You are on page 1of 7

Diazepam Dibanding Clobazam untuk Profilaksis Intermiten Kejang Demam

Oleh: Nahid Khosroshahi, Fatemeh Faramarzi, Payman Salamati, Seeid Mohammad Ogaghi Haghighi, Kamyar Kamrani

ABSTRAK Tujuan: Untuk membandingkan efektivitas dari terapi intermiten clobazam dan diazepam dalam mencegah rekurensi kejang demam dan menilai efek samping dari masing-masing obat. Metode: Percobaan terkontrol prospektif dengan random ini dilakukan pada anak-anak yang normal secara neurologis berusia 6 bulan sampai 5 tahun dengan riwayat kejang demam sederhana dan pemeriksaan elektroensefalogram normal tanpa infeksi sistem syaraf pusat akut. Pasien-pasien ini secara random diberikan obat clobazam oral (37 kasus) atau diazepam (35 kasus) ketika mereka demam. Mereka disarankan untuk menggunakan obat ini selama 48 jam pertama dari onset demam. Semua pasien dimonitor dengan memperhatikan perkembangan kejang dan efek samping dari obat-obat tersebut. Semua pasien diobservasi selama 12 bulan. Hasil: Secara keseluruhan, 243 episode demam terjadi selama periode tersebut, termasuk 116 episode pada kelompok clobazam dan 127 episode pada kelompok diazepam. Rekurensi kejang terjadi pada 2 subyek (1.7%) pada kelompok clobazam, dan 4 subyek (3.1%) pada kelompok diazepam (nilai P = 0.474). Dua puluh kasus (54%) pada kelompok diazepam dan 5 kasus (14.2%) pada kelompok clobazam mengalami perasaan kantuk dan sedasi selama masa pengamatan (nilai P = 0.0001). Kesimpulan: Terapi intermiten clobazam sepertinya lebih menguntungkan daripada diazepam karena efikasi yang sama tetapi secara signifikan efek sampingnya lebih rendah seperti rasa kantuk dan sedasi. Kata Kunci: Kejang demam, profilaksis intermiten, clobazam, diazepam PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan prevalensi 25% pada anak usia kurang dari 5 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada usia antara 3 bulan sampai 5 tahun dengan usia puncak yaitu 14-18 bulan.13 Telah dilaporkan pada kira-kira 25% anak-anak dengan status epileptikus 4 Kejang demam secara bertahap terjadi, dengan angka rekurensi 50%, ketika serangan pertama terjadi sebelum usia 1 tahun. Umumnya, sepertiga bayi akan mengalami serangan kedua yang mengikuti demam; dan setengah dari grup selanjutnya akan mengalami kejang demam yang ketiga kalinya.5,6 Kejang demam terjadi kembali tiga kali atau lebih pada 10% kasus.4 Lebih dari 1 rekurensi dialami selama tahun pertama dan lebih dari 90% dalam waktu 2 tahun, mengikuti serangan pertama, dengan risiko yang lebih tinggi dalam 6-12 bulan pertama. Mungkin saja rekurensi ini lebih banyak ditemukan pada bayi yang kejang pada temperature di bawah 40C.2 Risiko rekurensi ini sekitar 30% untuk kejang demam sederhana dan 50% untuk kejang demam kompleks.6 Pengobatan kejang demam terdiri dari pengendalian kejang dengan antikonvulsan dengan dosis yang analog dengan dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan status epileptikus, penurunan suhu tubuh dengan kompres konduktif dan evaporatif, dan pengobatan demam pada infeksi akut.2 Angka rekurensi sekitar 3050% dan kegelisahan keluarga merasionalisasi profilaksisnya.6 Agen benzodiazepine per oral, rectal, atau sublingual dapat diberikan sebagai profilaksis intermiten.79 Diazepam adalah agen yang paling banyak digunakan untuk tujuan ini tetapi efek sampingnya seperti menyebabkan rasa kantuk, ataxia, dan sedasi.8,9 Clobazam merupakan satu-satunya dan benzodiazepine yang pertama1,5 pada manajemen epilepsi. Obat ini digunakan sebagai agen antiepilepsi yang efektif pada dewasa dan anakanak.6,7 Efek samping clobazam sama dengan benzodiazepines lainnya, tetapi dengan tingkat keparahan yang lebih rendah.3 Pada penelitian ini, penulis membandingkan efektivitas dan efek samping clobazam dibandingkan dengan diazepam pada pencegahan rekurensi kejang demam. BAHAN DAN METODE Percobaan terkontrol prospektif dengan randomisasi ini dilakukan pada anakanak usia 660 bulan dengan satu atau lebih episode kejang demam sederhana, yang ada di Bahrami Children Hospital, Tehran, Iran, dari Maret 2006 sampai setahun.

