orang yang pergi melewati Talangsari III.


Sedangkan Ismed Inonu, menyebut 50 orang malah bisa lebih, melewati Pakuan
Aji'. Itu pun belum terhitung yang ke arah Kelahang.

Siapa pun, agaknya tak mungkin bisa menghitung dengan pasti berapakah jumlah
korban gegeran Talangsari. Sehingga ketika ada pihak yang mengklaim sesuatu
jumlah, masyarakat setempat menyatakan,. itu angka dusta. Korban peristiwa
Warsidi masih misteri. Namun ada baiknya biarkan sejumlah angka terus
bergulir dan mengalir. Karena siapa dusta dia akan celaka.

Versi Kontras
Kontras, menggolongkan korban gegeran di Talangsari, Way Jepara Lampung
Tengah, 7 Februari 1989, sebagai orang hilang. Menurut Kontras, berdasarkan
laporan dari ahli waris, ada 29 orang hilang di Talangsari. Mereka, terakhir
terlihat di komplek perkampungan jamaah di Cihideung, Dusun Talangsari III,
Kelurahan Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Tengah.

***

Bagian 9 - Kesaksian Loso & Kamarudin


KESAKSIAN LOSO
DAN KAMARUDIN

Dua orang saksi mata, berdiri di garis paling depan ketika peristiwa gegeran
Talangsari 1989, berlangsung. Mereka, penduduk sipil warga Pakuan Aji,
menjadi pemandu jalan bagi aparat yang hendak mengambil jenazah Kapten
Soetiman, dari tangan Warsidi.

SAMPAI mati pun peristiwa Talangsari 1989, tak akan terhapus dari
ingatannya. Masih terbayang di benak mereka, kejamnya gerombolan Warsidi
yang tega membantai kelompoknya sendiri, ketika ada yang hendak
menyelamatkan diri dari kobaran api yang menjilat-jilat tubuh kelompok itu.
Jeritan ratap dan tangis dari dalam gubuk bambu itu, meruntuhkan hati Loso
dan Kamarudin, dua orang saksi yang melihat langsung peristiwa sedih, cara
mati suatu kaum yang dibantai saudaranya sendiri.

Loso, kini berusia 60 tahun sedangkan Kamarudin, 30 tahun. Dua warga sipil
dari Desa Pakuan Aji ini, sebelas tahun lalu mendapat tugas dari A. Syamubi,
Kepala Desa Pakuan Aji untuk mendampingi aparat mengambil jenazah Kapten
Soetiman, dari tangan kelompok GPK Warsidi di kompleks Cihideung, Talangsari
III, Way Jepara, Lampung Tengah. Loso menjadi penunjuk jalan bagi regu
Letnan Untung, sedangkan Kamarudin mengikuti regu Letnan Sunamo.

Loso yang hingga kini masih jadi petani, dipercaya karena dia seorang Kepala
Dusun Suka Putra III, menguasai benar kawasan Cihideung di Talangsari III
itu. Dusun Suka Putra III, Desa Pakuan Aji, memang berbatasan langsung
dengan Cihideung. Oleh karena itu, tak heran ia dipilih menjadi penunjuk
jalan bagi aparat yang hendak mengambil jenazah dari kelompok aneh itu.

Menurut pengakuan Loso, ketika mereka mendekati kompleks Warsidi, regu


Untung langsung mendapat serangan sengit. Mereka dihujani panah beracun oleh
orang-orang yang histeris bagaikan kesetanan. Di tengah-tengah kancah
peperangan itu, telinga Loso dipecah oleh suara tangisan dan jerit memilukan
dari sebuah pondok yang tak jauh dari dirinya. Jeritan itu ternyata suara
beberapa orang anggota Warsidi yang dibacok oleh kelompoknya sendiri, ketika
hendak lari meninggalkan gerombolannya.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 55

Tentu saja Loso tak bisa berbuat banyak menghadapi situasi yang demikian
itu. Dari sekian banyak korban yang dibantai oleh kelompok mereka, terdapat
seorang gadis yang berhasil diselamatkan. Dia bernama Toyibah, kabarnya ia
anak kandung Warsidi yang berhasil lolos dari maut. Ketika itu Toyibah
melompat melalui jendela, namun disabet golok dari arah dalam hingga
mengenai telinga dan pundaknya sampai bercucuran darah. Loso
menyelamatkannya dengan cepat dan menyerahkan kepada aparat untuk dikirim ke
Rumah Sakit Abdul Muluk di Bandar Lampung, bersama korban lain dari pihak
aparat yang disambar panah beracunnya kelompok Warsidi.

Kisah sedih Loso pun dialami Kamarudin, seorang yang juga dipercaya untuk
memandu aparat yang hendak mengambil jenazah Kapten Soetiman dari sarang
Warsidi. Kamarudin memandu regu Letnan Sunamo. Kala itu, Kamarudin melihat
langsung bagaimana aksi kelompok Warsidi dengan panah beracunnya, membabi
buta memanahi aparat yang mendekati mereka.

Keganasan mereka ternyata tak hanya kepada aparat. Bila kelompoknya ada yang
hendak melarikan diri, dikejar dan dibantai sebagaimana membantai musuh.
Tentu saja perbuatan seperti itu tak mudah dimengerti, apalagi oleh
Kamarudin yang ketika itu .baru berusia belasan tahun. Tak cuma itu,
Kamarudin juga menyaksikan sebuah pondok berisi anak-anak yang
menjerit-jerit ketakutan, dibakar oleh mereka. Tak ada yang mampu
menyelamatkan kejadian itu karena pintu-pintunya dikunci dan dijaga oleh
mereka, sampai terbakar hangus.

Kesaksian ini baru terungkap setelah 11 tahun peristiwa mengerikan di


Talangsari itu berlalu. Sesungguhnya memang tidak mudah menghubungi dua
orang saksi mata yang terlibat langsung di kancah peperangan itu. Bahkan,
telah dua kali penulis berupaya datang ke Pakuan Aji, ingin menemui dua
saksi mata tersebut. Namun, berbagai alasan dan hambatan ada saja yang
menggagalkan pertemuan itu. Setelah tak lagi berharap bisa mendapatkan
keterangan dari mereka, penulis memutuskan untuk melupakan dua narasumber
penting tersebut.

Pada saat proses penulisan buku ini, secara tak diduga datanglah kedua orang
itu: Loso dan Kamarudin, dua orang saksi mata warga Pakuan Aji, yang
terlibat langung di garis depan bersama aparat yang hendak melepaskan
jenazah Kapten Soetiman dari tangan Warsidi.

Mereka menyerahkan dua lembar surat kesaksiannya kepada Kepala Desa Pakuan
Aji, untuk diserahkan kepada penulis.
Dan berikut ini, surat kesaksian mereka.
Attachment Size
surat_kamarudin.gif 95.77 KB
surat_laso.gif 188.59 KB

Bagian 10 - Kisah Panah Beracun


KISAH PANAH BERACUN

Dalam dunia mimpi, apa pun bisa terjadi. Yang tak mungkin di dunia nyata,
sangat mungkin baginya. Tak ada yang mustahil bagi dunia pemimpi. Semua
serasa bisa. Semua menjadi mudah

KETIKA dunia pewayangan mengalami peperangan, mereka yang ke medan laga juga

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 56

menggunakan berbagai macam senjata. Rupa-rupa senjata digunakannya. Para


ksatria menggunakan panah dan keris sedangkan para sudra menggunakan
terampang, badik, tombak, atau golok untuk membacok.

Panah digunakan untuk dilepas pada musuh yang jauh tempatnya, sedangkan
keris digunakan untuk peperangan jarak pendek. Kedua senjata ini terhitung
yang paling sempurna. Ada yang berasal dari sesuatu benda ajaib, misalnya
dan taring Betara Kala. Namun, sebaik-baik senjata adalah yang berasal dari
pemujaan tapa-brata dan pembenan para dewa Umumnya, para dewa memberi hadiah
panah kepada anak keturunan Pandawa, karena Pandawa dikenal sebagai ahli
pertapa dan pemuja. Dari sanalah mereka memperoleh senjata panah dengan
kesaktian yang beranekaragam. Tak jarang beberapa jenis panah memiliki
kesaktian yang melebihi batas. Misalnya, ada panah yang bisa berganti wujud
dan bisa memagut bagaikan paruh burung Ardadeli. Bahkan, ada panah yang bisa
menutup teriknya matahari, mengubah terang benderangnya dunia menjadi gelap
gulita.

Raja dari segala senjata adalah panah cakra Prabu Kresna. la dihormati dan
ditakuti oleh seluruh benda yang bernama senjata. Segala kesaktian tunduk
pada senjata cakra. Tersebutlah dalam sebuah kisah. Tatkala Prabu
Arjunasastra hendak dipanah dengan senjata cakra, maka raja agung
binatoro-sakti madraguna itu keder, takut hingga bertriwikramalah Sang
Prabu, menjadi raksasa titisan Wisnu untuk menandingi kesaktian cakra.
Karena hanya kepada Dewa Wisnu sajalah senjata itu tunduk dan takluk
bagaikan hamba sahaya. Ini menggambarkan bahwa panah bukan sembarang
senjata, apalagi barang mainan.

Malah pada saat perang Baratayuda, panah cakra itu digunakan oleh. Prabu
Kresna untuk menghadang sanghyang surya. Ketika panah dilepas ke angkasa, ia
melesat menembus langit, menutup matahari. Bumi menjadi gonjang-ganjing,
siang menjadi muram, tampak seperti malam.

Tipu muslihat ini digunakan pada waktu Arjuna bersumpah akan mati membakar
diri, bila hari itu tak berhasil membunuh Jayadrata. Karena sumpah itu, maka
Jayadrata disembunyikan Kurawa agar terhindar dari ancaman Arjuna. Namun,
sial bagi Kurawa. Ketika sinar matahari tampak suram, Jayadrata ingin
mengintai matinya Arjuna dari persembunyiannya. Perbuatan Jayadrata ini
diketahui oleh Prabu Kresna. Maka, berkatalah ia kepada Arjuna agar segera
melepas panahnya kepada sang pengintai.

Panah dilepas dan terpenggallah kepala Jayadrata. Setelah peristiwa itu


terjadi, Prabu Kresna tak lagi menutupi matahari dengan panah cakranya.
Seluruh alam tampak terang-benderang sebagaimana sediakala. Sorak sorai
mewarnai kehidupan bumi. Kemenangan ada pada pihak Pandawa. Keangkaramurkaan
pupus bersama gerombolan Kurawa. Tentu saja ini adalah penggalan kisah dari
dunia bayang-bayang, dunianya para pemimpi.

Panah Beracun
Sudarsono, tentu tak ada hubungannya dengan Dursosono, ksatria penuh ceria
yang hidup di dunia bayang-bayang negeri Kurawa, diAstinapura. Darsono,
bahkan juga tak sedang bemimpi ketika ia memutuskan untuk membuat panah,
meskipun kemudian panah buatannya itu bermasalah. Pemuda Jawa, kelahiran
Belawan, Medan ini, baru berusia 26 tahun ketika senjata panah ciptaannya
itu temyata bisa merenggut banyak nyawa. Hingga sekarang, tak sedikit pun ia
menunjukkan rasa sesal apalagi sedih tentang senjata ciptaannya itu. Malah,
justru ia bangga karena merasa bisa menjalankan perintah agama.

Rasulullah saw, menurut Sudarsono, pernah menyerukan agar orang mukmin


belajar silat, berenang, memanah, dan merancak kuda. Berbekal pada hadis
yang masih dipertanyakan keabsahannya oleh banyak kalangan ini, Darsono
kemudian mengajarkan cara membuat panah kepada para pengikutnya. Tak masalah
absah atau tidak. Inilah cara Darsono memahami dan menerjemahkan seruan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 57

Rasul yang mulia itu.

Panah Darsono memang agak kurang lazim. Selain bahan dasarnya yang antik,
cuma dari jeruji becak, bentuknya pun unik. Panjangnya tak lebih dari 30 cm.
Pada ujungnya yang lancip diberi pengait dari bahan semacam timah. Ekornya
dijurai-jurai dari tali rafia 7 lembar yang disisir menjadi serabut. Untuk
melontar panah antik ini, Darsono tak kekurangan akal. Cukup dengan cangkang
katapel, dilengkapi sepasang karet elastis yang bisa melar hingga sedepa.
Dari katapel inilah anak panah pembawa maut itu melesat sejauh lebih kurang
200 meter.

Tetapi, panah antik itu tak akan dikenal orang bila tak ada masalah. Istilah
panah beracun tiba-tiba menjadi populer ketika media massa melansir berita
tentang pemberontakan Warsidi, yang menggunakan senjata panah mengandung
racun. Beberapa kalangan sempat meragukan benar tidaknya panah ini beracun.
Sebab, ketika punggung Sertu Yatin dipagut anak panah itu, ternyata tidak
ditemukan racun oleh tim dokter yang mengobatinya.

Namun, Sudarsono, ketika dikonfirmasi tentang ini mengatakan bahwa racun itu
bukan isapan jempol. Dia menceritakan bagaimana jeruji becak itu kemudian
menjadi senjata yang mematikan. Pada awalnya memang tidak terbayang sampai
ke soal racun. Malah, idenya pun sederhana, ia hanya ingin membuat paser.
Tetapi, sahabatnya yang mengaku diri sebagai "BOS" alias " Amir Musafir"
bernama Nurhidayat, ngotot supaya dibentuk menjadi mirip anak panah.

Alex, sabahat Sudarsono yang ada di Tanjung Priok, setelah tahu perkembangan
buru-buru menginformasikan bahwa dirinya bisa mendapatkan racun getah poh.
Menurut Alex, racun getah poh hanya bisa didapatkan melalui ritual khusus
dan hanya orang-orang tertentu yang bisa mengeluarkan racun itu dari
pohonnya.

Mula-mula getah dideres, setelah kering getah tersebut dijadikan bubuk. Dari
bubuk getah poh, ujung panah itu direndam hingga menjadi panah beracun.
Setelah yakin panah sudah memiliki racun, bagian yang mengandung racun
segera diberi selongsong berupa slang plastik kecil untuk melindungi
pemakainya dari sengatan racun getah poh itu. Konon racun ini aslinya untuk
membunuh binatang-binatang jahat pengganggu tanaman, umpamanya babi, badak,
atau gajah.

Menurut penciptanya, panah beracun ini kebanyakan, dibuat di Jakarta.


Selebihnya dilanjutkan di Lampung oleh Alex dan anak buahnya. Namun, sebelum
berhasil membuat yang lebih banyak lagi, keburu peristiwa meletus. Sekalipun
demikian, Sudarsono mengatakan, tentang jumlah yang sudah berhasil dibuat,
tak lebih dari seribu bilah. Panah yang telah diekspor ke Lampung inilah
yang diuji coba oleh anak buah Warsidi untuk menghakimi Kapten Soetiman,
Danramil Way Jepara, sebelum ditebas Marsudi, kakak kandung sang imam dan
hasilnya menakjubkan.

Kini panah beracun tinggal cerita. Orang boleh menganggap apa saja atau
boleh menjadikan ia apa pun juga. Buah karya Sudarsono, yang ia klaim
sebagai terjemahan dari seruan Rasul yang mulia tentang perintah memanah,
merancak kuda, berolah-silat bahkan berenang, agaknya. bisa menjadi tarbiah
bagi kita ,semua untuk lebih arif dan bijak dalam memahami seruan-seruan
mulia Islam itu.

***

Bagian 11 - Spiritual di Tanah Lampung


SPIRITUAL DI TANAH LAMPUNG

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 58

ladang lain belalang, lain orang lain cara bertandang. Itu juga sebabnya
warna-warni kehidupan spiritual sudah lama dilakukan orang. Bukan saja
sekarang, tetapi dari zaman ke zaman.

MENCARI Tuhan adalah keniscayaan. Karena tidak ada sesuatu makhluk pun yang
tidak berasal dari-Nya. Disadari atau diingkari, ditolak atau diterima,
ujung perjalanan makhluk pasti berada di suatu tempat, dari mana asal
pemberangkatannya. Berasal dari Tuhan, kembalinya pun kepada Tuhan jua.

Perjalanan makhluk, bagaikan menghitung bijih tasbih. Dari bulir pertama,


berhenti di bulir terakhir. Disana, kita tidak bisa membedakan mana bulir
pertama atau mana yang terakhir. Karena ternyata kita berada di ujung yang
sama, cuma berbeda tempat. Kita tidak sedang pergi, berlari meninggalkan
Dia. Kita sedang dalam perjalanan kembali kepada-Nya. Dialah Allah, Tuhan
seru sekalian alam. Dan kita semua adalah pelaku spiritual yang sedang
berjalan menuju ke tempat asal. Yang membedakannya ialah cara menjalankan
spiritual. Cara itulah yang menghasilkan kualitas dari pelakunya, termasuk
kelas utama atau rendahan. Kelas kemalaikatan atau kesetanan. Karena hanya
yang berkualitas dan tahu jalan yang berhak sampai pada suatu tatanan untuk
"bertemu" Tuhannya. Yang kelas rendahan, apalagi yang. cuma ikut-ikutan
jalannya pasti sempoyongan dan sasar dari tujuan.

