You are on page 1of 84

USMAN WIRYANTO

9.1 PETUNJUK UMUM PENYEDIAAN DRAINASE

9.1.1 Pengantar
Tujuan dari penyusunan rencana pembangunan sub bidang drainase
adalah untuk memberikan suatu manual yang dapat memberikan arahan
khususnya bagi Dinas Kimpraswil Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), dan bagi pihak lain yang berkepentingan dalam
pengelolaan/penataan system drainase. Sehingga pada akhirnya dapat
diwujudkan suatu sistem drainase yang terintegrasi dan dengan kualitas
pelayanan yang memadai.

Acuan yang dipakai adalah Kepmen PU No. 239/KPTS/1987 tentang fungsi


utama saluran drainase sebagai drainase wilayah dan sebagai pengendalian
banjir.

Sistem drainase tidak dapat berdiri sendiri dan selalu berhubungan dengan
sektor infrastruktur lainnya seperti pengembangan daerah, air limbah,
perumahan dan tata bangunan serta jalan kota. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :

1. Perencanaan sistem drainase harus mendukung skenario


pengembangan dan pembangunan wilayah, serta terpadu rencana
pengembangan prasarana lainnya.
2. Perencanaan sistem drainase harus mempertimbangkan
pengembangan infrastruktur air limbah, karena faktanya
menunjukkan bahwa saluran air limbah kebanyakan masih bercampur
dengan sistem pembuangan air hujan.

9-1
3. Perencanaan sistem drainase harus dikoordinasikan dengan rencana
pengembangan perumahan, terutama dalam kaitannya dengan
perencanaan sistem jaringan dan kapasitas prasarana.
4. Perencanaan drainase yang menjadi satu kesatuan dengan jaringan
jalan harus disinkronkan dengan sistem jaringan drainase yang sudah
direncanakan oleh istitusi atau lembaga pengelola jaringan drainase.

Secara pasti dapat dikatakan bahwa penyelesaian masalah drainase (banjir)


di suatu kawasan selain memfokuskan pada penyelesaian masalah kawan
internal, juga tidak terlepas dari penyelesaian masalah kawasan eksternal,
terutama menyangkut aspek – aspek yang terkait secara langsung dengan
permasalahan drainase di Kawasan studi.

Dengan demikian disadari sepenuhnya bahwa usaha untuk membebaskan


suatu wilayah dari banjir adalah merupakan usaha atau kegiatan yang
bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah. Tanpa adanya koordinasi dan
sinkronisasi penanganan, maka kegiatan – kegiatan yang dilakukan secara
parsial oleh masing – masing instansi atau wilayah pemerintahan tidak akan
menghasilkan out – put yang optimal.

Sebagai bahan pengantar topik ini adalah uraian berikut. Studi tentang
banjir akan selalu berhubungan dengan debit banjir dan kapasitas pelayanan
system (pembuang), dan pemahaman mengenai daur hidrologi. Dari daur
hidrologi dipahami secara jelas hubungan antara berbagai komponen dari
simpanan air (“water storege”) dan aliran air (“water movement”). Dalam
perjalanannya butiran – butiran air hujan akan mengalami penguapan,
peresapan ke dalam tanah, dan sisanya akan mengalir langsung ke sungai
terdekat. Komponennya dapat disederhanakan menjadi :

H = E + p + Qo
dimana :
H = Hujan
E = Penguapan

9-2
P = Peresapan
Qo = Aliran permukaan menuju sungai

Dari rumus di atas terlihat bahwa debit sungai akibat hujan secara langsung
adalah sebesar Qo, sedangkan p sebagian akan menjadi air tanah (Qt) dan
sebagaian akan menjadi air bawah permukaan (Qi). secara berangsunr –
angsur Qt dan Qi keluar menuju sungai. Ketiga komponen aliran air (Qo, Qi, dan
Qt) akan membentuk suatu kesatuan di sungai yang disebut larian (Runoff)
dari sebuah daerah aliran.

Besarnya resapan akan sangat tergantung pada kondisi lahan atau area
tangkapan hujan. Jika lahan yang ada merupakan kawasan yang baik untuk
peresapan air (hutan atau kawasan “Green Belt”), maka nilai Qo menjadi
kecil sehingga tidak terjadi peningkatan kapasitas secara mendadak dan
dalam kuantitas yang sangat tinggi pada sungai. Tetapi jika area resapan
rusak atau berubah fungsi menjadi area pemukiman, maka nilai Qo menjadi
sangat besar, dan akibatnya akan terjadi luapan atau banjir pada sungai
karena sungai tersebut harus menampung debit yang sangat besar dalam
periode yang singkat.

Dari gambaran di atas terlihat jelas fungsi daerah resapan untuk


penanggulangan banjir yaitu untuk mengatur besarnya aliran permukaan
menuju sungai akibat hujan. Dalam konteks studi drainase dimana salah satu
permasalahan adalah adanya genangan (banjir), maka pengendalian
kawasan resapan di daerah hulu menjadi sangat penting. Seberapapun
besarnya dan lengkapnya kapasitas jaringan drainase di suatu wilayah, tanpa
adanya kebijakan pengendalian kawasan di hulu yang menjadi daerah
resapan air, maka dapat dipastikan bahwa system yang disediakan tidak
akan mampu menampung beban yang ada. Contoh di atas adalah salah satu
aspek. Aspek kebijakan yang dituntut tidak terbatas pada masalah tersebut.
Masih banyak aspek lain seperti kebijakan kependudukan dan lain
sebagainya dari kawasan eksternal yang harus di sinkronkan dan
dikoordinasikan secara seksama.

9-3
9.1.2 Pencapaian Drainase Dalam Rencana Pembangunan Kabupaten/Kota
di Propinsi DIY
Pengembangan jaringan drainase di kabupaten/kota di wilayah
Propinsi DIY sampai saat ini masih difokuskan pada kawasan perkotaan atau
kawasan permukiman dengan kepadatan tinggi.

Jaringan drainase yang ada terutama untuk sistem tersier, sekunder maupun
primer pada umumnya atau sebagain besar masih menjadi satu dengan
sistem jaringan jalan. Selain itu sistem pembuangan air limbah masih
menjadi satu atau belum terpisah dengan sistem pembuangan air hujan.

Sistem penyaluran air hujan berdasarkan sistem grafitasi atau mengikuti


garis kontour tanah, aliran dari permukaan masuk ke saluran pembuang
untuk kemudian masuk ke sistem pembuang utama (sungai) yang ada. Di
semua wilayah studi, sistem jaringan yang ada belum terbagi menurut
sistem blok pelayanan sesuai dengan area yang (mungkin) dilayani. Sehingga
ketidak-sesuaian antara debit yang ada dengan kapasitas saluran merupakan
permasalahan yang umum terjadi.

Khusus untuk Kota Yogyakarta, pembuatan Sumur Peresapan Air Hujan


(SPAH) sudah menjadi bagian dari sistem makro. Dari data yang ada terjadi
peningkatan yang cukup signifikan terhadap pembuatan sumur peresapan.
Pada tahun 2005 dan 2006 melalui program Neighborhood Upgrading and
Shelter Sector Project (NUSSP) telah dibangun ± 700 unit SPAH. Namun
sayangnya pembuatan SPAH tersebut masih sepenuhnya merupakan investasi
Pemkot Kota Yogyakarta dan belum atau sedikit sekali yang dibangun secara
swadaya atau atas inisiatif masyarakat sendiri.

Selain Kota Yogyakarta, tingkat aksesibilitas wilayah terhadap sistem saluran


drainase (km/km2) di wilayah studi masih sangat rendah. Nilainya berkisar
antara 0.47 – 0.52 km/km2 . Ini menunjukkan bahwa kebutuhan penambahan

9-4
panjang saluran drainase masih sangat tinggi, karena aksesibilitas ideal
untuk kawasan rural 1,5 – 2,5 km/km2 dan kawasan urban 10 – 15 km/km2.
9.1.3 Kebijakan, Program dan Kegiatan Drainase Dalam Rencana
Pembangunan Kabupaten/Kota.
Kebijakan dan program untuk komponen drainase yang ada di setiap
kabupaten/kota pada umumnya sudah berwawasan lingkungan, dimana
sistem drainase tidak hanya direncanakan untuk menanggulangi dampak
negatif terhadap semua aspek interaksi masyarakat, tetapi juga
direncanakan untuk mengisi kembali sumber air tanah dalam kerangka
konservasi sumber daya air. Namun implementasi kebijakan dan program
pada kenyataannya terbentur kepada permasalahan keterbatasan dana.
Sehingga kegiatan yang dilakukan pada umumnya masih bersifat ”partial”,
yaitu hanya menangani kasus per kasus dan belum berupa kegiatan yang
menjadi bagian dari ”grand disain” secara keseluruhan.

9.2 PROFIL RINCI PENYEDIAAN DRAINASE

9.2.1 Kondisi Sistem Drainase yang Ada


Tinjauan kondisi drainase studi di wilayah studi merupakan bagian
dari proses penyusunan RPIJM untuk komponen drainase. Dengan
mengetahui kondisi sistem drainase makro maupun mikro yang ada di
wilayah studi, maka akan dapat didefinisikan indikasi permasalahan yang
ada secara lebih detail dan komprehensif, untuk selanjutnya dapat
dirumuskan rencana penanganan yang sesuai dengan kondisi lapangan.

9.2.1.1 Drainase Makro


Sistem drainase induk yang ada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) adalah sistem drainase alam, yaitu suatu sitem yang
menggunakan sungai dan anak sungai sebagai sistem primer penerima air
buangan dari saluran – saluran sekunder dan tersier yang ada. Keseluruhan
sistem tersebut berfungsi untuk menyalurkan air hujan dan limbah rumah
tangga. Sebagian dari saluran drainase sekunder yang ada di DIY juga
menggunakan saluran irigasi sebagai saluran pembuangannya.

9-5
Pada dasarnya terdapat 3 (sungai) sungai utama sebagai badan
penerima air akhir di wilayah DIY. Sungai – sungai tersebut membelah
wilayah studi dari sisi utara ke sisi selatan dan bermuara di Samudera
Hindia.

Gambar 9-1 : Sungai Sebagai Pembuang Utama di Propinsi DIY

Sungai utama dimaksud adalah :

a. Sungai Opak
b. Sungai Progo
c. Sungai Serang

Gambaran umum dari sistem jaringan masing – masing sungai utama adalah
seperti uraian dari sub bab berikut.

A. Sungai Opak

9-6
Sungai Opak menyusuri wilayah studi dari arah timur laut ke
arah barat daya melintasi wilayah Kabupaten Sleman dan
Kabupaten Bantul. Luas DAS sungai Opak dengan anak – anak
sungainya secara keseluruhan ± 1465 Km2, sedangkan area pelayanan
untuk sistem drainase yang terkait dengan wilayah studi ± 1172 Km2.
Panjang alur sungai Opak secara keseluruhan adalah ± 65 Km dengan
lebar rata – rata sungai yang ada di wilayah studi sekitar ..... m.

Sistem jaringan sungai Opak terdiri dari Sungai Opak dan 13 (tiga
belas) anak sungai. Anak sungai yang bermuara di Sungai Opak adalah
:

1. Sungai Winongo Kecil 22,25 km

Sungai Winongo Kecil yang merupakan pecahan dari Sungai


Winongo di sekitar Padokan. Dengan panjang alur ± 22,5 km,
sungai Winongo Kecil bermuara di Sungai Opak pada bagian
paling hilir. Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Winongo Kecil
seluas ± 61,60 km2. Areal pelayanan sungai ini meliputi
Sanden, Pandak, Bambanglipuro serta sebagian Kota Bantul.

2. Sungai Winongo 43,75 km

Sungai Winongo dengan panjang alur 43,75 km. Bagian hulu


sungai Winongo ada di daerah Kaliurang atau sekitar
Turi/Pakem. Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Winongo seluas
± 88,12 Km2. Sungai Winongo melintasi wilayah Kabupaten
Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sungai
Winongo bermuara di Sungai Opak pada daerah Kretek.

3. Sungai Oyo 106,75 km

Sungai Oyo dengan pajang alur sungai ± 106,75 km merupakan


sungai terpanjang di wilayah DIY. Hulu sungai Oyo berada di
wilayah Kabupaten Gunung Kidul dengan alur sungai menyusuri

9-7
perbatasan antara Kabupaten Gunung Kidul dengan Kabupaten
Bantul. Sungai Oyo bermuara di sungai opak di daerah
Pundong. DAS sungai Oyo seluas ± ….. km2, dengan area
pelayanan sebagian besar di wilayah Kabupaten Gunung Kidul
dan sedikit di wilayah Timur Laut Kabupaten Bantul.

4. Sungai Code 39,00 km

Sungai Code dengan hulu di daerah Kaliurang melintasi wilayah


Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul.
Sungai Code bermuara di sungai Opak di daerah Jetis. Panjang
alur sungai ± 39,00 km dengan luas DAS ± …… km2. Sungai Code
merupakan system drainase utama yang paling penting untuk
wilayah Kota Yogyakarta.

5. Sungai Gajahwong 21,00 km

Sungai Gajahwong dengan panjang alur ± 21,00 km bermuara di


sungai Opak di daerah Plered. Luas DAS Sungai Gajahwong ± …
…. Km2, dengan area pelayanan Ngaglik dan Depok di
Kabupaten Sleman, sebagian wilayah Kota Yogyakarta, dan
Banguntapan serta Plered di Kabupaten bantul.

6. Sungai Pesing 8,25 km

Sungai Pesing dengan panjang alur ± 8,25 km dengan hulu


berada di wilayah selatan piyungan. Sungai Pesing bermuara di
sungai Opak di bagian hulu (sekitar Plered). Luas DAS sungai
Pesing ± ..... km2. Area pelayanan relatif kecil yaitu pada
bagian tenggara dari Kecamatan Banguntapan.

7. Sungai Tambakbayan 24,00 km

Sungai Tambakbayan dengan panjang alur ± 24,00 km dengan


hulu berada di daerah Cangkringan (Kaliurang). Sungai
Tambakbayan bermuara di sungai Opak di bagian hulu (sekitar
timur laut Plered). Luas DAS sungai Tambakbayan ± ..... km2.
Area pelayanan di wilayah Kecamatan Banguntapan (Kab.
Bantul) dan bagian utara DIY.

9-8
8. Sungai Kuning 30,50 km

Sungai Kuning dengan panjang alur ± 30,50 km bermuara di


sungai Opak di hulu tempat bermuaranya sungai Tambakbayan.
Luas DAS Sungai Kuning ± ……. Km2, dengan area pelayanan
wilayah Tepus, Kalasan dan Ngemplak di bagian timur laut
wilayah DIY.

9. Sungai Ngijo 15,00 km

Sungai Ngijo dengan panjang alur ± 15,00 km bermuara di


sungai Opak di hulu dekat dengan tempat bermuaranya sungai
Kuning. Luas DAS Sungai Ngijo ± ……. Km2, dengan area
pelayanan wilayah hulu Piyungan.

10. Sungai Tepus 23,00 km

Sungai Tepus dengan panjang alur ± 23,00 km bermuara di


sungai Opak di hulu tempat bermuaranya sungai Kuning atau di
sekitar Berbah. Hulu sungai Tepus berada di Cangkringan. Luas
DAS Sungai Tepus ± ……. Km2, dengan area pelayanan wilayah
Tepus, Berbah, Kalasan dan bagian timur laut wilayah DIY.

11. Sungai Wareng 10,50 km

Sungai Wareng dengan panjang alur ± 10,50 km bermuara di


sungai Opak di utara Berbah. Luas DAS Sungai Wareng ± …….
Km2, dengan area pelayanan wilayah Kalasan.