Penelitian ini dibuktikan dengan komite etika dari universitas. Anak dengan kejang demam sederhana yang orang tuanya memiliki kecemasan yang berat (tempat tinggal yang jauh dari pusat kesehatan, mempunyai pengasuh yang banyak, dan akses yang kurang ke petugas kesehatan) termasuk dalam penelitian ini. Kriteria eklusi meliputi adanya abnormalitas neurologis, penyakit neurologis progresif, kejang demam kompleks, kejang simptomatik karena penyebab lain, kejang karena infeksi sistem syaraf pusat, dan kasus kejang demam sederhana dengan elektroensefalogram yang abnormal. Ukuran sampel dikalkulasikan dengan sedikitnya 18 pasien pada masingmasing grup, mengingat angka kesalahan = 5%, kekuatan 80%, dan efektivitas 35% untuk kelompok diazepam dan 1,7% untuk kelompok clobazam berdasarkan hasil referensi nomor 7.7,8 Pasien secara random mendapat diazepam oral 0.33 mg/kg/8 jamuntuk 2 hari atau clobazam oral untuk 2 hari dengan dosis sebagai berikut: 5 mg, sehari sekali untuk anak 5 kg; 5 mg, sehari dua kali untuk anak 610 kg; 7.5 mg, sehari dua kali untuk anak 1115 kg; dan 10 mg, sehari dua kali untuk anak >15 kg. Obat-obat ini diberikan hanya selama 48 jam pertama demam dan dihentikan setelah 48 jam, terbebas dari demam. Dengan menggunakan antipiretik dan spon tubuh sebagai tambahan manajemen penyakit ini, disarankan pada kedua kelompok. Anak-anak ini dikunjungi setiap 3 bulan selama 12 bulan. Variabel hasil terdiri dari kejang demam yang terjadi dan efek samping dari tiap obat. Pada setiap kunjungan, frekuensi demam dan efek samping terapi dievaluasi (Gambar 1). Data kemudian dianalisis menggunakan uji chi-square dan uji fisher-exact dengan tingkat signifikansi <0.05.

Gambar 1. Diagram percobaan klinis yang membandingkan clobazam dan diazepam sebagai profilaksis intermiten untuk kejang demam

HASIL PENELITIAN Akhirnya, 37 pasien pada kelompok diazepam dan 35 pasien pada kelompok clobazam telah menyelesaikan penelitian ini. Pasien terdiri dari 41 laki-laki (56,9%) dan 31 perempuan (43,1%), dengan umur rata-rata 21 bulan (rentang 760 bulan). (Tabel 1) Tabel 1. Dasar karakteristik demografi dari kelompok percobaan (clobazam dan diazepam)

Selama 12 bulan periode pengamatan, tercatat 243 episode demam terjadi dimana termasuk di antaranya 116 episode (47.7%) pada kelompok clobazam dan 127 episode (52,3%) pada kelompok diazepam. Dua pasien (1,7%) pada kelompok clobazam dan 4 pasien (3,1%) pada kelompok diazepam mengalami kejang demam selama episode demam mereka (P = 0.474). Odds ratio dari clobazam dibandingkan dengan diazepam dengan 95% interval kepercayaan adalah 0,54 (0.013) dan angka yang dibutuhkan untuk ditafsirkan adalah 71,43. DISKUSI Peran dan kemanjuran benzodiazepine pada pencegahan rekurensi kejang demam telah lama diketahui.24,6,810 Beberapa penelitian telah membandingkan clobazam dengan placebo sebagai profilaksis pada kejang demam7,10,11 dan sedikit penelitian yang membandingkan diazepam dengan clobazam dalam hal ini.3,10,12 Bajaj, dalam penelitian terkontrol dengan double blind placebo melaporkan rekurensi kejang demam diobservasi pada 30% pasien pada kelompok clobazam dan 83,3% pada kelompok placebo. Mereka menyimpulkan bahwa clobazam sangat manjur dan dapat ditoleransi dengan baik sebagai profilaksis intermiten untuk kejang demam dan lebih unggul dibanding pemakaian antipiretik intermiten tunggal.11 Manreza melakukan sebuah penelitian pada 50 anak dengan kejang demam dan menemukan bahwa clobazam merupakan frofilaksis yang efektif untuk kejang demam. Angka rekurensi sebesar 1,7% pada kelompok clobazam dan 22,9% pada pasien yang hanya mendapat antipiretik (P < 0,0001).13

