You are on page 1of 23

ABSES HEPAR

Referat Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pembimbing : dr. A. Sentot Suropati, Sp. PD

Oleh :

LISTIANA MASYITA DEWI, S.Ked J 500 06 0013

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2011

Referat

ABSES HEPAR
Yang Diajukan Oleh :

LISTIANA MASYITA DEWI, S.Ked J 500 06 0013

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada Hari Sabtu, Tanggal 09 April 2011.

Pembimbing : dr. A. Sentot Suropati, Sp. PD Dipresentasikan dihadapan : dr. A. Sentot Suropati, Sp. PD Disahkan KaProdi Profesi FK UMS : dr. Hj. Yuni Prastyo K, M.MKes (...) (...) (...)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit (amoeba), jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus (nanah) yang terdiri dari jaringan hari nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hepar juga sering timbul sebagai komplikasi dari peradangan akut saluran empedu (Wenas, 2007). Penyakit abses hepar dapat ditemukan diseluruh dunia. Abses hepar pyogenik lebih sering ditemukan di negara maju termasuk Amerika Serikat, Sedangkan abses hepar amoebik banyak ditemukan di negara berkembang yang beriklim subtropis dan tropis, terutama pada daerah dengan kondisi lingkungan yang kurang baik. Abses hepar amoebik cenderung endemis di beberapa wilayah seperti Afrika, Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Meksiko, Venezuela dan Kolumbia (Wenas, 2007). Secara umum, abses hepar memiliki angka mortalitas sebesar 5-30%. Sebagian besar kasus ini terjadi diatas umur 50 tahun, terutama pada umur 60-70 tahun. Abses hepar terjadi pada laki-laki dan wanita dalam jumlah yang sama. Di seluruh dunia, insidensi abses hepar yang disebabkan oleh amoeba paling sering ditemukan bila dibandingkan dengan abses hepar lainnya. Kira-kira 10% populasi dunia terinfeksi secara kronik oleh parasit Entamoeba histolytica, tetapi hanya 10% yang memperlihatkan gejala. Insidensi abses hepar amoebik di Asia Tenggara sekitar 540%. Prevalensi di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 10-18%. Usia penderita berkisar antara 20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang pada anak-

anak. (Brailita, 2008). Abses hepar pyogenik biasanya bersifat akut dan progresif. Abses hepar pyogenik dapat berbentuk bulat atau oval, berjumlah tunggal (70.5%) ataupun multipel (29.5%). Pada masa lalu, tingkat mortalitas akibat abses hepar pyogenik ini mencapai 80%. Berkat kemajuan teknologi, seperti adanya CT-scan, USG, dan MRI, akurasi diagnosis abses hepar pyogenik mengalami peningkatan hingga >90% dan tingkat mortalitasnya juga telah menurun hingga 10-40% (Wang, 2007). B. TUJUAN Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi dari abses hepar, patogenesisnya, gejala dan tanda yang muncul pada penderita abses hepar, cara menegakkan diagnosa abses hepar, serta penatalaksaannya yang tepat.

BAB II

LANDASAN TEORI A. DEFINISI Abses hepar adalah suatu rongga patologis yang berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati akibat berbagai sebab (PB PAPDI, 2006). Abses hepar merupakan bentuk infeksi pada hati yang dapat disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit (amoeba), jamur, maupun proses nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus (nanah) yang terdiri dari jaringan hari nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati (Wenas, 2007).

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR Hepar adalah organ intraabdomen dengan berat rata-rata sekitar 1.500 gram atau 2-2,5% berat badan orang dewasa normal, yang menempati hampir seluruh regio hipokondriaka dekstra dan sebagian besar regio epigastrika, bahkan kadangkadang memanjang hingga regio hipokondriaka sinistra. Hepar terletak di bawah diafragma dan hampir seluruhnya terlindung oleh costae. Hepar memiliki bentuk menyerupai setengah bola yang irregular dengan sebuah permukaan yang luas, relatif halus dan cembung yang menghadap ke diafragma, dan permukaan lain yang

lebih irregular dab cekung yang menghadap ke viscera abdomen. Hepar terdiri dari empat lobus. Urutannya dari yang paling besar adalah lobus dexter, lobus sinister, lobus caudatus, dan lobus quadratus (Guyton, 1997).