Biasanya, spiritualis seperti ini punya suara paling lantang. Tak ada
kebenaran kalau bukan dirinya atau mungkin kelompoknya. Dialah jago bin
jagonya kebenaran. Kelompok seperti ini umumnya bermasalah. Tidak saja bagi
orang lain, bahkan juga dirinya.

Lampung, tidak hanya kota lada, tetapi juga kota spiritual. Sejarah mencatat
berbagai agama telah lama singgah dan berlabuh di sana. Pengaruh Banten yang
Islami, Sriwijaya yang Hindu, dan Eropa yang Kristiani, telah mewarnai
kehidupan spiritual penduduknya hingga ke pelosok desa. Data yang berhasil
dihimpun menggambarkan bahwa gairah spiritual tumbuh subur di ujung Selatan
Pulau Sumatera itu. Berikut ini daftar nama-namanya.
Attachment Size
spirit00006.gif 194.88 KB
spirit_00005.gif 33.6 KB
spirit_00007.gif 162.72 KB

Bagian 12 - Seputar Negara Islam


SEPUTAR NEGARA ISLAM

"Laa ikraha fzddien ...dst.


Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama (!slam). Sesungguhnya telah jelas
jalan yang
benar daripada jalan yang salah. " (AI-Baqarah, 256.) .

ISLAM tak pemah memaksa orang, harus hidup menurut cara Islam atau menurut
cara lain. Harus beragama Islam atau memeluk agama lain. Bahkan Islam tak
pernah mengharuskan orang supaya tunduk di bawah pemerintahan Islam
sekalipun. Sebab, "telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah".
Ini mengisyaratkan bahwa Islam tidak disebar dengan cara kekerasan apalagi
paksaan. Islam juga tidak diperkenalkan melalui tajamnya pedang dan derasnya
tumpahan darah.

Akan tetapi, yang terjadi ialah sebaliknya. Opini dunia memutar seolah-olah
Islam disebar dengan cara jorok. Menyerbu, menyerang, dan menghunuskan
pedang kepada semua orang yang tidak mau menerima Islam. Padahal, Islam

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 59

justru mengajarkan "satu musuh terlalu banyak, seribu kawan terlalu


sedikit". Rasulullah saw, senantiasa memberikan tarbiah kepada umatnya, cara
memperkenalkan Islam ialah mempertontonkan akhlaqul karimah. Menumbuhkan
indahnya akhlak dalam setiap dada manusia. Yang demikian itulah senjata bagi
setiap muslim, pecinta Rasul, pengamal seruan mulia.

Alquran menegaskan, kehadiran Islam itu " li tukhrijannas minazzulumati


illannur - untuk mengeluarkan manusia dari kezaliman kepada kebebasan, dari
kegelapan kepada cahaya". Islam datang untuk mengubah cara berpikir dan cara
hidup manusia dari kebodohan kepada kejayaan. Dari kekejaman kepada
kesantunan.

Sejarah mencatat bahwa Islam telah banyak menyumbangkan perubahan dasar


kualitas kehidupan zaman. Kehadirannya telah melukiskan perjalanan hidup
manusia dari kurun ke kurun. Islam telah menyelamatkan bumi dari ancaman
kegelapan menjadi tegaknya peradaban. la penebar cara hidup mulia kepada
semua manusia.

Arnold Toynbe, dalam bukunya Dakwah kepada Islam, mengungkapkan perilaku


orang-orang Islam yang dicintai pemeluk agama lain. Dia menceritakan bahwa
setelah tentara Islam yang dipimpin Abu Ubaidah sampai di lembah Urdu, para
penduduk yang beragama Kristen dan menetap di situ menulis surat kepada
orang-orang Arab yang Islam.

"Wahai semua orang Islam, kalian lebih kami cintai daripada orang-orang
Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami. Kalian lebih menepati janji,
mampu bersikap lembut kepada kami, mencegah kesewenangan yang menimpa kami,
dan mau menjaga diri kami. Tapi, orang-orang Romawi itu menindas kami
dan bumi kami".

Mereka menyampaikan isi hatinya kepada orang-orang Islam bahwa dirinya lebih
senang dengan orang-orang Islam daripada kesewenang-wenangan orang-orang
Greek itu. Para penduduk kota dicekam ketakutan dan saling menutup pintu
agar tentara Heraclius tidak menjarah dan menyakitinya.

Negara Islam Indonesia


Rangkaian kisah tersebut, boleh jadi salah satu contoh bahwa Islam tidaklah
menakutkan, apalagi ancaman. Islam layak menjadi pemimpin karena mampu
mengayomi semua umat dan melindungi semua agama. Inilah yang mendasari
mengapa negara Islam menjadi cita-cita suci oleh sebagian orang. Mereka
meyakini bahwa Islam mampu melindungi seluruh umat yang tertindas, apa pun
warna kulitnya, keyakinannya, serta bahasa pergaulannya. Islam akan
meluruskan jalan hidup mereka di dunia dan di akhirat.

Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah saw., 14 abad yang lalu, membentuk
Darul Islam atau Negara Madinah. Rasulullah mendatangi para kabilah dan
mereka mendukung dakwah yang dijalankan Rasul. Merekad disebut Anshar,
rakyat yang mendukung perjuangan tanpa ikut berhijrah secara fisik
bersama-sama beliau.

Madinah menjadi Darul Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw.
Beliau menjadi pemimpin kaum muslimin ketika itu. Di bawah kepemimpinan
beliaulah kejayaan manusia, jasmani dan rohani tegak. Banyak kalangan
mengatakan bahwa zaman keemasan manusia pernah ada. Dan itu hanya di zaman
Rasulullah saw. tatkala memimpin umatnya. Kini zaman keemasan seperti itu
tetap didambakan oleh seluruh makhluk yang bernama manusia. Zaman seperti
itu tengah ditunggu kedatangannya dan diyakini oleh banyak pihak akan tegak
kembali. Mereka tengah menunggu tegaknya sunnah Rasul yang II, yakni
datangnya zaman Madani.

Sejarah Indonesia juga pernah mengenal Darul Islam, yaitu gerakan yang
mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), yang dipelopori

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 60

oleh SM Kartosoewirjo. Pelopor Darul Islam ini ingin mengejawantahkan


perjuangan Rasulullah yang mendirikan Negara Madinah. Kartosoewirjo ingin
menerapkan cara Rasulullah menjalankan pemerintahan Islam, yang dapat
melindungi semua kepentingan.

Dusun Cisampang, Desa Cidugaleun, Kecamat Leuwisari, Tasikmalaya, Jawa


Barat, 7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
proklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, meskipun mendapat tantangan
dan hambatan serta masalah hingga kini dan entah sampai kapan.
Attachment Size
dii_00008.gif 74.92 KB
dii_00009.gif 33.65 KB
dii_00010.gif 74.84 KB

Bagian 13 - Gerakan Darul Islam


GERAKAN DARUL ISLAM

Darul Islam telah ditumpas. Pengikutnya pun telah dilibas. Dan terpidananya,
akhirnya diberi amnesti oleh Pemerintah Republik Indonesia, tahun 1962.

DARUL Islam masih ada. Mereka menyebut dirinya Jamaah Dl, sebagai wadah
bekas anggota DI-TII yang telah dilibas dan diberi amnesti tersebut. Mereka
bergerak seperti angin, tak tampak di permukaan, meski selalu ada. Jalur
dakwah tetap sebagai jalur lintasnya. Melalui dakwah itulah aspirasi
tegaknya Negara Islam Indonesia bisa dikumandangkan.

Gerakan dakwah yang telah mereka lakukan sembunyi-sembunyi itu tampak


berjalan efektif. Pengkaderan anggota baru terus tergalang. Siapa dianggap
loyal dan telah memadai segera dibaiat sebagai anggota NIl baru oleh para
senior yang sudah diberi mandat. Uniknya, sering terjadi para senior yang
membaiat sebetulnya tidak ada sangkut paut langsung dengan tokoh-tokoh Dl di
masa lalu.

Darul Islam berasal dari kata DAR AL-ISLAM. Artinya, Rumah Islam, Rumah Yang
Damai, Keluarga Islam, Keluarga Yang Damai. Dengan pengertian yang lebih
luas, Darul Islam bisa berarti Kawasan atau Negara Islam.

Tetapi, pengertian Darul Islam secara umum ialah bagian Islam dari dunia
yang di dalamnya, keyakinan dan pelaksanaan syariat Islam serta
peraturan-peraturannya, wajib dijalankan. Lawan Darul Islam ialah Darul
Harb, yang berarti wilayah perang atau dunia kaum kafir yang harus
dimasukkan ke dalam Dar Al- Islam.

Dalam kenyataan sejarah pergerakan Islam, hampir di seluruh dunia, ketika


umat Islam terjepit dan kemudian berupaya membebaskan diri, pengertian Darul
Islam menjadi ekstrem. Berdasarkan pemahaman itu Darul Islam di Indonesia
diartikan sebagai gerakan mendirikan Negara Islam Indonesia dengan paksa dan
kekerasan.

Secara fakta, pemberontakan umat Islam hanya muncul di wilayah-wilayah yang


mayoritas penduduknya beragama Islam. Hanya kemudian, mereka melakukan
perubahan-perubahan itu dengan cara-cara kekerasan. Itulah sebabnya, mengapa
lahimya Darul Islam di Indonesia berbeda antara satu daerah dan daerah lainn
ya.

Di Aceh misalnya, Darul Islam muncul lantaran tuntutan agama. Di Sulawesi


Selatan, akibat demobilisasi bekas gerilya sesudah 1950. Di Kalimantan
Selatan, soal harga diri yang dianggap telah dilecehkan. Di Jawa Barat dan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 61

Jawa Tengah, didasari adanya tuntutan keadilan.

Masyarakat Islam di Indonesia akhirnya dengan mudah menerima kutukan, baik


dari pemerintah maupun dari sejumlah partai politik, atas dosa-dosa
pemberontakan Darul Islam. Ternyata masalahnya bukan cuma pertentangan
ideologi negara, melainkan juga karena peranan dan susunan tentara, serta
kekuasaan pemerintah pusat dan perkembangan sosial ekonomi di daerah
pedesaan. Semua itu ikut berperan dan mempengaruhi lahimya gerakan Darul
Islam.

Pada masa awal Revolusi Kemerdekaan, para pemimpin Islam tunduk kepada
permufakatan UUD '45 dan Pancasila serta mengakui Republik Indonesia sebagai
satu-satunya negara yang sah. Padahal, di balik itu mereka sesungguhnya
berharap bahwa sesudah kekalahan Belanda dalam perang revolusi, Indonesia
akan diubah menjadi Negara Islam. Mereka yakin bahwa Darul Islam akan lahir
mengingat semua perjuangan dilakukan oleh rakyat Muslim.tetapi, demi
perjuangan gagasan mendirikan negara Islam ditunda dulu. Inilah yang
kemudian menjadi bumerang dan api dalam sekam yang menggerogoti eksistensi
pemerintahan Republik Indonesla.

Kesimpulannya adalah Darul Islam berusaha mendirikan Negara Islam Indonesia.


Satu-satunya yang paling gemilang ialah gerakan Darul Islam Jawa Barat,
tempat NII diproklamirkan 7 Agustus 1949 oleh SM Kartosoewirjo. Gerakan ini
kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan
Aceh. Sebaran DI kabarnya sampai ke Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan
Halmahera.

Di sejumlah daerah, pemberontakan gerakan Darul Islam tetap ulet lagi


mencolok dan tersebar menyelimuti hampir semua wilayah dalam waktu yang
cukup lama. Barulah pada awal 1960-an, Tentara Indonesia berhasil menumpas
berbagai pemberontakan ini.

Di Jawa Barat penumpasannya 1962, di Kalimantan Selatan 1963, dan di


Sulawesi sekitar 1965. Di daerah-daerah yang lainnya tidak sampai memakan
waktu lama.
Kekacauan di Jawa Tengah berakhir 1955, sementara di Aceh, yang baru memulai
tahun 1953 itu masih sulit dibendung. Baru tahun 1957 tercapai 'kompromi'
dan
pemberontak-pemberontak itu akhimya menyerah pada tahun 1962.

Runtuhnya Darul Islam


Secara internasional, ternyata Darul Islam tidak mendapat dukungan. Bahkan,
negara-negara Islam di Timur Tengah ataupun kawasan dunia lainnya tak
memberikan angin segar. Kalaupun ada yang tertarik, sifatnya perorangan dan
sangat terbatas langkahnya. Van Kleev misalnya, seorang bekas tentara
Belanda yang telah masuk Islam, menyatakan simpatinya dan ia ingin membantu
melalui jalur diplomasi luar negeri. Kabarnya Van Kleev dalam kiprahnya
telah mengirimkan surat diplomatik perihal permohonan bantuan ke Amerika
Serikat dan juga negara-negara lain, yang dipandang punya potensi untuk itu.
Namun, hingga gerakan DI berakhir, tak satu negara pun yang sudi membantu.

Runtuhnya DI juga dipercepat oleh berbagai hal, antara lain turunnya


kebijakan Nasir yang menginstruksikan militer untuk segera menumpas berbagai
pemberontakan; Berkhianatnya sejumlah tokoh DI ke pangkuan RI seperti yang
terjadi atas Hasan Saleh (Aceh) dan Bahar Mattaliu (Sulawesi Selatan);
Kurangnya senjata yang dimilikinya juga melemahkan spirit dalam berjuang.

Unsur lain yang sangat dominan melemahkan DI ialah umat Islam tidak bersatu.
Bahkan, oleh orang Islam sendiri DI dianggap sebagai pengacau keamanan dan
mengancam disintegrasi bangsa. Darul Islam sendiri sering melakukan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 62

kekerasan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Kartosoewirjo.

Praktis pada waktu itu hanya barisan Hisbullah dan Sabilillah yang tinggal.
Bagi mereka yang tidak setuju Islam sebagai kekuatan politik, soal DI ini
merupakan alat pemukul paling ampuh terhadap berbagai gerakan yang muncul
dari kalangan Islam.

Tokoh Masyumi, seperti M. Natsir yang semula banyak bicara soal perlunya
sebuah negara Islam bagi umat Islam malah tidak mendukung gerakan DI.
Strategi
"pagar betis" dalam operasi teritorial TNI, akhirnya berhasil melumpuhkan
DI/TII hingga gulung tikar.

Meskipun secara fisik DI telah musnah, kemunculanya kembali sebagai gerakan


yang hendak mendirikan Negara Islam di masa Orde Baru Indonesia membuktikan
bahwa riwayat DI belumlah berakhir.

***

Bagian 14 - Serpihan Darul Islam


SERPIHAN DARUL ISLAM

SETELAH Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Proklamator Negara Islam


Indonesia tiada, imam NII dipegang Kahar Muzakkar sampai tahun 1965.
Kemudian dilanjutkan Daud Beureuh atau Tengku Muhammad Daud Beureueh hingga
tahun 1980. Akan tetapi, setelah para tokoh utama meninggal dunia dan
pimpinan beralih ke angkatan berikutnya, mulailah terjadi perselisihan
pendapat dan paham tentang siapakah yang berhak dan pantas melanjutkan tugas
sebagai pemimpin Negara Islam Indonesia, DI-TII.

Sekitar tahun 1978-1979, Darul Islam pecah ke dalam dua kubu. Pertama, kubu
Jamaah Fillah, diketuai oleh Djadja Sujadi. Kedua, Jamaah Sabilillah,
dipimpin oleh Adah Djaelani Tirtapradja. Kedua tokoh ini merupakan petinggi
militer TII, sebagai Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) yang diangkat
langsung oleh Kartosoewirjo. Karena "tidak boleh ada dua Imam", Djadja
Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani.

Adah Djaelani dimasukkan ke penjara pada tahun 1980 dan perpecahan dalam
Jamaah Sabilillah tak dapat dicegah. Darul Islam terburai menjadi beberapa
kelompok dengan ketuanya masing-masing. Celakanya, pimpinan kelompok yang
satu dengan lainnya saling membatalkan dan saling tidak mengakuinya.

Di antara buraian itu, ada satu kelompok yang dipimpin oleh Abdullah Sungkar
dan mempunyai pengaruh luas. Basis kekuasaannya meliputi Jawa Tengah,
terutama Solo dan Yogyakarta. Kelompok ini menjadikan Pondok Pesantren
Ngruki di Solo sebagai basis pengkaderan. jamaahnya, Kemudian ditebar ke
berbagai wilayah bila dianggap telah mampu. Banyak kadernya yang sudah
tersebar di berbagai wilayah dan berusaha menghidupkan kembali gerakan Darul
Islam. Salah satunya ialah yang bergabung dengan Warsidi di Talangsari,
Cihideung, Lampung.

Kelompok Atjeng Kurnia, wilayahnya meliputi Bogor, Serang, Purwakarta, dan


Subang. Sementara Ajengan Masduki membangun kejamaahan di Jakarta dan
Lampung. Pembinaan terhadap jamaahnya bukan hanya dalam aqidah, syari 'ah,
dan siyasah, melainkan juga dalam bidang militer. Sebagai instruktur diambil
dari mereka yang sudah pernah terjun di dalam Perang Mujahidin Afghanistan.