12. Sungai Gendol 16,50 km

Sungai Gendol dengan panjang alur ± 16,50 km bermuara di


sungai Opak di hulu sebelah utara Prambanan. Hulu sungai
Gendol berada di dekat puncak merapi. Sungai ini merupakan
salah satu alur aliran lahar. Luas DAS Sungai Gendol ± …….
Km2, dengan area pelayanan wilayah timur laut DIY berbatasan
dengan wilayah Jawa Tengah.

9-9
13. Sungai Bening 12,50 km

Sungai Bening dengan panjang alur ± 12,50 km bermuara di


sungai Opak di utara Berbah. Luas DAS Sungai Wareng ± …….
Km2, dengan area pelayanan wilayah Kalasan.

Selain sungai – sungai tersebut dalam sistem DAS Opak juga terdapat
Embung Tambakboyo sebagai badan penerima air yang sekarang masih
dalam tahap pembangunan konstruksinya oleh Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air.

B. Sungai Progo
Sungai Progo yang menyusuri perbatasan antara Kabupaten
Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul merupakan badan penerima air
utama untuk wilayah barat Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman
serta Kabupaten Kulon Progo. Panjang alur sungai di wilayah studi ±
138,00 km merupakan sungai terpanjang di wilayah studi. Area
pelayanan sungai Progo dengan anak – anak sungainya secara
keseluruhan adalah 761,67 Km2.

Sistem jaringan sungai Progo terdiri dari Sungai Progo dan 10


(sepuluh) anak sungai. Anak sungai yang bermuara di Sungai Progo
antara lain adalah :

1. Sungai Bedog 42,00 km

Sungai Bedog dengan hulu di daerah Turi dan panjang alur


sungai ± 42,00 km bermuara di sungai Progo ± 4 km di hulu
Bendung Sapon. Luas DAS Sungai Bedog ± ….. km2. Area
pelayanan sungai Bedog di wilayah Kabupaten Sleman dan
Kabupaten Bantul.

9 - 10
2. Sungai Konteng 34,00 km

Sungai Konteng dengan hulu di daerah antara Tempel dengan


Turi dan panjang alur sungai ± 34,00 km bermuara di sungai
Progo di daerah hilir Sedayu. Luas DAS Sungai Konteng ± …..
km2. Area pelayanan sungai Konteng meliputi wilayah Sedayu
di Kabupaten Bantul dan Moyudan, Gamping Godean, dan
Seyegan di Kabupaten Sleman.

3. Sungai Sudu 18,75 km

Sungai Sudu dengan hulu di daerah utara Girimulyo di dekat


perbatasan dengan Kabupaten Purworejo di Jawa Tengah.
Panjang alur sungai ± 18,75 km bermuara di sungai Progo ± 4
km di hulu AWLR Bantar. Luas DAS Sungai Sudu ± ….. km2. Area
pelayanan sungai Sudu meliputi wilayah Nanggulan di
Kabupaten Kulon Progo.

4. Sungai Tinalah 15,12 km

Sungai Tinalah dengan hulu di daerah Samigaluh dekat


perbatasan dengan Kabupaten Purworejo di Jawa Tengah.
Panjang alur sungai ± 15,12 km bermuara di sungai Progo ± 5
km di utara Nanggulan. Luas DAS Sungai Tinalah ± ….. km2.
Area pelayanan sungai Tinalah meliputi wilayah Samigaluh di
Kabupaten Kulon Progo.

5. Sungai Klegung 11,00 km

Sungai Klegung dengan panjang alur sungai ± 11,00 km


bermuara di sungai Tinalah untuk kemudian bersama – sama
bermuara di Sungai Progo. Luas DAS Sungai Klegung ± ….. km2.
Area pelayanan sungai Klegung meliputi wilayah Utara
Kabupaten Kulon Progo yang berbatasan dengan wilayah Kedu
di Jawa Tengah.

6. Sungai Putih 11,00 km

9 - 11
Sungai Putih dengan panjang alur ± 11,00 km bermuara di
Sungai Progo kurang lebih 1,5 km di hilir AWLR Duwet. Luas DAS
sungai Putih ± ….. km2. Areal pelayanannya meliputi wilayah
Sleman dan Tempel.

7. Sungai Krasak 21,00 km

Sungai Krasak dengan panjang alur ± 21,00 km bermuara di


Sungai Progo kurang lebih 1 km di hulu pertemuan sungai Putih
dengan Sungai Progo. Luas DAS Sungai Krasak ± ….. km2. Area
pelayanan sungai Krasak meliputi wilayah Tempel dan daerah
bahaya II dan daerah terlarang Merapi.

8. Sungai Diro 7,25 km

Sungai Diro dengan panjang alur sungai ± 7,25 km dan luas DAS
± …. Km2, bermuara di sungai Progo di hilir (± 1 km AWLR )
Kalibawang. Area pelayanannya relative kecil hanya sekitar
wilayah Kalibawang.

9. Sungai Galur 15,00 km

Sungai Galur dengan panjang alur ± 15,00 km dan luas DAS ±


….. km2 bermuara di Sungai Progo di bagian paling hilir. Area
pelayanannya meliputi wilayah Panjatan, Galur dan Lendah.

10. Sungai Papah 20,00 km

Sungai Papah dengan panjang alur ± 20 km dengan luas DAS ±


….. km2 bermuara di Sungai Progo di lokasi yang sama dengan
tempat bermuaranya sungai Bedog. Area pelayanan sungai
Papah meliputi wilayah Sentolo dan pengasih di Kabupaten
Kulon Progo.

C. Sungai Serang
Sungai Serang dengan hulu di daerah pengasih, menyusuri
wilayah Kabupaten Kulon Progo dari arah Timur Laut ke arah Barat
Daya dan bermuara di Samodera Hidia di Glagah. Panjang alur sungai

9 - 12
Induk ± 28,00 km dengan luas DAS ± 220,22 km2. Sungai Serang
mempunyai 11 (sebelas) anak sungai dengan areal pelayanan
seluruhnya berada di wilayah Kabupaten Kulon Progo. Anak sungai
dimaksud antara lain adalah :

1. Sungai pengilon 6,25 km

2. Sungai Dengen 4,85 km

3. Sungai Banjaran 7,00 km

4. Sungai Nagung 7,75 km

5. Sungai Pening 10,00 km

6. Sungai Ngrancah 9,00 km

7. Sungai Pereng 7,00 km

8. Sungai Gede 8,00 km

9. Sungai Jonggeangan 9,00 km

10. Sungai Carik 5,75 km

11. Sungai Peni 8,50 km

Selain sungai – sungai tersebut terdapat Waduk Sermo yang juga


merupakan badan penerima air dalam sistem drainase utama DAS
Serang.

D. Sistem Drainase Makro Menurut Wilayah Kabupaten Kota

Dari uraian mengenai sistem drainse utama dalam kontek


wilayah Propinsi DIY yang menyangkut luas DAS serta areal pelayanan
dari masing – masing sistem pembuang utama tersebut, maka sistem
pembuang utama untuk masing – masing wilayah Kabupaten kota
adalah sebagai berikut :

1. Kabupaten Sleman

9 - 13
Wilayah Kabupaten Sleman sebagian besar dilayani oleh sistem
pembuang utama Sungai Progo dan anak – anak sungainya. Sebagian
wilayah Kabupaten Sleman di bagian timur dan tenggara (Ngaglik,
Kalasan, Depok dan Berbah) yang dilayani oleh sistem pembuang
Sungai Opak. Terdapat 5 daerah aliran sungai (DAS) yang cukup besar,
yakni dari barat ke timur DAS: Progo, Konteng, Bedog, Winongo-Code
dan Opak Hulu. Semua sungai tersebut merupakan sungai perenial,
yaitu suatu kondisi dimana curah hujannya yang tinggi, sementara
sifat tanahnya permeabel dan akifernya tebal, maka aliran dasar
(base flow) pada sungai-sungai tersebut cukup besar yang termasuk
efluent.

Selain itu di Kabuapten Sleman juga terdapat badan penerima


air lain berupa embung yang pada saat ini masih dalam tahap
pembangunan yaitu Embung Tambakboyo. Jika pembangunannya
sudah selesai maka embung tersebut dapat berfungsi sebagai badan
penerima air untuk wilayah Kabupaten Sleman.

Dengan kemiringan tanah rata – rata 2 – 8 % bahkan untuk


beberapa wilayah sampai lebih dari 40 %, maka sistem drainase alam
yang berjalan adalah : air hujan mengalir mengkikuti contour
kemiringan tanah untuk masuk ke sistem pembuang tersier maupun
sekunder yang ada dan selanjutnya masuk ke sistem pembuang utama
(sungai). Sedikit atau bahkan tidak adanya data banjir di Kabupaten
Sleman yang disebabkan oleh luapan sungai merupakan indikator
bahwa sistem drainase makro yang ada sudah mampu melayani
wilayah yang ada secara memadai.

9 - 14
Gambar 9 - 2 : Sistem Drainase Utama (sungai) di Kabupaten Sleman

2. Kota Yogyakarta.

Badan penerima air di Kota Yogyakarta yang paling utama


adalah Sungai Winongo, Sungai Code, Sungai Mambu/Sungai Belik,
Sungai Gajah Wong dan Sungai Bulus yang mengalir dari utara ke
selatan. Ke lima sungai tersebut termasuk dalam sistem pembuang
Sungai Opak. Luas area pelayanan dari masing – masing sungai relatif
sama, kecuali untuk sungai Bulus yang areal pelayanannya realtif
paling kecil.

9 - 15
Gambar 9 - 3 : Sistem Drainase Utama (Sungai) di Kota Yogyakarta

Kemiringan lahan yang berkisar antara 0 – 2 % serta tata guna


lahan daerah perkotaan yang relatif kurang baik untuk peresapan air
hujan merupakan beban bagi sistem drainase di Kota Yogyakarta.
Dengan demikian sistem drainase di Kota Yogyakarta sangat
mengandalkan terpenuhinya dimensi – dimensi teknis hidrolis pada
saluran pebuang tersier dan sekunder. Selain itu pembangunan sumur
– sumur peresapan yang sudah mulai digalakkan oleh Pemerintah Kota
Yogyakarta juga merupakan bagian sistem drainase makro yang ada di
Kota Yogyakarta.

Selain itu posisi Kota Yogyakarta sebagai daerah hilir dari


Kabupaten Sleman yang kemiringan lahan relatif lebih tinggi dari Kota

9 - 16
Yogyakarta, akan menyebabkan Kota Yogyakarta menerima beban
aliran dari sistem pembuang utama dari wilayah Kabupaten Sleman.

3. Kabupaten Bantul

Wilayah Kabupaten Bantul sistem pembuang utama dilayani


oleh sistem pembuang sungai Opak dan sungai Progo. Secara
topografis, Kabupaten Bantul terbagi menjadi daerah dataran yang
terletak pada bagian tengah dan utara, daerah perbukitan yang
terletak pada bagian timur dan barat serta daerah pantai yang
terletak pada bagian selatan. Wilayah Kabupaten Bantul dilewati oleh
tiga sungai utama yaitu sungai Opak, Oya, dan Progo. Ketiga sungai
ini dimanfaatkan untuk pasokan irigasi serta tambang pasir dan batu.

Gambar 9 - 4 : Sistem Drainase Utama (Sungai) di Kabupaten Bantul

Kemiringan tanah yang relatif kecil dan posisinya sebagai


daerah hilir dari kawasan yang lebih tinggi dengan aliran sungai –
sungai yang alurnya dimulai dari Kabupaten Sleman, melintasi Kota

9 - 17
Yogyakarta dan berakhir di Pantai Selatan Bantul, menjadikan
kawasan selatan Bantul rawan banjir. Melihat tata guna lahan dimana
kawasan perkampungan hanya ± 7,24 % dari luas area secara
keseluruhan, maka sistem resapan masih bisa menjadi andalan bagi
sistem drainase makro di Kabupaten Bantul. Meskipun demikian
karena kemiringan lahan yang relatif kecil, kawasan ini memerlukan
sistem pembuang dengan dimensi hidrolis yang optimal.

4. Kabupaten Kulon Progo

Wilayah Kabupaten Kulon Progo dilayani oleh badan penerima


air utama (sungai) dalam sistem DAS Sungai Progo dan DAS Sungai
Serang. Kabupaten Kulon Progo memiliki topografi yang bervariasi
dengan ketinggian antara 0 - 1000 meter di atas permukaan air laut,
yang terbagi menjadi 3 wilayah meliputi :

a. Bagian Utara
Merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan
ketinggian antara 500 – 1000 meter di atas permukaan air laut,
meliputi Kecamatan Girimulyo, Kokap, Kalibawang dan
Samigaluh. Wilayah ini penggunaan tanah diperuntukkan sebagai
kawasan budidaya konservasi dan merupakan kawasan rawan
bencana tanah longsor.
b. Bagian Tengah
Merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 –
500 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan
Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah, wilayah
dengan lereng antara 2 – 15%, tergolong berombak dan
bergelombang merupakan peralihan dataran rendah dan
perbukitan.
c. Bagian Selatan
Merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 – 100 meter di
atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Temon, Wates,

9 - 18
Panjatan, Galur, dan sebagian Lendah. Berdasarkan kemiringan
lahan, memiliki lereng 0 – 2%, merupakan wilayah pantai
sepanjang 24,9 km, apabila musim penghujan merupakan
kawasan rawan bencana banjir.

Gambar 9 - 5 : Sistem Drainase Utama (Sungai) di Kabupaten Kulon Progo

Keberadaan Waduk Sermo di Kecamatan Kokap dapat juga


berfungsi sebagai badan penerima air yang dapat membantu
menampung limpasan air permukaan, dan sekaligus mengurangi
besarnya debit pada sungai – sungai dibagian hilirnya.

9 - 19
5. Kabupaten Gunung Kidul

Wilayah kabupaten Gunung Kidul dilayani oleh sistem


pembuang utama Sungai Progo. Dari kondisi topografi wilayah yang
berbukit dan kemiringan lahan yang sangat besar, maka masalah
drainase wilayah bukan menjadi masalah utama. Berbeda dengan
kawasan kabupaten Bantul dan kawasan lain di DIY yang ingin
membuang linpasan air hujan secepatnya, untuk kawasan Gunung
Kidul justru berusaha mempertahankan limpasan air hujan dengan
memperbanyak tampungan – tampungan atau tandon. Dimana air ini
akan dapat dimanfaatkan pada musim kemarau.

9.2.1.2 Drainase Mikro

Disamping sungai – sungai tersebut di atas, terdapat juga saluran –


saluran pembuang dari pusat – pusat daerah tangkapan di dalam kota atau
wilayah permukiman ke sungai dan atau anak sungai yang dikategorikan
sebagai saluran sekunder atau primer.

Drainase mikro berupa saluran – saluran pembuang dari suatu kawasan,


dimana sistem yang ada masih menjadi satu antara pembuangan air hujan
dengan limbah rumah tangga. Pada umumnya saluran drainase yang ada
mengikuti alur jalan yang ada dan belum terbagi menurut hirarki sistem
aliran maupun sistem blok pelayanan.

Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan saluran
buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran pasangan/beton
maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang ada sebagian besar
menjadi satu dengan saluran drainase jalan.

