You are on page 1of 17

KATA PENGANTAR Om Swastyastu Kami panjatkan puja dan puji syukur kehadapan Ida Sang HYang Widi Wasa

karena atas berkat dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Adapun tugas yang kami buat adalah ANATOMI FISIOLOGI KIMIA FISIKA SISTEM PERKEMIHAN PADA MANUSIA. Tugas kami ini tidak akan berhasil tanpa bantuan semua pihak. Untuk itu tidak lupa kami ucapkan terima kasih. Di dalam pembuatan tugas ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan tugas kami ini. Akhirnya dengan terselesaikannya tugas kami ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami menyelesaikan tugas kami ini.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, Desember 2010

Bab I Pendahuluan
1.1Latar belakang

Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zatzat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih). Sistem perkemihan atau sistem urinaria, terdiri atas (1) dua ginjal yang berfungsi membuang limbah dan substansi berlebihan dari darah, dan membentuk kemih, (2) dua ureter yang mengangkut kemih dari ginjal ke (3)kandung kemih (vesika urinaria), yang berfungsi sebagai reservoir bagi kemih dan (4)uretra, saluran yang menghantar kemih dari kandung kemih ke luar tubuh sewaktu berkemih. Setiap hari ginjal menyaring1700L darah. Setiap ginjal mengandung lebih dari 1 juta nefron, yaitu satuan fungsional ginjal. Ini lebih dari cukup untuk tubuh, bahkan satu ginjal pun sudah mencukupi.

1.2Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : 1. Mekanisme Renin-Angiotensin 2. Peran eritropoetin dalam pembentukan darah 3. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta system buffer

1.3Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah : 1. Memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah system perkemihan kepada kami 2. Untuk mengetahui secara luas mengenai system perkemihan

Bab II Pembahasan
A. Mekanisme Renin-Angiotensin Sistem renin angiotensin secara tradisional dipandang sebagai suatu sistem sirkulasi, SRA merupakan kaskade enzimatik dimana renin yang berasal dari sel juxtaglomerular (JG) di ginjal bereaksi dengan substrat yang disintesis di hati yaitu angiotensinogen (Aog) menjadi dekapeptida angiotensin (Ang) I, selanjutnya enzim konversi angiotensin (EKA) menghidrolisis Ang I dengan memecah dipeptida C-terminal menjadi Ang II yang berperan sebagai vasokonstriktor dan sekresi aldosteron. Tekanan darah akan meningkat sebagai efek dari Ang II dan terjadi penambahan volume karena retensi natrium sebagai efek aldosteron, selanjutnya hal ini menjadi umpan balik negatif sel JG. Walapun SRA merupakan sistem endokrin sirkulasi, jantung, dan beberapa jaringan lainnya memiliki dan atau mensinstesis komponen sistem ini, sehingga diduga terdapat fungsi pengaturan produksi komponen SRA secara lokal. 3 Konsep sistem renin angiotensin lokal pada jantung menjadi ruang penelitian yang menarik karena masih terdapat kontroversi terutama mengenai produksi komponen SRA secara lokal atau bersumber dari plasma, serta aktivasinya terjadi pada kondisi normal atau patologis. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas peranan sistem renin angiotensin lokal pada jantung. Sistem renin-angiotensin (RAS) atau sistem renin-angiotensin-aldosteron (Raas) juga merupakan sistem hormon yang mengatur tekanan darah dan air (cairan) keseimbangan. Ketika volume darah rendah, ginjal mengeluarkan renin. Renin merangsang produksi angiotensin. Angiotensin menyebabkan pembuluh darah mengerut, sehingga tekanan darah meningkat.Angiotensin juga merangsang sekresi dari hormon aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron menyebabkan tubulus dari ginjal untuk meningkatkan reabsorpsi natrium dan air ke dalam darah. Hal ini meningkatkan volume cairan dalam tubuh, yang juga meningkatkan tekanan darah. Jika sistem renin-angiotensin-aldosteron terlalu aktif, tekanan darah akan terlalu tinggi. Ada banyak obat yang mengganggu langkah-langkah yang berbeda dalam sistem ini untuk menurunkan tekanan darah. Obat ini adalah salah satu

