You are on page 1of 13

PENDEKATAN CULTURAL STUDIES SEMIOTIKA A.

PENDAHULUAN Kajian budaya atau yang dikenal dengan cultural studies merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk dibahas. Banyak ilmuwan yang mengharapkan agar cultural studies akan tetap terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, tak diharapkan, dan tak terbayangkan. Ia merupakan lapangan yang bersifat trans-disipliner, bahkan bersifat counterdisiplinary. Lapangan kajian yang luas dan tampaknya ambisius dari cultural studies ini hendak mencakup keseluruhan kesenian, kepercayaan, institusi-institusi, dan praktik-praktik komunikatif di masyarakat. Cultural studies tidak memiliki suatu wilayah subjek yang didefinisikan secara jelas dan terang. Ia hanya bertitik-pijak pada sebuah gagasan tentang budaya yang sangat luas dan yang mencakup segala hal yang digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari beraneka macam praktik keseharian manusia. Dari latar belakang diatas, maka dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai cultural studies dalam pendekatan semiotika dalam kajian Islam. B. PEMBAHASAN 1. Cultural Studies Definisi atau pengertian budaya oleh berbagai pengamat menunjukkan perbedaan penafsiran. Dalam kajian antropologi, umumnya budaya mengacu pada perilaku manusia. Sementara, yang lainnya menganggap bahwa budaya itu lebih banyak tergantung pada wilayah makna yang ada dalam diri manusia atau abstrak perilaku.

Jika dipahami dari istilah dalam bahasa Indonesia, kata budaya berasal dari bahasa sansekerta, buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi. Kata ini sering diucapkan dalam bahasa Indonesia budi yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.1 Sementara itu, istilah budaya jika diambil dari bahasa Inggris culture berasal dari bahasa Latin cultura yang berasal dari kata dasar colere yang artinya mengolah atau mengerjakan. Ketika konsep itu muncul di abad 18 dan 19 di Eropa, kata itu mengandung arti sebuah proses pemeliharaan atau pengembangan sebagaimana terjadi di pertanian. Kemudian pada abad 19, ia pertama kalinya mengacu pada perbaikan dan kemajuan individu, terutama melalui proses pendidikan, lalu juga dipenuhinya aspirasi dan cita-cita manusia.2 Pada abad ke 20, budaya (culture) muncul sebagai konsep utama dalam kajian antropologi yang memandang bahwa budaya mencakup semua gejala yang tidak secara murni sebagai hasil genetis manusia. Secara khusus, istilah culture dalam kajian antropologi Amerika memiliki dua makna. Pertama, kapasitas manusia untuk mengklasifikasikan dan

merepresentasikan pengalaman dengan symbol-simbol dan untuk bertindak secara imajinatif dan kreatif. Kedua, cara hidup manusia yang berbeda-beda di bagian dunia yang berbeda dengan pengalaman dan tindakan mereka masing-masing. Cultural Studies atau kajian budaya merupakan bidang yang majemuk dengan perspektif dan produksi teori yang kaya dan beraneka ragam. Dalam ranah keilmuan para pengkaji budaya meyakini bahwa tidaklah mudah untuk menentukan batas-batas dan wilayahwilayah kajian budaya secara khas dan komprehensif, terlebih ditengah perkembangan globalisasi diberbagai bidang dimana batasan-batasan kultural, politik, dan ekonomi semakin kabur, selain juga karena wilayah kajian budaya bersifat multidisipliner/interdisipliner atau
1

