You are on page 1of 36

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kecamuk perang saudara seringkali terjadi di daratan Afrika. Apalagi, adanya pemilihan umum di tahun 2010 dan 2011 di Benua Hitam tersebut paling rawan terjerumus konflik berkepanjangan pasca pemilihan umum, tak terkecuali Pantai Gading. Negara yang terletak di bagian barat Afrika ini juga mengalami perang saudara, bahkan sebelum adanya isu politik seperti pemilihan umum. Tepatnya pada 29 september 2002 sampai akhir 2004, negara ini juga mengalami konflik perang saudara. Perang saudara pada masa itu bukan dipicu akibat pemilu, melainkan kecemburuan sosial. Karena Pantai Gading terkenal sebagai penghasil kakao terbesar di dunia, banyak warga dari negara negara tetangga seperti Mali, Burkina Faso dan Guinea datang kesana. Para pendatang yang rata rata tidak berpendidikan dan miskin lalu tinggal di bagian utara Pantai Gading. Ironisnya, Pemerintah Pantai Gading pun bersikap permisif terhadap para pendatang, karena menganggap para pendatang tersebut membawa dampak positif bagi perekonomian Pantai Gading. Dalam beberapa kasus, pemerintah dengan mudahnya memberikan status kewarganegaraan kepada para pendatang. Kemesraan antara pemerintah dan para pendatang inilah yang menyemai benih-benih kebencian dihati penduduk asli.

Warga penghuni daerah selatan pun melawan dan menunjukkan rasa kekecewaannya terhadap pemerintah. Sempat terjadi beberapa kali aksi pertikaian rasialis sebelum akhirnya pecah perang saudara karena warga utara melakukan pemberontakan. Tak kurang dari 1500 orang tewas dalam perang saudara yang diakhiri dengan kesepakatan damai pada 4 Maret 2007. Sayangnya, kesepakatan damai tersebut hanya hitam diatas putih. Pada kenyataannya, Pantai Gading tetap terbelah menjadi Utara dan Selatan1. Perang saudara berkecamuk lagi pasca pemilihan presiden di Pantai Gading. Perang tersebut pecah akibat terbaginya dua kubu masyarakat beserta masing masing tokoh yang merpresentasikan mereka. Dari kawasan Pantai Gading utara yang terdiri dari para pendatang pendatang baru di negara penghasil kakao terbesar di dunia itu mendukung Alassane Ouattara, seorang mantan Perdana Menteri berusia 69 tahun yang diakui oleh PBB dan dunia Internasional, sesuai dengan keputusan Komisi pemilihan Umum (KPU) Pantai Gading yang diutarakan pada Desember 2010, melawan seorang Laurent Gbagbo, seorang tokoh incumbent yang juga mencalonkan diri sebagai presiden Pantai Gading Pada pemilihan Umum yang dilaksanakan pada 28 November 20102. Konflik pun akhirnya pecah tepatnya sebulan setelah pemilihan presiden berlangsung. Insiden pertama kali terjadi di kota Abidjan, ketika massa yang pro Ouattara (yang sebgian besar adalah para penduduk Pantai Gading Utara)
1

Stearn, Scott. Krisis Politik di Pantai Gading Semakin Gawat. http://www.voanews.com/indonesian/news/Krisis-Politik-di-Pantai-Gading-Semakin-Gawat119124849.html, diakses 8 Maret 2012 2 Anonim, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2010/12/101217_pantaigading_perang.shtml, diakses 7 Maret 2012

menggelar aksi demonstrasi menuntut turunnya Gbagbo yang sebelumnya sudah terlebih dahulu menjadi presiden3. Gbagbo dan pasukan setinya menolak untuk mundur dan menyerahkan jabatannya kepada Ouattara, karena ia menganggap terpilihnya Ouattara sebagai presiden merupakan hasil dari kecurangan. Ungkapan Gbagbo ini agaknya didukung oleh pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK) Pantai Gading yang ternyata adalah pro-Gbagbo, menuding daerah Utara yang menjadi basis suara Ouattara melakukan kecurangan. Akibatnya, insiden ini mengundang perhatian dunia karena Dunia Internasional beranggapan Ouattara adalah pemimpin sah dan diakui dan berniat untuk membantu pantai Gading menurunkan Gbagbo dan menyerahkan kekuasaannya. Ouattara yang mendapat dukungan Internasional meskipun menjadi dalang dibalik pembantaian 800 warga Duekouse saat tentaranya merebut wilayah tersebut. Ouattara menutup semua akses ke Bank Sentral yang mengakibatkan kegiatan dagang dan ekonomi seluruh negeri berhenti. Inilah alasan perang saudara pecah di Pantai Gading. Para tentara dan massa yang pro-Gbagbo melakukan aksi ini atas dasar ketidak puasan terhadap keputusan dunia Internasional yang mendukung Ouattara secara sepihak. Mereka yang setia kepada Gbagbo memberikan dukungan penuh

kepada Gbagbo dengan melindungi sang Presiden yang kalah dari massa yang menuntut dirinya turun dan menyerahkan jabatan kepresidenan kepada Ouattara. Pantai Gadaing kini berada di persimpangan jalan. Di satu jalan Laurent Gbagbo dan pendukungnya bersikeras untuk mempertahankan kekuasaan. Ini memicu
3

ibid.

kekerasan, semakin banyak warga sipil yang terbunuh dan terluka. Tetapi, Pantai Gading juga dapat menempuh jalan lain. Gbagbo dapat meniru pemimpin lain, dengan menolak menggunakan kekerasan dan mewujudkan permintaan rakyat. Tetapi Gbagbo tetap bersikap keras kepala dan menolak untuk mengundurkan diri. Juru bicaranya mengatakan, kalau perlu, Gbgagbo akan menghadapi kendaraan berlapis baja dengan tangan kosong. Tidak ada lagi kalangan yang mengandalkan diplomasi menyelesaikan konflik di Pantai Gading. Semua upaya Uni Afrika sebagai perantara gagal. Terakhir, Outtara menuduh juru rundingnya memihak pada Gbagbgo. Sebuah intervensi militer seperti di Libya tidak diinginkan oleh negara tetangga. Ouattara berharap, Gbagbo akan kehabisan uang dan kehilangan mitra dalam waktu dekat. Beragam cara pun diupayakan demi tercapainya kesepakatan damai guna menghentikan perang saudara akibat perselisihan pasca pemilihan umum tersebut. Seperti dengan rekonsiliasi domestic (yang difasilitasi mediator internasional) dan peran aktor regional dalam mengatasi perang saudara tersebut. Dan adanya dukungan diplomatik dan militer dari luar negara, khususnya masyarakat Internasional dibutuhkan untuk mengatasi perang saudara tersebut.

