You are on page 1of 4

MAKNA DIALOG ANTAR DAN INTER UMAT BERAGAMA Oleh : Loekisno Ch.

a. Pendahuluan

Dialog antar dan inter agama akhir-akhir ini semakin marak diselenggarakan. Hal ini wajar mengingat banyaknya konflik yang tengah terjadi di masyarakat diduga bernuansa keagamaan. Tampaknya, konflik selain memberikan kerugian material yang sangat luar biasa, juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi umat beragama tentang arti penting hidup rukun dan damai terutama dalam skema masyarakat yang berwatak pluralistik. Sehingga tak ayal lagi bahwa hidup rukun dan damai merupakan keniscayaan yang tidak boleh ditunda-tunda lagi. Untuk alasan itulah maka pemerintah menggiatkan sekaligus memfasilitasi program kerukunan hidup antar dan inter umat beragama. Salah satu bentuk yang diupayakan secara intensif oleh pemerintah adalah dialog antar dan inter umat beragama. Melalui dialog antar dan inter umat beragama inilah umat beragama diajak untuk tidak terjebak pada klaim kebenaran yang bersifat parsial tetapi juga memberikan akses pemahaman terhadap ajaran agama selain yang dianutnya, sehingga segala bentuk kesalahpahaman, antipati terhadap agama lain dapat diretas.

b. Makna Dialog dalam upaya kerukunan hidup umat beragama Berbicara tentang kerukunan pada hakikatnya adalah membicarakan sisi relijiusitas. Artinya, kerukunan adalah sebuah aktivitas untuk membuat

(menciptakan) sesuatu menjadi damai, rukun dengan dukungan dan sokongan dari berbagai pihak terkait. Oleh sebab itu, maka kerukunan berarti menjadikan sisi keberagamaan manusia untuk menghasilkan kematangan dan kedewasaan hidup

bersama dalam sebuah komunitas regional, nasional bahkan internasional sangat plural. Atas dasar itu, maka kerukunan harus beranjak dari kesadaran spiritual masing-masing pemeluk agama. Kesadaran ini dipandang lebih kuat dan berdasar ketimbang hanya sebatas kesadaran rasional belaka. Maksudnya, pemahaman terhadap ajaran agama secara luas, mendalam dan universal harus menjadi benteng terdepan dalam membekali kematangan pengalaman dan rasionalitas pemeluk agama. Di sini kelihatan bahwa bekal internal pemeluk agama menempati posisi penting dalam memberdayakan kualitas kebergamaan seseorang. Pada tahap selanjutnya, dialog dibangun atas dasar kemauan bersama, bukan atas desakan sosial atau politik. Kemauan bersama akan membangun konsensus yang kuat yang dilatarbelakangi oleh dimensi kultural-relijius. Dasar inilah yang kemudian dapat dikatakan sebagai kemauan sosial pemeluk agama. Sebab, hanya dengan langkah ini, terapi dan antisipasi sosial akan memberikan implikasi positif terhadap konstruk relasi sosial antar pemeluk agama. Setidaknya, ada tiga hal penting yang memperkuat konstruk relasi tersebut. Pertama kesadaran relijius. Hal ini akan memperkokoh pandangan umum bahwa inti ajaran agama adalah kedamaian dan penyerahan diri kepada Tuhan. Kedua kesadaran rasional. Bekal ini sangat efektif membangun jaringan kerjasama di atas landasan common platform dan framework menuju kualitas keberagamaan sesama pemeluk dan antar pemeluk agama. Ketiga kesadaran sosial dan kultural. Harus diakui bahwa realitas sosial dan kultural berujung pada satu kesimpulan, pluralitas yang mencerminkan kehidupan sejati umat manusia. Ketiga hal tersebut harus terinternalisasi di kalangan pemeluk agama, dan sekaligus merupakan dasar hidup seseorang, baik sebagai serang pemeluk agama maupun sebagai bahagian dari kelopok warga masyarakat yang beradab. Oleh karenanya, model dialogis antar pemeluk agama tidak akan menjadi ruang yang sempit bagi potret kehidupan umat beragama.

