You are on page 1of 105

TEKNOLOGI PROSES PENCANGKOKAN AKRILAT PADA KARET ALAM MENGGUNAKAN INISIATOR HIDROGEN PEROKSIDA

Oleh DIAH JUNIARTI F34102048

2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TEKNOLOGI PROSES PENCANGKOKAN AKRILAT PADA KARET ALAM MENGGUNAKAN INISIATOR HIDROGEN PEROKSIDA

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh DIAH JUNIARTI F34102048

2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN TEKNOLOGI PROSES PENCANGKOKAN AKRILAT PADA KARET ALAM MENGGUNAKAN INISIATOR HIDROGEN PEROKSIDA

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh DIAH JUNIARTI F34102048

Dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1984 Di Demak Tanggal Kelulusan : Disetujui, Bogor, 2008 Januari 2008

Drs. Chilwan Pandji, Apt. MSc. Pembimbing I

Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi Pembimbing II

DIAH JUNIARTI. F34102048. Teknologi Proses Pencangkokan Akrilat Pada Karet Alam Menggunakan Inisiator Hidrogen Peroksida. Di bawah Bimbingan Chilwan Pandji dan Ary Achyar Alfa. 2008. RINGKASAN Karet alam memiliki sifat kepegasan, kuat tarik dan elastisitas yang tinggi, daya lengket yang baik, ketahanan kikis dan sobek yang baik, serta mudah digiling. Adanya kandungan ikatan tidak jenuh dan ketidakpolaran yang tinggi di dalam molekulnya menyebabkan karet alam memiliki kelemahan, antara lain tidak tahan terhadap panas, oksidasi, ozon, dan pelarut hidrokarbon. Kondisi ini mendorong dilakukannya berbagai macam modifikasi molekul karet alam untuk memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia karet alam. Kopolimerisasi merupakan salah satu bentuk modifikasi karet alam secara kimia dengan cara memasukkan monomer senyawa yang lebih polar ke dalam molekul karet alam. Monomer yang akan dimasukkan ke dalam molekul karet adalah metil metakrilat. Monomer metil metakrilat merupakan monomer vinilik yang bersifat hidrofilik dengan beberapa sifat unggul dalam bentuk polimernya, yaitu kebeningan, tahan terhadap panas dan oksigen, sifat mekanis yang baik, serta tahan terhadap sinar matahari dan minyak. Keberhasilan proses modifikasi dengan senyawa vinilik akan lebih besar bila menggunakan lateks yang telah diturunkan kadar proteinnya (lateks DPNR) melalui proses deproteinisasi secara enzimatis. Pada penelitian ini karet alam bertindak sebagai polimer yang akan diubah struktur molekulnya dengan penambahan monomer metil metakrilat (MMA) dan inisiator hidrogen peroksida (H2O2) melalui proses kopolimerisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya kopolimerisasi cangkok lateks DPNR dengan salah satu senyawa vinilik turunan akrilat, mengetahui pengaruh konsentrasi MMA dan konsentrasi H2O2 terhadap tingkat keberhasilan kopolimerisasi cangkok, serta mengetahui karakteristik hasil kopolimerisasi cangkok pada beberapa taraf penelitian dibandingkan dengan karet alam sebagai kontrol. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mempersiapkan bahan baku yaitu lateks DPNR untuk proses kopolimerisasi cangkok. Penelitian utama yaitu proses kopolimerisasi cangkok dan karakterisasi hasil kopolimerisasi cangkok. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor, yaitu faktor konsentrasi MMA terdiri dari 3 taraf, yaitu 10, 20, 30 phr, serta faktor konsentrasi H2O2 terdiri dari 3 taraf, yaitu 2, 3, 4 phr. Adapun pengujian utama terhadap lateks hasil kopolimerisasi cangkok meliputi spektroskopi FTIR, viskositas mooney, viskositas intrinsik, dan bobot molekul, sedangkan parameter pendukungnya adalah kadar nitrogen. Keberhasilan proses kopolimerisasi dapat dideteksi lebih awal melalui pengujian spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared). Terdapat dua puncak serapan baru yang muncul pada hasil spektroskopi FTIR karet alam hasil kopolimerisasi, yaitu gugus C=O pada daerah bilangan gelombang 1720-1750 cm-1 (spesifik pada bilangan gelombang 1735,14 cm-1; 1731,80 cm-1; 1734,15 cm-

; 1734,74 cm-1; 1733,84 cm-1; 1735,27 cm-1; 1735,71 cm-1; 1736,72 cm-1; 1735,46 cm-1) dan gugus C-O- pada daerah bilangan gelombang 1000-1300 cm-1 (spesifik pada bilangan gelombang 1131,48 cm-1; 1148,47 cm-1; 1147,05 cm-1; 1147,55 cm-1; 1147,55 cm-1; 1131,26 cm-1; 1130,48 cm-1; 1130,27 cm-1; 1130,20 cm-1). Kedua gugus ini tidak ditemukan sebelumnya pada hasil FTIR kontrol dan merupakan gugus fungsi spesifik dari MMA. Hasil pengujian viskositas mooney pada lateks hasil kopolimerisasi cangkok menunjukkan bahwa semua perlakuan, baik konsentrasi MMA maupun konsentrasi H2O2 tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas mooney. Berbagai interaksi antara konsentrasi MMA dengan konsentrasi H2O2 juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai viskositas mooney. Nilai viskositas mooney yang dihasilkan berkisar antara 62,30 sampai 67,20 (ML(1+4) 100 oC). Hasil pengujian viskositas intrinsik dan bobot molekul pada lateks hasil kopolimerisasi cangkok menunjukkan bahwa variasi konsentrasi MMA, variasi konsentrasi H2O2, dan berbagai interaksi antara konsentrasi MMA dengan konsentrasi H2O2 tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap viskositas intrinsik dan bobot molekul. Nilai viskositas intrinsik yang dihasilkan berkisar antara 584,70 sampai 602,875. Nilai bobot molekul lateks hasil kopolimerisasi berkisar antara 1,5880x106 sampai 1,6548x106. Hasil pengujian kadar nitrogen penelitian utama menunjukkan bahwa kadar nitrogen tidak dipengaruhi secara nyata oleh variasi konsentrasi MMA dan variasi konsentrasi H2O2 pada tingkat kepercayaan 95 %. Berbagai interaksi antara konsentrasi MMA dengan konsentrasi H2O2 tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai kadar nitrogen. Nilai kadar nitrogen yang dihasilkan berkisar antara 0,014 sampai 0,05 %. Berdasarkan pada analisis FTIR dan analisis statistik terhadap analisis viskositas mooney, viskositas intrinsik, bobot molekul, dan kadar nitrogen dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik adalah metode kopolimerisasi dengan penambahan monomer MMA dengan konsentrasi 20 phr dan inisiator H2O2 dengan konsentrasi 2 phr. Karakteristik kopolimer cangkok pada perlakuan ini adalah memiliki puncak serapan gugus C=O dan gugus C-O- yang jelas (1731,80 cm-1 dan 1148,47 cm-1), nilai viskositas mooney = 67,20 (ML(1+4) 100 o C), viskositas intrinsik = 602,875, bobot molekul = 1,6548x106, dan kadar nitrogen = 0,02 %.

DIAH JUNIARTI. F34102048. Process Technology of Acrylate Grafting at Natural Rubber by Using Hydrogen Peroxide Initiator. Under Guidance of Chilwan Pandji dan Ary Achyar Alfa. 2008. SUMMARY Natural rubber has highly resilience, tensile strength, and elasticity, better bonding strength, scraped and ripped resistance, and also easy to milled. Existence of highly unsaturated bond contain and non-polarity in its molecule cause natural rubber has disadvantages, such as inresistance against heat, oxidation, ozone, and hydrocarbon solvent. This condition requires some modifications of natural rubber molecule to improve physical and chemical characteristic of natural rubber. Copolymerization is one of form natural rubber modification chemically by inserting monomer of more polar compound into the natural rubber molecule. Monomer to be inserted into rubber molecule is methyl methacrylate. Methyl methacrylate monomer is vinyl monomer with hydrofilic characteristic has some superior characteristics in polymer form, that is transparency, resistance from heat and oxygen, better mechanic characteristic, and also resistance from sunlight and oil. This modification will be more successfull if using latex which have been degraded content of its protein (DPNR latex) through deproteinisation process enzymatically. This research used natural rubber as polymer to be modified its molecule structure with addition methyl methacrylate monomer (MMA) and hydrogen peroxide initiator (H2O2) by copolymerization process. The aim of this research are to detected possibility of graft copolymerization at DPNR latex with one of derivate vinyl compound of acrylate, to know influence of technical methyl methacrylate concentration and technical hydrogen peroxide concentration towards result stages of graft copolymerization, and to know characteristics of graft copolymerization products at some research levels compared to natural rubber as control. This research was done in two phases, introductory research and primary research. The introductory research was aimed to prepare DPNR latex to graft copolymerization process. The primary research was graft copolymerization process and characterization its result. Statistic design used factorial complete random design in 2 treatments, they are MMA concentration factor consist of 3 levels (10, 20, 30 phr) and H2O2 concentration factor consist of 3 levels (2, 3, 4 phr). The primary examination to latex result of graft copolymerization are FTIR spectroscopy, mooney viscosity, intrinsic viscosity, and molecular weight, while its supporter parameter is nitrogen contents. Efficacy of copolymerization process is able to be detected earlier by FTIR (Fourier Transform Infrared) spectroscopy test. There are two new peaks at FTIR spectroscopy result from grafted natural rubber, they are bunch C=O on wavelength area 1720-1750 cm-1 (specific on wavelength 1735,14 cm-1; 1731,80 cm-1; 1734,15 cm-1; 1734,74 cm-1; 1733,84 cm-1; 1735,27 cm-1; 1735,71 cm-1; 1736,72 cm-1; 1735,46 cm-1) and bunch C-O- on wavelength area 1000-1300 cm1 (specific on wavelength 1131,48 cm-1; 1148,47 cm-1; 1147,05 cm-1; 1147,55 cm1 ; 1147,55 cm-1; 1131,26 cm-1; 1130,48 cm-1; 1130,27 cm-1; 1130,20 cm-1). Both

bunchs are not found previously at FTIR result of control and represent specific functional bunch from MMA. The result of mooney viscosity examination from copolymerization latex showed that MMA concentration and H2O2 concentration had not significant influence on mooney viscosity. Various interaction between MMA concentration with H2O2 concentration nor give significant influence on mooney viscosity values. Range values of mooney viscosity from copolymerization latex were 62,30 until 67,20 (ML(1+4) 100 oC). The result of intrinsic viscosity and molecular weight examination from copolymerization latex showed that variation of MMA concentration, variation of H2O2 concentration, and various interaction among them had not give significant influence to intrinsic viscosity and molecular weight. Range values of intrinsic viscosity from copolymerization latex were 584,70 until 602,875. Range values of molecular weight from copolymerization latex were 1,5880x106 until 1,6548x106. The result of nitrogen content of primary research showed that nitrogen content did not influenced significantly by variation of MMA concentration and variation of H2O2 concentration at belief level 95 %. Various interaction between them nor give significant influence to nitrogen content values. Range values of nitrogen content were 0,014 until 0,05 %. Based on the result of FTIR analysis and random analysis to mooney viscosity, intrinsic viscosity, molecular weight, and nitrogen content can be concluded that the best treatment was method of copolymerization by addition MMA monomer with concentration 20 phr and H2O2 initiator with concentration 2 phr. Characteristics graft copolymer in this treatment were having show clearly C=O and C-O- bunchs (1731,80 cm-1 and 1148,47 cm-1), mooney viscosity = 67,20 (ML(1+4) 100 oC), intrinsic viscosity = 602,875, molecular weight = 1,6548x106, and nitrogen content = 0,02 %.

PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Teknologi Proses Pencangkokan Akrilat Pada Karet Alam Menggunakan Inisiator Hidrogen Peroksida adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor,

Januari 2008

Yang Membuat Pernyataan

DIAH JUNIARTI F34102048

BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 25 Juni 1984. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan bapak Moch Zubaidi dan ibu Siti Ridwana. Pada tahun 1988 penulis memulai pendidikan di TK Wijaya Kusuma II dan selesai pada tahun 1990. Selanjutnya, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Bintoro V Demak pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Demak dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Demak pada tahun 1999 hingga lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 memperoleh Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005, penulis melaksanakan Praktek Lapangan di Pabrik Gula Rendeng, Kudus, Jawa Tengah dan menyelesaikan laporan Praktek Lapangan dengan judul Teknologi Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Gula SHS di Pabrik Gula Rendeng, Kudus. Pada tahun 2006 penulis melaksanakan penelitian di Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor dan menyusun skripsi dengan judul Teknologi Proses Pencangkokan Akrilat Pada Karet Alam Menggunakan Inisiator Hidrogen Peroksida, sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Akhirnya pada bulan Januari 2008 penulis dinyatakan lulus dari Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor,

Januari 2008

Penulis

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menulis skripsi dengan judul Teknologi Proses Pencangkokan Akrilat Pada Karet Alam Menggunakan Inisiator Hidrogen Peroksida. Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan, nasehat, bantuan, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Drs. Chilwan Pandji, Apt. MSc., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi., selaku pembimbing penelitian di BPTK Bogor yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, Msi., selaku dosen penguji atas saran, kritik dan arahan untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 4. Arief Ramadhan, S.TP atas bimbingan, ilmu, motivasi, dan bantuannya selama penelitian dan penulisan skripsi. 5. Kedua orangtua, adik-adik beserta seluruh keluarga tercinta atas doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, materiil, dan nasehatnya kepada penulis. 6. Teh Yati, Pak Ridwan, Pak Aos, Pak Anwar, Mbak Desi, Mbak Woro, Mbak Tri, Syarif, Izal, dan seluruh karyawan BPTK atas bantuan dan dukungannya selama penelitian. 7. Teman-teman satu penelitian di BPTK atas kekompakan, motivasi dan doanya. 8. Annisa Rachma, Tantri, Rini, Nurul, Iffa, dan seluruh rekan TIN39 atas persahabatan, kerjasama dan bantuannya selama ini.

9. Semua pihak atas segenap bantuan dan kerjasamanya yang tidak ternilai selama ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Bogor,

Januari 2008

Penulis

ii

DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR..................................................................................... DAFTAR ISI.................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR....................................................................................... I. PENDAHULUAN ..................................................................................... A. LATAR BELAKANG.......................................................................... B. TUJUAN............................................................................................... C. RUANG LINGKUP PENELITIAN ..................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ A. LATEKS ALAM .................................................................................. B. KARET ALAM .................................................................................... C. LATEKS DPNR (DEPROTEINIZED NATURAL RUBBER) .............. D. MODIFIKASI KARET ALAM ........................................................... E. KOPOLIMERISASI............................................................................. F. METIL METAKRILAT....................................................................... G. INISIATOR .......................................................................................... H. HIDROGEN PEROKSIDA.................................................................. I. SPEKTROSKOPI FTIR ....................................................................... J. VISKOSITAS MOONEY ..................................................................... K. VISKOSITAS INTRINSIK.................................................................. III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. A. BAHAN................................................................................................ B. ALAT ................................................................................................... C. METODE PENELITIAN ..................................................................... 1. Penelitian Pendahuluan ............................................................ a. Analisis Lateks Kebun .......................................................... b. Pembuatan Lateks DPNR ..................................................... c. Analisis Lateks DPNR .......................................................... i iii v vi 1 1 3 3 4 4 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 17 17 17 17 17 18 18

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... viii

iii

2. Penelitian Utama ...................................................................... a. Pembuatan Kopolimer Cangkok (Graft Copolymer)............ b. Analisis Kopolimer Cangkok ............................................... D. RANCANGAN PERCOBAAN ........................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. A. PENELITIAN PENDAHULUAN......................................................... B. PENELITIAN UTAMA ........................................................................ 1. Pembuatan Kopolimer Cangkok (Graft Copolymer)......................... 2. Analisa Kopolimer Cangkok (Graft Copolymer) .............................. a. Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared)......................... b. Viskositas Mooney ......................................................................... c. Viskositas Intrinsik dan Bobot Molekul......................................... d. Kadar Nitrogen............................................................................... V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ A. KESIMPULAN ..................................................................................... B. SARAN.................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN.....................................................................................................

19 19 19 20 23 23 31 31 45 45 54 57 61 65 65 66 68 72

iv

DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi Kimia Lateks Hevea brasiliensis ...................................... Tabel 2. Fraksi Penyusun Lateks yang Telah Disentrifugasi............................ Tabel 3. Komposisi Karet Alam ....................................................................... Tabel 4. Karakteristik Lateks Kebun dan Lateks DPNR .................................. 4 5 6 24

DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Struktur Molekul 1,4 Cis Poliisoprena.......................................... Gambar 2. Bentuk Partikel Karet dalam Lateks Hevea .................................. Gambar 3. Model Sistematika Kopolimer Cangkok ....................................... Gambar 4. Diagram Alir Proses Pembuatan Lateks DPNR............................ Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Kopolimer Cangkok ................. Gambar 6. Spektrum Infra Merah Lateks Kebun............................................ Gambar 7. Spektrum Infra Merah Kontrol (Lateks DPNR)............................ Gambar 8. Mekanisme Pelambatan Proses Polimerisasi oleh Oksigen .......... Gambar 9. Tahap Inisiasi pada Monomer MMA ............................................ Gambar 10. Dua Alternatif Proses Inisiasi pada Karet ..................................... Gambar 11. Tahap Propagasi pada Monomer MMA........................................ Gambar 12. Alternatif 1 Proses Reinisiasi Karet Alam dengan MMA............. Gambar 13. Alternatif 2 Proses Reinisiasi Karet Alam dengan MMA............. Gambar 14. Alternatif 1 Tahap Propagasi pada Polimerisasi Cangkok............ Gambar 15. Alternatif 2 Tahap Propagasi pada Polimerisasi Cangkok............ Gambar 16. Tahap Terminasi pada MMA Melalui Reaksi Kopling................. Gambar 17. Tahap Terminasi pada MMA Melalui Reaksi Disproporsionasi .. Gambar 18. Mekanisme Reaksi antara MMA dengan Bentuk Pertama dari Poliisoprena yang Terinisiasi ........................................................ Gambar 19. Alternatif 1 Hasil Proses Kopolimerisasi ...................................... Gambar 20. Alternatif 2a Hasil Proses Kopolimerisasi .................................... Gambar 21. Alternatif 2b Hasil Proses Kopolimerisasi .................................... Gambar 22. Mekanisme Reaksi antara MMA dengan Bentuk Kedua dari Poliisoprena yang Terinisiasi ........................................................ Gambar 23. Alternatif 3 Hasil Proses Kopolimerisasi ...................................... Gambar 24. Alternatif 4a Hasil Proses Kopolimerisasi .................................... Gambar 25. Alternatif 4b Hasil Proses Kopolimerisasi .................................... Gambar 26. Alternatif 5 Hasil Proses Kopolimerisasi ...................................... Gambar 27. Alternatif 6 Hasil Proses Kopolimerisasi ...................................... 42 42 42 43 43 44 40 41 41 41 6 8 11 21 22 30 30 34 35 35 36 37 37 37 38 39 39

vi

Gambar 28. Alternatif 7 Hasil Proses Kopolimerisasi ...................................... Gambar 29. Alternatif 8 Hasil Proses Kopolimerisasi ...................................... Gambar 30. Ikatan Kimia dan Gugus Fungsi dalam Karet ............................... Gambar 31. Ikatan Kimia dan Gugus Fungsi dalam Metil Metakrilat.............. Gambar 32. Spektrum Infra Merah Monomer MMA Teknis ........................... Gambar 33. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 10 phr, [H2O2] 2 phr .............................................. Gambar 34. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 20 phr, [H2O2] 2 phr .............................................. Gambar 35. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 30 phr, [H2O2] 2 phr .............................................. Gambar 36. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 10 phr, [H2O2] 3 phr .............................................. Gambar 37. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 20 phr, [H2O2] 3 phr .............................................. Gambar 38. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 30 phr, [H2O2] 3 phr .............................................. Gambar 39. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 10 phr, [H2O2] 4 phr .............................................. Gambar 40. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 20 phr, [H2O2] 4 phr .............................................. Gambar 41. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 30 phr, [H2O2] 4 phr .............................................. Gambar 42. Histogram Pengaruh Konsentrasi MMA dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Viskositas Mooney ........................................................ Gambar 43. Histogram Pengaruh Konsentrasi MMA dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Viskositas Intrinsik ....................................................... Gambar 44. Histogram Pengaruh Konsentrasi MMA dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Bobot Molekul .............................................................. Gambar 45. Histogram Pengaruh Konsentrasi MMA dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Kadar Nitrogen..............................................................