I.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan penelitian yang akan diangkat adalah: Bagaimana cara masyarakat internasional mengatasi perang saudara di Pantai Gading? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Memenuhi tugas mata kuliah Seminar Masalah HI

b. Mengetahui secara mendalam cara penyelesaian perang saudara di Pantai Gading secara eksternal dan internal.

1.4 MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah: a. Bisa menjelaskan fenomena yang terjadi dalam suatu kasus b. Mengetahui apa motif munculnya perang saudara c. Menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu dengan baik.

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 STUDI TERDAHULU Sebelum penulis meneliti kasus di Pantai Gading, terlebih dahulu akan dijelaskan pembanding kasus yakni perang saudara yang terjadi di Kenya pada 2007 dan upaya penyelesaiannya untuk memudahkan penjelasan. Di Kenya, tepatnya pada tahun 2007 terjadi konflik yang berujung perang saudara, serupa dengan yang terjadi di Pantai Gading. Apa yang terjadi di Kenya memiliki ciri ciri yang sama dengan di Pantai Gading, yakni pemicu membesarnya konflik adalah kerapkali disebabkan tidak berpihak nya hasil pemilu kepada tokoh incumbent4. Mwai Kumbaki yang menjadi tokoh incumbent di Kenya menyatakan kekecewaannya teerhadap hasil pemilu di Kenya pada tahun 2007 dan menggerakkan massa untuk turun ke jalan. Krisis di negara Kenya yang timbul ini sebagai akibat adanya isu-isu politik yang terpolarisasi, adanya manipulasi politik, kesenjangan sosial dan ekonomi, tingginya angka kriminal serta kurangnya kesempatan ekonomi terkadang memicu pertikaian di Kenya selama pemilu berlangsung, dan bisa bertambah panjang setelah pemilu berakhir5.

Clark, Phil (2009) 'Tensions in Transitional Justice.' In: Clark, Phil and Kaufman, Zachary D, (eds.), After Genocide: Transitional Justice, Post-Conflict Reconstruction and Reconciliation in Rwanda and Beyond. London: Columbia University Press Diaz, Elio (2011) Latar Belakang Krisis Politik di Kenya Pasca Pemilu 27 Desember 2007. http://repository.upnyk.ac.id/1393/, diakses 7 Maret 2012

2.2 KAJIAN TEORI DAN KONSEP 2.2.1 TEORI CIVIL WAR Paul Collier6 menyebutkan bahwa kondisi perang sipil disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kondisi ekonomi, seperti ketergantungan pada ekspor komoditas primer dan pendapatan nasional yang rendah. Sebaliknya, dan mengherankan, bila ditinjau dari segi sosial, seperti ketimpangan sosial, kurangnya demokrasi, dan perpecahan etnis dan agama, memiliki sedikit efek terhadap risiko sistematis terhadap terjadinya perang saudara. Ada perbedaan yang sangat terlihat dari persepsi popular dan analisis dari segi ekonomi7. Perspesi popular menyatakan bahwa adanya pemberontakan terjadi karena protes yang murni didorong oleh rasa ketidak puasan. Sedangkan ekonom menjelaskan bahwa fenomena penyebab konflik (pemberontakan) adalah suatu bentuk kejahatan yang terorganisir. Paul Collier dan Anke Hofler (1999a; b) menyatakan bahwa perang saudara bisa dibedakan atas 2 motif8, yakni "justice-seeking" dan "loot-seeking". Dalam makalah yang lebih baru, Collier dan Hoeffler (2000; 2001; 2002) menyebutnya sebagai "greed" dan "grievance"9. Greed disini adalah sebagai keinginan untuk keuntungan pribadi. Dikatakan bahwa keinginan tersebut difasilitasi dengan motif.

Collier, Paul (2006) . Economic Causes of Civil Conflict and their Implications for Policy., Department of Economics Oxford University. p.1 7 Id. at 2. 8 Collier, P., A. E. Hoeffler, and M. Sderbom. 1998. On the Duration of Civil War and Postwar Peace. Centre for the Study of African Economies, Discussion Paper 98/8. 9 Collier, P. and A. E. Hoeffler. 1998. On the Economic Causes of Civil War, Oxford Economic Papers, 50:563-73

Sedangkan grievance menurut Collier dan Hoeffler disini adalah sebagai ungkapan keitdak puasan suatu pihak atas hasil yang telah muncul di dalam suatu ranah. Mirjam E. Srli menyatakan bahwa ada beberapa variabel yang dijadikan sebagai alat untuk menganalisis perang saudara10 yang juga dilihat dari aspek ekonometris. variabel variabel tersebut adalah: a. War Starts Variabel yang pertama adalah kapan perang dimulai.

Awal perang disini adalah saat perang saudara dimulai Selama Periode tertentu. Perang sipil yang Didefinisikan sebagai konflik internal yang terjadi pada masa tertentu, di mana pertempuran paling tidak melibatkan kematian setidaknya ratusan orang terkait sipil dan militer terjadi per tahun (Singer dan Small (1984, 1994)). Variabel pertama ini dapat dikategorikan sebagai penyebab konflik dan perang saudara yang bisa berasal dari Eksternal maupun Internal, tergantung jenis kasus. b. GDP per capita Variabel selanjutnya adalah GDP (PDB) per kapita. Mengapa? Karena dengan melihat pendapatan per kapita, peneliti bisa melihat tingkat kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat (dalam hal ini Afrika) yang

10

Srli, Mirjam E., 2002. 'Resources, Regimes and Rebellion' in . New Orleans, Louisiana . Tulisan ini juga telah dimodifikasi oleh Paul Collier dan Anke Hoeffler di dalam sebuah Jurnal berjudul Economic and Political Causes of Civil Wars in Africa: Some Econometric Results yang ditulis oleh John C. Anyanwu, Desember 2002.

bisa menjadi penyebab terjadinya konflik dan perang saudara yang implikasinya kedalam. c. Primary commodity exports Dengan melihat apa yang menjadi komoditas utama suatu negara, maka suatu tingkat kesenjangan akan dapat dilihat bila hasil komoditas utama ini dikaitkan dengan tingkat pendapatan masyarakat. Seperti contoh Pantai Gading, komoditas utamanya adalah kakao, dan dengan komoditas ini maka dapat dilihat tingkat pendapatan perkapita nya, tetapi juga tergantung dari kebijakan lokal. d. Population Variabel ini digunakan untuk melihat jumlah seluruh populasi pada suatu negara tertentu. Populasi juga mempengaruhi tingkat pendapatan perkapita. Pada Pantai Gading, populasi penduduknya adalah sekitar 21 juta jiwa (2009). Sumber yang digunakan adalah data terbaru dari World Bank11. e. Social fractionalization Dalam penjabarannya, Srli menggabungkan antara unsur etnis dan unsur religi dalam variabel ini, untuk unsur Etnis, beliau mengukurnya dari indeks fraksionalisasi etno-linguistik, dimana ada tidaknya perbedaan penguasaan bahasa. Sedangkan dari Unsur religi beliau

mengukurnya dengan menggunakan bantuan data dari Barrett (1982) pada

11

Dikutip dari http://data.worldbank.org/country, diakses 7 Maret 2012

peng klasifikasian agama agama yang terbagi atas 9 jenis; Muslim, Protestan, Katholik, Hindu, Yahudi, Buddha, Agama Timur (selain