Hasil pengamatan lapangan terhadap saluran eksisting yang ada di setiap


kabupaten/kota adalah sebagai berikut :

9 - 20
• Genangan yang terjadi kebanyakan disebabkan oleh kapasitas saluran
kurang, dan kurangnya tali air, terutama disepanjang saluran yang
ada di sisi jalan;
• Selain itu juga disebabkan oleh kurangnya perawatan, sehingga
banyak gorong – gorong dan tali air yang tersumbat.
• Sistem saluran yang ada belum ter-integrasi secara baik, terutama
dalam rumusan kapasitas saluran terhadap area yang dilayani,
sehingga ada saluran yang melayani area terlalu luas.
• Masalah kemiringan dasar saluran juga memerlukan penanganan.
Perubahan kemiringan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya
sedimentasi.
• Kerusakan – kerusakan pada saluran dan gorong – gorong juga menjadi
salah satu penyebab yang menimbulkan genangan.
• Sedimentasi dan timbunan sampah merupakan masalah yang ditemui
di lapangan.
• Inlet saluran tidak berfungsi dengan baik, sehingga limpasan air
permukaan tidak dapat masuk dengan lancar ke saluran yang ada.
• Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga dan
merawat kebersihan saluran.

Ringkasan jumlah panjang saluran drainase eksisting disajikan pada Tabel


9.1. Dan Gambar 9 – 6 yang menunjukkan perbandingan panjang saluran
dalam km dengan luas wilayah dalam km2.
Tabel 9.1 : Panjang Saluran Eksisting dan Luas Wilayah

PANJANG SAL.
LUAS WILAYAH
NO KABUPATEN/KOTA EKSISTING KET.

(KM) (KM2)
1 KAB. SLEMAN 298.47 574.82
2 KOTA YOGYAKARTA 250.96 32.50
3 KAB. BANTUL 236.92 506.85
4 KAB. KULON PROGO* 586.27
5 KAB. GUNUNG KIDUL 34.84 1,485.36
KETERANGAN :
Data untuk Kabupaten Kulon Progo tidak tersedia dan untuk Kabupaten Gunung Kidul data
tercatat di atas adalah khusus untuk Kota Wonosari

9 - 21
1,485.36
1,600.00

1,400.00

1,200.00

1,000.00

586.27
574.82

800.00

506.85
600.00
298.47

250.96

236.92
400.00

34.84
32.50
200.00

0.00
0.00
KAB. SLEMAN KOTA KAB. BANTUL KAB. KULON KAB. GUNUNG
YOGYAKARTA PROGO* KIDUL

PANJ. SAL. EKSISTING (KM) LUAS WILAYAH (KM2)

Gambar 9 - 6 : Perbandingan Panjang Saluran Eksisting dengan Luas Wilayah

Penjelasan lebih rinci menyangkut profil drainase mikro di wilayah studi


adalah seperti uraian berikut.

A. Kabupaten Sleman

Dari data yang ada pada Sistem Informasi Basis Data Drainase
(SIBD) – Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) – Departemen
Pekerjaan Umum panjang drainase mikro di wilayah Kabupaten
Sleman sepanjang ± 298,47 km, yang terdiri dari saluran primer
sepanjang ± 156,21 km dan saluran sekunder ± 142,26 km. Type
konstruksi saluran yang ada berupa saluran pasangan batu (terbuka
dan tertutup) serta saluran yang masih berupa galian tanah. Dimensi
saluran yang ada lebar bawah antara 35 – 120 cm, lebar atas antara
40 – 150 cm, serta kedalaman (H) antara 60 – 150 cm. Gambaran
selengkapnya mengenai jaringan drainase yang ada di Kabupaten
Sleman dapat dilihat pada Gambar 9 - 7 dan Lampiran 1.

9 - 22
Dengan luas wilayah Kabupaten Sleman ± 574,82 km2 , maka nilai
aksesibilitas wilayah terhadap system drainase mikro ± 0,52 km/km 2.
Angka ini masih di bawah angka ideal yang besarnya sekitar 1,5 – 2,5
km/km2 untuk kawasan rural. Secara umum dapat kita katakan bahwa
Kabupaten Sleman masih membutuhkan penambahan saluran drainase
mikro sepanjang ± 500 – 800 km, baik yang berupa sistem tersier,
sekunder maupun primer.

Drainase mikro berupa saluran – saluran pembuang dari suatu


kawasan, dimana sistem yang ada masih menjadi satu antara
pembuangan air hujan dengan limbah rumah tangga. Pada umumnya
saluran drainase yang ada mengikuti alur jalan yang ada dan belum
terbagi menurut hirarki sistem aliran maupun sistem blok pelayanan.

Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan
saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran
pasangan/beton maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang
ada sebagian besar menjadi satu dengan saluran drainase jalan.

9 - 23
Gambar 9 - 7 : Jaringan Drainase Eksisting di Kabupaten Sleman

B. Kota Yogyakarta

Dari berbagai sumber data seperti ; data yang ada pada Sistem
Informasi Basis Data Drainase (SIBD) – Direktorat Jenderal Cipta Karya
(DJCK) – Departemen Pekerjaan Umum, data dari Dinas Kimpraswil
Kota Yogyakarta dan ditambah dengan data realisasi pelaksanaan
komponen drainase untuk program NUSSP tahun 2005 dan 2006, total
panjang drainase mikro di wilayah Kota Yogyakarta sepanjang ±
250.96 km, yang terdiri dari saluran primer sepanjang ± 56.56 km dan
saluran sekunder ± 194,40 km. Type konstruksi saluran yang ada
berupa saluran terbuka (38,55%), saluran tertutup(60,08%) dan

9 - 24
sisanya berupa gorong – gorong (1,37%). Dimensi saluran yang ada
lebar bawah antara 40 – 120 cm, lebar atas antara 40 – 200 cm, serta
kedalaman (H) antara 60 – 200 cm. Gambaran selengkapnya mengenai
jaringan drainase yang ada di Kota Yogyakarta dapat dilihat pada
Gambar 9 - 8 dan Lampiran 2.

Gambar 9 - 8 : Jaringan Drainase Eksisting di Kota Yogyakarta

Kondisi saluran yang ada 47,17 km (19 %) rusak dan sisanya 203.79 km
(81 %) baik. Dengan luas wilayah Kota Yogyakarta ± 32,50 km2 , maka
nilai aksesibilitas wilayah terhadap system drainase mikro ± 7,72
km/km2. Angka ini sudah di atas angka ideal yang besarnya sekitar 1,5
– 2,5 km/km2 untuk kawasan rural tetapi masih di bawah angka ideal
untuk kawasan urban yaitu : 10 – 15 km/km 2. Dengan demikian
berdasarkan kondisi permasalahan yang ada masih diperlukan

9 - 25
pembangunan saluran drainase baru dan perbaikan sistem yang ada
untuk mengatasi permasalahan – permasalahan yang terjadi.

Pembuatan Sumur Peresapan Air Hujan (SPAH) sudah menjadi bagian


dari sistem makro. Dari data yang ada terjadi peningkatan yang cukup
signifikan terhadap pembuatan sumur peresapan. Pada tahun 2005
dan 2006 melalui program Neighborhood Upgrading and Shelter Sector
Project (NUSSP) telah dibangun ± 700 unit SPAH. Namun sayangnya
pembuatan SPAH tersebut masih sepenuhnya merupakan investasi
Pemkot Kota Yogyakarta dan belum atau sedikit sekali yang dibangun
secara swadaya atau atas inisiatif masyarakat sendiri.

Drainase mikro berupa saluran – saluran pembuang dari suatu


kawasan, dimana sistem yang ada masih menjadi satu antara
pembuangan air hujan dengan limbah rumah tangga. Pada umumnya
saluran drainase yang ada mengikuti alur jalan yang ada dan belum
terbagi menurut hirarki sistem aliran maupun sistem blok pelayanan.

Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan
saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran
pasangan/beton maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang
ada sebagian besar menjadi satu dengan saluran drainase jalan.

Sebagai suatu kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tata
guna lahan yang didominasi oleh kawasan tertutup, serta aktifitas
perdagangan yang sangat dinamis, maka Kota Yogyakarta menghadapi
permasalahan yang cukup spesifik menyangkut kesadaran masyarakat
untuk ikut menjaga kebersihan saluran drainase yang ada, dan juga
diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam pembuatan sumur peresapan.

9 - 26
C. Kabupaten Bantul

Dari data yang ada pada Sistem Informasi Basis Data Drainase
(SIBD) – Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) – Departemen
Pekerjaan Umum panjang drainase mikro di wilayah Kabupaten Bantul
sepanjang ± 236,92 km, yang terdiri dari saluran primer sepanjang ±
87,25 km dan saluran sekunder ± 139,67 km. Type konstruksi saluran
yang ada berupa saluran pasangan batu (terbuka dan tertutup),
saluran beton serta saluran yang masih berupa galian tanah. Dimensi
saluran yang ada lebar bawah antara 35 – 120 cm, lebar atas antara
40 – 150 cm, serta kedalaman (H) antara 60 – 150 cm. Gambaran
selengkapnya mengenai jaringan drainase yang ada di Kabupaten
Bantul dapat dilihat pada Gambar 9 - 9 dan Lampiran 3.

Drainase mikro berupa saluran – saluran pembuang dari suatu


kawasan, dimana sistem yang ada masih menjadi satu antara
pembuangan air hujan dengan limbah rumah tangga. Pada umumnya
saluran drainase yang ada mengikuti alur jalan yang ada dan belum
terbagi menurut hirarki sistem aliran maupun sistem blok pelayanan.

Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan
saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran
pasangan/beton maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang
ada sebagian besar menjadi satu dengan saluran drainase jalan.

9 - 27
Gambar 9 - 9 : Jaringan Drainase Eksisting di Kabupaten Bantul

Dengan luas wilayah Kabupaten Bantul ± 506,85 km2 , maka nilai


aksesibilitas wilayah terhadap system drainase mikro ± 0,47 km/km2.
Angka ini masih di bawah angka ideal yang besarnya sekitar 1,5 – 2,5
km/km2 untuk kawasan rural. Secara umum dapat kita katakan bahwa
Kabupaten Bantul masih membutuhkan penambahan saluran drainase
mikro sepanjang ± 500 – 800 km.

D. Kabupaten Kulon Progo

Data eksisting drainase di Kabupaten Kulon progo masih sangat


terbatas. Sampai saat ini data yang didapat baru bersumber dari data
yang ada pada Sistem Informasi Basis Data Drainase (SIBD) –
Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) – Departemen Pekerjaan
Umum. Dimana dari data tersebut panjang drainase mikro di wilayah
Kabupaten Kulon Progo sepanjang ± 3,68 km, yang terdiri dari
saluran primer sepanjang ± 1,99 km dan saluran sekunder ± 1.69 km.

9 - 28
Type konstruksi saluran yang ada berupa saluran pasangan batu.
Dimensi saluran yang ada lebar bawah antara 35 – 120 cm, lebar atas
antara 40 – 250 cm, serta kedalaman (H) antara 40 – 600 cm.
Gambaran selengkapnya mengenai jaringan drainase yang ada di
Kabupaten Bantul dapat dilihat pada Gambar 9 - 10 dan Lampiran 4.

Gambar 9 - 10 : Jaringan Drainase Eksisting di Kabupaten Kulon Progo

Sistem drainase masih terpusat di Wates. Jaringan drainase yang ada


terdiri atas saluran-saluran alami dan buatan, baik yang masih
terbuka maupun tertutup, baik yang belum diberi pasangan maupun
yang sudah terbuat dari pasangan batu/beton. Selain itu, masih
banyak saluran irigasi yang dimanfaatkan juga sebagai pembuangan
air hujan. Hal ini mengakibatkan timbulnya pencemaran bagi air
irigasi sehingga mengurangi kualitas air irigasi yang ada. Selain itu,
banyak masyarakat yang membuang sampah dan limbah rumah tangga

9 - 29
dalam saluran drainase, sehingga kotoran yang dibawa aliran air
saluran akan menumpuk pada saluran yang lebih rendah dan
menjadikan sedimentasi sampah sepanjang saluran.

Inventarisasi draenase dari tahun 2003 – 2005, antara lain :


• Tahun 2003 terdiri dari : draenase Gawok, Jati Saroho, Panjatan,
Hargorejo, hargomulyo, dan ngargosari. Kondisi draenase sampai
saat ini masih baik.
• Tahun 2004 terdiri dari : Kali kopot, kali
Nagung,Dlumboh,Karangsari, Triharjo, Sidoharjo. Kondisi draenase
pada umumnya masih baik ada beberapa yang kondisinya rusak
ringan yaitu pada draenase Dlumboh dan Triharjo.
• Tahun 2005 dibangun draenase Girimulyo kondisi baik.

Saluran drainase yang ada mempunyai tingkat pelayanan yang rendah


inlet saluran drainase seringtersumbat pasir/tanah dan sampah,
mulut gorong-gorong tersumbat, pembangunan saluran air hujan
masih dilaksanakan sepotong-sepotong dan belum memperhatikan
daerah pengalirannya secara menyeluruh (total catchment area).

Dibeberapa tempat masih terjadi penyalahgunaan fungsi drainase


sebagai buangan air limbah. Yang lebih memprihatinkan, saluran
drainase sering disalahgunakan juga sebagai tempat pembuangan
sampah, baik dilakukan oleh penyapu jalan maupun masyarakat.

Dengan luas wilayah Kabupaten Kulon Progo ± 586,27 km2 , maka nilai
aksesibilitas wilayah terhadap system drainase mikro sangat kecil dan
jauh dari angka ideal. Secara jelas dapat dikatakan bahwa Kabupaten
Kulon Progo masih memerlukan pembangunan jaringan drainase mikro
yang sangat besar.

9 - 30
E. Kabupaten Gunung Kidul

Data eksisting drainase di Kabupaten Gunung Kidul masih


sangat terbatas. Sampai saat ini data yang didapat baru bersumber
dari data yang ada pada Sistem Informasi Basis Data Drainase (SIBD) –
Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) – Departemen Pekerjaan
Umum, dan terbatas hanya untuk wilayah Kota Wonosari. Dari data
tersebut panjang drainase mikro di wilayah Kabupaten Gunung Kidul
sepanjang ± 34,84 km, yang terdiri dari saluran primer sepanjang ±
21,92 km dan saluran sekunder ± 12,92 km. Type konstruksi saluran
yang ada berupa saluran pasangan batu. Dimensi saluran yang ada
lebar bawah antara 30 – 40 cm, lebar atas antara 40 – 60 cm, serta
kedalaman (H) sekitar 50 cm. Gambaran selengkapnya mengenai
jaringan drainase yang ada di Kabupaten Bantul dapat dilihat pada
Gambar 9 - 11 dan Lampiran 5.

Sistem drainase di Kota Wonosari khususnya maupun di Kabupaten


Gunung Kidul secara umum sangat diuntungkan dengan keberadaan
sungai dan anak sungai yang membelah Kota Wonosari, khususnya
kemudahan dalam arah aliran pembuangan air hujan ke badan
penerima air utama. Limpasan air hujan berasal dari lingkungan
permukiman maupun daerah terbangun lain, menuju saluran drainase
yang ada untuk kemudian dibuang ke sungai. Masih banyak lahan yang
belum terbangun juga merupakan suatu hal yang menguntungkan,
karena lahan terbuka tersebut dapat berfungsi sebagai kawasan
resapan.

Drainase mikro berupa saluran – saluran pembuang dari suatu


kawasan, dimana sistem yang ada masih menjadi satu antara
pembuangan air hujan dengan limbah rumah tangga. Pada umumnya
saluran drainase yang ada mengikuti alur jalan yang ada dan belum
terbagi menurut hirarki sistem aliran maupun sistem blok pelayanan.
Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan

9 - 31
saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran
pasangan/beton maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang
ada sebagian besar menjadi satu dengan saluran drainase jalan.

