You are on page 1of 15

TUGAS Biologi Konservasi INVASI SPESIES

NUGROHO PONCO SUMANTO 0806420386

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI DEPOK 2008

Pendahuluan
Semua spesies mengalami penyebaran ke seluruh penjuru bumi dan pada akhirnya menetap di tempat dimana mereka dapat beradaptasi dan sintas. Seiring dengan perpindahan spesies, evolusi spesies, serta perubahan permukaan bumi, terciptalah pengkhususan spesies terhadap daerah persebarannya. Secara alamiah terdapat sawar-sawar yang membatasi persebaran setiap spesies, dan secara alamiah sebagian kecil dari populasi suatu spesies kadang dapat menembus sawar yang ada. Akan tetapi peristiwa seperti itu biasanya terjadi dalam skala kecil dan pupolasi yang berhasil menembus sawar yang ada biasanya mengalami tantangan besar dalam menetap dan sintas di daerah baru. Keadaan alamiah tersebut kini telah dirubah oleh manusia. Sejak awal peradaban manusia, khususnya ketika pengetahuan domestikasi telah dimiliki manusia, kita telah memindahkan/mengintroduksi beragam spesies dari daerah persebaran alamiahnya ke daerah yang seharusnya tidak dapat dijangkau spesies-spesies tersebut. Tidak jarang pula populasi spesies yang kita introduksi itu berada dalam jumlah yang cukup besar. Hal tersebut kita lakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja dan sialnya lagi dampak dari tindakan kita tersebut tidak jarang merugikan. Kerugian yang dimaksud diderita bukan hanya oleh spesies pribumi yang ada, tapi juga bagi manusia sendiri (Primack 1993, McGinley 2008). Pola penyebaran biota yang ada sekarang telah banyak dipengaruhi oleh tindakan pengintroduksian biota oleh manusia. Sekarang mudah untuk menemui spesies yang seharusnya berada di suatu area geografis berada di area yang lain. Kebanyakan dari biota tersebut diintroduksi oleh manusia untuk alasan kebutuhan hidup, sebagai contohnya hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing, kuda, kepiting, ikan, bahkan burung onta, tapi ada juga yang diintroduksi karena alasan estetika sebagai contoh beberapa tanaman hias seperti anggrek, eceng gondok, teratai, serta beberapa jenis alga. Selain biota yang diintroduksi dengan sengaja oleh manusia, banyak pula contoh pengintroduksian tanpa sengaja yang dilakukan oleh manusia, contoh yang mungkin paling dikenal adalah penyebaran tikus rumah dan kecoa. Hampir semua dari contoh diatas, dan contoh-contoh lainnya, belum kita ketahui dampaknya. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah sampai sekarang kita masih belum mengetahui secara pasti kapan dan bagaimana, berdasarkan faktor apa saja, sebuah spesies yang akan kita introduksi berubah menjadi invasif, skenario yang tidak kita inginkan (Primack 1993, Wonham 2006, McGinley 2008). Pentingnya mempertahankan pikiran yang terbuka terhadap spesies bukanpribumi
Sebelum melanjutkan pembahasan tentang introduksi dan invasi spesies, penulis ingin menunjukkan dua sisi introduksi dan invasi spesies yang mungkin tidak kita sadari. Satu sisi menunjukkan introduksi spesies yang berakibat kerusakan. Ikan Perch Sungai Nil menghancurkan populasi beragam spesies ikan Cichlid di danau Victoria. Kambing yang dibawa oleh pelaut Eropa ke pulau St. Helena pada abad ke 16 telah menghancurkan lebih dari setengah spesies tumbuhan pribumi pulau tersebut. Sedang sisi lainnya, sisi yang tidak banyak orang yang tahu, menunjukkan introduksi spesies yang justru membantu fungsi ekosistem. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh A.E. Lugo di Puerto Rico. Lugo menemukan bahwa pada daerah yang sudah terdegradasi, tumbuhan pribumi dapat tumbuh di bawah tutupan kanopi tumbuhan bukanpribumi. Lugo berpikiran bahwa spesies bukanpribumi yang secara hati-hati dibina akan menghasilkan dampak yang menguntungkan (Wonham 2006, McGinley 2008). Contoh lainnya dari tanaman introduksi yang bermanfaat bagi ekosistem tempat tumbuhan tersebut diintroduksi dapat dilihat di Bodogol, TNGGP. Di sana, tumbuhan yang dikenal sebagai Pohon Afrika mempunyai manfaat sebagai penghasil buah yang menjadi pakan banyak hewan, khususnya Owa Jawa (Febri & Rani 2007). Beberapa contoh diatas diharapkan dapat membuat kita, sebagai mahasiswa biologi konsevasi, bahwa masalah yang berhubungan dengan spesies bukan pribumi hendaknya disikapi dengan pikiran yang terbuka dan tanpa prasangka. Hal terakhir yang mungkin perlu diingat adalah pernyataan Ewel (1986) yang menyebutkan bahwa peristiwa invasi spesies biasanya lebih mencerminkan kondisi komunitas yang sedang diinvasi dibandingkan sifat dari spesies yang menginvasi (Wonham 2006).