Buddha), Agama adat dan Atheisme (tak menganut agama manapun). f. Ethnic dominance Dengan menggunakan data etno-linguistik dari sumber

(AtlasNaradov Mira, 1964), maka data terseut digunakan untuk mengukur variabel dominasi etnis yang berada di dalam suatu negara. Di Pantai Gading, etnis yang mendominasi adlah etnis Akan (42,1% dari populasi). g. Local, regional and International actors Variabel ini digunakan untuk melihat seberapa banyak aktor aktor lokal, regional dan internasional yang terdapat di dalam suatu lingkungan yang berada disekitar negara tersebut. Untuk kasus Pantai Gading, adanya aktor lokal seperti tokoh adat, aktor regional seperti ECOWAS (Economic Community of West African States) serta aktor internasional seperti negara negara tetangga yang menjadi DK tidak tetap PBB seperti Nigeria dan Afrika Selatan serta PBB berpengaruh terhadap bagaimana penyelesaian konflik dan perang saudara serta permasalahan ekonomi.

Patrick Chabal mendefinisikan penyebab konflik Afrika kebanyakan adalah karena kelalaian negara12. Dalam hal ini, kebanyakan pemerintah

12

Patrick Chabal, 2009. Africa, The Politics of Suffering.KwaZulu-Natal Press, South Africa.

10

telah gagal untuk mengimplementasikan pengembangan kebijakan yang akan membawa manfaat untuk proporsi yang besar dari populasi masyarakat mereka. Hal ini juga bahwa mengindikasikan bahwa penguasa telah menggunakan negara untuk tujuan yang menjurus kea rah komersialisasi, sedikit demi sedikit mengikis fungsi dasar suatu struktur pemerintahan dalam suatu negara. Seiring dengan melemahnya lembaga negara , dan terutama lingkungan sosial , kesehatan dan pendidikan di mana masyarakat menggantungkan kebijakan pemerintah, telah berubah fungsi dan mereka akan mendapatkan fasilitas tersebut hanya jika mereka bisa memenuhi financial secara pribadi. Selanjutnya, degradasi dari infrastruktur publik ( jalan , transportasi , air , listrik , komunikasi , dll) membuat para rakyat yang miskin semakin terdegradasi. Chabal juga membagi penyebab konflik yang kerapkali terjadi di tanah Afrika13, yakni : Violence Conflict Violence sebagaimana didefinisikan oleh Chabal adalah penggunan ancaman terhadap suatu individu maupun yang lainnya, dan mengakibatkan rusaknya suatu tatanan atau keadaan. Dalam hal ini, Chabal tidak membatasi apakah tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata tersebut dilakukan oleh sama sama warga suatu negara ataupun terhadap warga negara lain.
13

Illness.

Ibid.

11

Chabal juga mengklasifikasikan proses violence tersebut menjadi 3 macam; the degradation of human body, the collapse of shared value dan the breakdown of social order. Degradation human body disini berarti

hilangnya atau berkurangnya anggota tubuh sebagai bentuk dari kekerasan. The collapse of shared value menjelaskan bahwa nilai nilai yang dipegang teguh secara bersama sama perlahan lahan mulai hilang dan munculnya nilai nilai baru yang lebih bersifat individualistis. Sedangkan the breakdown of social order, menjelaskan bahwa tatanan sosial yang ada di dalam masyarakat, baik dalam negara ataupun diluar negara telah hancur, digantikan oleh tatanan sosial yang samasekali baru. Dalam hal ini, Chabal mengidentifikasinya sebagai datangnya modernisasi ke dalam Afrika yang mengakibatkan banyak tradisional terkikis dan digantikan oleh tatanan dunia modern yang baru, menyisakan sedikit sekali tempat untuk tatanan tradisional yang sudah ada. Selanjutnya, Chabal mendefinisikan Conflict sebagai suatu keadaan yang melibatkan banyak populasi di suatu daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Chabal menberikan eksplanasi penyebab konflik di Tanah Afrika sebagai cultural, structural dan economic explanations. Dalam Cultural explanations, Afrika dijelaskn sebagai sebuah benua yang memiliki ke aneka-ragam an budaya, adat istiadat dan etnis. Ke anekaragam an ini menjadi alasan yang sering digunakan untuk memicu sebuah konflik, dengan asumsi dasar semua etnis dan budaya yang berbeda menginginkan untuk mendominasi. Buku ini juga menyebutkan bahwa
12

cultural explanations dari konflik adalah suatu politik perbedaan dalam konteks sosio-ekonomi yang menunggangi sebuh pemicu konflik. Structural explanations didalam poin conflict menitikberatkan pada lemahnya institusi politik dan sosial yang ada di Afrika. Ada dua interpretasi di dalam structural explanations ini, yang pertama

menginterpretasikan konflik muncul sebagai akibat dari lemahnya insitusi institusi tersebut untuk menjaga kelangsungan order, tetapi dapat berkembang jauh lebih baik di masa mendatang. Interpretasi kedua menyebutkan bahwa apabila Afrika tidak mengadopsi sistem Western yang telah muncul, maka konflik di Afrika tidak akan terjadi. Akan tetapi, kedua perbedaan interpretasi ini sama sama menyoroti bahwa institusi yang ada di Afrika tidak cukup punya kekuatan untuk mengontrol masyarakat nya supaya tidak menimbulkan konflik. Poin Economic explanations menjadi penjelasan yang paling umum di dalam sebuah penyebab konflik. Kemiskinan menjadi bahan bakar utama yang menggerakkan suatu pihak untuk melakukan kekerasan dan dikendarai oleh orang orang tamak yang menginginkan konflik untuk mendapatkan sumber daya lebih banyak. Menurut Chabal, kebanyakan konflik adalah kebijakan ekonomi yang disengaja. Kemudian, Illness. Menurut Chabal, Illness muncul sebagai akibat dari Violence dan Conflict. Lebih lanjut Chabal menjelaskan bahwa adanya Illness merupakan akibat dari keadaan sosial, ekonomi, dan politik. Di

13

Afrika, orang miskin bukan karena mereka sakit, tetapi mereka sakit karena mereka miskin. Akibat dari kemiskinan yang mendera mereka sebagai akibat dari kurang memperhatikan nya institusi institusi di Afrika untuk mensejahterakan rakyatnya, maka mereka jatuh sakit dan terpuruk kedalam penyakit penyakit seperti HIV/AIDS, Kolera, dan lain sebagainya.