Masih ada seorang tokoh tua yang bernama Abdul Fatah Wirananggapati. Tokoh
ini, juga punya pengikut yang cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah.
Wirananggapati bukan hanya seorang tokoh tua, dialah pembuka simpul
tersebarnya Darul Islam hingga ke tanah rencong, Aceh, pada masa

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 63

Kartosoewirjo masih ada.

Di antara serpihan-serpihan Darul Islam itu, ada seorang tokoh bernama Gaos
Taufik yang membangun pengaruhnya di Sumatera. Pengikut Gaos dipersiapkan
menjadi jundullah atau tentara Allah di daerah pedalaman Sumatera,
kalau-kalau suatu waktu terjadi revolusi di Indonesía. Kelompok ini
disebut-sebut mempunyai hubungan erat dengan mujahidin Moro di Filipina dan
mujahidin Pattani di Thailand.

Tahun 1990-an, terjadi lagi perselisihan paham dalam tubuh Darul Islam.
Ketika itu, Adah Jaelani melimpahkan kekuasaannya kepada Abu Toto atau Toto
Salam. Menurut beberapa sumber, Toto Salam tidak pernah terdaftar sebagai
anggota DI, tetapi selalu memakai nama NII. Dengan segala kemampuannya, ia
melanjutkan pewarisan kepemimpinan Darul Islam yang membawahi jamaah sekitar
50.000 orang. Di bawah pengaruhnya, Abu Toto mendirikan Al-Zaytun, sebuah
mega proyek Pondok Pesantren, di Desa Mekar Jaya, Haurgeulis, Indramayu,
Jawa Barat. Mega proyek yang menempati "ribuan" hektare tanah ini, membuat
iri
beberapa tokoh Darul Islam lainnya.

Sejak itu, sesungguhnya sendi-sendi moral perjuangan Darul Islam sudah


terpuruk dan meringkuk. Kesatuan perjuangannya tidak lagi mengental, tetapi
buyar bersama ambisi pribadi-pribadi. Karena itu, apa yang dikenal rakyat
Indonesia tentang Darul Islam di kemudian hari, sesungguhnya ialah Darul
Islam produk dari manusia-manusia yang kurang berkualitas. Darul Islam masa
kini ialah Darul Islam produk sempalan-sempalan NII yang senantiasa
mengklaim dirinya sebagai "pewaris tunggal" penerus Kartosoewirjo.

***

ADUL FATAH WIRANANGGAPATI


Seorang santri yang ingin jadi tentara. Pemegang amanah KUKT dari SM.
Kartosoewirjo, sejak tahun 1949 hingga sekarang.

ABDUL Fatah Wirananggapati, menyiratkan seorang tokoh Darul Islam tulen.


Sebagai seorang Darul Islam ia mengatakan bahwa hingga kini dirinya belum
pernah menyerah. Pria kelahiran Kuningan 1923 ini, kendati telah berusia
lanjut, kata-katanya menyiratkan semangat Darul Islam yang tak pernah lelah,
apalagi kalah. Semangatnya dibangun di atas kakinya yang tetap tegak,
menyangga seonggok tubuhnya yang tinggi ramping, gambaran seorang tokoh yang
lebih mementingkan isi kepala dibanding isi perutnya. Oleh sebab itu, ringan
tubuhnya masih terlihat dari cara kakinya melangkah dengan cepat, secepat
kata-katanya bila berbicara.

Cita-citanya untuk menjadi tentara terkabul ketika santri ini bertemu SM


Kartosoewirjo di hutan Loyang, Jatibarang, Jawa Barat, tahun 1951. Saat itu,
Kartosoewirjo tengah menggalang kekuatan, menyusun barisan untuk meneguhkan
berdirinya NII yang belum lama ia proklamirkan. Imam besar Darul Islam itu
menjadikan Wirananggapati sebagai seorang Tll berpangkat kolonel. Suatu
pangkat yang tak mudah diperoleh, bahkan bagi orang-orang dekat
Kartosoewirjo sekalipun. Inilah yang membuat iri hati tokoh DI lainnya,
seperti Adah Djaelani dan Haji Abidin atau Ajengan Masduki. Adah Djaelani
merupakan seorang pejabat Anggota Komandement Tertinggi (AKT) dan termasuk
salah seorang saksi sejarah ketika Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya
NII di negeri ini.

Kepada Abdul Fatah Wirananggapati, sang Imam tak cuma memberi pangkat
kolonel. Kartosoewirjo malah mengangkatnya menjadi pejabat KUKT (Kuasa
Usaha Komandement Tertinggi), suatu jabatan yang setara dengan AKT (Anggota
Komandemen Tertinggi) atau KSU (Kepala Staf Umum) yang kelak pada situasi
tertentu bisa mewakili atau malah menggantikan kedudukan Kartosoewirjo

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 64

sebagai imam NII.

Lebih jauh tentang Abdul Fatah Wirananggapati. Berikut petikan wawancaranya.

Sebagai pejabat KUKT tugas Bapak sebenarnya apa ?


Sebagai penghubung di dalam ataupun di luar negeri. Untuk tugas diplomatik
ke luar, saya pikir, lebih dulu harus menata urusan dalam negeri. Percuma
kalau dalam negeri belum beres. Oleh sebab itu, saya segera konsolidasi
dengan tokoh-tokoh Islam di daerah yang punya semangat sama. Di Aceh ada
Tengku Daud Beureueh,
seorang pemimpin daerah yang disegani oleh Pemerintah RI, selain oleh
kalangannya sendiri. Ke sana saya menemuinya dan menjelaskan bahwa negara
Islam telah lahir di Indonesia bernama NII dan telah diproklamasikan oleh
Kartosoewirjo, pada 7 Agustus 1949.

Apa komentar Tengku Daud Beureueh, ketika itu ?


Alhamdulilllah. Sebab sebelum itu Tengku mengatakan mau mengadakan
pemberontakan kepada RI. Saya bilang, sekarang kan sudah ada Negara Islam
Indonesia, mengapa tidak bergabung saja dengan NII yang sudah
diproklamasikan oleh Imam Kartosoewirjo. Kalau Tengku berontak, bughot
jadinya. Tapi, kalau Tengku bergabung dengan NII tidak kena hukum bughot.
Mendengar pertimbangan itu, Daud Beureueh senang dan langsung menyatakan
ingin mendukung. Dia segera dibaiat sebagai Panglima NII Divisi V Cik Di
Tiro. Di saat yang hampir bersamaan, Pemerintah RI mengirim beberapa utusan
ke Aceh untuk merangkul Tengku Daud Beureueh, tetapi mereka tidak berhasil.
Karena tokoh Aceh itu sudah bergabung dengan Negara Islam Indonesia.

Alasan Bapak, mengapa ke Aceh dan bukan ke daerah lain ?


Karena Aceh sebagai daerah Serambi Mekah, daerah Islam. Untuk kepentingan
diplomasi ke Luar Negeri, melalui Aceh lebih dekat atau malah lebih mudah.
Setidaknya, bila ingin, misalnya ke Malaka, Penang, Trenggano, Johor, atau
ke Negeri Sembilan Malaysia, akan lebih efektif. Aceh menjadi prioritas,
karena saat itu Tengku Daud sudah siap-siap hendak bughot-menyerang
Pemerintah RI. Untung belum terjadi sehingga bisa diajak ke NII.

Setelah itu Bapak ke mana ?


Kembali ke Jakarta. Saya mau pulang sendiri, tetapi tidak boleh. "Panglima
harus dikawal dan diantar", kata Tengku. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta
itu saya diantar oleh Mayor Ilyas Lebai atas perintah Tengku Daud. Saya
dibawa ke rumah Hasan Gayo di Mangga Besar II, Jakarta. Hasan Gayo ini
ternyata mata-mata RI dan diam-diam melaporkan, sehingga saya ditangkap.
Siang malam saya diperiksa dan didakwa melakukan kejahatan politik. Seluruh
dokumen disita, dijadikan bukti. Akhimya, saya dibuang ke Nusakambangan
hingga 1962.

Siapa saja dari kalangan DI yang menyerah ?


Semua pasukan DI pendukung Pak Karto, termasuk Adah Djaelani itu. Setelah
Pak Karto tertangkap, keadaan memang berubah dan menjadi kacau. Saya juga
disuruh menyerah, tetapi saya tidak mau. Akhirnya, saya dikucilkan oleh
mereka. Jadi, ketika Ali Murtopo membagi-bagi kue Orde Baru untuk membungkam
orang-orang DI, saya tidak diajak serta. Dan, akhirnya orang-orang DI yang
menyerahkan diri itu umumnya kaya. Malah termasuk Adah Djaelani, punya
perusahan dan apartemen besar di Jakarta.

Setelah keluar dari Nusakambangan, kegiatan Bapak apa ?


Saya kembali ke masyarakat dan menjadi guru ngaji. Lain dengan mereka,
umpamanya Danu, Ateng, H. Abidin, dan lain-lain lagi, mereka rata-rata
menjadi pengusaha. Menurut saya DI harus diperjuangkan dengan mempertajam
ilmu pengetahuan dan mempertinggi akhlak. Oleh karena itu, saya lebih
memilih jadi guru ngaji. Karena dengan cara inilah, kader-kader baru DI bisa
menjadi berkualitas di masa depan.

Bagaimana dengan tokoh muda DI sekarang ?


Mereka orang-orang yang semangatnya tinggi, hanya saja akhlaknya mesti

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 65

dijaga, masih payah. Contohnya, Nurhidayat. Kalau dia bisa menjaga


akhlaknya, mungkin dia bisa menjadi kader yang baik. Nurhidayat itu harus
bertobat. Lihatlah, dia itu di mana-mana membuat susah orang, karena ulahnya
membuat gerakan di Lampung 1989 itu. Saya sudah melarang supaya tidak
membuat gerakan di Lampung, tapi dia nekat. Akhirnya banyak orang dibuat
menderita, terutama orang-orang yang dia datangi di Bandung. Mereka itu
binaan saya dan semuanya ditangkap.

Mengapa Bapak melarang kelompok Nurhidayat ke Lampung ?


Mereka ke Lampung itu harus punya alasan dan aturan yang jelas. Di Lampung
itu mau apa? Untuk apa membuat gerakan di sana? Pemimpinnya siapa. Saya pun
tidak mengenalnya. Kalau untuk dakwah seharusnya mereka mempertinggi akidah
dan keilmuan, bukan mempersiapkan diri untuk gerakan perang seperti itu.
Dalang kerusuhan Lampung itu Nurhidayat yang menghasut Warsidi. Jadi,
Nurhidayat itu anak durhaka yang ambisius. Karena geger Talangsari itu, saya
ikut terseret masuk bui lagi dengan tuduhan sebagai tokoh DI di balik
Nurhidayat.

Bapak bangga jadi tokoh NII ?


Tentu saja sebab NII tidak hanya milik DI, tetapi milik semua kita orang
Islam. Lihatlah naskah proklamasinya. Di sana ada Syahadat, Basmalah, dan
Hamdalah. Itu kan milik semua orang Islam. Masalah negara bagi saya bukan
soal nama, tetapi masalah Daulah. Daulah Islam dan berlaku tegaknya hukum
Islam. Itu saja.

Siapa sesungguhnya yang paling berhak menggantikan Kartosoewirjo ?


Sebenarnya sudah ada undang-undang dan Anggaran Dasar NII. Bila Imam
berhalangan, maka calon penggantinya haruslah orang yang cakap dan
purbawasesa. Mereka diambil dari AKT, KSU, dan KUKT. Di antara mereka
diambil yang tertua. Menurut saya Adah Djaelani cocok. Tapi, Adah sudah
menyerah. Oleh karena itu, maka harus diserahkan kepada yang belum menyerah.
Kiai Masduki juga cocok, karena diajuga tokoh tua. Apalagi dia hafal
Alquran, tetapi akhlaknya kurang baik untuk ukuran seorang imam. Contohnya,
di depan orang lain dia menyatakan Abdul Fatah Wirananggapati paling cocok
menjadi imam, tetapi di belakang, dia menyusun kekuatan sendiri. Itu kan
namanya kurang baik dan tidak benar. Akhirnya terbukti, di antara mereka ada
konflik dan pecah menjadi tiga kelompok. Adah Djaelani berkelompok dengan
Toto Abu Salam. Tachmid dengan Mia Ibrahim, sedangkan Ajengan Masduki dengan
Gaos Taufik. Gaos, katanya berbaiat dengan Daud Beureuh.

Berapa kira-kira jumlah anggota atau pendukung NII sekarang ?


Saya tidak tahu, tapi pendukung secara ideologis, saya kira sekarang ini
meliputi hampir semua orang Islam. Mereka menunggu tegaknya Darul Islam.
Sesungguhnya masih banyak, seperti Suryanegara Mansyur. Dia itu kan orang
NII, kalau tidak mau dibilang tokoh NII.

***

ABDULLAH SUNGKAR
Kiai Abdullah Sungkar, mempunyai ciri khas yang hingga kini masih melekat di
ubun-ubun bekas para santri dan pengikutnya. la pantang mengatakan benar,
bila apa yang dilihatnya salah. Pemerintahan Soeharto, acap kali dibuat
kalang kabut dengan pernyataan-pernyataannya yang dinilai banyak kalangan,
terlalu keras dan ekstrem.

SUATU hari, subuh. Di mesjid kecil, sisi Timur kompleks Kusumoyudan, kampus
Universitas Tjokroaminoto, Jl. Asrama No.22, Surakarta, seorang ustad
berapi-api, menghangatkan suasana subuh yang hanya dihadiri tak lebih 8
orang. "Memang dimulai dari sedikit, lama-lama akan menjadi banyak," kata
sang ustad, menggembirakan pengurus mesjid yang berkali-kali minta maaf atas

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 66

sepinya peserta kuliah subuh itu.

Pada kali yang lain, bersama istri dan anaknya, sang ustad pagi-pagi sudah
sampai di panti anak-anak tuna netra. Ke sana, sang ustad membawa lontong
untuk dimakan bersama-sama dengan penderita tuna netra itu, sambil
mendengarkan ceramah yang juga disampaikannya dengan berapi-api. Entah sudah
berapa kali, ustad ini tetap menyalakan api khotbahnya pada keadaan apa pun,
sepi atau ramai, dilihat orang atau tidak. Dialah K.H. Abdullah Sungkar,
tokoh NII yang mempunyai perawakan tegap, berkulit putih, bersih.
Kata-katanya selalu memompakan semangat yang tak mengenal aroma basa-basi
dalam setiap hujah ceramahnya.

Ceramah-ceramah Abdullah Sungkar dinilai banyak kalangan bernada keras dan


membahayakan. la tak pernah ragu mengkritik pemerintah di saat banyak orang
tak lagi berani bersuara. Bagi Sungkar, berkata benar adalah keniscayaan,
sekalipun harus dibayarnya dengan sering keluar masuk tahanan. Itu sebabnya
setiap berkhotbah, tak hanya pengikutnya yang hadir tetapi para intel gelap
juga tak pernah ketinggalan.

Karena itu, nama Abdullah Sungkar senantiasa tercatat paling atas sebagai
tokoh ekstrem kanan yang harus diberangus dan diringkus. Tak aneh bila ia
tiba-tiba menghilang dan berkucing-kucingan dengan aparat.

Bersama Abu Bakar Ba'syir, ia mendirikan Pesantren Al-Mukimin di Solo


Selatan, pada awal 1973. Pesantren ini dilengkapi dengan pendidikan sekolah
umum dan sebuah studio Radio Dakwah Islam (Radis). Pesantrennya maju pesat,
begitu juga dengan radionya. Inilah pesantren Ngruki yang pernah berjaya di
tengah sempitnya Abdullah Sungkar memperjuangkan keyakinannya.

Pada suatu hari, ketika rencana penangkapan Abdullah Sungkar dilakukan di


Pesantren Ngruki. Sejumlah petugas sudah berjaga-jaga di sekeliling pondok.
Sebagian lain memasuki pondok untuk menggerebek dan menangkap Kiai Sungkar.
Konon, dengan mengenakan kain.sarung dan dibonceng sepeda motor, Abdullah
Sungkar keluar melalui pintu gerbang pondok yang dijaga ketat petugas
keamanan. la keluar Pondok Ngruki, kemudian dengan naik bus langsung ke
Jakarta.

Itulah hari terakhimya di Surakarta, hari terakhir di Pondok Pesantren


Al-Mukmin Ngruki yang dibangunnya. Suatu pelarian yang fantastis. Di sebuah
tempat di Malaysia, ia bercerita kepada penulis bahwa di saku kemejanya
hanya ada uang Rp 10.000,00. Dengan bekal Rp 10.000,00 itulah ia berangkat
ke Jakarta, kemudian ke Pakanbaru (Riau) dan menyeberang hingga ke Malaysia.

