You are on page 1of 16

Referat Miastenia Gravis

Pembimbing : dr. Ayub L. Pattinama, SpS Disusun oleh : Alicia Djajadi 06-053

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF PERIODE 27 JUNI 2011 23 JULI 2011 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNya penulis boleh diberi kesempatan untuk menyelesaikan referat yang berjudul Miastenia Gravis ini sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Saraf FK UKI Jakarta. Walaupun ada berbagai kesulitan dan hambatan, tetapi berkat bantuan, dorongan, doa, bimbingan serta motivasi-motivasi yang diberikan oleh banyak pihak, maka penulis dapat menyelesaikan refarat ini tepat pada waktunya. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. dr. Ayub L. Pattinama, SpS 2. Para pengajar dan asisten Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 3. Serta pihak-pihak lain yang telah turut membantu kami dalam menyelesaikan tugas refarat ini. Penulis menyadari bahwa didalam referat ini masih ada kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembacanya agar referat ini menjadi lebih sempurna dan bermanfaat bagi para pembacanya dan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang medis bagian Ilmu Penyakit Saraf. Terima kasih.

Jakarta, Juli 2011 Penulis

Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................................................... 1 Daftar Isi ................................................................................................................. 2 Bab I Pendahuluan ................................................................................................. 3 Bab II Isi ............................................................................................................... 4 Penutup ................................................................................................................. 13 Daftar Pustaka ........................................................................................................ 14

Bab I Pendahuluan

Miastenia gravis adalah kelainan neuromuskuler kronik yang mengarah pada derajat disfungsi neurologik yang bervariasi. Miastenia gravis merupakan suatu kelainan autoimun yang mempengaruhi neuromuscular junction pada level postsinaptik. Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Walaupun penyebabnya belum diketahui, peran respon imun (circulating antibody yang melawan reseptor nicotinic acetylcholine) dalam patogenesisnya sudah diketahui. Kelainan ini dikarakterisasi dengan fatigue, kelemahan otot yang berfluktuasi di bawah kontrol volunter. Beberapa pasien mungkin menunjukkan gejala hanya pada malam hari atau setelah aktifitas fisik (contoh : olahraga). Karena kelainan ini dapat ditangani dengan baik, maka pengenalan yang cepat penting untuk dilakukan. Selama dekade terakhir, kemajuan yang signifikan telah dibuat berdasarkan pengertian terhadap penyakit ini, mengarahkan kepada modalitas penatalaksanaan yang baru dan penurunan yang signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas. Dengan intervensi yang cepat, kualitas hidup pasien secara keseluruhan akan bertambah. Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan 1 dari 10.000 kasus kejadian. Selain itu, miastenia gravis ini juga terjadi pada individu dalam semua grup usia, tetapi insidens puncak muncul pada wanita dalam usia 30 tahun, sedangkan pada pria insiden puncak pada dekade 60-70 tahun. Tetapi setelah usia 40 tahun insidens antara pria dan wanita sama. Secara keseluruhan, wanita lebih sering menderita miastenia gravis daripada pria, dengan ratio 3:2.

Bab II Isi

Definisi Miastenia gravis adalah penyakit autoimun neuromuskuler yang dikarakterisasi dengan kelemahan dan fatigue dari otot-otot skeletal. Kelamahan ini dapat terjadi akibat adanya penurunan ketersediaan jumlah reseptor asetilkolin (AChRs) pada neuromuscular junction akibat respon antibody-mediated autoimun.

Patofisiologi Neuromuscular junction terdiri dari membran presinaptik (membran saraf), membran postsinaptik (membran otot) dan celah sinaps (ruang yang berada diantara 2 membran). Pada neuromuscular junction, terminal presinaptik berisi vesikel-vesikel yang didalamnya terdapat asetilkolin (ACh). Saat terjadi potensial aksi, maka membran akson terminal presinaps ini akan mengalami depolarisasi sehingga isi dari vesikel, yaitu ACh, akan di lepaskan ke dalam celah sinaps. Molekul-molekul Ach ini akan mengalami proses difusi melalui sinaps dan bergabung dengan AChRs di postsinaps membran. Struktur dari ACh telah diuraikan secara penuh; terdiri atas 5 subunit (2, 1, 1, dan 1 atau ). Ketika ACh digabungkan dengan subunit dari reseptor ACh, channel dalam AChR terbuka, menyebabkan masuknya dari kation, terutama Natrium, yang menimbulkan terjadinya depolarisasi pada region end-plate dari serabut otot. Bila terjadi depolarisasi yang cukup besar, maka akan menginisiasi potensial aksi yang merambat di sepanjang serabut otot, yang merupakan trigger terjadinya kontraksi otot. Proses ini akan diterminasi secara cepat dengan hidrolisis dari ACh oleh acetylcholinesterase (AChE), yang berada dalam lipatan sinaps, dan dengan difusi ACh agar menjauh dari reseptor.

