You are on page 1of 12

SEJARAH ARSITEKTUR I

SEJARAH ARSITEKTUR HINDU BUDHA

Disusun oleh : 052 10 029 / Leginna Ayudithia 052 10 039/ Rafi Mentari 052 10 033/ Mutiara Citra Adinda Dosen : Ir. S. Handjajanti MT Kelas : A1-GANJIL

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS TRISAKTI 2010

Kata Pengatar

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, Kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik. Jakarta, 08 maret 2011

Sejarah Singkat Kerajaan Hindu dan Budha Selama era kerajaan Hindu dan Buddha terdapat dua dinasti yang berkuasa sekitar abad ke-8 hingga ke-10 yaitu dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu aliran Siwa, sementara dinasti Syailendra menganut agama Buddha Mahayana atau Vajrayana. Peninggalan dari ketdua dinasti ini berupa prasasti dan candi. Keluarga Sanjaya memiliki kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah, dan keluarga Syailendra di bagian Selatan Jawa Tengah. Sehingga dari abad ke-8 dan ke-9, candi yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat Hindu, dan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha Pembangunan candi terkait dengan kerajaan di Nusantara pada masa perkembangan agama Buddha dan Hindu di Indonesia. Terdapat ratusan prasastiprasasti yang ditanda tangani oleh raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Budha dimasa lampau diketahui dari prasasti-prasasti. Prasasti dari kerajan tertua di nusantara ditemukan di Kutei, Kalimantan Timur. Prasati ini berbentuk yupa. Yaitu tugu peringatan upacara kurban. Menurut bentuk dan tulisan yang digunakan, prasasti ini diperkirakan dibuat pada tahun 400 Masehi, prasasti ini menceritakan sebuah kerajaan di Kalimantan timur (Kutei) diperintah oleh seorang raja bernama Mulawarman. Setelah prasasti Kutei ini, terdapat ratusan prasasti yang bercerita tentang kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara sekaligus juga bercerita tentang bangunan suci (candi), bahkan ada nama candi di prasasti yang tidak bisa ditelusuri namanya dengan candi yang dikenal. Umumnya prasasti tersebut dibuat pada abad ke-9. Selain peninggalan prasasti, terdapat pula candi-candi yang didalamnya terdapat arca yang menjadi bukti keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga nencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuk. Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis. Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuanketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi

pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu, setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda. Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatra, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaankerajaan pada masa lampau. Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand. deskripsi mengenai candi di Indonesia dikelompokkan ke dalam: candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur candi di Bali dan candi di Sumatra. Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun, berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan. Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur. Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari

umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (HinduBuddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha. Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2 candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau. Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD), sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif. Situs web ini direncanakan akan memuat deskripsi seluruh candi yang ada di Indonesia, namun saat ini belum semua candi dapat terliput.

Tabel perbandingan antara Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur

Peninggalan Arsitektur Hindu-Budha Contoh peninggalan hindu-budha : Candi Kidal Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.

Candi kidal (www.google.com) Tata ruang luar 1. Karakteristik Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal Mempunyai hiasan kepala kala nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh. Mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya dua taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi. 2. Letak/lokasi Candi Kidal Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. 3. Keadaan Geografis Lingkungan geografis Candi Kidal banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan 4. Iklim Kondisi iklim selama tahun 2006 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 22,2 C - 24,5 C. Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,3 C dan suhu minimum

17,8 C . Rata kelembaban udara berkisar 74% - 82%. dengan kelembaban maksimum 97% dan minimum mencapai 37%. Seperti umumnya daerah mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan musim kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso curah hujan yang relatif tinggi. Candi Borobudur Candi Borobudur termasuk peninggalan candi agama Budha yang di bangun pada dinasti syeilendra pada tahun 824 M di Karang tengah.