Ada juga versi cerita yang lain. Sebelum ke Malaysia, Abdullah Sungkar
disembunyikan oleh "Kelompok Condet", yaitu kelompok pengajian yang
dibinanya atau yang berada di bawah pengaruhnya. Mereka adalah kader-kader
muda pelanjut estafet perjuangan Negara Islam Indonesia. Tokoh-tokohnya,
antara lain Aus Hidayat, Ibnu Thoyyib, Haryono, Dodi Achmad Busubul,
Mukhliansyah, dan Nurhidayat. Nama terakhir ini pada tahun 1988 disetujui
sebagai "Imam Musafir" yang berencana membangun poros Jakarta-Cihideung,
Talangsari. Teman-teman Imam Musafir itu, antara lain Sudarsono, Fauzi
Isnan, Sukardi, Maulana Latif, Alex, dan Joko yang kesemuanya berhubungan
kerja untuk membangun "basis perjuangan" di atas konsep "perkampungan Islam"

Warsidi di Cihideung, Talangsari, Lampung.

Di Malaysia, Abdullah Sungkar mula-mula memilih tempat persembunyian yang


jauh dari kota besar. Nyaris di pedalaman dan tidak banyak yang tahu. la
kemudian

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 67

disusul oleh 'sahabatnya' pendiri Pondok Pesantren Al-Mukmin, yaitu Abu


Bakar Ba'asyir, sama-sama menyembunyikan diri di antara petani di pedalaman
Malaysia itu.

Tidaklah gampang mencari jejak para pelarian politik yang bersembunyi di


negara asing. Di negara itu, mereka mendapat perlindungan penuh dari
pemerintah setempat. Begitu juga dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Ba'asyir. Tetapi, melalui jasa-jasa baik A.Halim Abbas dan Helmi Al-Mascaty
dari Jamaah Al-Arqam Malaysia, kedua orang Islam yang bersembunyi itu
berhasil ditemukan penulis.

Kami berangkat dengan sebuah mobil mewah berwarna hitam, dari Kuala Lumpur
menuju ke Negeri. Sembilan. Melewati hutan lebat dan sejumlah perkampungan,
sampailah kami di sebuah gubuk di tepi jalan kecil. Menjelang magrib ketika
itu ada dua orang lelaki dengan jenggot dan kumis serta cambang yang sudah
memutih, mendorong gerobak kecil berisi sejumlah alat pertanian ada dalam
gerobak itu. Tak salah lagi, merekalah dua tokoh 'Ngruki' yang kami
cari-cari itu.

Abdullah Sungkar langsung menyampaikan kritiknya dengan menunjukkan


ayat-ayat Alquran yang siap dibukanya seketika itu juga. "Saya hanya minta
satu kepada pemerintah. Tolong berikan saya tempat, satu pulau kecil saja.
Saya akan membina pemukiman Islam dan insya Allah akan menjadi contoh
seperti apa Islam
yang benar itu," katanya. la masih belum percaya ketika dikatakan bahwa
pemerintah sudah 'berubah'. Semua tahanan ekstrem kiri dan kanan sudah
dibebaskan oleh Pemerintah Habibie. la tetap tidak percaya.

Beberapa hari dari pertemuan itu, kedua orang tersebut bergegas ke Airport.
Masing-masing dengan kopornya. Mereka menyempatkan diri berfoto ria sebelum
terbang menuju Arab Saudi.

Sejak itulah nama Abdullah Sungkar tak lagi banyak disebut orang. Pada awal
tahun 2000, Sungkar diam-diam kembali ke Indonesia. Baru beberapa bulan
tinggal di Bogor, Jawa Barat, ia menderita sakit dan meninggal dunia. Inna
Lillahi wa inna Ilaihi raji'un.

***

Bagian 15 - Ngruki dan Talangsari


NGRUKI DAN TALANGSARI

BAGI kebanyakan orang luar kota Surakarta atau kota Solo, Jawa Tengah, tentu
tak mudah menyebut kata Ngruki. Apalagi nama itu tak menggambarkan sebuah
pengertian apa pun. Padahal, di desa itulah sebuah kelompok pengajian Usroh
Ngruki dan sebuah pondok pesantren yang bemama Al-Mukrnin, berdomisili. Dari
sana sejumlah kader Islam dicetak dan dibentuk. Para penegak sunnah Rasul
itulah yang kelak kemudian ditebar ke sejumlah tempat. Salah satunya ialah
yang bergabung menjadi kelompok Warsidi di Cihideulig, Talangsari III, Way
Jepara, Lampung Tengah.

Pondok Pesantren Al-Mukmin didirikan sekitar 1973 oleh Abdullah Sungkar


bersama Abu Bakar Ba' asy, dua orang ulama di kawasan Jawa Tengah. Pada
awalnya menempati sebuah lokasi mesjid di Jalan Sukohardjo, sisi Selatan
kota Surakarta. Selain pondok pesantren, .di sana juga dihidupkan sebuah
stasiun radio bemama Radis (Radio Dakwah Islam). Satu-satunya radio non
komersial, bersaing di puluhan radio swasta niaga ketika itu,. seperti Radio

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 68

ABC, Rama, PTPN, Panca, dan sejumlah radio swasta niaga lainnya.

Meskipun non-niaga, Radis mampu menghidupi dirinya sendiri mela1ui sumbangan


sejumlah donatur dan menyedot sejumlah pendengar setia, bahkan fanatik.
Radio ini hanya menyiarkan dakwah Islam semata-mata, baik melalui
pelajaran-pelajaral1 agamaIslam maupun siaran langsung untuk mendengarkan
ceramah-ceramah Abdullah Sungkar di berbagai tempat pengajian. Pada
waktli-waktu tertentu, siaran Radio diselingi dengan lagu-lagu kasidah dan
lagu-lagu melayu. Radio ini tetap berdiri meski tanpa iklan.

Selain tidak menerima penyiar putri, semua petugas Radio Radis harus
meJlgikuti pengajian malam yang diasuh oleh dua tokoh pimpinan pondok
tersebut. Inti pengajian, ialah membahas pengertian Islam, aturan-
.aturannya, sejarahnya, dan yang paling utama ialah bagaimana menjalankan
perintah Islam berdasarajaran Rasulullah. Dalam ha1 mengajar, kedua tokoh
tersebut masih dibantu oleh sejumlah ulama, seperti Kiai Hasan Basri, Amir
S.H., Abdullah Thofel, dan kiai-kiai kota Surakarta lainnya.

Pengajian Ngruki inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok Pengajian


Usroh (penga.jian keluarga), yang bermasalah baik bagi pemerintah maupun
bagi pengikut Sungkar pada umumnya. Anehnya kelompok pengajian ini
berkembang pesat, bebas, dan tak terbatas. Bahkan, perkembangannya demikian
cepat hingga dikenal ke mana-mana. Karena berkernbang dernikian pesat,
lokasi yang sernula lapang seakan tampak menyempit. Oleh karena itu, lokasi
dipindahkan ke suatu tempat yang lebih luas. Apalagi dari hari ke bari
pengikut pengajian dan juga para santri bertambah terus memenuhi Pondok
Pesantren AI-Mukrnin. Sekitar awal 1974, lokasi dipindah ke Ngruki. Ngruki
adalah nama dusun di kelurahan Tipes, tidak jauh dari terminal bus dalam
kota Surakarta di belahan selatan.

Sejak pindah ke lokasi inilah, radio Radis dan kelompok Sungkar mulai
disantroni penguasa setempat. Pernerintah mehilai Sungkar terlalu keras
dalam menyampaikan ceramah dan ajaran-ajarannya kepada para pengikutnya.
Agaknya, pemerintah tak mau, menanggung risiko apalagi bereksperimen
terhadap ulama yang telah mempunyai banyak pengikut ini.

Langkah Sungkar kemudian dihalangi hingga tersandung-sandung. Terakhir,


malah ia akan diringkus. Sungkar tak rnau berisiko. Dia segera rnengarnbil
langkah seribu, menghilang. ke negeri seberang Malaysia adalah negeri yang
ditujunya.

Setelah sang kiai menghilang, bukan hanya para pendiri melainkan pondok itu
sendiri selalu dalam baying bayang ketakutan. Pernerintah mernberi warna
tersendiri terhadap Pondok Pesantren AI-Mukmin sebagai salah satu tempat
untuk mencetak kader-kader ekstrern yang sangat membahayakan negara. Di sana
tidak hanya mendidik orang-orang mengenal Tuhannya, tetapi juga mendidik
orang agar mengenal politik. Ideologi negara dipertandingkan dengan ideologi
agama.

Padahal, jumlah para santri dan anggota pengajian Usroh Ngruki semakin
banyak. Tak cuma lokal, tetapi juga berasal dari berbagai penjuru. Umumnya
mereka belum mengetahui bahwa ada berbagai rintangan yang telah menghadang
perjalanan Al-Mukmin maupun pengajian Usroh itu. Justru mereka semakin
terpukau dan tertarik dengan ajaran-ajaran yang diberikan. Keberadaan mereka
akhirnya tak nyaman lagi, karena seringnya pondok digerebek oleh aparat
secara tiba-tiba.

Pimpinan pondok pun mulai silih berganti. Pernah dijabat Amir S.H., Farid
Ma'ruf, dan terus ganti berganti. Jumlah santri lebih dari 5.000-an dengan
sistem pendidikan sekolah umum dan sekolah agama Islam. Pada saat-saat
seperti itu Abu Bakar Ba'syir ikut menghilang, dan ternyata ia telah
menyusul seniornya, Abdullah Sungkar, ke Malaysia. Pondok Ngruki menjadi
muram setelah beberapa pemimpinnya hilang. Hasan Basri meninggal, meskipun
kegiatan pengajian dan pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki tetap berlangsung

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 69

seperti tak pernah ada masalah.

Para santri dari Ngruki banyak yang hijrah ke berbagai tempat. Sebagian
mendirikan pondok pesantren sendiri, yang lain bergabung menjadi tenaga
pengajar pada
pesantren yang sudah ada. Secara resmi kegiatan pengajian dibubarkan. Para
pengikutnya diamankan atau ditangkap oleh yang benvajib. Tak semua
tertangkap, yang berhasil lolos kemudian lari menyelamatkan diri. Sebagian
dari mereka menuju Lampung, setelah mengetahui bahwa di Lampung masih ada
tempat untuk bergabung. Mereka berkumpul kembali menyambung tali Usroh.

Dari sinilah awal kisah Geger Talangsari, Lampung, dimulai. Pada avvalnya
hanya beberapa saja yang datang ke Talangsari, untuk bergabung dengan
Warsidi yang hendak menjadikan Cihideung sebagai "perkampungan Islam".
Setelah dianggap aman, mereka secara berangsur memboyong keluarganya hijrah
ke tanah harapan baru
itu. Di sana mereka bertemu, antara lain dengan kelompok NII Lampung yang
tengah bingung. Juga bertemu dengan kelompok Jakarta yang sedang linglung,
mencari tempat untuk "basis perjuangannya.

Talangsari, ternyata tak cuma menarik bagi kelompok Ngruki dan kelompok
Lampung yang sama-sama bingung. Kelompok Jakarta yang dimotori oleh
Nurhidayat, Achmad Fauzi, Wahidin, dan Sudarsono ternyata juga bernafsu
mengangkanginya.

Dua kelompok (Ngruki dan Lampung) itulah yang akhirnya terprovokasi oleh
kelompok Jakarta untuk membangun basis perjuangannya, melanjutkan cita-cita
Negara Islam Indonesia yang belum selesai. Suatu cita-cita yang kandas,
karena ambisi perjuangannya dilakukan dengan kekerasan, mendapat reaksi yang
juga keras dari masyarakat Talangsari III dan Pakuan Aji, yang didukung
pemerintah bersama alat negara setempat.

Satu cita-cita yang dikemas mengatasnamakan Islam, sekilas tampak ideal di


negeri yang mayoritas muslim ini. Perjuangan atas nama Islam ialah
perjuangan agama. Kejayaan agama tak pernah mengenal tajamnya pedang.
Madinatun Naby ditegakkan Rasulullah hanya dengan jalan menajamkan akhlakul
karim.

***

Bagian 16 - Di Balik Bayang-bayang Warsidi


DIBALIK BAYANG-BAYANG WARSIDI

WARSIDI tidak sendiri, karena tidak ada kehidupan dalam kesendirian. Manusia
butuh pengakuan. Semakin banyak yang mengakui, semakin kukuh keberadaannya.
Warsidi pun demikian. la menjadi ada dan dikenal, karena ada orang-orang
yang menjadikannya dikenal. Padahal, kehidupan petani kecil dan buruh karet
ini jauh dari kemungkinan bisa diakui apalagi dikenal oleh banyak kalangan.

Sebagai pemimpin kelompok yang mengatasnamakan pengajian, sesungguhnya dia


lebih ditokohkan oleh pengikutnya untuk menjadi tokoh spiritual daripada
mengajar ngaji, sebagaimana lazimnya proses belajar-mengajar di dunia
pengajian. Menurut penuturan sebagian pengikutnya, tokoh ini kurang
menguasai banyak hal, terutama soal baca dan tulis ilmu Alquran. Oleh karena
itu, jangan pernah berharap banyak darinya untuk bisa menjelaskan kandungan
Alquran-Hadis berdasar kajian kitab. Warsidi lebih tepat menjadi simbol
pemersatu bagi kelompoknya dibanding sebagai tokoh intelektual yang
mempunyai gagasan besar, misalnya bercita-cita membangun Islamic Village
sebagai basis perjuangan Islam.

Siapa arsitek yang menjadikan Warsidi sehingga ia menjadi tokoh penting di

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 70

kawasan Cihideung itu? Lalu bagaimana reaksi mereka terhadap aksi Warsidi
yang kemudian bermas.a1ah? Berikut'ini sekilas tokoh-tokoh di balik
bayang-bayang Warsidi.

***

USMAN
Tokoh misterius tulen yang berhasil menjadikan Warsidi sebagai boneka
Cihideung. Anehnya, setiap langkah Insinyur Cihideung ini selalu mengundang
persoalan dan mendatangkan masalah. Mengapa?

Warsidi berubah total sejak Ir. Usman menetap di pondoknya. Padahal,


sebelumnya pondok Cihideung itu sepi dan biasa-biasa saja. Usman, tokoh yang
masih belum jelas asal usulnya ini, mampu mewarnai pondok dan
menghidupkanya, tidak sekadar sebagai tempat ngaji, tetapi juga tempat caci
maki, lampiasan rasa benci terutama kepada yang tidak sepaham dengannya. Tak
perduli kiai, pemerintah, atau siapa saja yang tidak mendukungnya, ia
jadikan musuh untuk diperangi. Itu sebabnya mengapa mulutnya tak pemah ragu
menyemburkan kata-kata kafir, zalim, thogut, dan lain sebagainya kepada
"musuh-musuh" nya itu.

Sebelum bergabung dengan Warsidi, pria kelahiran Semarang 13 September 1960


ini menjadi guru di Pondok Pesantren Al Islam, sekitar 1 km arah utara, dari
pondok Warsidi. Al Islam hanyalah pesantren kecil, milik Kiai Junaedi yang
belum lama ia singgahi. Usman kabamya termasuk seorang yang pandai bicara
dan pintar menarik perhatian orang. Tetapi, karena jiwanya yang tak pernah
tentram, Usman kerap bentrok dan bertikai dengan Kiai Junaedi sehingga ia
diusir.

Usman meninggalkan pesantren, tetapi tak sendiri. Sepuluh anak santri Al


Islam diboyong serta ke tempat Warsidi di Talangsari. Sejak itulah suasana
pondok semakin hidup. Khotbah-khotbahnya juga semakin mempunyai nilai.
Sayang, nilai yang dilontarkan dalam khotbahnya membangkitkan kebencian dan
permusuhan. Usman terang-terangan mengejek Pancasila. la melarang jamaah
membayar pajak atau iuran desa, menghormat bendera merah-putih dianggapnya
kafir, menjadi pegawai negeri pun haram. Keberadaan Usman sangat
mempengaruhi pola pikir dan cara pandang Warsidi. la dijadikan pembina utama
bagi jamaah Cihideung.

Usman, bagi jamaah Cihideung, merupakan tokoh intelektual bergelar insinyur.


Oleh karena itu, bom molotov Talangsari disebut-sebut hasil rekaan insinyur
ini. Bom malotov ini dipakai kelompok Warsidi ketika bentrok dengan rakyat
dan alat negara. Begitu pun ketika mengadakan teror di sejumlah tempat, bom
molotov juga digunakan. Bom tersebut dibuat dari botol kosong yang diisi
serbuk gergaji dan bensin, serta dilengkapi sumbu penyulut. Benda ini
efektif digunakan untuk menimbulkan kebakaran pada sasaran dekat.

Usman diperkirakan sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab setelah


Warsidi dan diduga tewas bersama jamaah ketika terjadi bentrokan. Sebelum di
Cihideung, Usman disebut-sebut sebagai aktivis anti pemerintah. la banyak
berceramah di berbagai tempat, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada
jamaah Usroh.

Tersebutlah pada April 1985, lelaki ini divonis Pengadilan Negeri Sleman
Yogyakarta 1 tahun penjara atas dakwaan menghina Soeharto, yang dilakukan di
Temanggung, Sleman, Klaten, dan Magelang. Sejak itu namanya hilang dan baru
muncul setelah terjadi Geger Talangsari.