Secara mikroskopis, hepar tersusun oleh unit-unit struktural dan fungsional yang disebut lobulus hepar. Setiap lobulus berbentuk hexagonal, dan terdiri dari sel-sel hepar atau hepatosit yang tersusun seperti batu bata. Hepatosit-hepatosit tersebut membentuk susunan radier dengan sebuah vena sentralis di tengahnya. Di setiap sudut dari lobulus terdapat portal triad (trigonum Kiernann), yang berisi arteria interlobularis yang merupakan cabang dari arteria hepatica, vena interlobularis yang yang merupakan cabang dari vena porta, dan sebuah duktus biliverus. Di antara hepatosit-hepatosit tersebut terdapat kapiler-kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan jalur pertukaran. Darah dari arteria hepatica dan vena porta tersaring dari trigonum Kiernann melalui sinusoid-sinusoid ini dan kemudian mengalir ke vena sentralis. Darah dari vena sentralis ini kemudian memasuki vena hepatica untuk bermuara pada vena cava inferior. Di dalam sinusoid juga terdapat sel makrofag yang berbentuk stellate yang disebut sebagai sel Kuppfer yang berfungsi memindahkan debris untuk keluar dari sel darah merah ketika darah mengalir melaluinya (Guyton, 1997). Pada dasarnya hepar memiliki tiga fungsi utama. Yang pertama adalah fungsi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, seperti pengubahan glukosa untuk kemudian disimpan sebagai glikogen, dan pemakaian asam-asam amino untuk membuat protein plasma, misalnya albumin, serta menyimpan vitamin yang larut lemak yaitu vitamin A. Fungsi yang kedua adalah fungsi detoksifikasi darah, misalnya menyaring darah dari amonia dengan mengubahnya menjadi urea untuk kemudian dibuang lewat urin. Sedangkan fungsi yang ketiga adalah fungsi sekresi. Hepar adalah organ yang bertugas untuk mensekresikan empedu. Empedu yang disekresikan kemudian dialirkan melalui canaliculli billiveri yang berjalan di antara hepatosit-hepatosit menuju ke cabang-cabang duktus biliverus di trigonum Kiernann. Empedu yang masuk ke duktus biliverus kemudian akan dialirkan menuju ke duodenum (Guyton, 1997).

C. KLASIFIKASI Secara umum abses hepar diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu (Wenas, 2007) :
1. Abses hepar amoebik

Penyakit ini disebut juga sebagai hepatik amoebiasis, extraintestinal amoebiasis, atau abscess amoebic liver. Abses hepar amoebik adalah suatu abses yang ditimbulkan oleh adanya infeksi hati akibat Entamoeba hystolitica atau akibat komplikasi ekstraintestinal Entamoeba hystolitica yang menghasilkan bentuk pus. Entamoeba hystolitica merupakan parasit usus atau protozoa saluran cerna yang juga menyebabkan amebiasis atau disentri amoeba (Brailita, 2008). Abses hepar amoebik ini memiliki tingkat angka kejadian yang lebih tinggi daripada abses hepar pyogenik. Wilayah yang penduduknya padat dan memiliki sanitasi yang buruk, status sosial ekonomi yang rendah dan status gizi yang kurang baik serta tempat dimana strain virulen E. hystolitica yang masih tinggi merupakan faktor predisposisi utama atau prevalensi tertinggi. Faktor resiko lainnya antara lain malnutrisi, usia tua, kehamilan, penggunaan steroid, kanker, immunosupresi, alkoholisme, riwayat mengunjungi wilayah beriklim tropis dan homoseksual. Juga termasuk adanya riwayat menderita infeksi amoeba, kadar kolesterol tinggi dan pascatrauma hepar (Brailita, 2008). Entamoeba histolytica dibawa oleh aliran darah dan aliran limfe dari usus ke hati. Penyebarannya melalui kista yang terdapat dalam feses lalu berkontaminasi dengan makanan dan minuman, limbah manusia serta kontak lang-

