You are on page 1of 57

STANDAR PENATALAKSANAAN BOKS INFEKSI BAGIAN IKA FK UNSRI/ RSMH

I. DEMAM TIFOID
A. PETUNJUK DIAGNOSA 1. Gejala Klinis a. Demam lebih dari 7 hari b. Gangguan GIT: anoreksia, koGIZnstipasi/diare, rhagaden, typhoid tongue, meteorismus, bau nafas tak sedap c. Hepatomegali d. Splenomegali e. Bradikardi relatif f. Kesadaran menurun 2. Laboratorium a. Leukopeni b. Trombositopeni c. Aneosinofilia d. Anemia e. Limfositosis relatif 3. Serologis Titer O antigen > 1/160 atau meningkat 4 kali dalam interval 1 minggu 4. Mikrobiologis Salmonella Typhi (+) pada biakan darah, urine dan feses B. DIAGNOSA 1. Klinis Demam Tifoid Apabila ditemukan gejala klinis: Panas lebih dari 7 hari Gangguan GIT: typhoid tongue, rhagaden, anoreksia, konstipasi, diare Hepatomegali 2. Demam Tifoid Apabila ditemukan gejala klinis seperti ad 1 + Salmonella Typhi (+) pada biakan darah, urine atau feses dan atau pemeriksaan serologis didapatkan titer O Ag > 1/160 atau meningkat lebih dari 4 kali dalam interval 1 minggu. Gejala klinis lain kesadaran menurun, bau nafas tidak sedap, splenomegali, meteorismus, bradikardi relatif, kesadaran berubah. Laboratorium: leukopenia, trombositopenia, aneosinofilia, anemia, limfositosis relatif. Gejala klinik dan laboratorium di atas dapat menyokong diagnosis. 3. Tifoid Ensefalopati Apabila demam tifoid disertai satu atau lebih gejala tersebut di bawah ini: a. Kejang b. Kesadaran menurun: sopor atau koma c. Kesadaran berubah/kontak psikis tidak ada 1

C. PENGELOLAAN
1. Perawatan Isolasi Tirah baring sampai 7 hari bebas panas kemudian mobilisasi secara bertahap 2. Diet Bebas serat tidak merangsang Tidak menimbulkan gas Mudah dicerna Tidak dalam jumlah banyak Bila perlu makan personde atau IVFD Bubur saring sampai tujuh hari bebas panas, bubur biasa 3 hari, kemudian makan biasa 3. Medikamentosa Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari maksimal 2 g/hari, sampai 7 hari bebas panas, minimal 10 hari. Obat pengganti apabila panas tidak turun dalam 5 hari dengan pengobatan kloramfenikol, obat diganti dengan ampicillin 200 mg/hari atau trimetoprim-sulfametoxazol 10-50 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Apabila Hb < 8 g% dan atau lekosit <2000/mm3 obat diganti dengan ampicillin. Pada tifoid ensefalopati diberikan juga dexametasone dengan dosis awal 3 mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kgBB/6jam, sebanyak 8 kali (selama 48 jam) lalu distop tanpa tapering off. 4. Pengamatan Pada waktu penderita MRS selain pemeriksaan klinis dilakukan juga pemeriksaan darah rutin, gall kultur, kultur urine, kultur feses dan serologis (widal). Apabila pada pemeriksaan gall kultur (-), pemeriksaan diulang seminggu kemudian. Apabila pemeriksaan serologis titer O Ag < 1/160, maka pemeriksaan dilakukan secara berkala setiap minggu. Penderita dipulangkan setelah 7 hari bebas panas atau 2 hari setelah terapi dihentikan. Sebelum penderita dipulangkan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kultur feses dan urine. Kemudian diulangi lagi 1 minggu kemudian. Apabila dalam 2 kali berturut-turut dalam interval satu minggu Salmonella (-), berarti penderita sembuh dan tidak merupakan carrier. Indikasi Pulang 7 hari bebas panas atau 2 hari setelah obat dihentikan.

SKEMA PENGELOLAAN TYPHOID FEVER


DASAR DIAGNOSA DIAGNOSA PENATALAKSANAAN

Anamnesa Demam 7 hari Anoreksia, konstipasi/diare Nafas berbau tak sedap

Observasi Typhoid fever

Pemeriksaan fisik Ggn penurunan kesadaran Rhagaden Typhoid tongue Hepatomegali Splenomegali Relatif bradikardia Meteorismus

Perawatan Isolasi Bed rest total sampai 7 hr bebas panas Mobilisasi bertahap

Diet Bebas serat Tak merangsang Tdk mbtk gas Mudah dicerna Cukup cairan Kalori & protein

Typhoid fever Medikamentosa Chloramphenicol Dalam 10 hari panas tidak turun Ampicillin atau Trimetoprimsulfamethoxsazol Hb < 8 gr % Lekosit < 2000/mm3

Typhoid fever komplikasi

Bakteriologis Gaal kultur Salmonella (+)

Perforasi Peritonitis Cholesistitis Meningitis

Bagian bedah Ampicillin 400 mg/kgBB/hari dlm 4 dosis

Serologis Widal (+), titer O Ag > 1/160 atau kenaikan titer 4 kali dalam 1 minggu

Perdarahan usus Dehidrasi + asidosis

Foto abdomen, perdarahan progresif transfusi bagian bedah IVFD PP 55.000 IU/kgBB/hari

Pemeriksaan penyokong Laboratorium Darah tepi Leukopenia Limfositosis Aneosinofilia Sumsum tulang makrofag (+) semua sistem menurun

Bronko pneumonia Renjatan Typhoid encephalopati Typhoid fever ggn kesadaran Pe kesadaran

Dexametason 3 mg/kgBB/kali dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam sampai 48 jam atau 8 kali pemberian

II. DEMAM BERDARAH DENGUE / DBD (DHF/DSS)


A. Batasan Penyakit infeksi disebabkan oleh virus dengue ditandai dengan demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian B. Etiologi Virus dengue tipe I,II,III,IV C. Patogenesa Aktifasi komplemen, agregasi trombosit, kerusakan sel endotel kebocoran kapiler, ektravasasi plasma, hemokonsentrasi, renjatan, efusi cairan, ensefalopati, hipoksia jaringan. Vasculopati + trombopati + koagulopati + trombositopenia perdarahan, ensefalopati. D. Bentuk Klinis Berdasarkan kepastian diagnosis: Tersangka demam berdarah (TDBD) Demam dengue (DD) Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasar derajat penyakit Derajat I,II,III,IV. Derajat III dan IV DSS E. Komplikasi Perdarahan gastrointestinal masif, ensepalopati, edema paru , DIC, efusi pleura F. Prognosis Angka kematian kasus di Indonesia secara keseluruhan < 3%. Angka kematian DSS di RS 5-10%. Kematian meningkat bila disertai komplikasi. DBD yang akan berlanjut menjadi syok atau penderita dengan komplikasi sulit diramalkan, sehingga harus hati-hati dalam melakukan penyuluhan. G. Diagnosis Dasar diagnosis Berdasarkan kriteria WHO (1997) dengan indikator demam 2-7 hari. Tendensi perdarahan, hepatomegali, renjatan, bukti kebocoran plasma dan trombositopenia. TDBD : Panas tinggi akut (+), manifestasi perdarahan paling sedikit test torniquet (+), tidak disertai bukti penyakit lain Tersangka DD: Panas akut 2-7 hari ditambah 2 atau lebih manifestasi sakit kepala, sakit belakang bola mata, mialgia, atralgia, rash, manifesrasi perdarahan dan leukopenia tidak terbukti adanya kebocoran plasma dan tidak terbukti diagnosis klinis yang lain.

DBD

Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV DSS

: Minimal harus memenuhi kriteria sebagai berikut a. Panas atau riwayat demam akut berlangsung 2-7 hari kadang kadang bifasik b. Tendensi perdarahan dibuktikan dengan paling sedikit satu dari test torniquet (+), ptekie, purpura, perdarahan gastrointestinal, perdarahan pada tempat injeksi atau tempat tempat lain, hematomesis dan atau melena. c. Trombositopenia (< 100000/mm3) d. Adanya bukti kebocoran plasma yang terjadi karena kenaikan permiabilitas kapiler dengan manifestasi sebagai berikut: o Peningkatan Ht > 20% diatas rata rata untuk umur, sex dan populasi o Turunnya hematokrit setelah dilakukan volume replacement terapi > 20% dari data dasar. o Bukti adanya kebocoran plasma misalnya : efusi pleura, asites dan hipoproteinemia. : Demam (+), gejala non spesifik (+), manifestasi perdarahan hanya uji torniquet (+) : Derajat I + perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lainnya : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi lembut, hipotensi, takikardi, kulit lembab dan dingin, anak gelisah. : Renjatan berat, nadi tak teraba, tensi tak terukur. : Kalau memenuhi kriteria diatas ditambah dengan bukti kegagalan sirkulasi berupa tekanan nadi sempit < 20 mmhg atau hipotensi untuk usia itu dan kulit yang dingin dan lembab serta anak gelisah.

Langkah diagnosis Pemeriksaan klinis: panas, manifestasi perdarahan, tanda efusi, hepatomegali, tanda kegagalan sirkulasi. Pemeriksaan laboratorium: uji torniquet, hematokrit dan hitung trombosit secara berkala serta pemeriksaan serologi, pemeriksaan LPB, albumin darah, CT, BT, PT, PTT, gambaran darah tepi pada kecurigaan DIC. Pemeriksaan penunjang: foto thorak pada dispneu untuk menelusuri penyebab lain disamping efusi pleura, USG bila ada, dapat dipakai untuk memeriksa efusi pleura minimal Indikasi rawat Penderita tersangka demam berdarah derajat I dengan panas 3 hari atau lebih sangat dianjurkan untuk dirawat. Tersangka demam berdarah derajat I disertai hiperpireksia atau tidak mau makan atau muntah-muntah atau kejang-kejang atau Ht cenderung meningkat dan trombosit cenderung turun harus dirawat.

Penderita demam berdarah derajat I pada follow up berikutnya ditemukan


status mental berubah, nadi menjadi cepat dan kecil, kaki tangan dingin, tekanan darah menurun , oligouria harus dirawat. Seluruh derajat II, III, IV H. Penatalaksanaan Sesuai dengan bagan penatalaksanaan (bagan 1,2,3,4) I. Tindak Lanjut Pengamatan rutin DSS : tensi/nadi diperiksa setiap 15-20 menit sampai keadaan stabil, Ht, trombosit setiap 3-6 jam sampai keadaan menetap. Derajat I dan II : pemeriksaan Ht dan trombosit minimal 2 kali sehari. Pada semua DSS pada saat masuk rumah sakit harus diperiksa juga CT dan BT. Bila CT cenderung memanjang lakukan juga pemeriksaan gambaran darah tepi. Pemeriksaan khusus: EKG bila gagal jantung, foto thorax bila pleural efusi dan edema paru. USG bila curiga efusi pleura minimal. BT, CT, PT, PTT, dan gambaran darah tepi bila curiga DIC. Penderita yang berobat jalan diperiksa trombosit setiap hari. Penderita yang dirawat, tampung urine 24 jam, bila kurang dari 2 ml/kgBB/jam periksa ureum dan kretinin. Elektrolit darah astrup bila keadaan umum tidak membaik. Pelaporan pada dinas kesehatan Tk II setempat melalui kurir, telepon atau surat secara mingguan. Indikasi pulang Keadaan umum baik dan masa krisis telah berlalu atau >7 hari sejak panas. Keadaan umum baik ditandai dengan : nafsu makan membaik, keadaan klinis penderita membaik, tidak demam paling sedikit 24 jam tanpa antipiretik, tidak dijumpai distress pernafasan minimal 3 hari setelah syok teratasi, hematokrit stabil, trombosit >50.000 mm3.

