You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu tolak ukur kemajuan suatu Bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai Negara bekembang dengan

perkembangannya yang cukup baik, makin tinggi harapan hidupnya di proyeksikan dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2000 yang akan datang. Saat ini, disluruh dunia jumlah orang lanjut usia diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 miliar. Dari data USA, bahkan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga Lansia terbesar diseluruh dunia, diantara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414% (Kinsella dan Taeuber, 1993) Hal ini merupakan gambaran pada seluruh Negara-negara di dunia, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemajuan dalam kondisi sosio, ekonominya masing-masing.

Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain. Timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada amumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sosio ekonomi. Oleh karma itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental (Setiawan 1973)

Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah saja, tapi juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja. Lansia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang mengalami gangguan mental seperti depresi (Laksamana 1983) Untuk itu masalah psikologis lansia hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Disini penulis mengambil masalah psikososial pada lansia.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep lansia di lihat dari aspek psikologis (psikososial) pada lansia.

1.2.2 Tujuan Khusus Tujuan penulisan khusus dari makalah ini adalah Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada lansia dari aspek psikologis. Untuk mengetahui masalah psikologis yang sering muncul pada lansia Untuk mengetahui diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi pada aspek psikososial lansia Untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada lansia khususnya aspek psikologis (psikososial) lansia

1.3 Manfaat Penulisan Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca khususnya bagi tenaga kesehatan dan keluarga klien di harapkan mampu memotivasi untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada lansia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Lansia Terkait dengan Sistem Psikososial Lansia adalah singkatan dari lanjut usia. Dalam pergaulan sehari-hari nampaknya tidak terdapat kesepakatan mengenai batasan umur untuk lansia. Ada orang berpendapat lansia identik dengan orang pikun, orang tua yang telah memerlukan serba bantuan untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari, seperti berjalan, mandi, makan, dsb. Ada orang menganggap lansia adalah orang yang purna tugas atau pension. Sementara itu bila dilihat dari umur seseorang nampaknya: ada orang berumur 65 tahun sudah tidak kuat berjalan tegak, perlu banyak bantuan, orang lain lagi 75 tahun masih ingin saja naik sepeda. Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6) Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia. Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu : 1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia 2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif

3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : a ). Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain). b). Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain. 4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dan sebagainya. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis. Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut: a. Penurunan Kondisi Fisik b. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual c. Perubahan Aspek Psikososial d. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan Fenomena yang biasanya jadi sorotan dan akan diamati, adalah : A. Postpower syndrome, yaitu gejala kejiwaan akibat seseorang kehilangan kekuasaan, kewenangan, dan segala yang menjadi tautannya, yang muncul menjadi rasa tidak menentu, grogy, kecewa, takut, kemudian kerap kali menggejala dalam perilaku seperti gampang marah, gampang tersinggung, membicarakan kebesarannya dimasa lalu tanpa kendali, bahkan mungkin main perintah tidak pada tempatnya. B. Pandangan kebelakang maksudnya kecenderungan para lansia melihat dan menilai masa lalunya adalah masa / zaman / kondisi paling baik, lebih baik dari sekarang. C. Wawasan terhadap generasi sesudahnya. Pandangan banyak orang lansia cenderung menilai masa lalunya lebih baik, maka juga melihat orang sekarang itu kurang
4

baik, kurang teguh, kurang hebat dibanding orang zaman lansia hidup muda dahulu. Latar belakang tentara akan melihat orang zaman sekarang kurang patriotic, lansia guru cenderung menilai guru sekarang kurang apalah. Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan lima tipe kepribadian lansia sebagai berikut: 1. Tipe kepribadian konstruktif (construction personality), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua. 2. Tipe kepribadian mandiri (independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang, dapat inernberikan otonomi pada dirinya. 3. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya. 4. Tipe kepribadian bermusuhan (hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puns dengan kchiclupannya, banyak keingimin ywig kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya meniadi morat-marit. 5. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsarv, karena perilakunya sendiri sulit dibantu ormig lain atau cenderung membuat susah dirinya.

