You are on page 1of 8

Memaknai MoU Helsinki dan Pendirian Partai Politik Lokal Aceh Perbedaan persepsi mengenai Memorandum of Understanding atau

MoU MoU Helsinki yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) cenderung membuat proses formulasi Rancangan Undang-undang Pemerintah Aceh (RUU PA) tidak semulus apa yang telah dijanjikan pemerintah. Tengat waktu yang diberikan untuk menyelesaikan RUU PA pada akhir bulan Maret 2006 ternyata harus ditangguhkan sampai bulan Mei 2006, belum lagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Panitia Khusus pembahas Rancangan Undang-Undang

Pemerintah Aceh (RUU PA) yang diketuai oleh Ferry Musyidan Baldan, harus menemui hambatan dalam hal judul RUU yang dipersoalkan

kementerian dalam negeri sebagai wakil pemerintah pusat dan terlebih penolakan rakyat Aceh terhadap RUU PA, apabila aspirasi mereka untuk memekarkan propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tidak dipenuhi pemerintah, dan keberadaan pengamat asing seperti AMM (Aceh Monitoring Mission) menambah panjang perdebatan yang menurut hemat penulis kurang substansial. Terlepas dari alotnya pembahasan RUU PA di DPR, maupun konflik elit pemerintah dan DPR di belakang kesepakatan tersebut, dunia sekaligus masyarakat awam terlanjur menyaksikan kesepakatan

Helsinki pernah terjadi. Rakyat Aceh pun berharap-harap cemas akan masa depan yang menyongsong pasca disahkannya RUU PA. Namun amat disayangkan dukungan terhadap rakyat Aceh mengenai

disahkannya RUU PA tidak sepenuhnya dipahami masyarakat awam

sebagai sesuatu yang mendesak.

Perdebatan panjang memang tidak

dapat dihindari, apalagi bila RUU PA harus mengakomodasi semua kesepakatan yang tertulis dalam MoU, termasuk pendirian partai politik lokal yang harus melalui kajian mendalam. Ulasan ini mencoba untuk memberikan pemahaman dasar dari perspektif hukum dan politik pemerintahan mengenai MoU Helsinki dan pendirian partai politik lokal. Walau tidak selalu suatu hubungan internasinal berakhir dengan penandatanganan kesepakatan namun pada umumnya hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Suatu perjanjian dapat memiliki dimensi internasional bila perjanjian tersebut setidaknya memenuhi kriteria sebagai berikut: pertama, perjanjian tersebut diatur dalam hukum internasional dan dalam bentuk tertulis yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik. Kedua, perjanjian tersebut dibuat oleh subjek hukum internasional, antara lain adalah pemerintah suatu negara yang berdaulat, organisasi internasional. Dari perspektif hukum MoU dipahami sebagai bentuk perjanjian antara dua entitas negara yang berdaulat baik ke dalam maupun ke luar. Dengan demikian secara sederhana dapat dipahami bahwa MoU Helsinki tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk perjanjian

internasional.

Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa MoU Sifat internal

Helsinki merupakan perjanjian yang bersifat internal.

perjanjian tersebut berlaku karena perjanjian dibuat antara Pemerintah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), bukan antara dua entitas yang memiliki kedaulatan seperti yang dikemukakan sebelumnya. Sifat perjanjian internasional dapat mengikat atau legally binding ke dalam negara yang membuatnya apabila perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum. Kekuatan hukum dari

perjanjian internasional dapat diperoleh melalui ratifikasi ke dalam bentuk undang-undang. Mengingat MoU Helsinki tidak dapat

dikategorikan ke dalam bentuk perjanjian internasional, maka timbul pertanyaan mengenai daya laku dari MoU tersebut. Sebagai jawaban, maka butir-butir kesepakatan MoU dapat memiliki daya laku hukum dengan mentransformasikan prinsip-prinsip MoU ke dalam UU PA. Oleh karena itu menurut hemat penulis pendirian partai politik lokal harus memperhatikan hal-hal berikut ini: 1. Partai politik lokal dalam kancah politik nasional, perlu

dipertimbangkan sekali lagi mengenai peran dari partai politik lokal, apakah partai politik lokal hanya berkecimpung sebatas pada kancah politik lokal ataukah turut berkecimpung pada tataran politik nasional? Bila partai politik lokal diijinkan untuk berlaga dalam kancah politik nasional sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Depkumdang,

