You are on page 1of 15

MAKALAH Analisis Komponen Kebahasaan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Oleh: NAMA Ika Safrihatin Rika Deny Riani Anggun Rina R Nur Efendi NIM B1J009059 B1J009086 B1J009080 B1J009098 TANDA TANGAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2011

BAB II

PEMBAHASAN

Pendidikan pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar atau play group merupakan tahapan awal yang ditempuh oleh guru dalam memperkenalkan bahasa nasional bagi anak. Pengajaran bahasa dari masa ke masa seharusnya terus mengalami perkembangan karena perkembangan teknologi juga berkembang, baik teknologi komunikasi maupun teknologi sains. Pendidikan sastra dan bahasa Indonesia mempunyai peranan yang penting didalam dunia pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kita harus mempelajari ilmu pendidikan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Bahasa merupakan sarana untuk mengungkapkan perasaan, sikap dan pikiran. Aspek pikiran dan penalaran merupakan aspek yang membedakan bahasa manusia dan makhluk lainnya. Bahasa adalah milik khas manusia. Banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang bahasa. Begitu banyaknya pendapat tentang bahasa, beberapa kontroversi pandangan tersebut: antara kubu phusis dengan kubu thesis, faham analogi dengan anomali, penganut empirisme dengan penganut rasionalisme, kelompok yang percaya bahwa bahasa berfungsi interaksional dengan yang berfungsi transaksional (Prasetya,1999). Sampai akhir abad ke-19 pengajaran bahasa Indonesia masih didominasi oleh metode gramatika-terjemahan (grammar-translation method) yang

mengutamakan penghafalan kaidah-kaidah tata bahasa dan penerjemahan dari

bahasa asing ke dalam bahasa ibu dan sebaliknya. Guru lebih banyak menggunakan waktunya untuk mengajarkan pengetahuan bahasa, bukan mengajarkan agar siswa-siswanya pandai berbahasa baik secara lisan maupun tertulis. Latihan-latihan menggunakan bahasa secara lisan boleh dikatakan tidak ada. Metode ini sangat digemari dan dalam kenyataannya masih digunakan, biarpun secara resmi dalam kurikulum 1984 metode yang dianjurkan adalah metode komunikatif (Pranowo, 1996). Pada awal abad ke-20 diperkenalkan metode langsung (direct method). Metode ini beranggapan bahwa bahasa yang dijarkan pertama-tama adalah bahasa lisan bukan bahasa tulis. Metode ini juga menolak pengajaran tatabahsa seperti yang diajarkan dengan metode gramatika-terjemahan. Perbedaan metode pengajaran bahasa pada dua abad tersebut menjadikan kita berpikir kembali apakah ada yang salah dari setiap metode tersebut. Setiap metode pembelajaran sebenarnya ada untung ada rugi hanya saja bagaimana kreativitas guru dalam memilih metode yang tepat untuk setiap pembelajaran yang disusun (Pranowo, 1996). Dalam prosedur pembelajaran pendekatan komunikatif terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh setiap guru, yaitu teori bahasa, teori belajar, tujuan silabus, tipe kegiatan, peranan guru, peranan siswa, dan peranan materi. Adapun penerapannya disesuaikan dengan kurikulum, strategi, metode, teknik, dan tujuan pembelajaran (Sukarno, 1993). Berdasarkan pembahasan di atas akan memaparkan pembahasan tentang pembelajaran bahasa Indonesia yang mencakup aspek kebahasaan dalam setiap aspek kebahasaan maupun aspek kesastraan. Dalam dunia pendidikan saat ini,

