You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Perumusan suatu tata susunan atau hierarki sumber tertib hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1950 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 hingga saat ini. Dan produk perundang-undangan yang menerangkan mengenai sumber tertib hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terakhir dan saat ini sudah tergantikan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebelum muncul UU No. 12 tahun 2011 ini, telah ada Ketetapan UU No. 10 Tahun 2004 & MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR RI mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia; dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Namun, dari produk perundang-undangan yang memperjelas tata susunan dari sumber hukum di Indonesia tersebut, belum ada yang memenuhi kriteria yang tepat sebagai perunut hierarki peraturan perundang-undangan. Bila merujuk kepada teori para ahli hukum mengenai hierarki norma hukum seperti Teori Hans Kelsen, Stufentheorie yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapislapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, kemudian norma yang lebih tinggi tersebut bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi darinya, demikian seterusnya hingga sampai pada Norma Dasar (Grundnorm) yang bersifat fiktif dan hipotesis karena ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sehingga menjadi gantungan bagi norma dibawahnya, tata susunan sumber hukum di Indonesia telah memenuhi kriteria tersebut. 1.2. Tujuan Untuk mengetahui tata susunan norma hukum pada umumnya serta norma hukum yang ada di Indonesia dan system norma hukum yang ada di Indonesia.
1

BAB II PERMASALAHAN
2.1. Rumusan Masalah Agar pembahasan ini dapat berjalan dengan lancar dan terarah maka kami menetapkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan Norma dan Norma Hukum?
2. Bagaimana Tata Susunan Norma Hukum menurut Hans Kelsen? 3. Bagaimana Tata Susunan Norma Hukum Hans Nawiasky? 4. Bagaimana Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia?

BAB III PEMBAHASAN


3.1. Pengertian Norma dan Norma Hukum
2

Kata norma dari segi etimologinya berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law. Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab, qoidah berarti ukuran atau nilai pengukur. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia. Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi: (i) (ii) kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, mubah (permittere); anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah; (iii) anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut makruh; (iv) (v) perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut haram atau larangan (prohibere). Berlakunya suatu norma senantiasa dapat dikembalikan kepada berlakunya norma yang lebih tinggi, demikian selanjutnya, sehingga akhirnya sampai pada grundnorm. Norma hukum adalah norma yang dibuat oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang. Norma hukum sangat tegas. Bagi siapa yang melanggar hukum akan memperoleh sanski hukum. Hukuman akan dijatuhkan setelah melalui proses pengadilan. Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral.
3

adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) dan yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms). Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak, atau individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan yang didalam bahasa asingnya disebut dengan das Sollen (ought to be/ought to do). Contoh norma hukum sebagai berikut: a. Barang siapa yang dengan sengaja mengambil jiwa orang lain, dipidana karena membunuh dengan hukuman setinggi tingginya 15 tahun (norma hukum pidana). b. Orang yang tidak memenuhi suatu keterikatan yang diadakan, diwajibkan mengganti kerugian, misalnya jual beli, sewa-menyewa, ( norma hukum perdata). c. Suatu persoalan terbatas harus didirikan dengan akta notaris dan disetujui oleh Departemen Kehakiman (norma hukum dagang). 3.2.Tata Susunan Norma Hukum (Hans Kelsen) Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang seharusnya, juga
4

keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan seharusnya tidak bisa direduksi ke dalam aksiaksi alamiah. Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan seharusnya dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat seharusnya tidak bisa diturunkan dari kenyataan, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan seharusnya, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian. Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi. Berikut hierarki norma hukum yang dijelaskan Kelsen(Stufentheorie Kelsen): Norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm) (Kelsen 1945:113). Gambar teori Hans Kelsen Grunnorm Norm Norm Norm Norm
5

3.3.

Tata Susunan Norma Hukum (Hans Nawiasky) Hans Nawiasky menyempurnakan teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen mengembangkan teori Hirearki Norma Hukum (stufentheorie Kelsen) bahwa norma-norma hukumj itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirearki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipothesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Hans Nawiasky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan:

Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara) Formell Gezets (UU Formal) Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi). Menurut Teori K.Nawiasky grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah

(menurut teori Kelsen)


sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis; ia tidak ditetapkan (gesetz), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, sifatnya meta-juristic. Gambar teori Nawiasky

Staatsfundamentalnorm Staatsgrundgezets Formell Gezets Verordnung & Autonome Satzung