bagaimana partai lokal tersebut dapat bersaing dengan partai-partai berbasis nasional lainnya? Apabila partai politik lokal dapat ikut serta dalam pentas nasional, apakah nantinya diperbolehkan untuk

menyuarakan aspirasi daerah lain sebagaimana yang dilakukan oleh

partai politik sekarang ini? 2. Konsideran hukum bagi pembentukkan perundangan partai politik

lokal, wacana pembentukkan partai politik lokal belum pernah ada dalam sistem tata negara kita. terakomodasi dalam peraturan Secara otomatis hal tersebut belum mengenai pemilu di Indonesia.

Pertanyaanpun muncul, ketika undang-undang mengenai partai politik harus direvisi, peraturan hukum apa yang akan digunakan dalam bagian hukum menimbang (konsideran) dari undang-undang partai politik baru nanti? Bagaimana halnya dengan dampak perubahan tersebut pada UU Pemerintah Daerah No. 32/2004, Otonomi Khusus Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, RUU PA atau lainnya? Bila tidak ada dasar pertimbangan hukum, bagaimana daya keberlakuan dari peraturan baru nantinya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,

tampaknya tidak ada jalan mudah selain reformasi undang-undang politik serta peraturan lain yang berkaitan dengannya. Reformasi

tersebut bukan tidak mungkin akan menuntut kita untuk melakukan amandemen kembali konstitusi kita yaitu UUD45. Konflik kepentingan (conflict of interests) daerah merupakan konsekuensi dari tumbuhnya kesadaran rakyat akan haknya berpolitik. Apabila kepentingan rakyat daerah yang beragam tidak difasilitasi dengan saluran politik yang membumi, semisal partai politik lokal, maka sampai kapanpun kepentingan mereka tidak akan tersuarakan. Jack Snyder (2000) dalam bukunya From Voting to Violence mengatakan bahwa konflik politik bukanlah disebabkan oleh proses berdemokrasi. Akan tetapi konflik disebabkan karena

suatu bangsa gagal dalam membangun insitusi-institusi kemasyarakatan semisal institusiinstitusi pemilihan umum yang ajeg, birokrasi yang akuntabel terhadap lembaga legislatif, penegakan hukum, dan media yang bertanggung jawab sebagai sarana penyaluran aspirasi politik rakyat. Senada dengan Snyder, permasalahan konflik kepentingan politik dipertajam dengan ketidakberdayaan partai politik pusat di daerah (cabang) untuk meneruskan amanat rakyat di daerah. Alasan yang mengatakan bahwa nota kesepahaman Helsinki akan memberikan angin pada pihak GAM untuk melepaskan diri dari NKRI sebaiknya dikesampingkan dahulu. Kancah berpolitik GAM dengan mendirikan partai politik lokal justru akan

memperjelas dimana peta dukungan rakyat Aceh yang sebenarnya. Disinilah letaknya pemahaman bahwa pendirian partai politik lokal harus memenuhi kuota tertentu, electoral threshold, dari sekian banyak populasi penduduk Aceh. Apabila aturan mengenai kuota sudah terpenuhi, tidaklah beralasan menghalang-halangi pendirian partai-partai politik lokal, dalam hal ini tidak hanya ditujukan pada GAM semata. Artinya rakyat Aceh

memang menghendaki didirikannya partai politik lokal untuk menyuarakan kepentingan mereka di daerah. Ketakutan akan ancaman disintegrasi bangsa dapat diterima apabila memang RUU mengenai pendirian partai politik lokal di Aceh tersebut tidak disertai dengan rambu-rambu yang jelas. Pendirian partai politik lokal tersebut mengacu pada kesepakatan bersama bahwa bangsa Indonesia masih ingin bersatu. Wilayah NKRI untuk sementara waktu adalah bentuk yang paling ideal bagi negara kita. Untuk itu sebaiknya pendirian partai politik lokal tidak seharusnya diperbolehkan untuk berlaga di tingkat pemilihan umum nasional. Partai-partai politik lokal tersebut tidak seharusnya mengidentifikasikan dirinya dengan

suatu etnis, agama, kepercayaan, maupun golongan masyarakat tertentu ataupun menggunakan symbol-simbol kedaerahan yang memicu perbedaan diatas persatuan. Partai-partai ini akan memberikan saluran bagi terwujudnya partisipasi rakyat di tingkat daerah. Walaupun begitu partai-partai politik nasional masih tetap diperbolehkan untuk berlaga di daerah. Dalam konteks perpolitikan internasional, pendirian partai politik lokal masih merupakan polemik, baik untuk tataran nasional maupun internasional. Keberadaan partai politik lokal atau local political party di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris merupakan bentuk perpanjangan dari partai-partai politik berbasis nasional.

