You are on page 1of 8

PROSEDUR PENYELESAIAN PHK

Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan. Adapun prosedur untuk Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut : (1) Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja/buruh dengan ketentuan skorsing telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (2) Dalam hal pengusaha melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha wajib membayar upah selama skorsing paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah yang diterima pekerja/buruh. (3) Skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan dengan alasan yang jelas, dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan harus diberikan kesempatan membela diri. (4) Pemberian upah selama skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan. (5) Setelah masa skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir, maka pengusaha tidak berkewajiban membayar upah, kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat. Pasal 17A Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 menyatakan : (1) Dalam hal pengusaha mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), maka selama ijin pemutusan hubungan kerja belum diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pekerja/buruh harus tetap melakukan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama proses 100% (seratus perseratus). (2) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja tetapi pengusaha tidak mengajukan permohonan ijin, pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan pemutusan

hubungan kerja tersebut menjadi perselisihan, maka sebelum ada putusan Panitia Daerah atau Panitia Pusat, upah pekerja/buruh selama proses dibayar 100% (seratus perseratus). Dalam Pasal 18-nya, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 menegaskan : (1) Ijin pemutusan hubungan kerja dapat diberikan karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagai berikut : a. penipuan, pencurian dan penggelapan barang/uang milik pengusaha atau milik teman

sekerja atau milik teman pengusaha; atau b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan pengusaha atau

kepentingan negara; atau c. mabok, minum-minuman keras yang memabokkan, madat, memakai obat bius atau menyalahgunakan obat obatan terlarang atau obat-obatan perangsang lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan di tempat kerja, dan di tempat-tempat yang ditetapkan perusahaan; atau d. e. melakukan perbuatan asuslia atau melakukan perjudian di tempat kerja; atau menyerang, mengintimidasi atau menipu pengusaha atau teman sekerja dan

memperdagangkan barang terlarang baik dalam lingkungan perusahaan maupun di luar lingkungan perusahaan; atau f. menganiaya, mengancam secara physik atau mental, menghina secara kasar pengusaha atau

keluarga pengusaha atau teman sekerja; atau g. membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk metakukan sesuatu perbuatan yang

bertentangan dengan hukum atau kesusilaan serta peraturan perundangan yang berlaku; atau h. dengan ceroboh atau sengaja merusak, merugikan atau membiarkan dalam keadaan bahaya

barang milik pengusaha; atau i. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan diri atau teman sekerjanya dalam

keadaan bahaya; atau j. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan atau mencemarkan nama baik

pengusaha dan atau keluarga pengusaha yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; dan k. hal-hal lain yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian

kerja bersama.

(2) Pengusaha dalam memutuskan hubungan kerja pekerja/buruh dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyertakan bukti yang ada dalam permohonan ijin pemutusan hubungan kerja. (3) Terhadap kesalahan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan tindakah skorsing sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panida Pusat dengan ketentuan skorsing tersebut telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (4) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhak atas uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tetapi berhak atas ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 B. (5) Pekerja/buruh yang melakukan kesalahan di luar kesalahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diputuskan hubungan kerjanya dengan mendapat uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

B. Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.


1. Perundingan Bipartit Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.

2. Perundingan Tripartit Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:
a. Mediasi

Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi

Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
c. Arbitrase

Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer. 3. Pengadilan Hubungan Industrial Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar. Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: (i)Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, (ii) perselisihan kepentingan dan (iii) perselisihan antar serikat pekerja. 4. Kasasi (Mahkamah Agung)

Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.

Aturan Hukum PHK


Posted on Juli 5, 2009 by novanherfiyana

Krisis keuangan global berimbas ke Indonesia. Hal itu turut memengaruhi dunia ketenagakerjaan di tanah air. Ancaman atau peluang, itu soal lain dan keduanya merupakan pilihan yang harus disikapi. Pada awalnya setiap orang melakukan usaha (bisnis) bertujuan untuk dapat menyejahterakan dirinya, lalu anggota perusahaan, dan lebih luas lagi masyarakat. Namun, tidak selamanya bisnis itu tumbuh dan berkembang sebagaimana yang diharapkan. Ada kalanya suatu bisnis mengalami kerugian sehingga perusahaan harus melakukan efisiensi, termasuk mengurangi karyawan/pekerja/buruh (selanjutnya ditulis pekerja) melalui proses PHK (pemutusan hubungan kerja). Bagi pekerja, ada dua pandangan tentang PHK, bencana atau berkah. Namun, percayalah bahwa perusahaan pun pada dasarnya tidak mau mem-PHK pekerjanya karena pekerja merupakan mitra pengusaha dalam memajukan perusahaannya. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Dalam praktiknya (menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), PHK dapat disebabkan peristiwa meninggal dunia, memasuki masa pensiun, masa berlaku perjanjian kerja telah berakhir, calon pekerja tidak lulus dalam masa percobaan kerja, pelanggaran berat, pengunduran diri atas keinginan sendiri, perubahan status kepemilikan perusahaan, efisiensi, dan perusahaan pailit. Meskipun PHK merupakan hal yang wajar dalam dunia ketenagakerjaan, pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan karena di dalamnya masih ada berbagai macam kepentingan (dalam pengertian positif). Selain itu, tata caranya pun membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga (pikiran). Oleh karena itu, PHK harus merupakan upaya terakhir yang dilakukan. Itulah sebabnya, pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi PHK seperti pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja. Jika segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maksud PHK tersebut wajib dirundingkan oleh pengusaha dan pekerja/serikat pekerja. Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat mem-PHK dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI). Permohonan penetapan PHK diajukan secara tertulis kepada lembaga PPHI disertai alasannya, dengan catatan bahwa permohonan penetapan itu dapat diterima lembaga PPHI apabila telah dirundingkan sebelumnya karena penetapan atas permohonan PHK hanya dapat diberikan oleh lembaga PPHI jika ternyata maksud untuk mem-PHK telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga PPHI batal demi hukum dan selama belum ada putusan, pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, kecuali jika pengusaha melakukan penyimpangan berupa skors dengan catatan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya.

