You are on page 1of 3

Hakikat Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk ekologi: Potret Degradasi Hutan

Pendahuluan Lingkungan hidup bukan semata-semata persoalan teknis sebagaimana yang saat ini berkembang. Bukan hanya pada lingkup memanfaatkan atau mengeksploitasi alam, melainkan bagaimana manusia hidup selaras dengan alam. Manusia memiliki tanggung jawab untuk merawat, menjaga, serta melestarikan alam disamping menggunakan alam untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini merupakan tanggung jawab moral manusia dalam prinsip etika lingkungan hidup. Lingkungan hidup merupakan kehidupan manusia dengan alam secara fungsional. Untuk itu, permasalahan lingkungan hidup luas termasuk mencakup masalah moral, persoalan perilaku manusia terhadap alam. Hutan sebagai bagian subsistem alam menjadi korban eksploitasi dalam ekonomi pembangunan, terutama pada negara dunia ketiga. Tidak lain dan tidak bukan manusia lah sebagai aktor utamanya. Hutan merupakan lumbung yang harus dikeruk untuk meningkatkan perekonomian dalam pembangunan. Sehingga, dalam konteks ini tindakan eksploitasi hutan dibenarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pembangunan. Persoalan ini bertitik pada manfaat hutan melalui produksi kayunya yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan dan laris dalam pangsa pasar. Tak terkecuali Indonesia, kayu merupakan sumber pendapatan pokok Nasional, terutama pada produksi kayu bulat tropis dan kayu gergajian, kayu lapis dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuat kertas1[1]. Sejalan dengan itu, terjadi kekeliruan pemahaman manusia tentang dirinya dan alam semesta (hutan), sehingga lahirlah berbagai perilaku menyimpang yakni pembalakan liar yang menimbulkan degradasi hutan. Paling tidak, telah terjadi laju kerusakan atau degradasi hutan di Indonesia sekitar 2 sampai 3 juta ha per tahun2[2]. Dalam kurun waktu 20 tahun sejak tahun 1990 telah terjadi peningkatan laju deforestasi sebesar 3 kali lipat3[3]. Semua terjadi baik secara legal maupun ilegal. Penggunaaan lahan hutan secara legal misalnya saja untuk pembukaan perkebunan, khususnya perkebunan sawit di Kalimantan, Sumatera dan papua. Dan tindakan secara ilegal seperti mencuri kayu alam dari hutan, pembalakan liar serta ikutan dalam pembukaan perkebunan secara tidak transparan sebagai tindakan kriminal. Beragam sumber daya hutan diolah melalui proses produksi sehingga dapat menciptakan nilai ekonomis, terutama pada industri pengolahan kayu. Industri pengolahan kayu membutuhkan pasokan kayu yang besar dalam setiap proses produksi. Untuk itu terus dilakukan ekspansi hutan yang sangat tidak melestarikan hutan. Negara dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia merupakan penghasil kayu paling banyak dibandingkan dengan negara dunia kesatu. Ironisnya, prioritas hasil hutan tidak dinikmati negara dunia ketiga sebagai lumbung kayu dan sumber daya hutan lainnya. Negara dunia ketiga yang notabenenya adalah negara miskin tetap dalam kondisi stagnan, meski melaju tetapi secara perlahan. Namun, kondisi ini tak terelakan mengingat bahwa hubungan yang terbangun antara negara dunia kesatu dan negara dunia ketiga dalam industri merupakan relasi ketergantungan. Dan negara dunia ketiga pun memiliki relasi ketergantungan dengan hutan sebagai penghasil kayu dan sumber daya hutan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan. Sedangkan, paradigma pembangunan yang dominan, bahkan hingga sekarang, yakni pembangunan merupakan upaya membangun yang hanya berfokus dan bertumpu pada pembangunan ekonomi. Akibat pemahaman pembangunan yang keliru ini, akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup tak terkecuali hutan. Sehingga pembangunan yang seperti ini telah mengabaikan atau bahkan memberikan perhatian yang minim terhadap lingkungan hidup,
1[1] http://pdf.wri.org/indoforest_chap1_id.pdf Diunduh pada tanggal 4 Desember 2011, 09.42 WIB 2[2] Dengan mendasarkan diri pada pernyataan pejabat kehutanan, Hariadi Kartodihardjo, menyebut laju kerusakan hutan tiap tahun rata-rata 2,5 juta ha. Lihat Hariadi Kartodihardjo, Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam. Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan (Jakarta: Kehati, 2007), hlm. 264 3[3] Keraf, A. Sony. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius. Hlm: 28.