kemampuan berbahasa juga semakin diasah. Anak yang masih tergolong usia pemula untuk berbahasa juga telah diperkenalkan dengan pembelajaran bahasa asing di luar bahasa ibu yang telah dikuasainya. Hal ini dilakukan mengingat usia anak yang sangat produktif untuk menangkap hal-hal baru termasuk bahasa yang belum pernah didengarnya. Dipandang dari ilmu sosiologi, ada empat media sosialisasi yang menjadi jalinan kontak antara masyarakat yang satu dengan yang lain, yaitu : 1. Keluarga Pada awal kehidupan manusia biasanya media sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Bagi masyarakat yang mengenal keluarga luas media sosialisasi dapat lebih luas yang mencakup nenek, kakek, paman, bibi dan sebagainya. Dalam proses kebahasaan yang terjadi pada anak, keluarga sebagai pranata sosial yang paling kecil dalam masyarakat turut ambil bagian dalam hal ini. Anak yang dalam tahap pemerolehan bahasa akan menerima dan menggunakan bahasa ibu. Chaer dan Agustina memberi pengertian bahasa ibu yaitu suatu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang mendidik seorang anak tersebut. Dalam media sosialisasi keluarga inilah proses kebahasaan seorang anak dimulai. 2. Teman bermain Setelah mulai dapat bepergian, seorang anak mempunyai media sosialisasi yang lain yakni teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan teman sekolah. Di sini, seorang anak akan mempelajari berbagai kemampuan baru. Kalau dalam interaksi yang dipelajarinya di

rumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat (seperti antara orang tua dan anak, kakek atau nenek dengan cucu, paman atau bibi dengan kemenakan) maka dalam kelompok bermain seorang anak dapat lebih mudah berinteraksi karena merupakan teman sebaya. 3. Sistem Pendidikan Formal Di sini seorang anak mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga maupun dalam kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari di kala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya. Dalam

kebahasaannya, pendidikan formal akan memperkenalkan sesuatu yang baru yang akan menambah pengetahuan anak dalam berbahasa. Dalam pendidikan formal ini juga, seorang anak akan diajarkan kapan penggunaan bahasa itu baik digunakan. 4. Media Massa Media massa yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televisi, film, internet) merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sebagian besar orang. Seorang anak pada umumnya lebih tertarik dengan media massa (cetak dan elektronik) yang dapat memberikan pembelajaran daripada sesuatu yang formal. Oleh sebab itu, tidak jarang lagi ditemukan informasi maupun hiburan-hiburan yang terdapat dalam media massa tersebut memakai beragam bahasa atau paling tidak untuk satu maupun dua kata dalam komunikasi maupun dalam penyampaian maksud dan tujuannya (Mardalis, 1995).

Dalam media sosialisasi di atas terdapat media sekolah sebagai salah satu media sosialisasi anak yang memegang peranan penting dalam proses perkembangan anak. Anak yang sudah berusia 6 tahun akan memasuki sekolah atau bahkan ada yang lebih awal dari usia 6 tahun dengan harapan akan mempermudah anak dalam memasuki dunia sekolah sesungguhnya baik dalam proses belajar maupun dalam bersosialisasi dengan teman-temannya. Sekolah dasar (SD) menjadi tempat seorang anak untuk bertumbuh dalam dunia pendidikan. Demikian juga dengan proses berbahasa anak akan semakin dipertajam baik melalui kegiatan membaca, menulis maupun jalinan komunikasi yang diciptakan oleh guru. Oleh karena itu guru memiliki peranan penting dalam membentuk kualitas siswa khususnya dalam bidang kebahasaannya (Rumi, 2000). Guru merupakan cermin bagi siswa dalam berbahasa. Baik buruknya suatu ujaran guru disadari atau tidak akan menjadikan pembelajaran bagi anak. Hal tersebut sangat terlihat ketika guru mengajukan pertanyaan kepada anak atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu. Ujaran yang demikian akan menciptakan reaksi yang beragam bagi anak, seperti anak akan malas belajar, tidak berani bertanya, tidak mau melakukan perintah gurunya, bahkan setiap pembelajaran anak tidak mau masuk kelas. Atau sebaliknya anak akan lebih semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi. Hal tersebut merupakan salah satu reaksi dari tuturan yang dilakukan oleh guru apalagi dalam pembelajaran bahasa Indonesia (Neong, 1996) . Ada kalanya pembelajaran bahasa menjadi kurang menyenangkan bagi kalangan siswa saat ini. Salah satu permasalahannya, yaitu kemasan bahasa yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurang menarik.