Sandi Suwandi Hasan, Pengantar Cultural Studies: sejarah, pendekatan konseptual, dan isu menuju budaya kapitaisme lanjut (Ar ruzz Media, Yogyakarta) hlm. 14 2 Ibid, hlm. 14

pascadisipliner sehingga mengaburkan batas-batas antara kajian budaya dengan subyek-subyek lain. Dalam buku The Long Revolution (1965), Raymond Williams menaruh ranah budaya dalam 3 ranah: pertama, ranah konsep, merupakan ranah ruang manusia memroses penyempurnaan diri teracu dan tertuju pada makna pokok universal tertentu. Rumusan ini mendiskripsi kehidupan dan tata acuan makna universal yang tetap untuk dihidupi. Kedua, kebudayaan sebagai ranah catatan dokumentasi praksis kehidupan dimana kehidupan dihayati sebagai teks yang mencatat struktur imajinasi, pengalaman, dan pemikiran manusia. Catatan atau teks itu lalu diberi penilaian kritis. Di sinilah, manakala dinamika budaya dalam kehidupan dibaca sebagai teks, dimana catatan dokumentasi pikiran manusia, imajinasinya dicatat dalam deskripsi kisah,, maka kehidupan itu sendiri lalu dibaca sebagai teks kebudayaan. Disini pula cultural studies sebagai kajian budaya mempelajari kebudayaan sebagai teks kehidupan. Ketiga, ranah rumusan kemasyarakatan kebudayaan sebagai gambar atau pandangan jagat hidup tertentu dimana kajian-kajian budaya merupakan usaha dan ikhtiar mengkonstruksi perasaan dalam adat, kebiasaan, dan struktur mentalitas yang dipakai untuk menghayati kehidupan.3 Ferdinand de Saussure yang mengembangkan studi tanda dalam semiotika, maka lengkaplah studi budaya untuk membaca baik bahasa logis ataupun bahasa tanda dalam semiotika. Semiotika sendiri oleh Saussure dipapar sebagai studi atau kajian mengenai sistem tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja di masyarakat. Studi tentang semiotika ini melaju pesat di tangan Roland Barthes untuk mengaji cara berpakaian, gaya hidup, cara komunikasi, cara
3

Mudji Sutrisno, Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, (Koekoesan, Depok) hlm. 5

sosialisasi yang kesemuanya mau mengkomunikasikan diri kita dalam tanda-tanda yang disusun, yang disebut sebagai kode. Kode atau susunan tanda dengan pesan dan makna didalamnya itu disebut dengan teks.4 Jadi studi kebudayaan atau cultural studies ingin mencoba membaca dan membacakan fenomena-fenomena dinamika kebudayaan yang oleh kita semua sulit dipahami dan sulit dianalisis sosiologis cultural dan antropologis cultural karena kabut asap makna sandi kodekodenya dalam semiotika maupun kode lain harus dengan rendah hati kita masuki dan hidup didalamnya dengan living in sehingga kode-kode bahasa prokem, bahasa gaul, kode-kode para lesbi, para homo, dan mereka-mereka yang terlantar kita stigmatisasikan sebagai kaum pinggir, kaum diam menemukan juru-juru baca dan tafsirnya. Titik pijak cultural studies adalah sebuah gagasan tentang budaya yang sangat luas dan mencakup segala hal yang digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari beraneka kajian. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan, terutama dalam susastra, sosiologi, dan sejarah; juga dalam linguistik, semiotic, antropologi, dan psikoanalisa. Bagian dari hasilnya, dan bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960-an (yang ditandai dengan perkembangan yang cepat dan meluasnya strukturalisme, semiotic, marxisme, dan feminism) cultural studies memasuki periode perkembangan teoritis yang intensif. Cultural studies berfungsi dengan meminjam secara bebas dari disiplin ilmu social, seluruh cabang humaniora, dan seni. Ia mengambil teori-teori dan metodologi dari beragam kajian keilmuan dan mengadopsinya yang disesuaikan dengan tujuannya.

