You are on page 1of 24

Polip hidung adalah massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat dalam rongga gidung.

Paling sering berasal dari sinus etmoid, multiple, dan bilateral. Biasanya pada orang dewasa. Pada anak mungkin merupakan gejala kistik fibrosis. Epistaksis adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung akibat sebab kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Mimisan terjadi pada hidung karena hidung punya banyak pembuluh darah, terutama di balik lapisan tipis cupingnya. Mimisan sendiri bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit, itu artinya mimisan bisa terjadi karena bermacam sebab dari yang ringan sampai yang berat.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Polip Hidung. Polip hidung adalah massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat dalam rongga gidung. Paling sering berasal dari sinus etmoid, multiple, dan bilateral. Biasanya pada orang dewasa. 2.2 Etiologi.

Terjadi akibat reaksi hipertensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel. Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti. Polip disebabkan oleh reaksi alergi atau reaksi radang. Bentuknya bertangkai, tidak mengandung pembuluh darah. Di hidung polip dapat tumbuh banyak, apalagi bila asalnya dari sinus etmoid. Bila asalnya dari sinus maksila, maka polip itu tumbuh hanya satu, dan berada di lubang hidung yang menghadap ke nasofaring (konka). Keadaan ini disebut polip konka. Polip konka biasanya lebih besar dari polip hidung. Polip itu harus dikeluarkan, oleh karena bila tidak, sebagai komplikasinya dapat terjadi sinusitis. Polip itu dapat tumbuh banyak, sehingga kadang-kadang tampak hidung penderita membesar, dan apabila penyebarannya tidak diobati setelah polip dikeluarkan, ia dapat tumbuh kembali. Oleh karena itu janganlah bosan berobat, oleh karena seringkali seseorang dioperasi untuk mengeluarkan polipnya berulang-ulang. 2.3 Faktor Predisposisi Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain : a). Alergi terutama rinitis alergi. b). Sinusitis kronik. c). Iritasi. d). Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka. 2.4 Patofisiologi. Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetic. Menurut teori Bemstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelanjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidak seimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-lama menjadi polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai. Berdasarkan jenis sel peradanganya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik. 2.5 Gejala.

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip nasi adalah hidung tersumbat. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama makin memberat. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan timbulnya gejala hiposmia bahkan anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, akan timbul sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rhinore. Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala utama adalah bersin dan iritasi di hidung. Sumbatan hidung yang menetap dan semakin berat dan rinorea. Dapat terjadi sumbatan hiposmia atau anosmia. Bila menyumbat ostium, dapat terjadi sinusitis dengan ingus purulen. Karena disebabkan alergi, gejala utama adalah bersin dan iritasi di hidung. Pada pemeriksaan klinis tampak massa putih keabu-abuan atau kuning kemerah-merahan dalam kavum nasi. Polip bertangkai sehingga mudah digerakkan, konsistensinya lunak, tidak nyeri bila ditekan, mudah berdarah, dan tidak mengecil pada pemakaian vasokontriktor. Pada rhinoskopi anterior polip nasi sering harus dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaannya: Polip Bertangkai Mudah digerakkan Tidak nyeri tekan Tidak mudah berdarah Pada pemakaian vasokonstriktor tidak mengecil Konka polipoid Tidak bertangkai Sukar digerakkan Nyeri bila ditekan dengan pinset Mudah berdarah Dapat mengecil dengan vasokonstriktor

2.6 Pemeriksaan Fisik. Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebar batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997) : Stadium 1 : polip masi terbatas di meatus medius. Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung. Stadium 3 : polip yang massif. 2.7 Pemeriksaan Diagnostik.

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters,AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 2.8. Penatalaksanaan. Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medika mentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neurotrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat massif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cumin dengan analgesic local, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (bedah Sinus Endoskopi Fungsional). Ada tiga macam penanganan polip nasi yaitu : a) b) c) Cara konservatif Cara operatif Kombinasi keduanya.