sung antar manusia. Entamoeba histolytica hidup komensal di usus manusia, namun dengan keadaan gizi yang buruk dapat menjadi patogen dan menyebabkan angka morbiditas yang tinggi. Baik bentuk trofozoid maupun kista dapat ditemukan pada lumen usus. Namun hanya bentuk trofozoid yang dapat menginvasi jaringan. Amoeba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan serta eritrosit dan menyebar ke seluruh organ per hematogen maupun secara per kontinuitatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati Entamoeba hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Parasit tersebar melalui jalan fekal-oral dalam bentuk kista protozoa yang hidup dalam sistem pencernaan. Dinding kista yang hancur dalam usus halus akan melepaskan trofozoid yang bergerak. Migrasi ini menuju usus besar dimana strain patogeniknya dapat menimbulkan penyakit invasif. Invasi mukosa mengakibatkan pembentukan ulkus sehingga akhirnya amoeba mencapai jalan masuk menuju sistem vena porta. Biasanya abses berbentuk bulat atau oval, tunggal sebanyak 85% dan merusak lobus kanan pada 70-90 % kasus dan letaknya superfisial. Amoeba adakalanya berada pada bagian perifer abses. Ukuran abses bervariasi dari diameter 1 sampai 25 cm. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit. Abses yang kronis dan besar berdinding tebal (Brailita, 2008). 2. Abses Hepar Pyogenik Penyakit ini disebut juga sebagai hepatic abscess, bacterial hepatic abscess, bacterial liver abscess, atau bacterial abscess of the liver. Kebanyakan pasien abses hati pyogenik disebabkan oleh infeksi polimikroba gram negatif aerobik dan anaerobik. Kebanyakan sumbernya berasal dari feses dengan infeksi Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Bacteroides, Enterococcus,

anaerobic Streptococci, dan microaerophilic Streptococci. Staphylococcus, Haemolytic streptococci, dan Streptococcus milleri sebagai sumber infeksi primer dari endokarditis bakterial atau sepsis dental. Penyebab lainnya adalah Enterobacteriaceae, Fusobacterium, Staphylococcus aureus, Staphylococcus milleri, Candida albicans, Aspergillus, Actinomyses, Eikenella corrodens, Yersinia enterolitica, Salmonella typhi, Brucella melitensis dan fungal. E. Coli, Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus faecalis merupakan bakteri usus sebagai kuman pyogenik, penyebab abses hepar. Staphylococcus merupakan coccus gram negatif. Bacteroides dan Clostridium merupakan bakteri anaerob. Kebanyakan abses hepar pyogenik merupakan infeksi sekunder yang berasal dari infeksi abdomen pada apendiks, kandung empedu, atau usus. Abses ini dapat juga berhubungan dengan trauma atau komplikasi prosedur bedah. Kolangitis yang berhubungan dengan batu atau striktur adalah penyebab terbanyak, diikuti oleh infeksi abdomen yang berhubungan dengan divertikulitis atau apendisitis (Wang, 2007). Hati merupakan organ yang paling sering mengalami abses. Gangguan ini akibat penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri penyebab abses hepar bisa sampai ke hati melalui kandung kemih yang terinfeksi, luka tusuk atau luka tembus, infeksi didalam perut, infeksi dari bagian tubuh lainnya yang terbawa oleh aliran darah. Bakteri penyebab abses dapat masuk ke dalam hati secara langsung melalui luka pada hati atau tersebar melalui paru-paru, kulit, atau organ lain melalui arteri hepatika, vena porta atau traktus biliaris. Abses hepar pyogenik biasanya berhubungan dengan kolesistitis, peritonitis, pneumonia dan endokarditis bakterial. Bakteri patogen melalui arteri hepatika atau melalui sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi bakteremia sistemik,