Gambar 9 - 11 : Jaringan Drainase Eksisting di Kabupaten Gunung Kidul

Dengan luas wilayah Kabupaten Gunung Kidul yang cukup besar


dan melihat angka aksesibilitas wilayah terhadap system drainase
mikro sangat kecil dan jauh dari angka ideal. Secara jelas dapat
dikatakan bahwa Kabupaten Gunung Kidul masih memerlukan
pembangunan jaringan drainase mikro yang sangat besar. Namun
karena topografi wilayah berupa daerah perbukitan sehingga
permasalahan drainase bukan merupakan prioritas utama, maka
tinjauan lebih jauh menyangkut kebutuhan penanganan drainase di
Kabupaten Gunung Kidul, dapat di fokuskan kepada wilayah Kota
Wonosari dan kawasan – kawasan permukiman padat lainnya.

9 - 32
9.2.2 Kelembagaan
Institusi yang bertanggung jawab pada sektor drainase adalah Sub
Seksi Penyehatan Lingkungan pada Seksi Cipta Karya di Dinas Kimpraswil
Kabupaten/Kota. Sub seksi ini mempunyai tugas melaksanakan perencanaan,
pengawasan, pengendalian, penyuluhan, bantuan teknik, pelaksanaan
pengelolaan kegiatan pembangunan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sarana
dan prasarana di bidang teknik penyehatan yang meliputi aspek – aspek air
buangan, kebersihan dan pertamanan.

Dalam kegiatan operasional di lapangan, sebagian tugas dan


tanggung-jawab seksi penyehatan lingkungan memperoleh dukungan dari
institusi lain dalam lingkup Pemprov DIY maupun pemda setempat, dan seksi
lain dalam lingkup Dinas Kimpraswil Kabupaten/Kota setempat. Tabel 9.2
menunjukkan peranan sektor lain pendukung sektor drainase.

Tabel 9.2 : Instansi Pendukung Sektor Drainase

INSTANSI PENDUKUNG PERANAN


• Seksi Bina Marga Dinas Kimpraswil • Pembangunan dan pemeliharaan
Kabupaten/Kota saluran drainase jalan raya.
• P3P Kanwil PU DIY • Perencanaan pembangunan saluran
drainase primer.
• Proyek KIP • Perencanaan, pembangunan operasi
dan pemeliharaan saluran drainase
untuk lingkungan permukiman
• BPDP • Perencanaan dan pembangunan
saluran drainase primer dan
sekunder.
• Swasta (Developer) dan Masyarakat • Pembangunan dan operasi
pemeliharaan saluran pada
lingkungan permukiman

9.2.3 Sumber Pembiayaan

9 - 33
Sumber pendanaan pembangunan sub bidang drainase berasal dari
APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi dan APBN. Khusus untuk Kota
Yogyakarta pada Tahun 2005 s/d 2007 mendapat Loan ADB No. 2072 – INO
melalui Program Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP)
dengan porsi 90 % (ADB) dan 10 % (APBD). Dana loan ini merupakan pinjaman
Pemerintah Pusat yang dihibahkan ke Pemerintah Kota Yogyakarta.

9.3 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

9.3.1 Umum
Pada prinsipnya ini merupakan bagian awal dari proses pendefinisian
masalah yang menjadi bagian awal dari proses perencanaan system secara
keseluruhan. Indikasi permasalahan merupakan hasil analisis detail
berdasarkan data – data hasil survai. Karena terbatasnya data – data
drainase yang bersifat data teknis detail, maka Inventarisasi permasalahan
sebagai hasil analisis pada tahap ini lebih merupakan permasalahan yang
bersifat umum atas dasar masukan dari berbagai sumber. Meskipun demikian
konsultan tetap berupaya melakukan pendalaman melalui analisis – analisis
yang relevan sehingga didapatkan gambaran permasalahan yang sebenarnya.

Meskipun demikian gambaran permasalahan yang dilaporkan dalam


laporan ini tetap penting, sebab dari pelaksanaan diskusi dengan berbagai
pihak yang terkait, konsultan mendapatkan masukan – masukan penting
terkait dengan kegiatan perumusan masalah dimaksud dalam konteks
perencanaan system. Dengan masukan tersebut konsultan dapat melakukan
penyaringan informasi, sehingga didapat informasi – informasi yang valid
untuk ditindak-lanjuti melalui proses analisis.

Indikasi permasalahan menyangkut isu – isu penting yang terkait


dengan Program Investasi Jangka Menengah untuk komponen drainase di
wilayah studi, yaitu meliputi permasalahan genangan, kebijakan
pembangunan antar kawasan, koordinasi pengawasan pembangunan dan
kondisi eksisting system drainase.

9 - 34
9.3.2 Genangan
Genangan dengan parameter luas genangan, tinggi genangan, dan
lamanya genangan merupakan permasalahan utama yang menjadi fokus
perhatian studi. Terjadinya genangan pada beberapa lokasi di wilayah studi
secara pasti akan menimbulkan permasalahan berkelanjutan pada system
interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan aspek interkasi masyarakat lainnya.

Dari hasil inventarisasi terdapat 89 lokasi genangan di Kota


Yogyakarta, 5 Lokasi di Kabupaten Kulon Progo, 4 Lokasi di Kabupaten
bantul, 2 Lokasi di Kabupaten Sleman, dan 8 lokasi di Kabupaten Gunung
Kidul. Data selengkapnya mengenai lokasi, parameter genangan, dampak,
dan masalah atau penyebabnya dapat dilihat pada Tabel 9.3 serta Gambar 9
– 12, dan 9 – 13.

TABEL 9.3 : LOKASI GENANGAN DI WILAYAH DIY


LAMA TINGGI
LUAS
NO LOKASI GENANG GENA PENYEBAB KET.
(ha)
AN NGAN
I KOTA YOGYAKARTA
Sambirejo RT 5 dan 6 Belum ada talud Sungai
1 0.88 6 jam 1 cm
RW 1 Gajah Wong
Belum ada talud Sungai
2 Sambirejo 0.62
Gajah Wong
Nyi Pembayun (Utara Belum ada SAH pada
3 5.51
HS) posisi barat
SAH tidak mampu
4 Jl. Mondorokan 3.05
menampung
SAH tidak mampu
5 Jl. Kemasan 2.63
menampung
Lingkungan
6 Brontokusuman RT 14, 1.83 45 menit 35 cm SAH terlalu sempit
15, 16 RW 05
Jl. Sisingamangaraja RT 1-2
7 3.44 20 cm Tersumbatnya saluran
51 RW 14, RT 60 RW 16 jam
Grill tersumbat sampah
Lingkungan Karangkajen 1 - 2.5
8 4.66 30 cm dan kemiringan tanah
RT 57 RW 15 jam
kurang
Jl. Jend. Sudirman, SAH tidak mampu
9 0.76 30 menit 20 cm
Utara Bethesda menampung
Jl. Kahar Muzakar 20 - 30 SAH tidak mampu
10 1.61 30 menit
(Jualan Buku) cm menampung

9 - 35
Sepanjang Kali Belik RW Sungai tidak mampu
11 2.30 1 Jam
X, RW XV menampung
Pertigaan SD Giwangan Tersumbatnya Saluran Air
12 1.39 5 jam 10 cm
RT 11 RW IV Irigasi
SAH tidak dapat
Jl. Tegalturi, Depan
13 1.27 6 jam 10 cm menampung dan
Pamel 5
tersumbatnya saluran
Malangan RT 37, RW 13
SAH tidak mampu
14 Depan SD Mendungan I 0.34 2 jam 25 cm
menampung
dan II
RW XIV, Perempatan
Selama SAH tidak mampu
15 Wirosaban ke Timur Jl. 1.20 30 cm
Hujan menampung
Sorogenen
SAH tidak mampu
16 Jl. Mantrigawen Lor 0.56 2 jam 20 cm
menampung
Gang Suryometaraman
17 0.35 2 jam 7 cm Rendahnya Posisi gang
RT 53, RW 14
Jl. Sawojajar, RT 53,
18 0.44 7 jam 20 cm Kurang berfungsinya SAH
RW 14
RT 03, RW 01 Barat
Saluran air tidak
19 jalan Golo sekitar balai 0.67 2 jam 25 cm
berfungsi
RW
Jl. Kebun Raya
Belum ada selokan di
20 Gembiroloka RT 19, 20 4.75 1 Jam 10 cm
timur jalan
RW 6
Dasar selokan pada posisi
Kendalisodo RW 13
21 0.77 1 Jam 20 cm barat jalan sama dengan
Pilahan
utara jalan
Adanya sampah yang
22 Jl. Andong depan SMKK 1.83 2 jam 25 cm
menyumbat

23 RW 1, 2, 3, 4 Jl. Kusbini 1.23 Luapan Sungai Belik

Jl. Batikan RT 31, gang 1-2 Aspal tidak rata


24 0.66 7 cm
masuk Sentulrejo hari bergelombang

25 RT 03, RW 01 2.13 30 menit 10 cm SAH tersumbat sampah

Selama
26 RT 38, RW 8 0.84 20 cm Luapan Kali Belik
Hujan
Selama Luapan saluran irigasi,
27 Sepanjang jalan Batikan 1.47 10 cm
Hujan saluran terlalu dangkal
Selama Tersumbatnya saluran air
28 RT 46, RW XI 0.87 5 cm
Hujan di Tuntungan
Selokan kurang besar,
RT 22, RW V Jl. Patehan 30 - 40
29 1.31 2 jam usuk pembuatan selokan
Kidul - Patehan Wetan cm
pada sisi selatan jalan
Kemandungan RT 9 RW
30 1.35 10 jam 10 cm Selokan tidak berfungsi
II
2-3 20 - 50
31 RT 39. 40 RW X 0.66
jam cm
SAH tidak mampu
32 Jl. Ngasem 1.02 45 menit 30 cm
menampung
Selama
33 Jl. Kusbini RW XII 2.02 30 cm SAH lebih tinggi dari jalan
Hujan
34 RT 29, 30, 33 RW IX 2.81 3-4 25 - 30 Wilayah rendah, saluran
jam cm mengecil, buangan dari

9 - 36
Jl. Munggur, Bimokurdo

Halaman Camat Air tidak dapat keluar


35 0.43 10 cm
Umbulharjo karena air relatif rendah
Tidak dapat mengalir ke
Selama
36 Pertigaan Jalan Veteran 0.78 15 cm timur karena lebih
Hujan
rendah dari jalan.
Jl. Warungboto Selama
37 0.86 10 cm Belum ada SAH
Kampung Hujan
Selama SAH tidak mampu
38 Jl. Glagahsari 1.86 20 cm
Hujan menampung
Kampung
39 Purwodiningratan RT 0.90 30 menit 30 cm Pendangkalan SAH
46, RW IX
SAH rusak sehingga air
40 RW XII, Jl. Poncowolo 1.74
meluap
RW XII, Jl.
41 1.72 SAH rusak
Poncowinatan
RT 05 RW 1 dan RT 17 Berjam- SAH tidak mampu
42 1.13 25 cm
RW IV jam menampung
RT 05 RW 1 dan RT 17 Berjam- SAH tidak dapat
43 1.13 25 cm
RW IV jam menampung
Berjam- SAH tidak mampu
44 RT 06, RW 11 0.51 10 cm
jam menampung
Berjam- SAH tidak dapat
45 RT 06 RW II 0.51 10 cm
jam menampung
RW 19 (Depan
30 menit SAH tidak mampu
46 Kelurahan Kricak) dan 0.50 15 cm
- 1 jam menampung, tersumbat
RW 5 RT 23
Bangirejo Depan Hotel
47 0.71 SAH Tersebut
Trimargo Kulon
Selama Luapan air akibat SAH
48 RW 14 Belakang Kobuta 0.64
Hujan tidak mampu menampung
Depan Pasar
Selama SAH tidak mampu
49 Karangwaru Lor RW 13 1.42 10 cm
Hujan menampung
RT 47
10 - 150
50 Jl. Mas. Suharto 0.71 20 cm Lubang SAH tersebut
menit
SAH tidak mampu
RW II, RW III menampung, perlu
51 3.18
Madubronto dibuatkan gorong-gorong
di bawah jala
Daerah cekung, perlu
52 RW 11, RT 8, 9, 11, 12 3.08 1 hari 10 cm
sumur peresapan
Daerah cekung perlu
53 RW II, RT 8, 9, 11, 12 3.08 1 hari 10 cm
sumur
Waktu SAH tidak mampu
54 Jl. Jayeng Prawiran 9.51 20 cm
Hujan menampung
SAH tidak dapat
RT 37, 38 RW 8, Jl. Waktu
55 0.69 10 cm menampung karena
Purwanggan Banjir
tersumbat
Waktu SAH tidak mampu
56 RT 32 - 34, RW 7 1.14 10 cm
Hujan menampung
Waktu SAH tidak mampu
57 RW III, Jl. Beji 1.21 20 cm
Hujan menampung

9 - 37
SAH tidak lancar,
58 RW XI RT 48 1.23 2 jam 2 jam
tersumbat
Halaman Kantor 1.5 Halaman rendah perlu
59 1.54 1.5 jam
Kecamatan jam sumur peresapan
25 - 30 Pembuangan air hujan
60 RW 1,2,13,15 1.33 15 cm
menit kurang lancar
Selama SAH tidak mampu
61 RT 89, 90, 91, RW 25 2.47
Hujan menampung

62 Jl. Beskalan 0.73 10 cm Pengaspalan tidak rata

2-3 23 - 30
63 RT 10 RW 03 1.34 Meluapnya kali Belik
jam cm
Saluran air yang akan
1-2 20 - 30
64 RT 26 RW 6 0.00 menuju Jl. Sultan agung
jam cm
tersumbat/ tertutup kios
RT 20, RW VII Jl. Kyai 1-2 10 - 15 SAH tidak mampu
65 7.60
Mojo Jembatan Winong jam cm menampung
Jl. Pakuncen (Batas RW 3-4 Lubang buangan air
66 1.24 40 cm
02, dan RW 04) jam kurang besar
Jl. Wiratama Bts
Luapan air dari Kelurahan
67 Kelurahan Pakuncen 3.85 2 jam 50 cm
Tegalrejo
dan Kel. Tegal Mulyo
68 RT 45, RW XV Jl. Dagen 0.00 1 Jam 30 cm Kurang SPAH

69 RT 12, RW IV 0.62 1 Jam 30 cm Kurang SPAH


Jl. Kampung yang di
25 - 30 10 - 25 Peresapan Kurang karena
70 Conblok dan diberi 0.44
menit cm diconblok
polisi tidur
RW 11, RT 16, 17 Selama Luapan dari Tegalrejo
71 1.92
Pakuncen Luapan SAH

72 RE VI RT 3 3.18 1 jam 10 cm

73 RT 9, RW III Gendingan 0.00 20 menit 50 cm Belum ada SAH

74 RT 9 RW III Gendingan 0.00 30 menit 50 cm Belum ada SAH

RT 33, 36 RW VII Pembuatan Saluran


75 0.41 1 Jam 25 cm
Pakuncen Proyek
Selama Tanah Rendah Karena
76 RT 16 RW IV 0.00 25 cm
Hujan Bekas Galian
RT 23, RW VII Jl. Kyai 1 - 1.5 10 - 15 SAH tidak mampu
77 0.00
Mojo jam cm menampung
1 - 1.5 10 - 15 SAH tidak mampu
78 RT 12, RW VII 0.68
jam cm menampung
Air dari makam Pakuncen
79 RT 21, RW 05 1.41 2 jam 30 cm tidak dapat ditampung
SAH yang ada
SAH tidak mampu
80 Perum Sendok Indah 3.09
menampung
Selama SAH tidak mampu
81 RW V, RT 19, 20, 21 0.00
Hujan menampung