2.9. komplikasi. Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi, tapi dalam ukuran besar atau dalam jumlah banyak (polyposis) dapat mengarah pada akut atau infeksi sinusitis kronis, mengorok dan bahkan sleep apnea kondisi serius nafas dimana akan stop dan start bernafas beberapa kali selama tidur. Dalam kondisi parah, akan mengubah bentuk wajah dan penyebab penglihatan ganda/berbayang.

2.10 Prognosis. Prognosis atau perjalanan alamiah dari polip nasi sulit dipastikan. Terapi medis untuk polip nasi biasanya diberikan pada pasien yang tidak memerlukan tindakan operasi atau yang membutuhkan waktu lama untuk mengurangi gejala. Dengan terapi medikamentosa, jarang polip

hilang sempurna. Tetapi hanya mengalami pengecilan yang cukup sehingga dapat mengurangi keluhan. Polip yang rekuren biasanya terjadi setelah pengobatan dengan terapi medikamentosa maupun pembedahan. 2.11 Pengertian Epistaksis. Epistaksis adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung akibat sebab kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Mimisan terjadi pada hidung karena hidung punya banyak pembuluh darah, terutama di balik lapisan tipis cupingnya. Mimisan sendiri bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit, itu artinya mimisan bisa terjadi karena bermacam sebab dari yang ringan sampai yang berat. Pada umumnya ini terjadi pada anak-anak karena pembuluh darahnya masih tipis dan sensitif, selain karena pilek. 2.12 Klasifikasi . Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung. 1. Epistaksis Anterior (Mimisan Depan) Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian depan, maka disebut mimisan depan (epistaksis anterior). Lebih dari 90% mimisan merupakan mimisan jenis ini. Mimisan depan lebih sering mengenai anak-anak, karena pada usia ini selapun lendir dan pembuluh darah hidung belum terlalu kuat. Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan, kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah. Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber pedarahan. Biasanya di sekat hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding samping rongga hidung. Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan dan dapat berhenti sendiri dalam 3 5 menit, walaupun kadang-kadang perlu tindakan seperti memencet dan mengompres hidung dengan air dingin. 1. Epistaksis Posterior (Mimisan Belakang) Mimisan belakang (=epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan pada pembuluh darah rongga hidung bagian belakang. Mimisan belakang jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup kemungkinan juga mengenai anak-anak. Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab yang mengalami perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar. Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada yang keluar melalui lubang hidung. Perdarahan pada mimisan belakang lebih sulit diatasi. Oleh karena itu, penderita harus segera dibawa ke puskesmas atau RS.

Biasanya petugas medis melakukan pemasangan tampon belakang. Caranya, kateter dimasukkan lewat lubang hidung tembus rongga belakang mulut (faring), kemudian ditarik keluar melalui mulut. Pada ujung yang keluar melalui mulut ini dipasang kasa dan balon. Ujung kateter satunya yang ada di lubang hidung ditarik, maka kasa dan balon ikut tertarik dan menyumbat rongga hidung bagian belakang. Dengan demikian diharapkan perdarahan berhenti. 2.13 Anatomi Fisiologi Hidung. 2.13.1 Anatomi Hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung. Piramid hidung terdiri dari :

Pangkal hidung (bridge). Dorsum nasi (dorsum=punggung). Puncak hidung. Ala nasi (alae=sayap). Kolumela. Lubang hidung (nares anterior).

2.13.2 Fisiologi Hidung. Fungsi hidung adalah untuk : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. jalan napas. alat pengatur kondisi udara (mengatur suhu dan kelembaban udara). penyaring udara. sebagai indra penghidu (penciuman). untuk resonansi udara. membantu proses bicara. refleks nasal.

Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang sfenopalatina. Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat. 2.14 Etiologi.

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik. 2.14.1 Etiologi dari lokal 1. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya. 2. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau ingus. 3. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.