cara utama untuk mengontrol tekanan darah tinggi (hipertensi), gagal jantung, gagal ginjal, dan efek berbahaya diabetes. Sistem ini dapat diaktifkan bila ada kehilangan volume darah atau penurunan tekanan darah (seperti pada perdarahan). Atau, penurunan konsentrasi plasma NaCl akan merangsang makula densa untuk melepaskan renin. Jika perfusi aparat juxtaglomerular berkurang densa ginjal's makula, maka sel-sel juxtaglomerular melepaskan enzim renin. Renin memotong sebuah zymogen, sebuah peptida aktif, disebut angiotensinogen, mengubahnya menjadi angiotensin I. Angiotensin I kemudian dikonversi menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) yang ditemukan terutama dalam kapiler paru-paru. Angiotensin II adalah produk bioaktif utama dari sistem reninangiotensin, mengikat pada reseptor pada sel mesangial intraglomerular, menyebabkan selsel untuk kontrak bersama dengan pembuluh darah di sekitar mereka dan menyebabkan pelepasan aldosteron dari glomerulosa zona di korteks adrenal.Angiotensin II bertindak sebagai hormon endokrin, autokrin / parakrin, dan intracrine.

B. Peran Eritropoetin dalam Pembentuka Darah Untuk peran terakhir, sebuah hormon glikoprotein (eritropoietin atau EPO) memperoleh mandat dari ginjal untuk menjalankannya. Hormon ini bersirkulasi sepanjang aliran darah menuju sumsum tulang dan menstimulasi produksi sel darah merah.Bila terjadi gagal ginjal, maka produksi EPO terhenti. Alhasil produksi sel darah merah pun turut ngadat yang nanti bisa berujung pada anemia parah. Meski pengetahuan tentang sepak terjang eritropoietin itu telah lama diketahui, namun keberadaannya sebagai agen terapi untuk mengatasi gangguan produksi darah merah belum begitu lama dikenal. Bayangkan saja, berdasarkan percobaan transfusi pada kelinci, eksistensi suatu faktor humoral yang mengatur produksi sel darah merah telah sukses dipostulasikan pada 1906. Namun sampai dengan 1950, faktor eritropoietik ini masih belum terindentifikasi. Sepuluh tahun kemudian baru diketahui bahwa faktor ini bersumber dari ginjal. Bila kita menempatkan seekor binatang atau seseorang dalam atmosfet yang kadar oksigennya rendah, erotropoitin akan mulai di bentuk dalam beberapa menit sampai beberapa jam, dan produksinya mencapai maksimun dalam waktu 24 jam. Namun, hampir tidak di jumpai adanya sel darah baru dalam sirkulasi darah sampai 5 hari kemudian. Berdasarkan fakta ini, dan penelitian lain sudah dapat ditentukan bahwa pengaruh utama eritropoitin adalah merangsang produksi proeritroblast dari sel stem hematopoetik di sumsum tulang. Selain itu, begitu proeritroblast terbentuk, maka eritropoitin juga menyebabkan sel-sel ini dengan cepat melalui berbagi tahap eritroblast, pada keadaan normal. Hal tersebut akan lebih mempercepat produksi sel darah merah yang baru.