2.2.2 KONSEP INTERVENSI Secara harfiah, intervensi diartikan sebagai pihak ketiga yang membantu upaya penyelesaian sebuah konflik yang terjadi yang terjadi pada dua pihak yang saling berkonflik. Dalam Blacks Law Dictionary, intervensi diartikan sebagai turut campurnya sebuah negara dalam urusan dalam negeri negara lain atau dalam urusan dengan negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan negara tersebut14. Ilmuwan lain mengemukakan definisi intervensi. Menurut Starke, ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi suatu pihak terhadap pihak lain15:

14

Bryan A. Garner ed., Blacks Law Dictionary. Seventh Edition, Book 1, West Group, ST. Paul, Minn, 1999, p. 826. 15 .G. Starke. An Introduction To International Law. 3rd Edition, Butterworth & Co. Ltd, London, 1954, p. 89-90

14

1) Intervensi Internal : Intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan dalam negeri negara lain. 2) Intervensi Eksternal : Intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan luar negeri sebuah negara dengan negara lain. 3) Intervensi Punitive : Intervensi sebuah negara terhadap negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh negara tersebut. Dengan pembagian tipologi intervensi tersebut, Starke tidak mengatakan bahwa segala bentuk tindakan intervensi dibenarkan dan dilegalkan. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Adapaun tindakan intervensi tersebut adalah: 1) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam piagam PBB. 2) Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di negara lain. 3) Pembelaan diri. Intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan bersenjata (armed attack). Syarat-syarat pembelaan diri adalah : langsung (instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk menimbang (no moment of deliberation). 4) Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.

15

5) Jika pihak yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional.

2.2.3 KONSEP PEACEMAKING, PEACEKEEPING, PEACEBUILDING16 Peacemaking merupakan tindakan penegakan kembali perdamaian pasca konflik yang meliputi pembentukan perdamaian dengan cara penyelesaian sengketa dengan cara damai melalui konsiliasi, mediasi, arbitrase, dan lain-lain. Peacemaking disini adalah salah satu bentuk upaya upaya mediasi yang dilakukan pihak pihak yang merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan sebua konflik.Di dalam peacemaking ini pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan guna mendapat penyelesaian dengan cara damai. Ada dua cara pendekatan yang dapat dilakukan dalam fase peacemaking ini, yang pertama adalah dengan kekerasan dan yang kedua adalah dengan cara hukum atau biasa disebut cara konvensional. Penggunaan alternative kekerasan dilakukan apabila keadaan tiddak kondusif dan mengharuskan intervensi dari pihak penengah (biasanya intervensi militer) dijalankan demi terciptanya perdamaian. Penggunaan pendekatan konvensional dilakukan dengan cara memberikan mandate kepada pihak penengah yang telah disepakati bersama dan diberi legitimasi

16

Lederach,John Paul. Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies, 1999. Dalam buku ini, konsep resolusi konflik peacemaking, peacekeeping dan peacebuiding yang dikemukakan oleh Johan Galtung (1976) juga disebutkan

16

untuk menjalankan funginya. Apabila ada kasus yang melibatkan penengah yang tidak memiliki legitimasi, , pendekatan ini gagal dan diupayakan untuk mencari alternative lain meskipun secara hukum hal tersebut adalah illegal. Metode ini disebut juga dengan Interactive Conflict Resolution dalam mencapai Alternative Dispute Resolution. Ini dilakukan dengan

menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah, tetapi pihak ketiga tidak erhak menentukan hasil akhir. Pihak ketiga tersebut hanya menjadi penengah saat suasana berubah menjadi memanas antara pihak bertikai yang sedang berunding. Johan Galtung, the father of peace studies, Galtung mendefinisikan peacekeeping sebagai proses penghentian atau pengurangan aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meredam konflik dan mencegahnya menular ke daerah/ negara lain. Untuk itu, peran aparat kemanan dan militer dari pihak lokal dibutuhkan untuk menjaga situasi tetap terjaga dan bisa mengontrol konflik tanpa perlu adanya intervensi militer asing.. Selanjutnya, peacebuilding. Peacebuilding diartikan sebagai proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik dan ekonomi demi terciptanya perdamaian dalam artian positive peace di mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik internal. Tujuan dari pecaebuilding sendiri adalah untuk mewujudkan sustainable peace dengan mengenali akar permasalahan konflik dan mendukung indigenous capacity untuk
17

memanajemen konflik dan membuat resolusi konflik17. Menurut PBB, Penjaga perdamaian atau peacekeeping adalah sebuah instrument yang unik dan dinamis yang dikembangkan oleh organisasi sebagai cara untuk membantu negara-negara yang terkoyak oleh konflik, dan menciptakan kondisi untuk perdamaian abadi.18 Untuk menjaga perdamaian, PBB membentuk sebuah pasukan lewat Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan kolektif untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Kebanyakan peacebuilding terjadi setelah konflik berskala besar berakhir, akan tetapi tidak menutup kemungkinan peacebuilding terjadi bahkan saat konflik terjadi19.

2.3 OPERASIONALISASI TEORI DAN KONSEP Perang saudara yang terjadi di Pantai Gading dapat dilihat dengan menggunakan teori dan konsep-konsep yang sebelumnya telah penulis sebutkan pada bagian kajian teori dan konsep. Seperti yang telah dikemukakan oleh Paul Collier dan Mirjam E. Srli, bahwa perang sipil diakibatkan oleh berbagai macam faktor. Perang Sipil yang terjadi di Pantai Gading bila dikaitkan dengan teori Civil War Paul Collier maka akan dapat dilihat bahwa perang saudara disana pecah akibat dari ketimpangan sosial, kurangnya demokarasi, serta perbedaan berlatar belakang etnis dan agama. Ketimpangan sosial yang dimaksud adalah tidak meratanya perhatian pemerintah terhadap penduduk asli Pantai Gading dengan para
17
18

Three approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, Peacebuilding. Johan Galtung, 1976 http://www.un.org/en/peacekeeping/resources/policy.shtml, diakses 7 April 2012 19 Id. at 6.