terutama hutan. Akibatnya terjadi degradasi yang akan balik berdampak buruk bagi manusia dan seisi planet (bumi). Misalnya saja, banjir yang di akibatkan oleh kurangnya daya serap tanah terhadap air. Eksploitasi yang terus dilakukan sangat merugikan hutan sebagai bagian planet (bumi). Hutan memiliki hak sebagai bagian dari bumi yang sama seperti manusia. Dalam konteks ini, menekankan manusia memiliki fungsi ganda. Hakikat manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, melainkan makhluk ekologi.

Hutan: Lumbung Ekonomi Negara Dunia Ketiga Hutan merupakan lumbung ekonomi negara dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia, selain tambang dan migas. Hutan memiliki berbagai manfaat dalam meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi pembangunan. Negara dunia ketiga menggunakan hutan sebagai lumbung kayu dan berbagai sumber daya lainnya seperti pulp untuk membuat kertas karena laris di pangsa pasar. Sehingga dapat menambah devisa negara atau pendapatan pokok Nasional. Banyak industri pengolahan kayu yang lebih banyak dimiliki asing tersebar dipelosok wilayah Indonesia, padahal income Indonesia sebagai sumber bahan baku tidak sebesar income pengelola atau pemilik industri (pemilik saham). Sebuah Realita: Eksploitasi Hutan Melangkahi Etika Lingkungan Hidup Ironisnya, kekayaan dan fungsi hutan tidak dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik sehingga diperkirakan akan menimbulkan dampak besar bagi kerusakan lingkungan hidup di masa yang akan datang. Eksploitasi hutan dilakukan secara besar-besaran dan tidak mengindahkan lingkungan. Dengan bertumpu pada orientasi ekonomi dan minimnya perhatian terhadap hutan membuat generasi mendatang harus berharap-harap cemas akan bencana yang ditimbulkan dari degradasi hutan. Degradasi hutan akan mengantarkan kedalam keadaan krisis lingkungan yang semakin parah. Hal ini terkait dengan bagaimana memahami dan meresapi banyaknya fungsi ekologis yang dimiliki hutan. Hutan memiliki fungsi klimatologis yang menjalankan perannya untuk mengatur iklim lokal dan global serta menjaga siklus perubahan cuaca, agar tidak terjadi perubahan iklim ekstrim. Kemudian hutan juga memiliki fungsi hidrologis dengan fungsinya dalam menjaga daerah resapan air serta menjaga ketersediaan air. Hutan juga memiliki fungsi untuk menjaga vegetasi alamiah dan kualitas tanah. Kerusakan atau degradasi hutan akan berdampak pada gangguan ekosistem yang pada gilirannya akan mengganggu keseimbangan kehidupan, berdampak ekologis, sosial maupun kultural bagi kehidupan disekitarnya. Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam. Sebuah angka yang menurut Greenpeace layak menempatkan Indonesia di dalam the Guinness Book of World Records sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia4[4]. Kondisi ini dipertegas dengan maraknya pembalakan liar dan pembakaran hutan yang dilakukan secara sembarang. Mekanisme pengelolaan hutan yang baik memang belum terealisasikan dan hanya menjadi tumpukan wacana, sehingga banyak terjadi perilaku menyimpang yang dilakukan manusia sebagai aktor utama. Dalam proses pemanfaatan sumber daya hutan selain telah menyalahi aturan hukum alam, juga tidak memperhatikan keberlanjutan kondisi hutan di masa mendatang. Di dalam etika lingkungan hidup, alam tak terkecuali hutan memiliki hak moral sebagai mana dimiliki oleh manusia. Alam khususnya hutan juga memiliki nilai bagi dirinya sendiri. Sehingga kelestarian dan keseimbangannya perlu dijaga, karena bukan hanya alam tercipta untuk manusia, melainkan manusia tercipta untuk alam, terjalin hubungan timbal balik. Dalam hal ini manusia ditempatkan sebagai sekedar salah satu anggota komunitas biotis yang saling bergantung satu sama lain, bukan lagi sebagai penguasa, atau sebagai anggota paling superior dari makhluk hidup lain. Sebuah Alternatif diatas Bukit Terjal: Social Foresty with Social Empowerment
4[4] http://duniaberkarya.blogspot.com/2010/12/indonesia-termasuk-negara-penghancur.html diunduh pada tanggal 4 Desember 2011, pukul 09.42 WIB