ALUR PENDERITA DBD DIBAG.IKA RSMH PALEMBANG

PENDERITA TERSANGKA DBD

POLIKLINIK UGD/ RPO

*Kegawatan (-): *Uji tourniquet (-) *Trombosit > 100.000/mm

RAWAT JALAN

*Kegawatan (+): Muntah terus menerus Kejang Kesadaran menurun Muntah darah Berak hitam *Uji tourniquet (-) *Trombosit < 100.000/mm3

*Klinis sesuai DBD *Ht naik *Trombosit turun

RAWAT INAP

Tentukan Derajat DBD

PENATALAKSANAAN SESUAI DERAJAT DBD

TATALAKSANA KASUS TERSANGKA DBD

Tersangka DBD Demam tinggi mendadak terus menerus< 7 hari tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas, badan lemah dan lesu Ada kedaruratan Tanda syok Muntah terus menerus Kejang Kesadaran menurun Muntah darah Berak hitam Tidak ada kedaruratan

Uji tourniqet (+)

Uji tourniqet (-)

Jumlah trombosit < 100.000/ul

Jumlah trombosit > 100.000

Rawat jalan Parasetamol Kontrol tiap hari Sampai demam hilang

Rawat Inap

Rawat Jalan Nilai tanda linis Periksa trombosit dan Ht bila demam menetap setelah hari sakit ke-3

Minum banyak 1,5-2 l/hr Parasetamol Kontrol tiap hari sampai demam turun periksa Hb, Ht, trombosit tiap hari

Perhatian untuk orang tua Pesan bila timbul tanda syok, yaitu gelisah, Lemah, kaki tangan dingin, sakit perut, berak hitam, kencing kurang, Lab : Hb, Ht naik dan trombosit turun

Segera bawa kerumah sakit 8

DBD DERAJAT I ATAU DERAJAT II TANPA PENINGKATAN HT< 45


Gejala klinis Demam 2-7 hari Uji tourniquet positif atau Perdarahan spontan Lab Hematokrit tidak meningkat Trombositopeni ringan

Pasienn masih dapat minum Beri minum banyak 1-2 liter/hari Atau 1 sendok makan tiap 5 menit Jenis minuman: air putih, teh manis, Sirup, jus buah, susu, oralit Bila suhu > 38,5 beri parasetamol Bila kejang beri obat antikonvulsif

Pasien tidak dapat minum Pasien masih muntah terus-menerus

Pasang infus NaCl 0,9 % dekstrosa 5 % (1:3), tetesan rumatan sesuai berat badan Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan Laboratorium perhatikan tanda syok Palapasi hati setiap hari Ukur diuresis setiap hari Awasi perdarahan Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam

Ht naik dan atau trombosit turun

Infus ganti ringer laktat (RL) (tetesan disesuaikan, lihat bagan 3)

Perbaikan klinis dan laboratorium

Pulang (lihat: kriteria memulangkan pasien)

Bagan 2. Tatalaksanan Kasus DBD derajat I dan Derajat II tanpa Peningkatan Hematokrit atau Ht < 45 9

DBD DERAJAT II DENGAN PENINGKATAN HT > 20 % ATAU HT > 45


Cairan awal RL/RA/NaCl 0,9 % atau RLD 5/NaCl 0,9 % + D5 6-7 ml/kgBB/jam Monitor tanda vital/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak gelisah Nadi kuat Tekanan darah stabil Diuresis cukup (2ml/kgBB) Ht turun (2 kali pemeriksaan) Tanda vital memburuk Ht meningkat

Tidak ada perbaikan Gelisah Distres pernapasan Frekuensi nadi naik Ht tetap tinggi/naik Tek. Nadi <20 mmHg Diuresis kurang/tidak ada

Tetesan dikurangi Perbaikkan 5 ml/kgBB/jam

Tetesan dinaikkan 10-15 ml/kgBB/jam tetesan dinaikkan bertahap Evaluasi 12-24 jam

Perbaikan Sesuaikan tetesan 3 ml/kg BBB /jam

Tanda vital tidak stabil

Distres pernafasan Ht naik

Ht turun

IVFD stop pada 24-48 jam bila tanda vital/ Ht stabil, Diuresis cukup

Koloid 20-30 ml/ kg BB

transfusi darah segar 10 ml/kgBB

Perbaikan

Bagan 3. Tatalaksanan kasus DBD derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi > 20 % atau Ht 45

10

DBD Derajat III

TATALAKSANA KASUS DSS ATAU DBD DERAJAT III DAN IV

DBD Derajat IV

1. 2.

Oksigenasi (berikan O2 2-4 lt/menit) Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis) Ringer laktat/ Ringer asetat/ Nacl 0,9% 20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi? Pantau tanda vital tiap 10 menit Catat balans cairan selam pemberian cairan intravena Syok teratasi Keadaaan membaik Nadi teraba kuat Tekanan nadi >20 mmHg Tidak sesak nafas/sianosis Ekstremitas hangat Diuresis cukup 2 ml/kgBB/jam Syok tidak teratasi Keadaan memburuk Nadi lembut/tidak teraba Tekanan nadi <20 mmHg Distres pernafasan/sianosis Kulit dingin dan lembab Ekstremitas dingin

Cairan dan tetesan disesuaikan 10 ml/kgBB/jam

1. Lanjutkan cairan kristaloid 20 ml/kgBB/jam 2. Tambahan koloid/plasma dekstran/FPP 10-20 (max 30) ml/kgBB/jam

Evaluasi ketat Tanda vital Tanda perdarahan Diuresis Pantau Hb, Ht, Trombosit Stabil dalam 24 jam Tetesan 5 ml/kgBB/jam

3. Koreksi asidosis Evaluasi 1 jam

Syok belum teratasi

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Syok teratasi

Ht turun

Ht tetap tinggi/naik

Infus stop tidak melebihi 48 jam Setelah syok teratasi

Transfusi darah segar 10 ml/kgBB Diulang sesuai kebutuhan

koloid 20 ml/kgBB

11

III. HEPATITIS
A. PETUNJUK DIAGNOSA 1. Klinis Demam, sakit kepala Anoreksia, mual, muntah Ikterus, BAK warna kuning tua Pruritus Hepatomegali 2. Laboratorium Urine: bilirubin (+) Darah: LFT abnormal, bilirubin total meningkat Enzimatis: SGOT, SGPT, Gamma GT, Alkalin fosfatase 3. Serologis HBsAg Ig M anti HBc Ig M anti HAV 4. Virologis Virus hepatitis A dan B dapat ditemukan dalam feses 5. Patologi anatomi Spotty necrosis Submassive necrosis 6. Gejala Tambahan Spider nevi Palmar eritema Splenomegali Flapping tremor Foetor hepatitis Perdarahan Kesadaran menurun B. DIAGNOSA B.1. HEPATITIS Apabila pada anamnese dan pemeriksaan didapatkan: Demam, sakit kepala Anoreksia, mual ,muntah Ikterus , BAK warna teh tua Hepatomegali Urine: bilirubin (+) Darah: LFT abnormal, bilirubin total meningkat a. Hepatitis A Bila ditemukan gejala klinis hepatitis dan pada pemeriksaan serologis didapatkan IgM Anti HAV (+), HBsAg (-) dan IgM anti HBc (-) 12

b. Hepatitis B Bila ditemukan gejala klinis hepatitis dan pada pemeriksaan serologis didapatkan IgM Anti HAV(-), HBsAg (+), IgM anti HBc (-) Berdasarkan perjalanan penyakit hepatitis dapat dibagi a. Hepatitis akut SGOT dan SGPT meningkat hebat, lebih dari 50 kali SGOT GammaGT Ratio = = 0,7 <1 SGOT SGPT Pemeriksaan PA : spotty necrosis Pemeriksaan serologis : HBsAg (-) bulan II-III penderita HBV b. Hepatitis kronis aktif SGOT dan SGPT meningkat hebat lebih dari 10 kali SGOT Ratio = = 1-3 SGPT Pada pemeriksaan PA (sel hepar mengalami nekrosis yang luas dan infiltrasi sel plasma dan mononuklear) Pemeriksaan serologis: HBsAg (+), Anti HBe (-), HBeAg (+) setelah 3 bulan c. Hepatitis kronis persisten SGOT dan SGPT meningkat kurang dari 10 kali GammaGT Ratio = <1 SGOT Serologis HBsAg (+), dan anti HBe (+), HBeAg (-) setelah 3 bulan d. Fulminan Hepatitis Bila ditemukan gejala-gejala sebagai berikut: Demam tinggi Kesadaran menurun sampai koma Manifestasi perdarahan Hipertensi portal dan asites Adanya asam amino dalam urine Pemeriksaan PA: Necrosis submassive sel hepar Infiltrasi sel mononukleus dominan Acute yellow atrofi B.2 IKTERUS OBTRUKTIF/ CHOLESTATASIS - Alkalin fosfatase meningkat GT - Ratio = 3-6 (baru) SGOT

13

- Ratio

GT = >6 (lanjut) SGOT

C. PENGELOLAAN 1. Indikasi Rawat Penderita perlu dirawat bila: - Bilirubin total >8 mg% - Bilirubin total < 8 mg % tetapi disertai salah satu gejala dibawah ini: Ikterus lebih dari 2 minggu Muntah hebat Intake tidak masuk Hiperpireksia HBsAg (+) 2. Perawatan - isolasi - tirah baring 3. Diet - Bila penderita tidak toleran terhadap diet biasa Diet hepatitis: 70% karbohidrat 20% protein 10% lemak - Bila perlu IVFD dengan komposisi cairan yang sesuai 4. Medikamentosa - Hepatoprotektor - Roboransia - Pada cholestasis karena hepatitis B pemberian prednison tidak dianjurkan lagi tetapi pada cholestasis karena hepatitis A masih dapat digunakan prednison dengan dosis 30 mg pada hari-hari pertama dan diturunkan secara bertahap paling lama sampai 3 minggu. Pada fulminan hepatitis pemberian protein dibatasi 0-1/2 gram perhari, antibiotika (Neomisin) untuk sterilisasi usus, kortikosteroid dosis tinggi, laksansia/enema. 5. Pengamatan Jika selama waktu ikterus penderita masih panas harus dicari factor penyebab lainya Pemeriksaan laboratorium: - Urine: bilirubin dilakukan 2 kali seminggu sampai hasil (-) 2 kali berturut turut - Darah: pemeriksaan LFT dilakukan Pada saat MRS Secara berkala sampai 2 minggu sampai hasil normal Apabila pemeriksaan bilirubin urine hasilnya 2 kali (-) berturutturut Setelah lima hari pemberian kortikosteroid pada penderitya cholestasis Setiap bulan selama 6 bulan setelah penderita dipulangkan

14

Pemeriksaan serologis dilakukan Setelah 2 minggu perawatan , klinis dan laboratories tidak ada kemajuan Terdapat hepatomegali tanpa gejala klinis yang jelas Sebelum dilakukan PA, dilakukan USG bila dengan USG tidak jelas penyebabnya, perlu dilakukan PA. Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik dan pemeriksaan LFT normal, dengan anjuran kontrol ke poliklinik. Dinasehatkan untuk istirahat dan tidak bekerja selama: - 3 bulan, bila ikterus kurang dari 2 minggu dan HBsAg (-) - 6 bulan, bila ikterus kurang dari 2 minggu dan HBsAg (+) - 6 bulan, bila ikterus lebih dari 2 minggu

15

IV. DIFTERI
A. PETUNJUK DIAGNOSA 1. Klinis Demam tidak terlalu tinggi Sakit menelan Suara serak Sesak nafas Lesu, pucat dan lemah Adanya membran putih kelabu, mudah berdarah, sukar diangkat pada tonsil, faring, laring patognomonis Bull neck Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat obstruksi sebagai berikut: Derajat I: - Anak tenang - Dispneu ringan - Sridor inspirator - Retraksi suprasternal Derajat II: - Anak gelisah - Dispneu hebat - Stridor masih hebat - Retraksi suprasternal dan epigastrium - Sianosis belum tampak Derajat III: - Anak sangat gelisah - Dispneu makin hebat - Stridor makin hebat - Retraksi suprasternal dan epigastrium serta interkostal - Sianosis Derajat IV: - Letargi - Kesadaran menurun - Pernafasan melemah - Sianosis 2. Laboratorium Bila sediaan apus dan biakan tenggorok ditemukan Corynebacterium diptheria B. DIAGNOSA 1. Observasi difteri Bila ditemukan gejala klinis sebagai berikut: Demam tidak terlalu tinggi Sakit menelan dan suara serak