Sedangkan dalam konteks Indonesia, pendirian partai politik menurut Undang-Undang Partai Politik Nomor 31/2002 pada prinsipnya harus melalui Departemen Hukum dan Perundang-undangan dan HAM dengan pertimbangan masak-masak terhadap dampak pada kedaulatan negara dan bangsa Indonesia. Analisis yang dilakukan oleh Todung Mulya Lubis (2003) mengatakan bahwa, wacana pemilu pernah muncul gagasan untuk pemilu lokal di mana partai politik lokal bisa turut serta. Partai lokal bisa saja merebut posisi Gubernur, Bupati, dan DPRD sebelum kelak ikut dalam pemilu nasional. Tetapi, gagasan ini ditolak mentah-mentah elite politik di Jakarta sehingga pemilu lokal dan partai lokal tak mungkin diadakan. Jadi, seandainya GAM bersedia mentransformasi dirinya menjadi partai politik maka sistem politik yang ada tak mungkin mengakomodasinya. Lagi-lagi ketakutan dominan adalah runtuhnya negara kesatuan. Kompas, 4 September 2003Oleh Todung Mulya Lubis http://www.acheheye.org/data_files/bahasa_format/martial_law_bhs/martial_law_analysis_ bhs/martial-law_analysis_bhs_001_4sept2003.htm.

Apabila koridor penyusunan RUU PA adalah NKRI, maka hak mendirikan partai politik lokal juga berlaku di daerah lain. Alangkah lucunya apabila otonomi daerah yang diberlakukan sekarang pada akhirnya akan menjadi otonomi daerah yang pilih kasih. Disini kunci peran pemerintah pusat untuk menjadi agen pemersatu daerah bukan sebaliknya. Mengenai hal ini, mantan presiden Habibie berpendapat bahwa, Jika ada parpol lokal di Aceh, maka harus ada juga di daerah lain, supaya tidak ada kecemburuan, ketika menerima anggota Pansus RUU PA beberapa waktu yang lalu. Sependapat dengan Bapak Habibie, hendaknya pembahasan mengenai pendirian partai politik lokal di Aceh juga harus mengantisipasi akan adanya gelombang reaksi daerah yang menuntut hak pendirian partai politik lokal. Pendirian partai politik lokal akan memunculkan masalah baru, itu jelas. Akan tetapi itulah arti dari demokrasi untuk rakyat sesungguhnya. Jeda antara rakyat dan

pemerintah akan terjembatani melalui institusi politik yang tersedia dekat dengan. Tak pelak, pendirian partai politik lokal menjadi suatu pilihan yang sukar untuk dihindari oleh bangsa Indonesia. Apalagi kita bukanlah negara bermaksud mengisolasi diri dari pergaulan bangsa-bangsa yang mengatakan dirinya beradab di dunia. Negara kita membutuhkan pengakuan bahwa kita adalah bangsa yang dapat dipercaya, salah satunya adalah dengan meluluskan salah satu butir kesepakatan Helsinki mengenai pendirian partai politik lokal dalam RUU PA dengan pertimbangan dan mekanisme peraturan yang jelas dan tegas. Alhasil kebuntuan dalam menuangkan aspirasi rakyat Aceh melalui pendirian partai politik dalam RUU PA bukan hal mudah untuk dipecahkan, karena aspek legal juridis perundangan baru tersebut masih harus diluruskan dahulu. Namun demikian, semangat pemerintah

untuk membahas RUU PA sampai sedetil mungkin hendaknya tidak menjadikan RUU PA menjadi sekedar wacana saja. Harga diri kita

sebagai sebuah bangsa yang dipertaruhkan, karena Aceh bukan hanya menjadi sorotan publik di Indonesia tapi juga dunia.

You might also like