2.14.2 Etiologi dari Sistemik. 1. Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis. Hipertensi yan disertai atau anpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun, perdarahan biasanya hebat berulang dan mempunyai prognosis yang kurang baik, 2. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll. 3. Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid dll. 2.15 Tanda dan Gejala. Perdarahan dari hidung, gejala yang lain sesuai dengan etiologi yang bersangkutan. Epitaksis berat, walaupun jarang merupakan kegawatdaruratan yang dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal jika tidak cepat ditolong. Sumber perdarahan dapat berasal dari depan hidung maupun belakang hidung. Epitaksis anterior (depan) dapat berasal dari pleksus kiesselbach atau dari a. etmoid anterior. Pleksus kieselbach ini sering menjadi sumber epitaksis terutama pada anak-anak dan biasanya dapat sembuh sendiri. Epitaksis posterior (belakang) dapat berasal dari a. sfenopalatina dan a etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit jantung. 2.16 Patofisiologi Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri fasialis dan

arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : a.alveolaris posterior superior, a.palatina desenden , a.infraorbitalis, a.sfenopalatina, pterygoid canal dan a. pharyngeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum. Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan little area berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di little area. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis. 2.17 Tes Diagnostik. Pemeriksaan Laboratorium Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis. - Pemeriksaan darah tepi lengkap. - Fungsi hemostatis. - EKG.

- Tes fungsi hati dan ginjal. - Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring. - CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma. 2.18 komplikasi.

Sinusitis. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung). Deformitas (kelainan bentuk) hidung. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah). Kerusakan jaringan hidung infeksi. Komplikasi epistaksis :Hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi pneumonia. Komplikasi kauterisasi : Sinekia, perforasi septum. Komplikasi pemasangan tampon : Sinekia, rinosinusitis, sindrom syok toksik, Perforasi septum, tuba eustachius tersumbat, aritmia (overdosis kokain atau lidokain ). Komplikasi embolisasi : Perdarahan hematom, nyeri wajah, hipersensitivitas, paralisis fasialis, infark miokard. Komplikasi ligasi arteri : kebas pada wajah, sinusitis, sinekia, infark miokard.

2.19 Pencegahan. 1. Jangan mengkorek-korek hidung. 2. Jangan membuang ingus keras-keras. 3. Hindari asap rokok atau bahan kimia lain. 4. Gunakan pelembab ruangan bila cuaca terlalu kering. 5. Gunakan tetes hidung NaCl atau air garam steril untuk membasahi hidung. 6. Oleskan vaselin atau pelembab ke bagian dalam hidung sebelum tidur, untuk mencegah kering. 7. Hindari benturan pada hidung 2.20 Penanganan. Penanganan pada klien dengan epistaksis dibagi 2, yaitu : 1. Penanganan Umum :

a. Pasien dengan perdarahan hidung biasa mengontrol hal tersebut dengan melakukan penekanan langsung ataupun mengaplikasikan suatu obyek dingin pada hidung. b. Jika upaya tersebut gagal, pasien biasanya akan langsung mengontak atau pergi ke rumah sakit atau unit gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan. c. Pendekatan pertama yang biasa dilakukan adalah kauterisasi ataupun pemasangan tampon hidung (nasal packing). d. Langkah lainnya dalam penanganan epistaksis adalah termasuk menilai derajat kehilangan darah dan perlu tidaknya transfusi. e. Pada kasus trauma, penanganan tepat dan segera terhadap setiap kondisi yang membahayakan jiwa diprioritaskan terlebih dahulu. 1. Penanganan Khusus. a) Pendekatan lainnya adalah dengan melakukan ligasi pembuluh darah yang mensuplai darah ke hidung. Pilihan untuk ligasi dilakukan jika penanganan melalui kauterisasi maupun tampon hidung gagal. b) Pendekatan terkini dari intervensi vaskuler secara langsung adalah visualisasi angiografi dan embolisasi cabang terminal A. maksilaris. c) Dari sekian banyak pendekatan dalam penanganan epistaksis, sebenarnya yang paling penting adalah kehati-hatian dalam mengevaluasi kondisi penderita, serta identifikasi letak perdarahan secara akurat. 2.21 Penatalaksanaan. Aliran darah akan berhenti setelah darah berhasil dibekukan dalam proses pembekuan darah. Sebuah opini medis mengatakan bahwa ketika pendarahan terjadi, lebih baik jika posisi kepala dimiringkan ke depan (posisi duduk) untuk mengalirkan darah dan mencegahnya masuk ke kerongkongan dan lambung. Pertolongan pertama jika terjadi mimisan adalah dengan memencet hidung bagian depan selama tiga menit. Selama pemencetan sebaiknya bernafas melalui mulut. Perdarahan ringan biasanya akan berhenti dengan cara ini. Lakukan hal yang sama jika terjadi perdarahan berulang, jika tidak berhenti sebaiknya kunjungi dokter untuk bantuan. Untuk pendarahan hidung yang kronis yang disebabkan keringnya mukosa hidung, biasanya dicegah dengan menyemprotkan salin pada hidung hingga tiga kali sehari. Jika disebabkan tekanan, dapat digunakan kompres es untuk mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriksi). Jika masih tidak berhasil, dapat digunakan tampon hidung. Tampon hidung dapat menghentikan pendarahan dan media ini dipasang 1-3 hari.