82 RT 09, RW 01 Pertigaan 1.88 Luapan Sungai Belik

9 - 38
SAH tidak mampu
83 Jl. Prof. Yohanes 2.05 15 menit 20 cm
menampung
Jl. Jend. Sudirman - SAH tidak mampu
84 0.00 20 cm
Jembatan Gondolayu menampung
30 SAH tidak mampu
85 Jl. Kartini Selatan 0.00 30 menit
menit menampung
30 - 40 SAH tidak mampu
86 Jl. Cik Ditiro 0.00 30 menit
cm menampung
Jl. Sarjito Timur SAH tidak mampu
87 19.03 15 menit 30 cm
Jembatan menampung
RW 01, RT 01 Kel.
88 0.00 10 cm Pengaspalan kurang rata
Ngupasan

89 Jl. Minggiran 0.00 30 menit 20 cm SAH bagian Timur rusak

II KABUPATEN KULON PROGO


Luapan sungai Carik,
Pengilon, Banjaran,
1 Pantai Glagah 2,660.92 - -
Dengen, Pening, Serang
dan Peni.
Sebelah barat laut
2 294.99 - - Luapan Sungai Pening
bendungan wates
Luapan Sungai Perang dan
3 Pengasih 338.91 - -
Sungai Ngrancah

4 Galur 312.03 - - Luapan Sungai Galur

5 Muara Progo 422.67 - - Luapan Sungai Progo


Kota Wates (Pengasih,
Kapasitas system yang
Margosari, Wates,
6 ada kurang memadai dan
Giripeni, Bendungan
kerusakan saluran.
dan Kec. Panjatan)
III KABUPATEN SLEMAN
Gangguan terhadap fungsi
Komplek UNY drainase karena sampah,
1 - - -
(Jl. Colombo) dan area pelayanannya
terlalu besar.
Kapasitas drainase kurang
Depan Ambarukmo
2 - - - dan ada penyumbatan
(Jl. Solo)
gorong - gorong.
IV KABUPATEN BANTUL

1 Muara Progo 208.00 - - Luapan Sungai Progo

2 Lendah 147.57 - - Luapan Sungai Progo

Sebelah utara bendung


3 574.05 - - Luapan Sungai Papah
sapon
Luapan Sungai Opak dan
Kretek, Pundong, Sungai Celeng.
4 4,224.50 - -
Imogiri, Kedungmiri

V KABUPATEN GUNUNG KIDUL

9 - 39
Luapan Sungai Kepek
karena kapasitas sungai
1 Kawasan PLN kecil, saluran dan
gorong2 di lingkungan
PLN tersumbat
Luapan akibat
Kawasan Sungai Besole
2 pendangkalan Sungai
(Baleharjo)
besole
Dimensi saluran kurang,
dan elevasi permukiman
3 Dusun Gadungsari
lebih rendah dari elevasi
dasar saluran drainase
4 Jl. Surmawi (Wonosari) Daerah ledokan/cekungan
Luapan dari saluran
drainase akibat kurang
5 Jl. Satria (Wonosari)
pemeliharaan/banyak
sedimen
6 Jl. Veteran (Wonosari) Daerah ledokan/cekungan
Posisi inlet terlalu tinggi,
Jl. Sugiyopranoto sehingga air permukaan
7
(Baleharjo) tidak bisa masuk ke
saluran
Dimensi gorong2 kurang
8 Jl. Kol. Sugiyono
besar
Sumber : Sistem Informasi Basis Data Drainase dan Peta Banjir DIY & Laporan Akhir YUIMS

9 - 40
Gambar 9 - 12 : Lokasi Genangan di Kota Yogyakarta

9 - 41
Gambar 9 - 13 : Lokasi Genangan di Kab. Kulon Progo dan Kab. Bantul

Dari hasil inventarisasi serta informasi dari berbagai sumber, penyebab


terjadinya genangan tersebut antara lain adalah :

 Luapan dari beberapa sungai yang disebabkan oleh :


 Kapasitas sungai yang ada tidak mampu menampung debit banjir
yang terjadi;
 Pada beberapa lokasi penampang hidrolis yang ada tidak memadai
atau tidak dapat menampung debit banjir yang ada;
 Pada beberapa lokasi penampang hidrolis sungai berkurang akibat
dari terjadinya sedimentasi dan penyempitan penampang sungai.
 Akibat kerusakan tanggul sungai dan bocoran – bocoran yang tidak
segera diatasi, sehingga semakin membesar tingkat kerusakan,
 Elevasi dari beberapa area berada di bawah elevasi muka air air banjir
sungai, bahkan beberapa lokasi elevasinya berada di bawah muka air
normal sungai. Dengan kondisi tersebut debit limpasan tidak bisa segera

9 - 42
dibuang ke sungai, dan jika terjadi kebocoran pada tanggul sungai dapat
menyebabkan genangan pada areal yang sangat luas.
 Sistem pembuang yang ada belum dibagi menurut system pembagian
block plan yang ideal, sehingga ada sungai yang melayani area terlalu
besar, dan akibatnya kapasitas sungai tidak mampun menampung debit
yang terjadi.
 Luapan dari system pembuang yang ada sebagai akibat pendangkalan,
penyempitan dan penyumbatan oleh sampah;
 Luapan akibat gorong – gorong, sypon, dan pintu pengatur tersumbat
atau tidak berfungsi;
 Inlet saluran tidak tepat posisinya, terlalu tinggi dan sering tersumbat
oleh pasir/tanah dan sampah sehingga limpasan air hujan tidak
bisa/kurang lancar masuk ke sistem saluran drainase yang ada.
 Luapan akibat penggunaan bantaran sungai untuk kepentingan yang tidak
semestinya;
 Akibat aliran permukaan (“debit run off”) pada saat hujan yang tidak
bisa segera dibuang atau dialirkan ke sungai atau system pembuang yang
ada, karena pada saat bersamaan sungai yang ada sudah penuh sehingga
tidak mampu menampung tambahan debit dari aliran permukaan;
 Berkurangnya luas areal resapan akibat perubahan penggunanaan lahan
(untuk permukiman, dan lain sebagainya);
 Kondisi fisik jaringan drainase yang ada sudah kurang memadai, sehingga
sering terjadi kebocoran dan luapan pada tanggul saluran;
 Tidak terdapatnya system (jaringan) drainase yang memadai pada
kawasan atau lokasi rawan banjir, sehingga debit akibat aliran
permukaan tidak bisa dibuang/dialirkan secara cepat.

Luas genangan antara 1 – 35 Ha dengan tinggi genangan berkisar antara 20


cm sampai 155 cm dengan lama genangan 1 – 120 Jam. Dampak yang terjadi
adalah tergenangnya areal permukiman dan persawahan, dan prasarana
jalan.

9 - 43
Khusus untuk Kota Yogyakarta data genangan yang menjadi prioritas adalah
genangan di 11 (sebelas) lokasi seperti terlihat pada Gambar 9 - 14.

Gambar 9 - 14 : Lokasi Genangan di Kota Yogyakarta (data tahun 2007)


Keterangan :
1. Genangan di Kel. Pakuncen 5. Genangan di Tahunan 9. Genangan jl Soka
2. Genangan di Kel. Prawirodirjan 6. Genangan di Kt.Gede 10. Genangan per4an
3. Genangan di Kel. Klitren 7. Genangan di Giwangan
Gondomanan
4. Genangan Jl. Bimosakti 8. Genangan di jl. Parangtritis 11. Genangan Panjaitan

Photo – photo genangan yang terjadi disajikan pada Gambar 9 - 15 s/d 9 -


22

9 - 44
Gambar 9 - 15 : Genangan yang terjadidi Jalan Colombo selasa 30/10/2007 (Sumber
Kompas 01/11/2007)

Gambar 9 - 16 : Genangan yang terjadidi Jalan Colombo senin 12/11/2007 (Sumber


Kompas 13/11/2007)

9 - 45
Gambar 9 - 17 : Genangan yang terjadi di Kelurahan Tahunan

Gambar 9 - 18 : Genangan yang terjadi di Kota Gede

Gambar 9 - 19 : Lokasi Genangan di Giwangan

9 - 46
Gambar 9 - 20 : Lokasi Genangan di Pakuncen

Gambar 9 - 21 : Lokasi Genangan di Tahunan

9 - 47
Gambar 9 - 22 : Titik – Titik Genangan Akibat Hujan 12/11/2007 (Kompas 13/11/2007)

9.3.3 Kebijakan Pembangunan Antar Kawasan


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penanganan
permasalahan drainase harus merupakan suatu kegiatan yang berskala
regional dan bersifat lintas wilayah maupun lintas sektoral. Penanganan
permasalahan di Kota Yogyakarta tanpa menangani permasalahan yang ada
di kawasan hulu (Kab. Sleman) maupun kawasan hilir (Kab. Bantul) tidak
akan memberikan solusi yang bersifat jangka panjang.

Demikian juga kaitan antara infrastruktur drainase dengan infrastruktur


lainnya harus mendapat perhatian yang seksama, sehingga penanganan yang
dilakukan merupakan suatu kegiatan yang komprehensif.

Dalam kaitan dengan topik ini, maka permasalahan yang terkait dengan
kebijakan pembangunan antar kawasan antara lain adalah :

9 - 48
 Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kota dan kabupaten
di propinsi DIY untuk pengendalian kawasan resapan di daerah hulu
sungai.
 Belum adanya peraturan untuk pengendalikan luas lahan terbuka sebagai
daerah resapan air.
 Belum adanya koordinasi dari para pelaku pengelolaan dari setiap
komponen infrastruktur dalam perencanaan maupun pembangunannya.

9.3.4 Koordinasi Pengawasan Pembangunan


Koordinasi pengawasan pembangunan diperlukan untuk mencegah
terjadinya permasalahan yang menimbulkan dampak merugikan dari aspek
drainase (termasuk mencegah terjadinya banjir). Sebagai contoh suatu
kawasan dengan elevasi di bawah muka air banjir sungai terdekat, maka
perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan tersebut harus
sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir, yaitu dengan
melakukan penimbunan sampai batas peil banjir sebelum prasarana
tersebut dibangun.

Pembangunan suatu jaringan drainase di suatu kawasan tidak bisa hanya


didasarkan pada data masukan dari kawasan internal. Kapasitas saluran yang
direncanakan harus memperhatikan kapasitas saluran yang sudah ada di
kawasan lain, sehingga sistem yang dibangun tidak memberikan dampak
negatif terhadap kawasan lain. Dengan koordinasi pengawasan yang efektif
dampak negatif tersebut dapat dihindarkan.

Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan merupakan masalah yang


sering terjadi dalam pembangunan wilayah DIY. Lemahnya koordinasi
pengawasan pembangunan dapat dilihat pada uraian berikut ini :

9.3.4.1 Perubahan Peruntukan Lahan


Pada dasarnya, peruntukan lahan pada suatu kawasan sudah
ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah disyahkan
oleh Bappeda. Namun pada prakteknya, ketentuan tersebut tidak selalu

9 - 49
dipatuhi oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan di
Wilayah Studi.

Hal yang paling sering terjadi adalah kawasan penampungan/resapan


air atau kawasan hijau terbuka dirubah peruntukannya menjadi kawasan
perumahan atau kawasan industri. Akibat dari perubahan peruntukan lahan
tersebut, maka luasan dari kawasan ”parkir” air hujan akan berkurang
secara sistematis dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir di
wilayah studi.

9.3.4.2 Pelanggaran terhadap Rasio KDB


KDB atau Koefisien Dasar Bangunan adalah suatu rasio yang
menunjukan perbandingan antara luas bangunan terhadap luas lahan yang
tersedia. Sehingga untuk luas lahan yang sama, apabila rasio tersebut
semakin besar maka bangunan yang boleh didirikan juga semakin luas.

Rasio KDB ditetapkan oleh Dinas Tata Kota dengan mengacu pada
kondisi dan peruntukan lahan pada lahan yang akan didirikan bangunan.
Dengan demikian, rasio KDB merupakan batas maksimum yang
diperbolehkan oleh Dinas Tata Kota untuk mendirikan bangunan pada suatu
wilayah.

Namun pada umumnya, batas rasio tersebut seringkali dilanggar oleh


para pemilik bangunan dalam upaya untuk mendapatkan bangunan yang
lebih luas. Apabila pelanggaran rasio KDB tersebut dilakukan secara massal
dan terus menerus, maka luas lahan terbuka akan menurun secara drastis
dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah studi.

9.3.4.3 Diabaikannya batas Peil Banjir


Sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dimana salah
satu penyebab banjir di wilayah studi adalah elevasi kawasan perumahan
yang berada di bawah muka air banjir sungai maupun di bawah muka air

9 - 50
normal, sehingga kawasan atau area perumahan tersebut menjadi kawasan
yang rawan banjir.

Kondisi tersebut terjadi karena pelaksanaan pembangunan kawasan


perumahan oleh Pengembang tidak memperhatikan peil banjir yang ada.
Pengembang seharusnya melakukan penimbunan sampai pada batas peil
banjir sebelum mulai melaksanakan pembangunan perumahan.

9.3.4.4 Pelanggaran Penggunaan Lahan Pada Kawasan Konservasi


Hal lain yang sering terlihat dari lemahnya koordinasi
pengawasan pembangunan adalah digunakannya lahan yang berada pada
kawasan konservasi untuk keperluan pembangunan. Pelanggaran tersebut
mengakibatkan berkurangnya luasan dari kawasan konservasi dan pada
akhirnya akan mengurangi luasan dari kawasan resapan atau ruang hijau
terbuka.

9.3.5 Tinjauan Terhadap Sistem Penyaluran Air Hujan Yang Ada


Tinjauan terhadap sistem penyaluran air hujan yang ada akan
mencakup tinjauan terhadap sungai sebagai badan penerima air utama, dan
sistem saluran sebagai badan pembawa.

9.3.5.1 Tinjauan Terhadap Sungai Induk


Perhitungan mengenai kapasitas sungai berdasarkan profil sungai yang
ada untuk kemudian dibandingkan dengan debit banjir hasil perhitungan
dengan periode ulang 10 tahun, akan memberikan gambaran mengenai
kemungkinan terjadinya atau tidak terjadinya luapan pada sungai dimaksud.
Sampai saat ini data profil sungai dan data debit banjit dari sungai – sungai
utama di wilayah studi belum didapatkan.

Meskipun demikian berdasarkan peta banjir dari Proyek Pengendalian Banjir


DIY (dahulu) kemungkinan terjadinya banjir hanya pada lokasi – lokasi
seperti yang terlihat pada gambar 9.13. Dimana pada lokasi – lokasi tersebut

9 - 51
telah dibangun tanggul banjir kecuali untuk lokasi Pundong kea rah
Kedungmiri.

9.3.5.2 Tinjauan Terhadap Saluran Yang Ada


Meliputi tinjauan dimensi, keadaan saluran, perlengkapan saluran
yang ada, serta hal – hal lain yang dianggap perlu sehingga dapat diharapkan
akan didapat dimensi saluran yang sesuai.