44 44 46 46 48 48 48 49 50 50 50 51 52 52 54 58 58 62

vii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Pohon Industri Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) ................... Lampiran 2. Prosedur Analisis KKK, KJP, Kadar Nitrogen, Viskositas Mooney, Viskositas Intrinsik, dan Spektroskopi FTIR ................. A. Penetapan Kadar Karet Kering (KKK) .................................... B. Penetapan Kadar Jumlah Padatan (KJP) .................................. C. Penetapan Kadar Nitrogen........................................................ D. Penetapan Viskositas Mooney.................................................. E. Penetapan Viskositas Intrinsik [] dengan Viskometer Ubbelohde.................................................................................. F. Pengujian Spektroskopi FTIR................................................... Lampiran 3. Hasil Analisis Pengaruh Konsentrasi Metil Metakrilat dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Karakteristik Karet Kopolimer Cangkok ........................................................................................ A. Hasil Analisis Viskositas Mooney............................................ B. Hasil Analisis Viskositas Intrinsik ........................................... C. Hasil Analisis Bobot Molekul .................................................. D. Hasil Analisis Kadar Nitrogen ................................................. Lampiran 4. Luas Area Gugus C=O, C=C, -C-O- ............................................ Lampiran 5. Analisis Statistik Viskositas Mooney ........................................... Lampiran 6. Analisis Statistik Viskositas Intrinsik........................................... Lampiran 7. Analisis Statistik Bobot Molekul.................................................. Lampiran 8. Analisis Statistik Kadar Nitrogen ................................................. 77 77 77 78 78 79 80 82 84 86 75 76 73 73 73 74 74 72

viii

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Karet alam merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Sebagai negara produsen karet alam, Indonesia menempati ranking kedua dengan produksi sebesar 2.515.100 ton setelah Thailand (2.967.500 ton). Luas area perkebunan karet tahun 2007 tercatat mencapai lebih dari 3,2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 85 % merupakan perkebunan karet milik rakyat, 8 % perkebunan besar milik swasta, dan hanya 7 % perkebunan besar milik negara (www.ipard.com/art_perkebun). Pada tahun 2005 produksi karet alam nasional mencapai 2,27 juta ton, tahun 2006 mengalami peningkatan sampai 2,64 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 3,00 juta ton pada tahun 2007 (IRSG 2007 dalam http://ditjenbun.deptan.go.id/web/benihbun/benih). Tahun 2006 harga karet alam sekitar US$ 1,87/kg dengan nilai ekspor karet Indonesia sekitar US$ 4,32 miliar atau setara dengan 2,286 juta ton. Pada tahun 2007 diperkirakan harga karet alam akan stabil sekitar US$ 2,20/kg (www.gapkindo.or.id/news.html). Karet alam yang dikenal dalam perdagangan saat ini diperoleh dengan cara menyadap tanaman Hevea brasiliensis. Karet alam tersusun dari hidrokarbon dan mengandung sejumlah kecil bagian bukan karet, seperti lemak, glikolipid, fosfolid, protein, dan bahan organik lainnya (Tanaka, 1998). Karet alam banyak digunakan sebagai bahan baku berbagai industri, seperti industri ban, busa, peralatan medis, dan sebagainya karena memiliki sifat yang menguntungkan. Menurut Blow dan Hepburn (1982), karet alam memiliki sifat keliatan, kelekatan, elastisitas, kuat tarik, dan kepegasan yang tinggi. Selain memiliki kelebihan, karet alam juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sifatnya tidak konsisten, tidak tahan terhadap cuaca, panas, pelarut hidrokarbon, dan ozon, sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan baku barang jadi karet, terutama untuk barang yang tahan minyak,

panas, dan oksidasi (Arizal, 1989). Hal ini disebabkan oleh ketidakpolaran dan kandungan ikatan tidak jenuh yang tinggi di dalam molekul karet alam. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat-sifat karet alam secara fisik maupun secara kimia yaitu dengan memodifikasi molekul karet alam, baik secara fisik maupun secara kimia. Modifikasi karet alam secara fisik dapat dilakukan dengan mencampurkan (blending) karet dengan plastik atau karet sintetis. Sedangkan modifikasi karet alam secara kimia dilakukan melalui perubahan struktur molekul karet, antara lain dengan kopolimerisasi, depolimerisasi, hidrogenasi, siklisasi, dan lain-lain. Kopolimerisasi merupakan salah satu upaya untuk memodifikasi molekul karet alam secara kimia. Kopolimerisasi dapat dilakukan dengan memasukkan monomer senyawa yang lebih polar ke dalam struktur molekul karet alam. Monomer yang digunakan pada proses kopolimerisasi cangkok karet alam ini merupakan monomer vinilik yang bersifat hidrofilik, yaitu metil metakrilat. Proses kopolimerisasi diharapkan dapat menghasilkan produk yang memiliki ketahanan terhadap oli dan minyak maupun terhadap degradasi akibat panas dan suhu tinggi, daya lengket yang lebih baik, serta memiliki sifat-sifat fisik yang lebih baik dan mempunyai nilai tambah. Kopolimerisasi karet alam dengan senyawa yang bersifat lebih polar telah dilakukan dengan senyawa turunan akrilat. Modifikasi karet alam secara kimia yang selama ini sudah dilakukan menggunakan lateks yang sudah diturunkan kadar proteinnya (lateks Deproteinized Natural Rubber) melalui proses deproteinisasi sebagai bahan bakunya. Protein yang melapisi partikel karet akan menghalangi gugus-gugus yang akan bereaksi mencapai pusat reaksi. Dengan dihilangkannya protein yang melapisi karet diharapkan modifikasi karet memiliki tingkat keberhasilan yang maksimal, sehingga dapat mengurangi keterbatasan sifat-sifat karet alam dan dapat meningkatkan nilai tambah dari karet alam, dan akhirnya akan mengurangi konsumsi karet sintetis. Penelitian mengenai kopolimerisasi cangkok telah berhasil dilakukan oleh Ramadhan (2004) dan Kapsah (2004) dengan menggunakan metil metakrilat sebagai monomer yang dicangkokkan. Inisiator yang digunakan pada kopolimerisasi cangkok sebelumnya adalah inisiator ammonium

peroksodisulfat (Merck). Pada penelitian ini akan dilakukan kopolimerisasi cangkok pada karet alam dengan menggunakan metil metakrilat sebagai monomer yang akan dicangkokkan dan hidrogen peroksida (H2O2) sebagai inisiatornya. Pemilihan hidrogen peroksida sebagai inisiator adalah karena sifatnya yang sangat reaktif, sebagai oksidator kuat, mudah diperoleh, dan harganya lebih murah apabila dibandingkan inisiator lainnya. B. TUJUAN Tujuan penelitian adalah untuk : 1. Mendeteksi kemungkinan terjadinya kopolimerisasi cangkok lateks DPNR dengan salah satu senyawa vinilik turunan akrilat (metil metakrilat). 2. Mengetahui pengaruh konsentrasi metil metakrilat teknis dan konsentrasi hidrogen peroksida teknis terhadap tingkat keberhasilan kopolimerisasi cangkok. 3. Mengetahui karakteristik hasil kopolimerisasi cangkok pada beberapa taraf penelitian dibandingkan dengan karet alam sebagai kontrol. C. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pembuatan lateks DPNR yang akan digunakan sebagai bahan baku dalam proses kopolimerisasi melalui proses deproteinisasi, dilanjutkan dengan karakterisasi lateks DPNR yang dihasilkan. 2. Mencari kondisi yang tepat untuk proses kopolimerisasi cangkok dan pembuatan kopolimer cangkok dari lateks DPNR dengan penambahan monomer metil metakrilat teknis dan hidrogen peroksida teknis sebagai inisiator. 3. Pengujian spektroskopi FTIR, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, bobot molekul, dan kadar nitrogen untuk menentukan pengaruh konsentrasi MMA dan konsentrasi H2O2 terhadap karakteristik hasil kopolimerisasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. LATEKS ALAM Lateks alam merupakan hasil sadapan dari tanaman karet. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) adalah tanaman asli dari daerah sekitar hutan Amazon di negara Brasil, yang kemudian dibawa ke Asia Selatan (Srilangka) dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) oleh Pemerintah Kolonial Inggris. Tanaman karet tumbuh baik di daerah yang bersuhu 20-28 oC, dengan ketinggian 0-400 m dpl dan curah hujan rata-rata 1500-2500 mm per tahun (Dijkman, 1951). Lateks menurut Setyamidjaja (1993) merupakan getah yang berupa cairan berwarna putih segar yang disadap dari tanaman Hevea brasiliensis, yang mengandung hidrokarbon karet cis 1,4-poliisoprene (28-35 %), bahan bukan karet (4-5 %), dan air (60-68 %). Lateks Hevea brasiliensis adalah sitoplasma dalam sel tanaman yang terdapat pada pembuluh berdinding elastis dan permeabel di antara kambium dan kulit pohon karet, berupa cairan yang berwarna kekuning-kuningan seperti susu, hasil proses penyadapan pohon tanaman Hevea brasiliensis (Larkin dan Morris, 1995). Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis menurut Suparto (2002) adalah sebagai berikut : Tabel 1. Komposisi Kimia Lateks Hevea brasiliensis Komponen Karet Resin Protein Abu Gula Air Persentase (%) 30-35 0,5-1,5 1,5-2,0 0,3-0,7 0,3-0,5 55-60

Lateks yang diperoleh dari penyadapan tanaman Hevea brasiliensis mengandung sekitar 25-40 % bahan karet mentah (crude rubber) dan 60-75 % serum (air dan zat yang terlarut). Bahan karet mentah mengandung 90-95 % karet murni; 2-3 % protein; 1-2 % asam lemak; 0,2 % gula; 0,5 % garam-

garam Na, K, Mg, P, Ca, Cu, Mn, dan Fe. Partikel karet tersuspensi dalam serum lateks dengan ukuran 0,04-3,00 mikron (Goutara et al., 1985). Komponen bukan karet dapat mempengaruhi reaksi pada hidrokarbon karet (seperti pada proses vulkanisasi dan pencangkokan (grafting) molekul karet), walaupun jumlahnya relatif kecil (Gelling dan Porter, 1988). Archer (1975) menyatakan bahwa di dalam lateks segar terdapat lebih kurang 2 % protein, yang kira-kira 20 % terserap pada permukaan partikel karet, sedangkan sisanya tersebar dalam fase serum. Protein dan komponen bukan karet mengabsorbsi air dan meningkatkan berbagai efek yang tidak diinginkan, antara lain mengurangi modulus. Susunan dan kandungan bahan dalam lateks dapat terlihat jelas jika dilakukan proses sentrifugasi. Sentrifugasi dengan kecepatan putar rendah (kira-kira 2000 putaran per menit) dapat memisahkan lateks kebun maupun lateks DPNR menjadi 2 fraksi. Pada bagian atas terdapat fraksi berwarna putih (Fraksi Putih) dan di bagian bawah terdapat fraksi berwarna kuning (Fraksi Bawah). Dua fraksi ini dipisahkan oleh lapisan berwarna kuning-jingga, yang terdiri dari partikel Frey-Wyssling (Honggokusumo, 1978). Apabila lateks segar disentrifugasi dalam alat pemusing ultra pada 50.000 g selama 60 menit, maka lateks akan terpisah menjadi 4 fraksi dengan urutan dari bagian atas ke bawah sebagai berikut : Tabel 2. Fraksi Penyusun Lateks yang Telah Disentrifugasi Karet Protein Lipid Ion logam Karotenoida Lipid Air Karbohidrat dan inositol Protein dan turunannya Senyawa nitrogen Asam nukleat dan nukleosida Ion anorganik Ion logam Lutoid (vakuolisosom)

Fraksi Karet (35 %) Lateks Kebun Segar

Fraksi Frey Wyssling (5 %)

Serum (50 %)

Fraksi Dasar (10 %)

Sumber : Suparto (2002) B. KARET ALAM Karet alam diperoleh dari getah karet (lateks) melalui proses penyadapan. Karet alam merupakan polimer yang terbentuk secara teratur oleh unit ulang atau monomer isoprena (2-metil-1,3-butadiena : (C5H8)n), dimana n adalah derajat polimerisasi yang menyatakan banyaknya monomer yang berpolimerisasi. Karet alam adalah polimer berbobot molekul tinggi dari isopren, yang mempunyai konfigurasi cis-1,4 isopren (Billmeyer, 1994). Karet alam terikat secara kepala ke ekor (head to tail) dengan susunan geometri hampir 100 % cis-1,4 dan mempunyai berat molekul antara 1-2 juta. Keteraturan susunan struktur karet alam memberikan sifat kenyal (elastis) yang berhubungan dengan viskositas karet (Honggokusumo, 1978). Menurut Tanaka (1998), karet alam mengandung hidrokarbon karet dan sejumlah kecil bahan bukan karet, seperti lemak, glikolipid, fosfolipid, protein, karbohidrat, dan bahan anorganik. Komposisi karet alam dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3. Komposisi Karet Alam Bahan Kadar (%) Hidrokarbon karet 93,7 Lemak 2,4 Glikolipid, fosfolipid 1,0 Protein 2,2 Karbohidrat 0,4 Bahan anorganik 0,2 Lain-lain 0,1 Sumber : Tanaka (1998)
CH3 C=C CH2 CH2 H CH3 C=C CH2 CH2 n H

Gambar 1. Struktur Molekul 1,4 Cis Poliisoprena (Morton, 1987) Karakteristik fisik karet alam sebagian besar terbentuk karena kekhasan struktur dan stereokimia polimernya. Karet alam termasuk polimer amorf atau nonkristalin sehingga struktur molekulnya tidak dapat ditata

menjadi kristal teratur. Kelembutan, fleksibilitas, dan elastisitasnya merupakan sifat fisik yang membedakan karet alam dengan benda padat lainnya. Ikatan kimia pada molekul karet alam memungkinkannya mengalami berbagai reaksi kimia, seperti epoksidasi, adisi, hidrogenasi, dan kopolimerisasi (Fessenden dan Fessenden, 1983). Karet alam digolongkan ke dalam kelompok elastomer karena mempunyai deformasi elastik yang besar dan dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis dan tipe barang jadi karet. Penggunaan karet alam memiliki beberapa keunggulan dan kekurangan sifat-sifat. Keunggulan sifatnya antara lain : daya pantul, elastisitas, daya lengket, daya cengkram yang baik, memiliki tegangan putus, ketahanan sobek, dan ketahanan kikis yang baik, serta mudah untuk digiling. Kekurangan karet alam meliputi sifatsifatnya yang tidak konsisten, warnanya bervariasi dari kuning hingga cokelat gelap, serta tidak tahan terhadap panas, oksidasi, ozon, dan pelarut hidrokarbon (Arizal, 1989 dan Mubyarto, 1991). Kekurangan-kekurangan yang dimiliki karet alam disebabkan karena karet alam memiliki sejumlah ikatan rangkap dalam struktur molekulnya dan mengandung bahan-bahan non karet, terutama protein (Alfa, 2002). C. LATEKS DPNR (DEPROTEINIZED NATURAL RUBBER) Molekul karet dilapisi oleh lapisan protein dan fosfolipid yang membentuk sistem kestabilan pada karet. Lapisan dalam adalah lapisan hidrofobik dan lapisan luar adalah lapisan hidrofilik (mengandung protein dan sabun) (Hashim et al., 2002). Ikatan rangkap dalam setiap unit ulang pada rantai polimer karet alam selain mudah mengalami reaksi oksidasi juga merupakan bagian molekul yang dapat mengalami berbagai reaksi kimia lainnya seperti reaksi hidrogenasi, halogenasi, adisi, dan reaksi epoksidasi (Fessenden dan Fessenden, 1983). Adanya protein yang melapisi partikel karet dan terikat secara kimia pada molekul karet mempersulit reaksi tersebut berlangsung. Protein mengandung nitrogen, karbon, hidrogen, dan oksigen. Protein merupakan polimer yang tersusun dari sejumlah asam amino yang membentuk

polipeptida berpolimer. Ciri khas struktur protein diturunkan oleh asam amino, yaitu mengandung gugus COOH dan NH2 yang terikat pada atom karbon yang sama, saling bergabung melalui gugus amino dari salah satu molekul asam dan gugus karboksil asam berikutnya sambil menghilangkan air (Cowd, 1991). Secara umum, protein dalam karet dapat dikurangi jumlahnya dengan cara menghidrolisisnya secara kimiawi atau secara enzimatik. Hidrolisis secara enzimatik dilakukan dengan cara menambahkan enzim protease pada lateks kebun. Setelah dipekatkan lateks yang dihasilkan disebut lateks pekat berprotein rendah (lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber)), dengan persyaratan kadar nitrogen maksimum sebesar 0,1 %. Lateks DPNR dibuat dengan menambahkan protease dan surfaktan. Protease akan menghidrolisis protein lateks menjadi bentuk yang larut dalam air (Alfa et al., 2003). Surfaktan berfungsi menggantikan peran protein sebagai penstabil.

Gambar 2. Bentuk Partikel Karet dalam Lateks Hevea (Tanaka, 1998) Salah satu protease yang umum digunakan dalam pembuatan lateks DPNR adalah papain karena mudah diperoleh dibandingkan protease lain seperti alkalase, superase, dan crystalin subtilisin. Selain itu, papain memiliki daya tahan terhadap panas yang baik dan daerah aktivitas yang luas. Papain menghidrolisis asam amino sistein dari suatu rangkaian protein. Papain tergolong ke dalam enzim protease sulfihidril yang bergugus aktif SH (Alfa et al., 2003). Alfa (2003) telah berhasil menggunakan enzim papain sebagai penghidrolisis protein yang dikombinasikan dengan surfaktan non ionik dan menghasilkan lateks DPNR dengan kadar nitrogen maksimal 0,08 %. Sifat dari lateks DPNR diantaranya adalah mempunyai kadar nitrogen yang rendah, tahan terhadap air karena hilangnya bahan-bahan yang bersifat hidrofilik, mengurangi reaksi alergi, mudah diproses, lebih transparan daripada

lateks kebun, waktu kemantapan mekaniknya baik, mempunyai sifat-sifat fisika yang baik, mempunyai sifat mekanis dan dinamis yang baik (Nakade et al., 1997). Secara umum proses deproteinasi terdiri dari tahap pengenceran, penambahan enzim, penambahan surfaktan, pengaturan pH, pengadukan, dan sentrifugasi. Berkurangnya lapisan protein di dalam lateks DPNR menyebabkan polimerisasi dan grafting menjadi lebih efisien. Lapisan protein yang ada dalam lateks HANR (High Ammonia Natural Rubber) dapat menghambat polimerisasi in situ dan proses grafting monomer vinil (Hashim et al., 2002). Kopolimerisasi cangkok akan lebih mudah dilakukan mengingat fosfolipid dan protein yang melapisi partikel karet dapat dibuang secara enzimatis, sehingga gugus-gugus fungsi yang akan bereaksi dapat mencapai pusat reaksi. D. MODIFIKASI KARET ALAM Menurut Blow dan Hepburn (1982), keuntungan dalam penggunaan karet alam sebagai bahan dasar pembuatan barang jadi karet adalah adanya keunggulan karet alam berupa kepegasan pantul yang baik, tegangan putus yang tinggi, daya lengket yang istimewa, fleksibilitas pada suhu rendah yang baik, ketahanan sobek yang sangat baik, dan ketahanan kikis yang cukup baik. Kekurangan karet alam yang dapat membatasi penggunaannya di berbagai bidang adalah ketahanan yang rendah terhadap minyak dan pelarut hidrokarbon. Selain itu juga tidak tahan terhadap panas, ozon, dan sinar matahari yang dapat mempengaruhi karakteristik mekanismenya (Fessenden dan Fessenden, 1983). Hal inilah yang mendorong upaya untuk memodifikasi karet alam menjadi bahan yang mempunyai kelemahan seminimal mungkin. Karet alam merupakan senyawa dengan kandungan ikatan rangkap yang tinggi. Ikatan rangkap molekul karet alam memungkinkan dilangsungkannya berbagai reaksi kimia pada karet alam, antara lain : adisi, epoksidasi, hidrogenasi, dan kopolimerisasi. Modifikasi pada karet alam bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi jumlah ikatan rangkap yang dimiliki molekul karet alam (Alfa, 2002). Modifikasi karet alam dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Modifikasi secara fisik dapat dilakukan

dengan mencampur karet alam dengan karet sintetik yang mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh karet alam (Campbell et al., 1978). Menurut Gelling dan Porter (1988), modifikasi kimia karet alam dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu (1) Modifikasi molekul tanpa penambahan atau pengikatan senyawa kimia lain, seperti siklisasi, isomerasi cis-trans, dan depolimerisasi. (2) Penempelan gugus fungsional pada molekul karet alam melalui reaksi adisi dan substitusi pada ikatan rangkap olefinik. (3) Pencangkokan (grafting) rantai polimer lain pada molekul karet. Menurut Barnard (1984), pertimbangan umum aspek teknologis dan komersial yang harus dipenuhi dalam melakukan modifikasi kimiawi karet alam yaitu (1) Katalis yang digunakan tidak teracuni oleh komponen non karet yang terdapat di dalam karet alam. (2) Reaksi yang berlangsung dapat dilakukan secara efisien. (3) Tidak melibatkan perubahan struktur molekul lain selain perubahan yang diharapkan. (4) Bahan dan proses modifikasi harus dapat dilakukan dengan biaya seminimal mungkin. E. KOPOLIMERISASI Kopolimer adalah polimer yang terjadi apabila dua macam atau lebih monomer bersatu menghasilkan polimer yang mengandung lebih dari satu macam kesatuan struktur. Jika monomer A dan B bereaksi satu sama lain membentuk kopolimer, maka kopolimer yang dihasilkan seringkali memperlihatkan sifat yang sangat berbeda dari campuran fisis homopolimer A dan B. Kadang-kadang sifat yang baik dari tiap homopolimer dapat digabungkan atau dipertahankan dalam kopolimer (Cowd, 1991). Berdasarkan strukturnya, kopolimer terbagi atas beberapa kelompok, yaitu kopolimer random, kopolimer blok, dan kopolimer graft atau cangkok (Allock dan Lampe, 1981). Kopolimer cangkok dapat dihasilkan dengan memicu polimerisasi monomer B disertai adanya homopolimer dari monomer A. Radikal bebas yang dihasilkan mengeluarkan atom-atom sepanjang rantai poli(A), sehingga menghasilkan sisi radikal pada rantai itu sendiri. Pada sisi radikal itu poli(B) tumbuh. Cara lain pembentukan kopolimer cangkok adalah melalui penyinaran

10

dengan sinar ultraviolet yang digunakan untuk membentuk radikal bebas sepanjang rantai hopolimer (Cowd, 1991). Menurut Rabbek (1983), semua kopolimer cangkok disusun dari polimer kerangka dasar dan rantai cabang yang berasal dari monomer lain. Dalam reaksi kopolimerisasi, karet alam bertindak sebagai induk (backbone), sedangkan monomer metil metakrilat bertindak sebagai monomer cangkok (graft).