Tidak banyak yang tahu, apakah melalui Usman gerakan Warsidi membuka
komunikasi dan jaringan dengan tokoh-tokoh di luar Lampung. Hanya setelah
Usman bergabung, para pendatang dari Jakarta dan Pulau Jawa lainnya banyak

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 71

hijrah ke markas Warsidi di Cihideung.

***

NURHIDAYAT
Pernah menjadi pegawai bea cukai. la juga dikenal sebagai seorang karateka,
tetapi memilih hídup sebagai avonturir. Drama penangkapan tokoh unik ini
cukup
seru.

Ketika peristiwa Cihideung meletus, Nurhidayat baru berusia sekitar 30


tahun. la lahir di Jakarta tanggal 26 Maret 1959, anak kedua dari 4
bersaudara, pasangan Abdul Muthalib dan Ning Suhami. Masa kecilnya tidak
begitu mengembirakan. Ayahnya kena sanering dan melego seluruh harta
miliknya. Nur kecil ikut ibunya hijrah ke Cilimus, Kuningan, Cirebon, Jawa
Barat. Sementara itu, ayahnya seorang purnawirawan ABRI, tetap di Jakarta,
mengais nafkah dengan membuka bengkel di Tanah Abang.

Bertubuh kurus dan kerempeng dan jauh dari ideal, begitu kondisinya.
Nurhidayat kecil sering sakit-sakitan, sehingga senantiasa tampak sebagai
anak yang lemah. Selisih umur 17 tahun dari kakak-kakaknya menyebabkan ia
menjadi tumpahan kasih sayang. Akibatnya, bocah sakit-sakitan ini menjadi
manja, cengeng, cepat putus asa dan penuh ketergantungan. Menginjak remaja,
menjadi pemalu, rendah diri, dan penakut. Di kalangan kawan-kawannya di SMP
dan SMA Cirebon, Nur remaja menjadi bahan olok-olokan dan sasaran godaan.

Oleh karena itu, bocah kolokan ini, ketika mengenal olahraga karate, tumbuh
semangatnya untuk bisa menutupi segala kekurangannya melalui olahraga. la
berlatih beladiri secara sungguh-sungguh. Setelah SMA, ketika kembali ke
Jakarta, ia mengikuti kakaknya seorang perwira menengah polisi, yang
kemudian membimbingnya sehingga ia tumbuh menjadi karateka tangguh.

Dunia karate mulai menjanjikan masa depan. Gelar juara karate se Jakarta
Selatan diraihnya. Dan karirnya di kelas 60 kg mengantarkannya menjadi
karyawan bea cukai (1980). la bertugas di Tanjungbalai Karimun. Sayangnya,
di tempat tugas yang sepi itu Nur berkenalan dengan minuman keras dan
obat-obatan. Teler dan bolos
kerja menjadi kebiasaan barunya.

Sejak itu, prestasinya mulai ambruk. Pikirannya jadi melantur. Kemiskinan


akibat sanering, penggusuran bengkel ayahnya, kekalahan-kekalahannya,
semuanya berakumulasi, membuatnya frustasi dan merasa diperlakukan tidak
adil.

Masih untung Nur melarikan diri ke agama, hingga menjadikan agama sebagai
suatu kesenangan baru baginya. Sudah banyak ustad ia datangi, termasuk
banyak pengajian yang ia ikuti. la berkesimpulan bahwa keadilan dan hukum
Islam harus ditegakkan.

Akhirnya, pekerjaan di bea cukai ia lepas, begitu pula status pegawai


negerinya. Nurhidayat kemudian lebih memilih menjadi pedagang. Suatu
pekerjaan yang ia nilai
lebih terhormat daripada harus menjadi pegawai negeri yang ia pahami sebagai
pekerjaan orang-orang kafir.

Nurhidayat bersama teman-temannya kemudian mendirikan kelompok pengajian.


Sejumlah anak-anak muda, termasuk Sudarsono dan Fauzi pun ikut bergabung dan
saling mendukung. Dalam struktur organisasi yang lebih luas, Nurhidayat
masuk dalam saf Ali, bahkan sebagai Amir Musafir atau Amir Perjalanan yang
fungsinya memimpin perjalanan jamaah dari berbagai daerah, hijrah ke

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 72

Cihideung.

Kelompok pengajian ini, secara intens membina kader-kadernya menjadi militan


melalui beberapa tahapan doktrin yang intinya membenci pemerintah Orde Baru.
Lantas ada pula tahapan berpuasa selang-seling selama 40 hari, membaca wirid
secara intensif, serta salat tengah malam berjamaah. Mereka yang dinilai
berhasil kemudian dikirim ke Lampung untuk bergabung dengan Warsidi,
membangun basis perjuangan di Cihideung.

Setelah terjadi Geger Talangsari, Nurhidayat ditangkap aparat dalam suatu


penggerebekan di Cipinang Melayu, Jakarta Timur, akhir Februari 1989. Ketika
itu, ia bersama rekan-rekannya bersembunyi di sebuah rumah kontrakan milik
Haji Armad. Nurhidayat berupaya kabur melalui atap genting. Aparat tak mudah
dikadali dan drama penangkapan Nurhidayat berakhir di atas genting. Kepada
petugas ia mengaku bernama Abdullah, meskipun akhirnya ia mengatakan nama
yang sebenamya, Nurhidayat.

Dari rumah kontrakan itu petugas menyita satu ember anak panah beracun dan
seperangkat busur sebagai alat pelontarnya. Sejumlah bom molotov dan
bahan-bahan kimia serta peta-peta lokasi beberapa tempat di daerah juga
turut disita.

***

SUDARSONO
Termasuk salah seorang yang paling banyak disebut, terutama bila orang
berbicara tentang Talangsari dan Warsidi.

Meskipun tak pernah menetap apalagi tinggal di Talangsari, pria bertubuh


tegap ini mempunyai peran penting bagi perjuangan hidup Warsidi. Dialah yang
memberi inspirasi munculnya panah beracun, sekaligus ikut mengontrol
kegiatan jamaah di Talangsari, Lampung.

Sudarsono lahir di Belawan, Deli Serdang, Sumatera Utara, 21 April 1963.


Ayahnya seorang TNI berpangkat Sersan Mayor. Meskipun lahir di Sumatera,
Darsono lebih senang menyebut dirinya asli Jawa Timur. Aktivitas
organisasinya diavvali dari Mesjid Al Falah di Surabaya, sebagai pengurus
BKPMI (Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia). Tamat SLA, ia hijrah ke
Jakarta (1983), kemudian melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Wiraswasta As
Syafi'iyah (STWA) dan Universitas Terbuka. Darsono tak meneruskan studinya
karena berbagai alasan. Terutama setelah STWA dilebur ke dalam Universitas
Islam As Syafi'iyah. la kemudian bergabung dan aktif di LSP (Lembaga Studi
Pembangunan), LSM pimpinan Adi Sasono.

Selain itu, Sudarsono juga aktif dalam kelompok pengajian kampus bemama
Farmi (Forum antar mahasiswa Islam). Dari kegiatan pengajian inilah, Darsono
bertemu dengan Nurhidayat, Fauzi, dan beberapa lainnya untuk membentuk suatu
wadah Tril kelak dikenal sebagai "kelompok kecil" di Jakarta. Kelompok
inilah yang berhubungan langsung dengan kegiatan Warsidi di Talangsari. Dari
kelompok ini pula lahir gagasan mendirikan perkampungan muslim, sebagai
basis perjuangan tegaknya Darul Islam di Indonesia.

Darsono memilih Talangsari sebagai pusat kegiatan, antara lain karena


lokasinya dipandang strategis dan mudah ditempuh dari segala arah, termasuk
dari Jakarta. Lebih dari itu, tokoh Warsidi, dianggap sebagai sosok yang
mempunyai potensi. la dianggap bisa mewujudkan Islamic Village yang ia
gagas. Bagi Darsono, peristiwa ini sangat menyedihkan karena telah
menghancurkan cita-citanya itu. Darsono pun menjadi buronan. la pindah dari
satu tempat ke tempat yang lain, menyelamatkan diri dari kejaran aparat.
Akhirnya Darsono tertangkap setelah Marfaid Harahap, sahabatnya sendiri,
menjebaknya dan melaporkannya kepada aparat.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 73

Bersamaan dengan itu, beberapa temannya juga tertangkap. Sukardi kena tembak
kakinya. Heriyanto, Ridwan, Maulana, Dede Syaifuddin serta Abdullah Fatah
Qosim, juga kena ciduk.

***

AHMAD FAUZI ISNAN


Kisah hidupnya unik. Lahirdari keluarga militer, namun tak membekas sedikit
pun kesantunannya terhadap militer. la malah membuka front, membentuk
kekuatan untuk mengadili Militer. Ada apa ?

Ketika peristiwa Cihideung meletup, ia baru berusia 22 tahun. Namun perannya


dalam kelompok Warsidi cukup penting. Bersama Nurhidayat, Sudarsono, dan
Wahidin, ia termasuk pemrakarsa pembentukan perkampungan jamaah di Cihideung
yang diwarnai perlawanan kepada pemerintah. Fauzi sebetulnya berasal dari
keluarga yang sejak lama tinggal di Lampung. Masa kecilnya ia lewatkan di
suatu kompleks militer, tempat ayahnya bertugas sebagai anggota TNI AD. Dia
lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Di kompleks GATAM (Garuda
Hitam) Lampung itulah, Fauzi dibesarkan.

Masa kecil Fauzi sudah mengenal ajaran-ajaran Islam, termasuk membaca Al


Quran dan menulis bahasa Arab. Hal ini karena lingkungan keluarganya memang
dekat dengan agama. Orang tuanya mendorong ia dan saudaranya yang lain untuk
dekat dengan agama. Setelah menamatkan SMP-nya pada tahun 1982, Fauzi melanj
utkan ke salah satu SMA di Tanjungkarang. Tapi, tahun kedua ia keluar dari
sekolah itu.

Fauzi kemudian pindah ke Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, hingga
lulus tingkat Aliyah. Kemudian ia pindah ke Jakarta dan diterima bekerja di
Biro Pusat Statistik (BPS). Di BPS, mendapat ikatan dinas di Akademi Ilmu
Statistik (AIS), dan lulus 1988. Namun, setelah lulus, Fauzi justru tak
pernah masuk kantor. Dia lebih memilih mengikuti pengajian-pengajian. Di
sinilah ia berkenalan dengan Sudarsono dan Nurhidayat. Mereka, melalui
pertemuan di Ciloto, Jawa Barat, Maret 1988, membentuk organisasi yang
diproyeksikan sebagai basis untuk menegakkan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII) di Talangsari, Lampung. Kumpulan jamaah ini sempat pecah,
kemudian dapat bersatu kembali di bawah pengaruh Wahidin yang mempunyai
basis jamaah di Condet, Jakarta Timur.

Setelah Darsono memperkenalkannya kepada Warsidi, kabamya Fauzi bersama


Nurhidayat menipu puluhan orang untuk dikirim ke Lampung. Orang-orang itulah
yang menjadi korban Geger Talangsari yang menghebohkan sampai ke mancanegara
1989 lalu.

Kini, Fauzi mempunyai versi sendiri tentang peristiwa di Cihideung. Menurut


Fauzi, kejadian di Cihideung Talangsari bermula dari kelompok Usroh
(kelompok pengajian) yang berencana membuat perkampungan Islam, setelah
terpecah-pecah. Saat itu, Warsidi menawarkan sebidang tanah di Cihideung
sebagai basis perkampungan Islam. Sekitar Desember 1988, jama'ah Usroh yang
berasal dari Solo, Bandung, dan Jakarta, mulai didatangkan ke Cihideung,
bergabung dengan Warsidi.

Konsentrasi massa yang jumlahnya lebih dari 100 orang itu, menurut Fauzi
menimbulkan kecurigaan aparat. Pada tanggal 6 Februari 1989, Danramil
Soetiman, yang mengendarai dua buah jip dan delapan motor, datang ke
perkampungan Warsidi. Mengira hendak diserbu jamaah yang menetap di
perkampungan itu menyerang dengan menggunakan panah. Akhirnya, Soetiman

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 74

tewas.

Malam harinya, tentara mengepung perkampungan jamaah. Peperangan pun terjadi


setelah subuh mulai menyingsing, sedangkan di Sidoredjo terhadap kepala desa
Arifin Santoso, diakuinya atas perintah Warsidi. Tentang tewasnya Pratu
Budi, menurut Fauzi, aparat itu dibunuh jamaah Warsidi di luar Cihideung,
ketika sama-sama menumpang sebuah kendaraan umum. Pembunuhan dilakukan
karena jamaah sangat benci dengan tentara, dan begitu melihat Pratu Budi
mengenakan pakaian seragam, langsung dibunuh.

Keterangan Fauzi ini ternyata diperoleh darí berita di koran dan juga kata
orang. Sebab, ketika peristiwa berlangsung Fauzi berada di suatu tempat di
Jakarta. Malah menurut Darsono, karib seperjuangannya, Fauzi sesungguhnya
tidak tahu apa-apa soal Cihideung atau Talangsari. Datang ke tempat itu pun,
kata Darsono, cuma sekali. Meskipun Fauzi mengaku secara lisan kepada
penulis, telah dua kali datang ke Talangsari.

Soal benarkah apa yang diungkap oleh Fauzi, karena ia sendiri tidak berada
di sana, masih silang sengketa. Menurut beberapa temannya, Fauzi tergolong
suatu sosok pribadi yang aneh. Fauzi secara psikologis masih sangat labil
dalam berpikir dan bertindak. Bahkan, ia pun tega menohok kawan seiring dan
menggunting dalam lipatan. Yang jelas, hubungan Fauzi dengan kawan-kawannya
selalu retak dan tidak akur.

Buktinya, setelah mereka ke luar dari penjara (1999), Fauzi mempelopori


terjadinya islah sebagai cara penyelesaian kasus ini, tetapi kemudian
dikhianatinya sendiri
dengan membentuk Koramil (Komite Korban Kekerasan Militer) Lampung yang
terus mencoba membuka kembali kasus Cihideung. Hanya karena ada masalah
pribadi
dengan Hendropriyono. Hal ini dianggap pengkhianatan oleh Sudarsono dan
kawan-kawannya yang tergabung dalam Jamaah Islah. Menurut rekannya ini kasus
Lampung sudah ditutup karena kedua belah pihak, baik korban dari pihak
jamaah Warsidi maupun militer, sudah melakukan Islah perdamaian.

***

RIYANTO
Di mata Warsidi, ada dua orang yang pantas menjadi panglima. Salah satunya
ialah Riyanto. Riyanto inilah yang kemudian bersama Fadhillah alias Sugito.
la dipercaya Warsidi untuk memimpin teror Lampung, sebelas tahun lalu.

Sekilas orang tak akan percaya bahwa Riyanto, yang kini telah berusia 48
tahun ini juga bisa beringas. Malah keberingasannya dinilai oleh banyak
orang sebagai sesuatu yang cukup "mengerikan". Di tanah Lampung, sebelas
tahun lalu ketika terjadi huru-hara Warsidi, orang yang melakukan huru hara
itu salah satunya ialah Riyanto. Bersama Fadillah, Riyanto berhasil memimpin
anggotanya menciptakan gegeran Lampung 1989.

Perkenalannya dengan Warsidi berawal dari cerita Aminuddin, seorang


sahabatnya, yang menyatakan bahwa di Lampung, telah berdiri sebuah tempat
perjuangan untuk bisa mewujudkan tegaknya Negara Islam. Bagi Riyanto, cerita
itu tidak menarik bila tidak melihat langsung kenyataannya. la segera
berangkat ke Lampung untuk membuktikan cerita sahabatnya itu. Di sana ia
melihat kebenaran bahwa ada sekelompok orang yang sepaham, sedang gigih
memperjuangkan cita-cita tegaknya Negara Islam. Riyanto kepincut dan
memutuskan ingin segera berjuang bersama Warsidi untuk merajut masa depan
yang gemilang. la bergabung dengan rombongan Alex, yang memboyong istri dan
tiga anaknya dari Tanjung Priok, berangkat menuju tanah harapan meninggalkan
Jakarta yang penuh kenangan.

Riyanto telah menjalani takdir untuk hidup bersama orang-orang yang belum ia

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 75

kenal, termasuk Warsidi. Riyanto juga harus menjalani takdirnya ketika ada 5
anggota Warsidi tertangkap aparat, dan Warsidi memerintahkan untuk
merebutnya kembali dari tangan aparat itu. Dari sanalah sejarah buram
hidupnya mulai dirajut. Bersama Fadhilah dan sejumlah anak buahnya, la
menjadi tokoh rojo pati membunuh orang yang tak ia ingini, serta mengacau
keamanan yang menyusahkan banyak pihak.

Setelah dibebaskan dari Nusakambangan, tak banyak orang mengetahui kegiatan


Riyanto. Tetapi, tokoh ontran-ontran Lampung ini acap kali muncul jika ada
pihak yang mengusik soal Talangsari. Misalnya, ketika Fauzi Isnan menyatakan
bahwa korban Talangsaritelah mendapat sejumlah uang, rumah, tanah bahkan
sapi. Riyanto tersinggung dan langsung menulis surat bantahannya ke berbagai
media. Dalam suratnya itu, Riyanto malah membeberkan aib dan bejatnya moral
Fauzi.