Hasil pengamatan lapangan adalah sebagai berikut :


 Tingkat pelayanan sistem yang ada masih rendah dalam konteks
perbandingan antara luas yang harus dilayani dengan panjang sistem
yang sudah terbangun/terpasang.
 Kapasitas saluran belum di disain menurut sistem blok kawasan yang
harus dilayani, sehingga ada beberapa saluran yang melayani suatu
kawasan terlalu luas.
 Sedimentasi dan timbunan sampah menyebabkan kapasitas pengaliran
saluran berkurang, akibatnya terjadi luapan.
 Genangan yang terjadi dari hasil pengamatan disebabkan oleh luapan,
baik dari jaringan tersier, sekunder maupun primer.
 Sistem jaringan belum tertata menurut hirarki saluran, dimana hirarki ini
akan menentukan besarnya kapasitas pengaliran yang direncanakan. Dari
hasil pengamatan ada sistem sekunder yang dimensinya lebih kecil dari
sistem tersiernya.
 Ukuran gorong – gorong yang terlalu kecil, kerusakan gorong – gorong
maupun kerusakan pada saluran merupakan salah satu penyebab
terjadinya luapan dan genangan.

9.3.6 Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Drainase


Akibat keterbatasan dana, selama ini pemeliharaan prasarana/sarana
drainase kurang mendapat perhatian yang cukup dari Instansi yang
berwenang. Pemeliharaan prasarana/sarana tidak dilakukan menurut suatu
pola yang teratur. Biasanya pemeliharaan akan dilakukan apabila kondisi
kerusakan sudah parah atau untuk mengatasi kondisi darurat dan

9 - 52
pemeliharaan tersebut dilakukan secara partial tidak secara menyeluruh.
Akibat dari tidak teraturnya pemeliharaan yang dilakukan, maka :

• Prasarana/sarana drainase tidak berfungsi dengan optimal.


• Meningkatnya kerugian yang diderita oleh masyarakat.
• Meningkatnya biaya pemeliharaan.

Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai arti penting sarana


drainase untuk menjaga kesehatan lingkungan juga merupakan salah satu
permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Semua pihak paham bahwa
membuang sampah di selokan akan dapat menimbulkan banjir karena
kapasitas saluran menjadi berkurang. Namun faktanya hal – hal tersebut
masih terus terjadi.

9.4 ANALISIS PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI

Analisis permasalahan sebagai bahan rekomendasi didasarkan pada


komponen – komponen yang menjadi variabel dalam konsep penataan sistem
drainase. Komponen-komponen yang perlu diperhatikan di dalam penataan
sistem drainase antara lain pola aliran, normalisasi sungai-sungai dan
saluran-saluran drainase, mengembalikan fungsi bantaran sungai,
menerapkan garis sempadan sungai dan saluran, meningkatkan kapasitas dan
pemanfaatan situ, pemeliharaan sarana drainase, penanggulangan erosi
lahan, dan penanggulangan banjir.

9.4.1 Pola Aliran


Pola aliran harus dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi Rencana
Tata Ruang Wilayah, baik dalam aneka ragam fasilitas yang direncanakan
oleh tata ruang tersebut, maupun pentahapan pelaksanaan tata ruang
tersebut. Proporsi pembagian daerah alirannya lebih ditentukan oleh kondisi
topografi daerahnya, sedangkan penentuan arah alirannya ditentukan oleh
lereng lahan yang dibuat drainasenya. Pola aliran dan jenis pengalirnya
didesain sedemikian rupa sehingga mendukung prinsip desain saluran yang

9 - 53
memerlukan pemeliharaan seminimum mungkin. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam penentuan pola aliran adalah :

• Badan penerima air eksisting


Jaringan sungai yang ada dalam suatu wilayah perencanaan,
merupakan titik akhir dari aliran air yang ada.

• Sistem drainase yang ada


Dalam perencanaan pola aliran, sedapat mungkin tidak merusak pola
alami/buatan yang sudah ada sehingga pekerjaan yang dilaksanakan
akan menjadi lebih ekonomis dan memungkinkan untuk menjangkau
seluruh saluran di daerah tersebut.
• Topografi daerah aliran
Pola aliran yang mengikuti kemiringan lahan akan mempermudah
pengaliran air dan selain itu pekerjaan akan menjadi lebih ekonomis
dan mudah dalam pengoperasiannya.
• Jalur jalan yang ada
Jalur jalan yang ada sering dipergunakan dalam penentuan pola aliran
sehingga pola aliran drainase akan dibuat mengikuti jalur jalan yang
ada.
• Batas administratif daerah aliran
Batas administratif diperlukan untuk menentukan kapasitas dari air
yang melimpas kedalam saluran dan menjadi beban bagi Instansi yang
berwenang pada daerah administratif tersebut.
Pembenahan pola aliran untuk suatu daerah yang sudah lama berkembang
terutama untuk daerah yang terletak di zona aliran pantai adalah sebagai
berikut :

• Jika daerahnya cukup tinggi di atas elevasi air pasang, maka


penataan drainasenya bisa menggunakan kanal-kanal yang bisa
dialirkan ke sungai terdekat.
• Untuk daerah elevasinya lebih rendah dari air pasang maka
harus dibuat polder yang dilengkapi dengan danau penampungan dan

9 - 54
instalasi pompa. Untuk menekan besarnya kapasitas pompa yang
dibutuhkan, sistem polder ini bisa dikombinasikan dengn pemakaian
pintu-pintu klep.

Perencanaan sistem drainase pada suatu daerah reklamasi baru sebaiknya


memakai sistem polder. Keuntungan dari sistem tersebut adalah
menghindari pemakaian material tanah urug yang terlalu besar sehingga
dampak negatif yang mungkin timbul pada lokasi sumber material urug
dapat dihindarkan.

9.4.2. Sudetan
Salah satu cara dalam hal pembenahan pola aliran adalah dibuatnya
saluran sudetan dari satu sungai yang mempunyai kapasitas aliran terbatas
menuju sungai lain yang masih mampu menampung debit banjir tambahan
dari daerah aliran sungai (DAS) lain. Mengingat aspek teknis mengenai
saluran sudetan ini sangat luas maka dalam hal ini perlu dilakukan studi
khusus. Konsep dasar perencanaan saluran sudetan adalah :

• Sungai asal benar-benar mempunyai kapasitas aliran yang sangat


terbatas dan rawan terhadap luapan banjir.
• Sungai asal melewati daerah pusat-pusat kegiatan yang padat
sehingga untuk usaha pelebaran sungai harus menyelesaikan terlebih
dahulu masalah pembebasan tanah.
• Elevasi sungai tujuan harus lebih rendah dari elevasi sungai asal agar
air dapat disalurkan secara gravitasi.
• Sungai tujuan harus mempunyai kapasitas lebih dan tidak melalui
daerah yang mengharuskan dilakukannya pengamanan tinggi.

9.4.3. Normalisasi Sungai - sungai dan Saluran Drainase


Kapasitas pengaliran sungai mengalami penurunan akibat
sedimentasi, endapan sampah dan berbagai bangunan yang berada di
bantaran sungai serta akibat kegiatan manusia lainnya. Begitu juga yang
dialami oleh saluran-saluran yang ada, sehingga daerah yang seharusnya

9 - 55
masih tergolong aman banjir menjadi daerah yang rawan banjir. Untuk
mengatasi masalah tersebut perlu diadakan normalisasi sungai-sungai dan
saluran-saluran drainase. Normalisasi yang perlu dilakukan bergantung pada
kondisi masing-masing sungai/jalur drainase.

9.4.4. Mengembalikan Fungsi Bantaran Sungai


Keberadaan bantaran bagi sungai adalah sangat penting dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sungai itu sendiri, karena
bantaran berfungsi sebagai lahan cadangan sungai untuk menampung debit
banjir yang besar. Pada sebagian sungai kondisi dan batas bantaran ini tidak
jelas, sebaliknya ada yang mempunyai bantaran yang jelas dengan batas
berupa tanggul alam dan bertanda bebas aliran air yang jelas pula. Tentu
saja tidak seluruh sungai mempunyai bantaran karena lahan bantaran
tersebut terbentuk secara alamiah dari sungai yang bersangkutan.

Untuk mengembalikan fungsi bantaran ini perlu dirintis dengan


mengadakan pendataan/inventarisasi bantaran dengan batas-batasnya,
diberi tanda dan memberikan penjelasan kepada masyarakat akan batas dan
manfaat bantaran sungai tersebut.

Selain itu untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan yang


pesat di masa mendatang, pemerintah hendaknya konsisten terhadap
pemanfaatan daerah bantaran sungai ini, sehingga bantaran tetap berfungsi
seperti yang dikehendaki.

9.4.5. Menetapkan Garis Sempadan Sungai dan Saluran.


Pemikiran untuk mengadakan perluasan masa mendatang dari sistem
drainase yang dibangun dengan bertahap ini, mengharuskan Pemerintah
Daerah untuk mengadakan cadangan lahan dan melakukan pengaturan lahan
sesuai dengan rencana pengelolaan kawasan lindung.

Hal ini akan mengarah diperkuatnya segi legalitas yang menyangkut pada
pengadaan lahan, seperti misalnya perundangan garis sempadan sungai atau

9 - 56
saluran, yang ditentukan menurut besarnya saluran atau sungai tersebut.
Jika daerah aliran sungai tersebut memiliki kapasitas besar, maka lahan
sempadan yang harus dicadangkan di tepi kanan dan kiri juga lebih besar
daripada sungai kecil. Dengan demikian akan dapat dijamin adanya
kemungkinan perluasan sistem saluran drainase di kemudian hari bilamana
debit bertambah seiring dengan pertambahan kawasan terbangun
perkotaan. Besarnya penetapan garis sempadan sungai dapat dilihat pada
Tabel 9.4.

9 - 57
Tabel 9.4 : Garis Sempadan Sungai
No. Jenis Lebar Keterangan
Sempadan
(m)
A PASANG SURUT
1. Situ / Danau 50 Dari batas muka air tertinggi.

2. Sungai besar pasang surut 100 Dari tepi sungai atau pasang tertinggi
dan berfungsi sebagai jalur hijau.
3. Sungai kecil pasang surut 50 Dari tepi sungai atau pasang tertinggi
dan berfungsi sebagai jalur hijau.

B NON PASANG SURUT


1 Sungai Bertanggul 5 Dari sisi luar kaki tanggul
Di luar kawasan perkotaan
2 Di dalam kawasan perkotaan 3 Dari sisi luar kaki tanggul

3 Sungai Tidak Bertanggul


Di luar kawasan perkotaan
a. Sungai besar 100 Dilakukan ruas per ruas dengan
mempertimbangkan luas daerah
tangkapan yang bersangkutan, serta
dihitung dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan.

b. Sungai kecil 50 Dilakukan ruas per ruas dengan


mempertimbangkan luas daerah
tangkapan yang bersangkutan, serta
dihitung dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan.

4 Di dalam kawasan perkotaan


a. Sungan dgn kedalaman < 3 10 Dihitung dari tepi sungai pada waktu
m ditetapkan.

b. Sungai dgn kedalaman 3 – 20 15 Dihitung dari tepi sungai pada waktu


m ditetapkan.

30 Dihitung dari tepi sungai pada waktu


c. Sungai dgn kedalaman > 20 ditetapkan.
m
5
Drainase Utama 10 Dihitung dari tepi sungai rencana
7 Di luar kawasan perkotaan 10 Dihitung dari tepi sungai rencana
8 Di dalam kawasan perkotaan
Drainase Sekunder 5 Dihitung dari tepi sungai rencana
9 Di luar kawasan perkotaan 5 Dihitung dari tepi sungai rencana
Di dalam kawasan perkotaan
10
Drainase Tersier 3 Dihitung dari tepi sungai rencana
11 Di luar kawasan perkotaan 3 Dihitung dari tepi sungai rencana
Di dalam kawasan perkotaan

9.4.6 Pembuatan Tandon Air


Pembangunan tandon-tandon air buatan pada beberapa lokasi yang
potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan retensi air hujan. Dengan

9 - 58
adanya tandon – tandon air, maka debit air yang mengalir ke badan
penerima air akhir (sungai) dapat dikurangi sebesar kapasitas embung atau
tandon air tersebut. Untuk lebih jelasnya, contoh tandon air tersebut dapat
dilihat pada Gambar 9 - 23.

Gambar 9- 23. Tandon Banjir Dengan Sarana Penunjang

9.4.7 Pemeliharaan Sarana Drainase


Sarana drainase yang terbangun akan berfungsi sebagaimana yang
diharapkan jika disertai dengan upaya pemeliharaan yang baik pula. Ada
beberapa unsur yang diperlukan untuk menunjang suksesnya pemeliharaan
ini, antara lain :

9 - 59
Tersedia badan/lembaga yang khusus menangani masalah tersebut
Adanya peraturan yang mendukung
Penyediaan dana yang memadai
Melibatkan peran serta masyarakat

Secara konsepsi kegiatan pemeliharaan ini dikelompokkan menjadi 3


(tiga) tipe, dimana pengelompokkan ini dilakukan menurut maksud dan
sasaran kegiatan pemeliharaan. Tipe pemeliharaan tersebut adalah :

Pemeliharaan rutin : pemeliharaan dilakukan secara rutin dari waktu ke


waktu dengan tujuan untuk menjaga kondisi prasarana drainase agar
tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sasaran pemeliharaan rutin
adalah kerusakan – kerusakan kecil, pembersihan sampah dan kegiatan
pemeliharaan lain yang tidak memerlukan biaya besar.

Pemeliharaan Berkala : pemeliharaan dilakukan secara berkala dalam


periode waktu (3 bulan, 6 bulan) tertentu dengan tujuan untuk
mengembalikan kondisi prasarana drainase agar kembali berfungsi
sebagaimana mestinya. Sasaran pemeliharaan berkala adalah kerusakan –
kerusakan yang cukup berat, dimana bila kerusakan tersebut tidak segera
ditangani akan berkembang menjadi semakin besar atau membahayakan
dan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar. Kegiatan
pemeliharaan berkala memerlukan penanganan teknis yang detail dan
biaya yang lebih besar.

Pemeliharaan Darurat : pemeliharaan darurat dilakukan untuk


mengatasi kondisi – kondisi darurat yang terjadi, yang memerlukan
penanganan dengan segera. Sebagai contoh adalah tanggul yang jebol
pada saat musim hujan yang segera memerlukan penanganan yang
bersifat darurat.

9.4.8 Penanggulangan Erosi Lahan

9 - 60
Banyak upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah
erosi lahan ini di antaranya dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu
upaya penanggulangn secara fisik dan upaya penanggulangan secara non-
fisik.

Upaya Penanggulangan Secara Fisik

Kegiatan ini dapat dimulai dengan mengadakan inventarisasi jenis


kerusakan lahan yang terjadi, dan mengadakan data tentang jenis
tanah yang ada pada kawasan perbukitan serta menetapkan standar
“Watershed management” yang akan ditetapkan sesuai dengan
keadaan setiap lahan menurut kategori yang homogen.

Metodologi yang dapat diterapkan misalnya pembuatan “terassering”


atau pengendalian dengan check dam, pada kawasan yang berlereng
cukup terjal. Metoda penanaman rumput, perlu sampai ke
penanaman pohon biasanya sering digunakan untuk mengatasi erosi
lahan, namun waktu yang diperlukan akan cukup lama, sehingga
diperlukan bangunan penangkap erosi untuk daerah-daerah kritis
sebelum program jangka panjang/penanaman pohon mulai berfungsi.

Upaya Penanggulangan Secara Non Fisik

Upaya ini memerlukan waktu yang relatif lama, karena melibatkan


penduduk yang berdiam di sekitar lahan erosif. Upaya ini meliputi
penyebarluasan informasi pembangunan yang berwawasan
lingkungan, antara lain menyangkut persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi dalam pemberian izin bagi pembangunan kawasan baik
industri, pemukiman maupun wisata.