16

Adanya membran putih kelabu, mudah berdarah, sukar diangkat pada hidung, tonsil, faring dan laring Tanda-tanda obstruksi saluran nafas bagian atas derajat I-III 2. Difteri Bila ditemukan gejala klinis serti diatas (klinis observasi difteri) + pemeriksaan laboratorium ditemukan Corinebacterium diphtheria C. PENATALAKSANAAN 1. Perawatan Isolasi penderita diruang khusus. Tirah baring 2-4 minggu pada penderita dengan komplikasi miokarditis , sampai miokarditis hilang. Diet makanan lunak yang mudah di cerna, tinggi kalori dan protein. Bila diperlukan dapat diberikan infus dengan cairan yang sesuai dan pemberian oksigen. 2. Medikamentosa Hari I: ADS 40.000 IU diberikan perdrip dengan pengenceran 20 kali dengan NaCl 0,9% sebelumnya dilakukan skin test bila (+) diberikan secara Besredka Hari II: ADS 40000 IU diberikan secara intra muskular P.P 50.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari Cortison 10-15 mg/kgBB selama 3 hari, diteruskan dengan prednison 2 mg/kgBB/hari per oral selama 3 minggu dosis penuh kemudian tapering off selama 1 minggu; 4 minggu dosis penuh kemudian tapering off selama 2-4 minggu bila disertai miokarditis. Sedatif: bila anak gelisah diberikan largactil 1-2 mg/kgBB/hari atau luminal 4-5 mg/kgBB/hari Laksansia: diberikan bila kesulitan defekasi. 3. Operatif Tindakan operatif dilakukan dibagian THT bila terdapat obstruksi jalan nafas derajat II atau lebih 4. Pengamatan Pengamatan terhadap komplikasi miokarditis: Pemeriksaan EKG dilakukan pada waktu penderita dirawat selanjutnya tergantung keadaan atau seminggu sekali. Bila ada tanda-tanda heart blok, diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kgBB/ hari selama 10 hari. Bila pada pemeriksaan usap tenggorok Corinebacterium (-) maka pemeriksaan diulangi lagi besoknya 2 hari berturut-turut. D. PENCEGAHAN Imunisasi dilakukan 4-6 minggu setelah pengobatan kortikosteroid di stop.

17

SKEMA PENGOBATAN DIFTERI GRADASI OBTRUKSI SALURAN PERNAFASAN

DASAR DIAGNOSA

DIAGNOSA

PERAWATAN

1. Perawatan
Demam tidak tinggi Sakit menelan Nyeri kepala Suara serak Lesu,pucat dan lemah - Isolasi - Bed rest total - Pemeriksaan sediaan apus pada hari 1 MRS - Diulangi sampai 2 kali setiap minggu sampai hasil (-) 2. Diet - Mudah di cerna - Bila tidak mungkin beri IVFD cairan 2a - Cukup kalori dan protein 3. Medikamentosa - Hari I ADS: 40.000 IU diencerkan 20 x dlm NaCl 9% tes dulu bila (+) dilaku kan besredka - Hari II ADS 40.000 IU im - P.P 50.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari - Korticosteroid - Kortison 10-15 mg/kgBB/hr (3 hari) - Pednison 2 mg/kgBB/hr (3 minggu) - Miokarditis dosis penuh 4 minggu tapering off 2-4 minggu - Sedatif: bila anak gelisah largaktil 1-2 mg/kgBB/hr - Stool softner bila BAB sulit 4. Operatif obstruksi jalan nafas grade II atau lebih konsul THT untuk trakheostomi

GRADE I - anak tenang - dispneu - stridor inspiratoar - retraksi supra sternal GRADE II - anak gelisah - dispneu - stridor inspirator - retraksi supra sternal, epigastrium GRADE III - sangat gelisah - stridor makin hebat - retraksi suprasternal, epigastrium + ICS - sianosis GRADE IV - letargi - kesadaran menurun - kesadaran melemah - sianosis

Pemeriksaan fisik: Patognomonis Membran putih kelabu Sukar diangkat dan mudah berdarah pada hidung, faring, tonsil. Dispneu Stridor inspiratoir Retraksi supra sternal, interkostal,epigastrium Bull neck Sianosis

DIFTERI

Laboratorium Sediaan apus Biakan

18

V. MORBILI
A. PETUNJUK DIAGNOSA 1. Gejala Klinis a. Stadium prodromal Demam Batuk pilek Conjungtivitis Fotofobia Nyeri tenggorok dan pembesaran kelenjar getah bening leher Terdapat bercak koplik dimukosa buccalis (patognomonis tetapi jarang dijumpai) b. Stadium erupsi Demam dan batuk bertambah hebat Eksantema di palatum durum dan palatum molle Eritema makulopapuler yang mula-mula timbul di belakang dan di depan telinga kemudian menyebar diantara bercak eritema makulopapuler terdapat kulit yang normal Kadang-kadang terdapat gangguan gastrointestinal c. Stadium konvalesen Suhu tubuh normal kembali Eritema makulopapuler akan berubah menjadi bercak-bercak hiperpigmentasi 2. Laboratorium Leukopenia B. DIAGNOSA Demam,batuk pilek,conjungtivitis ,fotofobia Eritema makulopapuler yang mula-mula timbul dibelakang dan didepan telinga, diantara bercak-bercak tersebut terdapat kulit yang normal Hiperpigmentasi

C. KOMPLIKASI Pneumonia Otitis media Gastroenteritis Ensefalitis D. PENGELOLAAN Dirawat bila terdapat komplikasi Penderita diisolasi Pengobatan terutama ditujukan terhadap komplikasi sesuai dengan komplikasi

19

VI. SYOK SEPTIK


A. PETUNJUK DIAGNOSA 1. Gejala Klinis a. Stadium dini Panas disertai menggigil Gangguan GIT: muntah dan duare Tekanan darah normal atau menurun Takikardi Takipneu Urine normal atau poliuria b. Stadium lanjut Hipotermia, ujung-ujung anggota gerak dingin dan sianosis Nadi kecil dan cepat Tekanan darah menurun Takikardi Depresi pernafasan /asidosis Penurunan kesadaran Oligouria 2. Laboratorium Leukopenia atau leukositosis, hitung jenis sel bergeser ke kiri Trombositopenia Anemia Gangguan koagulasi: penurunan jumlah trombosit, faktor V,VIII protrombin , fibrinogen dan DIC Ditemukan kuman penyebab pada biakan darah B. DIAGNOSA Ditegakkan bila 1. Ditemukan gejala klinis Hipotermia atau panas yang disertai menggigil Tekanan darah turun Takikardi Takipneu atau depresi pernafasan Nadi kecil dan cepat Penurunan kesadaran 2. Ditemukanya kuman penyebab pada biakan darah C. PENGELOLAAN 1. Atasi syok dengan IVFD ringer laktat atau normal salin 10-20 cc/kgBB diberikandalam 15-30 menit. Bila belum ada perbaikan diberikan plasma 1020 cc/kgBB, bila plasma tidak tersedia dapat diteruskan IVFD ringer laktatGlukosa 5% 10-20 cc/kg BB , diberikan dalam 30 menit . Bila belum ada perbaikan dilakukan kateterisasi dan mengukur CVP untuk mengetahui dan menjamin cukupnya jumlah cairan yang diberikan 20

2. Sambil menunggu resistensi test, berikan antibiotika: Ampisillin 200 mg /kgBB/hari + gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari atau Cefotaxim 200 mg/kg BB/hari + gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari 3. Kortikosteroid diberikan setiap 6 jam selama 2-3 hari dengan dosis: Hidrokortison : 30-50mg/kgBB/hari atau Dexametason : 1-3 mg/kgBB/hari atau Metilprednisolon : 10-30 mg/kgBB/hari D. PENGAMATAN 1. Pada waktu penderita MRS, selain pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan darah rutin, jumlah trombosit, waktu pembekuan dan waktu perdarahan 2. Tanda tanda vital diawasi secara ketat dan diuresis dimonitor 3. Bila ditemui anemia dan perdarahan diberikan darah segar 4. Bila ditemui DIC diberikan suspensi trombosit dan fresh frozen plasma 10 cc/KgBB 5. Pemberian antibiotika dapat diubah sesuai hasil pemeriksaan bakteriologis dan sensitivitas

21

I. TERMINOLOGI SEPSIS

BAKTERI

FOKAL INFEKSI

BAKTERIEMI

SEPSIS

Adanya sepsis setidaknya satu diantara: -perubahan mental akut -Hipoksemia - plasma laktat -oliguria

Bukti klinis adanya infeksi. Hipertermia,hipoter mia,takikardi,takipn eu,abnormalitas jumlah WBC

SINDROM SEPSIS

SYOK SEPTIK AWAL

Adanya sindroma sepsis hipotensi atau insufisiensi kapiler lebih dari 1 jam meskipun sudah diberikan intervensi farmakologi

SYOK SEPTIK REFRAKTER

Adanya sindroma septic: hipotermia atau insufisiensi kapiler yang berespon tepat terhadap cairan IV dan/ interfensi farmakologi

MODS

Kombinasi dari: -DIC -ARDS -GGA -GNA Disfungsi CNS akut

KEMATIAN

22

II. PATOFISIOLOGI TERJADINYA SYOK SEPTIK


Fokal infeksi

Produk dinding sel bakteri

ACTH/pelepasan endorfin

Mediator primer (TNF,IL,INF,dll)

Aktifasi sistim komplemen

Aktifasi sistim koagulasi

Aktivasi molekul Endotel/leukosit

Stimulasi PMN

Stimulasi kinin,kalikrein

Mediator kedua (PAF,eikosanoid,interleukin, dll)

Vasodilatasi & kerusakan endotel

Syok

Kebocoran kapiler & kerusakan endotel

MODS

KEMATIAN

23

VII. MALARIA
A. BATASAN Adalah penyakit yang bersifat akut atau kronis yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium, ditandai dengan panas, anemia dan splenomegali. B. ETIOLOGI Terdapat 4 spesies dari genus Plasmodium yang menyerang manusia : a. P. vivax : malaria tertiana/malaria vivax b. P. falciparum : malaria tropika/malaria falciparum c. P. malariae : malaria malariae d. P. ovale : malaria ovale C. SIKLUS HIDUP PLASMODIUM Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk anopheles. 1. Siklus pada manusia Nyamuk anopheles menghisap darah manusia : sporozoit (kelenjar liur nyamuk) peredaran darah (1/2 jam) sel hati tropozoit hati yang kemudian berkembang menjadi skizon hati (10.000-30.000 merozoit hati). Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer (2 minggu). Pada P. vivax dan P. ovale : sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon hipnozoit (dormant) imunitas tubuh turun aktif relaps (kambuh). Merozoit hati peredaran darah menginfeksi sel darah merah protozoa berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit). Siklus aseksual ini disebut skizogoni. Kemudian skizon pecah merozoit keluar menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit stadium seksual (gametosit jantan dan betina). 2. Siklus pada nyamuk anopheles betina Nyamuk : menghisap darah yang mengandung gametosit (gametosit jantan dan betina) pembuahan zigot ookinet menembus dinding lambung nyamuk. Di dinding luar lambumg nyamuk : ookinet ookista sporozoit (infektif) manusia. D. MASA INKUBASI P. falciparum : 9-14 hari P. vivax : 12-17 hari P. ovale : 16-18 hari P. malariae : 18-40 hari

(12 hari) (15 hari) (17 hari) (28 hari)

E. PATOGENESIS 1. Demam : timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah antigen sel-sel makrofag, monosit atau limfosit sitokin (TNF) aliran darah hipotalamus demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium (berbeda-beda) : P. falciparum : 36-48 jam (demam dapat terjadi setiap hari) P. vivax/ovale : 48 jam (demam selang satu hari) P. malariae : 72 jam (demam selang 2 hari) 2. Anemia : terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi P. falciparum : seluruh stadium sel darah (anemia akut/kronis)