ataupun menyebabkan komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis dan infeksi post operasi (Wenas, 2007). D. GEJALA KLINIS Gejala abses hepar yang tersering antara lain (PB PAPDI, 2006): 1. Demam

Demam dijumpai pada 75100 % kasus, tidak spesifik, bisa subfebris dan bersifat intermiten, remiten atau terus menerus, dapat juga berkisar antara 38 40C, banyak keringat, bersifat intermiten atau terus menerus
2.

Nyeri perut kanan atas

Nyeri perut kanan atas dijumpai pada 7290 % kasus, bersifat gradual, diperberat oleh pernafasan dalam, batuk, serta tidur pada posisi miring kanan.
3. 4.

Mual & muntah, dijumpai pada 2853 % kasus Anoreksia, dijumpai pada 3880 % kasus Penurunan berat badan, dijumpai pada 2568 % kasus Kelemahan tubuh, dijumpai pada 3096 % kasus Pembesaran hati dengan rasa nyeri tekan Ikterus

5.
6.

7. 8.

Ikterus jarang dijumpai, yaitu hanya 10 % dari kasus, dan jika dijumpai derjatnya ringan. Hal ini diakibatkan karena adanya penyakit dasar sumbatan saluran empedu, sepsis, atau penekanan abses terhadap saluran empedu di hati, sedangkan ikterus obstruksi berat jarang ditemukan E. DIAGNOSIS 1. Anamnesis Keluhan pasien abses hepar amoebik terutama demam, sakit di hipokondrium kanan, dan pernah buang air besar lendir darah, riwayat tinggal/pernah

bepergian di daerah endemic, respon baik terhadap metronidazole (Brailita, 2008). Dicurigai adanya abses hepar pyogenik apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri spontan pada daerah perut kanan atas, yang di tandai oleh pasien berjalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atas daerah tersebut. Gejala klasik abses hepar pyogenik berupa nyeri abdomen, demam & keringat malam hari, muntah, anoreksia, malaise dan kehilangan berat badan (Wenas, 2007). 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik terutama hepatomegali yang terdapat pada semua penderita, dimana teraba sebesar tiga jari sampai enam jari arcus-costarum. Ditemukan pula nyeri tekan di hati dan fluktuasi tekan di hati, yang diperberat dengan adanya pergerakan abdomen. Spleenomegali juga dapat ditemukan pada keadaan kronis (PB PAPDI, 2006).
3. Pemeriksaan Penunjang (Gene, 2000) a. Hitung darah lengkap -

Leukositosis dengan shift to the left Peningkatan laju endap darah

- Anemia ringan sampai sedang, dengan jenisnya yang bervariasi yaitu anemia normositik normokrom dan anemia hipokromik
- Tes faal hepar biasanya normal, kadang-kadang fosfatase alkali, alkali

fosfatase, enzin transaminase dan bilirubin total meningkat ringan


- Berkurangnya konsentrasi albumin serum dan peningkatan globulin,

jika prosesnya sudah berjalan lama


- Pemanjangan waktu prothrombin, menunjukkan adanya kegagalan

fungsi hati b. Radiologi

- R thorax

R thorax biasanya menunjukkan gambaran :

Peninggian hemidiafragma kanan, biasanya berkaitan dengan adanya abses hepar amoebik pada lobus kanan Atelektasis (kolaps paru) Efusi pleura Abses paru Foto polos thorax abdomen

Gambar foto polos thorax abdomen yang memperlihatkan airfluid level dan peninggian hemidiafragma kanan pada abses hepar USG abdomen Sensitivitas USG dalam mendiagnosis abses hepar adalah 85% 95%. USG abdomen menunjukkan ukuran dan posisi abses, berguna

untuk keperluan aspirasi dan sebagai tuntunan selama tindakan drainase serta untuk menilai respon pengobatan.