9.4.9 Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung

9 - 61
Dalam rangka pengelolaan kawasan lindung agar dapat
dipertahankan baik dari segi keberadaan maupun fungsinya, perlu
diterapkan strategi berikut :

Identifikasi dan pengukuhan status lindung seluruh kawasan lindung


berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990 dan penetapan batas kawasan
untuk mempermudah pengendalian dan pengawasan.
Pencegahan kegiatan budidaya di atas kawasan lindung, kecuali
kegiatan yang tidak mengganggu fungsi lindung.
Pemantauan dan pengendalian kegiatan budidaya yang telah
berlangsung di atas kawasan lindung agar tidak menimbulkan
gangguan terhadap fungsi lindung.
Penertiban terhadap kegiatan budidaya yang telah berlangsung di
atas kawasan lindung dan terbukti telah menimbulkan gangguan
fungsi lindung.
Melakukan rehabiitasi terhadap kawasan lindung yang telah
mengalami kerusakan untuk mengembalikan fungsinya.

9.4.10Pembuatan Sumur Resapan


Permasalahan lingkungan yang sering terjadi adalah terjadinya banjir
pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Selain itu, pada
beberapa tempat terjadi pula penurunan permukaan air tanah. Hal ini
disebabkan adanya penurunan kemampuan tanah untuk meresapkan air
sebagai akibat adanya perubahan lingkungan yang merupakan dampak dari
proses pembangunan.

Salah satu strategi atau cara pengendalian air yang baik untuk mengatasi
banjir atau kekeringan adalah dengan cara meningkatkan kemampuan tanah
meresapkan air hujan, yaitu dengan pembuatan sumur resapan terutama
pada kawasan pemukiman.

Pembuatan sumur resapan ini merupakan upaya untuk memperbesar resapan


air hujan ke dalam tanah dan memperkecil aliran permukaan (run off)

9 - 62
sebagai penyebab banjir. Dengan demikian, semakin banyak air yang
mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah
permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-
sumur atau mata air yang dapat dieksplorasi setiap saat.

Dengan adanya sumur resapan maka jumlah aliran permukaan akan menurun
sehingga terkumpulnya air permukaan yang berlebihan di suatu tempat
dapat dihindari. Dengan demikian, bahaya banjir dapat dikurangi pula. Di
sisi lain, menurunnya aliran permukaan juga akan menurunkan tingkat erosi
tanah.

Untuk lebih jelasnya, prinsip kerja dari sumur resapan dapat dilihat pada
Gambar 9 - 24.

Gambar 9 - 24. Prinsip kerja sumur resapan penampung air hujan

Dari uraian diatas, tampak bahwa sumur resapan memiliki beberapa fungsi
yang positif bagi lingkungan. Adapun fungsi dari sumur resapan, antara lain :

• Pengendali banjir
• Konservasi tanah
• Menekan laju erosi

9 - 63
• Dapat dimanfaatkan sebagai penambah estetika lingkungan apabila
sumur resapan tersebut dipadukan dengan pertamanan atau hutan
kota

Melihat banyaknya manfaat dari sumur resapan bagi kelestarian


lingkungan hidup maka pembuatan sumur resapan perlu diterapkaan dalam
kehidupan masyarakat, terutama di wilayah perkotaan. Upaya tersebut akan
berfungsi apabila seluruh masyarakat sadar dan mau menerapkannya,
karena peran sumur resapan tidak akan berarti apabila hanya beberapa
penduduk saja yang menerapkannya.

9.4.11Penataan Limbah Rumah Tangga


Pada prinsipnya, sistem pembuangan air limbah rumah tangga harus
dipisahkan dengan sistem pembuangan air hujan. Namun dalam
kenyataannya, limbah rumah tangga selalu dibuang kedalam sistem
pembuangan air hujan, sehingga terjadi polusi/pencemaran pada air sungai.

Untuk mengatasi masalah tersebut diatas, maka idealnya pada setiap


rumah tangga atau kawasan pemukiman harus memiliki sistem penanganan
air limbah sebelum air tersebut masuk kedalam saluran drainase. Dengan
demikian, air limbah yang masuk kedalam saluran drainase sudah relatif
bersih.

Dari segi debit, volume air limbah tersebut relatif sangat kecil bila
dibandingkan dengan volume limpasan air hujan. Namun mengingat
pengaruh pencemaran air limbah terhadap kualitas air sungai sangat besar,
maka perlu dilakukan upaya pengolahan terhadap air limbah sebelum air
tersebut masuk kedalam saluran drainase.

Kondisi tersebut diatas dapat berjalan apabila :


• Ada peraturan yang mengharuskan adanya sistem pengolahan air
limbah rumah tangga

9 - 64
• Adanya fasilitasi/penyuluhan dari pemerintah mengenai sistem
pengolahan air limbah
• Adanya kesadaran masyarakat mengenai arti kebersihan lingkungan
hidup

9.4.12Penataan Sistem Penyaluran Air Hujan


9.4.12.1 Umum

Penyaluran system air hujan merupakan faktor dominan bagi


penataan system drainase di Wilayah Studi. Faktor – faktor yang perlu
diperhatikan dalam penataan system drainase Wilayah Studi adalah
mengenai sistem penyaluran air hujan yang ada, daerah pelayanan,
topografi, geologi, dasar perencanaan dan Rencana Tata Guna Lahan di masa
yang akan datang.

Sistem yang direncanakan adalah sistem yang terpisah dari saluran


pengumpul air buangan kota. Dalam perencanaan sistem penyaluran air
hujan digunakan beberapa parameter, dalam menentukan arah jalur saluran
drainase terdapat batasan – batasan sebagai berikut :

Arah pengaliran mengikuti garis ketinggian yang ada sehingga


diharapkan terjadi aliran secara gravitasi.
Pemanfaatan sungai atau anak sungai sebagai badan air penerima dari
out fall yang direncanakan.
Menghindari banyak perlintasan saluran pada jalan, sehingga
mengurangi penggunaan gorong – gorong.
Untuk saluran dengan dimensi lebar yang cukup besar seperti saluran
induk, diusahakan tidak terletak di sisi jalan karena akan
memperbanyak jembatan persil rumah.

9.4.12.2 Rencana Jaringan Sistem Penyaluran Air Hujan


Rencana sistem jaringan drainase yang dikembangkan harus
didasarkan pada keadaan topografi, letak badan air penerima, serta RDTRK.

9 - 65
Berdasarkan faktor tersebut di atas akan ditentukan sistem jaringan
drainase mulai dari saluran induk, sekunder dan seterusnya.

Dengan diketahui luas daerah pelayanan, terutama yang menjadi luas


tangkapan suatu jalur sungai yang artinya luas daerah dimana aliran
permukaan akan ditampung oleh jalur sungai, maka akan dapat ditentukan
debit pengaliran air hujan. Sehingga dapat mentukan pembagian blok – blok
pelayanan mana yang akan ditampung oleh suatu sungai. Dengan demikian
dapat dicegah kemungkinan meluapnya badan air penerima yang disebabkan
besar debit pengaliran air hujan yang diterima melebihi daya tampung.

9.4.12.3 Pembagian Daerah Pelayanan


Yang dimaksud daerah pelayanan adalah luas Wilayah Studi yang
direncanakan akan diperhitungkan dalam sistem penyaluran air hujan.
Dengan diketahui daerah perencanaan maka dapat ditentukan besar debit
pengaliran.

Daerah pelayanan ini akan dibagi menjadi beberapa blok pelayanan,


dimana setiap blok pelayanan akan dilayani oleh sebuah saluran. Dasar dari
pembagian blok pelayanan ini terutama pada keadaan letak dari badan air
penerimanya dan setiap blok ditentukan koefisen pengalirannya. Pembagian
Blok daerah pengaliran ditentukan berdasarkan pertimbangan sebagai
berikut :

Luas daerah dari blok pengaliran akan dibatasi, dengan pertimbangan


agar air hujan dapat tertampung pada saluran dengan dimensi
tertentu yang tidak terlalu besar. Dimensi saluran drainase kota yang
terlalu besar akan terlalu sulit untuk direalisir karena terkait dengan
masalah lahan yang tersedia,
Topografi daerah untuk menentukan arah aliran, dimana secara
prinsip arah aliran harus mengikuti arah kemiringan lahan yang ada,
Jarak pengaliran dibatasi tidak terlalu jauh karena semakin jauh
jarak pengaliran akan memperlama waktu pengaliran, sehingga untuk
kapasitas saluran yang sama akan memperbesar nilai to (waktu

9 - 66
konsentrasi) dan td (waktu pengaliran), dan artinya menambah waktu
pengeringan.

9.5 SISTEM DRAINASE YG DIUSULKAN

9.5.1 Sistem Drainase Usulan


Sistem drainse yang diusulkan berdasarkan hasil analisis terhadap
kondisi eksisting, indikasi – indikasi permasalahan, serta aspek – aspek lain
yang terakit secara langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan
system jaringan drainase adalah sebagai berikut :
• Jaringan system drainase harus terintegrasi dalam suatu pola
pelayanan yang dimulai dari saluran kuarter sebagai penerima dari
suatu blok permukiman ke saluran tersier untuk kemudian diteruskan
ke saluran sekunder , saluran primer dan terakhir diterima oleh badan
penerima air utama yaitu sungai. Contoh sistem seperti terlihat pada
Gambar 9 – 25.
• Rumusan kebutuhan kapasitas saluran drainase harus didasarkan pada
perhitungan debit dari suatu sistem pembagian blok pelayanan dari
suatu sistem yang menginduk ke suatu sungai tertentu. Sebagai
contoh untuk Kota Yogyakarta sistem jaringannya harus dibagi
menurut sungai yang ada, yaitu :
o Sistem Jaringan Sungai Winongo
o Sistem Jaringan Sungai Bulus
o Sistem Jaringan Sungai Code
o Sistem Jaringan Sungai Belik/Mambu
o Sistem Jaringan Sungai Gajah Wong.

9 - 67
Demikian juga wilayah kabupaten lainnya, sistem jaringannya harus
dibuat menurut sungai utama yang ada sebagaimana telah dijelaskan
pada Sub Bab 9.2.2 mengenai drainase makro.
• Setiap sistem jaringan harus dibuatkan suatu skema jaringan, yang
memuat Nama Sub DAS, Luas Sub DAS, Hujan Rencana di Sub DAS,
Kemiringan Alur Sungai, Panjang Alur Sungai. Sebagai Contoh seperti
terlihat pada Gambar 9 – 26.

9 - 68
Kontrol Sistem
Kuarter

Kontrol
Sistem
Tersier

Kontrol
Sistem
Sekunder

Kontrol
Sistem
Sistem Drainase Utama
Primer
sebagai kolektor dari
keseluruhan sistem

Jaringan Tersier
sebagai kolektor
dari kuarter

Jaringan primer
sebagai kolektor
dari sekunder

Jaringan kuarter
dari pemukiman

Jaringan sekunder
sebagai kolektor dari
tersier

GAMBAR 9 - 25 : SISTEM J ARINGAN DRAINASE YANG TERINTEGRASI

9 - 69
CP 1

CLL 1
8.8 38.23 CP 2

5,000 0.6

CTJ 1
CP 3 10.4 46.28
5,000 0.6

CLR 1 CLR 3 CLR 5 CKK 1 CKK 2 CKK 3


3.6 44.72 2.9 46.15 6.2 47.36 6.1 60.02 3.3 45.28 8 32.65
1,200 0.6 850 0.6 3,300 0.6 1,230 0.6 910 0.6 7,300 0.6

CLL 2
6.3 59.43 CP 4 CP 41 CP 42 CP 43 CP 44 CP 45 CP 46
Anak Sungai
1,250 0.6
CLR 2 CLR 4 CLR 6
Sungai

4.8 63.56 2.6 46.69 2.7 37.42 Keterangan :


CLL 3 CP 5 1,200 0.6 810 0.6 3,300 0.6
4.8 64.43 : Nama Sub-DAS
1,100 0.6 : Hujan rencana di sub-DAS
: Kemiringan alur sungai
: Panjang alur sungai (KM)
CGM 1 CPN 1 : Luas sub-DAS (KM2)
4.7 56.23 CP 6 6.5 58.86 CP : Node / Simpul control point
2,200 0.6 1,270 0.6

: Ruas sungai yang terpengaruh


CP 7 Pasang surut
CPN 2
5.5 4014 : Penelusuran sungai
5,300 0.6
: Rawa / Situ

Gambar 9 – 26 : Contoh Skema Suatu Sistem Drainase

9 - 70
9.5.2 Rumusan Kebutuhan Sarana/Prasarana Drainase
Rumusan kebutuhan parasarana drainase dalam sistem makro dan mikro
seharusnya didasarkan pada analisis detail mengenai kapasitas badan penerima
air utama (sungai) dan penataan sistem penyaluran air hujan yang meliputi
rencana jaringan dan pembagian daerah pelayanan. Rumusan kebutuhan
dengan metode tersebut membutuhkan studi khusus yang diluar ruang lingkup
dari studi ini.

Meskipun demikian rumusan kebutuhan prasarana drainase dapat dilakukan


dengan beberapa metode pendekatan. Salah satunya adalah metode yang
dirumuskan oleh Kabupaten Kulon Progo yaitu dengan mengasumsikan
kebutuhan panjang jaringan drainase sekitar 70 % dari panjang jalan yang ada.

Rumusan kebutuhan prasarana drainase dengan asumsi seperti di atas disajikan


pada Tabel 9.5.

Tabel 9.5 : Asumsi Kebutuhan Saluran Drainase


PANJANG JALAN PANJANG SAL. KEBUTUHAN
NO KABUPATEN/KOTA ASPAL NON ASPAL EKSISTING SAL. DRAINASE KET.
(KM) (KM) (KM) (KM)
1 KAB. SLEMAN 557.5 487.6 298.47 259.03
2 KOTA YOGYAKARTA* 471.6 5.34 250.96 220.64
3 KAB. BANTUL 456.9 497.1 236.92 219.98
4 KAB. KULON PROGO** 326.9 618.1 563.04
5 KAB. GUNUNG KIDUL 276.8 574.8 34.84 241.96
KETERANGAN :
Sumber data dari database KRMS TAHUN 2001, Kecuali untuk Kota Yogyakarta dari Dinas Kimpraswil Kota
Yogyakarta. Data kebutuhan sal drainase untuk Kabupaten Kulon Progo diambil dari Laporan Akhir RPJM

Rumusan kebutuhan saluran drainase pada tabel 3 di atas sifatnya masih


”tentative” dalam arti masih perlu ditindaklajuti dengan studi yang lebih
detail. Kebutuhan yang dirumuskan pada tabel di atas didasarkan pada jalan
aspal saja. Pembatasan ini untuk menyesuaikan dengan kemampuan

9 - 70
pembiayaan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, yaitu dari tahun 2008 s/d
2012.

9.5.3 Rencana Program Jangka Menengah dan Usulan Pembiayaan


Berdasarkan tinjauan terhadap sistem drainase (makro dan mikro) yang
ada di wilayah studi, indikasi permasalahan dalam semua aspek yang terkait
dengan pengelolaan sistem, konsep penataan sistem drainase, dan rumusan
kebutuhan prasarana drainase seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka
rumusan Program Jangka Menengah untuk komponen drainase yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut :

9.5.3.1 Pembinaan Pengelolaan Sistem Drainase


Pembinaan pengelolaan sistem drainase dengan target peningkatan
NSPM sistem drainase dan pengembangan perangkat pengaturan, serta
peningkatan peran, fungsi dan kinerja lembaga/institusi dan SDM pengelola
sistem drainase di kabupaten/kota.