Gambar 3. Model Sistematika Kopolimer Cangkok (Rabbek, 1983) Keuntungan dari proses kopolimerisasi cangkok adalah terbentuknya ikatan antara dua monomer yang lebih kuat dibandingkan penggabungan yang terjadi hanya secara fisik (Patil dan Fanta, 1993). Efisiensi proses kopolimerisasi secara umum dipengaruhi oleh berat molekul primer, temperatur, konsentrasi monomer, serta viskositas internal kopolimer yang terbentuk. Kopolimerisasi pada karet alam sering dilakukan dalam suatu lingkungan nitrogen bebas oksigen (Hoffman dan Bacskai, 1964). F. METIL METAKRILAT Metil metakrilat dibuat dengan cara memanaskan aseton sianohidrin (berasal dari penambahan asam hidrosianin ke dalam aseton) dengan asam sulfat untuk membentuk metakrilamid sulfat. Senyawa ini direaksikan dengan air dan metanol untuk membentuk metil metakrilat (Billmeyer, 1994). Rumus molekul dari metil metakrilat (MMA) adalah C5H8O2 dan memiliki nama IUPAC yaitu metil 2-propenoat.

11

Metil metakrilat dalam bentuk polimer (polimetil metakrilat (PMMA)) menurut Cowd (1991), merupakan bahan yang keras, kaku dan bening. Keunggulannya yaitu bening dan sangat sedikit menyerap cahaya tampak. Polimer ini merupakan polimer termoplastik linier dan bersifat amorf. PMMA resisten terhadap berbagai reagen anorganik cair, termasuk alkali lemah dan asam, tahan terhadap reaksi saponifikasi alkalin, berlawanan dengan poliakrilat. Menurut Pine et al. (1988), polimetil metakrilat dibuat dengan polimerisasi radikal dari metil metakrilat (metil 2-propenoat). Pemanasan lebih lanjut akan meneruskan polimerisasinya dan menghasilkan lembar plastik yang dikenal dengan plexiglass (lusit). Menurut Barron (1949), metil metakrilat memiliki sifat-sifat sebagai berikut : a. Metil metakrilat termasuk senyawa golongan vinyl yang merupakan cairan yang stabil yang dapat disimpan selama berbulan-bulan tanpa terjadi reaksi polimerisasi. b. Metil metakrilat merupakan cairan yang tidak berwarna dengan specific gravity pada suhu 16 oC = 0,9497, titik didih 100,3 oC, viskositas 0,59 pada suhu 25 oC. c. Polimer metil metakrilat larut dalam ester, aseton, keton, hidrokarbon aromatik seperti benzene dan toluene, serta chlorinated hydrokarbons kecuali karbon tetrachlorida, tetapi tidak larut dalam air, gliserin, alifatik alkohol dan alifatik hidrokarbon. d. Polimer metil metakrilat memiliki kekuatan tertinggi dibandingkan produk resin acrylate lainnya, bersifat thermoplastik, tahan lama, sangat transparan, tahan terhadap serangan kimia, sinar matahari, dan oksigen. e. Polimer metil metakrilat memiliki berat molekul yang tinggi sehingga penampakannya berubah menjadi lebih elastis, lembut, tahan panas, tahan air, dan fleksibel. G. INISIATOR Inisiator adalah suatu senyawa atau zat yang dapat terurai menjadi radikal bebas untuk digunakan dalam mengawali suatu reaksi. Radikal bebas

12

yang merupakan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan adalah pemicu terjadinya kopolimerisasi cangkok. Inisiasi radikal bebas dapat dihasilkan langsung dari monomer yang diradiasi ataupun melalui penambahan inisiator (Allock dan Lampe, 1981). Mekanisme reaksi proses inisiasi dapat terjadi melalui dekomposisi inisiator melalui reaksi redoks, pemanasan langsung dan fotolitik, atau radiasi ionisasi (Rabbek, 1983). Suatu inisiator radikal bebas adalah suatu zat atau senyawa yang dapat mengawali suatu reaksi radikal bebas (Fessenden dan Fessenden, 1982). Tahap dekomposisi inisiator merupakan tahapan awal pembentukan radikal-radikal bebas. Inisiator radikal bebas yang umum digunakan adalah jenis inisiator organik. Keberhasilan dari proses pencangkokan karet tergantung pada karakteristik inisiator yang digunakan. Senyawa peroksida merupakan inisiator yang sesuai dipergunakan dalam polimerisasi senyawa vinilik (Hoffman dan Basckai, 1964). H. HIDROGEN PEROKSIDA Hidrogen peroksida merupakan bahan pemutih yang banyak digunakan dalam industri, terutama industri pulp. Definisi senyawa hidrogen peroksida menurut Alfa et al. (2003) adalah oksidator kuat yang dapat mendegradasi rantai molekul karet. Pada suhu ruang pengaruh hidrogen peroksida terhadap degradasi rantai molekul berlangsung secara lambat, tetapi dapat dipercepat dengan penambahan bahan peptiser (pemutus rantai), yang berfungsi sebagai pemindah radikal bebas. Pencampuran reduktor pada peroksida akan mempercepat reaksi degradasi pada suhu rendah, sehingga lebih praktis dan ekonomis. Hidrogen peroksida adalah cairan bening, lebih kental dibandingkan air, bersifat sebagai oksidator kuat, bahkan sebagai bahan pemucat yang kuat. Hidrogen peroksida digunakan pada desinfektan dan sebagai oksidator. Hidrogen peroksida dapat terurai secara spontan menjadi dua produk yaitu air dan oksigen (http://en.wikipedia.org/wiki/Hydrogen_peroxide, 2005) dengan reaksi :

13

2H2O

2H2 + O2 + Energi

I. SPEKTROSKOPI FTIR Menurut Nielsen (1992), penggunaan metode spektroskopi dalam analisis kimia sangat informatif, baik untuk pengukuran kuantitatif maupun kualitatif. Metode ini berhubungan dengan bagaimana menghasilkan, mengukur, dan menginterprestasikan spektra yang muncul dari interaksi radiasi dan zat. Jenis metode yang dipakai tergantung dari analisis yang dibutuhkan, obyek analisis, tipe interaksi radiasi dan zat, serta daerah panjang gelombang yang digunakan untuk analisis. Salah satu tipe instrumen yang dipakai untuk spektroskopi IR ini adalah Fourier Transform Infrared Spectroscopy (Spektroskopi FTIR). Menurut Rabbek (1983), FTIR memiliki berbagai keunggulan khusus, diantaranya adalah dapat mendeteksi sinyal yang lemah, dapat menganalisa sampel pada konsentrasi yang sangat rendah, serta dapat mempelajari daerah antara 950 dan 1500 cm-1 untuk larutan senyawa. Spektroskopi infra merah merupakan alat yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi berbagai panjang gelombang. Alat ini bermanfaat dalam pengkajian mikrostruktur maupun gugus fungsi polimer, seperti komposisi kopolimer olefin, gugus nitril, ester, hidrosil sampai ketidakjenuhan. Ikatan berbeda (C-C, C=C, C=O, O-H, N-H, dsb) memiliki frekuensi getar yang berbeda. Keberadaan ikatan tersebut dalam molekul organik dapat diketahui melalui karakteristik frekuensinya melalui pita absorbsi spektrum infra merah (Kemp, 1979). Prinsip dasar FTIR ini adalah adanya vibrasi dari atom-atom dalam satu ikatan. Suatu molekul akan dapat menyerap radiasi IR jika melakukan vibrasi sedemikian rupa sehingga distribusi muatan berubah selama vibrasi. Jenis vibrasi tersebut dapat berupa saling memanjang (vibrasi ulur), saling mendekat (vibrasi tekuk), atau vibrasi menggunting (scissoring). Semua vibrasi ini dapat memberikan serapan pada daerah IR (Nielsen, 1992).

14

J. VISKOSITAS MOONEY Viskositas karet mentah dinyatakan sebagai viskositas Mooney, yang menunjukkan panjangnya rantai molekul atau berat molekul dan derajat pengikatan silang rantai molekul karet alam. Nilai viskositas Mooney dari produk karet dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu jenis klon, suhu pengeringan, lama penyimpanan, jenis pengawet, cara pengolahan, dan kontaminasi ion logam. Pengukuran viskositas Mooney didasarkan pada pengukuran gesekan rotor pada karet padat yang berfungsi sebagai tahanan dengan meletakkan sampel karet di atas dan di bawah rotor yang dapat berputar. Nilai viskositas Mooney berlawanan dengan nilai plastisitas, karena semakin plastis sampel karet yang diuji, maka rotor akan semakin cepat berputar, sehingga tenaga yang digunakan untuk memutar rotor akan semakin kecil (Solichin, 1995). Berat molekul selain menentukan struktur rantai polimer, juga menentukan sifat polimer. Sebagian besar sifat bahan polimer tergantung bobot molekulnya, seperti kelarutan, ketercetakan, kekentalan larutan dan lelehan. Suatu sampel polimer sesungguhnya terdiri dari sebaran ukuran-ukuran molekul dan massa molekul yang berbeda-beda, karena setiap penentuan massa molekul akan memberikan harga rata-rata (Cowd, 1991). Secara struktural karet terdiri dari molekul-molekul panjang dan tidak bercabang. Berat molekul berbanding lurus dengan panjang rantai molekulnya. Semakin panjang rantai poliisoprena karet, maka akan semakin sulit pelepasan rantai monomer, baik sebagian maupun seluruh rantai monomer sehingga secara keseluruhan viskositas Mooney-nya akan tinggi. Semakin pendek rantai poliisoprena karet, maka akan semakin mudah pelepasan rantai monomer, baik sebagian maupun seluruh rantai monomer sehingga keseluruhan viskositas Mooney-nya akan rendah (Solichin, 1995). Penurunan viskositas Mooney secara kimia dapat dilakukan dengan mereaksikan lateks dengan bahan pengoksidasi, yaitu bahan yang mampu memutus rantai poliisoprena sehingga terjadi penurunan bobot molekul karet (Solichin, 1995).

15

K. VISKOSITAS INTRINSIK Rabek (1980) menyatakan bahwa viskositas intrinsik (disebut juga viskositas sebenarnya dari sampel) adalah peningkatan fraksi dalam viskositas suatu unit pelarut oleh penambahan 1 gram molekul polimer yang tidak berinteraksi. Viskositas intrinsik dihitung dengan cara ekstrapolasi viskositas reduksi ke konsentrasi nol. Viskositas intrinsik biasanya hanya digunakan untuk sampel polimer. Metode viskositas intrinsik pada dasarnya adalah untuk mengukur waktu yang diperlukan pelarut dan larutan polimer untuk mengalir di antara dua garis pada viskometer atau untuk mengukur laju alir cairan yang melalui tabung berbentuk silinder. Apabila viskositas pembanding atau pelarut diketahui, maka viskositas cairan lain dapat ditentukan. Viskositas suatu cairan murni atau larutan merupakan indeks hambatan alir cairan. Pada zat cair, viskositas akan meningkat dengan naiknya tekanan dan akan menurun bila suhu meningkat. Cara pengukuran viskositas ini merupakan salah satu cara yang paling mudah dan murah (Bird, 1993). Metode viskositas mempunyai kelebihan dibandingkan metode lain, yaitu lebih cepat, lebih mudah, alatnya murah, dan perhitungan hasilnya lebih sederhana. Metode yang biasa digunakan untuk mengukur viskositas pelarut dan larutan polimer adalah dengan menggunakan viskometer Oswald dan viskometer Ubbelohde (Cowd, 1991). Pada viskometer Ubbelohde, pengukuran tidak tergantung pada volume cairan yang dipakai sebab alat ini dirancang untuk bekerja dengan cairan mengalir melalui kapiler tanpa cairan di bawahnya. Keunggulan alat ini dibandingkan dengan viskometer Oswald adalah dapat mencapai berbagai konsentrasi, larutan polimer dapat diencerkan dalam viskometer dengan menambahkan sejumlah pelarut yang telah terukur. Pengukurannya dilakukan dengan viskometer berada dalam penangas air bersuhu tetap agar viskositas tetap stabil dengan adanya perubahan suhu (Cowd, 1991).

16

III. METODOLOGI PENELITIAN


A. BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lateks kebun campuran dari klon GT 1, RRIM, dan PR 261. Lateks kebun yang digunakan adalah hasil penyadapan dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan di Ciomas-Bogor. Bahan lain yang berfungsi sebagai pembantu dalam penelitian ini adalah monomer metil metakrilat (MMA) teknis, inisiator hidrogen peroksida (H2O2) teknis, gas nitrogen, surfaktan Emulgen, surfaktan Emal (Sodium Lauril Sulfat), enzim papain lokal, toluen teknis, air suling, dan aseton. B. ALAT Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor kopolimerisasi berupa reaktor berleher tiga, sentrifuse, mesin penggiling, pipet, oven, desikator, saringan, neraca analitik, cawan aluminium, alat pengatur suhu, stirrer (pengaduk magnetik), penangas air (hot plate), pemanas (heater), gelas ukur, termometer, tabung gas N2, Kjehdahl Apparatus, spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infrared), viskometer Ubbelohde, viskometer Mooney, dan alat-alat gelas. C. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan a. Analisis Lateks Kebun Lateks kebun yang digunakan merupakan campuran dari tiga klon lateks dengan persentase yang ditentukan, yaitu klon GT 1 (12 %), RRIM (26 %), dan PR 261 (62 %). Lateks kebun disaring terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang ada di dalamnya. Setelah itu, dilakukan pengambilan sampel dari lateks kebun bersih untuk dianalisis

kadar karet kering (KKK), kadar jumlah padatan (KJP), kadar nitrogen, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, dan spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared). Prosedur pengujian KKK, KJP, kadar nitrogen, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, dan spektroskopi FTIR dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Pembuatan Lateks DPNR Teknologi yang digunakan dalam membuat lateks DPNR adalah proses pemekatan dengan sentrifugasi dan proses deproteinisasi secara enzimatis (dengan enzim papain). Adapun teknologi yang digunakan mengikuti metode pembuatan lateks DPNR yang dilakukan oleh Kapsah (2004), yang merupakan modifikasi dari metode Alfa (2002). Lateks kebun yang telah diketahui KKK-nya distabilkan dengan penambahan surfaktan emulgen sebanyak 2 phr (per hundred rubber), kemudian diaduk agar homogen. Lateks selanjutnya diencerkan sampai KKK-nya 10 %, lalu ditambahkan enzim papain sebanyak 0,04 phr yang akan menghidrolisis protein yang terkandung dalam lateks. Lateks kemudian dilakukan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Selanjutnya, lateks disentrifugasi untuk memisahkan protein dan fraksi-fraksi lainnya sehingga diperoleh lateks Deproteinized Natural Rubber I (lateks DPNR I). Lateks DPNR I hasil sentrifugasi diambil beberapa ml untuk sampel pengujian KKK dan KJP (Lampiran 2). Sisa lateks DPNR I didispersikan dalam larutan 1 phr surfaktan emulgen dan diencerkan sampai KKK 20 %, kemudian dibiarkan (diperam) selama 24 jam pada suhu ruang. Lateks DPNR I disentrifugasi sampai diperoleh lateks DPNR II. Diagram alir proses pembuatan lateks DPNR dapat dilihat pada Gambar 4. c. Analisis Lateks DPNR Lateks DPNR II kemudian ditentukan karakteristiknya dengan penentuan kadar karet kering (KKK), kadar jumlah padatan (KJP), kadar

18

nitrogen, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, dan spektroskopi FTIR. Prosedur masing-masing uji dapat dilihat pada Lampiran 2. Lateks DPNR II telah siap digunakan pada tahap penelitian utama. 2. Penelitian Utama a. Pembuatan Kopolimer Cangkok (Graft Copolymer) Lateks DPNR II distabilkan dengan penambahan 1 phr surfaktan Emal dan diencerkan dengan aquades sampai KKK 30 %. Lateks selanjutnya dimasukkan ke dalam reaktor kopolimerisasi dan diaduk selama 20 menit sambil dialiri gas nitrogen pada suhu 70 oC. Monomer metil metakrilat teknis dimasukkan setetes demi setetes secara kontinyu sambil terus diaduk. Konsentrasi monomer metil metakrilat teknis yang digunakan yaitu 10 phr, 20 phr, dan 30 phr. Inisiator hidrogen peroksida (H2O2) teknis dimasukkan sedikit demi sedikit secara kontinyu sambil terus diaduk. Konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) teknis yang digunakan yaitu 2 phr, 3 phr, dan 4 phr. Selanjutnya reaksi dibiarkan berlangsung selama 3 jam pada suhu 70 oC sambil diaduk dan dialiri gas nitrogen. Hasil reaksi kemudian digumpalkan dengan menggunakan aseton dan digiling dengan mesin penggiling sehingga berbentuk krep. Krep yang terbentuk dikeringkan dalam oven dengan suhu 100 oC sampai kering. Diagram alir proses kopolimerisasi cangkok ini diperlihatkan pada Gambar 5. b. Analisis Kopolimer Cangkok Sebelum dianalisis terlebih dahulu krep dicuci dengan air panas untuk memisahkan monomer MMA yang tidak tercangkok. Krep karet akrilat hasil kopolimerisasi cangkok ditentukan karakteristiknya dengan penentuan kadar nitrogen, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, dan spektroskopi FTIR. Prosedur masing-masing uji dapat dilihat pada Lampiran 2.

19

D. RANCANGAN PERCOBAAN Analisis data hasil percobaan dilakukan dengan analisis statistik. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor, dimana masing-masing faktor terdiri dari 3 taraf dan dilakukan dengan 2 kali ulangan. Faktor-faktor yang dipelajari dalam penelitian ini yaitu konsentrasi MMA (monomer metil metakrilat) dan konsentrasi H2O2 (hidrogen peroksida). Faktor konsentrasi MMA terdiri dari 3 taraf, yaitu 10, 20, 30 phr. Faktor konsentrasi H2O2 memiliki 3 taraf, yaitu 2, 3, 4 phr. Model matematis untuk rancangan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut : Yijk = + i + j + ()ij + ijk Dimana : Yijk = Variabel respon yang diukur. i j = Rataan umum. = Pengaruh faktor konsentrasi MMA ke-i. = Pengaruh faktor konsentrasi H2O2 ke-j. faktor B. ijk = Pengaruh kesalahan unit eksperimen dalam ulangan ke-k karena perlakuan taraf ke-i faktor A dan perlakuan taraf ke-j faktor B.