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epitaksis adalah: Mencegah komplikasi yang timbul akibat perdarahan seperti syok atau infeksi. Mencegah berulangnya epitaksis. Jika pasien dalam keadaan gawat seperti syok atau anemia lebih baik diperbaiki dulu keadaan umum pasien baru menanggulangi perdarahan dari hidung itu sendiri.

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN POLIP HIDUNG DAN EPISTAKSIS 3.1 Pengkajian Pada Polip Hidung Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk megumpulkan data atau informasi tentang pasien agar dapat

mengidentifikasi

mengenai

masalah masalah, kebutuhan kesehatan dan

perawatan pasien baik fisik, mental, social dan lingkungan. 3.1.1 Pengumpulan Data 1. Identitas Pasien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal MRS. diagnose medis dan no register. 1. Keluhan Utama. Sulit bernapas. 1. Riwayat Kesehatan Dahulu. Klien memiliki riwayat penyakit sinusitis, rhinitis alergi, serta riwayat penyakit THT. Klien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma. Selain itu, klien pernah menderita sakit gigi geraham. 1. Riwayat Penyakit Sekarang.

Klien merasaan buntu pada hidung dan nyeri kronis pada hidung. 1. Riwayat Penyakit Keluarga. Tidak ada keluarga yang menderita polip dan epistaksis. 1. Riwayat Psikososial.

Intrapersonal : klien merasa cemas akibat nyeri yang kronis. Interpersonal : gangguan citra diri yang berhubungan dengan suara sengau akibat massa dalam hidung. 1. Pemeriksaan Fisik Persistem. 1) B1 (breath) : RR dapat meningkat atau menurun, terjadi perubahan pola napas akibat adanya massa yang membuntu jalan napas, adanya suara napas tambahan seperti ronchi akibat penumpukan secret, serta terlihat adanya otot bantu napas saat inspirasi. 2) B2 (blood) : tidak ada gangguan.

3) B3 (brain) : adanya nyeri kronis akibat pembengkakan pada mukosa, gangguan penghidu atau penciuman. 4) B4 (bladder) : terjadi penurunan intake cairan. 5) B5 (bowel) : nafsu makan menurun, berat badan turun, klien terlihat lemas. 6) B6 (bone) : tidak ada gangguan.

3.2. Diagnosa Keperawatan dengan Polip Hidung. 1. 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d adanya masa dalam hidung

Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif dalam 10 15 menit setelah dilakukan tindakan. Kriteria Hasil : - RR normal (16 20 x/menit). - Suara napas vesikuler. - Pola napas teratur tanpa menggunakan otot bantu pernapasan. - Saturasi oksigen 100%

Intervensi : 1. Observasi RR tiap 4 jam, bunyi napas, kedalaman inspirasi, dan gerakan dada. R/ Mengetahui keefektifan pola napas. 1. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior . R/ Mengetahui adanya penurunan atau tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi tambahan.