24

P. vivax : sel darah merah muda (anemia kronis) P. malariae : sel darah merah tua (anemia kronis) 3. Splenomegali : limpa (organ RES) plasmodium dihancurkanoleh sel-sel makrofag dan limfosit penambahan sel-sel radang limpa membesar. 4. Malaria berat : pada P. falciparum : eritrosit yang terinfeksi proses sekuestrasi : tersebarnya eritrosit yang berparasit ke pembuluh kapiler jaringan tubuh obstruksi pembuluh darah kapiler iskemia jaringan. Mekanisme ini bila disertai dengan pembentukan rosette (bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya) dan proses imunologik gangguan fungsi pada jaringan tertentu. F. DIAGNOSIS 1. Anamnesis - Keluhan utama : demam, menggigil, dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal - Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria - Riwayat tinggal di daerah endemik malaria - Riwayat sakit malaria - Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir - Riwayat mendapat transfusi darah - Gejala klinis pada anak dapat tidak jelas 2. Pemeriksaan fisik - Demam (perabaan atau pengukuran dengan termometer) - Pucat pada konjungtiva palpebra atau telapak tangan - Splenomegali - Hepatomegali 3. Pemeriksaan laboratorium - Pemeriksaan dengan mikroskop : sediaan darah tepi tebal dan tipis, untuk menentukan : a. ada tidaknya parasit malaria b. spesies dan stadium plasmodium c. kepadatan parasit : semi kuantitatif dan kuantitatif Pada penderita tersangka malaria berat : a. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut b. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan. - Tes diagnostik lain : deteksi antigen parasit malaria imunokromatografi, dalam bentuk dipstik. Manifestasi Klinis Malaria Berat (WHO,1997) Malaria berat adalah ditemukannya plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau beberapa manifestasi klinis di bawah ini : 1. Malaria serebral : malaria dengan penurunan kesadaran 2. Anemia berat (Hb < 5 g% atau hematokrit < 15%), hitung parasit > 10.000/uL 3. Gagal ginjal akut (urin < 1 ml/kgBB/jam setelah dilakukan rehidrasi) 4. Edema paru atau Acute Respiratiry Distress Syndrome 5. Hipoglikemia (kadar gula darah < 40 mg%) 6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan nadi 20 mmHg, disertai keringat dingin) 7. Perdarahan spontan

25

8. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia 9. Asidemia (pH : 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma < 15 mmol/L) 10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut G. DIAGNOSIS BANDING Manifestasi klinis malaria sangat bervariasi dari gejala yang ringan sampai berat : 1. Malaria ringan: demam tifoid, demam dengue, ISPA, leptospirosis ringan, infeksi virus akut lainnya. 2. Malaria berat: meningitis/ensefalitis, tifoid ensefalopati, hepatitis, leptospirosis berat, glomerulonefritis akut atau kronis, sepsis, DBD/DSS H. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan meliputi : 1. Pemberian obat anti malaria : - oral, untuk malaria ringan - parenteral, untuk penderita malaria berat atau yang tidak dapat minum obat 2. Pengobatan suportif - malaria ringan : simptomatik terhadap demam - malaria berat: perawatan umum, pemberian cairan dan pengobatan simptomatik: anti konvulsan 3. Pengobatan terhadap komplikasi organ pada malaria berat - tindakan dialisis atau pemasangan ventilator 1. Obat anti malaria Plasmodium falciparum Pilihan I : Hari I : Klorokuin 10 mg/kgBB per oral Primakuin 0,75 mg/kgBB per oral Hari II : Klorokuin 10 mg/kgBB per oral Hari III : Klorokuin 5 mg/kgBB per oral Pilihan II : Bila penderita sudah menyelesaikan pengobatan pilihan I dimana pada pemeriksaan ulang hari ke-4 atau ke-5 sampai hari ke-28 penderita belum sembuh atau kambuh, yaitu : Hari I : Sulfadoksin 25 mg/kgBB ; pirimetamin 1,25 mg/kgBB Hari II : Primakuin 0,75 mg/kgBB Pilihan III: Bila penderita sudah menyelesaikan pengobatan pilihan II dan pada pemeriksaan ulang hari ke-4 atau hari ke-5 sampai hari ke-28 belum sembuh atau kambuh, yaitu : Hari I-VI : Kina 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis Hari I : Primakuin 0,75 mg/kgBB dosis tunggal Plasmodium vivax/ovale : Diberikan : Klorokuin : Hari I dan II : 10 mg/kgBB Hari III : 5 mg/kgBB Primakuin : 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari Bila resisten terhadap klorokuin, dimana pada pemeriksaan ulang hari ke-4 atau ke-7 sampai 14 hari belum sembuh, maka diberikan : Kina : 30 mg/dibagi 3 dosis selama 7 hari Primakuin : 0,25 mg/kgBB selama 14 hari Bila relaps/kambuh dimana penderita sudah menyelesaikan pengobatan klorokuin dan primakuin, pada pemeriksaan ulang hari ke-14 sampai ke-28 malaria positif, maka diberikan :

26

Klorokuin Primakuin

: 10 mg/kgBB, 1 kali setiap minggu selama minimal 8 minggu (8-12 minggu) : 0,75 mg/kgBB, 1 kali setiap minggu, selama minimal 8 minggu (8-12 minggu)

2.

Pengobatan malaria berat Penatalaksanaan kasus malaria berat meliputi : a. Tindakan umum : pembersihan jalan nafas, pemberian O2, pemberian cairan dan observasi vital sign b. Pengobatan simptomatik: antipiretik dan anti konvulsi c. Pemberian obat anti malaria : Kina HCl 25% per infus, dosis 10 mg/kgBB (bila umur < 2 bulan: 6-8 mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 510 ml/kgBB diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat Bila sudah sadar/dapat minum obat: dilanjutkan dengan kina sulfat per oral : 30 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis (total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang pertama) dan primakuin 0,75 mg/kgBB dosis tuinggal. d. Pengobatan komplikasi : malaria serebral : penatalaksanaan sesuai dengan malaria berat, pencegahan infeksi sekunder, aspirasi pneumonia, tidak boleh menggunakan obat-obat seperti: kortikosterioid, anti edema serebral (urea, manitol), dekstran, dll anemia berat : transfusi darah PRC Kebutuhan total = Hb x BB x 4 cc hipoglikemia : bolus glukosa 40% iv : 2-4 ml/kgBB syok hipovolemia : RL 10-20 ml/kgBB secepatnya sampai nadi teraba gagal ginjal akut : anuria : furosemide 1 mg/kgBB/kali perdarahan dan gangguan pembekuan darah : vitamin K injeksi 10 mg iv

I. PROGNOSIS Baik : pada kasus tanpa komplikasi dan belum resisten obat anti malaria Buruk : pada malaria berat dengan komplikasi : kegagalan fungsi organ J. TINDAK LANJUT Pengamatan : - Selama pemberian obat anti malaria waspada terhadap penderita defisiensi G6PD - Pantau kadar gula darh terutama pada malaria falciparum - Pantau fungsi hati dan ginjal K. INDIKASI PULANG Keadaan umum baik dan komplikasi teratasi

27

VIII. LARINGITIS AKUT


A. BATASAN Adalah infeksi akut pada laring non difteri sehingga terjadi reaksi radang yang dapat menimbulkan gejala-gejala sumbatan jalan nafas bagian atas. B. ETIOLOGI Dapat disebabkan oleh virus dan bakteri Infeksi bakteri oleh :streptokokus hemolitikus, pneumokokus, hemopilus Influenza dan stafilokokus. C. PATOFISIOLOGI Infeksi akut reaksi radang edema laring gejala-gejala sumbatan jalan nafas atas. D. GAMBARAN KLINIS Panas Afonia (pada keadaan berat) Pada edema yang berat dapat terjadi: dispneu, stridor inspiratoar, retraksi supra sternal dan infrasternal dan sianosis. Secara klinis laringitis akut sering melibatkan infeksi jalan nafas atas yang lain: epiglottis, trakea, dan bronkus (laringitis akut, epiglotitis dan laringotrakeobronkitis) E. GAMBARAN LABORATORIUM Darah rutin : leukositosis Bakteriologis : ditemukan kuman penyebab F. PEMBAGIAN SECARA KLINIS Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, pemeriksaan fisik dan kuman penyebab. G. PENGOBATAN 1. Medikamentosa Pada usia anak> 6 tahun diberikan - PP 50.000 IU/hari 3-4 dosis - Gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari/2dosis - Dexametason 0,5-1 mg/kgBB/hari/3 dosis 2. Operasi Dilakukan trakeostomi apabila sudah terjadi edema laring yang hebat sehingga mengganggu jalan nafas (dilakukan dibagian THT) 3. Pemberian cairan Pemberian cairan perinfus sesuai dengan kebutuhan pada keadaan edema laring yang hebat sehingga intake tidak dapat peroral.

28

IX. TAENIASIS
A. DIAGNOSA Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya proglottid yang dikeluarkan malalui feses maupun pengamatan mikroskopis proglottid atau telur cacing pita B. PENGOBATAN 1. Niklosamid (yomesan) dosis pemberian 60 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis dengan jarak 2 jam, obat makan dengan jalan dikunyah 2. Mebendazal dan albendazol Diberikan dengan dosis 2x 100 mg selama 3 hari berturut-turut 3. Pirantel pamoat Bila obat-obatan niklosamid, mebendazol maupun albendazol tak tersedia, dapat dicoba dengan pirantel pamoat dengan dosis 11 mg/kgBB (maksimal 1g) dosis tunggal diulangi 2 minggu kemudian dengan dosis yang sama 4. Praziquantel Bila obat obatan 1, 2, dan 3 tidak berhasil,diberikan obat praziquantel dengan dosis tunggal 10-20 mg/Kg BB. Obat ini sulit didapatkan, karena tidak tersedia di pasaran bebas/apotik di Indonesia C. PENGAMATAN - Keberhasilan pengobatan diamati dengan pemeriksaan secara berkala feses penderita. Setelah pemberian obat obatan tersebut diatas, feses penderita diperiksa selama 3 hari berturut turut kemudian 3 bulan kemudian. - Bila ditemukan scolex atau tidak dijumpai lagi proglottid atau telur cacing pita, penderita dinyatakan sembuh. D. PENCEGAHAN Menghindari kontak dekat dengan tikus, kera dan babi

29

X. RABIES
A. DEFINISI Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang disebabkab oleh firus rabies yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia (Soemargo sastrowarjito) Masa tunas: Lamanya masa tunas pada manusia bergantung kepada jumlah virus yang masuk dan besarnya luka. GIlROY mengatakan 1-3 bulan, KOPROWKI menyatakan 10 hari-12 bulan. B. DASAR DIAGNOSA 1. Gejala klinis a. Gejala pendahuluan Demam, malaise umum, enek dan nyeri di tenggorokan selama beberapa hari, dan penderita merasa nyeri , rasa panas disertai kesemutan pada tempat luka. Kemudian disusul dengan gejala ansietas dan reaksi yang berlebih terhadap rangsang sensoris. Selanjutnya tonus otot-otot dan aktifitas simpatis meninggi dengan gejala hiperhidrosis, b. Gejala stadium eksitasi Adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal adalah hidrofobi, aerofobi, fotofobia, takut suara keras. Pada stadium ini dapat terjadi henti nafas, sianosis, takikardi. Tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang kadang maniakal diselingi dengan saat-saat responsif. Gejala stadium eksitasi ini dapat terus tampak sampai penderita meninggal, sebelum kematian otot-otot justru melemas sehingga terjadi parese flaksid otot. 2. Laboratorium a. Isolasi virus rabies dari saliva, cairan cerebrospinalis, urine dari hewan atau penderita rabies yang masih hidup b. Setelah hewan atau penderita rabies mati, diagnosa dapat dibuat berdasarkan: - Pemeriksaan mikroskopis dari cerebellum atau cerebrum dijumpai negri bodies - Pemeriksaan dengan cara FAT dari jaringan otak, kelenjar ludah, preparat sentuh kornea yang dibekukan dengan CO2 padat. C. PENGOBATAN a. Bila belum ada gejala 1. Pengobatan lokal ada dua cara - Mencuci luka gigitan dengan sabun atau detergen , kemudian luka dibersihkan lagi dengan alkohol 40-70 % atau larutan yang mengandung quartenary ammonium, kalau perlu diberikan ATS atau antibiotika. - Luka dibersihkan dengan savlon alkohol, ditutup kain kemudian diberikan anestesi setempat secara infiltrasi. Obat yang dipakai: xylocain 2% atau lidokain 2% tanpa adrenalin. Setelah rasa sakit 30

hilang disekitar luka maka dikerjakan explorasi dengan sayatan silang pada luka dengan H2O2 3% 2. Pengobatan khusus: memberikan vaksinasi terapi profilaksis dengan vaksin rabies, dilakukan apabila Hewan yang menggigit mati - Hewan berhasil ditangkap dan diawasi kemudian mati, pada pemeriksaan laboratorium ditemukan negri bodies. - Hewan berhasil ditangkap, dan diawasi dan kemudian mati, pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan negri bodies, tetapi pada anamnese sebelum dan waktu menggigit gejalanya tersangka rabies. Bila pada 5 hari kemudian ternyata hasil laboratorium negatif, maka vaksinasi dapat dihentikan. Bila tersangka rabies selain vaksinasi profilaksis diberikan juga booster dan serum anti rabies dengan dosis 40 IU per kgBB pada hari ke-0 b. Bila sudah ada gejala 1. Bila luka sembuh tetap dilakukan pengobatan lokal 2. Pemberian VAR atau SAR tak ada gunanya lagi, pengobatan hanya simtomatis 3. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi penderitaan penderita: - Pasien harus dirawat di rumah sakit - Penderita dirawat diruang isolasi - Pemberian IVFD Cara pemberian vaksin anti rabies (VAR) bersama dengan serum anti rabies (SAR) 1. Vaksin jaringan otak kera: Dosis : 2 cc dewasa, 1 cc anak ( umur 3 tahun) Pemberian : subkutan Sebanyak : 14 kali Booster : hari 10,20,90 setelah suntikan terakhir vaksin anti rabies 2 cc 2. Vaksin duck embrio Dosis : 2 cc Pemberian : subkutan Sebanyak : 14 kali Booster : 1 bulan setelah suntikan terakhir vaksin anti rabies 2 cc 3. Vaksin suckling mouse embrio Dosis : 2 cc dewasa, 1 cc anak ( umur 5 tahun) Pemberian : subkutan Sebanyak : 7 kali Boster : hari 11,15, dan hari 25,35 90 setelah suntikan pertama dengan dosis 0,25 cc dewasa dan 0,1 cc anak-anak 4. Vaksin H.D.C Dosis : 1 cc Pemberian : subkutan Sebanyak : 6 kali (hari ke 0,3,7,14,30,90)