2.2 Masalah Yang Sering Muncul 1. Depresi a. Definisi Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan komponen psikologis seperti rasa sedih, susah, merasa tidak berguna, gagal, putus asa dan penyesalan atau berbentuk penarikan diri, kegelisahan atau agitasi (Afda Wahywlingsih dan Sukamto). b. Penyebab depresi pada lansia: Penyakit fisik Penuaan Kurangnya perhatian dari pihak keluarga Gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular) Faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena cukup banyak lansia yang mengalami peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau cukup berat. Serotonin dan norepinephrine Zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak seimbang. Neurotransmitter sendiri adalah zat kimia yang membantu komunikasi antar sel-sel otak. c. Factor pencetus depresi pada lansia Faktor biologic, misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak, faktor risiko vaskular, kelemahan fisik. Faktor psikologik yaitu tipe kepribadian, relasi interpersonal, peristiwa kehidupan seperti berduka, kehilangan orang dicintai, kesulitan ekonomi dan perubahan situasi, stres kronis dan penggunaan obat-obatan tertentu. d. Gejala depresi pada lansia Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada, proyek, hobi, atau rekreasi tidak rnemberikan kesenangan. Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:

a. Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika. kondisinya telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan. b. Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala) c. Merasa putus asa dan tidak berarti. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna, tidak efektif. orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri. Pemikiran seperti, saya menyia-nyiakan hidup saya atau saya tidak bisa rncncapai banyak kemajuan, seringkali terjadi. d. Berat badan berubah drastic e. Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor penentu, sebagian orang mengalami depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak banyak orang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur. f. Sulit berkonsentrasi. Kapasitas menurun untuk bisa berpikir dengan jernih dan untuk mernecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu. Keluhan umum yang sering terjadi adalah, saya tidak bisa berkonsentrasi. g. Keluarnya keringat yang berlebihan h. Sesak napas i. Kejang usus atau kolik j. Muntah k. Diare l. Berdebar-debar m. Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap usaha untuk mengkomunikasikan idenya. Dilain pihak, seseorang lainnya yang mengalami depresi mungkin akan gampang letih dan lemah. n. Kurang energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan atau merasa, saya selalu merasah lelah atau saya capai. Secara biologik dipacu dengan perubahan neurotransmitter, penyakit sistemik dan penyakit degeneratif. Secara psikologik gejalanya:
7

a. Kehilangan harga diri/ martabat b. Kehilangan secara fisik prang dan benda yang disayangi c. Perilaku merusak diri tidak langsung. contohnya: penyalahgunaan alkohol/ narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya, makan berlebihan, terutama kalau seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi gemuk, diabetes, hypoglycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung. d. Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri Gejala social ditandai oleh kesulitan ekonomi seperti tak punya tempat tinggal. 2. Demensia Demensia adalah gangguan progresif kronik yang dicirikan dengan kerusakan berat pada proses kognitif dan disfungsi kepribadian serta perilaku (Isaac, 2004). a. Definisi Demensia ialah kemunduran fungi mental umum, terutama intelegensi, disebabkan oleh kerusakan jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi (irreversible) (Maramis, 1995). b. Jenis demensia: 1. Demensia jenis Alzheimer Patofisiologi: Otopsi menunjukkan adanya plak amiloid (plak senil atau neuritik) di jaringan otak atau adanya kekusutan neurofibriler (akumulasi simpul filamen saran pada neuron. Adanya plak dan kekusutan tersebut berkaitan dengan sel saraf, hilangnya sambungan antar neuron dan akhimya atrofi serebral. Genetika: Adanya gen abnormal saja tidak cukup untuk memprediksi demensia jenis alzheimer.