Implikasi konservasi dari spesies introduksi


Dari jumlah serangan serta kerugian yang dihasilkan, skala dampak invasi spesies sangatlah mencengangkan. Di setiap daerah di benua Amerika dan kepulauan Hawai saja diperkirakan jumlah spesies invasif mencapai 1135% dari total tumbuhan darat yang ada pada tahun 2000. Angka tersebut menunjukkan bahwa spesies invasif mempunyai kemampuan untuk mendominasi suatu daerah. Pada tahun 1995, di seluruh dunia diperkirakan 20% spesies vertebrata terancam punah disebabkan spesies introduksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa spesies introduksi yang menjadi invasif dapat menyebabkan kepunahan spesies pribumi, khususnya yang memang sudah terancam punah (Primack 1993, Wonham 2006, McGinley 2008). Seperti yang dapat kita lihat pada gambar 9.1, tren peristiwa ecesis dari spesies invasif perairan di California saja menunjukkan peningkatan pesat Tren ecesis spesies invasif estuari dan maritim di teluk San Francisco, California (Wonham 2006) dari tahun ke tahun. Tren tersebut terjadi di hampir seluruh penjuru bumi (Wonham 2006). Persebaran spesies, seperti halnya kepunahan, merupakan peristiwa normal dalam sejarah evolusi bumi. Semua spesies memang seharusnya menyebar dan mengkolonisasi daerah lainnya. Akan tetapi, tindakan manusia memindah-mindahkan biota melewati sawar geografis yang ada telah mengacaukan keseimbangan yang ada (Brown & Lomolino 1998, Wonham 2006). Walau hanya sebagian kecil spesies introduksi yang berhasil sintas di tempat barunya, spesies yang berhasil mempunyai dampak ekologi, dan sebagian kecil dari spesies tersebut mempunyai dampak yang besar. Spesies-spesies berdampak besar tersebut harus dilihat dari sudut pandang konservasi, ekonomi, estetika, dan etika (Wonham 2006). Invasi spesies dapat mempengaruhi ekonomi, kesehatan masyarakat, dan biodiversitas. Pengaruh di bidang ekonomi dapat berupa keuntungan yang dihasilkan dari penjualan spesies bukanpribumi, sampai kerugian yang dikarenakan tidak terkontrolnya persebaran suatu spesies eksotik yang akhirnya menghancurkan populasi spesies lain yang mempunyai nilai ekonomi. Pengaruh di bidang kesehatan masyarakat kebanyakan bersifat buruk, yaitu menyebarnya penyakit dari satu daerah ke daerah lain. Dari segi biodiversitas, keuntungan dari invasi spesies adalah kemungkinan meningkatnya keanekaragaman jenis suatu daerah. Akan tetapi, yang sering terjadi adalah menurunnya keanekaragaman jenis daerah yang diinvasi karena keberadaan spesies invasif, serta menurunnya karagaman antar daerah karena semua daerah yang sukses diinvasi akan mempunyai keseragaman yang tinggi (Kendeigh 1974, Wonham 2006).

Dampak dari invasi


Dampak dari invasi dapat dievaluasi melalui sudut pandang ekologi dan evolusi. Pertama, kita dapat mempertimbangkan efek langsung maupun tidak langsung dari spesies penginvasi tunggal. Kedua, kita dapat mempertimbangkan kosekuensi terjadinya invasi berganda dan efek suatu penginvasian terhadap penginvasian yang sebelumnya. Ketiga, kita dapat memperhatikan dampak penginvasian terhapat perubahan komunitas, baik secara ekologi maupun evolusi. Perlu diingatkan bahwa pengambilan kesimpulan apakah suatu invasi berdampak baik atau buruk hendaknya dibuat untuk kasus yang spesifik di tempat dan kurun waktu yang spesifik (Wonham 2006).

3 Dampak pada populasi dan komunitas Spesies introduksi telah diketahui bertanggungjawab terhadap keterancaman dan kepunahan beragam spesies si muka bumi saat ini. Dampak skala populasi ini biasanya mudah untuk diamati, karena dapat mengakibatkan perubahan komunitas, struktur komunitas, serta tatanan fungsi komunitas (Wonham 2006). Pemangsa introduksi Sebuah contoh yang mencengangkan dari dampak introduksi pemangsa adalah introduksi Boiga irregularis ke wilayah Guam. Pengintroduksian tersebut memberikan contoh dampak pemangsa bukanpribumi terhadap populasi dan komunitas pulau yang biasanya terisolir. Daerah sebaran alamiah dari ular Boiga adalah dari Australia, Indonesia Timur dan New Guinea, sampai ke kepulauan Solomon. Pada perang dunia II, beberapa individu ular ini tampaknya menumpang di pesawat dan kargo tentara Amerika yang datang ke Guam dari salah satu tempat asal ular Boiga. Ular tersebut mulai menyebar secara pelan dan sampai tahun 1960-an masih ditemukan dalam kepadatan yang rendah. Sekitar tahun 1960, populasi ular tersebut mulai meledak. Makin banyak ular yang ditemukan memangsa ayam ternak dan mengakibatkan hubungan pendek listrik pada tiang listrik (Perry 2008, Wonham 2006). Pada waktu yang hampir bersamaan, Boiga dan daerah sebarannya di Guam (Wonham 2006, McGinley 2008) Guam mulai mengalami penurunan kekayaan jenis burung. Satu-persatu burung hutan Guam menghilang, 10 spesies burung pribumi hutan Guam perlahan menghilang dari hutan Guam. Sekitar tahun 1969, ke-10 spesies burung tersebut menghilang dari bagian selatan Guam. Pola menghilangnya spesies-spesies burung tersebut bergerak dari selatan pulau ke utara pulau, dan sekitar tahun 1986 ke-10 spesies tersebut diperkirakan telah hilang dari pulau Guam (Perry 2008, Wonham 2006). Pada mulanya, terjadi perdebatan berkepanjangan tentang penyebab hilangnya ke10 spesies burung tersebut. Ada yang memperkirakan pencemaran oleh pestisida yang menjadi penyebabnya [lihat kembali bab 3]. Ada juga yang memperkirakan bahwa penyakit yang dibawa oleh spesies burung introduksilah yang menjadi penyebabnya. Semua keadaan tersebut diperkirakan diperparah dengan tingginya kompetisi dengan spesies burung introduksi, adanya pemangsa introduksi seperti tikus, kucing, serta mamalia lainnya. Kemudian diketahui bahwa meledaknya populasi Boiga irregularis mengakibatkan semakin banyaknya spesies burung Guam yang dimangsa oleh ular tersebut. Selain ke-10, sekitar tahun 2006 telah menjadi 15, spesies burung tersebut Boiga juga memangsa kadal, tikus, ayam, serta beragam mamalia, aves, dan reptil kecil lainnya (Wonham 2006). Kasus lainnya yang hampir sama terkenalnya adalah kasus Achatina fulica yang diintroduksi di Hawaii sebagai hewan hiasan. A. fulica kemudian menyebar dan menjadi hama di Hawaii. Untuk mengatasinya, pemerintah Amerika mengintroduksi 15 spesies keong pemangsa bukanpribumi. Tiga spesies berhasil ecesis. Dari ketiga spesies tersebut, Euglandina rosea malah memangsa