Normal neuromuscular junction showing a presynaptic terminal with a motor nerve ending in an enlargement (bouton terminale): Synaptic cleft and postsynaptic membrane with multiple folds and embedded with several acetylcholine receptors.

Pada mistenia gravis, defek yang terjadi adalah penurunan jumlah ketersediaan dari AChRs pada membran postsinaps atau karena lipatan postsinaps yang datar. Perubahan ini menyebabkan penurunan efisiensi transmisi neuromuscular. Oleh karena itu, walaupun ACh dikeluarkan dalam jumlah normal, akan menghasilkan potensial end-plate yang kecil sehingga gagal dalam trigger potensial aksi. Kegagalan transmisi pada sejumlah besar neuromuscular junction akan menyebabkan terjadinya kelemahan kontraksi otot. Jumlah ACh yang dikeluarkan per impuls normalnya menurun pada aktivitas yang berulang (disebut sebagai presynaptic rundown). Pada pasien myastenic, penurunan efisiensi transmisi neuromuskuler dikombinasikan dengan normal rundown menyebabkan aktivasi serabut otot yang makin lama makin berkurang dan meningkatkan kelemahan, atau disebut myasthenic fatique. Mekanisme ini juga yang berperan pada respon terhadap stimulasi saraf yang repetitive pada tes electrodiagnostic. Abnormalitas muskuler pada MG disebabkan oleh autoimmune response mediated spesifik anti-AChR antibody. Respon imun terhadap muscle specific kinase (MuSK) dapat juga menyebabkan terjadinya miastenia gravis. MuSK bekerja untuk mengganggu pada diferensiasi postsinaps dan sekelompok AChR. Biasanya terjadi pada pasien dengan Seronegative Myasthenia Gravis (SNMG), yang mana pasien-pasien ini tanpa antibodi anti-AChR. Bagaimana respon autoimun diinisiasi dan dipertahankan pada MG masih belum dapat dimengerti secara pasti. Akan tetapi, thymus nampaknya memiliki peranan dalam proses ini. Pada 75% pasien dengan MG terdapat thymus yang abnormal; 65% thymus hyperplastic, dengan adanya germinal centers yang terdeteksi secara histologis, meskipun
6

thymus yang hyperplastis belum tentu membesar. Sebagai tambahan, 10% dari pasien memiliki thymic tumors (thymomas). Muscle like cells dalam thymus (myoid cells), yang memuat AChRs pada permukaannya, dapat menjadi sumber dari autoantigen dan mentrigger reaksi autoimun di dalam kelenjar thymus.