Misalnya kehalusan bahasa yang digunakan, kesantunan dalam bertutur sapa, sikap dan keramahtamahan guru, serta wawasan kebahasaan dan sastra guru dalam penerapannya masih belum terkuasai dengan baik. Padahal bahasa sebagai cermin bangsa. Kalau gurunya sebagai pemakai bahasa sekaligus pengembang dan pembina bahasa Indonesia kurang baik maka secara otomatis akan sulit menerapkan pemakaian bahasa Indonesia dengan baik pula. Bahasa bukan saja merupakan property yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antarpersona komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, maka tidak pernah bersifat absolute; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu, tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaaannya selalu dibayangi oleh budaya (Yasin, 2002). Oleh karena itu, analsis wacana merupakan upaya mengkaji rekaman kebahasaan secara utuh dalam peristiwa komunikasi sehingga mampu mengungkapkan kajian wacana tulis dan wacana lisan. Brown dan Yule (1996: 14) membedakan wacana berdasarkan dua kriteria. Pertama adalah berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi itu wacana dibedakan menjadi dua kategori, yakni wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar, sedangkan wacana interaksional digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, seperti wacana yang terdapat dalam dialog dan polilog (Mamur, 2007).

Dalam hal ini initeraksi dalam pembelajaran de kelas antara siswa dan guru, guru dengan siswa atau anatara siswa dengan siswa. Hal ini sesuai dengan namanya, wacana interaksional lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi. Pada dasarnya, analisis wacana ingin menganalisis atau

menginterpretasikan pesan dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk ujaran atau tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat wacana itu dalam proses dihasilkan melingkupi pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk menginterpretasi. Hal tersebut dapat menggunakan prinsip lokalitas dan analogi. Jika penganalisis melakukan analisis terhadap wacana lisan atau tulisan, analisis itu dapat dilakukan pada tingkat tataran, yaitu (1) tataran struktural gramatikal kalimat, (2) tataran makna, dan (3) tataran organisasi ujaran. Ketiga tataran ini menuntun penganalisis untuk bisa membedakan pola gramatikal, pola kalimat semantis, dan pola kalimat komunikatif. Praanggapan dan implikatur dalam wacana dialog seperti yang akan dibahas dalam tulisan ini bisa dikatakan sebagai konstruksi pada kalimat komunikatif, yang bisa diorientasikan pada istilah pragmatic function termasuk analisis fungsi pragmatik. Informasi pragmatis terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) informasi lama yang berhubungan dengan dunia, yang juga informasi umum (general information), (2) informasi situasional (situational information), yaitu infomasi diturunkan dari pemahaman atau pengalaman partisipan dalam situasi tempat terjadinya interaksi, dan (3) informasi kontekstual (contextual information) yaitu informasi yang diturunkan dari ekspresi yang telah diarahkan peristiwa komunikasi. Sebagai wacana lisan interaksional dalam pembelajaran di kelas dianalisis merupakan