4 sekitar 20 spesies keong endemik Hawaii. Kerusakan yang diakibatkan spesies keong pemangsa tersebut bukan hanya kerusakan ekologis, tapi juga ekonomis (Wonham 2006). Alasan kenapa pemangsa introduksi dapat mengakibatkan kerusakan yang begitu besar biasanya bukanlah karena sifat pemangsa, akan tetapi sifat mangsa dan lingkungan tempat pemangsa tersebut diintroduksi (Wonham 2006). Kemungkinan satu-satunya sifat pemangsa yang berpengaruh hanyalah kecepatan pemangsa tersebut beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan baru. Selanjutnya, cocok dan tidak beragamnya iklim, sedikit, atau tidak ada, -nya pemangsa saingan, keluguan dari mangsa [karena sedikit atau tidak adanya pemangsa pribumi], terdegradasinya lingkungan oleh kegiatan manusia, dan sifat lainnya dari ekosistem dan komunitas tempat pemangsa tersebut diintroduksi yang memegang kunci keberhasilan suatu pemangsa Kerang zebra yang menutupi bibir cangkang pesaingnya introduksi (Brown & Lomolino 1998, Wonham ( McGinley 2008) 2006). Pesaing introduksi Tidak seperti pemangsa introduksi yang menurunkan populasi spesies pribumi dengan cara membunuh mereka secara langsung, pesaing introduksi menurunkan populasi spesies pribumi dengan cara menghambat fungsi alamiah dari spesies pribumi. Hal tersebut membuat dampak pesaing introduksi terhadap spesies pribumi terkadang sulit untuk diamati (Wonham 2006). Sebagai contoh adalah kerang zebra eurasia yang menekan populasi kerang pribumi dengan cara menempel pada kerang pribumi dan mengakibatkan kerang yang ditempeli menurun kemampuannya untuk mengumpulkan makanan (Wonham 2006, McGinley 2008). Hal lain yang perlu diingat tentang pesaing introduksi adalah sifat dari spesies introduksi mempunyai andil yang sama besar dengan sifat dari ekosistem tempat pesaing tersebut diintroduksi. Bila pemangsa introduksi mengandalkan keluguan mangsa barunya, maka pesaing reproduksi mengandalkan kemajuan evolusi dirinya terhadap pesaingnya (Brown & Lomolino 1998, McGinley 2008). Sebagai contoh dari kejadian tersebut adalah Impatiens glandulifera yang menghasilkan nektar lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan dengan spesies pribumi di Eropa. I. glandulifera memenangkan persaingan untuk menarik penyerbuk sehingga tumbuhan tersebut dapat menghasilkan lebih banyak benih dan spesies pribumi yang disaingi oleh tumbuhan tersebut menurun produksi benihnya (Wonham 2006). Penyakit introduksi Pengintroduksian penyakit biasanya terjadi tanpa sengaja. Pengintroduksian penyakit biasanya berakibat fatal bagi komunitas daerah pengintroduksian. Hal tersebut disebabkan, sama seperti lugunya mangsa yang berevolusi di pulau tanpa pemangsa, spesies pribumi yang berevolusi tanpa hadirnya suatu penyakit tidak akan mengembangkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit yang bersangkutan. Suatu penyakit yang di suatu daerah kecil kemungkinannya untuk membunuh suatu spesies dapat menghabisi spesies yang sama di tempat lain (Primack 1993, Brown & Lomolino 1998, McGinley 2008).