Ibid, hlm. 5

Cultural studies mempunyai beberapa karakteristik: a. Cultural studies bertujuan mengkaji pokok persoalannya dari sudut praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana kebudayaan (produksi social makna dan kesadaran) dapat dijelaskan dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi) dan politik (relasi social). b. Cultural studies tidak hanya studi tentang budaya, seakan-akan ia merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari konteks social dan politiknya. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks social dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya. c. Budaya dalam cultural studies selalu menampilkan dua fungsi: ia sekaligus merupakan objek studi maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik. Cultural studies bertujuan menjadi, baik usaha pragmatis maupun intelektual. d. Cultural studies berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan yang tak tersirat (yaitu pengetahuan intuitif berdasarkan budaya local) dan yang objektif (yang dinamakan universal). Cultural studies mengasumsikan suatu identitas bersama dan kepentingan bersama antara yang mengetahui dan yang diketahui dan yang diketahui, antara pengamat dan yang diamati. e. Cultural studies melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi cultural studies mempunyai komitmen bagi rekonstruksi social dengan melibatkan diri dalam kritik politik. Jadi cultural

studies bertujuan memahami dan megubah struktur dominasi dimana-mana, namun secara khusus lagi dalam masyarakat kapitalis industrial.5 Istilah Cultural Sudies pertama kali dipopulerkan oleh Stuart Hall professor sosiologi di Open University, Milton Keynes, Inggris. Hall mengkritik para ilmuwan komunikasi yang mayoritas menggunakan pendekatan empiris, kuantitatif, dan cenderung hanya melihat hubungan kausalitas dalam praktek komunikasi massa. Menurutnya, mereka gagal untuk melihat apa yang seharusnya menjadi penting di dalam pengaruh media massa terhadap masyarakat. Pengaruh media massa tidak dapat dilihat hanya melalui survey terhadap pembaca surat kabar, pendengar radio atau penonton televisi. Karena persoalannya ternyata lebih dari itu. Hall sendiri banyak dipengaruhi oleh pemikiran Marxis yang melihat bahwa terdapat hubungan kekuatan atau kekuasaan dibalik praktek masyarakat, terutama dalam praktek komunikasi massa dan media massa. Hall juga mengkriitk para ilmuwan yang hanya sekedar mampu menggambarkan tentang dunia, akan tetapi tidak berusaha untuk mengubah dunia tersebut ke arah yang lebih baik. Tujuan Hall dan para ilmuwan dari Teori Kritis adalah memberdayakan dan memberikan kekuatan kepada masyarakat yang termarjinalkan atau terpinggirkan terutama dalam ranah komunikasi massa. Pada tahun 1970-an Hall mendirikan Center for Contemporerary Cultural Studies (CCCS) di University of Birmingham. Di bawah pimpinan Hall, CCCS mengusung misi untuk memberikan gambaran tentang pertarungan antara antara yang memiliki kekuasaan dan yang tidak memiliki kekuasaan. Tujuannya utamanya adalah untuk merebut sedikit ruang di mana agar suara-suara pihak yang termarjinalkan dapat dan bisa terdengar di dalam praktek komunikasi.

Zianuddin Zardar dan Borin Van Loon, Cultural Studies For Beginners, (Mizan; Bandung) hlm. 9

Ketika Hall mengusung tujuan untuk membuka kedok praktek ketimpangan kekuasaan di dalam masyarakat, Hall mengatakan bahwa pendekatan cultural studies baru dapat berhasil jika kita penelitian media yang gagal mengkaitkan diri dengan ideologi di balik raktek media massa. Hall menginginkan agar membebaskan masyarakat dari ketidaksadaran akan dominasi ideologi didalam budaya kita sehari-hari. Cultural Studies mencoba untuk membangkitkan kesadaran kita akan peran media massa dalam memelihara status quo. 2. Semiotika Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam bidang bahasa.Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan merasuk pada semua segikehidupan umat manusia. Semiotika menurut Zoest (1992) adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Charles Sanders Peirce, ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Tanda yang dimaksud dapat berupa tanda visual yang bersifat non-verbal, maupun yang bersifat verbal. Semiotika adalah ilmu tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Winfried Noth menguraikan asal-usul kata semiotika; secara etimologi semiotika dihubungkan dengan kata Yunani sign = sign dan signal = signal, sign. Tanda terdapat dimana-