Surat Bantahan Riyanto


Bantahan Riyanto ini dimuat Majalah Panji Masyarakat, 3 Mei 2000. la
menyatakan bahwa tidak benar korban Talangsari telah mendapat uang, rumah,
tanah,bahkan sapi, seperti yang dituduhkan Fauzi Isnan melalui berbagai
media pers. Menurut Riyanto, justru Fauzilah yang paling banyak mengeruk
keuntungan dari islah yang disepakati bersama Hendropriyono tahun 1998.
Fauzi telah meminta satu kendaraan Kijang untuk kepentingan para korban
melalui Yayasan Bunaiya, tetapi kendaraan tersebut telah disalahgunakan dan
bahkan telah dijualnya.

Diakuinya bahwa beberapa orang korban Talangsari memang telah menerima


santunan dari Hendropriyono, tetapi itu untuk mereka yang baru bebas dari
penjara, sedangkan Fauzi sudah menerima jauh lebih banyak dari itu.

Riyanto mengingatkan bahwa jika Fauzi tidak menghentikan kegiatannya yang


memfitnah dan meresahkan para korban Talangsari, Fauzi sendiri akan menemui
kesulitan yang besar.

ZAMZURI
Secara tidak langsung, Zamzuri punya peran cukup penting, bagi perjuangan
Warsidi. Orang kaya Sidoredjo ini tak cuma dihormati, tetapi juga dicintai,
terutama mereka yang tengah bergairah memperjuangkan cita-citanya mendirikan
"Negara Islam " di Lampung.

Padahal, jarak antara rumah Zamzuri di Sidoredjo dan tempat tinggal Warsidi
di Cihideung, terhitung tidak dekat, sekitar 30 km. Bedanya, Zamzuri berada
di tengah kota Sidoredjo, Warsidi tinggal di belantara ladang Cihideung. Di
rumah Zamzuri inilah para aktivis Cihideung itu sering singgah. Tak heran,
rumah Zamzuri tak pernah sepi pengunjung yang membuat curiga dan iri banyak
orang, terutama aparat keamanan wilayah.

Kalau saja tidak terjadi gegeran di Sidoredjo yang membawa korban sejumlah
aparat serta penduduk setempat, mungkin saja nama Zamzuri tidak tercatat
dalam lembaran hitam kota lada ini. Gegeran di kaki Gunung Balak itu
menyiratkan, betapa tidak harmonisnya hubungan antara aparat dengan kelompok
Warsidi yang sejak lama telah menyatakan "perang" terhadap pemerintah.
Gegeran itu berbuntut panjang.dan membawa malapetaka, tidak saja Zamzuri dan
kelompoknya tetapi juga orang-orang kecil yang tengah mengemban tugas.

Kisahnya, berawal dari kecurigaan aparat yang mencium aroma tidak beres di
rumah Zamzuri. Ketika hendak memeriksa rumah tokoh tersebut, dari dalam
muncul salah seorang anak buah Zamzuri berteriak dan mengejar petugas
tersebut. Kejar mengejar itu berhenti setelah polisi memberi tembakan
peringatan. Tetapi, tidak diperkirakan bahwa anak buah Zamzuri tersebut
kemudian merebut senjata aparat, meski pada akhirnya ia tewas diterjang
peluru petugas.

Mengetahui anak buahnya tewas, Zamzuri dan teman-temannya panas. Dari dalam

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 76

rumah segera berhamburan mengejar Dargo, polisi yang menembak korban


tersebut. Insiden Gunung Balak ini merenggut nyawa Dargo (Dansek Gunung
Balak), Santosa Arifin (Lurah Sidoredjo), Giono (Guru SMP Muhammadiyah)
serta beberapa korban luka dari kelompok pengajian Warsidi. Zamzuri,
kemudian diadili dan dibui di Nusakambangan selama lebih sepuluh tahun,
sebelum dibebaskan atas perjuangan islah dari teman-temannya.

Kini, pria Gunung Kidul, Yogyakarta yang lahir tahun 1942 dan tergolong
sukses di kawasan Gunung Balak Lampung itu, menuai hari tuanya di bekas
puing-puing kejayaan masa lalunya di Sidoredjo. Kehidupan penjara telah
membawanya ke alam spiritual yang lebih mapan dalam hidupnya. Masa lalunya
adalah harta yang tak akan pernah hilang, Sedang masa kini ialah amanah yang
harus dijalaninya dengan kesadaran untuk tidak lancung dalam ujian yang
kedua kalinya.

Kepada penulis ia mengaku masih harus belajar. lebih banyak lagi untuk
mengenal kehidupan. Menurutnya, tidak ada sesuatu yang sia-sia di mata
Tuhan. Apa pun yang telah ia jalani, tidak mungkin tanpa sepengetahuan
Allah. la menyadari, semua kejadian yang menimpanya, pasti kehendak-Nya dan
itu pasti pilihan terbaik bagi dirinya.

Oleh karena itu, ketika mendengar ada sejumlah orang yang ingin mengadakan
tuntutan kepada aparat, karena menganggap aparatlah yang salah, Zamzuri
mengatakan, tidak ingin ikut campur. la malah menyatakan, jika ingin
menuntut, sesungguhnya siapakah yang harus dituntut. Sebab para aparat,
hanya menjalankan
tugas yang memang sudah menjadi tanggungjawabnya.

Bagi Zamzuri, kebenaran tidak akan bisa tertipu, dia senantiasa akan datang
bersama orang-orang yang mencintai perdamaian.

***

Bagian 17 - Islah Sebuah Alternatif


ISLAH SEBUAH ALTERNATIF

PERDAMAIAN, dambaan semua orang. Bahkan seluruh makhluk Tuhan membutuhkan


anugerah damai. Hanya dengan damai, perjalanan menuju ke suatu tempat bisa
selamat. Itu sebabnya tidak hanya perorangan atau kelompok, bahkan tingkatan
negara pun, sejatinya selalu mendambakan anugerah damai itu. Segala cara
dicoba, berbagai jalan ditempuh untuk mencari format menuju damai. Islam
telah mengajarkan jalan damai dengah cara islah jika terjadi perselisihan,
pertikaian atau permusuhan. Format damai cara islah ini pun telah dilakukan
bahkan oleh para nabi-nabi, ketika hendak menyelesaikan suatu masalah.
Tetapi di negeri ini, islah hanya populer sebagai wacana para da'i ketika
mengajar ngaji atau berdakwa. Hanya di kalangan terbatas seperti pesantren
atau perguruan Islam, wacana islah dikenal. Selebihnya, islah hanya
tersimpan dalam buku-buku catatan agama, selayaknya jimat, hanya dibuka jika
diperlukan.

Ketika bangsa ini sedang sekarat didera pertikaian dan perselisihan yang tak
kunjung selesai, ketika kita sudah bosan mendengar cekcok sesama saudara,
kita pernah dikejutkan oleh berita tentang orang-orang yang mengadakan rujuk
damai dengan cara islah. Inilah ejawantah rekonsiliasi yang didambakan
banyak orang, meskipun belum banyak dimengerti orang.

Ejawantah rekonsiliasi yang bernama islah itu, dilakukan oleh "kelompok


Lampung" tahun 1998, di Jakarta. Suatu kelompok yang dahulu terlibat per
selisihan dan pertikaian yang melahirkan geger Talangsari 1989. Ketika itu
Fauzi Isnan, mantan jamaah Warsidi bersama teman-temannya, mencetuskan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 77

gagasan islah di depan Hendropriyono, mantan petinggi Korem Garuda Hitam


Lampung, saat pertikaian berlangsung. Hendro menyambut gagasan Fauzi setelah
dijelaskan maksud dan tujuan islah AM. Hendropriyono segera didaulat sebagai
fasilitator terselenggaranya islah tersebut.

Semangat Hendropriyono tentang islah, juga disambut oleh AM Fatwa, yang saat
itu sebagai penanggungjawab asimilasi dua tokoh peristiwa Lampung, Fauzi dan
Nurhidayat. Melalui AM Fatwa, pertemuan antara Hendropriyono dengan 14 orang
matan jamaah Warsidi, berlangsung mulus dan menghasilkan berbagai hal tak
hanya material tetapi juga moral yang selama itu telah terkoyak oleh
angkaramurka. Menurut Yani Wahid, penggagas buku ini, pertemuan dua pihak
yang dulu saling berseberangan itu, berlangsung sangat akrab, seperti
layaknya tak pemah terjadi silang sengketa pada masa lalunya.

"Kita sedang menjalani takdir. Kita pun sedih karena peristivva Talangsari
harus terjadi. Hanya saja, bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari masa
lampau yang tidak kita inginkan itu. Kita perlu memberi makna di masa kini
dengan bersama-sama melakukan sesuatu yang bermanfaat, demikian
Hendropriyono memulai pembicaraan serius setelah cukup berbasa-basi. Para
tokoh kasus Talangsari, Lampung, yang hadir antara lain, Sudarsono, Fauzi
Isnan, Sukardi, Dede Saifuddin dan Maulana Latif.

Terjadinya pertemuan islah itu, menurut berbagai pihak, merupakan peristiwa


sejarah tersendiri bagi Indonesia yang tengah centang perenang. Belum pernah
terjadi sebelumnya, bahwa seorang pejabat tinggi terpanggil untuk bertemu
dengan pihak-pihak yang bisa dikategorikan sebagai anggota Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK). Maka, apa yang dilakukan Hendropriyono menjadi fenomena.
Dialah satu-satunya jenderal dan bahkan seorang pejabat negara, yang sudi
berhubungan dengan pihak "lawan dan korban", mempelopori rekonsiliasi damai,
bernama islah, sukarela tanpa paksa.

Agenda utama islah ialah berupaya membebaskan narapidana dari rumah tahanan.
Pada awalnya, Hendropriyono hanya sanggup menolong pembebasan narapidana
untuk 3 orang saja. Tetapi Darsono berteriak, lebih baik tidak, bila tidak
semua dibebaskan. Darsono menuntut agar 15 orang teman-temannya yang ada di
Nusakambangan turut dibebaskan. Berkah perdamaian itulah akhirnya seluruh
pesakitan Lampung itu, boleh lega menghirup udara kebebasan.

Cahaya perdamaian telah hidup di dada mereka. Antara jamaah Warsidi,


masyarakat Way Jepara dan pihak aparat yang diwakili AM Hendropiryono, hari
itu berazam, untuk meninggalkan masa suram menuju ke masa depan yang lebih
punya nilai. Mereka adalah pejuang islah yang telah melaksanakan ajaran
Islam, "Islahul-Mu'amalah".

Dasar Moral Islah


Dasar moral Islah tidak ngambang, apalagi ngawur. Kalimat-kalimat islah
sudah sering kita dapatkan dalam Al Quranul Karim. Islah artinya perdamaian
atau "perbaikan". Perintah islah secara umum ialah perbaikan menyeluruh
mencakup tashlihul-aqidah (perbaikan aqidah), tashlihul-ibadah (perbaikan
ibadah), tashlihul-akhlaq (perbaikan akhlak), tashlihul-iqtishodiyah
(perbaikan ekonomi), tashlihul-siyasah (perbaikan sistem politik) dan
lain-lain.

Perintah-perintah ini lebih menitikberatkan pada peningkatan yaitu


kesungguhan untuk memperbaiki yang sudah baik. Tetapi perintah secara khusus
ialah memperbaiki yang rusak, yang mencakup tashlihul-mu'amalah (perbaikan
hubungan mu'amalah) yaitu mengakhiri keadaan yang dirusak oleh suasana
pertengkaran, permusuhan, perselisihan, hujat-menghujat, iri dengki dan lain
sebagainya.

Khusus untuk mencapai yang terakhir dalam pelaksanaannya mempersyaratkan


adanya keadaan psikologi tertentu yaitu kelayakan moral keadaban (al-hilm)
yang secara garis besar mencakup watak-watak seperti kesabaran, pengekangan

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 78

nafsu, pemaaf dan terbebas dari emosi nekat dan kepala batu.

Islah tidak dapat terjadi apabila salah satu pihak masih tergoda oleh
semangat jahiliyah (hamiyat al jahiliyah) dan perbuatan jahiliyah (amr al
jahiliyah), yaitu kegelapan atau nafsu setan yang menjadi ciri bagi mereka
yang tidak mengetahui bagaimana membedakan antara yang baik dan buruk, yang
tak pernah meminta maaf atas kejahatan yang telah mereka lakukan, yang tuli
terhadap kebaikan, bisu terhadap kebenaran dan buta terhadap kenyataan.

Dalam pandangan Alquran, kegelapan dan nafsu setan adalah penyebab


permusuhan yang tiada henti-hentinya dan penyebab kesengsaraan serta bencana
yang tak terhitung banyaknya dalam sejarah peradaban manusia.

Ketika terjadi pertengkaran hebat nyaris berbunuhan antara dua suku terbesar
di Madinah, Aus dan Hazrat, Nabi saw. cepat-cepat bertindak melerai mereka
dengan perkataannya: "Hai orang-orang yang beriman, betapa beraninya engkau
melupakan Tuhan. Kalian telah tergoda lagi oleh seruan jahiliyah (bi da wa
al-jahiliyah). Ingatlah aku berada di sini di antara kalian. Ingatlah, Tuhan
telah membimbing ke dalam Islam, memuliakan kaliah sehingga ikatan jahiliyah
terputus darikalian, melepaskan kalian dari kekufuran dan menyebabkan kalian
bersahabat satu sama lain". Demikian Nabi saw mengislahkan mereka dengan
nasihat sampai mereka menyadari bahwa mereka tergoda oleh setan, kemudian
mereka saling berangkulan dan menangis. (Lihat, Shirah Nabawi, Ibnu Ishaq).

Lain lagi yang ditempuh Nabi saw ketika telah terjadi pertumpahan darah.
Nabi tidak hanya mencukupkan nasihat untuk menutup semangat persaingan dan
keangkuhan kelompok, melainkan dengan klarifikasi dan rehabilitasi. Sebagai
contoh adalah yang terjadi pada tahun 8 H, yaitu ketika sepasukan tentara di
bawah pimpinan Khalid bin Walid masih terbawa perasaan marah dan membunuhi
kelompok suku Banu Jadhimah padahal masa perang telah usai. Nabi saw
menempuh jalan islah dengan mengutus Ali bin Abu Thalib disertai perintah :
"Segeralah pergi kepada orang-orang itu, selidikilah dengan teliti
peristi\va itu, serta hentikanlah kebiasaan jahíliyah itu!". Ali pun
bergegas menuju lokasi kejadian dengan membawa banyak uang guna dibayarkan
sebagai pengganti darah yang tumpah dan harta benda yang hilang.

Yang dimaksud dengan kebiasaan jahiliyah oleh Nabi ialah ketidakmampuan


menahan diri dari perasaan marah yang masih ada pada diri Khalid dan
pasukannya.

Kedua contoh kasus di atas, merupakan praktik islah di zaman Rasulullah saw.
Dengan jalan islah itu, Nabi saw menciptakan kembali iklim persaudaraan,
perdamaian dan
persatuan serta mengakhiri iklim persengketaan dan permusuhan. Dan memang,
ajaran atau konsep islah pada hakekatnya merupakan cara praktis mengatasi
fragmentasi politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah saw
juga menerapkan esensi ajaran ini dalam peristiwa Futuh Makkah atau
pembebasan kota Makah. Rasulullah saw berhasil mengantarkan perubahan untuk
memerdekakan semua penduduk Makkah dengan pengampunan yang menutup semua
celah pertentangan dan permusuhan.

Pada masa reformasi sekarang ini, kita sebagai umat yang besar, seolah-olah
kehilangan tempat berpijak, seolah-olah Islam mengajarkan umatnya menjadi
penuntut dan penghukum, bukan manusia-manusia pemaaf yang memiliki meta
strategi dalam menghadapi masa depan. Kita seharusnya juga merenungkan
kebijakan Rasul menghadapi orang Thaif yang telah mengusir dan menghujani
Rasulullah dengan lemparan batu. Atau ambillah hikmah meta strategi Rasul
dalam membangun kembali kesatuan masyarakat pada peristiwa futuh makkah yang
pantang memberi malu kepada Abu Sofyan, orang terkenal yang terang-terangan
memusuhi beliau dan umat Islam hampir selama dua puluh tahun. Masih banyak
lagi peristiwa-peristiwa yang telah ditempuh Rasul, yang memancarkan hikmah
islah untuk mengembalikan martabat dan kehormatan semua pihak dalam damai,
kehormatan setiap orang yang tak lagi bermusuhan, kehormatan lembaga bersama

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 79

seperti Masjidil-Haram.

Sebagai nilai, ajaran islah ini akan selalu muncul untuk dijadikan rujukan
semua pihak di kalangan umat yang ingin memperbaiki keadaan agar menjadi
lebih baik dan atau memperbaiki hubungan yang rusak akibat perselisihan,
pertengkaran maupun permusuhan.