()ij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-i pada faktor A dan taraf ke-j pada

20

Lateks Kebun

Penyaringan

Lateks Kebun Bersih Emulgen 30 % 2 phr Pengenceran KKK 10 % Enzim Papain 0,04 phr Inkubasi (T=suhu kamar, t=24 jam) Air

KKK, KJP, FTIR, Kdr N2, V. Mooney, V. Intrinsik,

Sentrifugasi

Serum C, Frey Wyssling, Fraksi Bawah, Asam Amino


LDPNR I Emulgen 30 % 1 phr Pengenceran KKK 20 % Air KKK, KJP

Pemeraman (T=suhu kamar, t=24 jam)

Sentrifugasi

Asam Amino Air


LDPNR II KKK, KJP, FTIR, Kdr N2, V. Mooney, V. Intrinsik,

Gambar 4. Diagram Alir Proses Pembuatan Lateks DPNR (Modifikasi Alfa, 2002)

21

LDPNR II EMAL 20 % 1 phr Pengenceran KKK 30 % Gas nitrogen Pengadukan (t=20 mnt, T=70 oC) + MMA (10, 20, 30 phr) Reaksi selama 3 jam, T=70 oC (diaduk & dialiri gas N2)

KKK, KJP, FTIR, Kdr N2, V. Mooney, V. Intrinsik,

Air

+ H2O2 (2, 3, 4 phr)

Gross Kopolimer Cangkok (Lateks) Aseton Penggumpalan

Serum
Gross Kopolimer Cangkok (Padatan)

Penggilingan

Pengeringan (Oven)

Karet Akrilat Krep

FTIR, V. Mooney, V. Intrinsik, Kdr N2

Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Kopolimer Cangkok

22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mempersiapkan bahan baku untuk proses kopolimerisasi pada penelitian utama. Adapun bahan yang diperlukan yaitu lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber). Lateks DPNR adalah lateks kebun yang telah diturunkan kadar proteinnya melalui proses deproteinisasi. Tingkat keberhasilan proses deproteinisasi dapat dilihat dari menurunnya kadar nitrogen lateks DPNR, yang dapat diketahui dengan membandingkan kadar nitrogen lateks kebun dengan kadar nitrogen lateks DPNR. Sebelum tahapan penelitian pendahuluan dilakukan, lateks kebun yang merupakan bahan baku awal untuk membuat lateks DPNR harus selalu dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui mutu lateks kebun, sebagai kontrol, dan meminimalkan keragaman lateks. Lateks kebun yang digunakan berasal dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan di Ciomas-Bogor. Penentuan jenis klon dan jumlah (persentase) tiap klon pada lateks kebun bertujuan untuk menyeragamkan sampel dan untuk mengetahui karakteristik lateks secara pasti, serta dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku di kebun. Tahap awal dalam penelitian pendahuluan adalah penentuan karakteristik lateks kebun yang telah disaring untuk memisahkan lateks dengan kotoran-kotoran yang terdapat dalam lateks. Penentuan karakteristik lateks kebun meliputi perhitungan KKK, KJP, kadar nitrogen, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, dan spektroskopi FTIR. Pengukuran KKK dan KJP dimaksudkan untuk mengetahui kualitas lateks kebun yang digunakan. Lateks kebun perlu diukur KKK-nya karena penambahan surfaktan, enzim papain, dan air untuk pengenceran pada proses deproteinisasi didasarkan pada bobot karet kering dalam lateks kebun. Sedangkan pengukuran kadar jumlah padatan (KJP) hanya sebagai koreksi apabila terjadi kesalahan pada pengukuran KKK. Tahapan selanjutnya yaitu pembuatan lateks DPNR dan tahapan yang terakhir adalah penentuan karakteristik lateks DPNR. Penentuan karakteristik lateks

DPNR meliputi perhitungan KKK, KJP, kadar nitrogen, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, dan spektroskopi FTIR. Perhitungan KKK dan KJP lateks DPNR dilakukan untuk menentukan jumlah monomer dan inisiator yang ditambahkan pada proses kopolimerisasi, dimana jumlahnya didasarkan pada jumlah bobot karet dalam lateks DPNR. Bobot karet kering dalam lateks selalu dijadikan basis pengukuran untuk penambahan monomer dan inisiator pada proses kopolimerisasi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa telah terjadi perubahan karakteristik lateks kebun, yang meliputi KKK, KJP, kadar nitrogen, viskositas Mooney, viskositas intrinsik, dan spektroskopi FTIR akibat proses deproteinisasi. Tabel 4 menunjukkan karakteristik lateks kebun dan lateks DPNR. Tabel 4. Karakteristik Lateks Kebun dan Lateks DPNR Sampel Lateks Kebun Lateks DPNR KKK (%) 36,525 61,985 KJP (%) 37,12 62,455 Kadar Viskositas Mooney Viskositas Nitrogen (ML(1'+4')100oC)) Intrinsik (%) 0,375 0,045 72,85 63,40 665,335 591,130

Kadar Karet Kering (KKK) merupakan parameter terukur yang menunjukkan persentase jumlah partikel karet yang telah dikeringkan dalam lateks tersebut. Semakin tinggi KKK maka kandungan karet pada lateks akan semakin tinggi dan lateks semakin pekat. Sebaliknya, semakin rendah KKK maka kandungan karet pada lateks akan semakin rendah dan lateks semakin encer. Pengukuran Kadar Jumlah Padatan (KJP) bertujuan untuk mengetahui jumlah padatan yang terdapat dalam lateks, baik berupa partikel karet maupun bahan bukan karet lainnya. Nilai KJP sebanding dengan nilai KKK, dengan selisih antara KKK dan KJP maksimum adalah 2 %. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa lateks kebun yang digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan lateks DPNR mempunyai KKK rata-rata sebesar 36,525 % dan KJP rata-rata sebesar 37,12 %. Kadar Karet Kering 36,525 % berarti dalam seratus mili liter lateks mengandung 36,525 gram

24

partikel karet dan KJP 37,12 % berarti dalam 100 ml lateks mengandung padatan total sebesar 37,12 gram. Menurut Yip (1990), lateks Hevea brasiliensis secara umum mempunyai KKK antara 34-38 %. Sedangkan menurut Utama (1993), lateks karet alam kebun yang diperoleh dengan penyadapan, memiliki kadar karet kering (dry rubber content, DRC atau KKK) 28-38 % dengan rata-rata 33 %. Lateks kebun dengan KKK 36,525 % masih berada dalam kisaran KKK yang normal, sehingga lateks kebun ini cukup baik digunakan sebagai bahan baku untuk proses deproteinisasi yang selanjutnya digunakan untuk proses kopolimerisasi cangkok pada penelitian utama. Nilai KKK yang selalu lebih kecil dari nilai KJP ini dikarenakan dalam perhitungan KKK yang dihitung hanya komponen karet dalam lateks. Sedangkan nilai KJP memperhitungkan semua padatan, baik komponen karet maupun komponen bukan karet yang ada di dalam lateks (sekitar 2 %). Komponen bukan karet meliputi partikel dalam fraksi Frey Wyssling (karotenoid dan lipid), partikel lutoid dalam fraksi bawah, serta karbohidrat dan inositol dalam fraksi serum, hanya air dalam fraksi serum yang tidak ikut dihitung. Bagian-bagian karet yang berada dalam lateks menurut Loo (1980) dikelilingi oleh satu lapisan tipis dari protein, yang menentukan kemantapan (stabilitet) dan kelakuan koloidal dari lateks tersebut. Protein di dalam lateks kebun sebagian besar terdapat pada fraksi serum, sedangkan sisanya terdapat pada fraksi bawah dan pada permukaan partikel karet pada fraksi karet (Tanaka, 1998). Protein bersama-sama fosfolipid mengelilingi partikel karet dan bersifat menarik air (hidrofilik) membentuk selubung pelindung yang berfungsi menjaga stabilitas lateks. Adanya protein dalam lateks alam menurut Gelling (1991) dapat memacu peningkatan kandungan gel, yang akan menghambat kemampuan memodifikasi karet alam. Lapisan yang dibentuk oleh protein dan fosfolipid akan menghalangi penetrasi monomer vinilik (yang telah terinisiasi) pada partikel karet dan juga menghalangi terjadinya inisiasi hidrokarbon karet oleh inisiator radikal bebas (Fukushima et al., 1998). Kondisi ini dapat mengurangi tingkat keberhasilan proses kopolimerisasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penurunan kadar protein dalam lateks agar proses

25

kopolimerisasi pada penelitian utama dapat berlangsung secara optimal. Penghilangan lapisan protein pada partikel karet berpengaruh dalam meningkatkan jumlah sisi tercangkok pada kopolimerisasi cangkok karet alam. Penurunan kadar protein dalam lateks kebun pada penelitian ini dilakukan melalui pemekatan dengan alat sentrifuse (sentrifugasi) dan penambahan enzim papain. Lateks kebun yang disentrifugasi adalah lateks kebun setelah dilakukan penambahan surfaktan, enzim papain, dan telah diencerkan. Penambahan surfaktan nonionik (Emulgen) pada lateks kebun dimaksudkan agar lateks dapat tetap stabil selama proses hidrolisis protein lateks oleh enzim papain dan selama penurunan kadar nitrogen dengan sentrifugasi. Surfaktan mengandung gugus hidrofobik dan hidrofilik. Di dalam lateks yang telah ditambahkan surfaktan, bagian hidrofobik surfaktan akan terserap pada permukaan partikel, sedangkan bagian hidrofiliknya mengarah ke cairan, membentuk lapisan yang akan melindungi partikel karet sehingga lateks akan tetap stabil. Selain itu, surfaktan juga membantu mendorong protein ke bagian serum, sehingga lebih mudah dihidrolisis oleh enzim. Pemekatan lateks melalui proses sentrifugasi merupakan cara yang efektif untuk mengurangi komponen bukan karet pada lateks. Proses pemekatan (sentrifugasi) bertujuan untuk memisahkan partikel karet dengan protein yang telah terhidrolisis menjadi asam amino oleh enzim papain. Sentrifugasi juga dapat memisahkan protein yang belum terhidrolisis dari karet alam akibat dari adanya tumbukan antara sesama partikel karet maupun antara partikel karet dengan piringan dalam alat sentrifugasi, sehingga menyebabkan terjadinya gesekan. Gesekan tersebut akan memisahkan protein dari karet alam. Menurut Beveridge (1996), sentrifugasi akan menghilangkan sebagian protein dari permukaan karet yang terpisah dan keluar bersama serum (hasil samping sentrifugasi). Prinsip sentrifugasi/pemusingan (centrifuged) yaitu berdasarkan perbedaan berat jenis antara partikel karet dan serum. Serum mempunyai berat jenis lebih besar dari partikel karet, sehingga adanya gaya sentrifugal akan menyebabkan partikel karet memiliki kecenderungan untuk naik ke permukaan, sedangkan serum merupakan lapisan dibawahnya. Bagian serum akan keluar sebagai lateks skim dan partikel karet akan terpisah dan

26

keluar sebagai lateks pekat (Goutara et al., 1985). Lateks skim mengandung kira-kira 2,5-10 % bahan karet kering (Loo, 1980). Proses sentrifugasi hanya dapat menghilangkan protein yang terdapat pada fraksi serum dan fraksi bawah, sedangkan protein pada permukaan partikel karet berikatan secara kimiawi dengan partikel karet dan tidak dapat dihilangkan dengan perlakuan fisik saja. Oleh karena itu, penghilangan protein secara kimiawi perlu dilakukan. Proses deproteinisasi secara enzimatis menggunakan enzim papain merupakan salah satu cara penghilangan protein dalam karet secara kimiawi. Penggunaan enzim protease (enzim papain) lebih efektif dalam menghidrolisis protein menjadi asam amino dalam waktu yang relatif cepat tanpa memberikan efek negatif pada sifat-sifat lateks. Enzim papain merupakan enzim protease yang berfungsi untuk menghidrolisis protein yang terdapat dalam serum dan partikel karet. Prinsip dasarnya yaitu hidrolisis ikatan peptida oleh enzim proteolitik yang diikuti dengan pendegradasian kompleks lipid menghasilkan asam-asam amino sederhana dan mudah dipecah yang dapat larut dalam air. Enzim papain akan lebih mudah menghidrolisis protein yang terdapat dalam serum daripada menghidrolisis protein yang terdapat pada partikel karet. Hal ini disebabkan karena protein tersebut terserap dalam jaringan partikel karet yang saling berbelit dan kompleks, sehingga perlu dilakukan pengenceran. Pengenceran bertujuan agar protein lebih mudah terpisah karena sifat protein yang polar akan terlarut oleh air. Gugus-gugus fungsional dalam protein yang memiliki sifat polar (gugus hidroksil, amina, dan sulfihidril (tiol)) akan membentuk ikatan hidrogen dengan air sehingga asam-asam amino dalam protein akan larut dalam air. Selain itu, dalam keadaan encer, ruang diantara partikel karet lebih terbuka, sehingga diharapkan aktivitas enzim papain akan lebih efektif. Lateks hasil proses deproteinisasi disebut dengan lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber). Lateks DPNR yang diperoleh mempunyai KKK sebesar 61,985 % dan KJP sebesar 62,455 %. Nilai KKK dan KJP lateks DPNR yang lebih tinggi dari nilai KKK dan KJP lateks kebun menunjukkan meningkatnya kandungan karet dan jumlah padatan. Hal ini disebabkan oleh telah berkurangnya jumlah air dan sebagian besar bahan-bahan bukan karet

27

yang ikut terbuang bersamaan dengan serum dan protein yang telah terhidrolisis pada saat proses sentrifugasi. Tingkat keberhasilan proses deproteinisasi lateks kebun dapat dilihat dari penurunan kadar nitrogen lateks DPNR yang dihasilkan. Kadar nitrogen dapat menunjukkan jumlah protein yang terkandung di dalam karet. Menurut Cowd (1991), protein merupakan makromolekul yang mengandung nitrogen, karbon, hidrogen, dan oksigen. Hasil penelitian menunjukkan lateks kebun memiliki kadar nitrogen 0,375 % dan lateks DPNR memiliki kadar nitrogen sebesar 0,045 %. Kadar nitrogen lateks DPNR yang lebih rendah dari kadar nitrogen lateks kebun menunjukkan keberhasilan proses deproteinisasi lateks dan menunjukkan keefektifan kerja enzim protease dalam mendeproteinisasi karet alam. Menurut Hong et al. (1997) Di Dalam Kapsah (2004), lateks DPNR memiliki kadar nitrogen maksimal 0,05 %. Kadar protein dalam lateks dihitung sebagai kadar nitrogen yang diperoleh dengan metode Kjeldahl. Untuk menghitung kadar protein, kadar nitrogen dikalikan dengan faktor 6,25. Berdasarkan perhitungan di atas, kadar protein lateks kebun adalah sebesar 2,34 %, sedangkan kadar protein dari lateks DPNR adalah 0,28 %. Kadar protein dalam lateks kebun tidak dapat dihilangkan sepenuhnya melalui proses deproteinisasi. Hal ini disebabkan oleh masih adanya asam amino terhidrolisis yang tidak dapat terpisahkan dengan baik pada saat sentrifugasi dan masih adanya kandungan nitrogen dari senyawa nitrogen lain selain protein dalam lateks yang ikut terukur sebagai kadar nitrogen. Dalam pembuatan kopolimerisasi cangkok, semakin rendah kadar nitrogen yang terkandung dalam protein maka semakin mudah proses kopolimerisasi berlangsung. Selain KKK, KJP dan kadar nitrogen, lateks kebun dan lateks DPNR juga dianalisis viskositas Mooney-nya. Viskositas Mooney menunjukkan panjangnya rantai molekul karet atau berat molekul karet dan derajat pengikatan silang rantai molekulnya (Solichin, 1995). Proses deproteinisasi lateks kebun menjadi lateks DPNR ternyata mampu menurunkan nilai viskositas Mooney sebesar 12,97 % dari 72,85 (ML (1+4) 100 oC) menjadi 63,40 (ML (1+4) 100 oC). Lateks kebun dengan nilai viskositas Mooney

28

72,85 (ML (1+4) 100 oC) termasuk dalam kelompok lateks dengan viskositas Mooney keras karena nilai VR > 65. Berkurangnya nilai viskositas Mooney menunjukkan berkurangnya panjang rantai atau berat molekul dan derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pemutusan rantai cabang molekul karet akibat terhidrolisisnya protein dalam karet. Dari analisis viskositas intrinsik lateks kebun dan lateks DPNR diperoleh hasil lateks kebun mempunyai viskositas intrinsik sebesar 665,335 dan lateks DPNR memiliki viskositas intrinsik 591,130. Lebih rendahnya nilai viskositas intrinsik lateks DPNR disebabkan oleh berkurangnya jumlah bahanbahan bukan karet dan adanya protein yang terhidrolisis yang ikut terbuang pada saat sentrifugasi. Hidrolisis protein oleh enzim papain menyebabkan titiktitik percabangan dan formulasi gel terurai membentuk molekul karet yang lurus dan pendek, sehingga bobot molekul karet berkurang. Dari nilai viskositas intrinsik yang diperoleh apabila dikonversi menjadi bobot molekul akan dihasilkan bobot molekul lateks kebun sebesar 1,8951x106 dan bobot molekul lateks DPNR adalah 1,6115x106. Menurut Cowd (1991), bobot molekul rata-rata untuk semua jenis klon karet biasanya berkisar antara 3x104 3x107. Nilai viskositas intrinsik berbanding lurus dengan nilai viskositas Mooney. Secara umum spektroskopi infra merah (FTIR) digunakan untuk mengidentifikasi senyawa organik berdasarkan pembacaan gugus fungsional yang dimilikinya berupa spektrum organik yang terbaca pada grafik. Analisis spektroskopi FTIR pada penelitian pendahuluan ini digunakan untuk mengetahui gugus penyusun dalam karet, karena setiap molekul mempunyai struktur dan ruang tersendiri. Hasil analisis spektroskopi FTIR menunjukkan pola yang sama antara lateks kebun dan lateks DPNR, yaitu adanya puncak khas pada bilangan gelombang 2962 cm-1 (C-H), 1664-1665 cm-1 (C=C), 1449-1450 cm-1 (-CH2-), 1376 cm-1 (-CH3), dan 836 cm-1 mewakili gugus C-C. Adanya pola yang sama tersebut menunjukkan bahwa proses deproteinisasi dan sentrifugasi tidak mengubah struktur utama karet.

29

Perbedaan antara spektrum lateks DPNR dan lateks kebun adalah transmisi pada bilangan gelombang 3310-3500 cm-1, dimana daerah bilangan gelombang ini menunjukkan puncak serapan khas untuk amina (N-H). Pada spektrum lateks DPNR, puncak khas gugus amina tersebut hampir tidak terlihat atau berkurang. Berkurangnya puncak khas amina menunjukkan kadar protein lateks DPNR juga berkurang akibat proses deproteinisasi enzimatis. Semakin kecil kadar nitrogen dalam suatu lateks maka semakin pendek getaran ulur N-H, yang berarti lateks telah berkurang kandungan proteinnya. Spektroskopi FTIR juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses deproteinisasi. Hasil analisis spektroskopi FTIR lateks kebun dan lateks DPNR dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Gambar 6. Spektrum Infra Merah Lateks Kebun

Gambar 7. Spektrum Infra Merah Kontrol (Lateks DPNR)

30

B. PENELITIAN UTAMA 1. Pembuatan Kopolimer Cangkok (Graft Copolymer) Penelitian utama yang dilakukan adalah proses pembuatan kopolimer cangkok dari lateks DPNR. Sebelum dilakukan proses kopolimerisasi cangkok perlu dilakukan penentuan kondisi yang tepat untuk proses kopolimerisasi agar diperoleh hasil yang maksimal. Penelitian penentuan kondisi meliputi penentuan surfaktan yang tepat dan penentuan KKK proses yang tepat. Lateks DPNR sebelum digunakan sebagai bahan baku kopolimerisasi, terlebih dahulu ditambahkan surfaktan sebesar 1 phr. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa surfaktan Emal (surfaktan anionik) lebih sesuai digunakan sebagai penstabil lateks selama proses kopolimerisasi dibandingkan surfaktan Emulgen (surfaktan nonionik). Surfaktan Emal berfungsi untuk menggantikan fungsi protein yang telah dihilangkan pada proses deproteinisasi dan untuk menjaga kestabilan lateks selama proses kopolimerisasi. Surfaktan Emulgen tidak diperlukan karena tidak dapat menjaga kestabilan lateks selama proses kopolimerisasi dan terjadi koagulasi pada lateks setelah 1 jam reaksi setelah penambahan inisiator H2O2. Hal ini kemungkinan disebabkan karena Emulgen tidak memiliki muatan, sedangkan surfaktan Emal mempunyai muatan negatif sehingga sesuai digunakan pada lateks yang mengandung partikel karet yang bermuatan negatif. Adanya muatan negatif pada surfaktan Emal diharapkan dapat menurunkan tegangan antar muka antara partikel karet dan serumnya, sehingga gaya adhesi partikel karet dan serum berkurang dan surfaktan dapat mengikat partikel karet. Selain itu, Emal stabil dalam suasana asam, basa, dan air sadah, stabil apabila direaksikan dengan bahan kimia, dan mempunyai kestabilan tinggi pada emulsi polimerisasi. Sedangkan Emulgen lebih sesuai digunakan sebagai surfaktan penstabil lateks pada suasana ekstrim seperti pada pembuatan siklo yang menggunakan asam sulfat pekat. Setelah penambahan surfaktan Emal, lateks DPNR yang akan digunakan diencerkan terlebih dahulu dengan aquades sampai KKK 30 %. Tujuan dari pengenceran adalah untuk mengurangi viskositas dari lateks karet alam sehingga lateks menjadi lebih stabil selama proses kopolimerisasi.