5 Introduksi berganda Bila introduksi dan invasi terjadi berkali-kali di suatu daerah, maka antar spesies penginvasi juga akan mengalami interaksi. Interaksi antar spesies invasif tersebut dapat berakibat menjadi: 1. Antar spesies invasif akan saling mendukung. 2. Antar spesies invasif akan saling menghambat. (Wonham 2006) Dalam interaksi antar dua spesies introduksi, ada suatu keadaan yang dinamakan Invasion meltdown. Invasion meltdown adalah peristiwa dimana dua spesies introduksi yang bila hanya sendiri tidak akan merugikan, akan tetapi bila bertemu dengan spesies introduksi lainnya yang cocok, kedua spesies tersebut akan menjadi invasif (McGinley 2008). Dari dua kemungkinan hasil interaksi yang ada, hasil interaksi nomor dualah yang biasanya diinginkan dalam konservasi ekosistem. Sifat interaksi antar spesies invasif tersebutlah yang mendasari lahirnya ide kontrol biologis untuk spesies introduksi. Dampak pada morfologi dan perilaku Bila spesies yang diintroduksi berhasil menjalani ecesis, maka spesies tersebut akan merubah ekosistem yang diinvasi bukan hanya dari segi ekologi, tapi juga dari segi evolusi. Semua spesies pribumi yang berhasil beradaptasi bersama dengan spesies introduksi akan memiliki morfologi dan perilaku yang berbeda dengan ketika spesies introduksi tersebut tidak ada (Brown & Lomolino 1998). Sebagai contoh, sekitar tahun 1900-an, pantai barat laut dari benua Amerika diserang oleh Carnicus maenas [kepiting hijau eropa]. Pada daerah tersebut, Littorina obtusata [keong pasangsurut Amerika] yang ada mengembangkan cangkang yang lebih tebal dan massa tubuh yang lebih kecil. Penebalan cangkang dilakukan karena keong bereaksi terhadap adanya pemangsa [kepiting] (Wonham 2006). Bila keadaan tersebut terus berlanjut, maka ada kemungkinan kedua spesies tersebut akan menjalani evolution arms race. Pengintroduksian spesies juga dapat menyebabkan perubahan perilaku dari organisme lain di daerah introduksi. Sebagai contoh, spesies-spesies lebah madu di Eropa lebih memilih untuk mengunjungi bunga Impatiens glandulifera dibandingkan spesies pribumi yang ada (Wonham 2006). Dampak genetik dan evolusi Perusakan yang dilakuakn oleh spesies invasif bukan hanya perusakan yang kasat mata saja, akan tetapi perusakan juga dapat terjadi di tingkat genetik. Spesies introduksi yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan spesies pribumi sering kali melakukan kawin silang dan menghasilkan hibrid yang tidak jarang bersifat lebih ganas dari kedua spesies induknya (Wonham 2006). Dampak genetik dan evolusi dari keberadaan spesies introduksi sangatlah sulit diamati. Akan tetapi, hasil dan tahapan terjadinya dampak genetik dan evolusi masih dapat teramati. Sebagai contoh, perubahan morfologi dan perilaku yang telah dibahas sebelumnya. Perlu diingat bahwa hal yang membedakan antara proses dan hasil akhir evolusi adalah pembentukan spesies baru (Wonham 2006).

6 Dampak terhadap ekosistem Spesies invasif tertentu mempunyai dampak tertentu pula terhadap ekosistem yang diinvasi. Dampak yang dimaksud dapat berupa perubahan struktur habitat, perubahan rezim gangguan, serta perubahan daur nurien. Perubahan sruktur habitat dapat berupa perubahan struktur komunitas habitat yang diinvasi. Bila struktur komunitas berubah, maka fungsi dari komunitas [dan ekosistem] akan terganggu. Bila fungsi ekosistem terganngu, maka perubahan habitat dapat terjadi. Perubahan rezim gangguan bukan hanya dapat terjadi di daerah dimana gangguan [kebakaran, longsor, banjir, dsb.] terjadi secara rutin, tetapi juga pada daerah yang jarang, atau tidak pernah, terjadi gangguan. Pada daerah yang sering terjadi gangguan, dampak yang dihasilkan dapat berupa naiknya intensitas dan kekuatan gangguan. Dampak lain dapat juga berupa menurunnya intensitas dan kekuatan gangguan. Dampak buruk dari peningkatan gangguan mungkin mudah untuk dipahami, tapi dampak buruk dari penurunan gangguan biasanya jarang dimengerti orang. Setiap ekosistem mempunyai kekhasan masing-masing, dan pada ekosistem dimana gangguan sering terjadi, maka spesies yang berada di sana biasanya berevolusi untuk memanfaatkan gangguan yang terjadi. Bila terjadi penurunan intensitas dan kekuatan gangguan, maka bukan hal yang mustahil bila terjadi penurunan fungsi ekosistem. Hal terakhir adalah perubahan daur nutrien. Bila terjadi suatu invasi oleh suatu spesies, maka biasanya rantai makanan dan laju perputaran nutrien akan berubah. Hal tersebut disebabkan pola konsumsi spesies introduksi tidaklah sama dengan spesies pribumi. Introduksi spesies juga dapat merubah rantai makanan yang ada. Nutrien disini bukanlah hanya yang berbentuk bahan organik, tapi juga yang nonorganik (Kendeigh 1974, Wonham 2006). Mengukur dampak spesies penginvasi

Dalam dunia biologi konservasi, hampir tidak mungkin untuk mengatasi semua kasus invasi spesies. Untuk mengatasi masalah tersebut, para ahli konservasi mencoba untuk mengembangkan cara untuk menghitung spesies mana yang menghasilkan dampak terbesar terhadap ekosistem yang diinvasi. Perhitungan paling sederhana adalah yang dibuat oleh Parker dkk. Pada tahun 1999. mereka menyatakan bahwa dampak (I) merupakan akumulasi dari pengaruh (E) suatu populasi spesies (A) pada daerah sebarannya (R) [I=RxAxE]. Masalah dengan perhitungan tersebut adalah pertumbuhan A dan E belum tentu linear sehingga total pengaruh dari suatu spesies introduksi belum tentu AxE. Satu masalah lagi dengan perumusan tersebut adalah tidak diakomodasinya interaksi antar spesies penginvasi dengan spesies pribumi dan spesies penginvasi lainnya. Perhitungan dampak spesies penginvasi untuk menentukan spesies mana yang harus diawasi dan spesies mana yang mendesak harus dikontrol (Wonham 2006).