Cepatnya produk sel ini terus berlangsung selam orang tersebut tetap dalam keadaan oksigen rendah, atau sampai jumlah sel darah merah yang telah terbentuk cukup untuk mengangkut oksigen dalam jumlah yang memadai ke jaringan walaupun kadar oksigennya rendah pada saat ini, kecepatan produksi eritropoitin menurun sampai kadar tertentu yang akan mempertahankan jumlah sel darah merah yang dibutuhkan, namun tidak sampai berlebihan. Bila tidak ada eritropoitin, sumsum tulang hanya membentuk sedikit sel darah merah. Pada keadaan lain yang ekstrim, bila jumlah eritropoitin yang terbentuk sangat banyak, dan jika tersedia sejuml;ah besar zat besi dan zat nutrisi lainnya yang diperlukan, maka kecepatan produksi sel darah merah dapat meningkat sampai 10 kali lipat atau lebih dibandingkan keadaan normal. Oleh karena itu, mekanisme eritropoitin dalam pengaturan produksi sel darah merah merupakan suatu mekanisme yang kuat. Pengaturan produksi sel darah merah peran eritropoitin Jumlah total sel darah merah dalam sistem sirkulasi diatur dalam kisaran batasd yang kecil, sehingga sejumlah sel-sel darah merah yang adekuat selalu tersedia untuk mengangkut oksigen yang cukup dari paru-paru ke jaringan, namun sel-sel tersebut tidak menjadi berlimpah ruah sehingga aliran darah tidak terhambat. Bila kita menempatkan seekor binatang atau seseorang dalam atmosfet yang kadar oksigennya rendah, erotropoitin akan mulai di bentuk dalam beberapa menit sampai beberapa jam, dan produksinya mencapai maksimun dalam waktu 24 jam. Namun, hampir tidak di jumpai adanya sel darah baru dalam sirkulasi darah sampai 5 hari kemudian. Berdasarkan fakta ini, dan penelitian lain sudah dapat ditentukan bahwa pengaruh utama eritropoitin adalah merangsang produksi proeritroblast dari sel stem hematopoetik di sumsum tulang. Selain itu, begitu proeritroblast terbentuk, maka eritropoitin juga menyebabkan sel-sel ini dengan cepat melalui berbagi tahap eritroblast, pada keadaan normal. Hal tersebut akan lebih mempercepat produksi sel darah merah yang baru. Cepatnya produk sel ini terus berlangsung selam orang tersebut tetap dalam keadaan oksigen rendah, atau sampai jumlah sel darah merah yang telah terbentuk cukup untuk mengangkut oksigen dalam jumlah yang memadai ke jaringan walaupun kadar oksigennya rendah pada saat ini, kecepatan produksi eritropoitin menurun sampai kadar tertentu yang akan mempertahankan jumlah sel darah merah yang dibutuhkan, namun tidak sampai berlebihan. Bila tidak ada eritropoitin, sumsum tulang hany membentuk sedikit sel darah merah. Pada keadaan lain yang ekstrim, bila jumlah eritropoitin yang terbentuk sangat banyak, dan jika tersedia sejuml;ah besar zat besi dan zat nutrisi lainnya yang diperlukan, maka kecepatan produksi sel darah merah dapat meningkat sampai 10 kali lipat atau lebih dibandingkan keadaan normal. Oleh karena itu, mekanisme eritropoitin dalam pengaturan produksi sel darah merah merupakan suatu mekanisme yang kuat.

C. Pengaturan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Pengaturan keseimbangan Cairan Dan Elektrolit. Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

a. Pengaturan volume cairan ekstrasel. Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal. Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memeprthatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara: mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR). Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjalJumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem ReninAngiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan

collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem ReninAngiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali normal. b. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel. Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah). Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui: Perubahan osmolaritas di nefron di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik. Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH). Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH) peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang

mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan. Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal. Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air. Perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit. Pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit dalam tubuh diatur oleh ginjal, kulit, paru, dan gastrointestinal. Selain itu, pengaturan keseimbangan cairan dapat meialui sistem atau mekanisme rasa haus yang harus dikontrol oleh sistem hormonal, yakni ADH (anti diuretik hormon), sistem aldosteron, prostaglandin, dan glukokortikoid. Beberapa organ yang berperan dalam pengaturan keseimbangan elektrolit : a. Ginjal Ginjal merupakan organ yang memiliki peran cukup besar dalam pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat pada fungsi ginjal, yakni sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam darah. pengatur keseimbangan asam-basa darah, dan ekskresi bahan buangan atau kelebihan garam. Proses pengaturan kebutuhan keseimbangan air ini, diawali oleh kemampuan bagian ginjal seperti glomerulus sebagai penyaring cairan. Rata-rata setiap satu liter darah mengandung 500 c-c plasma yang mengalir melalui glomerulus, 10

persennya disaring keluar. Cairan yang tersaring (filtrat glomerulus), kemudian mengalir melalui tubuli renalis yang sel-selnva menyerap semua bahan yang dibutuhkan. Keluaran urine yang diproduksi ginjal dapat dipengaruhi oleh ADH dan aldosteron dengan rata-rata 1 ml/kg/ bb/jam.

b. Kulit Kulit merupakan bagian penting dalam pengaturan cairan yang terkait dengan proses pengaturan panas. Proses ini diatur oleh pusat pengatur panas yang disarafi oleh vasomotorik dengan kemanpuan mengendalikan arteriol kutan dengan cara vasodilatasi dan vasouonstriksi. Proses pelepasan panas dapat dilakukan dengan cara penguapan. Jumlah keringat yang dikeluarkan tergantung pada banyaknya darah yang mengalir melalui pembuluh darah dalam kulit. Proses pelepasan panas lainya dilakukan melalui cara pemancaran yaitu dengan melepaskan panas ke udara sekitarnya. Cara tersebut berupa cara konduksi, yaitu pengalihan panas ke benda yang disentuh dan cara konveksi, yaitu dengan mengalirkan udara yang telah panas ke permukaan yang lebih dingin.