1. Pantau status oksigen pasien. R/ Mencegah terjadinya sianosis dan keparahan. Tindakan Mandiri Perawat : 1) Berikan posis fowler atau semiflower. R/ Mencegah obstruksi/aspirasi, dan meningkatkan ekspansi paru. 2) Lakukan Nebulizing. R/ Membantu pengenceran sekret. 3) Berikan oksigen (O2). R/ Mengkompensasi ketidakadekuatan O2 akibat inspirasi yang kurang maksimal. Tindakan Kolaborasi : Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspetoran, bronkodilator. R/ Mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran untuk membantu memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan spasme bronkus dan analgetik diberikan untuk meningkatkan kenyamanan. Tindakan Edukasi : 1. Ajarkan batuk efektif pada pasien. R/Membantu pasien untuk mengeluarkan sekret yang menumpuk. 1. Ajarkan terapi napas dalam pada pasien.

R/Membantu melapangkan ekspansi paru.

1. 2.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d menurunnya nafsu makan.

Tujuan : Menunjukkan peningkatan nafsu makan setelah dilakukan tindakan dalam 3 x 24 jam. Kriteria Hasil : Klien tidak merasa lemas. Nafsu makan klien meningkat. Klien mengalami peningkatan BB minimal 1kg/2minggu. Kadar albumin > 3.2, Hb > 11.

Intervensi : 1. Pastikan pola diet biasa pasien, yang disukai atau tidak disukai. R/ Untuk mendukung peningkatan nafsu makan pasien. 1. Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara pariodik. R/ Mengetahui keseimbangan intake dan pengeluaran asuapan makanan. 1. Kaji turgor kulit pasien. R/ Sebagai data penunjang adanya perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan. 1. Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa darah. R/ Untuk dapat mengetahui tingkat kekurangan kandungan Hb, albumin, dan glukosa dalam darah. Tindakan Mandiri Perawat : 1) Pertahankan berat badan dengan memotivasi pasien untuk makan.

R/ Mempertahankan berat badan yang ada agar tidak semakin berkurang. 2) Menyediakan makanan yang dapat meningkatkan selera makan pasien.

R/ Meningkatkan nafsu makan pasien 3) Berikan makanan kesukaan pasien.

R/ Merangsang nafsu makan pasien. Tidakan Kolaborasi : 1. Kolaborasi dengan tim analis medis untuk mengukur kandungan albumin, Hb, dan kadar glukosa darah. R/ Mengetahui adanya bising atau peristaltik usus yang mengindikasikan berfungsinya saluran cerna. 1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang TKTP pada pasien. R/ Mengetahui kandungan biokimiawi darah pasien. 1. Diskusikan dengan dokter mengeni kebutuhan stimulasi nafsu makan atau makanan pelengkap. R/ Memberikan asupan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan memberi rangsangan pada pasien untuk menimbulkan kembali nafsu makannya. Tindakan Edukasi : A) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya. R/ Agar pasien mengetahui kebutuhan nutrisinya dan cara memenuhinya yang sesuai dengan kebutuhan. B) Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal.

R/ Agar pasien mendapatkan gizi yang seimbang dengan harga yang relatif terjangkau. C) Dukung keluarga untuk membawakan makanan favorit pasien di rumah.

R/ Merangsang nafsu makan pasien. 1. 3. Resiko infeksi b.d terhambatnya drainase sekret.

Tujuan : Meningkatnya fungsi indera penciuman klien. Kriteria hasil:

- Klien tidak merasa lemas. - Mukosa mulut klien tidak kering. Intervensi : 1. Pantau adanya gejala infeksi R/ Menjaga timbulnya infeksi 1. Kaji faktor yang dapat meningkatkan serangan infeksi. R/ Menjaga perilakudan keadaan yang mendukung terjadinya infeksi. Tindakan Mandiri Perawat : 1) Awasi suhu sesuai indikasi.

R/ Reaksi demam indicator adanya infeksi lanjut. 2) Pantau suhu lingkungan.