31

Pengenceran lateks juga akan menyebabkan jaringan partikel karet lebih terbuka, sehingga keadaan senyawa non karet yang terserap pada partikel karet maupun yang terdispersi dalam serum menjadi terbuka dan relatif lebih mudah dicapai oleh pereaksi atau senyawa lain. Hal ini akan memudahkan penetrasi monomer MMA (yang telah terinisiasi) pada partikel karet dan juga memudahkan terjadinya inisiasi hidrokarbon karet oleh inisiator radikal bebas dari H2O2. Lateks DPNR dengan KKK > 30 % (KKK 40 % dan 50 %) tidak dapat digunakan sebagai bahan baku proses kopolimerisasi karena terjadi penggumpalan lateks setelah 50 menit setelah reaksi berlangsung. Hal ini kemungkinan disebabkan karena lateks DPNR yang digunakan terlalu kental. Pada lateks yang kental (KKK > 30 %), ruang di antara molekul karet akan semakin rapat, sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan antar partikel karet akibat pengadukan selama reaksi berlangsung akan semakin besar. Adanya tumbukan tersebut akan menyebabkan lateks menggumpal. Terjadinya penggumpalan lateks selama proses kopolimerisasi kemungkinan disebabkan oleh lateks yang digunakan tidak stabil, proses pengadukan yang tidak stabil, dan perubahan suhu yang tidak stabil, serta kemungkinan juga disebabkan oleh adanya inhibitor hidrokuinon yang masih terkandung dalam monomer metil metakrilat yang digunakan. Hidrokuinon yang terdapat pada monomer MMA teknis berfungsi untuk menghambat terjadinya polimerisasi metil metakrilat menjadi polimetil metakrilat akibat dari adanya sinar matahari, guncangan, oksigen, dan panas selama distribusi maupun selama penyimpanan Dari penelitian penentuan kondisi yang tepat untuk proses kopolimerisasi diperoleh bahwa proses kopolimerisasi dilakukan menggunakan lateks DPNR yang telah diencerkan sampai KKK 30 % dan menggunakan surfaktan Emal sebagai penstabil lateks selama proses kopolimerisasi berlangsung. Selain itu, penentuan KKK lateks DPNR (30 %) juga didasarkan pada kapasitas reaktor kopolimerisasi dan jumlah sampel yang diperlukan untuk pengujian. Proses kopolimerisasi yang terjadi dalam penelitian ini adalah kopolimerisasi cangkok (graft copolymerization) karena terbentuk cabang-

32

cabang

polimer

pada

struktur

molekul

karet

hasil

kopolimerisasi.

Kopolimerisasi menurut Chapiro (1962), merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk memodifikasi polimer sehingga memiliki sifat fisik dan mekanik yang diinginkan. Melalui kopolimerisasi akan dihasilkan suatu polimer yang memiliki dua jenis monomer berbeda, sehingga sifat kedua jenis monomer tersebut dapat digabungkan. Kopolimer lateks karet alam metil metakrilat hasil proses kopolimerisasi dapat merupakan bahan elastomer termoplastik karena mengandung dua fraksi yaitu fraksi kaku/termoplastik berasal dari polimetil metakrilat dan fraksi lunak (elastomer) dari karet alam. Karet alam hasil kopolimerisasi diharapkan memiliki sifat tahan minyak dan oli, memiliki ketahanan terhadap oksidasi, kekuatan rekat yang tinggi, serta memiliki sifat-sifat fisik yang lebih baik. Proses kopolimerisasi dilakukan pada fase lateks dengan KKK 30 %, suhu reaksi 70 oC, lama reaksi 3 jam, serta dengan atmosfir gas nitrogen untuk menghindari reaksi oksidasi. Suhu dan waktu reaksi dibuat tetap. Pengaturan suhu dan pengadukan lateks dilakukan dengan bantuan hot plate yang dilengkapi dengan pengaduk magnetik dan pengatur suhu otomatis. Pada suhu 70 oC ini inisiator yang digunakan (hidrogen peroksida) dapat bereaksi dengan baik membentuk radikal bebas. Peran inisiator sangat penting pada proses grafting karena inisiator merupakan senyawa yang mengawali suatu reaksi. Kopolimerisasi karet alam dengan senyawa yang bersifat lebih polar telah dilakukan dengan senyawa turunan akrilat. Pada penelitian ini monomer yang digunakan yaitu monomer metil metakrilat (MMA) teknis dan inisiator yang digunakan yaitu inisiator hidrogen peroksida (H2O2). Monomer MMA merupakan monomer vinilik yang bersifat hidrofilik. Pemilihan monomer MMA didasarkan karena mudah diperoleh di pasaran dan harganya lebih murah dibandingkan monomer lainnya (seperti glisidil metakrilat). Pemilihan hidrogen peroksida sebagai inisiator adalah karena sifatnya yang sangat reaktif, sebagai oksidator kuat, mudah diperoleh, dan harganya lebih murah apabila dibandingkan inisiator lainnya (seperti ammonium peroksodisulfat). Pada proses kopolimerisasi, lateks DPNR berfungsi sebagai tulang punggung (backbone) dan metil metakrilat bertindak sebagai monomer yang

33

akan dicangkokan ke dalam struktur rantai poliisoprena (karet alam) dengan bantuan inisiator hidrogen peroksida (H2O2). Senyawa peroksida merupakan inisiator yang sesuai untuk berbagai polimerisasi senyawa vinilik (Hoffman dan Bacskai, 1964). Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator kuat yang sangat reaktif. Hidrogen peroksida berfungsi sebagai inisiator yang secara cepat bergabung dengan rantai polimer karet dan mengoksidasinya membentuk gugus radikal bebas yang aktif pada rantai molekul. Konsentrasi inisiator mempengaruhi laju reaksi kopolimerisasi cangkok. Peningkatan laju reaksi pada proses kopolimerisasi cangkok dapat diperoleh dengan cara peningkatan konsentrasi inisiator dalam jumlah yang rendah. Konsentrasi inisiator yang terlalu tinggi dapat menyebabkan koagulasi karet (Claramma et al., 1984). Reaksi kopolimerisasi dilakukan pada kondisi lingkungan bebas oksigen, dengan cara mengalirkan gas nitrogen ke dalam campuran selama reaksi berlangsung. Gas nitrogen berfungsi untuk mengusir oksigen terlarut, sehingga sistem terbebas dari oksigen. Keberadaan oksigen dalam reaksi perlu dihindarkan karena karet alam rentan terhadap serangan oksigen. Senyawa yang memiliki ikatan rangkap seperti karet alam rentan terhadap oksidasi oleh udara. Oksigen dapat menjadi penyebab putusnya rantai molekul pada karet alam yang mendorong terjadinya penurunan mutu dan sifat fisik pada karet. Selain itu, adanya oksigen dalam sistem proses dapat mengganggu proses kopolimerisasi dan dapat menyebabkan reaksi autooksidasi. Oksigen adalah senyawa pelambat yang kuat bagi polimerisasi radikal bebas karena bereaksi dengan radikal bebas perambat. Mekanisme pelambatan proses polimerisasi oleh oksigen adalah sebagai berikut :

CH2

CHX + O2

CH2

CHX

Gambar 8. Mekanisme Pelambatan Proses Polimerisasi oleh Oksigen (Cowd, 1991) Kopolimer yang terbentuk merupakan kopolimer tempel (graft copolymer), yaitu suatu polimer dimana molekulnya terdiri dari dua atau lebih bagian polimer yang berbeda secara kimiawi yang memiliki sifat-sifat khas

34

dari kedua homopolimer pembentuknya. Jenis polimerisasi yang terjadi adalah polimerisasi adisi radikal bebas karena inisiator yang digunakan merupakan senyawa peroksida yang mudah terurai menjadi radikal bebas dan menjadi pemicu pada polimerisasi (Cowd, 1991). Reaksi polimerisasi radikal bebas merupakan proses berantai dimana reaksi pertamanya dipicu oleh suatu gugus reaktif. Gugus reaktif berfungsi sebagai penyedia pusat reaksi untuk memulai suatu proses kopolimerisasi. Polimerisasi radikal bebas melibatkan penggunaan berbagai jenis polimer dan monomer. Menurut Fessenden dan Fessenden (1982), mekanisme yang terjadi pada polimerisasi radikal bebas terdiri dari tiga tahapan penting, yaitu tahapan inisiasi (pemulaan/pemicuan), propagasi (perambatan), dan terminasi (pengakhiran). Pada penelitian ini kemungkinan mekanismenya berlangsung sebagai berikut : a. Tahap Inisiasi Tahap inisiasi ialah pembentukan awal radikal-radikal bebas (Fessenden dan Fessenden, 1982). Tahap ini diawali dengan terurainya inisiator (hidrogen peroksida) membentuk radikal bebas (R). Radikal bebas ini akan mengadisi ikatan rangkap pada monomer metil metakrilat (MMA) dan karet, yang selanjutnya memicu pembentukan radikal bebas pada monomer MMA dan karet, yang dilambangkan dengan Gambar 9 dan Gambar 10.

. Proses

inisiasi/pemicuan pada monomer MMA dan karet diperlihatkan pada

Gambar 9. Tahap Inisiasi pada Monomer MMA

35

Gambar 10. Dua Alternatif Proses Inisiasi pada Karet (Hoffman dan Bacskai, 1964) Tahap inisiasi ini menghasilkan monomer MMA radikal dan polimer karet radikal yang selanjutnya menginisiasi monomer dan polimer lainnya untuk membentuk radikal. Monomer MMA yang telah terinisiasi (memiliki radikal bebas) dapat pula langsung menginisiasi karet. b. Tahap Propagasi Propagasi yaitu reaksi penyerangan radikal bebas terhadap molekul isoprena atau monomer MMA. Sedangkan menurut Chapiro (1962), proses propagasi (perambatan) adalah proses pembentukan radikal bebas baru akibat adanya reaksi antara radikal-radikal bebas yang ada.
O

O H3C C C O CH3 H2C O H3C C C O CH3 CH2

H3C C C O CH3 + H3C C C O CH3 1 CH2 R CH2

O
+ H3C C C O CH3 CH2

O
H3C C C O CH3 H2C O H3C C C O CH3 H2C O H3C C C O CH3 H2C R

dan seterusnya

Gambar 11. Tahap Propagasi pada Monomer MMA Pada tahap propagasi, monomer yang telah terinisiasi akan bereaksi dengan monomer yang lain melalui ikatan rangkapnya membentuk radikal-radikal

36

bebas baru yang terus merambat, sehingga terjadi reaksi berantai (Gambar 11). Gambar 11 memperlihatkan reaksi adisi yang terus menerus pada monomer-monomer MMA pada tahap propagasi. Polimer karet yang telah terinisiasi juga memicu monomer dan polimer lain untuk membentuk radikal-radikal bebas baru, yang berlangsung secara terus menerus sehingga terjadi reaksi berantai. Selain itu, polimer radikal juga dapat menginisiasi monomer membentuk kompleks polimermonomer atau kompleks monomer-polimer seperti yang diperlihatkan pada Gambar 12, 13, 14, dan 15.

Gambar 12. Alternatif 1 Proses Reinisiasi Karet Alam dengan MMA

Gambar 13. Alternatif 2 Proses Reinisiasi Karet Alam dengan MMA

Gambar 14. Alternatif 1 Tahap Propagasi pada Polimerisasi Cangkok

37

Gambar 15. Alternatif 2 Tahap Propagasi pada Polimerisasi Cangkok Propagasi rantai dapat berlanjut mulai dari ratusan sampai ribuan unit monomer terhubung. Panjangnya rantai bergantung pada beberapa faktor, antara lain kondisi reaksi (suhu, tekanan, pelarut, konsentrasi monomer, dan katalis), sifat monomer, dan laju reaksi pesaing. Pada tahap propagasi terjadi reaksi alih/transfer rantai (chain transfer). Menurut Hendrana (1999) Di Dalam Kapsah (2004), reaksi alih rantai terjadi apabila suatu radikal bebas yang tumbuh dipindahkan dari molekul polimer ke molekul lainnya, menghasilkan polimer (dead polymer) dan suatu radikal baru. Radikal baru ini dapat memicu monomer untuk membentuk rantai radikal bebas tumbuh lagi. Pengalih rantai dapat berupa molekul pelarut, pemicu, monomer, atau polimer (Cowd, 1991). Perbedaan antara reaksi propagasi dengan reaksi alih rantai terletak pada gugus yang bereaksi dengan monomer yang telah terinisiasi (radikal tumbuh). Dalam reaksi propagasi monomer, yang bereaksi adalah pada ikatan rangkapnya. Sedangkan pada reaksi alih rantai, radikal tumbuh melakukan pengambilan hidrogen pada monomer. Reaksi alih rantai terjadi pada monomer, inisiator, dan polimer. Jenis monomer sangat berpengaruh terhadap kuantitas reaksi alih rantai ke monomer (Hendrana, 1999 Di Dalam Kapsah, 2004). c. Tahap Terminasi Terminasi merupakan tahap pengakhiran reaksi rantai pada tahap propagasi, dimana dua radikal bebas bereaksi membentuk satu polimer atau

38

kopolimer yang stabil dan tidak reaktif lagi. Dua reaksi terminasi (pengakhiran) yang umum terjadi adalah penggandengan/penggabungan radikal (radical coupling) dan disproporsionasi radikal. Pada tahap terminasi disproporsionasi radikal, dua radikal bebas berpisah (disproporsionasi) membentuk dua molekul polimer tidak aktif melalui proses pengalihan atom hidrogen dari satu radikal kepada radikal lainnya. Dari dua molekul polimer tidak aktif tersebut, salah satu molekul (penyumbang atom H) mempunyai ikatan rangkap dua (C=C) pada ujung molekulnya, sedangkan molekul lainnya (penerima atom H) mengandung ikatan jenuh. Reaksi terminasi melalui radical coupling diperlihatkan pada Gambar 16. Sedangkan reaksi terminasi melalui mekanisme disproporsionasi ditunjukkan pada Gambar 17.

Gambar 16. Tahap Terminasi pada MMA Melalui Reaksi Kopling

Gambar 17. Tahap Terminasi pada MMA Melalui Reaksi Disproporsionasi Tahap terminasi pada monomer MMA saja ataupun pada karet saja dalam proses kopolimerisasi cangkok tidak diharapkan terjadi secara cepat. Apabila hal ini terjadi, maka MMA akan membentuk agregat dan hanya sedikit monomer MMA yang dapat berikatan dengan molekul karet. Berdasarkan pada dua alternatif inisiasi pada karet, reaksi pada tahap terminasi, dan tingkat keberhasilan inisiasi pada karet, maka dapat dirumuskan delapan alternatif senyawa yang mungkin terbentuk.

39

A. Reaksi terminasi melalui reaksi kopling (penggabungan) antara MMA dengan Polimer Karet. 1. Reaksi antara MMA dengan bentuk pertama dari poliisoprena yang terinisiasi

Gambar 18. Mekanisme Reaksi antara MMA dengan Bentuk Pertama dari Poliisoprena yang Terinisiasi Melalui mekanisme ini radikal bebas pada masing-masing senyawa (MMA dan karet) bertemu dan bergabung sehingga terbentuk satu struktur hasil cangkokan seperti pada Gambar 18. Apabila struktur backbone karet alam dipanjangkan, hasil grafting maksimal adalah pada saat semua ikatan rangkap dalam backbone terinisiasi menjadi ikatan tunggal, sehingga MMA dapat tercangkok di semua radikal bebas (Gambar 19). Sedangkan jika ikatan rangkap dalam backbone tidak semuanya terinisiasi menjadi ikatan tunggal, maka akan diperoleh hasil pencangkokan yang tidak maksimal (Gambar 20 dan 21). Pada pencangkokan yang tidak maksimal MMA hanya tergrafting di beberapa radikal bebas yang terbentuk dan membentuk cangkokan yang memanjang di rantai yang terinisiasi.

40

Gambar 19. Alternatif 1 Hasil Proses Kopolimerisasi

Gambar 20. Alternatif 2a Hasil Proses Kopolimerisasi

Gambar 21. Alternatif 2b Hasil Proses Kopolimerisasi 2. Reaksi antara MMA dengan bentuk kedua dari poliisoprena terinisiasi

41

Gambar 22. Mekanisme Reaksi antara MMA dengan Bentuk Kedua dari Poliisoprena yang Terinisiasi Melalui mekanisme ini radikal bebas pada masing-masing senyawa bertemu dan bergabung, sehingga terbentuk satu struktur hasil cangkokan (Gambar 22). Hasil grafting maksimal yaitu pada saat semua ikatan rangkap dalam backbone terinisiasi menjadi ikatan tunggal, sehingga MMA dapat tergrafting di semua radikal bebas (Gambar 23), sedangkan hasil grafting yang tidak maksimal diperlihatkan pada Gambar 24 dan Gambar 25. Pada mekanisme ini keberadaan ikatan rangkap tidak tergantung kepada maksimal atau tidaknya proses cangkokan yang terjadi.

Gambar 23. Alternatif 3 Hasil Proses Kopolimerisasi

Gambar 24. Alternatif 4a Hasil Proses Kopolimerisasi

42

Gambar 25. Alternatif 4b Hasil Proses Kopolimerisasi B. Reaksi terminasi melalui disproporsionasi (penyeimbangan) antara MMA dengan Polimer Karet. 1. Reaksi antara MMA dengan bentuk pertama dari poliisoprena yang terinisiasi

Gambar 26. Alternatif 5 Hasil Proses Kopolimerisasi Pada mekanisme ini dua radikal bebas yang ada masingmasing berpisah (disproporsionasi) untuk membentuk dua molekul polimer yang tidak radikal dengan proses pengalihan atom hidrogen dari satu radikal kepada radikal yang lain. Pada Gambar 26, karet berperan sebagai penyumbang atom H dan pada hasil akhir akan memiliki ikatan rangkap dua (C=C), sedangkan MMA berperan sebagai penerima atom H sehingga pada hasil akhir tidak memiliki ikatan rangkap. Pada Gambar 27 karet sebagai penyumbang atom H dan tidak memiliki ikatan rangkap pada hasil akhirnya, sedangkan MMA memiliki ikatan rangkap pada hasil akhirnya.

43

Gambar 27. Alternatif 6 Hasil Proses Kopolimerisasi 2. Reaksi antara MMA dengan bentuk kedua dari poliisoprena terinisiasi

Gambar 28. Alternatif 7 Hasil Proses Kopolimerisasi

Gambar 29. Alternatif 8 Hasil Proses Kopolimerisasi Pada mekanisme ini karet berperan sebagai penyumbang atom H dan pada hasil akhir akan memiliki ikatan rangkap dua (C=C). Sedangkan MMA berperan sebagai penerima atom H dan pada hasil akhir tidak memiliki ikatan rangkap. Pada Gambar 28 karet sebagai penyumbang atom H dan tidak memiliki ikatan rangkap pada hasil akhirnya, sedangkan MMA memiliki ikatan rangkap pada hasil akhirnya (Gambar 29). Reaksi disproporsionasi ini memungkinkan terjadinya penambahan jumlah ikatan rangkap C=C. Modifikasi karet alam melalui metode kopolimerisasi cangkok dengan mekanisme polimerisasi radikal bebas menghasilkan struktur akhir molekul yang tidak dapat dikontrol (Barnard, 1982). Pada setiap proses kopolimerisasi

44

yang tidak sempurna kemungkinan diperoleh hasil yang tidak diharapkan. Berdasarkan mekanisme kopolimerisasi cangkok (Graft Copolymerization) di atas alternatif 5 hingga alternatif 8 merupakan hasil kopolimerisasi yang tidak diharapkan terjadi, karena monomer MMA tidak tercangkok ke dalam struktur molekul karet alam, hanya terbentuk senyawa-senyawa baru yang individual. Menurut Fessenden dan Fessenden (1989), reaksi radikal bebas seringkali ditandai oleh aneka ragamnya produk. Hal ini dapat dibuktikan dengan terbentuknya polimer karet alam yang terikat silang (cross linking), kopolimer karet alam-MMA, dan homopolimer MMA pada lateks hasil kopolimerisasi. Cross linking merupakan polimer yang diperoleh dari proses polimerisasi antar polimer karet alam. Sedangkan homopolimer MMA merupakan hasil polimerisasi yang terjadi antar monomer metil metakrilat (MMA). Selain itu, pada lateks hasil kopolimerisasi kemungkinan juga ditemukan monomer MMA sisa (yaitu monomer MMA yang tidak ikut berpolimerisasi) dan sisa inisiator (H2O2). Kopolimer yang dihasilkan dari kombinasi konsentrasi MMA dan konsentrasi H2O2 terhadap lateks DPNR ditentukan karakteristiknya dengan empat parameter, yaitu spektroskopi FTIR, viskositas Mooney, viskositas intrinsik dan bobot molekul, serta kadar nitrogen. Viskositas Mooney ditentukan dengan viskometer Mooney, viskositas intrinsik dan bobot molekul ditentukan dengan menggunakan viskometer Ubbelohde. Sedangkan kadar nitrogen dihitung berdasarkan metode Kjeldahl. 2. Analisa Kopolimer Cangkok (Graft Copolymer) a. Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) Keberhasilan proses kopolimerisasi dapat dideteksi lebih awal melalui pengujian sifat serapan gelombang infra merah dengan spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared). Prinsip pengujian spektroskopi FTIR pada kopolimer cangkok sama dengan prinsip pengujian spektroskopi FTIR pada karet alam (lateks kebun dan lateks DPNR). Pada dasarnya spektroskopi infra merah digunakan untuk

45

mengidentifikasi senyawa organik berdasarkan pembacaan gugus fungsional yang dimilikinya berupa spektrum yang terbaca pada grafik. Analisis gugus fungsional dilakukan untuk mengetahui tingkat kopolimerisasi cangkok yang terjadi antara poliisoprena (karet alam) dan MMA dan untuk mengetahui adanya perbedaan struktur dari bahan baku dan kopolimer hasil pencangkokan. Karakterisasi dengan menggunakan FTIR mempunyai beberapa kelebihan, antara lain dapat mendeteksi keberadaan senyawa atau gugus fungsi dengan konsentrasi sampel yang sangat kecil. Spektrum infra merah dapat diperoleh dari cuplikan berupa padatan, cairan atau gas. Cuplikan biasanya ada dalam sel yang terbuat dari kristal garam (Pine et al., 1988).