Faktor yang menyebabkan spesies bukanpribumi menjadi invasif


Ada banyak faktor yang menjadikan suatu spesies bukanpribumi sukses menginvasi suatu daerah. Pertama, suatu jalur invasi harus tersedia agar spesies bukanpribumi dapat melewati sawar geografis yang ada. Kedua, jalur tersebut harus dapat menghantarkan tekanan propagular yang cukup besar . Ketiga, spesies bukanpribumi tersebut harus, pada suatu saat, dapat beradaptasi di lingkungan baru agar dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Terakhir, interaksi antara spesies bukanpribumi dengan spesies pribumi dan juga dengan spesies bukanpribumi lainnya. Setiap kasus invasi mungkin lebih dibengaruhi oleh satu atau lain faktor dibanding yang

7 lainnya. Setiap kasus invasi hendaknya disikapi sebagai kumpulan peristiwa yang mirip, tapi tidak sama (Brown & Lomolino 1998, Wonham 2006). Jalur invasi Jalur invasi yang diperlukan untuk suatu spesies bukan pribumi agar dapat sukses menginvasi suatu daerah adalah sebuah jalur yang aman. Aman disini berarti jalur tersebut memungkinkan bagi spesies bukanpribumi yang bersangkutan untuk melewati sawar geografis tanpa mengurangi fitnesnya dengan signifikan (Brown & Lomolino 1998). Tekanan propagular Secara singkat, tekanan propagular merupakan kuantitas, kualitas, dan frekuensi spesies yang datang. Di daerah yang baru, semua spesies mengalami tekanan seleksi yang tidak kecil. Untuk dapat dengan sukses mengkolonisasi daerah baru, semua spesies yang akan menginvasi daerah baru haruslah mempunyai ukuran populasi awal yang cukup besar. Ukuran dari populasi awal berbeda antar spesies. Ukuran tersebut juga tidak harus dicapai dalam satu gelombang kolonisasi, tapi dapat dicapai dalam beberapa gelombang yang berdekatan kurun waktunya. Setelah berhasil mencapai besar populasi awal minimum, spesies penginvasi haruslah dapat beradaptasi dan berkembangbiak serta menyebar di daerah baru (Primack 1993, Brown & Lomolino 1998, Wonham 2006). Karakteristik spesies penginvasi Hampir semua spesies dapat menginvasi suatu daerah baru. Akan tetapi, kelihatannya ada beberapa spesies yang mampu mengivasi lebih baik daripada spesies lainnya. Beberapa sifat dari spesies penginvasi yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan menginvasi mereka diantaranya mudah beradaptasi, fekunditas tinggi, kemampuan untuk menyebar lebih jauh, kemampuan untuk bereproduksi secara vegetatif ataupun partenogenesis, toleransi fisiologis dan makanan yang luas, ketahanan terhadap heterogenitas genetik yang rendah, ketahanan terhadap kerapatan populasi yang tinggi, memiliki strategi seleksi r, serta sifat-sifat lainnya. Akan tetapi, kesemua sifat tersebut kadang bukanlah alasan kenapa suatu spesies berhasil menginvasi suatu daerah. Kadang kala, alasannya adalah karena keberuntungan. Suatu spesies dapat mendapatkan cukup keberuntungan untuk dapat lepas dari musuh alaminya di daerah yang baru [enemy release]. Kasus keberuntungan spesies penginvasi lainnya adalah bila suatau spesies melewati bottleneck penginvasian dengan gen-gen yang menguntungkan untuk bertahan hidup daerah barunya (Primack 1993, Rejmanek & Richardson 1996, Brown & Lomolino 1998, Wonham 2006). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehebat apapun spesies yang menginvasi, karakteristik tersebut tidak akan begitu mempunyai pengaruh bila tekanan daerah baru yang akan diinvasi terlalu keras.
Peristiwa terjadinya efek bottleneck pada invasi yang sukses ( Wonham 2006)

8 Karakteristik daerah yang diinvasi

Pada tahun 1958, Elton memprostulatkan hipotesis resistensi biotik. Di dalam prostulatnya, Elton menyatakan bahwa ekosistem yang memiliki kekayaan jenis yang tinggi akan menjadi lebih stabil dan lebih tahan terhadap serangan invasi spesies lain. Akan tetapi, keadaan tersebut tidak selalu benar, penelitian yang dilakukan oleh Levine dan peneliti lainnya menunjukkan hasil yang saling bertentangan. Hal tersebut dikarenakan faktor yang Hubungan suksesnya invasi dengan ketersediaan menentukan mudah-tidaknya suatu daerah diinvasi bukanlah sumber daya ( Wonham 2006) nilai kekayaan jenis daerah tersebut semata. Selain kekayaan jenis, banyaknya relung yang kosong juga mempunyai pengaruh. Pada daerah yang tidak mempunyai relung yang kosong, spesies bukanpribumi akan mengalami kesulitan untuk dapat bertahan hidup, apalagi sukses menginvasi. Karakteristik lainnya yang mungkin berpengaruh adalah tingkat gangguan daerah yang bersangkutan. Gangguan di sini dapat berupa gangguan alamiah ataupun antropogenik. Dalam mengamati dampak gangguan terhadap kerentanan suatu daerah terhadap invasi, kita harus berhati-hati dalam memisahkan gangguan yang menyebabkan suksesnya invasi dengan gangguan yang disebabkan oleh invasi. Karakteristik lainnya adalah banyaknya sumberdaya yang kosong. Semakin sedikit sumberdaya yang kosong, maka semakin tinggi pula tingkat persaingan antar spesies. Hal tersebut akan mengakibatkan terhambatnya invasi (Brown & Lomolino 1998, Wonham 2006). Bila semua karakteristik diatas digabungkan, kita dapat melihat gambaran karakteristik daerah yang mendukung ataupun menghambat suatu invasi. Bila ada suatu daerah yang keaneragaman jenisnya tinggi biasanya mempunyai sedikit relung yang kosong dan bila daerah yang bersangkutan memiliki sumberdaya yang sangat terbatas, maka tingkat persaingan antar spesies daerah tersebut akan tinggi. Daeraha serti itu biasanya memiliki dinamika komunitas yang tinggi. Dinamika komunitas yang tinggi akan mengakibatkan tingginya tingkat persaingan antar spesies dan cepatnya sumberdaya terbagi, bahkan bila terjadi gangguan yang tak begitu besar. Daerah tersebut tentunya merupakan daerah yang cukup sulit untuk diinvasi.