Rose dan asistennya mengevaluasi kemanjuran dan keamaan pemakaian profilaksis clobazam intermiten untuk kejang demam pada percobaan terkontrol double-blind placebo prospektif dengan random dan melaporkan 1,7% rekurensi kejang pada kelompok clobazam dan 12,5% pada kelompok placebo (P = 0,01).7 Gulati S pada percobaan terkontrol dengan random membandingkan kemanjuran clobazam oral (75 kasus) dengan diazepam oral (75 kasus) untuk profilaksis kejang demam. Mereka melaporkan laju demam pada 86,7% dan 93,3% pasien pada kelompok diazepam dan clobazam selama 3 tahun. Odds ratio rekurensi demam pada kelompok diazepam adalah 2,3, dibandingkan dengan kelompok clobazam.12 Penelitian ini sama dengan penelitian kami dengan perbedaan terletak pada ukuran sampel dan durasi penelitian. Sunil barande percaya bahwa diazepam dan clobazam oral mempunyai efektivitas dan keamanan yang sama sebagai profilaksis rekurensi kejang demam.3 Mereka menemukan bahwa clobazam oral lebih efektif dalam mencegah rekurensi kejang demam dibandingkan dengan diazepam untuk tujuan ini pada anak dengan riwayat sekurang-kurangnya satu kali episode kejang demam.3 Penelitian yang baru-baru ini menunjukkan clobazam oral untuk rekurensi kejang demam sebanding dengan diazepam oral (P = 0,474). Namun, efek samping dari clobazam lebih rendah daripada diazepam. Efek sedasinya lebih sering pada pasien yang mendapat diazepam dibanding clobazam (P < 0,0001). Rose et al melaporkan bahwa efek ataxia akibat clobazam jauh lebih rendah dibanding dengan efek ataxia pada diazepam.7 Penemuan ini tidak menunjukkan dalam penelitian ini. Efek samping lain seperti nausea dan vomitus tidak disebutkan pada pasien-pasien ini. Kemudahan dalam intake oral, penyesuaian yang lebih baik (2 dosis untuk 2 hari), dan efek samping yang lebih sedikit di samping kemanjuran yang sama antara clobazam yang dibandingkan dengan diazepam membuat clobazam lebih unggul dibanding diazepam, untuk profilaksis kejang demam. DAFTAR PUSTAKA 1. Johnston MV. Seizures in childhood. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelsons textbook of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders; 2007. p. 24578.

Sankar R. Paroxysmal disorders. In: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, eds. Child neurology. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 919 22. 3. Karande S. Febrile seizures: a review for family physicians. Indian J Med Sci. 2007;61:16172. 4. Shinnar S. Febrile seizures. In: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, eds. Pediatric neurology principles & practice. 4th ed. Philadelphia: Mosby; 2006. p. 1079 82. 5. Fenichel CM. Clinical Pediatric Neurology: A signs and symptoms Approach. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2001. p. 189. 6. Gupta S. Febrile seizures. An overview and use of clobazam as intermittent therapy. Pediatr Today. 2002;7:2449. 7. Rose W, Kirubakaranc C, Scott JX. Intermittent clobazam therapy in febrile seizures. Indian J Pediatr. 2005;72:313. 8. Pavlidou E, Tzitiridou M, Panteliadis C. Effectiveness of intermittent diazepam prophylaxis in febrile seizures: long-term prospective controlled study. J Child Neurol. 2006;21:103640. 9. Verrotti A, Latini G, Dicorcia GD, et al. Intermittent oral diazepam prophylaxis in febrile convulsions: its effectiveness for febrile seizure recurrence. Eur J Pediatr Neurol. 2004;8:1314. 10. Akman CI. Febrile seizures: the role of intermittent prophylaxis. J Pediatr Neurol. 2005;3:13. 11. Bajaj AS, Bajaj BK, Vinod P, Girish T. Intermittent clobazam in febrile seizures; an Indian experience. J Pediatr Neurol. 2005;3:1923. 12. Gulati S, Saini D, Pandey RM, Kalra V. Randomized controlled trial to compare efficacy of oral clobazam with oral diazepam for praphylaxis of febrile seizures. Neuropediatrics. 2006;37:13. 13. Manreza MLG, Gherpelli JLD, Machado HLR, Pedreire CCC, Diament A, Heise CO. Treatment of Febrile seizures with intermittent clobazam. Arq Neuropsiquiatr. 2007;55:75761.
2.

You might also like