a) Penyakit alzheimer familial memiliki awitan sangat dini (usia 30-40 th) dan bertanggung jawab atas 20% dari semua kasus demensia jenis ini. Penyakit ini berkaitan denga gengen abnormal dikromosom 1, 14 dan 21 b) Adanya apolipoprotein E 4 (apo, E 4) dikromosom 19 terjadi 2 kali lebih banyak pada penderita demensia jenis alzheimer dibanding populasi umum. Modal toksin: Sebagian peneliti meyakini bahwa akumulasi alumunium pada otak akibat pajanan alat-alat dan produk alumunium dapat menyebabkan demensia jenis alzheimer. Bukti untuk teori ini masih sedikit. Abnormalitas neurotransmiter atau reseptor : Kehilangan asetil kolin (neurotransmiter kolinergik mayor) berkaitan dengan gejalagejala gangguan kognitif (demensia). (peningkatan kadar asetin kolin merupakan dasar untuk terapi obat yang disetujui FDA untuk demensia). Perubahan Kognitif Tahap Ringan Perilaku Sulit menyelesaikan tugas Penurunan aktivitas Cemas Afek Kehilangan ingatan tentang peristiwa yang baru saja terjadi (lupa akan janji temu dan percakapan) Frustasi Disorientasi waktu aktivitas sehari-hari Menarik diri dari aktivitas social yang biasa Sulit mengambil keputusan Sering mencari benda-benda Kemampuan penilaian buruk Curiga Berkurangnya Ketakutan konsentrasi kemampuan

yang Depresi

mengarah pada tujuan Kurang memperhatikan

penampilan pribadi dan

karena lupa meletakannya; dapat menuduh orang lain telah mencurinya

Sedang

Perilakunya secara sosial

tidak

pantas Mood labil Datar Kehilangan ingatan tentang hal-hal yang baru atau lama Apatis (amnesia) Konfabulasi tropi Disprientasi waktu, tempat dan orang Sedikit agnosia, apraksia diri Agitasi Katas Paranoia

Kurang (misal

perawatan mandi,

toileting,

berpakaian, berdandan) Berkeluyuran atau mondarmandir Senang menimbun barangbarang Hiperoralitas Mengalami gangguan bangun siklus tidur-

dan afasia

Berat

Penurunan ambulasi dan

kemampuan Datar, aktivitas Reaksi Katastropik occasional kemampuan

apatis Semua perubahan kognitif berlanjut sejalan dengan amnesia,

motorik lainnya Penurunan menelan Sama sekali diri tidak bisa

meningkatnya

dapat agnosia, aprasia dan afasia

berlanjut

mengurus

(misalnya
10

membutuhkan yang konstan) Tidak mengenali lagi keberadaan

perawatan

pemberi

asuhan 2. Demensia vaskular (multi-infark) ditandai dengan gejala-gejala demensia pada tahun pertama terjadinya gejala neurologik fokal. Klien diketahui mengalami faktor resiko penyakit vaskuler (misalnya hipertensi, fibrilasi atrium, diabetes). 3. Jenis demensia yang lain berkaitan dengan kondisi medis umum, seperti penyakit parkinson, penyakit pick, koreahuntingtown dan penyakit Creutzfeldt-jakob. Demensia yang disebabkan kondisi-kondisi tersebut dicatat sesuai penyakitnya yang spesifik. c. Gejala demensia: Afasia: kehilangan kemampuan berbahasa; kemampuan berbicara memburuk dan klien sulit menemukan kata-kata. Apraksia: rusaknya kemampuan melakukan aktivitas motorik sekalipun fungsi sensoriknya tidak mengalami kerusakan. Agnosia: kegagalan mengenali atau mengidentifikasi objek atau benda urnurn walaupun fungsi sensoriknya tidak mengalami kerusakan. Konfabulasi: mengisi celah-celah ingatannya dengan fantasi yang diyakini oleh individu yang terkena. Sundown sindrom: memburuknya disorientasi di malam hari. Reaksi katastrofik: respon takut atau panik dengan potensi kuat inenyakiti diri sendiri atau orang lain. Perseveration phenomenon: perilaku berulang, meliputi mengulangi kata-kata orang lain. Hiperoralitas: kebutuhan untuk mencicipi dan mengunyah benda-benda yang cukup kecil untuk dimasukkan ke mulut. Kehilangan memori: awalnya hanya kehilangan memori tentang hal-hal yang baru terjadi, dan akhirnya gangguan ingatan masa lalu.
11