Pada pemeriksaan USG, abses hati umumnya tampak area hipoekoik homogen dengan dinding tipis, halus dengan derajat akustik enhanced yang bervariasi. Sebelum mengalami likuifaksi abses tampak sebagai massa yang ekogenik tetapi bila abses sudah matur, maka pada pemeriksaan USG didapatkan lesi dengan tepi hiperekoik dengan dinding halus dan daerah hipoekoik di tengahnya CT-scan

CT-Scan dapat digunakan untuk mengetahui lokasi kumpulan cairan atau abses. Kontras intravena dapat pula diberikan bersama CTScan untuk melihat lebih rinci koleksi cairan atau abses.

c. Mikrobiologi
- Aspirasi Kultur

Pada abses amoeba, cairan hasil aspirasi berwarna coklat kemerahan (achovy paste atau chocolate syrup) sebagai akibat jaringan nekrotik hepar serta sel darah merah yang dicerna atau mencair. Cairan tersebut tidak berbau dan didalamnya dapat ditemukan bentuk trofozoit E. Histolytica pada 4050 % kasus (Gene, 2000) Sedangkan pada aspirasi abses hepar pyogenik, didapatkan cairan abses yang berbau busuk, warnanya tidak terlalu khas, dan didalamnya dapat ditemukan kuman penyebabnya pada 30 50 % kasus (Wang, 2007). - Uji serologi Selain pemeriksaan kuman yang terdapat dalam cairan abses, pada abses hati amoeba dapat dilakukan pemeriksaan serologi (seramoeba), hasil uji serologi positip dijumpai pada 85 98 % kasus abses hati amoeba, dan hal ini memberi nilai diagnostik. Dilain pihak bila hasilnya negatip abses hati amoeba dapat disingkirkan (Gene, 2000). F. KOMPLIKASI Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi organ intra abdominal, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase. Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat, seperti septikemia/bakteriemia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hepar disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7% kelainan plueropulmonal, gagal hati, kelainan didalam rongga abses, hemofilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperitoneum. Sistem plueropulmonum merupakan sistem tersering terke-

na. Abses menembus diafragma dan akan timbul efusi pleura, empiema abses pulmonum atau pneumonia. Fistula bronkopleura, biliopleura dan biliobronkial juga dapat timbul dari ruptur abses amoeba. Pasien-pasien dengan fistula ini akan menunjukan ludah yang berwarna kecoklatan yang berisi amoeba yang ada (PB PAPDI, 2006). G. PENATALAKSANAAN Pengobatan terhadap penderita abses hepar amoebik terdiri dari : 1. Kemoterapi (Brailita, 2008) Abses hepar amoebik tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah : a. Metronidazole Metronidazole merupakan obat pilihan untuk semua infeksi amoeba. Pemberian metronidazole untuk abses hepar amoebik bisa tunggal atau dikombinasikan dengan klorokuin. Metronidazole termasuk derivat nitroimidazole. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hepar amoebik adalah 3 x 750 mg atau 800 mg per hari selama 3-10 hari. Pemberian ini dapat membantu kesembuhan 90-95% pasien. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg per hari selama 5 hari. Perhatikan pula keadaan pasien seperti nutrisinya dan tindakan mengurangi nyeri. Gejala klinik umumnya mengalami perbaikan dalam 1-3 hari. Metronidazol dosis rendah biasanya efektif pada penyakit invasif namun dapat gagal mengeliminasi amoeba pada infeksi intraluminal sehingga dapat terjadi relaps. b. Dehydroemetine (DHE)