Gambar 30. Ikatan Kimia dan Gugus Fungsi dalam Karet

Gambar 31. Ikatan Kimia dan Gugus Fungsi dalam Metil Metakrilat Pada penelitian ini pengujian spektroskopi FTIR dilakukan terhadap lateks DPNR, monomer MMA teknis, dan hasil kopolimerisasi. Pengujian FTIR terhadap lateks DPNR dilakukan untuk mengetahui kondisi awal sebelum terjadinya pencangkokan. Keberhasilan proses kopolimerisasi cangkok karet alam ditandai oleh adanya perubahan pada spektrum infra merah. Perubahan spektrum infra merah karet alam terjadi dikarenakan adanya penambahan gugus baru pada struktur molekul karet alam. Berdasarkan pengujian spektroskopi FTIR pada ke sembilan sampel, ditemukan adanya puncak serapan baru yang tidak dimiliki oleh karet alam, yaitu pada bilangan gelombang 1731-1736 cm-1 dan pada bilangan gelombang 1130-1148 cm-1, yang merupakan ciri dari gugus karbonil dari ester (-C=O) dan gugus -C-O- yang berasal dari monomer metil metakrilat.

46

Dari hasil spektroskopi FTIR lateks DPNR dapat diketahui bahwa karet alam mempunyai beberapa gugus fungsi yang spesifik, yaitu gugus metil (-CH3) pada bilangan gelombang 1376,34 cm-1, gugus metilen (-CH2-) pada bilangan gelombang 1449,13 cm-1, dan gugus alkena (-C=C-) pada bilangan gelombang 1664,82 cm-1. Sedangkan pada monomer MMA puncak yang khas antara lain gugus -C=O pada bilangan gelombang 1738,56 cm-1 dan gugus -C-O- pada bilangan gelombang 1168,50 cm-1. Menurut Day dan Underwood (1996) Di Dalam Kapsah (2004), gugus-gugus fungsi -CH3, -CH2-, -C=C-, -C=O, dan -C-O- masing-masing terletak pada bilangan gelombang 1370-1390 cm-1, 1350-1470 cm-1, 1620-1680 cm-1, 1720-1750 cm-1, dan 1000-1300 cm-1. Hasil spektroskopi FTIR pada karet alam dapat dilihat pada Gambar 7. Munculnya gugus -C=O dan -C-O- sebagai cangkokan dalam struktur tulang punggung (backbone) karet alam merupakan parameter keberhasilan kopolimerisasi cangkok. Setelah dilakukan proses pemurnian terhadap karet alam yang telah digrafting dengan melakukan pencucian dengan air panas diketahui bahwa secara umum kopolimerisasi cangkok sudah terjadi pada 9 sampel. Monomer metil metakrilat memiliki sifat hidrofilik sehingga pencucian menggunakan air panas bertujuan agar monomer MMA yang tidak tercangkok akan larut pada air panas dan terpisah dari karet-MMA dan yang terukur pada spektroskopi FTIR adalah monomer MMA yang tercangkok pada molekul karet alam. Gambar spektrum dari lateks DPNR digunakan sebagai kontrol untuk mengetahui tercangkoknya gugus fungsi baru pada spektrum hasil kopolimerisasi. Spektrum kopolimer karet-MMA memiliki persamaan dan perbedaan posisi serapan dengan spektrum lateks DPNR. Posisi serapan yang sama menunjukkan sifat karet masih ada. Hasil kopolimerisasi cangkok memiliki spektrum gugus C=C pada bilangan gelombang 1664 cm-1, gugus -CH2- terletak pada bilangan gelombang 1449 cm-1, sedangkan gugus -CH3 terletak pada bilangan gelombang 1376 cm-1. Perbedaan terletak pada adanya gugus -C=O dan -C-O- pada kopolimer cangkok.

47

Gambar 32. Spektrum Infra Merah Monomer MMA Teknis Hasil kopolimerisasi dari lateks DPNR (KKK 30 %), dengan penambahan MMA pada konsentrasi 10, 20, 30 phr dan konsentrasi H2O2 2 phr menghasilkan spektrum seperti pada Gambar 33, 34, dan 35.

Gambar 33. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 10 phr, [H2O2] 2 phr (Perlakuan A)

Gambar 34. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 20 phr, [H2O2] 2 phr (Perlakuan B)

48

Gambar 35. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 30 phr, [H2O2] 2 phr (Perlakuan C) Dari ketiga gambar tersebut juga terlihat munculnya beberapa gugus fungsi baru. Gugus fungsi -C=O terdeteksi pada bilangan gelombang 1735,14 cm-1 (A), 1731,80 cm-1 (B), dan pada 1734,15 cm-1 (C). Sedangkan gugus -C-O- ditemukan pada bilangan gelombang 1131,48 cm-1 (A), 1148,47 cm-1 (B), dan 1147,05 cm-1 (C). Tingginya puncak serapan gugus -C=O dan adanya gugus -C-O- menunjukkan proses kopolimerisasi cangkok telah berjalan dengan cukup baik. Dari ketiga perlakuan tersebut, perlakuan B memiliki puncak serapan gugus C=O dan -C-O- yang paling tinggi dibandingkan perlakuan A dan C. Pada proses kopolimerisasi dengan menggunakan lateks DPNR (KKK 30 %), dengan penambahan MMA pada konsentrasi 10, 20, 30 phr dan konsentrasi H2O2 3 phr dihasilkan spektrum seperti pada Gambar 36, 37, dan 38. Kopolimer cangkok yang dihasilkan memiliki puncak serapan gugus baru, yaitu gugus -C=O pada bilangan gelombang 1735,71 cm-1 (D), 1734,74 cm-1 (E), dan pada 1733,84 cm-1 (F). Sedangkan gugus -C-O- ditemukan pada bilangan gelombang 1130,48 cm-1 (D), 1147,55 cm-1 (E dan F). Apabila dibandingkan dengan perlakuan A, B dan C, spektrum infra merah pada ketiga perlakuan ini memiliki puncak serapan gugus baru yang lebih rendah. Hal ini berarti proses kopolimerisasi pada perlakuan D, E, dan F kurang optimal apabila dibandingkan dengan proses kopolimerisasi pada perlakuan A, B dan C.

49

Perlakuan F memiliki puncak serapan gugus -C=O dan -C-O- paling tinggi daripada perlakuan D dan E.

Gambar 36. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 10 phr, [H2O2] 3 phr (Perlakuan D)

Gambar 37. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 20 phr, [H2O2] 3 phr (Perlakuan E)

Gambar 38. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 30 phr, [H2O2] 3 phr (Perlakuan F)

50

Sedangkan pada proses kopolimerisasi dengan menggunakan lateks DPNR (KKK 30 %), dengan penambahan MMA pada konsentrasi 10, 20, 30 phr dan konsentrasi H2O2 4 phr dihasilkan spektrum seperti pada Gambar 39, 40, dan 41. Kopolimer cangkok yang dihasilkan memiliki puncak serapan gugus baru, yaitu gugus -C=O pada bilangan gelombang 1736,72 cm-1 (G), 1735,27 cm-1 (H), dan 1735,46 cm-1 (I). Sedangkan gugus -C-O- terletak pada bilangan gelombang 1130,27 cm-1 (G), 1131,26 cm-1 (H) dan 1130,20 cm-1 (I). Perlakuan G, H, I memiliki puncak serapan gugus -C=O dan -C-O- lebih rendah daripada perlakuan D, E, F. Dari 9 sampel penelitian, perlakuan G memiliki puncak serapan -C=O dan -C-O- yang paling rendah. Hal ini menunjukkan jumlah monomer MMA yang tercangkok pada perlakuan G adalah paling sedikit. Sedangkan puncak serapan -C=O dan -C-O- paling tinggi dimiliki oleh perlakuan B (jumlah monomer yang tercangkok paling banyak).

Gambar 39. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 10 phr, [H2O2] 4 phr (Perlakuan G)

51

Gambar 40. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 20 phr, [H2O2] 4 phr (Perlakuan H)

Gambar 41. Spektrum Infra Merah Hasil Kopolimerisasi dengan Lateks DPNR 30 %, [MMA] 30 phr, [H2O2] 4 phr (Perlakuan I) Dari pengujian FTIR pada 9 sampel penelitian dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan menurunnya puncak serapan gugus C=C yang berada pada bilangan gelombang 1664 cm-1. Hal ini berarti terjadi pengurangan gugus C=C karena terjadi penjenuhan ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal oleh radikal bebas. Semakin sedikit jumlah gugus C=C mencirikan semakin berhasilnya radikal bebas inisiator dalam menginisiasi karet alam (Ramadhan, 2004). Keberhasilan proses kopolimerisasi cangkok juga dapat dilihat dari semakin besarnya luas area dari gugus -C=O dan -C-O-, serta semakin berkurangnya luas area gugus C=C. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah monomer MMA yang tercangkok semakin besar. Luas area untuk gugus C=C, -C=O, dan -CO- dari 9 sampel hasil kopolimerisasi dapat dilihat pada Lampiran 4.

52

Dari sembilan sampel, perlakuan B yaitu lateks DPNR 30 % dengan penambahan MMA 20 phr dan inisiator 2 phr memiliki luas area gugus C=O, dan -C-O- yang paling besar (Lampiran 4). Kecenderungan lainnya yaitu dalam kondisi suhu, waktu reaksi, dan konsentrasi inisiator yang sama, dengan semakin tingginya konsentrasi MMA yang ditambahkan pada karet alam, maka jumlah monomer yang dapat tercangkok pada struktur molekul karet alam akan semakin meningkat dan semakin tinggi puncak serapan dari gugus -C=O dan -C-O-. Sebaliknya, pada kondisi suhu, waktu reaksi, dan konsentrasi MMA yang sama, terjadi penurunan puncak serapan -C=O dan -C-Odengan meningkatnya konsentrasi H2O2 yang ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan H2O2 yang berlebih pada proses kopolimerisasi. Pada konsentrasi MMA tertentu proses pencangkokan akan mencapai tingkat maksimum. Penambahan inisiator yang berlebih pada proses kopolimerisasi menyebabkan pembentukan radikal bebas pada molekul karet dan monomer MMA semakin banyak, sehingga akan terjadi kompetisi interaksi antara radikal MMA dengan radikal karet untuk membentuk kopolimer cangkok dan homopolimer MMA. Apabila pada kondisi ini konsentrasi MMA diperbesar, kemungkinan terjadinya kopolimerisasi cangkok semakin kecil dan pembentukan homopolimer MMA akan meningkat. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak semua monomer dapat tercangkok, sehingga monomer radikal yang berlebih akan membentuk homopolimer. Dari hasil penelitian, penggunaan H2O2 pada konsentrasi rendah (2 phr) sudah bisa membentuk radikal bebas dan cukup efektif berinteraksi satu sama lain membentuk kopolimer cangkok. Proses kopolimerisasi paling optimal menurut analisa spektroskopi FTIR terjadi pada perlakuan B yaitu pada lateks DPNR 30 % dengan penambahan MMA 20 phr dan inisiator 2 phr, yang ditandai dengan tingginya puncak serapan -C=O (1731,80 cm-1) dan -C-O- (1148,47 cm-1), serta penurunan puncak serapan C=C (1664,90 cm-1).

53

b. Viskositas Mooney Pengukuran viskositas karet dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui metode geseran cakram menggunakan alat viskometer Mooney (viskositas Mooney) dan aliran kapiler menggunakan alat viskometer Ubbelohde atau Oswald (viskositas intrinsik). Viskositas karet mentah dinyatakan sebagai viskositas Mooney yang menunjukkan panjangnya rantai molekul atau berat molekul dan derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Viskometer Mooney sebenarnya mengukur aliran secara kasar berdasarkan sifat aliran dengan kecepatan strain rendah dan kurang menggambarkan sifat alir yang sebenarnya di dalam mesin cetak injeksi. Viskositas Mooney dapat memberikan gambaran kasar bobot molekul sampel. Histogram analisis viskositas Mooney dapat dilihat pada Gambar 42.

68 Viskositas Mooney (ML(1'+4') 100 C) 67 66 65 64 63 62 61 60 59 2 phr 3 phr Konsentrasi H2O 2 M M A 10 phr M M A 20 phr M M A 30 phr LDPNR 4 phr

Gambar 42. Histogram Pengaruh Konsentrasi MMA dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Viskositas Mooney Berdasarkan gambar di atas, secara keseluruhan viskositas Mooney karet-MMA lebih besar dibandingkan dengan kontrol (lateks DPNR), tetapi nilainya lebih kecil apabila dibandingkan dengan nilai viskositas Mooney lateks kebun. Hal ini berarti karet-MMA yang dihasilkan sifatnya lebih keras dan kurang plastis (elastis) dibandingkan dengan kontrol karena semakin tinggi nilai viskositas Mooney, karet

54

akan semakin keras. Viskositas Mooney karet-MMA hasil kopolimerisasi berkisar antara 62,30 sampai 67,20 (ML(1+4) 100 oC), sedangkan viskositas Mooney kontrol (lateks DPNR) adalah 63,40 (ML(1+4) 100
o

C). Dari Gambar 42 dapat dilihat bahwa viskositas Mooney paling

tinggi dimiliki oleh sampel karet-MMA pada konsentrasi H2O2 2 phr yaitu berkisar antara 62,80 sampai 67,20 (ML(1+4) 100 oC), disusul kemudian pada konsentrasi H2O2 3 phr dengan kisaran antara 63,20 sampai 66,20 (ML(1+4) 100 oC), dan viskositas Mooney yang paling rendah adalah pada karet-MMA dengan konsentrasi H2O2 4 phr yaitu berkisar antara 62,30 sampai 62,85 (ML(1+4) 100 oC). Berdasarkan Gambar 42 dapat dilihat bahwa sampel karetMMA yang dihasilkan dengan penambahan konsentrasi MMA 10 phr mempunyai viskositas Mooney paling rendah yaitu berkisar antara 62,30 sampai 63,20 (ML(1+4) 100 oC). Kopolimerisasi dengan penambahan MMA 30 phr menghasilkan karet-MMA yang memiliki viskositas Mooney antara 62,40 sampai 66,10 (ML(1+4) 100 oC). Sedangkan viskositas Mooney karet-MMA yang paling tinggi berada pada kisaran 62,85 sampai 67,20 (ML(1+4) 100 oC) yang dimiliki oleh karet-MMA dengan konsentrasi MMA 20 phr. Berdasarkan hasil analisis keragaman dengan tingkat kepercayaan 95 % dan = 0,05 menunjukkan bahwa variasi konsentrasi MMA (metil metakrilat) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas Mooney, sedangkan variasi konsentrasi H2O2 juga tidak berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas Mooney. Hal ini berarti ketiga konsentrasi MMA (10, 20, 30 phr) dan ketiga konsentrasi H2O2 (2, 3, 4 phr) yang digunakan mempunyai pengaruh yang sama terhadap viskositas Mooney karet-MMA yang dihasilkan. Berbagai interaksi antara konsentrasi MMA dengan konsentrasi H2O2 juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai viskositas Mooney. Hal ini berarti interaksi antara konsentrasi MMA dan konsentrasi H2O2

55

tidak memberikan pengaruh viskositas Mooney karet-MMA yang berarti (signifikan). Gambar 42 memperlihatkan nilai viskositas Mooney karetMMA hasil kopolimerisasi memiliki kecenderungan meningkat dengan semakin bertambahnya konsentrasi MMA yang ditambahkan, tetapi cenderung menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi H2O2 yang digunakan. Adanya kecenderungan peningkatan nilai viskositas Mooney diduga karena penggunaan senyawa berbobot molekul tinggi dan bersifat kaku yaitu metil metakrilat (MMA), sehingga akan meningkatkan nilai viskositas Mooney karet-MMA hasil kopolimerisasi. Polimetil metakrilat merupakan bahan yang keras, kaku, bening (Cowd, 1991) dan memiliki berat molekul tinggi (Barron, 1949). Selain itu, kemungkinan juga disebabkan karena semakin banyak kopolimer cangkok yang terbentuk dengan semakin meningkatnya konsentrasi MMA yang ditambahkan. Semakin panjang rantai-rantai cabang kopolimer yang terbentuk berakibat semakin tinggi nilai viskositas Mooney-nya. Kecenderungan penurunan nilai viskositas Mooney diduga disebabkan karena penggunaan senyawa oksidator kuat yaitu H2O2 sebagai inisiator dalam proses kopolimerisasi yang dapat mendegradasi dan memutus rantai molekul karet, sehingga rantai molekul karet menjadi lebih pendek (menurunkan bobot molekul karet) dan viskositas Mooney karet-MMA akan semakin rendah. Semakin tingginya konsentrasi H2O2 yang digunakan berakibat radikal bebas yang terbentuk semakin banyak sehingga akan semakin memperpendek rantai molekul karet. Penggunaan H2O2 yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya proses autooksidasi atau pendegradasian molekul karet yang berakibat terputusnya rantai karbonil. Radikal bebas yang telah menginisiasi molekul karet menyebabkan ketidakstabilan ikatan rangkap. Adanya oksigen akan bereaksi dengan gugus C yang tidak stabil tersebut dan membentuk gugus peroksida. Pemutusan rantai terjadi dengan adanya penambahan molekul isoprena lainnya.

56

c. Viskositas Intrinsik dan Bobot Molekul Pengukuran viskositas intrinsik merupakan cara lain yang digunakan untuk mengukur viskositas karet berdasarkan aliran kapiler. Nilai viskositas intrinsik sebanding dengan nilai viskositas Mooney dan biasanya digunakan sebagai pembanding viskositas Mooney. Perbandingan yang digunakan yaitu kecenderungan naik turunnya nilai viskositas antara viskositas Mooney dan intrinsik. Pengujian viskositas intrinsik dapat dilakukan dengan viskometer Ubbelohde dan Oswald. Dalam penelitian ini pengukuran viskositas intrinsik karet dilakukan dengan menggunakan viskometer Ubbelohde. Dibandingkan dengan Oswald, viskometer Ubbelohde memiliki keunggulan, yaitu larutan polimer dapat dilarutkan di dalam viskometer dengan menambahkan sejumlah pelarut yang telah terukur. Pengukuran dilakukan dengan viskometer berada dalam penangas air bersuhu tetap (T = 35 oC) untuk mencegah naik-turunnya viskositas akibat perubahan suhu. Posisi viskometer harus selalu tegak lurus (vertikal) untuk menghindari kesalahan dalam pembacaan. Larutan yang diukur harus bebas dari kotoran agar tidak menyumbat kapiler viskometer dan aliran larutan tidak terganggu (Cowd, 1991). Pengukuran dilakukan dengan cara menghitung waktu yang diperlukan untuk mengalir di antara dua tanda. Pengukuran diawali dengan mengukur waktu alir pelarut (toluen), kemudian dilanjutkan dengan pengukuran waktu alir sampel pada suhu 35 oC. Lama waktu alir larutan dibandingkan dengan waktu alir pelarut diperoleh nilai viskositas larutan. Pada viskometer Ubbelohde, pengukuran tidak bergantung pada volume cairan yang dipakai karena viskometer bekerja dengan cairan mengalir melalui kapiler tanpa cairan di bawahnya. Waktu alir diukur untuk pelarut dan untuk larutan polimer pada berbagai kepekatan. Histogram analisis viskositas intrinsik dan bobot molekul dapat dilihat pada Gambar 43 dan Gambar 44.