mana : kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Menurut John Fiske (1990) semiologi memiliki tiga bidang studi utama. Pertama, tanda itu sendiri. Hal iini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengekspolitasi saluran komunikasi untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan atau tempat kode tanda bekerja. Ini gilirannya tergantung pada penggunaan kodekode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Dalam semiologi, penerima atau pembaca pesan, dipandang memiliki peran yang aktif, dibandingkan dalam paradigma transmisi di mana mereka dianggap pasif. Semiologi lebih suka memilih istilah pembaca untuk komunikan, karena pembaca pada dasarnya aktif dalam menciptakan pemaknaan teks atau tanda (sign) dengan membawa pengalaman, sikap, emosi terhadap teks atau tanda tersebut. Semiotika atau semiologi menurut istilah Barthes, pada prinsipnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal, segala sesuatu (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam arti dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, melainkan juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan makna

(meaning) adalah hubungan antara sesuatu objek atau ide dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan symbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal teori2 yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.6 3. Cultural Studies Semiotika Dalam Pengkajian Islam Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Istilah ini diambil dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda ada dimana-mana, bisa berupa kata, gambar, bunyi, struktur karya sastra, struktur film, struktur musik dan sebagainya. Semiotik juga merupakan suatu ilmu yang mengkaji gejala kebudayaan dengan memahami makna tanda-tanda kehidupan. Ada empat hal yang mesti diperhatikan dalam semiotik, yaitu tanda (ikon lambang), jenis sistem tanda (bahasa musik, atau gerakan tubuh), jenis teks dan jenis konteks atau situasi yang mempengaruhi makna tanda (kondisi psikologis, sosial historis dan kultural). Semiotik sering digunakan sebagai sebuah pendekatan dalam analisis teks, baik verbal maupun non verbal. Analisis teks dengan pendekatan semiotik berupaya untuk mengidentifikasi beragam tanda dalam sebuah teks dengan maksud untuk menemukan struktur dan makna-makna yang mungkin. Dalam islam, pendekatan semiotika dalam kajian islam sangat berperan. Pada dasarnya penjelajahan semiotic sebagai metode kajian Islam, dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana social sebagai fenomena bahasa. Artinya bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana social. Tanda-tanda yang dimanfaatkan dalam kajian Islam sangat beragam. Dalam karya Clifford Geertz tentang penelitiannya di Mojokuto merupakan salah satu contoh cultural studies

Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika Dan Hermeneutika, (Paradigma; Yogyakarta) hlm. 163

semiotika. Tradisi tentang upacara atau slametan yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, pergantian nama, dan lain-lain.7 Menurut Charles Sanders Pierce, ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika modern Amerika menegaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan sarana tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan tanda. Sebagai ilmu tentang tanda, pada prinsipnya semiotika dapat diterapkan pada kajian teks keagamaan. Hal ini didasari antara lain, Pertama, agama sering digambarkan sebagai tanda Allah. Kedua, teks-teks kitab suci agama, termasuk al-Quran, merupakan himpunan tanda-tanda yang menunjukan makna tertentu yang perlu digali dalam proses penafsiran. Ketiga, teks-teks kitab suci pada umumnya dianggap sebagai himpunan tanda yang menyampaikan pesan atau amanat Ilahi. Keempat, kajian mengenai agama dapat dianalisis sebagai himpunan tanda. Proses pembentukan ortodoksi, ketertutupan dan keterbukaan korpus rujukan dalam bidang teologi atau hukum agama, dan sebagainya merupakan persoalan-persoalan yang muncul di wilayah ini.8 Begitu penting dalam agama, misalnya dalam agama Kristen, persoalan tanda dan signifikansi diperhatikan sejak awal sejarah gereja. Menurut Eugenio sebagaimana dikutip oleh Meuleman menyebut Aurelius Agustinus sebagai pendiri semiotika dalam arti yang sebenarnya. Agustinus beranggapan bahwa dunia ciptaan mengandung tanda kehendak Allah. Bertolak dari pendapat itu, dapat dipahami bahwa Agustinus tidak membatasi berfungsinya tanda pada bidang kebahasaan yang mengandung tanda, lambang, dan parabel dalam teks alkitab tetapi juga pada aspek keagamaan, terutama dalam bidang liturgi.9