R/ Suhu ruangan atau jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal. 1. 4. Hambatan interaksi sosial b.d suara sengau yang timbul akibat sumbatan polip. Tujuan: peningkatan sosialisasi. Kriteria Hasil: - Menunjukkan keterlibatan sosial. - Menunjukkan penampilan peran. Intervensi : 1. Kaji pola interaksi antara pasien dengan orang lain. R/ Mengetahui tingkat sosialisasi pasien dengan orang lain. Tindakan mandiri Perawat : 1) Tetapkan jadwal interaksi.

R/ Pasien dapat beristirahat dan bersosialisasi dengan maksimal. 2) Identifikasi perubahan perilaku yang spesifik.

R/ Perawat dapat mengerti kondisi psikis pasien. 3) Libatkan pendukung sebaya dalam memberikan umpan balik pada pasien dalam interaksi sosial. R/ Keberadaan pendukung sebaya akan menjadi teman untuk bersosialisasi. Tindakan Kolaborasi : Kolaborasi dengan psikolog untuk memberikan motivasi diri pada pasien. R/ Motivasi diperlukan dalam mengubah persepsi pasien menjadi lebih baik. Tindakan Edukasi : Berikan informasi tentang sumber-sumber di komunitas yang akan membantu pasien untuk melanjutkan dengan meningkatkan interaksi sosial setelah pemulangan. R/ Pasien dapat meningkatkan sosialisasi dengan dengan baik pada komunitas masyarakat dan sekitarnya. 1. 5. Ansietas b.d kegelisahan adanya sumbatan pada hidung.

Tujuan : pengurangan ansietas. Kriteria Hasil : - Pasien tidak menunjukkan kegelisahan. - Pasien dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan negatif. - Tidak terjadi insomnia. Intervensi : 1. Kaji tingkat kecemasan pasien. R/ Mengetahui tingkat kecemasan pasien. 1. Tanyakan kepada pasien tentang kecemasannya. R/ Mengetahui penyebab kecemasan pasien.

Tindakan Mandiri Perawat : 1) Ajak pasien untuk berdiskusi masalah penyakitnya dan memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan pilihan. R/ Meningkatkan motivasi diri pasien. 2) Berikan posisi yang nyaman pada pasien. R/ Tingkat kenyamanan pasien dapat mempengaruhi kecemasan pada pasien. 3) Berikan hiburan kepada pasien. R/ Hiburan akan mengalihkan fokus pasien dari kecemasannya. Tindakan Kolaborasi : Berikan obat- obatan penenang jika pasien mengalami insomnia. R/ Memberikan bantuan farmakologik untuk menenangkan pasien.

Tindakan Edukasi : A) Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, perawatan, dan prognosis.

R/ Memberi pengetahuan yang faktual pada pasien B) Ajarkan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi.

R/ Relaksasi membantu menurunkan kecemasan pada pasien. C) Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya dirasakan selama prosedur.

R/ Kejelasan mengenai prosedur dapan mengurangi kecemasan pasien. 1. 6. Nyeri kronis b.d penekanan polip pada jaringan sekitar.

Tujuan : nyeri berkurang atau hilang. Kriteria Hasil : - Klien mengungkapakan kualitas nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang. - Klien tidak menyeringai kesakitan.

- Tidak ada kegelisahan dan ketegangan otot. - Tidak terjadi perubahan pola tidur pada pasien. Intervensi : 1. Kaji tingkat nyeri klien R/ Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya. 1. Observasi tanda-tanda vital dan keluhan klien. R/Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien. TTV dapat menunjukkan kualitas nyeri dan respon nyeri oleh tubuh pasien tersebut. 1. Kaji pola tidur , pola makan, serta pola aktivitas pasien. R/ Untuk mengetahui pengaruh nyeri yang timbul pada pola kesehatan pasien. Tindakan Mandiri Perawat : Ajarkan tekhnik relaksasi dan distraksi (misal: baca buku atau mendengarkan music). R/ Klien mengetahui teknik distraksi dan relaksasi sehingga dapat mempraktekannya bila mengalami nyeri. Tindakan Kolaborasi : Kolaborasi dengan tim medis untuk terapi konservatif: pemberian obat acetaminofen; aspirin, dekongestan hidung; pemberian analgesik. Tindakan Edukasi : 1) Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya.