Tata ruang luar 1. Karakteristik Denah Candi Borobudur ukuran panjang 121,66 meter dan lebar 121,38 meter dan tinggi 35,40 meter. Susunan bangunan berupa 9 teras berundak dan sebuah stupa induk di puncaknya. Terdiri dari 6 teras berdenah persegi dan3 teras berdenah lingkaran. Pembagian vertikal secara filosofis meliputi tingkat Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Pembagian vertikal secara teknis meliputi bagian bawah, tengah, dan atas. Terdapat tangga naik di keempat penjuru utama dengan pintu masuk utama sebelah timur dengan ber-pradaksina. Batu-batu Candi Borobudur berasal dari sungai di sekitar Borobudur dengan volume seluruhnya sekitar 55.000 meter persegi (kira-kira 2.000.000 potong batu) 2. Letak/lokasi Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Dengan letak geografis yaitu 7,608LS dan 110,204BT 3. Keadaan Geografis Lingkungan geografis Candi Borobudur dikelilingi oleh Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, Gunung Sindoro dan Sumbing di sebelah Utara, dan pegunungan Menoreh di sebelah Selatan, serta terletak di antara Sungai Progo dan Elo. Candi Borobudur didirikan di atas bukit yang telah dimodifikasi, dengan ketinggian 265 dpl. 4. Iklim Candi Borobudur memiliki iklim tropis, dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.000 meter, dan suhu rata-rata 21-32oC. Daerah dengan curah hujan tinggi.

5. Latar Belakang Sosial : sebagai sarana sosialisasi bagi masyarakat sekitarnya. Politik : Ekonomi : Religi : Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. IPTEK : Budaya : kebudayaan agama yang bersifat kongkrit hasil peninggalan kebudayaan agama budha yang merupakan akulturasi dari kebudayaan asli indonesia dan kebudayaan yang datang dari luar yaitu india

Tata Ruang Dalam Perancangan Konsep bangunan Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa. Pola Kawasan Lskda;lsdka
Candi Borobudur tersusun atas tiga buah tingkatan. Adapun tingkatan- tingkatan itu pada dasarnya dapat pula diterapkan pembagian alam semesta menjadi 3 dunia :

1. Dunia Paling Bawah : KAMADHATU (Dunia Hasrat) Dalam tingkatan ini manusia masih terikat oleh hasrat. Relief ini terdapat pada kaki candi. 2.Dunia yang lebih tinggi : RUPADHATU (Dunia Rupa) Dalam tingkatan ini manusia telah meninggalkan segala hasratnya tetapi masih terikat kepada nama dan rupa. Bagian ini terdapat pada langkah 1-5. 3. Dunia tertinggi : ARUPADHATU (Dunia Tanpa Rupa) Pada tingkatan ini manusia sudah tidak ada sama sekali nama maupun rupa. Manusia telah bebas sama sekali dan memutuskan untuk selama-lamanya segala ikatan kepada dunia fana

Denah candi borobudur (www.google.com)

Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa sanksekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jtaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar. Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut :

Bagan Relief
Tingkat Kaki candi asli Tingkat I ------------------Tingkat II -------Tingkat III -------Tingkat IV --------------Posisi/letak - ----- dinding - ----- langkan - ----- dinding - langkan - dinding - langkan - dinding - langkan Jumlah Cerita Relief Jumlah Pigura Karmawibhangga 160 pigura a. Lalitawistara 120 pigura b. jataka/awadana 120 pigura a. jataka/awadana 372 pigura b. jataka/awadana 128 pigura Gandawyuha 128 pigura jataka/awadana 100 pigura Gandawyuha 88 pigura Gandawyuha 88 pigura Gandawyuha 84 pigura Gandawyuha 72 pigura -------1460 pigura

Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara (www.google.com)

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut : Karmawibhangga Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara) Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman Karmawibhangga yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.

Karmawibhangga (www.google.com) Lalitavistara Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda. Lalitavistara (www.google.com)

Jataka dan Awadana Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesu ngguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat keBuddha-an. Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara) www.google.com Gandawyuha Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

Gandawyuha (www.google.com)

Daftar isi

http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Kidal www.google.com http://www.scribd.com/doc/30855982/Tinjauan-Sosial-Budaya-Candi-Borobudur http://architecturoby.blogspot.com/2009/01/arsitektur-masa-hindu-budha.html http://e-course.usu.ac.id/content/teknik2/sejarah/textbook.pdf

You might also like