Keringat merupakan sekresi aktif dari kelenjar keringat di bawah pengendalian saraf simpatis. Melalui kelenjar keringat ini, suhu dapat diturunkan dengan cara pelepasa.n air yang jumlahnya kurang lebih setengah liter sehari. Perangsangan kelenjar keringat yang dihasilkan dapat diperoleh dari aktivitas otot, suhu lingkungan, melalui kondisi tubuh yang panas.

c.

Paru

Organ paru berperan dalam pengeluaran cairan dengan menghasilkan insensible water loss kurang lebih 400 ml/hari. Proses pengeluaran cairan terkait dengan respons akibat perubahan terhadap upaya kemampuan bernapas.

d.

Gastrointestinal

Gastrointestinal merupakan organ saluran pencernaan _yang berperan dalam mengeluarkan cairan melalui proses penyerapan dan pengeluaran air. Dalam kondisi normal, cairan yang hilang dalam sistem ini sekitar 100-200 ml/ hari.

e.

Sistem Endokrin a) ADH

Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air sehingga dapat mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh hipotalamus yang ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dengan meningkatkan osmolaritas dan menurunkan cairan ekstrasel.

b)

Aldosteron

Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjar adrenal di tubulus ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya perubahan konsentrasi kalium, natrium, dan sistem angiotensin renin.

c)

Prostaglandin

Prostagladin merupakan asam lemak yang ada pada jaringan yang berlungsi merespons radang, pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan pengaturan pergerakan gastrointestinal. Pada ginjal, asam lemak ini berperan dalam mengatur sirkulasi ginjal.

d)

Gukokortikoid

Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi natrium dan air yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium.

e)

Mekanisme Rasa Haus

Mekanisrne rasa haus diatur dalam rangka memenuhi kebutuhan cairan dengan cara merangsang pelepasan renin yang dapat menimbulkan produksi angiotensin II, sehingga merangsang hipotalamus sehingga menimbulkan rasa haus.

D. Komposisi Cairan Tubuh

Cairan dalam tubuh meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase cairan tubuh ini bervariasi antara individu, sesuai dengan jenis kelamin dan umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dari total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relatif lebih besar dibandingkan orang dewasa dan lansia. Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di luar sel (cairan ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma. Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan cairan atau ion antar kompartemen sehingga terjadi keseimbangan kembali.

Ion

Cairan Ekstraseluler Plasma Cairan Interstitial 143 4 3 2 152 113 27 2 1 7 2 152

Cairan Intraseluler

Na K Ca Mg TOTAL Cl HCO3 HPO4 SO4 As. Organik Protein TOTAL

140 4.5 5 2.5 152 110 24 2 1 6 18 152

10 135 10 25 182 5 10 100 5 10 50 180

Perhitungan keseimbangan cairan Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi kondisi ginjal dalam melakukan fungsi ekskresinya dinamakan klirens. Klirens substansi A diperlihatkan melalui persamaan berikut : klirens sama dengan konsentrasi A dalam urine dikalikan dengan volume urine pada waktu tertentu dibagi dengan konsentrasi A dalam plasma.

Klirens = ( konsentrasi A urine ) x ( volume urine pada suatu waktu tertentu )

Konsentrasi A plasma Sebagai contoh, jika konsentrasi substansi A dalam plasma arterial adalah 0,1 mg / ml, konsentrasi substansi yang sama dalam urine adalah 50 mg / ml dan volume urine adalah 1,0 ml / menit. Ini berarti bahwa seluruh 500 ml darah dibersihkan dari substansi tersebut dalam waktu satu menit. Dalam tubuh, beberapa substansi sebenarnya akan dikeluarkan seluruhnya dari darah pada pada saat darah melintas ginjal satu kali. Pada contoh di atas, jika hanya 50 % dari substansi tersebut yang dikeluarkan dari dalam darah, maka konsentrasinya dalam urine akan sebesar 25 mg / ml dan klirens ginjal adalah 250 ml / menit. Kreatinin klirens ginjal untuk setiap substansi dapat diukur, tetapi salah satu cara pengukuran yang terbukti dan bermanfaat adalah klirens kreatin. Kreatin merupakan produk limbah endogen daro otot skeletal yang diekresikan melalui filtrasi glomerulus dan tidak direabsorpsi atau diekresikan oleh tubulus ginjal. Karena itu klirens kreatin merupakan cara pengukuran laju filtrasi glomerulus ( GFR : Glomerular Filtration Rate ) yang baik. GFR orang dewasa yang normal adalah sekitar 100 hingga 120 ml / menit ( 1,67 hingga 2,00 ml / detik ).