Proses pengintroduksian spesies


Manusia merupakan salah satu biota yang persebarannya paling luas di muka bumi. Manusia juga mempunyai kemampuan untuk mengubah sifat biota lainnya demi keuntungan umat manusia. Kedua hal tersebut menyebabkan manusia menjadi vektor, kalau bukan alasan, dari pengintroduksian beragam biota pada beragam daerah. Tindakan manusia yang sudah merubah pola persebaran biota tersebutlah yang sebenarnya melahirkan masalah introduksi dan invasi spesies (Primack 1993, Brown & Lomolino 1998, Wonham 2006, McGinley 2008). Maka, untuk menghindari dan mengatasi masalah invasi spesies yang sudah terjadi, maka ada baiknya kita mencermati tentang bagaimana jalur introduksi dan invasi spesies terjadi. Secara singkat, terdapat jalur yang tidak disengaja dan jalur yang disengaja. Pembagian lebih lanjut adalah berdasarkan modus transportasi, yaitu darat, air, serta udara.

9 Jalur yang tidak disengaja

Jalur introduksi spesies yang pertama tentunya melalui jalur darat. Manusia yang sudah menguasai tekhnik domestikasi berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya dengan membawa biota-biota yang telah berhasil mereka domestikasi. Selain biota-biota yang sudah didomestikasi, manusia juga membawa biota-biota yang lainnya. Biota-biota tersebut umumnya bersifat hama, penyakit, serta beberapa yang tidak mempunyai pengaruh terhadap manusia maupun biota hasil domestikasi. Beberapa contoh biota-biota hama tersebut diantaranya jamur penyakit pada kentang dan gandum, tikus, kecoa, virus flu, serta cacing endoparasit. Salah satu contoh biota yang tidak sengaja diintroduksi manusia ke daerah lainnya yang tidak bersifat hama adalah laba-laba (Brown & Lomolino 1998). Jalur introduksi selanjutnya merupakan jalur perairan [termasuk laut]. Jalur ini telah membentuk, atau lebih cocok disebut merombak, pola persebaran spesies di bumi. Perjalanan melintasi badan air besar, seperti danau dan sungai besar serta laut, telah memungkinkan manusia, serta biota-biota yang sudah menumpang semenjak manusia masih memanfaatkan jalan darat, untuk menembus sawar [bagi biota darat] yang lebih hebat daripada jarak yang jauh, air. Perjalanan lintas laut pertama umat manusia kemungkinan dilakukan oleh bangsa Polinesia. Jauh sebelum bangsa eropa dapat membuat kapal yang layak berlayar di laut, bangsa Polinesia telah mencapai kepulauan yang berada jauh dari semua daratan. Bersama bangsa Polinesia tersebut, beberapa biota ikut menyebrangi lautan. Yang sedang dibicarakan disini bukanlah kambing, babi, atapun anjing. Yang sedang dibicarakan disini adalah jamur, kutu, dan tentu saja kecoa (Brown & Lomolino 1998). Tapi perubahan yang dilakukan oleh bangsa Polinesia terhadap pola persebaran spesies bumi bukanlah apa-apa dibandingkan dengan yang dilakukan oleh bangsa Eropa pada sekitar abad ke 13. Bangsa Eropa telah merubah pola persebaran spesies dengan menyebarkan bukan hanya hewan ternak mereka, tetapi juga tikus, kecoa, serta hama lainnya. Kapal kayu Eropa juga mempunyai andil untuk menyebarkan spesies-spesies berukuran kecil seperti teritip, cacing pengebor, kepiting, alga, serta biota lainnya yang menjadi penumpang gelap di kayu kapal, lambung kapal, serta pemberat (ballast). Tindakan bangsa Eropa menolong biota di bumi untuk menyebar di luar daerah sebaran alami mereka tidak berhenti sampai di sana. Bangsa Eropa [dan Amerika] memutuskan untuk membelah daratan dan membentuk kanal. Kanal-kanal tersebut menghubungkan antara dua badan air besar dan sekaligus menghilangkan sawar terbesar untuk hewan perairan, daratan. Perkembangan tekhnologi perlayaran tidak menolong untuk memperlambat introduksi spesies, bahkan semakin memperparahnya. Perubahan ballast padat di kapal kayu dengan ballast cair di kapal besi memungkinkan ikan dan biota lainnya untuk menumpang di air ballast. Saat ini, kemungkinan spesies laut yang kosmopolit merupakan bukti pengintroduksian oleh manusia berabad-abad yang lalu (Brown & Lomolino 1998, Wonham 2006). Jalur introduksi terbaru adalah melalui udara. Pengintroduksian melalui jalur ini dapat melewati hampir semua sawar geografis yang ada di permukaan bumi. Sekedar mengingatkan, kasus Boiga di Guam menunjukkan hasil introduksi melalui jalur udara. Kelebihan dari pengintroduksian melalui jalur udara, selain mampu melewati hampir semua sawar, adalah cepatnya perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya dibandingkan dua jalur sebelumnya. Waktu tempuh yang singkat menyebabkan spesies yang terintroduksi masih besar kemungkinannya untuk hidup sesampainya di daerah baru. Penurunan fekunditas dan fitnes sementara yang dialami spesies introduksi juga kecil dibandingkan dua jalur lainnya (Primack 1993, Brown & Lomolino 1998, McGinley 2008).