Dehydroemetine (DHE) merupakan derivat diloxanite furoate. Dosis yang direkomendasikan sebesar 3 x 500 mg per hari selama 7-10 hari. Emetin efektif mengatasi serangan amubiasis (terutama invasi ke hati) dengan cara pemberian injeksi intramuskular namun memiliki efek samping yang berat terhadap jantung. Diloxanite furoate merupakan obat luminal yang berguna untuk mengatasi karier amubiasis dan mengeliminasi amoeba intestinal. c. Chloroquin Dosis klorokuin yang dianjurkan adalah 1 gr/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari atau 4 x 250 mg tiap hari selama 21 hari. Klorokuin masih kurang efektif untuk mengatasi abses hepar amoebik. Klorokuin dapat diberikan bersama metronidazole. 2. Aspirasi Tindakan aspirasi dianjurkan bila pengobatan medikamentosa (kemoterapi) tidak berhasil dalam 3-5 hari, terdapat kontraindikasi pada penggunaan metronidazol seperti kehamilan, atau abses yang beresiko mengalami ruptur. Abses yang berdiameter lebih 5 cm dan abses yang terlokalisasi dalam lobus kiri memiliki resiko besar mengalami ruptur. Aspirasi dapat pula dikombinasikan dengan metronidazol. Kombinasi ini dapat lebih mempercepat pengurangan keluhan pasien seperti demam, nyeri abdomen, memperpendek lama opname dan mencegah relaps (Brailita, 2008). 3. Drainase Perkutan Drainase Abses Perkutan merupakan prosedur yang dilakukan oleh dokter untuk mengangkat atau mengeluarkan kumpulan cairan infeksi (abses) dari bagian tubuh. Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. Drainase juga berguna untuk mengurangi nyeri abdomen. Selama prosedur, jarum halus dimasukkan ke dalam cairan abses dibawah panduan radiologis seperti CT-Scan (Brailita, 2008). 4. Drainase Bedah

Drainase bedah dilakukan pada kasus komplikasi termasuk ruptur abses. Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan pengobatan. Juga diindikasikan untuk perdarahan yang mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa ruptur abses. Termasuk penderita dengan septikemia karena abses amoeba yang mengalami infeksi sekunder, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. Laparoskopi digunakan untuk mengevaluasi terjadinya ruptur abses amoeba intraperitoneal (Brailita, 2008). Sedangkan penatalaksanaan untuk abses hepar pyogenik yaitu : 1. Antibiotik Antibiotik spektrum luas secara parenteral / intravena harus segera diberikan setelah dicurigai adanya abses hepar pyogenik. Ini bertujuan untuk mencegah bakteriemia dan komplikasi lainnya. Antibiotik sendiri hanya efektif pada beberapa pasien. Penanganan antibiotik tanpa tindakan drainase memiliki angka mortalitas tinggi (59% - 100%). Antibiotik berupa kombinasi obat seperti ampisilin / penisilin, aminoglikosida dan metronidazol atau kombinasi antara sefalosporin generasi ketiga dengan metronidazol. Kombinasi tersebut efektif melawan E. coli, K. pneumonia, bakteroides, enterokokus dan streptokokus anaerobik. Pasien yang berusia tua dan menderita kelemahan fungsi ginjal, sefalosporin generasi ketiga lebih dipilih daripada aminoglikosida. Pilihan obat nantinya harus disesuaikan dengan hasil kultur. Lama pengobatan antibiotik belum memiliki standar yang pasti dan bergantung pada keberhasilan drainase. Namun umumnya direkomendasikan selama 2-4 minggu. Antibiotik harus tetap diteruskan selama masih ada tanda infeksi seperti demam, rasa dingin, atau leikositosis atau tergantung ukuran abses, respon klinik, dan potensi toksik dari pilihan pengobatan (Gene, 2000). 2. Drainase Bedah Terbuka Penatalaksanaan secara konvensional adalah dengan drainase terbuka secara operasi dan pemberian antibiotik spektrum luas oleh karena bakteri penye-