E. SISTEM BUFFER

1. Sistem Buffer Bikarbonat

Sistem bufer bikarbonat secara kuantitatif merupakan sistem yang penting dalam plasma darah. Ini merupakan kombinasi dari asam karbonat [H2CO3] dan garam bikarbonat [HCO3-] (basa konyugat asam). Namun demikian, asam itu sebenarnya dicerminkan oleh [CO2 ] yang ada, sehingga rasio [HCO3] terhadap [CO2] menentukan pH. Apabila [HCO3] naik maka pH naik, dan apabila [CO2 ] turun berarti bersifat lebih asam. Secara klinis, pH dan [CO2] gampang diukur, dan tingkat [HCO3- ] dapat dihitung.

Tingkat [HCO3-] menggambarkan apakah ada kelebihan basa atau kekurangan basa di dalam darah. Oleh karena itu seekor hewan yang dalam keadaan asidosis memiliki kekurangan basa, dan dapat diberi berbagai bentuk bikarbonat [HCO3-] untuk menaikkan pH kembali normal. Sebaliknya, seekor hewan yang sedang dalam keadaan alkalosis, hendaknya memperoleh asam seperti NH4CL untuk menaikan [H+] yang pengaruhnya akan menaikkan CO2 plasma dan menurunkan pH kembali ke keadaan normal.

Dalam keadaan normal,hewan dapat mengatur jumlah CO2 di dalam darah dengan menaikkan atau menurunkan laju pernafasan (laju ventilasi pulmoner), yang secara otomatis dikontrol oleh pusat pernafasan yang terletak di otak. [HCO3] di kontrol oleh ginjal.

2. Sistem bufer fosfat

Sistem buffer fosfat merupakan salah satu yang paling penting dalam mengontrol pH dari sel-sel tubuh karena konsentrasi fosfat yang utama terletak intraseluler. Akan tetapi hal itu juga membantu mengontrol pH dalam cairan ekstraseluler terutama di dalam tubulus ginjal.

3. Sistem bufer protein

Sistem ini juga bekerja terutama didalam sel.S istem ini mencakup protein hemoglobin (Hb) yang terdapat dalam butir darah merah dalam sirkulasi. Oleh karena itu,Hb merupakan komponen penting dalam pengikatan ion-ion H+ untuk menurunkan keasaman dan memberikan H+ untuk menaikan keasaman manakala dibutuhkan (Frandson, 1992).

BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN Kesimpulan dari pembuatan makalah anatomi, fisiologi, kimia, fisika system urinary adalah sebagai berikut : System urinary adalah salah satu simtem yang berhubungan dengan system eliminasi, yang dieleminasikan adalah sia-sisa metabolism dalam tubu yang berupa urin. Sistem urinary memiliki beberapa organ yang memiliki peran dalam mengekskresikan urin yaitu: A. Renal B. Ureter C. Vesica urinaria D. Uretra

Urin dibentuk di ginjal. Dalam pembentukannya mengalami 3 proses yaitu :


A. Proses filtrasi

B. Proses reabsorpsi C. Augmentasi (Pengumpulan).

2. SARAN Saran dalam pembuatan makalah ini adalah diharapkan untuk mahasiswa keperawatan dapat mengenal dan memahami anatomi dan fisiologi system urinary. Dimana sebelum mempelajari gangguan system urinary beserta asuhan keperawatannya mahasiswa wajib terlebiha dahulu mengenal betul anatomi, fisiologi dari system urinary. Dan mahasiswa wajib mengetahui bagaimana proses pembentukan urin. Dimana urin adalah salah satu produksi dari system urinary.

DAFTAR PUSTAKA Brunner and suddarth, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, Vol.2. Jakarta: ECG Frandson, F.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. Jakarta: EGC Pearce, Efelin C. 2006. Anatomi dan fisiologi untuk paramedic.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Jakarta: EGC Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

WWW.Google.com Tambayong,Jan. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan.Jakarta : EGC W. F. Ganong. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

You might also like