7 8

Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Remaja Rosdakarya; Bandung) hlm.190 Wikipedia Indonesia, Semiotika,http://id.wikipedia.0rg/wiki/Semiotika/3108/07/.htm. 9 Eugenio Coseriu, Die Geschichte der Srachphilosophie von der Antike bis zur Gegenwart (Tubingen: TBL, 1970), hal. 123, dikutip oleh Johan Meuleman. Op.Cit. hal 36.

10

Dalam agama Islam, semiotika juga berperan dalam al-Quran. Kata ayat (ayah) terdapat ratusan kali dalam al-Quran. Arti dasarnya adalah tanda. Sebagimana dalam surat Fussilat:53 yang artinya Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami dalam cakrawalacakrawala ditafsirkan sebagai wilayah bumi yang seluas-luasnya, di segala penjuru bumi dan dalam jiwa mereka sendiri hingga jelas bagi mereka bahwa itu wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah benar. Kata tanda dalam al-Quran juga berkonotasi bukti, dan dapat pula bermakna contoh. Misalnya pada Surat Hud: 103, hukuman Allah terhadap Firaun dan kaumnya yang sesat- terdapat contoh bagi yang takut akan siksa di akhirat. Pada prinsipnya al-Quran sebagai teks dan seluruh agama Islam merupakan wilayah subur bagi analisis semiotik.

11

C. PENUTUP Penerapan pendekatan semiotik seperti yang telah dipaparkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangan, terutama berkenaan dengan bidang kajian teks-teks keagamaan. Manfaat analisis semiotik bahwa pendekatan semiotik memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan sebagai suatu sistem dari hubungan-hubungan intern. Pendekatan dengan cara demikian memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan. Kelebihan lain adalah bahwa pendekatan semiotik membuat kita mendekati teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau pra anggapan lain. Namun demikian, ada juga beberapa kelemahan mendasar dari pendekatan ini. Analisis semiotik cenderung mengabaikan aspek-aspek kesejarahan (konteks sosio historis) terhadap teks. Dengan menekankan pada struktur internal teks, semiotik melakukan interpretasi secara a-historis. Dalam bidang kajian keagamaan, terutama menyangkut teks-teks agama, proses semiotik yang tiada berakhir menjadikannya tidak memungkinkan untuk menemukan petanda terakhir (petanda transendental) yang mutlak bagi agama. Ketiadaan petanda terakhir ini membuat terperangkap dalam lingkaran semiosis, tanpa mampu menemukan makna terakhir.

12

DAFTAR PUSTAKA

Sandi Suwandi Hasan, Pengantar Cultural Studies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, Dan Isu Menuju Budaya Kapitaisme Lanjut, Ar ruzz Media; Yogyakarta, 2011

Mudji Sutrisno, dkk, Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Koekoesan, Depok, 2011

Zianuddin Zardar dan Borin Van Loon, Cultural Studies For Beginners, Mizan; Bandung, 2001

Wikipedia Indonesia, Semiotika,http://id.wikipedia.0rg/wiki/Semiotika/3108/07/.htm. Eugenio Coseriu, Die Geschichte der Srachphilosophie von der Antike Bi Zur Gegenwart Tubingen: TBL, 1970, dikutip oleh Johan Meuleman.

Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika Dan Hermeneutika, Paradigma; Yogyakarta, 2009 Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, remaja Rosdakarya; Bandung, 2009

13

You might also like