10 Jalur yang disengaja Seperti telah diceritakan sebelumnya, manusia telah memindahkan berbagai biota dengan berbagai alasan. Kasus Euglandina rosea yang akhirnya menghancurkan spesies keong pribumi merupakan satu dari banyak kasus lainnya yang menunjukkan bahwa keputusan manusia untuk mengintroduksi suatu spesies sering berakibat fatal (Wonham 2006). Kejadian yang paling sering terjadi pada pengintroduksian biota yang tidak direncanakan dengan benar adalah menjadi liarnya biota yang diintroduksikan. Pada hewan, peristiwa tersebut dikenal sebagai feral. Spesies feral bersikap seperti kerabatnya yang liar, tapi dengan keunggulan hewan domestikasi. Kehancuran yang dilakukan oleh kucing, anjing, kuda, kambing, babi, dan hewan ternak serta peliharaan lain yang menjadi feral telah banyak dikenal oleh kita. Kasus kepunahan beragam marsupial di Tazmania sedikit banyak disebabkan oleh anjing feral (Brown & Lomolino 1998).

Pengelolaan invasi spesies


Penghambatan invasi Penghambatan terjadinya invasi masih merupakan cara yang paling murah dalam usaha mengatasi invasi spesies bukanpribumi, tapi bukan berarti mudah. Cara untuk menghambat terjadinya invasi adalah dengan mengawasi dengan seksama jalur-jalur masuk spesies introduksi yang sudah kita bicarakan. Pengetahuan spesifik tentang spesies penginvasi akan membuat pengawasan dan penghalangan invasi lebih mudah (Wonham 2006, McGinley 2008). Kontrol invasi awal Bila invasi sudah terjadi dan tidak dapat dihambat lagi, cara termurah kedua adalah dengan memusnahkan populasi awal invasi sebelum spesies yang menginvasi tersebut berhasil meningkatkan populasinya. Pemusnahan pada tahap awal invasi juga bermanfaat untuk menghindari spesies invasif untuk mengalami ecesis dan memiliki fungsi ekologis di ekosistem yang diinvasi. Bila berhasil dilakukan, kontrol invasi awal akan mengatasi masalah invasi spesies tanpa mengganggu ekosistem daerah tujuan invasi (Wonham 2006, McGinley 2008, Kendeigh 1974). Kontrol berbasis spesies Kontrol berbasis spesies mempunyai tujuan mengetahui secara cepat tentang sifat dari spesies pengintroduksi dan memutuskan cara pengontrolan mana, dari cara mekanik, kimiawi, serta biologis, yang paling tepat untuk mengatasi serangan spesies tersebut di wilayah yang bersangkutan. Harap diingat bahwa walau ketiga cara pengontrolan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Cara mekanik mempunyai kelebihan murah dan relatif tidak rumit untuk dilakukan. Tapi cara tersebut memerlukan banyak ternaga dan waktu, serta cara tersebut tidak cocok untuk spesies yang justru meningkat fekunditasnya bila terganggu (Wonham 2006, McGinley 2008). Cara kimiawi mempunyai kelebihan lebih ampuh dibandingkan kontrol mekanik dan kontrol kimiawi dapat dilakukan di wilayah yang jauh luas dengan konsumsi tenaga yang kecil. Akan tetapi,

11 cara ini mempunyai kelemahan dapat mencemari lingkungan bila tidak dilakukan dengan benar. Spesies invasif yang akan dimusnahkan juga dapat mengembangkan imunitas terhadap racun yang dipakai (Wonham 2006, McGinley 2008). Cara biologis mempunayi kelebihan tidak mencemari lingkungan dan memerlukan tenaga yang jauh lebih sedikit dibandingkan dua cara lainnya, tapi cara ini mempunyai kelemahan yaitu adanya kemungkinan spesies pengontrol justru menjadi spesies invasif yang lebih parah (Wonham 2006, McGinley 2008) Managemen ekosistem Managemen ekosistem sebenarnya merupakan integrasi dari penghambatan invasi, pengontrolan invasi pada tingkat awal, serta kontrol berbasis spesies. Managemen ekosistem merupakan usaha terpadu memanfaatkan sifat ekosistem yang bersangkutan, jalur invasi yang melewati ekoistem tersebut, serta sifat kandidat-kandidat spesies penginvasi yang ada (McGinley 2008).

Peraturan di Amerika tentang spesies introduksi ( Wonham 2006)