18

imigran dan pendatang. Pemerintah terkesan menganak tirikan penduduk asli karena para pendatang dianggap mendatangkan keuntungan bagi devisa negara yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan yang mengakibatkan pecahnya negara tersebut menjadi 2, bagian utara yang mayoritas pendukung Ouattara dan berbasis Islam, dengan selatan yang pro Gbagbo, yang mayoritas penduduk asli dan beragama Kristen. Variabel teori Civil War Mirjam E. Srli mengemukakan, bahwa variabel penyebab perang saudara adalah war starts. Perang saudara yang sebelumnya pernah terjadi di Pantai Gading pada tahun 2002-2004 menjadi salah satu pemicu munculnya kembali perang saudara pada tahun 2010-2011 tersebut. Meskipun muncul kespakatan damai pada tahun 2007, namun hal itu hanyalah sebuah formalitas belaka. Kemudian, variabel kedua adalah GDP per kpaita. Akibat dari permisifnya pemerintah Pantai Gading yang menganggap para pendatang dari negara negara tetangga membawa dampak yang bagus bagi GDP negara, para penduduk asli merasa dianak tirikan dan timul kebencian mereka terhadap pemerintah dan para pendatang. Akibatnya, perang sudara pun pecah. Variabel selanjutnya adalah primary commodity exports. Pantai Gading adalah penghasil kakao terbesar di dunia dan kakao merupakan komoditas ekspor mereka. Petani kakao di Pantai Gading mayoritas menjadi milik para pendatang karena kebijakan permisif pemerintah melihat peningkatan GDP yang signifikan

19

oleh para pendatang, mengakibatkan rasa iri timbul di hati para penduduk asli Pantai Gading dan menyebabkan terjadinya perang saudara. Kemudian, variabel populations, dimana sekitar 21 juta penduduk pantai Gading, sekitar 10-15% adalah penduduk pendatang, dan sisanya adalah penduduk asli. Karena jumlah populasi mempengaruhi pendapatan per-kapita, dan sekian persen pendatang telah membawa dampak baik bagi GDP Pantai Gading menjadi alasan pemerintah permisif terhadap pendatang dan akhirnya menjadi pemicu perang saudara.

Selanjutnya ada social fractionalization, dimana perang saudara yang terjadi di Pantai Gading juga didasari oleh alasan religi. Hal ini dapat terlihat dari terpecahnya Pantai Gading menjadi Utara dan Selatan, dimana Utara mayoritas Islam dan Selatan mayoritas Kristen. Karena perang saudara yang terjadi di Pantai Gading ini semakin berlarut berlarut, maka intervensi militer perlu dilakukan untuk menyudahi konflik pasca pemilu tersebut. Variabel terakhir dari penjelasan Srli adalah Local, regional, dan International actors. Dalam hal ini, peran dari ketiga akot tersebut untuk mengupayakan tercapainya perdamaian di Pantai Gading atau malah menambah keruh suasana. Dan, peran Internasional serta dukungan dari berbagai pihak lah yang dapat menyelesaikan perang tersebut.

20

PBB menurunkan pasukan perdamaian dan melaksanakan operasi UNOCI (United Nations Operations for Cte d'Ivoire) ke Pantai Gading, beserta pasukan militer Perancis, Licorne untuk menyduahi perang saudara yang mengakibatkan banyak korban jiwa tersebut, disamping organisasi regional seperti ECOWAS (Economic Community of West African States) menyelesaikan perang saudara tersebut, dan Uni Afrika. Untuk pendekatan konsep

dilakukan

peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding. Semua tahap dilakukan untuk mengembalikan kedamaian ke tanah negara di Afrika bagian Barat tersebut. Berangkat dari pemikiran Patrick Chabal, perang saudara yang terjadi Pantai Gading terjadi akibat dari beberapa hal, seperti Violence, Conflict, dan Illness. Violence dibagi Chabal menjadi 3 bagian. Yang pertama, the degradation of human body. Pada perang saudara di Pantai Gading, banyak orang menjadi korban, baik yang meninggal dunia maupun yang terluka parah dan mengakibatkan cacat fisik permanen. Ini adalah bentuk dari kekerasan yang menjadi result dari perang

saudara di Pantai Gading. Selanjutnya, the collapse of shared value. Nilai nilai yang dipegang secara bersama telah berubah dan digantikan oleh yang baru di Pantai Gading. Nilai nilai bahwa perdamaian dan keamanan harus dipegang sebagai prinsip dijdikan pedoman, digantikan oleh nilai untuk menghancurkan ketidak adilan dan melawan determinasi untuk membawa perubahan yang dibawa oleh beberapa pihak yang berkepentingan dan menjadi penggerak perang. The breakdown of social order, dimana sistem sosial asli di Pantai Gading yang tidak terlalu mementingkan kekuasaan asal bisa hidup bersam dengan tenteram tanpa adanya peperangan, digantikan oleh tatanan Western, sehingga menyebabkan
21

modernisasi struktur suatu negara dan mengakibatkan perbedaan persepsi dan keinginan yang pada akhirnya memicu perang. Kemudian, faktor Conflict. Dari asumsi Chabal tentang cultural, structural, dan economic explanations, penyebab perang di Pantai Gading dapat dilihat. Dari segi cultural explanations, pihak yang berkonflik adalah pihak dari Selatan pimpinan Laurent Gbagbo yang mayoritas penduduk asli pantai Gading dan beragama Kristen melawan pihak Utara pimpinan Alassane Ouattara yang mayoritas para pendatang dan imigran dari negara negara sekitar dan myoritas beragama Muslim. Dari segi Structural explanations, institusi-institusi di Pantai Gading tidak cukup kuat untuk mengatasi perang saudara yang terjadi. Baik institusi politik maupun ekonomi tidak mendukung untuk menghindari perang, bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu pemicu konflik, dimana hasil pemilu yang dikeluarkan oleh KPU setempat mengakibatkan rasa ketidak puas an oleh satu pihak terhadap pihak lain dan akhirnya memicu perang. Dari segi economic explanations, dapat terlihat bahwa Gbagbo menginginkan perang ini terjai untuk dapat kembali menjadi penguasa di Pantai Gading. Dengan memegang kekuasaan, maka akses sumber daya akan jauh lebih besar. Faktor yang terakhir, Illness. Illness sudah pasti muncul sebagai hasil daari adanya violence dan conflict yang terjadi di Pantai Gading. Akibat dari tidak kondusifnya institusi ekonomi, politik dan yang lainnya di Pantai Gading, menyebabkan para rakyat semakin menderita dan sengsara. Proses ekonomi terhenti total akibat perang, dan masyarakat tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibatnya kelaparan pun muncul, dan mendatangkan penyakit bagi rakyat..
22