Di tengah-tengah teriakan tentang penegakan HAM dan Demokrasi sangat


memungkinkan munculnya kelompok yang menuntut pengusutan berbagai kasus masa
lalu melalui pengadilan HAM. Namun dari, kompleksnya persoalan, mungkin
sangat tidak efektif dari segi apa pun karena dapat mengarah pada
ketidakadilan baru yang dijustifikasi oleh lembaga formal.

Banyak sekali contoh bahwa di ruang pengadilan malah lahir kezaliman baru
yang diabsahkan tanpa kita pemah mampu meluruskannya kembali. Oleh karena
itu pilihan untuk menerapkan konsep islah yang mempakan konsep religius itu
bisa jadi lebih tepat dalam rangka menutup semua cerita "ketololan politik"
masa lalu yang menyebabkan tipisnya solidaritas dan silaturahmi antar
eksponen bangsa.

Dalam konsep ini, nilai utama yang diperintahkan adalah perbaikan hubungan
untuk menyatukan kembali masyarakat yang terlibat konflik. Tujuannya bukan
pengadilan melainkan pemulihan harkat dan kehormatan, baik kehormatan
pribadi, lembaga, maupun kehormatan para pemimpin masyarakat. Dalam kondisi
masyarakat Indonesia seperti sekarang ini, konsep islah menemukan urgensinya
sebagai ajang perbaikan hubungan dan pembudayaan silaturahmi nasional serta
ajang klarifikasi kasus-kasus lama yang dianggap sebagai represi struktural
di masa lalu.

Dalam konteks moral Islam, pihak-pihak yang terlibat berusaha saling


mengobati dan mengembangkan keteladanan dalam kesabaran dan kasih sayang
(táwashau bis-shabri wätawashau bil-marhamah)

***

Bagian 18 - Tanggapan Seputar Islah


TANGGAPAN SEPUTAR ISLAH

KONFLIK sosial dan politik yang berkepanjangan akan berdampak pada jatuhnya
martabat bangsa dan negara. Pasca Orde Baru ini, pada hakikatnya seluruh
lapisan masyarakat mendambakan agar konflik-konflik di tingkat elite politik
maupun konflik antar masyarakat dapat segera diakhiri dan diselesaikan
dengan baik. Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa
Indonesia memiliki posisi tersendiri dalam memberikan tuntunan maupun
mengembangkan budaya penyelesaian konflik dengan cara-cara yang terhormat
dan bermartabat. Salah satu konsep yang diajarkan Islam ia1ah konsep moral
agar mereka yang berselisih menyelesaikannya dengan islah. Yaitu merekat
kembali tali silatutahmi, saling memaafkan, dan memusyawarahkan apa-apa yang
bisa dilakukan bersama. Konsep inilah yang diperkenalkan dan dijadikan
landasan moral oleh kelompok Islah Kasus Lampung. Niat mereka itu dapat
dipandang sangat mulia karena bukan saja ingin menyelesaikan konflik yang
pernah mereka alami, melainkan juga seka1igus dapat menyumbang bagi
penciptaan iklim Sosial yang rukun dan damai dalam masyarakat Indonesia yang
sedang. bergejolak sekarang ini.

Akan tetapi, memasyarakatkan konsep islah bukanlah hal yang mudah. Apalagi
di tengah-tengah kusutnya isu penegakan dan pengadilan HAM sebagai cara yang
dianggap terpenting sekarang ini. Ada misalnya yang menyesalkan sikap
memaafkan dari anggota masyarakat. Dikatakannya hal itu sebagai hak
individu. Namun bukan berarti pemerintah berdiam diri. Negara wajib menuntut
Kedudukan hukum harus dikedepankan karena telah terjadi pelanggaran. Bagi

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 80

orang seperti itu pendekatan hukum dianggap yang terpenting. Tetapi bagi
Arifin, mantan tahanan politik kasus Talangsari, lain lagi. Arifin
mengatakan, yang penting ialah pembebasan teman-temannya yang masih
dipenjara, dibantu memperoleh pekerjaan dan santunan pada keluarga-keluarga
korban yang membutuhkan. Tentang pilihan Islah, Arifin mengatakan: "Kami
telah bertemu langsung dengan Pak Hendro (mantan Danrem Lampung). Dengan dia
kami saling memaafkan. Kami memilih hukum penyelesaian dengan cara Islam
yakni islah yang tidak saling melakukan penuntutan. Apalagi saling balas
dendam yang dilarang agama Islam". Arifin mengakui kenangan pahit atas
kejadian Talangsari. Anak dan istrinya ikut meninggal dalam peristiwa itu.
"Kalau mengikuti hukum kafir, maka kehendak hati maunya berontak. Tetapi
saya meyakini, sampai kiamat pun keadilan. dan penegakan hukum tidak pemah
tercapai selama masih menggunakan hukum thaghut buatan manusia," katanya.
(Lampung Pos, 5 September 1998).

Isu HAM yang baru muncul sekarang tentunya sangat sulit dan boleh jadi tidak
tepat untuk mengukur iklim politik masa lalu yang bernuansa politik
kekerasan. Kasus Lampung sebagai kasus masa lalu bisa sangat "empuk"
dijadikan sasaran tembak atas nama penegakan HAM. Namun siapakah yang
diuntungkan melalui isu itu, sungguh sesuatu yang perlu dicermati. Justru
pihak-pihak yang terlibat langsung kejadian Talangsari merasa perlu menempuh
jalan lain yaitu islah, bukan pendekatan hukum. Mereka menggugat LSM.
tanggapan seputar islah ke mana saja mereka selama ini, kok tiba-tiba
sekarang baru muncul sebagai pembela Warsidi dan kasusnya? Apa dulu mereka
pernah peduli terhadap jamaah Warsidi yang terlunta-lunta, yang menjadi
janda, yang kehilangan usaha, yang meringkuk dalam penjara dan lain-lain.
Mengapa baru sekarang ingin bertindak seperti pejuang dan seolah-olah kasus
ini menjadi penting di mata mereka?" kata Sudarsono.

Menurut Sudarsono, buat apa mengungkap masa lalu jika ujung-ujungnya tidak
memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan pelaku/korban peristiwa itu sendiri
tanggapan seputar islah Kami muak dengan cara-cara LSM tertentu yang hanya
cari muka di depan penyandang dana internasional untuk mengobok-obok
Indonesia atas nama HAM", tegasnya. Sudarsono dan mantan napol lainnya
berharap sikap arif dan gentleman yang telah dilakukan Hendropriyono
terhadap kasus Lampung melalui pendekatan bantuan kegiatan usaha/ekonomi
dapat dilakukan oleh para pembesar lainnya agar para korban politik masa
lalu tidak dijadikan obyek komoditas politik kelompok tertentu yang
ujung-ujungnya tidak untuk kemanfaatan para korban dan keluarganya.
(Republika, 10 September 1998).

Banyak orang memang meragukan siapa yang diuntungkan dengan usaha-usaha


pengungkapan seperti yang dimaui mereka yang gandrung isu hak-hak asasi
manusia (HAM). Lebih jauh berikut ini penjelasan, sikap dan pembelaan para
mantan narapidana kasus GPK Warsidi tentang Islah yang mereka lakukan serta
tanggapan masyarakat luas.
Attachment Size
kliping_talangsari_00727.gif 100.37 KB
kliping_talangsari_00728.gif 100.49 KB

Bagian 19 - Mereka Yang Dibebaskan


MEREKA YANG DIBEBASKAN

Artinya dipenjara? Orang yang hidupnya diberi tanda batas. Mereka


ditentukan, tak lagi menentukan. Mereka diatur dan tak lagi boleh mengatur.
Sungguh tak terbayangkan. Mereka yang dulunya bebas menentukan pilihan dan
kehendak, yang tak seorang pun mencegah ke mana suka, kini semua itu sirna.
Tak bisa lagi makan dan minum sesuai selera. Tak lagi bercampur anak, istri
dan orang-orang tercinta.

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 81

Kini mereka dihadang peraturan yang ditegakkan oleh para sipir penjara Yang
bisa ramah disuatu ketika, tetapi juga bisa marah sampai tak terkira. Yang
bisa baik, dalam tutur kata bak seorang pendeta, tetapi jika anda coba-coba
lari, peluru tajamnya yang bicara. Jika tak cukup bermental baja sangat
mudah seseorang akan mengalami kegoncangan jiwa, depresi, histeria, takut,
was-was dan perasaan tak berdaya. Ah, bagaimana lagi mereka yang harus
menjalani hukuman bertahun-tahun bahkan seumur hidup? Tentunya waktu akan
menyeret ke suatu kesudahan yang tidak dapat terperkirakan.

Tak seorang pun ingin dipenjara. Juga mereka yang terlibat kerusuhan
Talangsari, Way Jepara, Lampung Tengah itu. Apa lagi penjara Nusakambangan.
Dede Saefuddin, Sukardi, Maulana Latif, tak pemah bercita-cita masuk
penjara. Tidak juga kawan-kawannya yang lain yang berada di LP.
Nusakambangan.

Maka, ketika mereka menghadiri acara islah dengan. Menteri Transmigrasi, AM.
Hendropriyono, pertama-tama yang mereka minta ialah pembebasan
teman-temannya yang masih dipenjara di LP.Nusakambangan. "Semula Pak Hendro
hanya berniat membantu pembebasan beberapa orang saja yang kategori politik.
Tidak termasuk narapidana Lampung yang terlibat pembunuhan dan teror. Namun
setelah kami minta tolong dan Saudara Fauzi menawarkan untuk islah akhirnya
Pak Hendro setuju dan meminta agar data-data mereka yang masih dipenjara
segera dicari. Pak Hendro dalam kapasitasnya selaku Menteri akan memproses
pembebasannya." kata Dede Saefuddin dalam suatu wawancara dengan penulis.
Menurut Dede, malam itu disetujui agar esok hari beberapa orang pergi ke
LP.Nusakambangan untuk menyampaikan berita islah serta mulai menghimpun
data-data siapa saja teman-teman narapidana Lampung yang belum dibebaskan.
"Kalau tidak salah yang ditugaskan menghimpun data-data dan menyampaikannya
kepada pak Hendro adalah saudara Maulana Latif", katanya. Keinginan agar
para tahanan politik segera dibebaskan agaknya sedang menggema, menjadi
semacam agenda pertama reformasi. Bukan hanya mantan napi yang menyerukan
pembebasan, tetapi banyak pihak di masyarakat, termasuk ormas-ormas Islam
dan tokoh-tokoh Islam. Tetapi seruan akan tinggal sebagai seruan jika tidak
ada pihak yang secara serius mengajukan prosesnya. Proses pembebasan
tahanan, apalagi narapidana yang perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap ternyata tidaklah sederhana. Harus ada pihak yang secara resmi
meminta, kemudian dibahas melalui rapat-rapat intern departemen yang terkait
untuk memastikan apakah pembebasan itu mungkin dilakukan dan dapat
dibenarkan menurut Undang-undang atau peraturan yang berlaku. Waktu itu,
Jaksa Agung HA. Muhammad Ghalib, SH memberi isyarat bahwa amnesti dapat
diberikan dengan catatan:

1. Tidak termasuk terpidana penjara di atas 10 tahun.


2. Membuat pernyataan setia kepada negara Kesatuan RI.
3. Berjanji tidak akan melakukan kegiatan yang dapat mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa.

Reformasi yang penuh euforia terus berjalan. Namun tidak secara otomatis
para narapidana politik dapat dibebaskan. Tidak juga pada Hari Kemerdekaan,
tanggal 17 Agustus 1998. Tersentuh oleh tanggungjawab yang muncul di
tengah-tengah keinginan dan tuntutan untuk islah, akhirnya Menteri
Transmigrasi, AM. Hendropriyono memenuhi janjinya. Melalui suratnya Nomor:
R-O28/Mentras/O8/1998 tanggal 21 Agustus 1998, Menteri Transmigrasi dan PPH
memohonkan percepatan pembebasan Napol Korban Peristiwa Lampung kepada
Presiden Republik Indonesia Tidak cukup dengan surat, AM. Hendropriyorio
juga melobi langsung kepada Jaksa Agung RI, M. Ghalib Menteri Kehakiman
Muladi, Menhankam (Pangab) Wiranto dan Ketua MA, Sarwata. Hasilnya, Jaksa
Agung RI melalui suratnya Nomor: R-196/A/D/9/1998 Tanggal 23 September 1998
turut menyarankan kepada Presiden untuk menyetujui permohonan Menteri
Transmigrasi dan PPH perihal amnesti. Napol peristiwa Lampung atas nama
Fauzi dkk. Barulah sebulan kemudian, Menteri Sekretaris Negara, Akbar
Tandjung, melalui suratnya No: R-311 M.Sesneg/10/1998 Tanggal 26 Oktober
1998 berkirim surat kepada Menko Polkam, Menteri Kehakiman, Menteri
Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI menyampaikan tentang petunjuk Presiden

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 82

agar usul pemberian rehabilitasi kepada eks Napol perisrtiwa lampung atas
nama Fauzi dkk dibantu prosesnya.

Kenyataan ini membuktikan bahwa pembebasan narapidana politik Islam walaupun


pada era reformasi tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang.
Birokrasinya sangat berbelit, dari bawah ke atas lalu ke bawah lagi dan
berproses lagi ke atas untuk kemudian baru bisa ditandatangani oleh Presiden
RI.

Pada proses pembebasan sejumlah narapidana kasus Lampung ini Presiden


Bacharuddin Jusuf Habibie baru menetapkan dan menandatangani keputusannya
untuk memberikan grasi setelah melalui proses yang alot apalagi saat itu
Undang-undang Subversi memang belum dicabut. Tetapi akhirnya melalui Kepres
Nomor : 101/0 Tahun 1998 tanggal 31 desember 1999, Presiden memberikan grasi
kepada para narapidana kasus Lampung yang diperjuangkan Menteri Transmigrasi
itu.

MEREKA YG DIBEBASKAN :

1.. FAUZI bin ISNAN, yang dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, Nomor
04/Subv/Pid/90/PT.DKI tanggal 26 Maret 1990, telah dijatuhi pidana penjara
selama 20 (dua puluh tahun).

2.. SUDARSONO al. MASDAR, yang dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor: 05/Subv/Pid/90/PT.DKI tanggal 30 April 1990 telah dijatuhi pidana
penjara selama 17 (tujuh belas) tahun.

3.. FADHILLAH al. SUGITO bin WIRYOPERWITO yang dengan putusan Pengadilan
Negeri Tanjungkarang Nomor: 160/Pid/B/Subv/1989/PN.TK, tanggal 7 Nopember
1989 telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup.

4.. TARDI NURDIANSYAH, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang


Nomor 102/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 21 Desember 1989 telah dijatuhi pidana
penjara selama 17 (tujuh belas) tahun.

5.. SUGENG YULIANTO al. SUGIMIN, yang dengan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang Nomor 161/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 7 Nopember 1989 telah
dijatuhi pidana penjara selama seumur hidup.
6.. RIYANTO, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor:
191/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 4 Januaru 1990 telah dijatuhi pidana
seumur hidup.

7.. HARIYANTO YUSUF, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang


Nomor 102/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 6 Nopember 1989 telah dijatuhi
pidana penjara seumur hidup.

8.. FACHRUDDIN al. SUKIRNA, yang dengan putusan Pengadilan Negeri


Tanjungkarang Nomor: 193/PidTB/Subv/1989/PN.TK tanggal 21 Desember 1989
telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup.

9.. ZAMZURI bin MUH. RAJI yang dengan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang Nomor: 145/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 25 Oktober 1989 telah
dijatuhi pidana penjara seumur hidup.

10.. MUH. MUSHANNIF, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor: 194/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 20 Desember 1989 telah dijatuhi
pidana penjara selama 20 (duapuluh) tahun.
11.. ARIFIN bin KARYAN, yang dengan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang Nomor 195/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 18 Desember 1989 telah
dijatuhi pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun.
12.. ABADI ABDULLAH, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang
Nomor 196/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 19 Desember 1989 telah dijatuhi pidana
penjara selama 20 (dua puluh) tahun.
13.. MUNJAENI, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No:

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 83

187/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 30 Oktober 1989 telah dijatuhi pidana


penjara selama 20 (dua puluh) tahun.

14.. SHOLIHIN, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor


53/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 25 Agustus 1990 telah dijatuhi pidana penjara
selama 13 (tiga belas) tahun.

15.. SRI HARYADI, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang


Nomor 163/Pid/Subv/B/1989/PN.TK tanggal 30 Oktober 1989 telah dijatuhi
pidana penjara seumur hidup.

Pembebasan itu disambut suka cita. Menteri Transmigrasi dan Pemukiman


Perambah Hutan A.M. Hendropriyono juga turut bergembira menyambut kedatangan
mereka di Masjid Muhajirin Departemen Transmigrasi dan PPH Jakarta. Dalam
Acara Syukuran yang diliput secara luas oleh pers nasional, A.M.
Hendropriyono mengungkapkan bahwa seluruh tahanan politik Islam akan
dipercepat pembebasannya. Karena landasan moral Islah. "Mereka ini bukan
penjahat, perampok, maling dan garong. Mereka ini masuk penjara karena
politik dan di sinilah ada kesalahpahaman dengan pemerintah soal kebijakan".