R/ Memberikan pengetahuan pada klien dan keluarga. 2) Jelaskan pada keluarga dan pasien bahwa dalam penatalaksanaan ini membutuhkan kepatuhan penderita utk menghindari penyebab / pencetus alergi. R/ Untuk memaksimalkan tindakan (mengurangi ketidak patuhan).

3.3 Konsep Keperawatan pada Epistaksis. 1. 2. 3. 4. 5. Pengkajian Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan. Riwayat Penyakit sekarang : tidak ada. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada.

- Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma. - Pernah mempunyai riwayat penyakit THT. - Pernah menderita penyakit gigi geraham. 1. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang. 2. Riwayat spikososial. a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih). b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain. 7. Pola fungsi kesehatan. a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping. b. Pola nutrisi dan metabolisme : Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung c. Pola istirahat dan tidur Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek. d. Pola Persepsi dan konsep diri Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri menurun e. Pola sensorik

Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen).

8. Pemeriksaan fisik. a. Status kesehatan umum : keadaan umum, tanda vital, kesadaran. b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan bengkak). B. Diagnosa Keperawatan. 1. I. Perdarahan spontan b/d trauma minor maupun mukosa hidung yang rapuh.

Tujuan : meminimalkan perdarahan Kriteria : Tidak terjadi perdarahan, tanda vital normal, tidak anemis Intervensi: a) Monitor keadaan umum pasien b) Monitor tanda vital. c) Monitor jumlah perdarahan psien. d) Awasi jika terjadi anemia. e) Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan perdarahan: pemberian transfusi, medikasi. 1. II. Bersihan jalan nafas tak efektif.

Tujuan : bersihan jalan nafas efektif. Kriteria Hasil : Frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambahan, tidak menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak terjadi dispnoe dan sianosis. Intervensi : a). Kaji bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada. R/ penurunan bunyi nafas dapat menyebabkan atelektasis, ronchi dan wheezing menunjukkan akumulasi sekret.

b). Catat kemampuan mengeluarkan mukosa/batuk efektif. R/ Sputum berdarah kental atau cerah dapat diakibatkan oleh kerusakan paru atau luka bronchial. c). Berikan posisi fowler atau semi fowler tinggi. R/ posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan. d). Bersihkan sekret dari mulut dan trakea. R/ mencegah obstruksi/aspirasi. e). Pertahankan masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml/hari kecuali kontraindikasi. R/ Membantu pengenceran sekret. f). Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspektoran, bronkodilator. R/ mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran untuk membantu memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan spasme bronkus dan analgetik diberikan untuk menurunkan ketidaknyamanan. 1. III. Cemas b/d perdarahan yang diderita.

Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang. Kriteria Hasil : Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya. Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.

Intervensi: a) Kaji tingkat kecemasan klien.

R/ menentukan tindakan selanjutnya. b). Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang serta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti. R/ Meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif. c). Singkirkan stimulasi yang berlebihan.

R/ dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan pada klien. d). Observasi tanda-tanda vital. R/ Mengetahui perkembangan klien secara dini. e). Bila perlu, kolaborasi dengan tim medis. R/ Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien. 1. IV. Nyeri akut b/d infeksi saluran nafas atas maupun pengeringan mukosa hidung. Tujuan: nyeri berkurang atau hilang. Kriteria Hasil : Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang Klien tidak menyeringai kesakitan.

Intervensi : a). Kaji tingkat nyeri klien. R/ Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya. b). Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya. R/ Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri. c). Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi. R/ Klien mengetahui tehnik distraksi dan relaksasi sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri. d). Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien. R/ Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien. e). Kolaborasi dengan tim medis. R/ Menghilangkan atau mengurangi keluhan nyeri klien. Yaitu : Terapi konservatif (obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung

You might also like