2.4 HIPOTESA Dari latar belakang, perumusan masalah dan kajian teori serta konsep, maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut: Upaya penyelesaian perang saudara yang dilakukan masyarkat Internasional, seperti PBB, ECOWAS, dan Uni Afrika telah membawa hasil positif dan masing masing berperan cukup besar dalam penyelesaian perang saudra yang memakan banyak korban jiwa tersebut. Pihak pihak tersebut berjasa dalam realisasi peacxemaking, peacekeeping, dan peacebuilding dalam konflik di Pantai Gading.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian deskriptif. Penelitian ini berupaya untuk melihat apa sebenarnya yang menjadi motif perang saudra di Pantai Gading dalam apa upaya yang dilakukan Pantai Gading serta dunia Internasional untuk menyelesaikan konflik tersebut.
23

3.2. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada latar belakang perang saudara di Pantai Gading dan bagaimana faktor eksternal dan internal melakukan penyelesaiannya. Namun jika kemudian ditemukan sejumlah data-data yang tidak berasal dari kurun waktu yang telah ditentukan diatas maka hal itu akan dianggap sebagai informasi tambahan yang mungkin memiliki peranan yang cukup penting dalam melaksanakan dan menyelesaikan penelitian yang dilakukan. 3.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan, sumber data utama yang digunakan oleh peneliti adalah perpustakaan. Teknik kepustakaan ini disebut sebagai studi kepustakaan20, melalui buku-buku, artikel dalam surat kabar, jurnal, dan makalah yang ada dalam perpustakaan21. Selain melalui pengumpulan data dengan studi kepustakaan, pencarian data dilakukan menggunakan pencarian data dari internet. Pada tahap awal, semua buku, jurnal, artikel, informasi dari internet yang telah dikumpulkan disebut sebagai data22. Selanjutnya data tersebut diolah dan disusun kembali oleh penulis dalam sebuah karya tulis yang sistematis23. 3.4 Teknik Analisa Data

20

21 22

23

Masri Singarimbun, Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 1989, hal. 4-5. ibid. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, cetakan ke tujuh, Ende, Nusa Indah,1984, hal 165= 166. ibid.

24

Data-data dalam penelitian ini diolah melalui analisis kualitatif. Dengan memilih dan meganalisa sumber data seperti buku, jurnal, sumber intenet dan sebagainya. Sebagian besar merupakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan disertai kelengkapan data-data statistik yang bersifat kuantitatif. Alasan pemilihan teknik analisis kualitatif adalah Untuk analisis data yang akurat dan komprehensif dari suatu penelitian diperlukan suatu standard dan tolak ukur yang nantinya digunakan untuk menentukan hasil akhir dari suatu penelitian. Standard dan tolak ukur dalam konteks permasalahan ini bukanlah suatu titik-titik eksak dengan limitansi jelas yang merupakan harga mati. Aspek historis dan utopis merupakan acuan utama analisis data dalam tulisan ini.

3.4. Sistematika Penulisan Penelitian yang dilakukan ini akan dibagi dalam 5 bab dimana masing-masing bab memiliki subtansi sebagai berikut : 1. Bab I merupakan bab pendahuluan yang mencakup prosedur metodologi

penelitian yang mencakup beberapa sub-bab yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah dan sebagainya. 2. Bab II merupakan bab yang berisi mengenai tinjauan kerangka pemikiran

yang terdiri dari beberapa sub bab, seperti studi terdahulu, kerangka teori dan konsep, operasionalisasi konsep yang digunakan untuk melihat fenomena perang saudara yang terjadi di Pantai Gading.

25

3.

Bab III merupakan bab tentang metode penelitian, mencakup ruang lingkup

penelitian, jenis penelitian, dan sabagainya. 4. Bab IV merupakan hasil dan pembahasan tentang upaya dan peran PBB dan

aktor internasional lain guna mewujudkan perdamaian dan mengakhiri perang saudara di Pantai Gading. 5. Bab V merupakan kesimpulan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 UPAYA PENYELESAIAN PERANG SAUDARA DI PANTAI GADING Tujuan yang sebenarnya dari segala cara yang diupayakan untuk mengakhiri konflik di Pantai Gading adalah untuk menciptakan perdamaian, sesuai dengan piagam PBB. Konflik yang terjadi setelah kalahnya Laurent Gbagbo sang Presiden terdahulu oleh mantan Perdana Menterinya, Alassane Ouattara, menolak untuk

26

menyerahkan jabatannya karena menganggap adanya kecurangan saat pemilihan umum berlangsung. Ouattara yang kemenangannya diakui oleh Internasional, menghimbau sang presiden yang kalah, Laurent Gbagbo untuk segera turun dan menyerahkan jabatannya. Akan tetapi, Gbagbo tidak mau menyerahkan jabatannya dan berkeras untuk tidak menyerahkan kursi presiden ke Ouattara. Perang yang sudah dimotori oleh berbagai latar belakang pun akhirnya pecah. Gbagbo memiliki pengaruh yang cukup besar di Pantai Gading, sehingga banyak kalangan militer memberikan dukungan kepadanya. Ouattara yang hanya mendapat dukungan dari rakyat pun terus mendesak Gbagbo untuk mundur dari jabatannya dan menyerahkannya kepad presiden baru yang terpilih. Perang sipil pun tidak terhindarkan, hingga merebut ribuan korban jiwa. Bahkan menurut laporan Human Right Watch dan Amnesty Internasional, sejak kerusuhan pecah, banyak wanita di Pantai Gading turut jadi korban. Mereka dipukuli, ditelanjangi, diserang dan diperkosa. Organisasi ini menuntut diberikannya dakwaan kejahatan perang bagi para pelaku. Selain pasukan PBB, Perancis juga mengirimkan pasukan tentara untuk memulihkan kondisi di negara yang merupakan bekas jajahannya tersebut. Perancis dengan nama pasukan yaitu Licorne memutuskan untuk menambah jumlah pasukan yang ada untuk melindungi warga sipil. Hal ini dilakukan karena melihat tindakan Gbagbo yang semakin tidak mau melepaskan jabatannya pasca enam bulan pemilu bulan november, bahkan

27

Gbagbo masih menguasai tentara dan polisi yang setia kepadanya untuk membunuh warga sipil dan juga para pendukung dari Ouattara. Pada tanggal 30 Maret 2011, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 1975 (2011) pemanggilan dan himbauan kepada Laurent Gbagbo untuk segera mundur dari jabatan dan menghentikan kekerasan terhadap warga sipil. Disamping itu, Dewan juga menekankan kembali kepada UNOCI untuk melindungi warga sipil dari kekerasan dan penggunaan senjata berat terhadap mereka. PBB telah memberi mandat kepada UNOCI untuk mengintervensi secara militer dikarenakan kondisi di Pantai Gading kian memanas setelah menolaknya Gbagbo mundur dari jabatan presiden. dikeluarkan pada tanggal tersebut adalah:
-

