You are on page 1of 3

TUGAS UTS SEMESTER II MATA KULIAH ILMU TASAWUF Dosen : Nurlaily Fauziyah MA.

Disusun oleh : Munawaroh Tentang Manaqib dan Keramat Pengertian Manakib dan Keramat Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang. Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya.

Orang-orang sufi (berjuang secara lahir-bathin menjalankan perintah Allah) yakin, bahwa wali-wali itu mempunnyai keistimewaan, kelihatan pada dirinya keadaan yang aneh-aneh. Pada saat tertentu mereka dapat menciptakan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh manusia pada umumnya, pekerjaan-pekerjaan yang luar biasa tesebut di namakan KERAMAT. Perkataan keramat diambil dari bahasa arab karomah, yang berarti tidak lebih dan tidak kurang daripada pengertian mulia, murah dan tinggi budi. Tetapi dalam pengertian sufi keramat itu mempunyai pengertian yang kita sebutkan di atas. Lalu dalam kitab-kitab tasawwuf kita dapati pengertian bahwa keramat adalah sesuatu pekerjaan yang luar biasa di luar akal manusia, akan tetapi keramat tidak harus diartikan terpilih dengan Nubuwah tidak juga tanda-tanda pendahuluan daripada Nubuwah. Keramat tidak hanya pada para wali Allah, bisa juga lahir pada seorang hamba Allah yang biasa,akan tetapi sholih dan tetap mengikuti syariat Rosulullaah Saw. Bersih Itikadnya dan mengerjakan segala ibadah dan amal sholih. Perbedaan dengan para nabi bahwa oarang-orang keramat tersebut tidak masum (terpelihara daripada segala pekerjaan jahat, karena sifat ini hanya dikhususkan kepada para Nabi Allah. Akan tetapi wali-wali Allah adalah mahfuz yang artinya juga terpelihara daripada segala perbuatan yang maksiat, yang artinya para wali tidak mengerjakan perbuatan yang maksiat, tetapi jika mengerjakan juga, maka wali-wali Allah itu akan

segera menyesali dan taubat atas segala dosa dengan sempurna-sempurnanya taubat kepada Allah. Adapun orang-orang yang juga memiliki kekeramatan akan tetapi sering-kali melakukan kemaksiatan tidak bisa disebut karomah atau mahfuz, dan bukanlah termasuk golongan wali-wali atau orang keramat akan tetapi istidroj (dilulu = jawa). Kejadian keramat pada para wali Allah bukanlah suatu yang mustahil dalam kekuasaan Allah karena para wali termasuk orang yang mumin, seperti mujizat para Nabi. Oleh karena itu kejadian yang aneh (keramat) tidak pernah disangkal oleh salah satu daripada empat mazhab Ahli Sunnah, terutama tanda-tanda keramat setelah mati, karena tanda keramat sesudah mati ini lebih baik sebab terbebas daripada buruksangka. Setengah Ulama berkata bahwa seorang wali yang tidak lahir keramatnya sesudah mati, sebagaimana terjadi dikala hidupnya, maka keramatnya tidak benar demikian kewalian-nya. Beberapa Syekh thoriqot menerangkan bahwa Allah menempatkan sebagai wakilnya pada tiap-tiap makam para wali seorang malaikat, yang akan melaksanakan segala hajat dan keperluan orang, bahkan sekali-kali wali itu sendiri keluar dari makamnya untuk menyempurnakan hajat orang tersebut.

Pengertian keramat (Arab: karmah) menurut Guru Munawwar yang mengutip definisi yang dikemukakan oleh Syekh Thhir ibn Slih al-Jazar dalam kitab Jawhir al-Kalmiyyah adalah perkara yang menyalahi adat yang nampak pada diri para wali Allah dengan tidak disertai pengakuan dirinya sebagai nabi.35 Selanjutnya Guru Munawwar menjelaskan bahwa suatu perkara yang menyalahi adat merupakan kemurahan Allah yang diberikan kepada para walinya, orang yang rif bi Allh dan shlih. Tetapi bila perkara yang menyalahi adat itu dilakukan oleh orang kafir atau orang yang melakukan kemaksiatan itu bukan dinamakan keramat tetapi istidrj (lanjuran). Marwan mengemukakan definisi keramat secara bahasa dan istilah. Secara bahasa keramat (karmah) berarti kemuliaan, yakni kemuliaan yang diberikan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya berupa pemberian, karunia, rahmat dan sebagainya. Ia juga mengutip pendapat Ibrhm al-Bjr dalam kitab Tuhfat al-Murd bahwa keramat adalah perkara luar biasa yang tampak pada diri seseorang yang nyata kesalehannya karena selalu mengikuti Nabi, melaksanakan syariatnya, dan memiliki itiqd yang benar. Selain itu, Marwan juga mengutip pernyataan Imam Nasaf bahwa eksistensi

keramat para wali itu adalah benar. Keramat yang nampak pada diri wali dapat berbentuk seperti memperpendek jarak yang jauh menjadi singkat; munculnya makanan, minuman, dan pakaian ketika dibutuhkan; berjalan di atas air atau di udara; berbagai macam benda seperti batu dan binatang dapat berbicara, dan bentuk lainnya. Dari beberapa definisi dan pernyataan di atas, nampak bahwa keramat itu hanya muncul pada seseorang yang memiliki kualitas tertentu seperti orang itu harus nyata kesalehannya, melaksanakan syariat, mengikuti jejak Nabi, itiqd-nya benar, dan keagamaannya benar sesuai dengan risalah Rasulullah. Orang-orang seperti inilah yang mendapat keramat dan dapat disebut wali Allah. Sebaliknya, orang yang tidak jelas kesalihannya, tidak jelas ketaatannya pada syariat, tidak jelas mutabaah-nya dengan Nabi, tidak jelas itiqd-nya dan keberagamaannya maka orang ini belum bisa disebut wali walaupun mampu memperlihatkan keajaiban (al-khriq al- dah).

You might also like