57

605

Viskositas Intrinsik

600 595 590 585 580 575 2 phr 3 phr Konsentrasi H2O 2
M M A 10 phr
M M A 20 phr
M M A 30 phr
LDPNR

4 phr

Gambar 43. Histogram Pengaruh Konsentrasi MMA dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Viskositas Intrinsik
1.6600E+06 1.6400E+06

Bobot Molekul

1.6200E+06 1.6000E+06 1.5800E+06 1.5600E+06 1.5400E+06 2 phr 3 phr Konsentrasi H2O 2


M M A 10 phr
M M A 20 phr
M M A 30 phr
LDPNR

4 phr

Gambar 44. Histogram Pengaruh Konsentrasi MMA dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Bobot Molekul Berdasarkan Gambar 43, secara keseluruhan viskositas intrinsik karet-MMA lebih besar dibandingkan dengan kontrol (lateks DPNR), tetapi nilainya lebih kecil apabila dibandingkan dengan nilai viskositas intrinsik lateks kebun. Viskositas intrinsik kontrol adalah 591,13, sedangkan nilai viskositas intrinsik karet-MMA hasil kopolimerisasi berkisar antara 584,70 sampai 602,875. Viskositas intrinsik dapat dikonversi menjadi bobot molekul. Nilai viskositas intrinsik sebanding dengan nilai bobot molekul. Semakin

58

besar nilai viskositas intrinsik berarti semakin tinggi bobot molekulnya dan semakin kecil nilai viskositas intrinsik maka bobot molekulnya akan semakin rendah. Bobot molekul adalah jumlah berat atom-atom dalam suatu molekul tertentu. Bobot molekul dalam suatu jenis polimer mencirikan sifat-sifat polimer tersebut. Rantai-rantai polimer yang berbeda dalam suatu contoh polimer akan mempunyai panjang yang berbeda-beda sehingga massa molekul nisbinya akan berbeda (Cowd, 1991). Bobot molekul diperoleh dengan rumus Mv = ([] / K)1/a, dimana K adalah tetapan 17,4x10-3 ml/g untuk toluen pada suhu 35 oC dan a merupakan tetapan 0,73 untuk isoprena. Hasil viskositas intrinsik kontrol setelah dikonversi menghasilkan bobot molekul kontrol (lateks DPNR) sebesar 1,6115x106 (Lampiran 2). Bobot molekul kontrol ini memperlihatkan ciri dari karet alam yang mempunyai bobot molekul 1x106 2x106. Bobot molekul karet-MMA hasil kopolimerisasi mengalami peningkatan dibandingkan bobot molekul kontrol. Bobot molekul karet-MMA berkisar antara 1,5880x106 sampai 1,6548x106. Peningkatan bobot molekul karet-MMA menunjukkan bahwa proses kopolimerisasi sudah berlangsung cukup baik, ditandai dengan meningkatnya bobot molekul karet hasil kopolimerisasi akibat bertambahnya cabang polimer yang terbentuk. Dari Gambar 43 dan Gambar 44, dapat dilihat bahwa viskositas intrinsik paling tinggi dimiliki oleh sampel karet-MMA pada konsentrasi H2O2 2 phr yaitu berkisar antara 586,54 sampai 602,875 (bobot molekulnya 1,5955x106 sampai 1,6548x106), disusul kemudian pada konsentrasi H2O2 3 phr dengan kisaran antara 588,59 sampai 597,96 (bobot molekulnya 1,6021x106 sampai 1,6379x106), dan viskositas intrinsik yang paling rendah adalah pada karet-MMA dengan konsentrasi H2O2 4 phr yaitu berkisar antara 584,70 sampai 591,365 (bobot molekulnya 1,5880x106 sampai 1,6151x106). Berdasarkan Gambar 43 dan Gambar 44 dapat dilihat bahwa sampel karet-MMA dengan konsentrasi MMA 10 phr mempunyai viskositas intrinsik paling rendah yaitu antara 584,70 sampai 588,59

59

(bobot molekulnya 1,5880x106 sampai 1,6021x106). Kopolimerisasi dengan penambahan MMA 30 phr memiliki viskositas intrinsik karetMMA yang berada pada kisaran 588,375 sampai 596,16 (bobot molekulnya 1,6007x106 sampai 1,6296x106). Sedangkan penambahan MMA dengan konsentrasi 20 phr menghasilkan karet-MMA yang memiliki viskositas intrinsik paling tinggi yang berkisar antara 591,365 sampai 602,875 (bobot molekulnya 1,6151x106 sampai 1,6548x106). Peningkatan bobot molekul paling besar adalah pada karetMMA yang ditambahkan MMA dengan konsentrasi 20 phr dan H2O2 dengan konsentrasi 2 phr. Peningkatan bobot molekul mencapai 2,69 % (Lampiran 2). Berdasarkan hasil analisis keragaman dengan tingkat kepercayaan 95 % dan = 0,05 menunjukkan bahwa variasi konsentrasi MMA (metil metakrilat) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul, sedangkan variasi konsentrasi H2O2 juga tidak berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul. Hal ini berarti ketiga konsentrasi MMA (10, 20, 30 phr) dan ketiga konsentrasi H2O2 (2, 3, 4 phr) yang digunakan mempunyai pengaruh yang sama terhadap viskositas intrinsik dan bobot molekul karet-MMA yang dihasilkan. Berbagai interaksi antara konsentrasi MMA dengan konsentrasi H2O2 juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul. Hal ini berarti interaksi antara konsentrasi MMA dan konsentrasi H2O2 tidak memberikan pengaruh viskositas intrinsik dan bobot molekul karetMMA yang berarti (signifikan). Dari Gambar 43 dan Gambar 44 dapat dilihat adanya kecenderungan meningkatnya nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul dengan semakin bertambahnya konsentrasi MMA yang ditambahkan, tetapi cenderung menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi H2O2 yang digunakan. Kecenderungan meningkatnya nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul kemungkinan disebabkan karena semakin banyak kopolimer cangkok yang terbentuk dengan semakin

60

meningkatnya konsentrasi MMA yang ditambahkan. Hal ini berarti rantai polimer yang terbentuk bertambah panjang. Semakin panjang rantai-rantai cabang kopolimer yang terbentuk (baik homopolimer atau kopolimer) berakibat semakin tinggi bobot molekul polimer dan viskositas intrinsiknya juga meningkat. Bobot molekul rata-rata polimer bergantung pada jumlah satuan monomer yang bergabung sebelum pengakhiran (terminasi) (Pine et al., 1988). Kecenderungan penurunan nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul diduga disebabkan oleh penggunaan senyawa oksidator kuat yaitu H2O2 sebagai inisiator yang berlebih dalam proses kopolimerisasi. Hidrogen peroksida yang berlebih tidak lagi mengoksidasi membentuk radikal bebas, tetapi cenderung lebih mudah mendegradasi dan memutus rantai molekul karet, sehingga rantai molekul karet menjadi lebih pendek sehingga menurunkan bobot molekul karet dan viskositas intrinsik karetMMA akan semakin rendah. Kecenderungan penurunan nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul juga menunjukkan jumlah kopolimer yang terbentuk lebih sedikit. Semakin tingginya konsentrasi H2O2 yang digunakan berakibat radikal bebas yang terbentuk semakin banyak sehingga akan semakin memperpendek rantai molekul karet. Hidrogen peroksida (H2O2) menurut Schnabel (1981) Di Dalam Rahman (2002) dapat mendegradasi rantai molekul karet alam sehingga bobot molekul rata-rata karet menurun. Adanya pemanasan selama reaksi berlangsung juga mempercepat terjadinya oksidasi rantai molekul karet. d. Kadar Nitrogen Kadar nitrogen adalah jumlah zat-zat yang mengandung nitrogen yang terdiri dari protein dan turunannya. Tujuan dari pengujian kadar nitrogen adalah untuk mengetahui jumlah protein yang ada dalam lateks. Hal ini dilakukan karena protein merupakan salah satu pelindung karet sehingga perlu diketahui adanya pengaruh dari penambahan MMA dan H2O2 terhadap perubahan nilai kadar nitrogen. Kadar protein dalam

61

lateks dihitung sebagai kadar nitrogen yang diperoleh dengan metode Kjeldahl dikalikan dengan faktor konversi 6,25. Berdasarkan spektroskopi infra merah terhadap kopolimer cangkok hasil kopolimerisasi menunjukkan bahwa penggunaan inisiator dengan konsentrasi rendah (2 phr) dapat menghasilkan puncak serapan C=O dan -C-O- cukup tinggi. Hal ini menandakan proses kopolimerisasi pada lateks DPNR sudah cukup baik. Hal ini disebabkan karena kandungan protein yang terdapat dalam lateks DPNR jumlahnya sudah diturunkan sehingga peluang terbentuknya ikatan silang oleh gugus amida yang dapat mengganggu proses kopolimerisasi dapat diminimalkan. Semakin sedikitnya kandungan protein dalam lateks DPNR menyebabkan proses kopolimerisasi dapat berlangsung dengan baik. Protein yang terdapat dalam lateks dapat mengganggu proses kopolimerisasi karena protein dapat memacu peningkatan kandungan gel. Kandungan gel yang tinggi dapat menyebabkan kopolimerisasi menjadi terhambat karena gel menyebabkan butiran-butiran karet menyatu. Histogram analisis kadar nitrogen disajikan pada Gambar 45.

0.05 0.045 0.04 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0 2 phr 3 phr Konsentrasi H2O 2 4 phr

Kadar Nitrogen (%)

M M A 10 phr

M M A 20 phr

M M A 30 phr

LDPNR

Gambar 45. Histogram Pengaruh Konsentrasi MMA dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Kadar Nitrogen

62

Gambar 45 menunjukkan bahwa secara keseluruhan kadar nitrogen karet hasil kopolimerisasi (karet-MMA) lebih kecil dibandingkan kontrol (lateks DPNR). Kadar nitrogen karet-MMA berkisar antara 0,014 sampai 0,05 % dengan penurunan kadar nitrogen sebesar 11,11 sampai 70,00 %, sedangkan kadar nitrogen kontrol adalah 0,045 %. Kadar protein karet-MMA berkisar antara 0,08 sampai 0,31 %, sedangkan kadar protein kontrol sebesar 0,28 %. Hal ini menunjukkan bahwa protein yang terkandung dalam karet-MMA secara keseluruhan berkurang. Penurunan kadar nitrogen disebabkan oleh beberapa hal, antara lain terhidrolisisnya protein oleh enzim papain, terbuangnya fase protein pada saat proses sentrifugasi lateks, dan larutnya protein dalam aseton pada saat lateks digumpalkan. Dari Gambar 45, dapat dilihat bahwa kadar nitrogen paling tinggi dimiliki oleh sampel karet-MMA pada konsentrasi H2O2 2 phr yaitu berkisar antara 0,02 sampai 0,05 % , disusul kemudian konsentrasi H2O2 3 phr dengan kisaran antara 0,025 sampai 0,04 %, dan kadar nitrogen yang paling rendah adalah pada karet-MMA dengan konsentrasi H2O2 4 phr yaitu berkisar antara 0,025 sampai 0,03 %. Berdasarkan Gambar 45 dapat dilihat bahwa sampel karetMMA dengan konsentrasi MMA 10 phr mempunyai kadar nitrogen sebesar 0,025 sampai 0,05 %. Kopolimerisasi dengan penambahan MMA 20 phr menghasilkan karet-MMA yang memiliki kadar nitrogen antara 0,014 sampai 0,025 %. Sedangkan kadar nitrogen karet-MMA dengan konsentrasi MMA 30 phr berada pada kisaran 0,025 sampai 0,04 %. Berdasarkan hasil analisis keragaman dengan tingkat kepercayaan 95 % dan = 0,05 menunjukkan bahwa variasi konsentrasi MMA (metil metakrilat) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar nitrogen, sedangkan variasi konsentrasi H2O2 juga tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar nitrogen. Hal ini berarti ketiga konsentrasi MMA (10, 20, 30 phr) dan ketiga konsentrasi H2O2 (2, 3, 4 phr) yang digunakan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar nitrogen karet-MMA yang dihasilkan. Berbagai interaksi antara konsentrasi

63

MMA dengan konsentrasi H2O2 juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar nitrogen. Hal ini berarti interaksi antara konsentrasi MMA dan konsentrasi H2O2 tidak memberikan pengaruh kadar nitrogen karet-MMA yang berarti (signifikan). Perubahan nilai kadar nitrogen karet-MMA hasil kopolimerisasi memiliki kecenderungan menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi H2O2 yang digunakan. Hal ini diduga disebabkan karena dalam proses kopolimerisasi menggunakan pemanasan pada suhu 70 oC dan menggunakan inisiator hidrogen peroksida (H2O2) yang memiliki sifat asam yang mampu merusak protein.

64

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN Metode deproteinisasi karet alam dengan menggunakan enzim papain dan proses pemekatan dengan sentrifugasi dalam penelitian ini berhasil menurunkan kadar nitrogen dari 0,375 % menjadi 0,045 %. Setelah dikonversi, diperoleh penurunan kadar protein karet alam dari 2,34 % (lateks kebun) menjadi 0,28 % (lateks DPNR). Metode kopolimerisasi pada lateks DPNR dengan variasi konsentrasi metil metakrilat teknis (10, 20, 30 phr) dan variasi konsentrasi H2O2 teknis (2, 3, 4 phr) pada suhu 70 oC selama 3 jam dan pada kondisi bebas oksigen telah berhasil mencangkokkan monomer MMA ke dalam struktur molekul karet meskipun belum optimal. Keberhasilan proses kopolimerisasi dapat diketahui lebih awal melalui uji spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared). Keberhasilan pencangkokan ditunjukkan dengan munculnya dua puncak serapan baru yang dimiliki oleh gugus C=O (1720-1750 cm-1) dan gugus CO- (1000-1300 cm-1). Puncak serapan gugus C=O muncul pada bilangan gelombang 1735,14 cm-1; 1731,80 cm-1; 1734,15 cm-1; 1734,74 cm-1; 1733,84 cm-1; 1735,27 cm-1; 1735,71 cm-1; 1736,72 cm-1; 1735,46 cm-1 dan gugus CO- muncul pada bilangan gelombang 1131,48 cm-1; 1148,47 cm-1; 1147,05 cm1

; 1147,55 cm-1; 1147,55 cm-1; 1131,26 cm-1; 1130,48 cm-1; 1130,27 cm-1;

1130,20 cm-1. Gugus C=O dan gugus C-O- adalah gugus fungsi spesifik monomer metil metakrilat (MMA) yang tidak ditemukan sebelumnya pada hasil FTIR kontrol (lateks DPNR). Hasil pengujian viskositas Mooney menunjukkan bahwa proses kopolimerisasi cangkok mempengaruhi nilai viskositas Mooney, yaitu adanya kecenderungan peningkatan nilai viskositas Mooney lateks hasil kopolimerisasi apabila dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi MMA, konsentrasi H2O2, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh signifikan terhadap viskositas Mooney lateks hasil kopolimerisasi. Viskositas Mooney karet-MMA hasil kopolimerisasi berkisar antara 62,30 sampai 67,20 (ML(1+4) 100 oC),

sedangkan viskositas Mooney kontrol (lateks DPNR) adalah 63,40 (ML(1+4) 100 oC). Viskositas intrinsik kontrol dari hasil penelitian adalah 591,13, sedangkan nilai viskositas intrinsik karet-MMA berkisar antara 584,70 sampai 602,875, dengan bobot molekul kontrol sebesar 1,6115x106 dan bobot molekul karet-MMA hasil kopolimerisasi berkisar antara 1,5880x106 sampai 1,6548x106. Proses kopolimerisasi mempengaruhi nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul, yaitu terjadi peningkatan nilai viskositas intrinsik dan bobot molekul lateks hasil kopolimerisasi apabila dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi MMA, konsentrasi H2O2, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas intrinsik dan bobot molekul lateks hasil kopolimerisasi. Konsentrasi MMA, konsentrasi H2O2, dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar nitrogen lateks hasil kopolimerisasi. Kadar nitrogen karet-MMA hasil kopolimerisasi berkisar antara 0,014 sampai 0,05 %, sedangkan kadar nitrogen kontrol adalah 0,045 %. Berdasarkan pada analisis FTIR, pengujian viskositas Mooney, viskositas intrinsik, bobot molekul, dan kadar nitrogen disimpulkan bahwa perlakuan terbaik yaitu kombinasi konsentrasi metil metakrilat 20 phr dengan konsentrasi H2O2 2 phr. Karakteristik kopolimer pada perlakuan ini adalah memiliki puncak serapan gugus C=O dan gugus C-O- yang jelas (1731,80 cm-1 dan 1148,47 cm-1), nilai viskositas Mooney = 67,20 (ML(1+4) 100 oC), nilai viskositas intrinsik = 602,875, bobot molekul = 1,6548x106, dan kadar nitrogen = 0,02 %. B. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan suhu, waktu, dan kecepatan pengadukan terhadap tingkat keberhasilan proses kopolimerisasi dengan metode yang sama. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai pengaruh konsentrasi metil metakrilat murni dan hidrogen peroksida murni terhadap tingkat keberhasilan proses kopolimerisasi.

66

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji karakteristik fisik lebih lanjut terhadap kopolimer cangkok yang terbentuk dan aplikasinya pada barang jadi karet.

67

DAFTAR PUSTAKA
Alfa, A. A. 2002. Produksi Karet Berprotein Rendah dari Lateks Karet Alam dengan Menggunakan Papain. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Alfa, A. A. 2002. Pengolahan Karet Siklo dan Masterbat Siklo dari Lateks Karet Alam. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor. Alfa, A. A. 2003. Pengaruh Kombinasi Surfaktan dan Papain Menurunkan Kadar Protein Lateks dalam Pengolahan Lateks Alam Berprotein Rendah. Prosiding Konferensi Agribisnis Karet Menunjang Industri Lateks dan Kayu, 303-316, Medan, 10-11 Desember 2003. Alfa, A. A. dan M. S. Maarif. 2003. Peluang Pengembangan Karet Alam Termodifikasi oleh PTP Nusantara Melalui Pendekatan Konsep Knowing Organization. Makalah pada Simposium HPI, Jakarta, 8 Juli 2003. Alfa, A. A., I. Sailah, dan Y. Syamsu. 2003. Pengaruh Perlakuan Lateks Alam dengan H2O2-NaOCl Terhadap Karakter Lateks dan Kelarutan Karet Siklo dari Lateks. Simposium Nasional Polimer IV, Jakarta, 8 Juli 2003. Allock, H. R. dan F. W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. Prentice Hall Inc., New Jersey. Archer, B. L. 1975. Biochemistry of Enzymic Deproteinisation of Hevea brasiliensis Latex. Proceeding of The International Rubber Conference, 2025 Oktober 1975, Kuala Lumpur. Arizal, R. 1989. Bahan Elastomer untuk Industri Barang Jadi Karet (Karet Alam dan Karet Sintetik). Latihan Teknologi Barang Jadi Karet. Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor. Barnard, D. 1982. The Chemical Modification of Natural Rubber. Plastics and Rubber Singapore Inaugural Issue, Singapura. Barnard, D. 1984. An Overview of The Chemical Modification of Natural Rubber. Proceeding of The International Rubber Conference of Srilanka, 7-12 th September 1984, Colombo. Barron, H. 1949. Acrylic Resins and Metacrylic Resins. Di Dalam Modern Plastics. Chapman and Hall Ltd., London. Beveridge, A. J. 1996. A Theoritical Study of The Active Sites of Papain S 195C rat Tripsin : Implications for The Low Reactivity Mutant Serine Proteinases. Journal of Protein Science, Vol 5 : 1355-1365. Cambridge Univercity Press.

Billmeyer, F. W. 1994. Textbook of Polymer Science Third Edition. John Wiley and Sons Inc., New York. Bird, T. 1993. Kimia Fisik untuk Universitas. PT. Gramedia, Jakarta. Blow, C. M. dan C. Hepburn. 1982. Rubber Technology and Manufacture. Butterworths, London. Campbell, D. dan Pomeranz, Y. 1978. Thermoplastic Natural Rubber Blends. N. R. Technology, vol. 9 (2), p. 1-12. Chapiro, A. 1962. Radiation Chemistry of Polymeric System (High Polymer vol. 17). Interscience Pub., John Wiley and Sons Inc., New York. Claramma, N. M., G. Rajammal, dan E.V. Thomas. 1984. Graft Copolymerisation of Acrylonitrile with Natural Rubber. Proceeding of The International Rubber Conference, Srilangka. Cowd, M. A. 1991. Kimia Polimer. Terjemahan. ITB, Bandung. Djikman, M. J. 1951. Hevea : Thirty Years of Research in The Far East. University of Miami Press Coral Gables, Florida. Fessenden, R. J. dan J. S. Fessenden. 1982. Kimia Organik Edisi Ketiga Jilid 1. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Fessenden, R. J. dan J. S. Fessenden. 1983. Kimia Organik Edisi Kedua. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Fessenden, R. J. dan J. S. Fessenden. 1989. Kimia Organik I. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Fukushima, Y., S. Kawahara, dan Y. Tanaka. 1998. Synthesis of Graft Copolymer from Highly Deproteinised Natural Rubber. J. Rubb. Res., I(3) : 154-166. Gelling, I. R. 1991. Epoxidised Natural Rubber. J. Nat. Rubb. Res., 6, 184. Gelling, I. R. dan M. Porter. 1988. Chemical Modification of Natural Rubber. Oxford University Press, New York. Goutara, B. Djatmiko, dan W. Tjiptadi. 1985. Dasar Pengolahan Karet I. Agroindustri Press, Bogor. Hashim, A. S., S. K Ong, dan Nguyen V. T. 2002. Properties Highly Grafted Polystirene-Modified Natural Rubber. J. Nat. Rubb, 28 (4), 12-14. Hoffman, A. S. dan R. Bacskai. 1964. Copolymerization Vol. XVII. John Wiley & Sons Inc., New York.