Disorientasi waktu, tempat dan orang. Berkurangnya kemampuan berkonsentrasi atau mempelajari materi baru. Sulit mengambil keputusan Penilaian buruk: individu ini mungkin tidak mempunyai kewaspadaan lingkungan tentang keamanan dan keselamatan. d. Epidemiologi demensia: Dimensia jenis a1zheimer menyebabkan 50%-75% kasus demensia yang didiagnosis. Demensia jenis ini merupakan penyebab, kematian tertinggi keempat pada individu berusia lebih dari 65 tahun. Insidensinya sebagai berikut: 65-75 tahun 5%-8% 75-85 tahun 15%-20% 85 tahun atau lebih 25%-55% e. Etiologi demensia: Faktor-faktor yang berkaitan dengan demensia adalah: Kondisi akut yang tidak diobati atau tidak dapat disembuhkan. Bila kondisi akut yang menyebabkan delirium tidak atau tidak dapat diobati, terdapat kemungkinan bahwa kondisi ini akan menjadi kronik dan karenanya dapat dianggap sebagai demensia. Penyakit vaskuler, seperti hipertensi, arteriosklerosis, dan aterosklerosis dapat menyebabkan stroke. Penyakit parkinson: demensia menyerang 40% dari pasien-pasien ini. Gangguan genetika: koreahuntington atau penyakit pick. Penyakit prior (protein yang terdapat dalam proses infeksi penyakit Creutzfeldtjakob). lnfeksi Human Imunodefisiensi Virus (HIV) dapat menyerang Sistem saraf pusat (SSP), menyebabkan ensefalopati HIV atau kompleks demensia AIDS. Gangguan struktur jaringan otak, seperti tekanan normal, hidrocephalus dan cidera akibat trauma kepala.

12

2.3 Penanganan Secara Umum 1. Diagnosis Diagnosis medis gangguan kognitif ditetapkan dengan melakukan skrining yang cermat untuk mengesampingkan penyebab lain gejala-gejala tersebut. Skrining-skrining tersebut meliputi: a. Pemeriksaan status kesehatan jiwa dan pemeriksaan neuropsikologik. b. Pemeriksaan darah komprehensif, meliputi HDL, (Hitung Darah Lengkap), kimia darah, vitamin B12, dan kadar folat, tiroid dan tes fungsi hati serta ginjal. c. Studi pencitraan otak, meliputi Computed Tomography (CT), Positron Emission Tomography (PET) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). d. Gangguan depresi pada klien lansia dapat dimanifestasikan dengan gejala-gejala yang serupa dengan gejala gangguan kognitif. Oleh karena itu, gangguan depresi harus dikesampingkan. 2. Depresi Depresi yang merupakan masalah mental paling banyak ditemui pada lansia membutuhkan penatalaksanaan holistik dan seimbang pada aspek fisik, mental dan sosial. Di samping itu, depresi pada lansia harus diwaspadai dan dideteksi sedini mungkin karena dapat mempengaruhi perjalanan penyakit fisik dan kualitas hidup pasien. Deteksi dini perlu dilakukan untuk mewaspadai depresi, terutama pada lansia dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatik kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta lansia dengan isolasi sosial. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam terapi depresi pada lansia Perubahan faal oleh proses menua Status medik atau komorbiditas penyakit fisik Status lingkungan sosial Interaksi antar obat
13

Efektivitas dan efek camping obat Dukungan social Penatalaksanaan depresi pada lansia: a. Terapi biologik: Pemberian obat antidepresan Terdapat beberapa pilihan obat anti depresi yaitu jenis Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs): Prozac (fluoxetine); Zoloft (setraine), Cipram (citalopram) dan Paxil (paroxetine). Jenis NASSA: Remeron (mirtazapine). Jenis Tricylic antidepresan: Tofranil (imipramine) dan Norpramin (desipramine). Reversible Inhibitor Mono Amine Oxidase (RIMA) