You are on page 1of 5

makalah tentang kekerasan pelajar

KEKERASAN PELAJAR

Guru kencing Berdiri, murid Kencing Berlari Suatu idiom yang sering kita denger ketika ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang dilakukan oleh seorang pendidik akan diikuti oleh murid melebihi apa yang mereka lakukan. Seorang pendidik menjadi panutan bagi mereka yang anak didiknya, apabila pendidiknya baik maka anak didiknya akan lebih baik lagi tetapi apabila pendidiknya jelek maka anak didiknya akan lebih jelek lagi. Akhir-akhir kita selalu dikejutkan dengan tindakan-tindakan pelajar yang tidak dapat kita duga-duga, kekerasan demi kekerasan terjadi di dunia pelajar Indonesia, kasus yang terbaru adalah tindakan kekerasan yang dilakukan kakak kelas kepada adik kelasnya di SMA Negeri 9 Jakarta, dimana siswa kelas I dipaksa berkelahi dengan siswa kelas 3 hanya karena membuat jaket almamater berbeda tanpa izin. Selain itu siswa-siswa kelas 1 juga diwajibkan mengikuti penataran yang dilakukan kakak-kakak kelasnya. Mereka disuruh buka baju, berlari dan bahkan ditampar. (detiknews.com senin, 01/12/2008 15:50 WIB) sebelum tindakan kekerasan ini, sudah terlalu banyak, dari tawuran yang terjadi tanpa ada sebab yang jelas hingga adanya geng-geng pelajar yang sering melakukan tindakan kekerasan, seperti geng NERO. Kenapa tindakan-tindakan kekerasan itu bisa terjadi dikalangan pelajar yang notebonenya adalah generasi bangsa yang akan mengambil alih tampuk kepemimpinan nantinya, apabila sekarang mereka sudah terbiasa dengan tindak kekerasan, kita tidak akan dapat membayangkan bagaimanan jadinya bangsa ini nantinya. Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pelajar tidak mungkin terjadi secara tiba-tiba saja, pasti ada akar permasalahan, kenapa pelajar suka melakukan tindakan kekerasan, maka banyak indikasi yang di dapat, antara lain :

1. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pediatrics Investigators Dimitri A. Christakis, MD, MPH dan Frederick Zimmerman, PhD, pada rumah sakit Seattle Childrens Hospital Research Institute dan University of Washington School of Medicine menyimpulkan bahwa perilaku agresi yang dilakukan anak usia remaja sangat berhubungan dengan kebiasaannya dalam menonton tayangan televisi. Kalau berdasarkan research yang ada maka sudah sangat wajar kalau banyak pelajar melakukan tindak kekerasan karena ini berbanding dengan banyaknya tayangan televisi (film maupun sinetron) yang menayangkan tindakkan-tindakan kekerasan 2. Tidak optimalnya para pendidik memberikan pola pendidikan kepada para anak didiknya, dimana mereka masih dipusingkan dengan bagaimana mereka dapat menghidupin keluarganya dikarenakan minimnya upah yang mereka terima, sehingga menjadi pendidik merupakan profesi atau pekerjaan an sich bukan sebagai wujud pembinaan kepada generasi muda yang berasal dari panggilan jiwa. Para pendidikan dimata anak didiknya bagaikan monster yang ditakutin, karena mereka tidak memberlakukan anak didiknya secara lebih manusiawi, dimana apabila mereka melakukan kesalahan sedikit saja (contoh tidak memakaiatribut sekolah yang lengkap sesuai aturan atau datang terlambat mereka pasti akan dihukum tetapi apabila itu terjadi dengan guru maka tidak ada hukuman yang diberikan oleh pihak sekolah) Sehingga masa-masa pencarian jati diri dikalangan pelajar menjadi salah karena sekolah sebagai tempat mencari ilmu tidak ubahnya menjadi penjara yang menindas ekspresi mereka. 3. Kebijakkan pemerintah yang tidak memihak pelajar, yang tidak berdasarkan basic needed pelajar, seringkali kebijakkan yang dibuat hanya berdasarkan kebutuhan penguasa tanpa melihat dan melakukan survei apa kebutuhan pelajar. Pelajar hanya sebagai objek pendidikan sehingga eksistensi mereka tidak diakui, seperti apa yang disampaikan oleh Poule Fiere bahwa pendidikan tidak membebaskan peserta didik dari belenggu tetapi pendidikkan malahan menjadi tirani bagi mereka contoh pemaksaan itu seperti pelaksanaan UN yang membuat pelajar harus menyiapkan diri sebegitu kerasnya untuk belajar hingga mereka tidak memiliki waktu lagi untuk bermain, hampir 24 dalam sehari, 7 hari dalam seminggu pelajar harus belajar untuk dapat menghadapi UN contoh lainnya adalah yang tidak begitu lama terjadi di DKI Jakarta, dengan alas an untuk mengurangi kemacetan yang sangat parah yang terjadi di Jakarta, Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pendidikan membuat Peraturan Daerah untuk memajukan waktu masuk sekolah, suatu bentuk pemaksaan penguasa bagi pelajar. Dari semua akar masalah yang ada, korban utamanya adalah tetap pelajar, mereka tetap menjadi pihak yang bersalah, semua orang menyalahkan pelajar, tanpa mau melihat akar masalahnya, itupun yang dilakukan oleh para pejabat dan juga para guru, tindak kekerasan yang dilakukan oleh Geng Nero, dipidana oleh Pengadilan dengan hokum percobaan mereka disamakan dengan para pelaku kriminal dan oleh pihak sekolah mereka diberhentikan. Para pelaku tawuran, ditangka oleh aparat polisi seperti para pelaku kriminal lainnya, sebelum jelas apakah mereka bersalah atau tidak hukuman sudah ditetapkan dengan dijemur, diperintahkan untuk membuka baju sampai ada yang kepalanya di botaki dan pihak sekolah pun memberikan hukuman berupa surat pemecatan dari sekolah.

Sehingga tidak ada sedikitpun pihak yang mencoba membela pelajar atas apa yang mereka lakukan, dan ini menurut saya merupakan penyebab utama kenapa pelajar suka melakukan tindak kekerasan Kalau seandainya para birokrat, para guru, pemilik media (televisi) dan orang tua memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai yang anti kekerasan dan menghargai eksistensi dan ekspresi pelajar maka perilaku tindak kekerasan yang sekarang sering dilakukan oleh pelajar dengan sendirinya akan hilang. Kalau itu dapat dilaksanakan maka kita akan memiliki generasi penerus bangsa yang anti kekerasan dan berperilaku cerdas dalam berpikir serta santun dalam berperilaku sehingga kehidupan yang lebih baik bagi bangsa ini bukan hanya mimpi belaka.

Kekerasan dalam dunia pendidikan kembali terjadi. Satu bentuk kekerasan terjadi dilakukan siswa kepada siswa yang lain. Seorang siswa harus mendapatkan perawatan yang serius karena dikeroyok oleh teman satu sekolahnya. Bukan itu saja, kekerasan juga terjadi dan dilakukan oleh guru kepada siswanya. (radar bojonegoro 4 maret 2009). Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk berprestasi, tetapi menjadi ajang premanisme. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar tentang normanorma kemasyarakatan yang baik, tetapi dijadikan rimba tanpa hukum. Siapa yang kuat, siapa yang berkuasa, siapa yang memimpin merekalah yang diatas dan memiliki legalitas untuk menindas yang lain. Kekerasan sering terjadi bukan dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis. Hal-hal yang sepele dapat menjadi alasan untuk melakukan kekerasan. Bahkan terkadang kekerasan dilakukan tanpa alasan. Mengapa terjadi kekerasan diantara siswa ? Kekerasan antar siswa merupakan bagian terbesar dari kasus kekerasan di sekolah. Kasus ini bagaikan gunung es, yang terekspos oleh media adalah kekerasan yang terlaporkan. Sedangkan kasus kekerasan yang tak pernah dilaporkan jumlahnya tentu lebih banyak. Siswa adalah individu yang sedang belajar. Belajar mengenali diri, dan juga belajar mengenali lingkungan. Kekerasan yang terjadi antar siswa, biasanya dipicu oleh pencarian jati diri siswa, disinilah kadang terjadi konflik psikologis dalam diri siswa yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah. Banyak cara yang ditempuh oleh siswa untuk menemukan jati dirinya. Pencarian jati diri yang positif siswa lakukan dengan cara berprestasi dan berkompetisi dalam bidang akademik maupun dibidang olah raga dan seni. Tetapi menjadi hal yang berbahaya bila pencarian jati diri ini mereka lakukan dengan adu kekerasan. Guru harus berperan aktif dalam membina siswa yang terindikasi salah arah dalam pencarian jati diri ini khususnya guru konseling/BK. Tetapi kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua siswa merupakan formulasi yang tepat dalam menangani masalah kekerasan diantara siswa. Usia siswa yang masih remaja memerlukan perhatian yang cukup. Guru tidak mungkin sendirian menyelesaikan konflik psikologis dalam diri siswa. Perhatian dari orang tua akan sangat membantu dalam penyelesaian ini. Tetapi terkadang yang terjadi adalah sebaliknya, orang tua terlalu sibuk dengan urusan mereka dan kurang memperhatikan perkembangan psikologis anaknya. Ketika kemudian terjadi masalah, barulah mereka kelabakan. Kerjasama antara sekolah dan orang tua siswa dalam membantu mengelola konflik psikologis siswa dapat meredam

kekerasan antar siswa. Menjadi suatu pertanyaan besar jika kekerasan terjadi dari pihak guru kepada siswa. Hal ini sangat memalukan dunia pendidikan. Tetapi apakah benar guru melakukan kekerasan pada siswanya ? hal itu masih perlu dipertanyakan. Bila siswa berprestasi maka harus diberi hadiah dan bila siswa tidak disiplin atau melakukan penyimpangan prilaku, maka harus diberikan hukuman sebagai pembelajaran psikologis bagi siswa. Setiap guru mempunyai cara tersendiri dalam menyikapi pelanggaran disiplin/penyimpangan prilaku yang dilakukan oleh siswa. Ada sebagian guru yang cukup dengan memberikan hukuman berupa tugas-tugas akademik. Ada guru yang mungkin memberikan hukuman berupa perlakuan fisik, seperti menyuruh siswa berdiri didepan kelas, mencubit bagian tertentu di tubuh siswa (biasanya telinga), atau hukuman fisik lain yang sifatnya mendidik. Tetapi hal ini terkadang disalah tafsirkan sebagai suatu bentuk kekerasan. Kalau toh terjadi kekerasan dalam arti yang sebenarnya, memang hal itu perlu disayangkan dan dipertanyakan. Mengapa hal itu terjadi ? mengupas jawaban dari pertanyaan ini tidaklah mudah, tetapi bila dirangkum jawaban itu menjadi suatu kesimpulan, maka kesimpulannya adalah kekerasan terjadi karena kurang harmonisnya komunikasi antara siswa dan guru. Kekerasan terjadi juga karena kejenuhan psikologis guru. Dua hal ini dapat menjadi pijakan bagi pencarian solusi agar kekerasan disekolah dapat diminimalkan. Supaya terjalin komunikasi yang harmonis dan mengurangi kejenuhan maka harus ada suatu program penyegaran/refreshing bersama. Program penyegaran ini dapat dilakukan secara berkala. dalam program ini diharapkan ada sambung rasa antara guru dan siswa sehingga miskomunikasi dapat diminimalkan. Siswa jadi lebih memahami karakter dan pribadi gurunya, demikian juga sebaliknya. Program ini bukan hanya mempererat hubungan antar siswa dan guru, tetapi juga siswa dengan siswa. Tidak perlu mengeluarkan dana yang besar untuk refreshing. Tidak perlu pergi kesuatu tempat yang jauh untuk berekreasi. Acara sederhana bisa menjadi sarana refreshing yang efektif. Berkebun, persami (perkemahan sabtu malam minggu), lomba memancing, membersihkan kelas bersama, jalan sehat, out bond sederhana dan masih banyak kegiatan yang dapat dilakukan bersama dengan biaya murah. Sesederhana apapun kegiatan yang dilakukan, tetapi jika setiap partisipan menyadari tentang pentingnya kegiatan itu, maka tujuan kegiatan akan tercapai.
Memotong Budaya kekerasan Kasus kekerasan di kalangan pelajar sangat meresahkan sekaligus menodai dunia pendidikan Indonesia yang masih dihantui banyak masalah. Apalagi kasus kekerasan yang terjadi menimbulkan kerusakan, perampasan dan luka fisik. Persoalan ini menegaskan ada kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia. Jika tidak, mengapa kekerasan dalam pendidikan terus menerus terulang? Menanggapi itu, kita perlu mencari akar permasalahan atas berbagai kekerasan pelajar. Pertama, meninjau kembali implementasi pendidikan karakter. Pendidikan karakter, menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak.

Sementara menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Dalam penerapannya, pendidikan karakter bergerak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang. Untuk itu, ada baiknya pemerintah memberi kesempatan membuat pembelajaran kreatif sesuai kebutuhan siswa. Misalnya, aktivitas negatif tawuran dapat dialihkan dengan memassifkan kegiatan olahraga positif. Tidak ada salahnya, pemerintah dan sekolah menggagas olahraga tinju sebagai kegiatan alternatif yang positif. Kedua, spritualitas dalam pendidikan. Mengutip Rachael Kasler dalam bukunya The Soul of Education, pada dasarnya siswa merindukan pendidikan spiritual untuk menyiapkan mereka membangun inter-connection (silaturahmi, baik dengan Tuhan, manusia dan alam) , compassion (rasa kasih sayang dan kepedulian), dan character (akhlak mulia) agar dapat mengisi kehidupan mereka. Penerapan spiritualitas dapat dimanifestasikan melalui memaksimalkan kegiatan kerohanian, pelajaran agama, dan pergaulan guru kepada murid. Kegiatan keagamaan diharapkan dapat membantu internalisasi nilai positif. Selain itu, mencegah lebih baik daripada mengobati. Jika deteksi dini sudah dilakukan maka potensi penyimpangan dapat diminimalisir. Ketiga, penegakan hukum yang tegas dari pihak sekolah. Pemberian hukuman sebaiknya tidak dipahami dari sudut pandang negatif. Sebab hukuman diberikan untuk memberikan efek jera. Sekarang, yang diperlukan adalah mekanisme dan paradigma hukuman. Usahakan hukuman bersifat mendidik dan konstruktif, bukan menghakimi agar tidak menambah keliaran siswa. Dalam sudut pandang sosiologi, perilaku tawuran termasuk konformitas perilaku agresivitas kelompok. Sebab pelaku menganggap tawuran sebagai sesuatu yang normatif dan dianggap sebagai kebenaran kelompok. (Simangunsong, 2004). Pada titik ini, peran strategis sekolah dapat dimainkan yaitu memberikan penyadaran kepada siswa dimana tawuran perilaku menyimpang dan memberikan hukuman bersifat mendidik. Menyudahi Kekerasan Perilaku kekerasan bukan cerminan budaya manusia Indonesia apalagi jika terjadi pada kelompok intelektual terdidik seperti pelajar dan wartawan. Dalam konteks sekarang, perlu ada pengembalian fungsi hati nurani dan logika. Semua pihak harus berusaha keras memutus budaya kekerasan yang menjangkiti pendidikan Indonesia. Akhirnya, kita berharap upaya perdamaian dapat dilakukan pihak yang bertikai. Pemerintah, kepolisian dan sekolah harus memberikan perhatian serius perubahan mentalitas siswa. Menyalahkan salah satu pihak, baik pelajar maupun wartawan bukan sebuah sikap bijak. Sebaiknya, kita saling saling intropeksi diri agar kasus tersebut tidak terulang kembali.

You might also like