Gambaran Klinis Gejala dan Tanda Ciri-ciri utama adalah weakness dan fatigability dari otot. Kelemahan bertambah selama penggunaan yang berulang (fatigue), dan dapat membaik bila beristirahat atau tidur. Atau bisa dikatakan juga bahwa MG dikarakterisasi oleh kelemahan yang asimetris dan fatigue dari otot skeletal, yang memburuk pada aktifitas fisik dan membaik pada saat beristirahat. Perjalanan MG sering bervariasi. Exacerbasi dan remisi dapat timbul, terutama selama beberapa tahun awal setelah onset dari penyakit. Remisi jarang menjadi lengkap atau permanen. Infeksi atau kelainan sistemik yang tidak berelasi sering mengarah kepada bertambahnya kelemahan myasthenic. Kelemahan sering timbul pertama kali pada otot- otot ekstraokuler dan tetap terbatas di otot ekstraokuler pada 15% kasus (Ocular myasthenia), tapi dapat progresif (generalized myasthenia). Otot-otot facial dan pharyngeal dapat terkena, menyebabkan terjadinya ekspresi wajah yang kosong, dysarthria, sulit mengunyah dan menelan, control muskuler yang buruk dari kepala, dan rhinorrhea. Kelemahan respirasi yang mengarah kepada pelemahan dari batuk, dan peningkatan resiko aspirasi. Dapat menjadi sulit bahkan tidak mungkin untuk pasien berdiri, atau berjalan, dan dapat terjadi disability total. Distribusi kelemahan otot sering memiliki pola yang khas. Secara lebih jelasnya, muskulus craniales, terutama kelopak mata dan otot ekstraokuler, sering timbul pada perjalanan awal dari MG, dan diplopia serta ptosis merupakan keluhan inisial yang umum. Kelemahan facial menimbulkan ekspresi wajah yang kosong saat pasien mencoba untuk tersenyum. Kelemahan dalam mengunyah paling dapat diketahui setelah usaha yang lama, seperti mengunyah daging. Dapat terjadi disarthria karena kelemahan otot lidah. Kesulitan dalam menelan dapat timbul sebagai hasil dari kelemahan palatum, lidah, atau faring, meningkatkan resiko terjadinya refurgitasi atau aspirasi minuman ataupun makanan. Kelemahan bulbar terutama menonjol pada MuSK antibody-positive MG. Pada 85% pasien, kelemahan menjadi bersifat general, mempengaruhi otot-otot ekstremitas. Bila kelemahan
7

tetap terbatas pada otot ekstraokuler selama 3 tahun, sering tidak terjadi kelemahan yang bersifat general (Ocular MG). Kelemahan otot dapat proksimal dan asimetris. Bila kelemahan menjadi amat berat sampai melibatkan otot pernapasan, pasien dikatakan masuk dalam tahap crisis.

KLASIFIKASI Klasifikasi Miastenia Gravis dapat dibagi menjadi : Kelompok I (Miastenia Okular) Hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak menyebabkan kasus kematian Kelompok II A (Miastenia Umum Ringan) Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah. Kelompok II B (Miastenia Umum Sedang) Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah. Kelompok III (Miastenia Berat Akut) Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis

miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi. Kelompok IV (Miastenia Berat Lanjut) Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejalagejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk. Diagnosis Diagnosis MG dipertimbangkan berdasarkan kelemahan dan fatigue yang khas seperti yang sudah dijelaskan di atas, tanpa adanya kehilangan refleks atau gangguan sensasi maupun fungsi neurologis lainnya. Diagnosis harus selalu dipastikan sebelum memulai terapi; hal ini penting sebab 1. Kondisi lain yang mirip dengan MG 2. Penatalaksanaan MG dapat melibatkan pembedahan dan penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu lama dengan efek sampingnya.

Pemeriksaan Fisik Kelelahan pada otot dapat diperiksa dengan cara :


9

Melihat keatas dan samping selama 30 detik untuk melihat adanya ptosis dan diplopia

Melihat kaki sambil tiduran terlentang selama 60 detik Menjaga tangan terentang ke depan selama 60 detik Berjalan 30 langkah dengan menggunakan kedua ujung jari kaki dan tumit Sit-up; berbaring dan duduk secara benar

Pemeriksaan Darah Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengidentifikasi antibodi, seperti : Tes untuk antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Tes ini memiliki sensitivitas 8096%, tetapi terbatas pada otot-otot mata, yang bisa menghasilkan nilai negatif pada 50% kasus. MuSK protein

10

Pemeriksaan Lainnya Electromyography : merupakan pemeriksaan yang paling sensitive untuk MG; jarum elektroda tipis di masukkan ke dalam otot untuk melihat dan merekam potensial elektrik/sinyal pada serat otot tersebut. Edrophonium test : menggunakan edrophonium chloride secara intravena atau neostigmine yang merupakan obat yang menghambat pemecahan asetilkolin oleh

11

cholinesterase (inhibitor kolinesterase)dan meningkatkan kadar asetilkolin pada neuromuscular junction. Chest X-Ray : untuk melihat kelenjar thymus

Diagnosis Banding Nonautoimun Congenital Myasthenic Syndrome (CMS) Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome (LEMS) Neurasthenia Hyperthyroidism Botulism Intracranial Mass Lesion Progressive external ophtalmoplegia Pengobatan dengan penicillinamine (pada scrofuloderma atau rheumatoid arthritis) dapat menyebabkan true autoimmune MG, tetapi kelemahan bersifat ringan, dan menghilang dalam beberapa minggu atau bulan setalah dihentikan penggunaannya

CONGENITAL MYASTHENIC SYNDROMES (CMS) Congenital myasthenic syndromes (CMS) terdiri dari sejumlah kelainan heterogen dari neuromuscular junction yang tidak disebabkan oleh autoimun tetapi oleh mutasi genetic dimana komponen dari neuromuscular junction dapat terpengaruh. Perubahan fungsi dari presynaptic nerve terminal atau pada subunit AChR atau AChE yang bervariasi telah diidentifikasikan dalam berbagai bentuk dari CMS (4 bentuk). Kelainan ini memiliki banyak kesamaan dalam gambaran klinis dengan autoimun MG, termasuk kelemahan dan fatigue pada otot skeletal, pada beberapa kasus melibatkan otot ekstraokuler (EOMs), kelopak mata, dan otot-otot proksimal, mirip dengan distribusi dari autoimun MG. CMS harus dipertimbangkan bila gejala dari myasthenia dimulai pada masa bayi atau kanak-kanan dan AChR antibody test negative secara konsisten.

12

LAMBERT-EATON MYASTHENIC SYNDROME (LEMS) LEMS adalah kelainan pada presynaptic dari neuromuscular junction yang menyebabkan kelemahan yang mirip dengan MG. Otot proksimal dari anggota gerak bawah adalah yang paling sering mengalami kelemahan. Pada saraf cranial ditemukan ptosis dari kelopak mata dan diplopia, muncul pada >70% pasien. Akan tetapi, kedua kondisi ini sudah dapat dibedakan, dimana pasien LEMS memiliki keluhan penurunan atau tidak adanya refleks, mengalami perubahan otonimik seperti mulut yang kering dan impotensi, serta memiliki peningkatan, bukannya penurunan respon pada stimulasi saraf yang repetitive. LEMS disebabkan oleh autoantibody terhadap P/Q calcium channels pada motor nerve terminals. Kebanyakan pasien dengan LEMS diasosiasikan dengan adanya malignancy, paling sering Small Cell Carcinoma dari paru, yang menunjukkan calcium channels yang menstimulasi respon autoimun.

PENATALAKSANAAN Prognosis makin membaik sebagai hasil dari penatalaksanaan yang baik; secara klinis pasien myasthenic dapat kembali memiliki kehidupan yang produktif apabila diberikan terapi yang tepat. Terapi yang digunakan pada pasien MG: 1. Anticholinesterase medication

2. Immunosuppressive agents Corticosteroids Azathioprine (Imuran)


13

The calcineurin inhibitors cyclosporine and tacrolimus (FK506) Cyclophosphamide

3. Thymectomy : tindakan operasi untuk pengangkatan thymus 4. Plasmapheresis (Plasma exchange) dan Intravenous immunoglobulin (IVIg)

14

PENUTUP

Pasien-pasien miastenia gravis yang tidak di terapi dengan baik, mempunyai angka kematian 25-31%. Tetapi dengan pengobatan sekarang ini (terutama yang berkaitan dengan eksaserbasi akut), angka kematian telah menurun menjadi 4%. Untuk itu perlu adanya edukasi kepada pasien untuk mengetahui mengenai penyakit miastenia gravis ini, mulai dari gejala-gejala, faktor-faktor resiko, dan sebagainya. Terutama juga bagi ibu-ibu dengan miastenia gravis yang sedang mengandung karena ketika lahir nanti, bayi tersebut mempunyai resiko untuk gagal nafas ketika berusia 1-2 minggu setelah lahir,sehingga perlu adanya monitoring.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Frotscher, M., M. Baehr. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi, Fisiologi, Tanda dan Gejala, Ed. 4. Jakarta : EGC, 2007. 2. Fauci SA, Kasper LD, Longo LD, et al. Harrisons Principles of Internal Medicine, Ed. 17, part 16, section 3, chapter 381. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2008. 3. Sidharta, Priguna Prof. DR, Prof. DR. Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 1989. 4. http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis 5. http://emedicine.medscape.com/article/1171206

16

You might also like