6

3.4.Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia Aplikasi teori Kelsen dan Nawinsky dalam hierarki sumber hukum di Indonesia terbukti dari susunan normatif yang terstruktur dimulai dari Pancasila yang berada dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm berada ditempat teratas dari tata hukum di Indonesia yang memiliki kedudukan norma hukum tertinggi yang bersifat pre-supposed dan merupakan landasan dasar filosofis yang bersifat garis besar dan bersifat umum serta norma hukum tunggal. Kemudian Batang tubuh UUD 1945 yang merupakan Staatsgrundgestz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang menjadi garis besar kebijaksanaan negara dalam tata cara membentuk peraturan perundangundangan yang mengikat umum dan norma hukum tunggal. Staatsgrundgesetz tak hanya pada Batang tubuh UUD 1945 saja melainkan terdapat dalam ketetapan MPR. Kemudian penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm atau Norma Dasar negara dan batang tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR adalah Staatsgerundgesetz yang merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan pokok negara, menjadikan kedua kelompok norma ini tidak dimasukan dalam tata susunan perundang-undangan. Karena sifat kedua kelompok norma tersebut masih berupa garis pokok yang bersifat
7

umum dan berupa norma tunggal yakni norma yang berdiri sendiri yang isinya berupa suruhan (das sollen) serta masih belum dilekatkan pada suatu sanksi. Kedua kelompok norma ini hanya menjadi rujukan atau sumber dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Formell gesetz atau Undang-Undang dan Verordnung & Autonome Satzung. Pancasila sebagai norma dasar negara dan Batang tubuh UUD 1945 serta Ketetapan MPR sebagai Staatsgerundgesetz yang merupakan norma tertinggi dalam suatu tata susunan sumber hukum, maka seharusnya tidak dimasukan kedalam peraturan perundang-undangan seperti halnya yang telah diatur dalam UU no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan karena jika dimasukkan ke dalam isi dari hierarkki sebagaimana terdapat dalam pasal 7 UU no 12 tahun 2011, maka dapat dianggap sebagai peraturan yang adapt diubah. Tentu hal ini tidaklah benar, Pancasila merupakan landasan dari seluruh norma yang ada di Indonesia serta merupkan jiwa pribadi bangsa Indonesia yang telah disepakati untuk tidak diubah oleh siapapun termasuk para pejabat Negara. Kemudian yang menjadi tata susunan atau hierarki yang seharusnya dirumuskan dalam Undang-undang yang mengatur tentang tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah dimulai dari undang-undang (Formell Gesetz) karena norma tersebut telah dibuat secara terperinci dan konkrit serta dapat berlaku di masyarakat. Bila dilihat dari unsur norma menurut Ruiter yang mana suatu norma harus mengandung: a. cara keharusan berperilaku disebut operator norma, b. seseorang atau kelompok orang addresat disebut subyek norma, c. perilaku yang dirumuskan disebut obyek norma, dan d. syarat-syarat disebut kondisi norma. Maka dalam norma Formell gesetz sisi addresat atau subjek norma dan hal yang diatur norma atau obyek norma, Undang-undang harus bersifat umum dan abstrak yang mana berlaku bagi masyarakat luas serta jelas apa yang diatur dalam
8

Undang-undang tersebut. Dan bila ditinjau dari segi norma daya lakunya, Undangundang harus bersifat terus-menerus (dauerhaftig). Berdasar pada penjelasan di atas, terlihat bila didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti. Karena esensi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah

pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan, menjelaskan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Hal-hal tersebut mencerminkan asas, yaitu: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan;
9

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud di atas, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Dengan begitu diharapkan Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu: a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika. Oleh karena itu UU no 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan digantikan oleh UU no 12 Tahun 2011. Salah satu, pasal yang berubah yaitu tentang hieraki peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam pasal 7 ayat 1, berbunyi : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

10

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Norma hukum adalah norma yang dibuat oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang. Norma hukum sangat tegas. Bagi siapa yang melanggar hukum akan memperoleh sanski hukum. Hukuman akan dijatuhkan setelah melalui proses pengadilan. 2. Pancasila merupakan Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm berada ditempat teratas dari tata hukum di Indonesia yang memiliki kedudukan norma hukum tertinggi. 3. Batang tubuh UUD 1945 yang merupakan Staatsgrundgestz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang menjadi garis besar kebijaksanaan negara dalam tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum dan norma hukum tunggal. 4. Ketetapan MPR juga termasuk Staatsgrundgesetz. 5. Sedangkan peraturan seperti UU dan peraturan dibawahnya merupakan Formell gesetz dan Verordnung & Autonome Satzung. Peratura-peraturan tersebut lebih menekankan ke teknis serta praktis dari peraturan diatasnya.
11

6. UU no 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan digantikan oleh UU no 12 Tahun 2011. Salah satu, pasal yang berubah yaitu tentang hieraki peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam pasal 7 ayat 1, berbunyi : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. _______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. _______________. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. id.wikipedia.org/wiki/Teori_Hukum_Murni (diakses pada tanggal 8 Oktober 2011 pada pukul 09.07 WIB) Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961. Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun.
12

You might also like