Tentang pembebasan itu, sebagai bukti bahwa islah merupakan gerakan moral
yang bisa mengetuk hati para penguasa atau masyarakat luas. Departemen
Transmigrasi, menurut Hendro, berniat menerima hak-hak sosial politik para
tapol tersebut. Karena, umumnya mereka merupakan orang-orang yang miskin dan
susah. "Para tapol berhak diberi tawaran transmigrasi seperti rakyat yang
lain", katanya.

Semua sudah terjadi. Penyelesaian melalui Islah dalam kasus Talangsari


menjadi kenyataan. Mereka yang semula dianggap bermusuhan, kini berangkulan.
Yang kuat membantu yang lemah. Yang tak punya pekerjaan diberi pekerjaan.
Yang ingin usaha dagang diusahakan modal.

Memang, tak semua bisa puas. Ada saja pengganggu dan peragu. Ada yang
menuntut terlalu banyak. Ada yang mencari-cari dalih untuk tetap
menghidupkan silang sengketa. Tetapi dari kasus ini dan cara
penyelesaiannya, kita diingatkan satu hal bahwa kita perlu menimba sebanyak
mungkin kearifan dari sabda-sabda Ilahiah dalam rangka mengakhiri anarki
berkepanjangan.

Mereka yang tewas dari kedua belah pihak, telah gugur sebagai syuhada di
medan perang. Tiada kata siapa yang menang dan siapa yang kalah, sebab yang
menang hanyalah kebenaran.

Moral Islah yang diserukan sangat layak menjadi solusi atas situasi konflik
sosial politik tak kunjung reda sekarang ini. Kita tertegun seolah pilihan
memang hanya satu jalan :.... selesaikan dengan cara menelusuri jalan-Nya.

***

Bagian 20 - Seluir Kata Akhir


SELUIR KATA AKHIR

DEMOKRASI mensyahkan adanya hak hidup yang setara di depan umum atas
keanekaragaman pandang dalam aneka dimensi, betapapun besar kadar
perbedaannya. Akan tetapi, realitasnya selalu mengandung berbagai aspek
dasar yang memungkinkan lahirnya konflik pandang. Sejauh disertai kesadaran,
"berbeda itu rahmat" maka perbedaan itu bisa saja berarti "kenikmatan".
Walaupun ternyata menghargai perbedaan bukanlah perkara gampang. Inilah yang
sering mengakibatkan, timbulnya berbagai tindakan keras sporadis. Kasus
Lampung, boleh jadi merupakan klimak dari berbagai masalah-masalah di atas.
Selama Orde Baru, memang tidak sedikit sudah kita jumpai kekerasan sporadis

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 84

yang muncul dari tengah-tengah umat. Yang memprihatinkan ialah kekerasan


sporadis itu sering menjadi acuan yang tidak mendasar atas nama idealisme
Islam.

Ada dua unsur dasar yang sering kali terlupakan. Padahal unsur-unsur
tersebut, tak jarang memberi peluang munculnya berbagai tragedi bangsa di
negeri ini. Pertama ialah egosentrisme manusia dan yang kedua ialah
menyangkut fanatisme ideologi. Kedua unsur tersebut bisa jadi sangat
berbahaya di tengah-tengah wacana yang mendikotomikan antara umat Islam dan
negara. Unsur itulah yang senantiasa hadir dalam berbagai kasus kekerasan
politik di Indonesia.

Egosentrisme Manusia
Egosentrisme merupakan kekayaan yang melekat pada diri manusia. la mempunyai
fungsi, antara lain menjadi pembeda manusia dari makhluk lainnya sesama
manusia ciptaan Tuhan. Padahal selain ego keakuan, manusia juga butuh
orientasi kemasyarakatan. Artinya pada saat keakuan manusia itu berperan,
sesungguhnya di saat yang sama kebutuhan sosialisai manusia juga ikut
berperan.

Manusia memiliki kedua-duanya. Masalahnya ialah kadar dominasi, manakah yang


lebih kuat, keakuannya atau kemasyarakatannya, hidup untuk dirinya atau
untuk selain dari itu. Walaupun manusia diberi kebebasan bahkan untuk
menentukan dirinya itu siapa dan menjadi apa, namun sebaik-baik manusia
ialah yang tahu dirinya dan segera menentukan sikap untuk menjadi apa. Sebab
batas antara egosentrisme dengan sosialisme teramat tipis yang rentan
kendali dan tak aman dari pujian sehari-hari.

Hitam putih manusia, memang tak mudah dikenali. Akan tetapi tindakan dan
sikapnya tak bisa ditutupi, apalagi diingkari. Cepat atau lambat, ia akan
menunjukkan jati dirinya, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Kelompok
Warsidi dari dusun kecil Talangsari III, sering terdengar bahwa segala yang
ada di bumi milik Allah. Oleh karena itu di antara anggota Warsidi ada yang
merasa syah, bila mengambil tanaman di sekitar komplek Cihideung, karena
tanaman juga milikAllah. Juga dari sana sering terdengar, siapa yang tidak
mengikuti dirinya batal Islamnya dan kafir hukumnya. Termasuk pemerintah
atau orang-orang yang tidak mendukung diri dan kelompoknya.

Sesungguhnya tindakan dan perilaku seperti itu tergolong suatu sikap


individualistik, egois dan petunjuk besarnya sifat keakuannya. Malah Warsidi
menolak ketika camat Way Jepara, meminta dirinya segera datang ke kantor
kecamatan. "Sebaik-baiknya umaro yang mendatangi ulama dan seburuk-buruknya
ulama datang ke tempat umaro", jawabnya ketika camat meminta Warsidi datang
ke kantor kecamatan.

Fanatisme Ideologi
Ideologi tidak pernah mati. Konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan
politik selalu dilatarbelakangi oleh mencuatnya perbedaan ideologi.
Indonesia ternyata lahan subur bagi pertarungan ideologi besar: Nasionalis,
Komunis dan Islam. Sebagai bangsa, kita punya pengalaman kolektif tentang
kekerasan atas nama ideologi. Belum habis kekerasan zaman penjajahan, perang
kemudian terjadi, dan terus berlangsung hingga Jepang habis. Orang-orang tua
kita bicara tentang merdeka atas dasar apa. Bendera merah putih menjadi
satu-satunya pemersatu di atas berbagai perbedaan ideologi ditingkat
perumusan dasar negara.

Tetapi, disaat bangsa ini tengah menegakkan bendera merah putih, pasukan
Belanda masuk kembali. Kekerasan terjadi lagi, yang ditembak mati, digranat,
dilempar dari kendaraan dalam keadaan tangan terikat dan berbagai bentuk
kekerasan lainnya. Sehingga kita mengenal kekerasan bagai mengenal keluarga
sendiri. Tak terkecuali orang-orang yang hidupnya jauh dari kota. Desa
adalah ketenteraman. Tetapi, banyak yang bisa menceritakan dengan suara
ketakutan bagaimana rasanya hidup di desa yang terkepung gerilya DI/TII atau

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 85

ketika desa-desa di Madiun disatroni oleh orang-orang PKI. "Kita merdeka


tetapi bermusuhan dengan sesama bangsa sendiri", rumah rakyat dibakar,
anak-anak menjerit ketakutan, dan orang-orang tembak-menembak dari jarak
yang amat dekat. Sama-sama nekat dan itu semua berlangsung atas nama
ideologi yang dipahami secara fanatik.

Tahun 1955, bangsa ini untuk pertama kalinya melakukan eksperimen menuju
demokrasi. Jangan lagi perbedaan ideologi diselesaian dengan senjata tetapi
dengan pemilihan umum. Senjata diganti dengan suara. Hasilnya tak ada yang
benar-benar menang sehingga DPR hasil pemilu paling demokratis pun tak mampu
menghasilkan apa-apa kecuali pertengkaran elite dan akhirnya diselesaikan
oleh palu godam kekuasaan.

Ideologi-ideologi ternyata terlalu kaku menghadapi kenyataan. Marhaenisme


Soekarno tak bisa mengikuti realitas baru pertumbuhan kelas menengah dan
kelas atas, memisahkan semakin jauh nilai persatuan dan kesatuan. Komunisme
tidak bisa menanggulangi ambruknya sistem ekonomi komando dan sistem politik
otoriter. Dan Islam, sungguh sangat naif dibawa oleh orang-orang yang
kesulitan dengan kemajemukan bangsa dan kemajemukan umatnya sendiri. Tetapi
fanatisme ideologi tidak pernah berhenti. Pemerintah Orde Baru tampil dan
lagi-lagi terjebak ingin melibas semua ideologi atas nama ideologi juga,
yaitu ideologi negara yang seharusnya tetap menjadi milik negara. Umat Islam
yang sudah telanjur tercekoki oleh pandangan ideologis yang kurang
menghargai kemajemukan akhimya terjebak dalam pengkotakan antara Islam dan
Pancasila. Memilih Islam disangka tidak berpancasila. Dan sebaliknya
berpancasila seolah seperti meninggalkan ideologi Islam.

Pada kasus Talangsari dan kasus-kasus Islam lainnya, kita menemukan aura
keterjebakan itu. Mereka menolak Pancasila seperti menolak kekafiran. Dalam
situasi demikian, fanatisme ideologi Islam pun menemukan lahan yang subur.
Tingkah pemaksaan ideologis oleh negara menjadi pemicu lahirnya banyak
kelompok sempalan yang mengabsahkan eksistensinya juga dengan jalan
kekerasan. Maka di masa Orde Baru lahirlah sejumlah pahlawan-pahlawan
romantik keislaman. Mereka membangun fanatisme ideologi keislaman ke
kalangan pengikutnya dengan minimnya pemahaman tentang Islam secara
menyeluruh. Doktrin kembali kepada kemurnian Islam seperti yang akhirnya
ditemukan oleh aparat keamanan ketika menggerebek jamaah Mujahidin
Fisabilillah Cihideung, misalnya ternyata penjabaran dari kemurnian tersebut
melahirkan darah dan kematian. Dokumen tentang doktrin kemurnian itu seperti
diungkap oleh Majalah Tempo berbunyi :

"Ternyata Islam tidak seperti yang kita alami. Kita diisi oleh versi NU,
versi Muhammadiyah, Darul Hadist. Mereka tak mencerminkan Islam yang
sebenarnya, bukan Islami".

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, sekte-sekte ideologi Islam dengan garis


keras yang sering dijuluki sebagai sempalan, cukup banyak. Disebut sempalan
karena dianggap menyempal dari arus utama umat yang pada umumnya diwakili
oleh NU atau Muhammadiyah. Lalu konotasi sempalan diberikan terhadap sikap
yang keras, penentang, revolusioner dan fundamentalis. Stigma demikian,
sebetulnya bernadakan vonis seolah-olah kelompok kecil yang menyempal dari
arus utama umat, juga secara otomatis tidak toleran dan tidak moderat. Malah
terdakwa sebagai telah melakukan penyimpangan dari ajaran dan keyakinan
keagamaan yang baku. Tidak semua salah, juga tidak seluruhnya benar.

Tetapi satu kenyataan bahwa ideologi apapun memang kaku bila dihadapkan pada
realitas yang berkembang. Kekakuan ideologi menciptakan dikotomi dan
keretakan sosial. Umat dan bangsa terbelah antara tradisionalis dan
modernis, antara nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler, kooperatif dan
non-kooperatif dan lain sebagainya. Sebabnya mudah dikenali bahwa dalam
ideologi orang mengira hanya ada satu kebenaran yang boleh diyakini, yang
selain itu dianggap lawan. Maka keanekaragaman harus dibasmi. Pluralisme
dianggap tidak perlu, menjengkelkan dan banyak cingcong. Kebenaran seolah
tinggal pakai, tanpa diketahui persis prosesnya. Padahal dengan cara itu,

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 86

kebenaran hanya produk dari luar yang dipaksakan tanpa pencarian dari dalam.

Mencari Solusi
Ideologi memang tak mati-mati. Tetapi Islam tidak semata-mata mengandung
ajaran ideologis. Justru Islam ingin membuka cara berfikir yang tertutup dan
fanatis. Dengan ideologi tertutup umat sudah banyak menyingkirkan orang yang
kita sapa sebagai "sekuler", "abangan", "tidak istikhomah" dan lain
sebagainya. Memang sudah lama Islam berada di pinggir panggung politik
nasional. Tetapi pertumbuhan pendidikan telah membuka peluang untuk berada
di tengah-tengah pentas. Dan pada saat itu dituntut pola pikir yang
objektif, tidak boleh lagi berfikir subjektif, orang "kita" dan "mereka"
tanpa alasan yang cermat.

Islam sudah ada di mana-mana dalam berbagai tugas dan karir. Mereka ada di
birokrasi dan tentara. Bukan hanya di desa sebagai pedagang atau petani.
Oleh karena itu, para politisi dan pejuang Islam harus.mengakhiri pendekatan
ideologis yang melihat politik sebagai pertarungan Islam dan non Islam
apalagi Islam dan negara. Para pemimpin Islam harus memahamkan kepada
umatnya untuk meningkatkan tensi kreatif dan etos keilmuan dalam rangka
memanfaatkan ruang idealisme dan realitas. Karena itu definisi dan sasaran
politik umat tidak lagi hanya berorientasi pada simbol-simbol. Misalnya
menempatkan Islam berhadapan dengan negara atau mengislamkan negara menjadi
Islam. Yang substantif ialah memaksimalkan peran kekhalifahan setiap orang
Islam untuk memberi manfaat kepada orang lain sebagai sama-sama umat manusia
yang mendambakan keadilan dan kemakmuran. Harus ada konsesus di
tengah-tengah umat untuk tidak lagi memakai kekerasan dalam menyelesaikan
persoalan. Indonesia kita saat ini menantikan solusi yang punya kandungan
kebajikan bagi semua warganya.

Kesalehan dan kezaliman tetap bisa berlangsung pada pribadi yang sama,
karena itu toleransi kesetiaan kepada sumpah bersatu sebagai bangsa,
meningkatkan ilmu dan teknologi, serta mengembangkan semangat berkompromi
adalah solusi terbaik untuk menghindarkan bangsa kita dari perpecahan dan
penderitaan yang tiada berujung.

Itulah Islah.

***

Bagian 21 - Dokumen
Attachment Size
dokumen_talangsari_lampung_1.jpg 40.21 KB
dokumen_talangsari_lampung_2.jpg 49.22 KB
dokumen_talangsari_lampung_3.jpg 35.92 KB
dokumen_talangsari_lampung_4.jpg 45.48 KB
dokumen_talangsari_lampung_5.jpg 50.6 KB
dokumen_talangsari_lampung_6.jpg 37.55 KB
dokumen_talangsari_lampung_7.jpg 28.38 KB
dokumen_talangsari_lampung_8.jpg 34.4 KB
dokumen_talangsari_lampung_9.jpg 48.22 KB
dokumen_talangsari_lampung_10.jpg 28.14 KB
dokumen_talangsari_lampung_11.jpg 57.5 KB
dokumen_talangsari_lampung_12.jpg 51.7 KB
dokumen_talangsari_lampung_13.jpg 20.58 KB

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM


Buku Geger Talangsari Page 87

dokumen_talangsari_lampung_14.jpg 46.38 KB
dokumen_talangsari_lampung_15.jpg 47.59 KB
dokumen_talangsari_lampung_16.jpg 46.41 KB
dokumen_talangsari_lampung_17.jpg 44.81 KB
dokumen_talangsari_lampung_18.jpg 49.39 KB
dokumen_talangsari_lampung_19.jpg 25.26 KB
dokumen_talangsari_lampung_20.jpg 24.95 KB
dokumen_talangsari_lampung_21.jpg 45.81 KB
dokumen_talangsari_lampung_22.jpg 46 KB
dokumen_talangsari_lampung_23.jpg 34.17 KB
dokumen_talangsari_lampung_24.jpg 34.17 KB
dokumen_talangsari_lampung_25.jpg 63.86 KB
dokumen_talangsari_lampung_26.jpg 26.7 KB

Bagian 22 - Tamat
Foto-foto
Attachment Size
Abdul_Fatah02492.jpg 14.44 KB
Abdullah_Sungkar_02511.jpg 11.76 KB
AM_Hendropriyono_02500.jpg 20.41 KB
bendorit_02494.jpg 11.78 KB
Ditangkap_Penduduk_02496.jpg 22.71 KB
Fadhillah_02497.jpg 12.13 KB
Gardu_02498.jpg 22.84 KB
Gardu_Racun_02499.jpg 23.19 KB
Ismed_Marzuki_02501.jpg 20.33 KB
Jembatan_02503.jpg 24.57 KB
Koramil_Way_Jepara_02504.jpg 17.41 KB
Lokasi_02505.jpg 21.1 KB
Panah_Racun_02507.jpg 23.67 KB
Pesantren_Ngruki_02506.jpg 18.54 KB
Pos_Polisi_02508.jpg 21.37 KB
sarikun_02493.jpg 19.19 KB
Senjata_02509.jpg 17.48 KB
Soetiman_02495.jpg 13.32 KB
Sudarsono_02510.jpg 12.27 KB

http://www.talangsari.org/book/export/html/46 11/24/2008 11:19:02 AM

You might also like