Pola pengelolaan dilaksanakan oleh Seksi yang mengelola bidang


drainase pada Dinas terkait dan bekerjasama dengan perguruan tinggi, Diklat
PU, para praktisi dan lembaga swasta. Penanganan program dilakukan melalui
kegiatan – kegiatan :

a. Lokakarya untuk menyiapkan materi peraturan di bidang KDB,


Kawasan Lindung, Garis Sempadan Sungai dan Peil Banjir
Kawasan.
b. Pelatihan Penyusunan Program Pengelolaan Drainase
c. Pelatihan Perencanaan Sistem Drainase

9 - 71
9.5.3.2 Pengembangan Program dan Perencanaan Pembangunan Sistem
Drainase
Pengembangan program dan perencanaan pembangunan sistem
drainase dengan target tersusunnya dokumen Master Plan Sistem Drainase dan
dokumen – dokumen derivatnya seperti : dokumen studi kelayakan, dan
dokumen perencanaan yang dapat dipakai sebagai acuan dalam implementasi
program di bidang drainase di setiap kabupaten/kota.

Pola pengelolaan dilaksanakan oleh Seksi yang mengelola bidang


drainase pada Dinas terkait dan bekerjasama dengan perguruan tinggi, para
praktisi dan lembaga swasta. Penanganan program dilakukan melalui kegiatan –
kegiatan :

a. Penyusunan Master Plan Drainase Wilayah Perkotaan


b. Penyusunan Master Plan Drainase Wilayah Kabupaten/Kota
c. Penyusunan Sofware Komputer untuk Mendukung Penyusunan
Program Pengelolaan Drainase
d. Studi Kelayakan Pembangunan Drainase Wilayah Perkotaan
e. Studi Kelayakan Pembangunan Drainase Wilayah Kabupaten/Kota
f. Studi Kelayakan Pembangunan Tandon Air/Embung
g. Studi Kelayakan Pembangunan Sudetan
h. Studi Kelayakan Pembangunan Polder
i. Perencanaan Sistem Drainase Wilayah Perkotaan
j. Perencanaan Sistem Drainase Wilayah Kabupaten/Kota

9.5.3.3 Pemeliharaan dan Pembangunan Prasarana Sistem Drainase


Pemeliharaan dan pembangunan Prasarana sistem drainase dengan
target antara lain :

1. Peningkatan cakupan pelayanan sistem drainase dalam rangka


meningkatkan kesehatan lingkungan.

9 - 72
2. Pengembangan jaringan drainase, sistem polder/kolam
penampung/retensi serta prasarana pendukung/pelengkapnya
untuk meningkatkan pelayanan sarana drainase dan melindungi
kawasan permukiman dan kawasan strategis dari resiko
genangan.
3. Menjaga, mengembalikan dan meningkatkan fungsi prasarana
dan drainase yang ada, serta untuk menciptakan sistem
jaringan drainase wilayah yang terpadu dengan kapasitas yang
cukup.

Pola pengelolaan dilaksanakan oleh Seksi yang mengelola bidang


drainase pada Dinas terkait dan bekerjasama dengan lembaga swasta.
Penanganan program dilakukan melalui kegiatan – kegiatan :

a. Pemeliharaan Rutin Saluran Drainase Tertutup


b. Pemeliharaan Rutin Saluran Drainase Terbuka
c. Rehabilitasi Saluran Drainase Tertutup
d. Rehabilitasi Saluran Drainase Terbuka
e. Pembangunan Baru Saluran Drainase Perkotaan
f. Pembangunan Baru Saluran Drainase Wilayah Kabupaten/Kota
g. Pembuatan Sistem Polder
h. Pembangunan Sudetan

9.5.3.4 Pengembangan Drainase Skala Kawasan Berbasis Masyarakat


Pembangunan drainase skala kawasan berbasis masyarakat dengan
target peningkatan kesehatan lingkungan dan menjaga kualitas air tanah
melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam menjaga serta memelihara
parasarana drainase dan pembuatan sumur peresapan.

9 - 73
Pola pengelolaan dilaksanakan oleh Seksi yang mengelola bidang
drainase pada Dinas terkait dan bekerjasama dengan lembaga swasta dan
masyarakat. Penanganan program dilakukan melalui kegiatan – kegiatan :

a. Penyuluhan Peran Masyarakat dalam Pemeliharaan Prasarana


Drainase untuk Mendukung Terciptanya Kesehatan Lingkungan
b. Sosialiasi dan Fasilitasi Pembangunan Sumur Peresapan Air Hujan
(SPAH) dan Prasarana Peningkatan Inflitrasi.

9.5.3.5 Pengelolaan Sistem Drainase Terpadu Mendukung Konservasi


Sumber Daya Air.
Pengelolaan sistem drainase terpadu mendukung konservasi sumber
daya air dengan target pengembangan sistem drainase skala kawasan secara
terpadu untuk mendukung keseimbangan tata air.

Pola pengelolaan dilaksanakan oleh Seksi yang mengelola bidang


drainase pada Dinas terkait dan bekerjasama dengan lembaga swasta.
Penanganan program dilakukan melalui kegiatan – kegiatan :

a. Pembuatan Sumur Peresapan Air Hujan (SPAH)


b. Fasilitasi dan Pembuatan Green Drainage untuk Mengatasi Erosi
Lahan.
c. Pembangunan Tandon Air / Embung

Usulan pembiayaan untuk setiap kegiatan yang merupakan derivat dari setiap
program bagi masing – masing kabupaten / kota disajikan pada Tabel 9.6 s/d
9.10.

9 - 74
HALAMAN 9-75 S/D 9 – 79 UNTUK TABEL EXCEL (TABEL
9.6 S/D 9.10)

9 - 75
9.5.4 Rencana Implementasi Program

9.5.4.1 Umum
Rencana implementasi program adalah suatu rencana pelaksanaan
yang disusun untuk memberikan gambaran mengenai rencana pelaksanaan
pembangunan, tahapan pelaksanaan serta rencana pembiayaan.

Dengan disusunnya rencana implementasi program, maka seluruh pihak yang


terkait dengan rencana pembangunan sarana drainase dapat menyiapkan
langkah-langkah yang tepat. Dengan demikian, diharapkan pembangunan
sarana drainase di wilayah studi akan terlaksana secara terpadu, terkoordinasi,
terintegrasi dan sesuai dengan jadwal yang direncanakan.

9.5.4.2 Penentuan Skala Prioritas


Melaksanakan program secara komprehensif secara bersamaan
adalah suatu langkah yang paling ideal. Namun ditengah keterbatasan terutama
menyangkut kemampuan pembiayaan, maka konsep pelaksanaan ideal tersebut
hanya menjadi suatu utopi. Jumlah dana tersedia yang selalu lebih kecil dari
kebutuhan merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh manajemen
pengelolaan drainase di setiap kabupaten/kota. Untuk mendapatkan hasil (out
– put) pengelolaan yang optimal (sesuai dengan besar dana tersedia) diperlukan
adanya skala prioritas penanganan. Dengan adanya skala prioritas diharapkan
usulan penanganan yang diajukan benar – benar dapat dipertanggung-jawabkan
kelayakan dan manfaatnya.

Dari usulan sistem drainase yang telah dibahas pada sub bab 9.5.1 sistem
drainase di setiap kabupaten/kota akan dibagi menurut sistem sungai
utamanya. Dengan demikian konsep analisis skala prioritas yang diajukan dalam
studi ini adalah :

9 - 80
• Skala prioritas sistem jaringan.

• Skala prioritas sub sistem jaringan.

A. Skala Prioritas Sistem Jaringan

Analisis skala prioritas sistem jaringan dimaksud adalah untuk


menentukan urutan prioritas dari sistem jaringan yang ada di setiap wilayah
kabupaten/kota. Analisis berbasis jaringan ini dilakukan berdasarkan 2 (dua)
keriteria, yaitu :

• Kondisi jaringan dan atau efektifitas jaringan

• Dampak negatif genangan.

Analisis dilakukan melalui pemberian nilai / skor dengan terminologi yang


paling memerlukan penanganan (tingkat urgensinya tertinggi) diberikan skor
atau nilai 4 dan lebih rendah 3, 2, dan terakhir adalah 1. Tingkat prioritas
akan ditentukan nilai akhir, dimana nilai tertinggi menunjukkan tingkat
prioritas yang tinggi. Untuk skala prioritas sistem jaringan parameter yang
ditinjau meliputi 7 (tujuh) hal yaitu :
• Kondisi jaringan dan atau efektifitas jaringan :

• Kondisi Jaringan Primer

• Kondisi Jaringan Sekunder

• Kondisi Jaringan Tersier

• Dampak negatif genangan.

• Dampak sosial

• Luas genangan

• Tinggi genangan

• Lamanya genangan

9 - 81
Jika kondisi paling jelek diberi skor/nilai 4 dan kondisi paling baik 1, maka
jumlah skor 7 x 4 = 28 adalah nilai yang paling maksimum (prioritas paling
tinggi) dan 7 adalah yang paling minimum (prioritas paling rendah).

Lebih jelasnya mengenai analisis skala prioritas berbasis jaringan dapat


dilihat Tabel 9.11

Tabel 9.11 : Parameter untuk Analisis Prioritas Berbasis Jaringan

NO PARAMETER KONDISI SKOR KET.

I KONDISI JARINGAN
1 Kondisi Jaringan Primer Rusak Berat 4
Rusak 3
Sedang 2
Baik 1
2 Kondisi Jaringan Sekunder Rusak Berat 4
Rusak 3
Sedang 2
Baik 1
3 Kondisi Jaringan Tersier Rusak Berat 4
Rusak 3
Sedang 2
Baik 1
II DAMPAK GENANGAN
4 Dampak Sosial
1 Permukiman padat 4
2 Permukiman kurang padat 3
3 Kawasan Industri, perkantoran 2
4 Sawah / ladang 1
5 Luas Daerah Genangan
1 Sangat Luas > 30 Ha 4
2 Luas 20 - 30 Ha 3
3 Sedang 10 - 20 Ha 2
4 Sedikit < 10 Ha 1
6 Tinggi Genangan
1 Sangat Tinggi > 1.5 m 4
2 Tinggi 1 - 1.5 m 3
3 Sedang 0.5 - 1 m 2
4 Rendah < 0.5 m 1
7 Lamanya Genangan
1 Sangat Lama > 12 jam 4
2 Lama 8 - 12 jam 3
3 Sedang 4 - 8 jam 2
4 Rendah < 4 jam 1

9 - 82
B. Skala Prioritas Sub Sistem Jaringan

Analisis skala prioritas sub sistem jaringan dimaksud adalah untuk


menentukan prioritas penanganan dalam suatu sistem jaringan yang terdiri
dari jaringan primer, sekunder dan tersier. Asumsi, analogi dan sistem
penilaian sama dengan analisis skala prioritas berbasis jaringan, hanya
ditambah dengan parameter penilaian terhadap hirarki jaringan.

Pengertiannya adalah sebagai berikut :

• Prioritas perbaikan dalam suatu sistem jaringan adalah pada bagian


ujung atau hilir dari suatu sistem. Sehingga saluran primer akan
mendapat skor lebih tinggi dibanding dengan saluran lain yang secara
hirarki berada di bawahnya.

• Pemecahan masalah pada sistem hulu tanpa melihat kapasitas sistem


hilir, hanya akan memindahkan permasalahan yang ada. Oleh karena
itu pemecahan masalah pada sistem hilir/akhir/ujung akan mendapat
prioritas yang lebih tinggi.

Analisis ini didasarkan pada 6 (enam) parameter dengan skor tertinggi 6 x 4


= 24 (paling prioritas) dan terendah adalah 6 (prioritas paling rendah). Lebih
jelasnya mengenai analisis skala prioritas sub sistem jaringan dapat dilihat
Tabel 9.12.

9 - 83
Tabel 9.12 : Parameter untuk Analisis Prioritas Sub Sistem Jaringan

NO PARAMETER KONDISI SKOR KET.

I KONDISI JARINGAN
1 Fungsi Saluran Primer 4
Sekunder 3
Tersier 2
Kuarter 1
2 Kondisi Jaringan Rusak Berat 4
Rusak 3
Sedang 2
Baik 1
II DAMPAK GENANGAN
3 Dampak Sosial
1 Permukiman padat 4
2 Permukiman kurang padat 3
3 Kawasan Industri, perkantoran 2
4 Sawah / ladang 1
4 Luas Daerah Genangan
1 Sangat Luas > 30 Ha 4
2 Luas 20 - 30 Ha 3
3 Sedang 10 - 20 Ha 2
4 Sedikit < 10 Ha 1
5 Tinggi Genangan
1 Sangat Tinggi > 1.5 m 4
2 Tinggi 1 - 1.5 m 3
3 Sedang 0.5 - 1 m 2
4 Rendah < 0.5 m 1
6 Lamanya Genangan
1 Sangat Lama > 12 jam 4
2 Lama 8 - 12 jam 3
3 Sedang 4 - 8 jam 2
4 Rendah < 4 jam 1

9.5.4.3 Tahapan Pelaksanaan


Pelaksanaan proyek atau pembangunan adalah kegiatan yang akan
dilakukan setelah adanya rekomendasi/program penanganan. Namun,
mengingat seluruh program penanganan tersebut tidak dapat dilaksanakan
secara bersamaan karena adanya beberapa kendala, seperti ketersediaan dana,

9 - 84
ketersediaan lahan, dan berbagai faktor lainnya, maka program penanganan
tersebut akan dibagi-bagi dalam beberapa tahapan pelaksanaan.

Adapun pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan sebagai dasar


penyusunan tahapan pelaksanaan adalah sebagai berikut :
1. Bersifat mendesak, yaitu program penanganan yang ditujukan untuk
mengatasi permasalahan yang perlu ditangani dengan segera
berdasarkan skala prioritas yang ada
2. Bersifat strategis, yaitu program penanganan yang dapat mendorong
berkembangnya kegiatan lainnya
3. Sesuai dengan arahan pola dasar pembangunan dan pengembangan
wilayah
4. Sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah, baik dari segi ekonomi,
politik, sosial maupun budaya

Secara umum, tahapan pelaksanaan pembangunan sarana drainase di wilayah


Wilayah studi akan terbagi dalam 2 (dua) tahapan, yaitu :

1. Program jangka pendek (program mendesak)


Penanganan jangka pendek (mendesak) dipusatkan pada
penggunaan fasilitas sarana drainase yang telah ada dan bagaimana
memperbaiki kinerjanya. Hal ini juga berkaitan dengan
pemeliharaan saluran drainase eksisting, pekerjaan/pembangunan
baru dan perbaikan dalam skala yang terbatas dan biasanya relatif
tidak mahal serta segera dapat dilaksanakan.

Dengan demikian, penanganan jangka pendek adalah kegiatan


penanganan sistem drainase Wilayah studi yang bertujuan untuk
membuat sistem drainase yang ada menjadi lebih baik dan efisien
dengan biaya yang relatif murah.

9 - 85
2. Program jangka menengah (program 5 tahun)
Penanganan jangka menengah adalah kegiatan penanganan yang
bersifat strategis, dimana penanganan merupakan langkah awal dari
program penanganan jangka panjang. Dalam program jangka
menengah, penanganan yang direncanakan adalah sesuai dengan
kebutuhan pengembangan sistem drainase di wilayah Wilayah studi,
dengan demikian akan diperlukan biaya yang relatif mahal.

9 - 86

You might also like