Mandat PBB terhadap UNOCI24 yang

Pemantauan dan penghentian peperangan dan mengawasi gerakan bersenjata

Pelucutan senjata, demobilisasi, reintegrasi, repatriasi dan pemukiman kembali

Pelucutan Senjata dan pembubaran kelompok milisi Melaksanakan operasi identifikasi penduduk dan pendaftaran pemilih. Melaksanakan reformasi sektor keamanan Melindungi personil PBB, institusi serta warga sipil

24

http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/mandate.shtml, diakses 8 april 2012

28

Mengawasi dan memantau embargo senjata Memberikan dukungan untuk bantuan kemanusiaan Memberikan dukungan untuk pemindahan administrasi Negara Memberikan dukungan untuk lebih terbuka dengan organisasi, pemilihan yang bebas, adil dan transparan

Memberikan bantuan dalam bidang hak asasi manusia Mandate yang berisikan Peran peran tersebut ditujukan kepada UNOCI

selaku organisasi legal formal yang secara sah ditunjuk oleh PBB, menggantikan United Nations Misions In Cte dIvoire (MINUCI) untuk misi perdamaian terkait perang saudara dan kekacauan yang timbul di negara yang terletak di Afrika Barat tersebut. Mandat tersebut dikeluarkan dengan berprinsip pada Piagam PBB ayat 7, dengan berbagai landasan, seperti : Resolution 1528 (2004), Resolution 1609

(2005), dan Resolution 1739 (2007)25. PBB menunjuk UNOCI sebagai organisasi yang dikhusukan untuk operasi perdamaian di Pantai Gading untuk mewujudkan peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding. Pada tahap peacemaking, institusi yang memiliki legitimasi berusaha untuk menjadi penengah dalam menyelesaikan perselisihan antara dua pihak yang berkepentingan di Pantai Gading. Dalam hal ini, pihak pihak seperti ECOWAS, Uni Afrika dan bahkan PBB pun berusaha memfasilitasi mediasi antara Gbagbo dengan Ouattara untuk menghentikan konflik dan mencapai kata damai. Desakan

25

Ibid.

29

komunitas internasional untuk Gbagbo segera turun dari jabatan dan mengakui kemenangan Ouattara dibuktikan dengan banyaknya kunjungan yang dilakukan ke negara ini. Seorang PM diutus yaitu Perdana Menteri Kenya Raila Odinga dari Uni Afrika (UA) dan tiga presiden yaitu Yayi boni dari Benin, Ernest Koroma dari Sierra Leone, dan Pedro Pires dari Cape Verde dari Economic Community of West African States (ECOWAS) untuk melihat situasi disana. ECOWAS sendiri memberikan batas waktu hingga 17 Januari 2011 untuk Gbagbo agar terus mengadakan dialog terbuka dengan Ouattara, dengan ECOWAS dan Uni Afrika sebagai mediatornya. Namun, Gbagbo tetap menolak untuk mengakui Ouattara dan tidak menunjukkan itikad yang baik, sehingga ECOWAS dan Uni Afrika mengancam mengadakan intervensi militer. Gbagbo pun tetap tidak mundur. Tekanan ECOWAS dan Uni Afrika tidak membuahkan hasil. Ancaman intervensi militer dilakukan untuk menggertak Gbagbo agar segera mengakui Ouattara dan menyerahkan jabatannya, karena masyarakat internasional masih memprioritaskan upaya diplomasi damai. Akan tetapi, arena Gbagbo tidak mau mundur dari jabatannya, maka tidak ada jalan lain selain melakukan intervensi militer. Respon PBB adalah dengan mengirimkan pasukan perdamaian di bawah operasi khusus UNOCI, untuk menjaga keamanan masyarakat sipil dan mengakhiri perang saudara tersebut. Cara yang dilakukan oleh PBB ini termasuk dalam fase peacekeeping, karena dengan upaya diplomasi yang damai pihak Gbagbo tidak mau turun dari jabatan dan menyerahkan kekuasaan. Sesuai dengan definisi Galtung mengenai peacekeeping, yaitu tindakan pengurangan atau

30

penghentian aksi kekerasan dengan cara intervensi militer. PBB menurunkan 11.800 personil pasukan perdamaian, terdiri dari polisi dan militer. 11.800 personil perdamaian itu terdiri dari tentara tentara perdamaian yang berasal dari Bangladesh, Benin, Bolivia, Brazil, Chad, China, Ekuador, Mesir, Ethiopia, Perancis, Gambia, Ghana, Guatemala, Guinea, India, Irlandia, Jordania, Malawi, Moldova, Maroko, Namibia, Nepal, Niger, Nigeria, Pakistan, Paraguay, Peru, Filipina, Polandia, Korea Selatan, Romania, Russia, Senegal, Serbia, Tanzania, Togo, Tunisia, Uganda, Uruguay, Yaman, Zambia dan Zimbabwe. Sedangkan polisi perdamaian berasal dari Bangladesh, Benin, Burundi, Kamerun, Kanada, Rep. Afrika Tengah, Chad, Djibouti, Kongo, Mesir, Perancis, Jordania, Niger, Pakistan, Senegal, Togo, Turki, Ukraina dan Yaman. Disamping itu, Campur tangan Perancis di Pantai Gading, menyelamatkan sejumlah nyawa manusia, juga sesuai dengan konsep Peacekeeping. Seperti dikutip dari situs berita26, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy berhasil mengatasi krisis ini dengan kebulatan tekad. Ia bekerja sama dengan PBB, membuat organisasi internasional itu menjadi kekuatan diplomasi yang efektif. Perancis telah menolong warga Pantai Gadingyang menghadapi ketakutan. Aksi ini telah membantu Afrika dan memberikan pelajaran berharga kepada masyarakat Internasional. Krisis selalu membawa masalah. Lebih baik mengintervensi dan membantu mewujudkan perdamaian daripada mengabaikan dan tidak bertindak. Harian Kompas juga menyebutkan bahwa Presiden Perancis Nicolas Sarkozy pada Rabu (13/4/2011) mengatakan Perancis telah menuntaskan tugasnya
26