69

Honggokusumo, S. 1978. Pengetahuan Lateks. Kursus Pengolahan Barang Jadi Karet. Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor. http://ditjenbun.deptan.go.id/web/benihbun/benih http://en.wikipedia.org/wiki/Hydrogen_peroxide Kapsah. 2004. Karakterisasi Sifat Fisika Vulkanisat Hasil Kopolimerisasi Lateks Hevea brasiliensis dengan Metil Metakrilat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Kemp, W. 1979. Organic Spectroscopy. The Macmillan Press LTD., London. Larkin, B. dan M. D. Morris. 1995. Natural Rubber Lateks, Production, Composition, & Specification. Latex Education Symposium 36. Division, A C S, Inc., Pennsylvania. Loo, T. G. 1980. Tuntunan untuk Mengelola Karet Alam : Khusus untuk Para Petani Kecil dan Menengah. PT. Kinta, Jakarta. Mattjik, A. A. dan M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab : Jilid I Edisi Kedua. IPB Press, Bogor. Morton, M. 1987. Rubber Technology. 3 rd Edition. Van Nostrand Reinhold, New York. Mubyarto. 1991. Karet : Kajian Sosial Ekonomi. Adidya Media, Yogyakarta. Nakade, S., A. Kuga, M. Hayashi, dan Y. Tanaka. 1997. Highly Purified Natural Rubber IV : Preparation and Characteristic of Gloves and Condoms. The New Rubber Material Research Concortium, Tokyo, Jepang. Nielsen, S. 1992. Introduction to Food Analysis. Academic Suzanne Press, Inc., USA. Patil, D. R. dan G. F. Fanta. 1993. Graft Copolymerization of Starch with Methyl Acrylate : An Examination of Reaction Variable. Journal of Applied Polymer Science, Vol. 47. John Wiley & Sons Inc., New York. Pine, S. H., J. B. Hendrickson, D. J. Cram, dan G. S. Hammond. 1988. Kimia Organik 2. Terjemahan. ITB, Bandung. Rabek, J. F. 1980. Experimental Methods in Polymer Chemistry : Physical Principles and Application. John Wiley and Sons Ltd., London. Rabbek, J. K. 1983. Experimental Method in Polymer Chemistry. John Wiley & Sons Ltd., Toronto.

70

Rahman, N., D. I. Nugraheni, dan L. Febriyanti. 2002. Reaksi Penjenuhan Ikatan Rangkap Karet Alam dalam Fasa Lateks Pekat (Saturation Reaction of Natural Rubber Double Bond in Concentrated Latex Phase). J. Nat. Rubb. Res. 20(1-3) : 1-10. Ramadhan, A. 2004. Kajian Awal Proses Kopolimerisasi Cangkok Karet Alam Hevea brasiliensis dengan Metil Metakrilat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Setyamidjaja, D. 1993. Karet, Budidaya, dan Pengolahan. Kanisius, Yogyakarta. Solichin, M. 1995. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Viskositas Mooney dalam Pengolahan SIR 3 CV. Dalam. Jurnal Lateks, Vol 6 nomor 2 Oktober 1991. Pusat Penelitian Perkebunan Sembawa, Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia. Suparto, D. 2002. Pengetahuan Tentang Lateks Hevea. Kursus Teknologi Barang Jadi dari Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor. Tanaka, Y. 1998. A New Approach to Produce Highly Deproteinized Natural Rubber. Paper yang disampaikan dalam Seminar di Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor, 14 Januari 1998. Utama, M. 1993. Irradiated Natural Rubber Latex. PAIR-BATAN, Jakarta. www.gapkindo.or.id/news.html www.ipard.com/art_perkebun Yip, E. 1990. Clonal Characteristics of Latex and Rubber Properties. J. Nat. Rubb. Res., 5(1) : 52.

71

Lampiran 1. Pohon Industri Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

Daun

Hiasan/bunga rangkai Tempurung Arang aktif, bahan bakar padat, bahan pengisi (filler), bahan obat nyamuk Vernish, minyak cat, resin, alkid, pelumas, minyak softener, faktis Makanan ternak Asap cair, tar, arang Bahan bakar padat, barang seni
Particle board, bahan pengisi (filler)

Biji

Minyak (RSO) Ampas (Bungkil) pirolisis Dahan/Ranting Serbuk

Kayu KARET

Batang Utama

Kayu log, furniture/mebel, pelapis lantai dan dinding (wood tile), konstruksi ringan, barang seni Asap cair, particle board, kayu bakar Karet busa, sarung tangan, kondom, peralatan medis, kateter, medical gloves, benang karet, balon Karet busa, sarung tangan tebal/umum, mainan, macam-macam barang celup DPNR (Deproteinized Natural Rubber), ENR (Epoxidized NR), TPNR (Thermoplastic NR), LNR (Liquid NR), karet CV/SP/MG Ban dan ban dalam, karet untuk industri, karet untuk otomotif, karet penggunaan umum, onderdil mobil, sepatu karet, macam-macam barang cetak

Limbah Kayu Lateks Pekat

Lateks Dadih Lateks Karet Khusus

Ribbed Smoked Sheet, Thin Pale Crepe, SIR3 Koagulum Lapangan SIR10, SIR20, Brown Crepe

72

Lampiran 2. Prosedur Analisis KKK, KJP, Kadar Nitrogen, Viskositas Mooney, Viskositas Intrinsik, dan Spektroskopi FTIR A. Penetapan Kadar Karet Kering (KKK) (ASTM D-1076-97) Analisis KKK dilakukan secara duplo, diawali dengan menimbang sampel sebanyak 10 gram (W2) di dalam cawan alumunium, kemudian digumpalkan dengan aseton selama 15-30 menit. Gumpalan lateks yang dihasilkan digiling sampai berbentuk krep dengan ketebalan tidak lebih dari 2 mm. Lembaran karet kemudian dikeringkan pada suhu 70 oC dengan oven. Krep yang telah kering sempurna didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (W1). Kadar Karet Kering (KKK) dihitung dengan rumus sebagai berikut : KKK (%) = Keterangan : W1 = Bobot krep setelah pengeringan (g). W2 = Bobot sampel awal (g). B. Penetapan Kadar Jumlah Padatan (KJP) (ASTM D-1076-97) Cawan petri ditimbang terlebih dahulu bobot kosongnya (W2), kemudian neraca diatur pada posisi nol. Sampel lateks ditimbang sebanyak 2 gram (W1) ke dalam cawan, diratakan, dan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100 oC selama 2 jam. Setelah lapisan karet kering sempurna, cawan petri dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang beratnya (W3). Kadar Jumlah Padatan (KJP) dihitung dengan rumus sebagai berikut : KJP (%) = Keterangan : W1 = Bobot sampel lateks (g). W2 = Bobot cawan petri kosong (g). W3 = Bobot cawan petri+sampel yang telah dikeringkan (g).

W1 x 100 % W2

W3 W2 x 100 % W1

73

C. Penetapan Kadar Nitrogen (SNI-06-1993-1990) Penetapan kadar nitrogen dilakukan dengan menggunakan Metode Mikro Kjehdahl. Sebanyak 0,1 gram contoh uji ditimbang (A), kemudian dimasukkan ke dalam labu mikro Kjeldahl. Setelah itu, ditambahkan 0,65 gram katalis selenium dan 2,5 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi sekitar dua jam atau sampai timbul warna hijau. Selanjutnya, didinginkan dan diencerkan dengan 10 ml air suling (aquades). Larutan dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas dua atau tiga kali dengan 3 ml air suling. Setelah itu ditambahkan 5 ml NaOH 76 %. Uap air dialirkan melewati alat destilasi dan destilat yang dihasilkan ditampung ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat (H2BO3) 2 % dan 2-3 tetes indikator. Destilat kemudian dititrasi dengan larutan H2SO4 0,01 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi ungu muda (Va). Perlakuan serupa juga dilakukan pada blanko (Vb). Kadar nitrogen dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kadar Nitrogen (%) =


Keterangan :

(Vb V a ) xNx14 x 100 % A

Va = Volume H2SO4 pada titrasi larutan sampel (ml). Vb = Volume H2SO4 pada titrasi larutan blanko (ml). N = Normalitas H2SO4 (N). A = Bobot sampel (mg). D. Penetapan Viskositas Mooney (ASTM D-1076-97) Sampel sebanyak 25 gram diletakkan di atas rotor dan di bawah rotor, kemudian ditutup. Sebelumnya alat dipanaskan hingga suhu 100 oC, setelah dipanaskan selama 1 menit, rotor dijalankan. Tenaga untuk memutar rotor dibaca pada skala setelah 4 menit, sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut :

74

M = (1 + 4)L100/oC Keterangan : M = Angka viskositas Mooney karet. L = Ukuran rotor (cm). 1 = Waktu pemanasan pendahuluan yang dinyatakan dalam menit (1). 4 = Waktu pemanasan pengujian yang dinyatakan dalam menit (4). E. Penetapan Viskositas Intrinsik [] dengan Viskometer Ubbelohde Sampel sebanyak 0,125 gram dilarutkan dalam 25 ml toluen (konsentrasi 0,5 %) hingga larut sempurna. Yang diukur pertama kali adalah waktu alir toluen. Sebanyak 10 ml toluen dimasukkan ke dalam viskometer, kemudian viskometer dimasukkan ke dalam penangas yang telah berisi air dengan suhu konstan (35 oC) dan sampel siap diukur laju alirnya. Setelah pengukuran waktu alir toluen selesai, dilanjutkan dengan pengukuran waktu alir sampel. Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam viskometer lalu diukur waktu alirnya. Setiap sampel diukur pada 5 konsentrasi larutan (0,5 %, 0,4 %, 0,3 %, 0,2 %, dan 0,1 %), dan setiap konsentrasi diukur minimal lima waktu alir dengan selisih yang tidak terlalu besar. Konsentrasi yang berbeda diperoleh dengan melakukan pengenceran pada viskometer dengan menambahkan sejumlah toluen. Selanjutnya, dihitung rata-rata waktu alir toluen (t0), dan waktu alir tiap konsentrasi sampel (t1-t5). Setelah itu dihitung relatif yaitu t1/t0 sampai dengan t5/t0. Setelah itu, dihitung spesifik, yaitu ( relatif1-1) sampai dengan ( relatif5-1). Selanjutnya, dihitung reduksi yaitu ( relatif1/konsentrasi1) sampai dengan ( relatif5/konsentrasi5) dan memplotkan data tersebut ke dalam grafik linier, sehingga diperoleh persamaan y = a + bx, dimana x adalah konsentrasi dan y adalah reduksi. Dari plot data tersebut diekstrapolasi ke konsentrasi nol, sehingga menghasilkan nilai viskositas intrinsik [] dari suatu larutan.

75

F. Pengujian Spektroskopi FTIR (ASTM D1076-97) Sejumlah kecil sampel ( 0,05 gram) dilarutkan dalam kloroform p.a 10 ml. Sampel selanjutnya dibuat lapisan film tipis di atas plat garam (plat KBr) dan diuji dalam alat FTIR. Sampel yang telah dikonversi oleh alat FTIR menjadi berupa IR spektrum (gambar berbentuk kurva yang menyajikan peakpeak tertentu) diidentifikasi dengan membandingkannya dengan standar referensi spektra dan referensi tabel absorpsi diagnostik.

76

Lampiran 3. Hasil Analisis Pengaruh Konsentrasi Metil Metakrilat dan Konsentrasi H2O2 Terhadap Karakteristik Karet Kopolimer Cangkok A. Hasil Analisis Viskositas Mooney Viskositas Mooney (ML (1'+4') 100 oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 71,40 74,30 72,85 60,80 66,00 63,40 58,00 67,60 62,80 58,80 75,60 67,20 59,40 72,80 66,10 59,60 66,80 63,20 62,40 70,00 66,20 60,30 68,50 64,40 59,00 65,60 62,30 59,50 66,20 62,85 59,60 65,20 62,40

Perlakuan LK LDPNR (Kontrol) MMA(10 phr) H2O2(2 phr) MMA(20 phr) H2O2(2 phr) MMA(30 phr) H2O2(2 phr) MMA(10 phr) H2O2(3 phr) MMA(20 phr) H2O2(3 phr) MMA(30 phr) H2O2(3 phr) MMA(10 phr) H2O2(4 phr) MMA(20 phr) H2O2(4 phr) MMA(30 phr) H2O2(4 phr)

B. Hasil Analisis Viskositas Intrinsik Viskositas Intrinsik Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 633,40 697,13 665,335 566,90 615,36 591,13 547,25 625,83 586,54 599,60 606,15 602,875 599,53 592,79 596,16 563,78 613,40 588,59 561,98 633,94 597,96 605,39 579,95 592,67 553,49 615,91 584,70 537,57 645,16 591,365 577,82 598,93 588,375

Perlakuan LK LDPNR (Kontrol) MMA(10 phr) H2O2(2 phr) MMA(20 phr) H2O2(2 phr) MMA(30 phr) H2O2(2 phr) MMA(10 phr) H2O2(3 phr) MMA(20 phr) H2O2(3 phr) MMA(30 phr) H2O2(3 phr) MMA(10 phr) H2O2(4 phr) MMA(20 phr) H2O2(4 phr) MMA(30 phr) H2O2(4 phr)

77

C. Hasil Analisis Bobot Molekul Bobot Molekul Ulangan 1 Ulangan 2 1,7711x106 2,0191x106 1,5210x106 1,7019x106 1,4493x106 1,7417x106 1,6425x106 1,6671x106 1,6422x106 1,6170x106 1,5096x106 1,6945x106 1,5030x106 1,7727x106 1,6642x106 1,5692x106 1,4719x106 1,7040x106 1,4143x106 1,8158x106 1,5613x106 1,6400x106

Perlakuan LK LDPNR (Kontrol) MMA(10 phr) H2O2(2 phr) MMA(20 phr) H2O2(2 phr) MMA(30 phr) H2O2(2 phr) MMA(10 phr) H2O2(3 phr) MMA(20 phr) H2O2(3 phr) MMA(30 phr) H2O2(3 phr) MMA(10 phr) H2O2(4 phr) MMA(20 phr) H2O2(4 phr) MMA(30 phr) H2O2(4 phr)

Rata-Rata 1,8951x106 1,6115x106 1,5955x106 1,6548x106 1,6296x106 1,6021x106 1,6379x106 1,6167x106 1,5880x106 1,6151x106 1,6007x106

Peningkatan Bbt Molekul -0,989791802 2,690123802 1,12631481 -0,583325576 1,638276087 0,32579354 -1,458313941 0,223401285 -0,670203854

D. Hasil Analisis Kadar Nitrogen

Perlakuan LK LDPNR (Kontrol) MMA(10 phr) H2O2(2 phr) MMA(20 phr) H2O2(2 phr) MMA(30 phr) H2O2(2 phr) MMA(10 phr) H2O2(3 phr) MMA(20 phr) H2O2(3 phr) MMA(30 phr) H2O2(3 phr) MMA(10 phr) H2O2(4 phr) MMA(20 phr) H2O2(4 phr) MMA(30 phr) H2O2(4 phr)

U1 0,43 0,04 0,03 0,01 0,01 0,03 0,02 0,04 0,03 0,01 0,02

U2 0,32 0,05 0,07 0,03 0,06 0,02 0,007 0,04 0,03 0,04 0,03

Kadar Nitrogen (%) RataKadar Penurunan Rata Protein Kdr Nitrogen 0,375 2,34375 0,045 0,28125 0,05 0,3125 -11,11111111 0,02 0,125 55,55555556 0,035 0,21875 22,22222222 0,025 0,15625 44,44444444 0,0135 0,084375 70 0,04 0,25 11,11111111 0,03 0,1875 33,33333333 0,025 0,15625 44,44444444 0,025 0,15625 44,44444444

78

Lampiran 4. Luas Area Gugus C=O, C=C, -C-OLUAS AREA PEAK C=O C=C -C-OC=C : C=O RASIO C=C : -C-O -C-O: C=O

SAMPEL

A (MMA(10) + H2O2(2)) B (MMA(20) + H2O2(2)) C (MMA(30) + H2O2(2)) D (MMA(10) + H2O2(3)) E (MMA(20) + H2O2(3)) F (MMA(30) + H2O2(3)) G (MMA(10) + H2O2(4)) H (MMA(20) + H2O2(4)) I (MMA(30) + H2O2(4))

164,097 488,503 333,486 133,649 143,362 259,797 84,0335 138,169 127,237

91,0302 182,116 138,015 102,030 59,2728 120,367 85,9272 87,8528 107,691

158,819 380,467 273,330 160,756 122,364 227,522 129,671 152,635 174,847

1 : 1,8027 1 : 2,6824 1 : 2,4163 1 : 1,3099 1 : 2,4187 1 : 2,1584 1 : 0,9780 1 : 1,5727 1 : 1,1815

1 : 1,7447 1 : 2,0891 1 : 1,9804 1 : 1,5756 1 : 2,0644 1 : 1,8902 1 : 1,5091 1 : 1,7374 1 : 1,6236

1 : 1,0332 1 : 1,2840 1 : 1,2201 1 : 0,8314 1 : 1,1716 1 : 1,1419 1 : 0,6481 1 : 0,9052 1 : 0,7277

79

Lampiran 5. Analisis Statistik Viskositas Mooney Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors N Konsentrasi MMA (phr) Konsentrasi H2O2 (phr) 10 20 30 2 3 4 6 6 6 6 6 6

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Viskositas Mooney Source Corrected Model Intercept MMA H2O2 MMA * H2O2 Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 56.538a 74099.667 21.241 26.101 9.196 425.305 74581.510 481.843 df 8 1 2 2 4 9 18 17 Mean Square 7.067 74099.667 10.621 13.051 2.299 47.256 F .150 1568.044 .225 .276 .049 Sig. .993 .000 .803 .765 .995

a. R Squared = .117 (Adjusted R Squared = -.667)

Post Hoc Tests Konsentrasi MMA (phr) Homogeneous Subsets


Viskositas Mooney Duncan
a,b

Konsentrasi MMA (phr) 10 30 20 Sig.

N 6 6 6

Subset 1 62.7667 64.3000 65.4167 .539

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 47.256. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.

80

Konsentrasi H2O2 (phr) Homogeneous Subsets


Viskositas Mooney Duncan
a,b

Konsentrasi H2O2 (phr) 4 3 2 Sig.

N 6 6 6

Subset 1 62.5167 64.6000 65.3667 .509

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 47.256. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.

81

Lampiran 6. Analisis Statistik Viskositas Intrinsik Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors N Konsentrasi MMA (phr) Konsentrasi H2O2 (phr) 10 20 30 2 3 4 6 6 6 6 6 6

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Viskositas Intrinsik Source Corrected Model Intercept MMA H2O2 MMA * H2O2 Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 559.292a 6311276.819 349.902 156.783 52.607 15234.111 6327070.222 15793.403 df 8 1 2 2 4 9 18 17 Mean Square 69.911 6311276.819 174.951 78.391 13.152 1692.679 F .041 3728.573 .103 .046 .008 Sig. 1.000 .000 .903 .955 1.000

a. R Squared = .035 (Adjusted R Squared = -.822)

Post Hoc Tests Konsentrasi MMA (phr) Homogeneous Subsets


Viskositas Intrinsik Duncan
a,b

Konsentrasi MMA (phr) 10 30 20 Sig.

N 6 6 6

Subset 1 586.6100 592.4017 597.4000 .674

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1692.679. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.

82

Konsentrasi H2O2 (phr) Homogeneous Subsets


Viskositas Intrinsik Duncan
a,b

Konsentrasi H2O2 (phr) 4 3 2 Sig.

N 6 6 6

Subset 1 588.1467 593.0733 595.1917 .783

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1692.679. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.

83

Lampiran 7. Analisis Statistik Bobot Molekul Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors N Konsentrasi MMA (phr) Konsentrasi H2O2 (phr) 10 20 30 2 3 4 6 6 6 6 6 6

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Bobot Molekul Source Corrected Model Intercept MMA H2O2 MMA * H2O2 Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 7609691111a 4.698E+13 4977667778 2035701111 596322222 2.120E+11 4.720E+13 2.196E+11 df 8 1 2 2 4 9 18 17 Mean Square 951211388.9 4.698E+13 2488833889 1017850556 149080555.6 2.355E+10 F .040 1994.700 .106 .043 .006 Sig. 1.000 .000 .901 .958 1.000

a. R Squared = .035 (Adjusted R Squared = -.823)

Post Hoc Tests Konsentrasi MMA (phr) Homogeneous Subsets


Bobot Molekul Duncan
a,b

Konsentrasi MMA (phr) 10 30 20 Sig.

N 6 6 6

Subset 1 1595167 1615650 1635900 .670

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 23553078333.333. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.

84

Konsentrasi H2O2 (phr) Homogeneous Subsets


Bobot Molekul Duncan
a,b

Konsentrasi H2O2 (phr) 4 3 2 Sig.

N 6 6 6

Subset 1 1601217 1618867 1626633 .790

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 23553078333.333. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.

85

Lampiran 8. Analisis Statistik Kadar Nitrogen Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors N Konsentrasi MMA (phr) Konsentrasi H2O2 (phr) 10 20 30 2 3 4 6 6 6 6 6 6

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar Nitrogen (%) Source Corrected Model Intercept MMA H2O2 MMA * H2O2 Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares .002a .015 .001 .000 .001 .003 .020 .005 df 8 1 2 2 4 9 18 17 Mean Square .000 .015 .000 .000 .000 .000 F .755 48.142 1.355 .461 .601 Sig. .649 .000 .306 .645 .671

a. R Squared = .402 (Adjusted R Squared = -.130)

Post Hoc Tests Konsentrasi MMA (phr) Homogeneous Subsets


Kadar Nitrogen (%) Duncan
a,b

Konsentrasi MMA (phr) 20 30 10 Sig.

N 6 6 6

Subset 1 .01950 .03333 .03500 .185

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.

86

Konsentrasi H2O2 (phr) Homogeneous Subsets


Kadar Nitrogen (%) Duncan
a,b

Konsentrasi H2O2 (phr) 3 4 2 Sig.

N 6 6 6

Subset 1 .02617 .02667 .03500 .435

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.

87

You might also like