31

Cara pemberian Vaksin anti rabies 1. Vaksin jaringan otak kera Dosis : 2 cc dewasa, 1cc anak Pemberian : subkutan Sebanyak : 14 kali Untuk profilaksis : dosis : 0,1-0,2 cc Pemberian : intrakutan Sebanyak : 3 kali (interval 5-7 hari) 2. Vaksin duck embrio Dosis : 2 cc Pemberian : subkutan Sebanyak : 14 kali Untuk profilaksis : dosis : 2 cc Pemberian : subkutan banyak : 3 kali ( interval 7 hari) 3. Vacsin suckling mouse brain Dosis : 2 cc dewasa, 1 cc anak ( 5 tahun) Pemberian : intrakutan Sebanyak : 3 kali (interval 11- 15 hari) 4. Vaksin H.D.C Dosis : 1 cc Pemberian : subkutan Sebanyak : 6 kali 9 hari ke 0,3,7,14,30,90) Untuk profilaksis : Dosis : 1 cc Pemberian : Subcutan Sebanyak : 2 kali ( hari ke 1 dan 31) Diulang sebanyak 1 kali setiap tahun Untuk kasus kasus yang menerima Pasteur treatment, maka perlu diperhatikan ketentuan dibawah ini: Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalam waktu 3 bulan setelah vaksinasi digigit lagi oleh hewan yang positif rabies maka tidak perlu di vaksin lagi Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalm waktu 3-6 bulan setelah vaksinasi digigit lagi oleh hewan yang positif rabies maka perlu diberi 2 kali suntikan rabies dengan jarak 1 minggu sebanyak 2 cc subkutan disekitar pusat Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalam waktu lebih dari 6 bulan setelah vaksinasi digigit lagi oleh hewan yang positif rabies maka pasien tadi dianggap pasien baru

32

CARA PEMAKAIAN ANTI RABIES BERSAMA DENGAN SERUM ANTI RABIES

NO

TIPE VAKSIN

CARA PENYUNTIKAN
Sesudah digigit (post exposure) Sebelum digigit (pre exposure)

BOSTER

KET

1.

Jaringan otak kera

14 kali suntikan @ 2 cc dewasa(sc) 1 cc anak anak

Hari 10,20, dan 90 setelah suntikan terakhir VAR 2 cc sc 1 bulan setelah suntikan terakhir VAR 2 cc sc

anak anak 3 t tahun

2.

Duck embrio Vaccine

14 suntikan @ 2 cc (sc)

3.

Suckling mouse brain

7 x suntikan @ 2 cc dewasa (sc) 1 cc anak

Hari ke 11 & 15 anak anak 5 setelah suntikan tahun pertama ditambah booster lagi pada hari ke 25,35 dan 90 setelah suntikan pertama 0,25 cc pada dewasa, 0,1 cc pada anak

4.

H.D.C ( human diploit 6x suntikan @ 1 cc cell) s.c pada hari 0,3,7 14,30 dan 90

1 bulan setelah suntikan terakhir VAR 2 cc,s.c

33

PEMBERIAN VAKSIN DAN SERUM ANTI RABIES KEADAAN HEWAN YANG MENGGIGIT

No 1.

MACAM GIGITAN

2.

Kontak, tetapi tak ada luka Kontak tak langsung Tidak ada kontak Jilatan pada kulit luka, a. Tersangka gila garukan atau lecet, luka kecil disekitar tangan, badan, kaki

PADA WAKTU MENGGIGIT Gila

OBSERVASI SLM 10 HARI

PENGOBATAN YANG DIANJURKAN Tidak perlu diberikan pengobatan Segera diberikan vaksin dan hentikan vaksinasi tersebut apabila ternyata hewan yang tersangka masih sehat setelah 5 hari dalam observasi. Segera diberikan vaksin dan diberikan serum apabila diagnose laboratorium (+) rabies Segera diberikan vaksin dan serum

Sehat

Gila

3.

Jilatan mukosa, luka-luka yang berat (luka-luka yang banyak, dalam, di daerah muka, kepala, jari atau leher). Kontak langsung

b. Gila: hewan margasatwa, hewan yang tak mungkin diobservasi (lari/dibunuh) Tersangka gila atau betul-betul gila, hewan margasatwa, hewan yang tak dapat diobservasi (lari/dibunuh)

Segera diberi serum + vaksin anti rabies dan apabila 5 hari di dalam observasi hewan yang bersangkutan masih sehat maka pengobatan perlu dihentikan

34

CARA PEMAKAIAN VAKSIN ANTI RABIES TANPA SERUM ANTI RABIES

VAKSIN NO
1. Jaringan otak kera

CARA PENYUNTIKAN
Sesudah digigit Sesudah digigit (post exposure) (pre exposure) 14x suntikan @ 3x suntikan i.c 2 cc dewasa (sc) 0,1-0,2 cc 1cc anak-anak interval 5-7 hari

BOSTER

KET

Anak anak 3 tahun

2.

Duck embryo vaccine

14x suntikan @ 2 cc (s.c)

3 suntikan i.c interval 7 hari

3.

sucking mouse brain

7x suntikan @ 0,25 cc dewasa 2 cc dewasa (sc) 0,1 cc anak anak 1 cc anak anak

hari ke-11&15 i.c setelah suntikan pertama 0,25 cc pada dewasa, 0,1 cc pada anak-anak

anak-anak 3 tahun

4.

H.D.C (Human diploit cell)

6x suntikan @ 1cc s.c pada hari 0,3,7,14,30 dan 90

2x suntikan @ 1 cc s.c dengan interval 1 bulan kemudian ulangi 1 kali per tahun

35

XI. ABSES PERITONSILER


A. BATASAN Infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat diantara tonsil dengan m. kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi tonsilipharingitis akut 5-7 hari sebelumnya B. ETIOLOGI Streptokokus beta hemolitikus group A ,stafilicocus, kuman anaerob C. PETUNJUK DIAGNOSA 1. Gejala klinis Biasanya didahului oleh infeksi tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya, berupa demam,dapat mencapai 40,50C, nyeri tenggorokan, mialgia, malaise, sukar menelan (tanda khas berupa air liur yang menetes keluar), trismus (karena spasme pada m. pterygodeus internus), tidak mau makan dan bicara, spasme pada otot otot homolateral(torticolis) 2. Pemeriksaan Fisik Mukosa mulut merah dan sembab, tonsil meradang, uvula terdorong ke arah yang berlawanan, perabaan digital: fluktuasi di puncah anterior tonsil yang terkena 3. Laboratorium - Darah rutin : leukositosis - Kultur : Streptokokus beta hemolitikus group A, Stafilokokus D. DIAGNOSA BANDING Peritonsilitis Lues primer atau tersier Tumor Aneurisma a. carotis interna E. KOMPLIKASI Sepsis, trombosis, abses parafaringeal,mediastinitis, osteomilitis sela tursika, oedema laring, obstruksi laring, tromboflebitis vena leher, angina ludovici F. PENATALAKSANAAN Istirahat, diet BB, kompres hangat Insisi dan drainage Kumur PK 1/10.000 Antibiotika: - Penisilin G prokain 50.000 IU/kgBB/hari atau - Ampicillin 100 mg/kgBB /hari atau - Eritromisin 50 mg/kg BB/hari selama 5-12 hari Tindak lanjut: bila ada riwayat tonsillitis kronis: tonsilektomi (rekurensi 10% bila ada riwayat tonsilitis kronis)

36

XII. VARISELA
A. Batasan Varisela adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus varicella zoster yang ditandai dengan adanya ruam yang gatal (stadium vesikular) dengan berbagai macam stadium lesi dalam satu waktu tertentu. B. Etiologi Virus varicella zoster termasuk dalam famili Herpesviridae. C. Patogenesa Infeksi virus primer (kontak langsung atau droplet) konjungtiva dan atau mukosa traktus respiratorius bagian atas replikasi di nodus limfatikus regional viremia pertama (4-6 hari setelah infeksi) replikasi di hati, limfa dan organ lain viremia kedua (10-12 hari setelah infeksi) infeksi kulit dan muncul ruam vesikular (14 hari setelah infeksi); immunocompromised: manifestasi lebih berat laten Reaktivasi herpes zoster D. Bentuk klinis: Varisela progresif: varisela + keterlibatan organ visera, koagulopati, perdarahan hebat, nyeri abdomen hebat, vesikel hemoragik (pada remaja, dewasa, anak immunocompromised, wanita hamil dan bayi baru lahir). Varisela neonatal: infeksi intrauterine, lahir 1 minggu sebelum atau setelah onset varisela pada ibu Sindrom varisela kongenital: retardasi pertumbuhan intrauterin, mikrosefal, atrofi kortex, hipoplasia ekstremitas bawah, mikroftalmia, katarak, korioretinitis, jaringan parut pada kulit. E. Komplikasi: Infeksi sekunder (umumnya staphylococcus atau streptococcus), manifestasi SSP: meningitis aseptik, serebritis, ensefalitis, ataxia serebelar akut post infeksius, ITP, otitis media, nefritis, miokarditis, arthritis. F. Prognosis Tanpa komplikasi : baik Angka mortalitas: anak sehat usia 1-14 tahun: 2/100.000 kasus Anak immunocompromised : lebih tinggi Ataxia serebelar akut post infeksius: 1/4000 kasus Herpes zoster: 15%, ensefalitis 1,7/100.000 kasus (mortalitas 5-20%) G. Diagnosis Dasar diagnosis: - Adanya riwayat kontak dengan penderita varisela. - Gambaran klinis dimulai dengan demam ringan, dalam 24 jam pertama diikuti oleh sakit kepala ruam yang gatal.

37

- Pemeriksaan fisik : Ditemukan ruam: makula papul vesikel pustul 3-5 hari: krusta. Ruam pertama kali ditemukan di kepala dan dada seluruh tubuh(distribusi sentral). Pada satu waktu tertentu dapat ditemukan berbagai macam stadium lesi. Laboratorium: tidak ada yang spesifik, kecuali biakan virus Langkah diagnosis: Anamnesis : perkembangan efloresensi serta manifestasi umum Pemeriksaan fisik : ruam yang spesifik (bentuk dan jumlah efloresensi) Tetapkan kemungkinan saat terjadinya infeksi pada varisela kongenital Pastikan apakah terdapat komplikasi atau tidak H. Penatalaksanaan Simptomatis: kompres dingin atau anti histamin oral dan calamine lotion dapat diberikan untuk mengatasi gatal. Bila lesi masih vesikular: bedak agar tidak mudah pecah + antipruritus sepseri mentol 0,25-0,5%. Asetaminofen untuk atasi demam atau nyeri radikuler (tidak boleh diberi salisilat risiko sindrom Reye ) Suportif: mandi tiap hari, kuku dijaga tetap pendek dan bersih serta tidak menggaruk lesi untuk mencegah infeksi sekunder Medikamentosa: asiklovir 80 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis peroral selama 5 hari Indikasi: Anak > 12 thn, penyakit kulit atau paru kronis, terapi salisilat jangka panjang, diberikan pada anak remaja (untuk mengurangi komplikasi) Anak sehat < 12 tahun jika ditemukan dalam 24 jam pertama timbulnya ruam. Pasien immunocompromised diberikan asiklovir 1500 mg/LPT(m2)/hari dalam 3 dosis IV selama 7-10 hari. Bila terdapat gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 10 mg/kgBB/kali, tiga kali sehari Varisela neonatal: asiklovir 750 mg/LPT (m2)/hari I. Tindak lanjut Anak dengan varisela tanpa komplikasi boleh kembali sekolah setelah hari ke 6 timbulnya ruam (jika seluruh lesi telah menjadi krusta).

38

XIII. SELULITIS
A. Batasan Adalah infeksi akut kulit dan jaringan ikat longgar / jaringan subkutan yang ditandai dengan adanya daerah yang bengkak, kemerahan, hangat dan nyeri yang terlokalisir. B. Etiologi Faktor predisposisi: trauma, operasi, atau lesi kulit lainnya (fisura, laserasi, edema dll) Penyebab tersering: Staphylococcus aureus, streptococcus grup A beta hemolitikus, H. Influenza tipe b (anak <5 th) Selulitis ekstremitas: S. Aureus, S. Pyogenes Selulitis periorbital: S. Aureus, pneumococcus, Streptococcus grup A Selulitis buccal, fasial: H. influenza Infeksi luka post operasi (dada, abdomen, bokong), selulitis perianal: Streptococcus grup A Immunocompromised, diabetes mellitus: Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophilia, gol. Enterobacteriaceae lain, jamur SN relaps: E. Coli C. Patogenesis: Faktor predisposisi organisme pada kulit masuk ke dermis multiplikasi selulitis D. Bentuk klinis Berdasarkan lokasi: selulitis fasial, buccal, periorbital, perianal, ekstremitas E. Komplikasi Abses subkutan, osteomielitis, artritis septik, tromboflebitis, sepsis, fasciitis nekrotikans, limfangitis, glomerulonefritis F. Prognosis Prognosis baik, kasus neglected: mortalitas 5% G. Diagnosis Dasar diagnosis Manifestasi klinis: daerah yang edema, eritem, hangat dan nyeri, batas lateral tidak tegas, penekanan: pitting gejala sistemik Langkah diagnosis Tegakkan diagnosis berdasarkan manifestasi klinis Perkirakan etiologi berdasarkan usia, manifestasi klinis, lokasi, status imun, penyakit penyerta Lakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan komplikasi yang ada, abses aspirasi daerah inflamasi pewarnaan gram dan kultur + resistensi kuman, hitung lekosit.

39

Indikasi rawat Selulitis + komplikasi Selulitis + gejala konstitusional (demam, limfadenopati, lekosit > 15.000/uL) H. Penatalaksanaan Kompres hangat daerah lesi Lesi: ekstremitas bawah Imobilisasi dan elevasi Antibiotika (empiris) Tanpa gejala konstitusional: antibiotika oral: dikloksasilin / sefaleksin / sefuroksim asetil / eritromisin / klindamisin minimal 10 hari. Jika perbaikan (-) dalam 24-48 jam antibiotika intravena Dengan gejala konstitutional: Antibiotika IV (empiris): kombinasi ampisilin + gentamisin, atau sefalosporin generasi III (Cefotaxim atau ceftriaxon) sampai gejala konstitusional (-) & selulitis membaik (3-5 hari) ganti AB oral, lama terapi 7-14 hari Selanjutnya sesuai hasil pewarnaan gram dan biakan dan klinis Bila lesi supuratif insisi dan drainase Bila nekrosis debridemant I. Tindak lanjut Pengamatan: monitor komplikasi dan respons terapi

XIV. OSTEOMIELITIS AKUT


A. Batasan Adalah infeksi piogenik pada tulang B. Etiologi Semua usia: S. aureus; neonatus: S. aureus, streptococcus grup B, basil enteric gram negative, streptococcus grup A; > 6 thn: S. aureus, streptococcus, P. aeruginosa. Lain-lain: mycobacterium atipik, candida, infeksi virus C. Patogenesis Infeksi (hematogen, atau sekunder akibat: trauma penetrasi, pembedahan, infeksi daerah yang berdekatan) deposit bakteri pada metafise migrasi fagosit produksi eksudat inflamasi: kortex metafise kanalis Volkmann & system Harves rongga subperiosteum elevasi periosteum tekanan di bawah periosteum suplai darah <, iskemi nekrosis sekuestrum, involukrum osteomielitis kronis D. Bentuk Klinis Berdasarkan pola penyebaran Osteomyelitis hematogen akut (tersering) Osteomyelitis akibat invasi lokal dari fokus infeksi yang berdekatan Osteomyelitis akibat inokulasi langsung pada tulang (trauma atau pembedahan)

40

Berdasarkan perjalanan penyakit Osteomielitis akut: infeksi tulang < 2 minggu (tersering) Osteomielitis subakut: infeksi tulang berlangsung 2-6 minggu Osteomielitis kronis: infeksi tulang berlangsung > 6 minggu E. Komplikasi Rekurensi, kontraktur, akselerasi pertumbuhan pertumbuhan, fraktur pada tulang yang terkena F. Prognosis Tatalaksana adekuat dan tepat rekurensi 5-10% Rekurensi osteomielitis kronik G. Diagnosis Dasar diagnosis Tanda-tanda radang local: edema, eritema yang terlokalisir, hangat, nyeri tekan + pemeriksaan pencitraan yang positif: radiografi, CT scan Etiologi: biakan darah atau aspirat pus yang positif Langkah diagnosis Identifikasi tanda-tanda radang lokal: Evaluasi manifestasi sistemik: demam, lekositosis, Lakukan pemeriksaan pencitraan, deskripsikan bentuk kerusakan (sekuester, involukrum, pus, osteomielitis kronis): Konsultasi dengan bagian bedah orthopedi untuk mempertimbangkan tindakan bedah (abses local dan debris intramedular dan sekuester) Anamnesis: o Tersering mengenai tulang panjang: femur, tibia, and humerus o Umumnya terdapat demam, nyeri tulang, bengkak, kemerahan, dan gerakan yang terbatas pada bagian tubuh yang terkena o Neonatus dan bayi kecil: tidak dapat menopang tubuh, gerakan ekstremitas asimetris Pemeriksaan fisis o Pembengkakan fokal yang nyeri, edema, eritema, hangat. o Gerakan sendi tulang yang terlibat terbatas. o Neonatus: pseudoparalisis atau nyeri pergerakan Lakukan pemeriksaan penunjang: o Foto R polos. Hasil: saat awal hanya pembengkakan jar. lunak, atau muscle plane displacement dari metafise yang berdekatan; lanjut (>10 hari): perubahan struktur tulang (osteopenia, lesi litik, elevasi periosteal) o CT scan bila melibatkan tulang dengan struktur anatomis yang kompleks seperti pelvis, sternum, kalkaneus. Hasil: destruksi korteks, abses atau gas ekstra osseus, sekuester tulang o Biakan darah, biakan + pewarnaan gram aspirat tulang atau sendi o Lab: lekositosis, shift to the left, bisa trombositosis, LED meningkat, CRP (+)

kurang,

kerusakan

lempeng

41

H. Penatalaksanaan: Antibiotika IV (empiris) sambil menunggu hasil biakan o Bayi & anak < 5 thn: Cefuroxim 200-300 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis IV o > 5thn: Cefazolin 100-150 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis IV o Pada pasien dengan penyakit sickle cell: tambahkan cefotaxim atau ceftriaxon o Jika alergi terhadap gol beta-lactam : clindamycin 30-40 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis IV o Pada pasien immunocompromised: kombinasi vancomycin dan ceftazidim bila tidak memungkinkan gunakan kombinasi ampisilin dan gentamisin IV Jika kemajuan klinis tidak memuaskan AB disesuaikan dengan hasil biakan. Jika biakan (-), klinis tidak perbaikan : pikirkan MRSA sebagai penyebab & berikan AB yang sesuai yang tersedia (vancomycin), lakukan biopsi. Lama terapi: 4-6 minggu Osteomielitis kronis: AB dilanjutkan sampai beberapa bulan sampai terdapat perbaikan klinis dan radiologis . Tindakan operasi sesuai pertimbangan ahli bedah ortopedi Bila harus berbaring lama dengan ekstremitas fleksi setelah 2-3 hari, nyeri < : mulai latihan range of motion (ROM) pasif diteruskan sampai aktivitas normal kembali. I. Tindak lanjut Pemeriksaan darah rutin, LED dan CRP diulang setiap 1 minggu sekali Monitor efek samping obat: SGOT, SGPT, supresi sumsum tulang, ureum, kreatinin Pemeriksaan radiologis diulang setelah 4 minggu terapi Syarat penghentian AB: (1) resolusi gejala klinis dan radiologis, (2) LED normal Pengamatan jangka panjang: ROM sendi dan panjang tulang

XV. TAENIASIS
A. Batasan Adalah infeksi oleh cacing pita dewasa. B. Etiologi Tersering: Taenia saginata (sapi), Taenia solium (babi). Umumnya hanya 1 cacing pita dewasa ada pada usus. Dapat disebabkan juga oleh:

42

C. Patogenesis Ingesti daging mentah/tidak matang yang mengandung larva / sisteserkus usus halus: sistiserkus cacing pita dewasa (2 bulan): scolex menempel di dinding usus halus parasit menambah segmen-segmen baru segmen terminal matur dan gravid (T. saginata 10-12 mg, T. solium 5-12 mg) 50.000 telur/hari, dapat bertahan hidup sampai 25 tahun D. Bentuk Klinis Tidak ada bentuk klinis khusus E. Komplikasi Acute surgical abdomen, apendisitis akut, obstruksi saluran empedu atau pankreas, pertumbuhan cacing pita di lokasi ektopik (telinga tengah, jaringan adenoid, kavum uteri) F. Prognosis Angka kesembuhan dengan praziquantel >95% G. Diagnosis Dasar diagnosis Ditemukannya proglottid pada feses atau pada daerah perianal, atau pengamatan mikroskopis proglottid atau telur cacing pita pada feses. B. Langkah diagnosis Manifestasi klinis: asimtomatis, atau keluhan ringan-sedang: nausea, diare, nyeri abdomen, pruritus ani, lemah, tidak nafsu makan, sakit kepala, iritabel. Lakukan pemeriksaan penunjang: o Pemeriksaan tinja 3 kali berturut-turut: telur, proglottid o Darah rutin: eosinofilia (5-45%) Konsultasi bedah bila terdapat acute surgical abdomen, apendisitis, obstruksi saluran empedu atau pankreas

H. Penatalaksanaan Antihelmintik o Praziquantel 5-10 mg/kgBB peroral 1 kali (obat pilihan utama) tidak tersedia di pasaran bebas/apotik di Indonesia (hubungi bagian Parasitologi FKUI Jakarta), o Alternatif: Niclosamide (yomesan) 50 mg/kgBB peroral 1 kali untuk anak, dewasa 2 gram. Mebendazol atau albendazol 2x100 mg peroral 3 hari berturutturut o Tindakan bedah sesuai komplikasi

43

I. Tindak lanjut Pemantauan keberhasilan terapi: pemeriksaan tinja 3 hari berturut-turut setelah pemberian obat (cari scolex, proglottid, telur cacing pita), kemudian 3 bulan kemudian Pencegahan: menghindari kontak erat dengan tikus, kera dan babi

XVI. DEMAM SCARLATINA


A. Batasan Suatu infeksi saluran nafas atas dengan rash khas yang disebabkan infeksi eksotoksin pirogen yang diproduksi oleh Streptokokus grup A pada individu yang tidak mempunyai antibodi antitoksin. B. Bentuk Klinis Rash timbul 24-48 jam setelah gejala infeksi saluran nafas atas. Mulai timbul sekitar leher ke badan dan ekstremitas rash difus papular, erupsi eritematous warna merah terang pada kulit dan memutih pada penekanan, terutama pada lipatan siku, aksila, dan paha. Kulit seperti kulit angsa dan teraba kasar. Setelah 3-4 hari rash menghilang diikuti deskuamasi. Faring hiperemis. Lidah : coated tongue, papil bengkak, setelah kulit deskuamasi papil memerah prominen seperti strawberry tongue. C. Dasar Diagnosis Kultur dari swab tenggorok ditemukan Streptokokus grup A. D. Diagnosis Banding Morbili Roseola Penyakit Kawasaki Erupsi obat E. Komplikasi Demam rematik, Glomerulonefritis akut. F. Penatalaksanaan Penisilin V 30-60 mg /kgbb/hari per oral dibagi 2-4 x/hari, atau Eritromisin 20-40 mg/kgbb/hari terbagi 2-4x/hari, selama 10 hari, atau dosis tunggal Benzatin Penisilin G 600.000iu (BB < 30kg) atau 1.200.000iu (BB > 30kg) i.m. G. Prognosis Bila cepat diobati baik.

44

XVII. MENINGOKOKSEMIA
A. Batasan Suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi Neisseria meningitidis dengan gambaran penyakit : Bakteriemia tanpa sepsis Meningokoksemia (sepsis) tanpa meningitis Meningitis dengan atau tanpa meningokoksemia B. Manifestasi Klinis Bentuk klinis meningokoksemia : 1. Meningokoksemia Akut Diawali faringitis, demam, mialgia, lemas, muntah, diare, dan atau sakit kepala. Rash makulopapular timbul sebelum gejala berat terjadi septik syok ditandai dengan hipotensi, DIC, asidosis, perdarahan adrenal, gagal ginjal, gagal jantung dan koma. Petekie dan purpura dapat menonjol (purpura berat), dapat disertai atau tanpa meningitis.Tersering meningitis dengan meningokoksemia : sakit kepala, fotofobia, letargi, muntah, kaku kuduk dan gejala rangsang meningeal yang lain, kejang dan gejala neurologik fokal lebih sedikit dibanding meningitis lainnya. 2. Meningokoksemia Kronis Demam, tampak tidak toksik, artralgia, sakit kepala dan rash mirip infeksi gonokokus. Lama penyakit 6-8 minggu. C. Dasar Diagnosis Kultur darah, LCS, atau cairan sinovial Neisseria meningitidis. Kultur atau pengecatan gram dari petekia atau lesi papular Neisseria meningitidis. D. Diagnosis banding 1. Sepsis 2. Meningitis lainnya 3. Rocky Mountain Spotted Fever 4. Ehrlichiosis atau epidemic tifus 5. Endokarditis bakterialis 6. Autoimun vaskulitis, serum sickness, SHU, ITP, erupsi obat 7. Infeksi echovirus, coxsackie virus 8. Vaskulitis lainnya 9. Eksantem virus 10. Penyakit kawasaki

45

E. Penatalaksanaan Penisilin G 250.000-400.000iu/kgbb/hari dibagi 4-6x/hari atau Cefotaxime 200mg/kgbb/hari atau Ceftriaxone 100 mg/kgbb/hari atau Kloramfenikol 75-100 mg/kgbb/hari dibagi 4x/hari, lama pemberian 5-7 hari. Meningokoksemia dengan meningitis lihat SP Meningitis. F. Komplikasi Berat : vaskulitis, DIC, hipotensi. Kulit : pembentukan parut. Syaraf : tuli, empiema, subdural efusi, abses otak, ataxia, kejang, buta, obstruktif hidrosefalus Perdarahan adrenal, endoftalmitis, artritis, dan vaskulitis kutaneus (eritema nodusum), endokarditis, perikarditis, miokarditis, pneumonia, abses paru, peritonitis. G. Pencegahan Profilaksis segera pada keluarga serumah, sekolah, dan orang yang kontak dengan sekret penderita selama 7 hari sebelum serangan penyakit : Anak-anak : Rifampisin 10mg/kgbb/dosis 2x/hari (2 hari), maks.600 mg Bayi < 1 bulan : Rifampisin 5mg/kgbb/dosis 2x/hari (2 hari) Anak <12 tahun : Ceftriakson 125 mg dosis tunggal i.m. Anak > 12 tahun : Ceftriakson 250 mg dosis tunggal i.m. Usia 18 tahun : Ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal

XVIII. PAROTITIS EPIDEMIKA (MUMPS)


A. Batasan Penyakit virus akut dan menular yang ditandai oleh pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. B. Etiologi Virus parotitis, merupakan kelompok Paramyxo virus, suatu virus RNA tunggal yang terbungkus dalam selubung protein dan lemak yang memiliki zat hemaglutinasi neuroaminidase dan hemolisisn, rusak pada pemanasan sampai 560 C selama 20 menit. C. Patogenesis Terdapat 2 teori : 1. Virus masuk melalui mulut ke dalam duktus Stensen kelenjar parotis dan terjadi multiplikasi pertama pada kelenjar ini viremia umum testis, ovarium, pankreas, tiroid, ginjal, jantung, dan otak. 2. Replikasi primer dalam epitel permukaan saluran nafas viremia umum dan lokalisasi serentak dalam kelenjar saliva da alat tubuh lainnya.

46

D. Manifestasi Klinis Masa inkubasi 14-24 hari. Stadium prodromal perasaan lesu, mialgia pada leher, sakit kepala, nafsu makan turun. Ditemukan pembesaran satu atau kedua kelenjar ludah lainnya bengkak dan rasa sakit disertai demam subfebris atau normal. Dapat ditemukan pembengkakan kelenjar submandibular dengan dua pola yaitu : berbentuk lonjong yang meluas ke arah depan dan bawah mulai dari sudut tulang rahang bawah dan bentuk setengah lonjong meluas secara langsung ke arah bawah. E. Komplikasi Orkitis, Epididimitis, Meningoensefalitis, Ooforitis, Pankreatitis, Nefritis, Tiroiditis, Miokarditis, Mastitis, ketulian, komplikasi okuler dan artritis. F. Diagnosis Adanya suatu epidemi, gejala klinis, leukopenia dengan limfositosis relatif, peningkatan kadar amilase serum, isolasi virus, pemeriksaan serologis atas antibodi V dengan kenaikan titer 4 kali. G. Diagnosis banding Parotitis karena sebab lain ; infeksi virus Koksaki A dan koriomeningitis limfositik Parotitis supuratif Kalkulus saliva Osteomielitis pada ramus mandibula Pembesaran kelenjar limfe di bagian proksimal kelenjar parotis biasanya disertai konjungtivitis. H. Pengobatan Simtomatis, istirahat baring disesuaikan dengan kebutuhan pasien, makanan disesuaikan dengan kemampuan mengunyah. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi MMR (Measles, Mumps, Rubella) diberikan subkutan pada anak lebih dari 15 bulan.

XIX. FILARIASIS
A. Batasan Penyakit yang disebabkan oleh infeksi nematoda dari famili filariodea B. Etiologi Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, Onchocerca volvulus, Mansonella.

47

C. Patogenesis Cacing dewasa hidup dalam cairan dan saluran limfe serta mengembara dalam jaringan ikat bawah kulit dan rongga tubuh. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang akan masuk ke dalam pembuluh darah/limfe, kemudian masuk ke dalam peredaran darah sampai ke darah tepi dan akan terisap oleh nyamuk. Dalam tubuh nyamuk mikrofilaria masuk melalui probosis dan seterusnya kelambung nyamuk dan akan berubah menjadi larva setelah mikrofilaria melepaskan sarungnya, kemudian larva menembus dinding lambung nyamuk dan masuk keperedaran darah nyamuk, akhirnya larva akan mencapai daerah toraks nyamuk. Dalam toraks nyamuk larva akan berkembang dari larva 1 menjadi larva 3 (larva infektif), sebagian dari larva 3 menuju keabdomen dan sebagian lagi menuju ke probocis dn dikeluarkan oleh nyamuk betina bila menghisap darah. Larva yang masuk kedalam tubuh nyamuk tidak 100% akan menjadi/mencapai stadium infektif. Pertumbuhan dan perkembangan larva sangat dipengaruhi oleh suhu dan keadaan tubuh nyamuk itu sendiri.

D. Manifestasi Klinis Massa inkubasi yaitu mulai dari masuknya larva infektif ke dalam kulit sampai pertama kali timbulnya mikrofilaria di dalam darah tepi, lamanya bervariasi, antara 5 15 bulan. Manifestasi awal adalah nyeri hebat, pembengkakan, kemerahan sepanjang saluran limfe dan funikulitis dangan atau tanpa orchitis atau hidrokel, kadang-kadang disertai manifestasi Tropical Pulmonary Eosinophilia. Gejala tersebut hilang bila penderita beristirahat total, tetapi cenderung utnuk kambuh kembali bila melakukan aktivitas. Gejala filariasis dapat dibagi dalam 2 golongan: 1. Akibat infeksi (akut): Limfangitis, Limfadenitis, Funikulitis, orchitis, epididymitis. 2. Akibat bendungan (Kronik): Elefantiasis, Chiluria E. Komplikasi Limfangitis, Limfadenitis, Funikulitis, Orchitis, epididymitis, elefantiasis, chiluria. F. Diagnosis - Ditemukan adanya mikrofilaria dalam darah tepi dengan tetesan tebal - Tes provokasi Dietil Carbamazine (DEC) Mikrofilaria yang bersifat nokturnal dapat ditemukan dalam darah tepi yang diambil pada waktu siang hari, dengan pemberian DEC 2 mg/kgbb dan darah diambil 45-50 menit setelah pemberian obat. - Menghitung mikrofilaria Mikrofilaria dihitung dengan mengambil 0,25 ml darah yang diencerkan dengan asetat 3% sampai menjadi 0,5 cc dan dilihat dibawah mikroskop dengan menggunakan Sedgwick Refler counting Cell.

48

Densitas tinggi : 50 mf/ml darah Densitas rendah : 11 49 mf/ml darah Densitas sangat rendah : 1 10 mf/ml darah - Cara Konsentrasi Metode Knotts: 1 ml darah diencerkan dalam 9 ml air dan ditambahkan 1 ml formalin 2%, kemudian dikocok dan disentrifus dan endapan diperiksa dibawah mikroskop - Sero diagnosis Skin test Complemen Fixation Test Immunofluorescent test Indirect Fluorescent Antibody Test ELISA - Biopsi, dilakukan biopsi pada kelenjar limfe yang membesar, khusus untuk O. Volvulus dilakukan biopsi dari kulit.

G. Diagnosis Banding - Limfangitis filariasis harus dibedakan dengan limfangitis bakterial, dimana kedua gejala tersebut hampir sama. - Hernia - Granuloma Inguinale - Limfoma malignum - Malaria dan infeksi bakteri lainnya - Leprosi - Skabies H. Penatalaksanaan a. Makrofilaria - Preparat antimon, dosisnya 8 ml (larutan 5%) diberikan secara intravena, selang sehari dosis dinaikkan 4 ml sampai tercapai dosis 28 ml dengan dosis total 360 ml. - Arsenic 100 m intramuscuker/hari diberikan sebanyak 4 kali pemberian. b. Mikrofilaria - DEC (Diethyl Carbamazine Citrate, Hetrazan) Cara kerja obat ini diduga mempermudah fagositosis mikrofilaria oleh makrofag di RES. Dosis yang diberikan adalah 6 mg/kg.bb/hari diberikan 3 kali. - Furapyrimidone Mempunyai efek yang sama dengan DC dalam hal mikrofilarisidal. Dosis yang dianjurkan: untuk B. Malayi 15 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari. Untuk W. Bancrofti 20 mg/kgbb/hri selama 7 hari. - Ivermictin Sangat paten terhadap O. Volvulus dan Loa-loa. Dosis yang diberikan 150 mcg/kgbb dosis tunggal untuk O.Volvulus, 200 mcg/kgbb dosis tunggal untuk loa-loa.

49

XX. NOMA (ORO FACIAL GANGRENE)


Batasan: Suatu penyakit infeksi yang menghancurkan struktur jaringan lunak dan jaringan keras pada area oral dan paraoral, meliputi mandibula, maksila, hidung dan dapat meluas ke batas infra orbita. Etiologi: 1. Bakteri: - Fusobacterium necroforum - Prevotella intermedia - Streptococcus hemoliticus - Actinomyces spp - Escherecia coli - Staphylococcus alfa hemoliticus - Bacteroides spp - Peptostreptococcus 2. Virus: - Measles - Human Immunodeficiency Virus (HIV) - Human Cytomegalo Virus (HCV) Predisposisi Anak umur 2-7 tahun dengan trias malnutrisi, debilitating disease, dan oral hygiene yang jelek Faktor Risiko 1. Kemiskinan 2. Malnutrisi kronis 3. Sanitasi lingkungan yang buruk 4. Suplai air bersih yang tidak memadai 5. Peningkatan eksposur terhadap infeksi virus dan bakteri, misal mengalami necrotizing ulcerative gingivitis

50

Patogenesis

INFECTION (eg Measles, Herpesviridae)

STRESS Neutropenia T-Cell Immunosuppression Complement Consumption Fever Anorexia Nutrient Needs Tissue Catabolism Hypercortisolemia Th 1 Th 2 Shift

IMPAIRED HOST RESISTANCE

MALNUTRITION (eg Micronutrient Deficiencies)

POOR DIET

POOR ORAL HYGIENE

STRESS

Local Viral Multiplication in the Mouth Impaired Oral Mucosal Immunity Altered Structural Integrity of Oral Mucosa Selective Growth of Pathogenic Bacteria Reduced T-Cell Function Impaired PMN Function

Impaired Salivary Gland Function

ACUTE NECROTIZING GINGIVITIS AND OTHER ORAL MUCOSAL ULCERS

Specific Microorganisms eg Fusobacterium Necrophorum, Prevotella Intermedia

NOMA

51

Gejala Klinis: Demam, pembengkakan di area oronasal berserta pus terjadi krusta flare-up infeksi jaringan granulasi nekrosis, diskolorisasi (jaringan biru kehitaman) lokalisasi jaringan nekrosis lesi mengering, proliferasi jaringan epitel pada tepi lesi lesi seperti sembuh, tanda infeksi aktif negatif terlepasnya jaringan lunak yang menutupi lesi terbentuk fistel orokutaneus nekrosi lengkap tulang terekspos(+). Komplikasi: 1. Terjadi ankylosing dan hilangnya sebagian jaringan rahang, mulut dan pipi. 2. Impairment dalam berbicara dan mengunyah. 3. Gangguan fisik dan psikologis pada tumbuh kembang anak. 4. Komplikasi sistemik berupa toksemia, dehidrasi dan bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Prognosis: Morbiditas dan mortalitas tinggi. Terapi: 1. Koreksi dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan kondisi malnutrisinya. 2. Pengobatan penyakit yang mendahului/mendasari (seperti malaria atau measles) 3. Pemberian antibiotika yang sesuai dengan kultur, resistensi dan sensitivitas. (Sebelum hasil kultur didapatkan, pemberian penisilin dan metronidazol cukup efektif). 4. Perawatan luka dengan antiseptik. 5. Pembersihan jaringan nekrotik dengan pembedahan.

XXI. ABSES RETROFARINGEAL


BATASAN: Abses retrofaringeal adalah infeksi yang terjadi pada rongga retrofaring, disebabkan kuman gram positif dan gram negatif. PATOFISIOLOGI: Rongga retrofaringeal adalah suatu rongga yang terletak di belakang faring yang dibatasi oleh: fascia buccofaringeal di bagian anterior, fascia prevertebral di bagian posterior dan di sebelah lateral terdapat carotid sheath, rongga ini meluas di bagian atas dasar tengkorak dan di bagian bawah dengan mediastinum. ETIOLOGI: Kuman aerobik, misal: Streptococcus beta hemoliticus dan Staphylococcus aureus Kuman anaerobik, misal: Bacteiroides dan Veinonella

52

Kuman gram negatif, misal: Haemophillus parainfluenzae dan Bartonella henselae

INSIDENS Angka kejadian abses retrofaringeal meningkat 4,5 kali lipat pada anak-anak di bawah usia 12 tahun. Kemungkinan menyebabkan kematian mencapai 50% pada penderita meski telah mendapat terapi antibiotika. Secara keseluruhan angka kematian berkisar antara 1 2,5%. EPIDEMIOLOGI Pria > wanita (mencapai 53-55%). Kulit berwarna > kulit putih. Anak-anak > orang dewasa (terbanyak pada rentang usia di bawah 6 tahun). MANIFESTASI KLINIS: Pada anak-anak usia > 1 tahun: dijumpai gejala nyeri tenggorokan, demam, pembengkakan daerah leher, batuk dan odynophagia (rasa nyeri akibat pembengkakan di daerah orofaring). Pada anak usia < 1 tahun: dijumpai gejala demam, pembengkakan leher, intake oral yang menurun, rhinorrhea, letargi dan batuk. Pemeriksaan klinis pada bayi dan anak dijumpai: adenopati cervical, retropharyngeal bulge, demam, stridor, tortikolis, pembengkakan leher, agitasi, massa pada leher, letargi, distres pernafasan.

LABORATORIUM: Dilakukan pemeriksaan darah rutin (dijumpai leukositosis), kultur darah, kultur pus, dan CRP. PEMERIKSAAN PENUNJANG: Foto rontgent lateral leher: tampak gambaran pelebaran jaringan lunak retrofaring (setinggi C2 pelebaran mencapai 7 mm dan setinggi C6 pelebaran mencapai 14 mm), bila terjadi pelebaran space paravertebral maka akan tampak gambaran air fluid level, adanya gas dalam jaringan atau benda asing. CT Scan leher: dengan menggunakan kontras maka akan tampak lesi hipodens pada area retrofaring yang dikelilingi gambaran cincin pada bagian pinggirnya. CT scan berguna untuk melihat kasus-kasus abses retrofaringeal yang tidak terdeteksi oleh foto rontgent leher, sebagai panduan sebelum diadakannya tindakan operatif, serta berguna untuk membedakan kasus abses retrofaring atau limfadenopati retrofaring pada anak kecil.

53

Foto rontgent dada: dilakukan bila terjadi komplikasi pneumonia aspirasi atau mediastinitis.

PENATALAKSANAAN: Penggunaan Oksigen intranasal 2 l/menit IFVD dipasang bila ada tanda-tanda dehidrasi dan low intake Antibiotika: kombinasi antibiotika gram positif dan gram negatif. a. Kombinasi klindamisin dan metronidazol. Dosis klindamisin 25-40 mg/kg BB/hari IV dibagi per 6-8 jam, ditambah metronidazol 30 mg/kg BB/hari IV dibagi 8 jam. b. Kombinasi penisilin dan metronidazol. Dosis penisilin 25.000 IU/kg BB IV tiap 6 jam dan metronidazol 30 mg/kg BB/hari IV dibagi 8 jam. c. Golongan sefalosporin, misalnya Cefoxitin dosis 80-160 mg/kg BB/ hari tiap 6 jam. Intubasi dengan Endotracheal tube (ETT) dilakukan bila terjadi obstruksi pada jalan nafas dan distres pernapasan. Konsul Bagian THT untuk tindakan: * Cricothyrotomy (dilakukan bila intubasi dengan ETT gagal) * Tracheostomy (dilakukan sebagai manajemen obstruksi jalan nafas yang definitif)

KOMPLIKASI: Obstruksi jalan napas, mediastinitis, dislokasi atlantooccipital, abses epidural, sepsis, Acute Respiratory Distress Sdyndrome (ARDS), erosi dari vertebra servikal II dan III, defisit nervi kraniales (IX-XII), trombosis septik dari vena jugularis, atau perdarahan sekunder akibat dari erosi pada arteri carotid, penekanan pada arteri carotid dan vena jugularis interna, kelumpuhan syaraf wajah, kematian. PROGNOSIS Umumnya baik bila terdeteksi lebih dini, tatalaksana cepat dan komplikasi belum terjadi. Kematian dapat mencapai 40-50% bila telah terjadi komplikasi yang berat.

54

RUBELLA Batasan Rubella adalah penyakit infeksi virus akut pada anak yang umurnnya hanya memberikan gejala sistemik ringan, disertai ruam yang hampir serupa dengan ruam pada campak (rubeola) dan disertsi pembesaran kelenjar getah bening di daerah oksipital, retroaurikuler, dan servikalis posterior.

Etiologi Rubella disebabkan oleh virus RNA rantai tunggal yang tergolong dalam genus Rubivirus dan dalam famili togaviridae.

Patogenesis Mekanisme penularan melalui droplet dari sekret nasofaring penderita. Saat tubuh terpapar virus rubella virus melekat dan menginvasi sel-sel epitel saluran pernafasan atas melalui proses endositosis menyebar ke system limfatik regional secara hematogen dan bereplikasi di jaringan limfoid nasofaring dan saluran pernafasan atas viremia menyebar ke organ-organ lain, termasuk persendian hingga kapiler kulit. Proses infeksi berlangsung selama 11-14 hari, dengan masa penularan sejak 5 hari sebelum hingga 6 hari sesudah timbulnya ruam. Konsentrasi virus tertinggi ditemukan pada secret nasofaring. Virus dapat bertahan dalam sel limfosit dan monosit hingga 4 minggu setelah infeksi pertama.

Epidemiologi AS dan Kanada insidensi rendah : 4/100.000 telah diterapkan penggunaan vaksinasi rubella secara luas. Di negara berkembang angka cakupan vaksinasi rubella masih rendah, diperkirakan kejadian rubella masih cukup tinggi.

Manifestasi Klinis Gejala Prodromal: timbul l-5 hari sebelum erupsi kulit dan segera menghilang setelah erupsi kulit timbul, gejala prodromal rubella meliputi : Demam ringan (jarang >38,4

55

C), anoreksia, malaise, sakit kepala, nyeri tenggorokan, konjungtivitis, rhinitis, dan

batuk Erupsi : biasanya muncul dari daerah retroaurikular atau wajah dan meluas ke seluruh tubuh dalam 24 jam, berupa eksantema yang hampir serupa dengan campak. Eksantema yang paling sering ditemui berupa ruam makulopapular konfluens dengan gambaran morbilifurm dan dapat menimbulkan rasa gatal yang ringan. Hari kedua eksantema berangsur menghilang, berawal dari muka kemudian tubuh dan terakhir anggota gerak tanpa meninggalkan hiperpigmentasi pada kulit. Tanda paling khas : ditemukannya pembesaran kelenjar limfe di daerah retroaurikuler, servikal posterior dan occipital. Limfadenopati ini mulai tampak jelas 24 jam sebelum mam muncul dan dapat menetap hingga > 1 minggu. Pada 20% kasus dapat timbul suatu enantema berupa macula atau ptekia pada palatum molle yang dapat melebar hingga seluruh permukaan palatum, yang dikenal sebagai Forscheimer spot.

Diagnosis banding: Penyakit virus: campak, roseola infantum dan mononucleosis infeksiosa Penyakit bakteri: demam skarlatina dan meningokoksemia Erupsi obat

Diagnosis: 1. Anamnesis yang cermat mengenai perjalanan penyakit serta kontak dengan pendrita yang sama. 2. Gejala klinis 3. Pemeriksaan penunjang a. Hematologic: leucopenia, limfositosis relative dan trombositopenia ringan b. Imunoserologis: peningkatan titer antibody 4x pada hemaglutation inhibition test (HAR) atau ditemukannya antibody IgM spesifik untuk rubella dengan indeks 1

Penatalaksanaan Self limiting 56

Simptomatis: antihistamin, antipiretik

Komplikasi dan Prognosis Komplikasi rubella umumnya jarang dijupai pada anak-anak, beberapa kasus dapat disertai: neuritis, arthritis dan purpura trombositoopenik. Prognosis rubella pada anak: umumnya baik Komplikasi pada masa awal kehamilan: anomaly congenital berat. Sindrom rubella congenital merupakan penyakit menular aktif dengan keterlibatan multisystem, spectrum ekspresi klinis luas dan periode aktif pascalahir dengan pelepasan virus lama. Prognosis rubella congenital bervariasi menurut tingkat keparahan infeksi.

Pencegahan Imunitas aktif Vaksin virus hidup RA 27/3, memberikan kekebalan hidup Imunitas pasif: pemberian serum immunoglobulin (GIS) dengan dosis 0,55 ml/kgBB dalam 7-8 hari pasca pemajanan.

57

You might also like