12

Rangkuman
1. Pengamatan terhadap invasi spesies dari sudut pandang konservasi menunjukkan bahwa introduksi spesies dapat menyebabkan perubahan ekologis yang besar. Dampak jangka panjang dari perubahan tersebut sampai sekarang masih sulit untuk diprediksi. Untuk mengetahui dampak jangka panjang dari introduksi spesies, kita harus mengetahui aspek-aspek bilogis, ekologis, bahkan ekonomis dari spesies yang akan di introduksi dan tempat mengintroduksi. 2. Setiap spesies yang berhasil menginvasi memiliki pengaruh terhadap ekosistem yang diinvasi. Pengaruh tersebut dapat sangat kecil sehingga tidak teramati sampai pengaruh ekstrim seperti merubah tatanan ekosistem. Level pengaruh yang dimaksud juga beragam, mulai dari level genetik, perilaku, populasi, komunitas, sampai level ekosistem. Untuk benar-benar mengevaluasi dampak dari invasi spesies secara keseluruhan, kita harus memperhatikan dampak langsung dan tidak langsung dari invasi spesies pada semua level pengaruh. Hendaknya dalam mengevaluasi dampak dari invasi spesies, kita hendaknya menghindari pelabelan baik atau buruk, melainkan hendaknya dilihat dari sudut pandang sesuai tujuan atau tidak. 3. Harus diingat bahwa semua spesies dapat menjadi spesies invasif dan semua ekosistem dan komunitas dapat diinvasi, bila dalam keadaan yang sesuai. Dua faktor utama yang harus diperhatikan dalam menghambat invasi spesies adalah jalur invasi dan tekanan propagular. 4. Sifat dari spesies penginvasi serta sifat dari ekosistem dan komunitas yang diinvasi juga merupakan faktor penting bagi sukses-tidaknya suatu peristiwa invasi. Sifat spesies penginvasi yang dapat membantu suksesnya invasi diantaranya eratnya hubungan spesies dengan aktivitas manusia, besarnya pool genetik spesies tersebut, serta terciptanya hubungan yang menguntungkan dengan spesies yang berada di ekosistem yang diinvasi atau dengan spesies penginvasi lainnya. 5. Sifat dari ekosistem dan komunitas yang diinvasi yang dapat meningkatkan kemungkinan suksesnya invasi diantaranya adalah adanya jalur invasi dari daerah yang mempunyai iklim dan keadaan habitat yang mirip. Selain itu, tampaknya sukses-tidaknya invasi dipengaruhi oleh kekayaan jenis daerah yang diinvasi, ketersediaan sumber daya, ada-tidaknya relung yang kosong, serta tingkat gangguan pada daerah yang diinvasi. 6. Telah banyak spesies yang dipindahkan oleh manusia, baik secara sengaja maupun tidak. Eradikasi dan penghambatan total dari seluruh invasi spesies di seluruh penjuru bumi merupakan tujuan yang tidak relistik, dan mungkin dapat berakibat buruk. Jalan keluar terbaik mungkin dengan menggunakan kotrol terpadu untuk invasi spesies, baik secara mekanik, kimiawi, baik secara biologi. Haruslah diingat bahwa masing-masing cara kontrol mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing dan kegitanya harus digunakan secara bijak agar tidak menambah masalah.

13

Daftar acuan
Brown, J.H. & M.V. Lomolino. 1998. Biogegraphy. 2nd ed. Sinauer Associates, Inc., Sunderland: xii + 691 hlm. Febri & Rani. 2007. Pembinaan habitat Owa Jawa di TNGGP. http://gedepangrango.org/pembinaanhabitat-owa-jawa-di-tnggp/. 15 Oktober 2008, pukul 00.02 WIB: 1 hlm. Kendeigh, S.C. 1974. Ecology: with special reference to animals and man. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs: vi + 474 hlm. McGinley, M. 2008. Invasive species. http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/ loose.dtd. 14 Oktober 2008, pukul 23.05 WIB: 1 hlm. Perry, G. 2006. Boiga irregularis. http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=54. 15 Oktober 2008, pukul 01.00 WIB: 1 hlm. Primack, R.B. 1993. Essentials of conservation biology. Sinauer Associates, Inc., Sunderland: x + 564 hlm. Rejmanek, M. & D.M. Richardson. 1996. What attributes make some plant species more invasive?. Ecology, 77 (6): 16551661. Wonham, M. 2006. Species invasions. Dalam: Groom, M.J., G.K. Meffe & C.R. Carroll. 2006. Principles of conservation biology. 3rd ed. Sinauer Associates, Inc., Sunderland: 293331.

14

Glosarium

Alien species Cryptogenic

Spesies asing; Sama dengan nonnative species. Kriptogenik; Istilah yang dipakai untuk spesies yang statusnya -pribumi atau bukan tidak dapat ditentukan; biasanya dipakai untuk spesies yang kosmopolit atau mempunyai identitas taksonomi yang tidak jelas, menjadikan penentuan daerah geografis asal spesies yang bersangkutan menjadi sulit. Proses menetap dan sintasnya spesies bukanpribumi di suatu daerah baru. Pemusnahan, eradikasi total. Spesies eksotik; Sama dengan nonnative species. Biasanya mengacu kepada hewan; Keadaan dimana hewan yang sudah didomestikasi/ dijinakkan lepas ke alam dan menjadi liar kembali. Sama dengan native species. Spesies introduksi; Spesies yang dilepas di luar daerah sebaran alaminya; Berhubungan dengan alien, nonnative, nonindigenous. Proses pelepasan spesies bukanpribumi (baik sengaja maupun bukan). Proses menetap dan menyebarnya spesies bukanpribumi di daerah yang bukan daerah persebaran alami mereka. Spesies bukanpribumi yang persebarannya di luar daerah persebaran alamiahnya dapat, atau sudah, menimbulkan kerugian bagi spesies pribumi. Spesies pribumi; Spesies yang berevolusi di wilayah yang bersangkutan.

Ecesis Extirpation Exotic species Feral

Indigenous species Introduced Introduced species Introduction Invasion Invasive species Native species

Nonindigenous spe- Spesies bukanasli; Sama dengan nonnative species. cies Nonnative species Reintroduction Spesies bukanpribumi; Spesies yang berada di luar daerah persebaran alamiahnya. Mengacu kepada pelepasliaran kembali individu-individu spesies pribumi di daerah dimana spesies yang bersangkutan telah langka, bahkan punah; daerah pelepasliaran masih merupakan daerah persebaran alamiah spesies yang bersangkutan.

You might also like