bahan yang menarik bagi penganalisis wacana. Hal ini terjadi karena di samping memuat hubungan antara pernyataan, juga dialog sangat kaya dengan unsur-unsur paralinguistik yang akan membantu pendengar atau penganalisis dalam menginterpretasi, memberi makna, dan menemukan hubungan antarpernyataan tersebut. Analisis wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks pembicara atau penulis. Dengan demikian analisis wacana akan mendeskripsikan apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar melalui wacana tersebut. Dalam kaitan dengan ini yang perlu diperhatikan adalah referensi (reference) dan infrensi (inference), praanggapan (presuppotion) dan implikatur (implicature), konteks situasi (the contex of situation) dan ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, konstruksi tema-rema, pronomina serta interpretasi lokal (local interpretation). Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dalam kajian analisis wacana secara langsung ataupun tidak semua aspek tersebut akan mempengaruhi dan saling keterkaitan. Oleh karena itu, untuk melihat keterkaitan tindak tutur antara guru dengan siswa atau sebaliknya maka dalam kesempatan ini penulis hanya memfokuskan pada kajian praanggapan dan implikatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada kompetensi pembelajaran sastra, baik puisi maupun prosa dalam bentuk transkripsi. Tuturan yang telah transkripsi itulah penulis menganalisis tuturan tersebut berdasarkan praanggapan dan implikatur guru dengan siswa atau sebaliknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Sesuai dengan pemikiran di atas, maka tulisan bertujuan untuk mendeskripsikan keterakitan antara praanggapan guru dengan implikatur siswa dan menemukan hubungan antara pernyataan-pernyataan guru dan siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran prosa dan puisi. Kemudian dilanjutkan dengan

menginterpretasi, merekontruksi, dan memberi makna pada wacana tersebut. Analisis wacana adalah kajian tentang penggunaan oleh komunitas bahasa yang melibatkan baik kajian tentang bentuk maupun fungsi bahasa (Yasin, 2002). Analisis wacana berkaitan juga dengan masyarakat dan masalah komunikasi setiap hari yang bersifat interaktif atau dialogis (Yasin, 2002). Selanjutnya ia membagi wacana secara garis besar yaitu ada wacana lisan dan ada wacana tulis. Wacara lisan berbentuk komunikasi verbal antarpersona, sedangkan wacana tulis menampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks. Wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila menganalisis melihat hubungan kebahasaan antartuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Adapun wacana lisan tersebut yang akan dibahas di sini adalah dalam bentuk dialog Liputan Enam Petang SCTV sebagai suatu ucapan, percakapan, dan kuliah yang berbentuk ujaran lisan dalam proses komunikasi (Yasin, 2002). Praanggapan adalah praanggapan pragmatis, yaitu yang ditentukan batasbatasnya berdasarkan anggapan berbicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan (Lilis, 2009). Senada dengan itu praanggapan apa yang dikemukakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan (Brown dan Yuli, 1996: 29). Dalam hal ini praanggapan kedua belah pihak, baik itu dari guru ataupun siswa atau sebaliknya memiliki dasar pemahaman yang sama sehingga komunikasi dapat berlangsung sehingga diperlukan juga implikatur di dalam suatu percakapan/dialog penutur dengan petutur. Dalam artian bahwa praanggapan adalah sebagai suatu hal yang dianggap

penutur sebagai dasar berpijak untuk menuturkan suatu kalimat dalam ujaran. Hubungan antara pernyataan dalam analisis wacana menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran (apropresteness atau felicity) dan pengetahuan bersama (mutal knowledge atau commen ground atau join assumtion). Oleh sebab itu, tuturan guru hendaklah dapat diketahui oleh siswa supaya siswa dapat memahami tuturan guru. Istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disamakan atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur (Brown dan Yuli, 1996: 31). Artinya implikatur adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Dalam implikatur hanya sebagian arti literal yang turut mendukung artinya sebenarnya dari sebuah kalimat, selebihnya berasal dari fakta-fakta di sekeliling kita dalam hal ini analogi lokal sangat berperan penting, situasi, dan kondisinya. Secara garis besar implikatur dikelompokan menjadi dua hal yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional, diartikan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Sedangkan implikatur percakapan yang dituturkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah petuah yang biasanya dipatuhi oleh penutur. Asas umum ini disebut Asas Kerja Sama (cooperative principle) baik itu konteks kuanatitas (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum pasti), kualitas (kerja sama dalam bentuk sesuai), hubungan atau relasi (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum sesungguhnya, bergantung pada interpretasi penanya), maupun cara (kerja sama dalam bentuk yang tidak langsung menjawab pertanyaan karena kebiasaan) (Brown dan Yuli, 1996: 30). Dalam banyak hal, implikatur itu harus tidak dinyatakan karena sudah menjadi pengetahuan umum.