Dialog antar agama adalah satu bentuk aktivitas yang menyerap ide keterbukaan. Dialog ini amat penting dikarenakan trauma historis dan politis yang panjang begitu menyelimuti kehidupan pemeluk agama. Dialog antar agama bukanlah melakukan deviasi terhadap ajaran-ajaran dasar masing-masing agama. Dialog mencerminkan tiga kesadaran sekaligus yaitu kesadaran relijius, rasional, dan kesadran sosial-kultural. Hans Kung, seorang Guru Besar dari Universitas Tubingen, Jerman mengatakan, tidak ada perdamaian dunia, jika tidak ada perdamaian agama. Karenanya ia mengajak umat beragama, secara khusus ia menyebut Kristen dan Islam, untuk membangun suatu cara pandang yang baru antara satu sama lain, dan melupakan sejarah masa silam antara keduanya yang dipenuhi konflik dan pertentangan. Dari sikap dialogis ini, diharapakan menuju kepada sikap praksis. Artinya, sedapat mungkin dialog yang dibangun membuahkan kerangka kerja riel di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Jadi, dialog tidak hanya berhenti dalam skala wacana dan perdebatan semata, tetapi juga membumi dalam menjawab realitas kehidupan sosial. Dalam hal ini dapat dicermati apa yang dicanangkan oleh aliansi NU dan Muhammadiyah beberapa waktu lalu seputar pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai musuh bersama bagi seluruh umat beragama, adalah suatu langkah praksis yang terpuji, dan patut didukung oleh semua pihak. Di sini akan kelihatan bahwa kemauan bersama untuk menggalang kekuatan bersama tumbuh dan berkembang dari arus bawah, atau tepatnya, agama mampu tampil dan angkat bicara dalam persoalan sosial, khususnya beberapa hal yang dipandang sebagai patologi sosial. Tentunya, tidak hanya korupsi, tetapi juga, judi, miras, prostitusi, pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan sebagainya. Langkah ini merupakan lanjutan dialog yang pernah dilakukan. Sembari membangun kualitas keberagamaan masing-masing pemeluk agama, ternyata agama dapat diberdayakan menuju terciptanya garansi sosial kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berkualitas, aman, tertib, dan harmonis.

c. Kesimpulan Dari paparan tentang makna dialog antar dan inter umat beragama ini dapat ditarik beberapa kesimpulan , bahwa untuk merealisasikan kerukunan hidup umat beragama adalah dengan diadakannya dialog secara intensif dan terbuka antar serta inter umat beragama. Oleh karena tujuan dialog diharapkan mencapai symphatetic understanding antar individu yang pada akhirnya dapat mewujudkan kehidupan masyarakat yang rukun dan tentram, maka dialog harus merupakan didasarkan pada kesadaran religious, kesasaran rasional, dan kesadaran social/cultural.

DAFTAR KEPUSTAKAAN Amin Abdullah, Etika dan Dialog Antar Agama; Perspektif Islam, dalam Jurnal Imu dan Kebudayaan, Ulumul Quran (Jakarta: No. 4 Vol. IV Th. 1993) ------------------, Studi Islam; Antara Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Hans Kung, Sebuah Model Dialog Kristen-Islam, dalam PARAMADINA, Jurnal Pemikiran Islam, vol I Nomor 1, 1998 Hendrik Kraemer, The Christian Message in A Non-Christian World (London: The Edinburgh House Press, 1938) John L. Esposito, The Threat of Islam; Myth or Reality?, edisi Indonesia, Ancaman Islam Mitos atau Realitas? (Bandung: Mizan, 1997). Komaruddin Hidayat, Agama untuk Kemanusiaan, dalam Andito, Atas Nama Agama (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) M. Ridwan Lubis, Membangun Kehidupan Umat Beragama; Yang Rukun, Demokratis, dan Bermakna, (Bandung: Citapustaka Media, 2003) William Liddle, Ethnicity, Party, and National Integration; An Indonesian Case (New Haven and London: Yale University Press, 1970)

You might also like