bab abses terdapat didalam cairan abses yang sulit dijangkau dengan antibiotik tunggal tanpa melakukan aspirasi cairan abses (Wenas, 2007). 3. Drainase Kateter Perkutaneus Penatalaksanaan saat ini menggunakan drainase perkutaneus abses intra abdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer. Drainase yang dipandu CT-Scan menggambarkan rongga abses dan menuntun tindakan drainase perkutaneus. Prosentase keberhasilan drainase kateter perkutaneus pada abses hepar pyogenik antara 69% hingga 90%. Kelebihannya terdapat pada kesederhanaan terapi (umumnya dilakukan pada saat melakukan diagnosis radiologi), tidak menggunakan anestesi umum, laparotomi, mencegah komplikasi luka dari tindakan bedah terbuka dan mengurangi lama opname. Kontraindikasi relatif dari drainase kateter perkutaneus adalah asites, koagulopati atau dekat dengan organ vital. Drainase perkutaneus pada abses multipel memiliki angka kegagalan yang tinggi. Belum pernah dilakukan penelitian secara random prospektif antara terapi perkutaneus dengan terapi pembedahan untuk abses hepar tetapi pada berbagai kasus memiliki kesan bahwa angka keberhasilan dan mortalitas keduanya hampir sama. Percobaan modern untuk membandingkan 2 teknik terapi tersebut secara retrospektif harus dibedakan secara teliti karena kebanyakan pasien yang ditangani melalui pembedahan mengalami kegagalan oleh teknik invasif lainnya. Pembedahan harus dipersiapkan pada pasien yang membutuhkan penanganan bedah akibat proses patologi primer (misalnya apendisitis) atau pada penanganan teknik perkutaneus yang mengalami kegagalan. Prosedur drainase laparoskopi telah dilaporkan banyak mengalami kesuksesan dan prosedur ini dapat dipertimbangkan sebagai pilihan yang tepat untuk membantu penanganan kasuskasus tertentu (Wang, 2007). 4. Aspirasi Perkutaneus Aspirasi perkutaneus tanpa penempatan alat drainase telah diamati oleh sejumlah kelompok peneliti. Angka keberhasilannya antara 60% sampai 90%,

hampir sama dengan angka keberhasilan drainase kateter perkutaneus. Kebanyakan aspirasi, bagaimanapun juga, membutuhkan lebih dari 1 kali aspirasi dan seperempat pasien memerlukan 3 kali atau lebih tindakan aspirasi. Suatu penelitian secara random telah mengevaluasi perbedaan antara aspirasi perkutaneus dengan drainase kateter perkutaneus. Angka keberhasilan 60% pada kelompok aspirasi dan 100% pada kelompok kateter tetapi 1 dari semua pasien pada kelompok aspirasi hanya memerlukan 1 kali aspirasi (Wang, 2007). 5. Reseksi Hepar Adakalanya reseksi hati diperlukan pada abses hepar. Tindakan ini dapat dilakukan pada infeksi hepar yang malignan, hepatolitiasis, atau striktur biliaris intrahepatik. Jika destruksi hati akibat infeksi ini berat, beberapa pasien dapat lebih beruntung keadaannya setelah tindakan reseksi (Gene, 2000). H. PROGNOSIS Prognosa abses hepar amoebik tergantung dari (PB PAPDI, 2006): 1. Virulensi parasit dan daya tahan host 2. Derajad dari infeksi 3. Adanya infeksi sekunder dan komplikasi lainnya 4. Terapi yang diberikan. Tanpa terapi, abses dapat mengalami ruptur dan menyebar ke organ lain. Pasien yang menerima terapi memiliki kemungkinan besar sembuh atau hanya mengalami komplikasi ringan. Mortalitas umumnya sebesar 2% di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai dan kurang dari 10% pada fasilitas yang kurang memadai. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi, mortalitas dapat mencapai 40-50 %. Kematian yang tinggi ini umumnya disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus atau renjatan. Sebab kematian biasanya karena sepsis atau sindrom hepatorenal (Gene, 2000).