Ada empat macam faedah konsep implikatur itu, yaitu (1) dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistik, (2) dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah yang dari yang dimaksud si pamakai bahasa, (3) dapat memberikan pemerian sementik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama, dan (4) dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora). Implikatur percakapan untuk menanggulangi persoalan makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Jadi konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasikan (Nababan, 1989: 28). Saat ini, sekolah dasar (SD) yang paling banyak diminati oleh masyarakat adalah sekolah dasar yang tidak sekedar mendidik siswa-siswanya dalam berbagai mata pelajaran akan tetapi juga dapat memberikan motivasi pada anak akan pentingnya pendidikan khususnya penguasaan bahasa asing sebagai modal utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menyadari dan menyikapi perkembangan tersebut, beberapa lembaga pendidikan mendirikan kursus-kursus berbahasa asing khususnya bahasa Inggris bagi anak-anak yang masih di bawah umur. Demi mengembangkan program ini, pada sebagian daerah berkembang di Indonesia terdapat sekolah dasar yang menggunakan dua bahasa dalam proses belajar mengajarnya. Hal ini menjadi sangat menarik karena anak yag masih dalam proses pemerolehan bahasa sudah diperkenalkan dengan satu bahasa baru yang tentunya masih sangat asing baginya. Dalam kenyataan tersebut, seiring dengan kebiasan yang terjadi dalam komunikasi antara guru dan anak tersebut,

akhirnya anak itu mampu menggunakan bahasa asing yakni bahasa Inggris walaupun masih sangat sederhana dan terbatas. Walaupun demikian, komunikasi antara guru dan anak tetap berlangsung dan dapat saling memahami maksud yang ingin disampaikan. Penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian dengan memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain secara konsisten yang disebut dengan campur kode. Campur kode sebagai salah satu fenomena yang terjadi pada pembelajaran B2 tidak mungkin dihindarkan. Penggunaan serpihan-serpihan dari bahasa lain yang bisa berupa kata, frase, dan dalam berbahasa Indonesia menyelipkan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Peristiwa campur kode ini secara sederhana dapat terjadi pada setiap penutur bahasa yang mampu menggunakan bahasa lain diluar bahasa ibunya baik secara sempurna maupun tidak. Peristiwa ini lazim terjadi pada masyarakat yang bilingual (Anas,1991).

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut : 1. 2. Bahasa merupakan sarana untuk mengungkapkan perasaan, sikap dan pikiran. Empat media sosialisasi pembelajaran bahasa yaitu keluarga, teman bermain, sistem pendidikan formal, dan media masa.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Gillian dan Yuli. 1996. Analisis Wacana. (Terj. I Soetikno). Jakarta: PT Gramedia. Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA-LAN Press. Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Maria S., Rumi. 2000. Pelaksanaan Pengajaran Apresaisi Puisi Siswa Kelas 1 SMUN 1 Kuala Lempuing Kotamadya Bengkulu. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib. Muhadjir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Nababan.. 1989. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi. Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Saadie, Mamur. dkk. 2007. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka. Sukarno. 1993. Kontruksi Tema Rema dalam Bahasa Indonesia Lisan tidak Resmi masyarakat Kodya Malang. Jakarta: Depdikbud. Suryanti, Lilis. 2009. Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Guru Sekolah Dasar Negeri di Seluma. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib. Yasin, Anas. 1991. Gramatika Komunikatif: Sebuah Model. (Disertasi) IKIP Malang. Yasin, Anas. 2002. Aplikasi Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa Asing. Makalah disampaikan pada pertemuan regional Masyarakat linguistik Indonesia (PIR-MLI) 18 Mei 2002. Yasin, Anas. 2002. Arah kajian bahasa: Kaitannya dengan Perkembangan Pendidikan, Iptek, dan Sosial Budaya. Makalah dalam SEKOLAR Volume 3, Nomor 1, Juni 2002.

You might also like