http://www.dw.de/dw/article/0,,14985676,00.html, diakses 8 april 2012

31

mendukung perdamaian dan demokrasi di Pantai Gading. Pasukan Perancis membantu menggulingkan mantan penguasa Laurent Gbagbo. Pasukan Perancis melakukan tindakan itu atas permintaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan membantu penjaga perdamaian yang sejalan dengan mandat yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB. Perancis melakukan hal tersebut karena tindakan melindungi warga sipil yang mengalami situasi keamanan dan kemanusiaan yang terus memburuk. Perancis merupakan mantan penjajah Pantai Gading dan telah mengoperasikan 1.700 pasukan bersenjata Licorne untuk membantu misi penjaga perdamaian Organisasi Operasi Pantai Gading PBB (UNOCI) di negara itu. Sejumlah helikopter Perancis dan UNOCI menyerang tempat tinggal milik Gbagbo di Abidjan sebagai upaya untuk menghentikan pasukan Gbagbo yang menggunakan senjata berat dalam melawan warga sipil. Setelah peacemaking dan peacekeeping, tahapan yang ketiga yang harus dilakukan untuk mewujudkan peramaian di Pantai Gading dan menghentikan perang saudara tersebtu adalah dengan peacebuilding. Peacebuilding dilakukan dengan inisiatif dari dalam negeri Pantai Gading, aktor regional, Internasional, maupun pihak pihak non-pemerintah lain. Untuk mengatasi konflik, tindakan yang dilakukan adalah mencari akar permasalahan penyebab terjadinya perang saudara tersebut dan melindungi warga sipil, baik sebelum, saat ataupun setelah perang saudara. Dilihat dari perkembangannya, tahapan peacebuilding yang akan dilakukan oleh Pantai Gading setelah berakhirnya perang saudara ini adalah peacebuilding

32

jangka panjang (5-10 tahun) dan mencakup semua dimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Umumnya, tindakan peacebuilding ini dilakukan oleh internal suatu negara, baik itu pemerintahan, masyarakat sendiri maupun lembaga lembaga dan juga lainnya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan aktor selain negara juga turut berperan dalam mewujudkan peacebuilding, seperti IGO, NGO, INGO, dan lainnya akan turut berperan memfasilitasi peacebuilding. Setelah Gbagbo akan lengser nantinya, adalah tugas dari rezim baru Ouattara beserta semua pihak untuk tetap menjaga situasi dan kondisi agar tetap aman dan kondusif. Sebab, peacebuilding ini penting diupayakan untuk menjaga perdamaian, mengingat konflik yang diselesaikan dengan kesepakatan damai rawan untuk terjebak kembali dalam situasi konflik. 4.2. AKHIR DARI REZIM LAURENT GBAGBO Upaya upaya yang terus dilakukan oleh Pasukan UNOCI dan Licorne milik Perancis dengan terus mendesak Gbagbo dan para pendukungnya membuahkan hasil. Dengan bantuan UNOCI dan Licorne, pasukan Ouattara akhirnya bisa menangkap Gbagbo dan menghentikan krisis yang terjadi akibat penolakan penguasa petahana itu atas kekalahannya pada pemilihan umum November 2010. Tapi, Paris bersikeras bahwa mereka bertindak atas permintaan bantuan oleh PBB dan menegaskan bahwa pasukan Ouattaralah yang menangkap Gbagbo. Ouattara juga menyatakan bahwa Gbagbo serta keluarganya akan diadili sesuai hukum yang berlaku. Setelah penangkapan ini, Ouattara menghadapi tugas
33

berat untuk mempersatukan kembali negara yang hancur oleh perang saudara27. Terutama kepada para pendukung Gbagbo dalam pemilu dan juga milisi proGbagbo yang melindunginya. Ouattara mengimbau kepada seluruh rakyat Pantai Gading untuk bisa menahan diri dan juga tidak melakukan pembalasan dan kekerasan yang akan memperburuk konflik.

BAB V KESIMPULAN

Perang saudara yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa kerapkali terjadi di daratan Afrika. Salah satu negara yang mengalami kasus perang saudara adalah Pantai Gading. Penyebab dari perang saudara di Pantai Gading adalah hasil dari pemilihan umum yang dilaksanakan pada 28 November 2010. Pemilu tersebut memenangkan Alassane Ouattara, seorang mantan Perdana Menteri Pantai Gading atas Laurent Gbagbo, presiden petahana (incumbent) yang telah berkuasa sejak tahun 2000.

27

http://nasional.kompas.com/read/2011/04/13/19342454/, diakses 8 April 2012

34

Gbagbo tidak mengakui kemenangan Ouattara Karen menganggap telah terjadi banyak kecurangan yang terjadi saat pemilu. Gbagbo pun menyatakan tidak akan mundur dari jabatan presiden dan menyerahkannya kepada sang Presiden terpilih, Ouattara. Akan tetapi, dunia internasional menganggap bahwa Ouattara adalah presiden yang sah. Akibatnya, dualism pemerintahan terjadi dan Pantai Gading terbelah menjadi dua. Gbagbo yang memiliki basis pendukung di selatan, mayoritas adalah penduduk asli dan beragama Kristen, sedangkan Ouattara menguasai bagian utara, yang mayoritas para penduduk pendatang dan beragama muslim. Perang saudara yang pecah akibat dualisme kepentingan ini mengundang perhatian public internasional, karena telah memakan korban jiwa yang banyak. Karena perang selalu membawa kerugian dan memakan banyak korban, maka banyak pihak seperti ECOWAS, Uni Afrika dan yang lainnya menginginkan untuk Gbagbo mundur dan menyerahkan jabatannya. Gbagbo pun menolak, dan menyatakan bahwa tidak akan menyerahkan jabatannya. Akhirnya, intervensi militer pun dilakukan untuk menangkap Gbagbo karena upaya diplomasi selalu gagal dijalankan. Upaya intervensi militer direalisasikan PBB dengan membentuk UNOCI, disamping Perancis yang menerjunkan pasukan bernama Licorne ke negara bekas jajahannya tersebut dan menerjunkan pasukan perdamaian disana. Selain untuk melindungi warga sipil dari aksi kekerasan para pendukung Gbagbo, pasukan ini juga membantu para pendukung Ouattara untuk menagkap Gbagbo dan

menghentikan aksi kekerasan yang dilakukan simpatisan nya.


35

Akhirnya, Gbagbo tertangkap pada tanggal 11 April 2011 dan hukuman dari ICC ( International Ciriminal Court) menanti. Namun setelah Gbagbo ditangkap dan ditahan oleh internasional, tidak ada waktu bagi Ouattara untuk bergembira, sebab dia dituntut untuk membawa perdamaian ke tanah Pantai Gading pasca perang saudara tersebut. Apalagi, masih ada banyak simpatisan Gbagbo di sana. Bukan perkara mudah bagi Ouattara, akan tetapi usaha peacebuilding akan terus diupayakannya ke tanah Pantai Gading.

36

You might also like