Segala perilaku menyimpang seperti pembalakan liar, ekspansi hutan untuk ekonomi pembangunan, dan kebakaran hutan, sehingga terjadi degradasi hutan yang menimbulkan hilangnya fungsi hutan secara keseluruhan harus dihentikan. Tidak ada pilihan lain dan tidak ada waktu lagi untuk menunggu. Pilihannya hanyalah lakukan sekarang, atau mati bersama. Degradasi hutan akan semakin memperburuk krisis lingkungan hidup, yang akan berdampak kehancuran dengan dampak ikutan lainnya dikemudian hari. Untuk itu, diperlukan perhatian khusus dalam pemanfaatan sumber daya hutan misalnya saja menerapkan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau hutan rakyat. Hutan rakyat melalui pemberdayaan masyarakat merupakan solusi alternatif yang setidaknya dapat mengurangi degradasi hutan. Pengelolaan hutan yang diserahkan pada masyarakat lokal tidak hanya dapat berdampak positif pada lingkungan hidup melainkan bagi penguatan local capacity masyarakat melalui social empowerment. Pemberdayaan dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai mitra yang sejajar5[5]. Dalam hal ini, pemerintah bertindak sebagai pengawas dan bertugas memberikan pelatihan soft skill kepada masyarakat lokal melalui pembekalan mengenai manajemen pengolahan sumber daya hutan. Sedangkan pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Kembali kepada hakikat manusia yang bukan hanya sebagai makhluk sosial melainkan pula makhluk ekologis, komunitas moral tidak terbatas pada komunitas sosial, melainkan mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Pemerintah harus menyadari bahwa pembangunan tidak hanya bertumpu pada pembangunan ekonomi saja melainkan pembangunan secara keseluruhan termasuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dan semua ini merupakan kewajiban semua elemen masyarakat sebagai bagian dari bumi. Khususnya dalam pembangunan harus diperhatikan, triple bottom line yakni relasi antara planet (lingkungan), profit (keuntungan), dan people (manusia). Ketiga elemen ini saling bergantung dan fungsional sehingga agar tercipta kondisi yang seimbang dan manusia selaras dengan alam harus memperhatikan aspek ini dalam proses pembangunan, terutama bagi pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan stakeholders terkait. Untuk social foresty sendiri harus menekankan pada prinsip-prinsip dalam etika lingkungan hidup. Seperti Respect for Nature, secara khusus, sebagai pelaku moral, manusia memiliki kewajiban moral untuk menghormati kehidupan, baik manusia maupun pada makhluk lain dalam komunitas ekologis seluruhnya karena manusia sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya. Kemudian moral responsibility for Nature, menekankan bahwa secara ontologis manusia merupakan bagian integral dari alam, sehingga manusia bertanggung jawab untuk menjaga alam. Tanggung jawab ini bukan hanya bersifat individual, melainkan juga kolektif. Untuk itu, mari bersama-sama menjaga, merawat dan melestarikan hutan sebagai saving kita dimasa mendatang untuk para generasi selanjutnya.

5[5] Lihat Community Development (Teori dan Aplikasi) karya Drs. Alfitri, M.Si tahun 2011.

You might also like