Selain itu, ada pula jenis-jenis PHK yang tidak memerlukan penetapan lembaga PPHI yaitu apabila pekerja, (a) masih dalam masa percobaan kerja jika telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya, (b) mengajukan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada tekanan/intimidasi dari pengusaha, (c) mengakhiri hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali, (d) sesuai ketentuan telah memasuki masa pensiun, dan (e) meninggal dunia. Setiap jenis PHK mempunyai konsekuensi masing-masing. Dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Jumlahnya pun berbeda-beda bergantung pada jenis PHK yang dikenakan. Namun, besarannya antara 1-2 kali uang pesangon/uang penghargaan masa kerja/uang penggantian hak yang penghitungannya didasarkan penghitungan ketiga komponen tersebut. Penghitungan uang pesangon, paling sedikit diberikan kepada pekerja yang bermasa kerja kurang dari satu tahun sampai 8 tahun atau lebih. Besaran uang pesangon yaitu dimulai dari satu bulan upah sampai 9 bulan upah secara proporsional per interval satu tahun (0-1, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5, 5-6, 6-7, 7-8, dan lebih dari 8 tahun). Misalnya, masa kerja paling sedikit (interval per satu tahun untuk 0-1 tahun) berhak satu bulan upah, sedangkan masa kerja terbanyak (interval per satu tahun untuk yang lebih dari 8 tahun) berhak 9 bulan upah. Penghitungan uang penghargaan masa kerja paling sedikit diberikan kepada pekerja yang bermasa kerja 3-6 tahun sampai 24 tahun atau lebih. Besaran uang penghargaan masa kerja yaitu dimulai dari 2 bulan upah sampai 10 bulan upah secara proporsional per interval tiga tahun (3-6, 6-9, 9-12, 12-15, 15-18, 18-21, 21-24, dan lebih dari 24 tahun). Misalnya, masa kerja paling sedikit (interval per tiga tahun untuk 3-6 tahun) berhak 2 bulan upah, sedangkan masa kerja terbanyak (interval per tiga tahun untuk yang lebih dari 24 tahun) berhak 10 bulan upah. Selain berhak uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, pekerja yang di-PHK pun berhak uang penggantian hak yang meliputi cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja (misalnya: direkrut di Jakarta, tetapi dipekerjakan di Bandung), penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan (ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat), dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB). Dari penghitungan itu, pekerja yang telah bekerja selama hampir 5 tahun misalnya dan kemudian di-PHK karena perusahaan melakukan efisiensi (sebagai salah satu jenis PHK) bukan karena perusahaan merugi selama 2 tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa, pekerja yang bersangkutan berhak atas uang pesangon (sebesar 2 kali dari ketentuan), uang penghargaan masa kerja (sebesar satu kali dari ketentuan), dan uang penggantian hak. Jadi, pekerja tersebut memperoleh uang pesangon (2 x 5 bulan upah = 10 bulan upah) dan uang penghargaan masa kerja (1 x 2 bulan upah = 2 bulan upah) serta uang penggantian hak. Namun demikian, khusus bagi pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, hanya berhak atas uang penggantian hak. Selain itu, pekerja yang tugas dan fungsinya tidak mewakili

kepentingan pengusaha secara langsung berhak pula uang pisah. Sayangnya, karena UU Ketenagakerjaan tidak mengaturnya, hak-hak seperti itu hanya diberikan kalau diatur dalam PK, PP, atau PKB (sebagai catatan: dalam praktiknya, atas kebaikan hati pengusaha, pekerja yang bersangkutan hanya diberikan minimal satu bulan upah). Itu pun diberikan jika pekerja yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat, mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri, tidak terikat dalam ikatan dinas, dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Coba bandingkan pekerja yang mengundurkan diri dengan pekerja yang berbuat ulah (melakukan pelanggaran) dengan maksud ingin di-PHK dan mendapatkan hak-hak PHK-nya? Dilihat dari besarnya hak-hak PHK yang harus dibayar pengusaha, jelas hal itu sangat memberatkannya (terlepas dari konsekuensinya sebagai pebisnis di Indonesia). Pilihannya antara membayar hak PHK atau tidak berbisnis ini lagi. Solusi sementara ialah merumahkan sementara pekerjanya sampai situasi dan kondisi yang benar-benar cerah bagi roda perusahaan. Kalau perlu, antara pekerja dan pengusaha dapat saling memahami dan bekerja sama kembali untuk memajukan perusahaannya dengan cara yang sedemikian rupa.

You might also like