Manifestasi sistemik abses hepar pyogenik lebih berat daripada abses hepar amoebik. Prognosis yang buruk, adalah apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan penyebab bacterial organisme multiple, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. Angka mortalitasnya 10.82%. Peningkatan umur, manifestasi yang lambat, dan komplikasi seperti ruptur intraperikardi atau komplikasi pulmonum meningkatkan tiga kali angka kematian. Hiperbilirubinemia juga termasuk faktor resiko, dengan ruptur timbul lebih sering pada pasien-pasien yang jaundice. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko kematian antara lain shock, adult respiratory distress syndrome (ARDS), disseminated intravascular coagulation (DIC), immunodefisiensi, hipoalbuminemia berat, diabetes, drainase bedah yang tidak efektif, dan keganasan (Wang, 2007).

BAB III KESIMPULAN Abses hepar adalah suatu rongga patologis yang berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit (amoeba), jamur, maupun proses nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus (nanah) yang terdiri dari jaringan hari nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati.

Abses hepat dapat diklasifikasikan menjadi abses hepar amoebik dan abses hepar pyogenik. Abses hepar amoebik merupakan bentuk extraintestinal amoebiasis dan merupakan jenis yang paling sering dijumpai. Abses hepar dapat terjadi akibat toksin yang dihasilkan oleh parasit ataupun sebagai bentuk infeksi sekunder dari suatu infeksi bakteri. Gejala klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita abses hepar antara lain demam, nyeri perut kanan atas, pembesaran hati dengan rasa nyeri tekan mual & muntah, anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan tubuh, dan ikterus. Sedangkan untuk dignosanya dapat didukung oleh pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan leukositosis, pemeriksaan radiologi yang menunjukkan adanya rongga berisi massa ataupun tanda air-fluid level. Dan sebagai gold standardnya adalah dengan kultur mikroorganisme penyebab yang didapatkan dari hasil aspirasi. Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5-5,6 %. Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi organ intra abdominal, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase. Dan prinsip penanganannya adalah dengan kemoterapi antibiotic sesuai mikroorganisme penyebab, tindakan aspirasi, drainase, serta bila perlu dapat dilakukan tindakan reseksi. DAFTAR PUSTAKA Brailita, Daniel, Matei. 2008. Amebic Hepatic Abscesses. Divition of Infectious Diseases. Mary Lanning Memorial Hospital. Updated : September 19th, 2008. Cited : February 23rd, 2011. http://emedicine.medscape.com/article/183920 Gene D. Branum. George S. Tyson. Mary A. Branum. William C. Meyers. 2000. Hepatic Abscess : Changes in Etiology, Diagnosis, and Management. Department of Surgery, Duke University Medical Center, Durham, North Carolina. http://journal.uii.ac.id/index.php/media-informatika/article/viewFile /112/75

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC. pp. 1103-7. PB PAPDI. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Cetakan Kedua, Oktober 2006. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp. 321-2. Wang, Cheng-Lin. Guo, Xue-Jun. Qiu, Shui-Bo. Lei, Yi. Yuan, Zhi-Dong. Dong, HanBin. Liu, Hui-An. 2007. Diagnosis of Bacterial Hepatic Abscess by CT. Hepatobiliary Pancreat Dis Int. Vol 6. No 3. June 15, 2007. Cited : February 24th 2011. http://www.hbpdint.com/upload/PDF/20076411434119163.pdf Wenas, Nelly, Tendean. Waleleng, B, J. 2007. Abses hepar Pyogenik. Dalam Sudoyo, Aru, W. Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp. 460-1.

You might also like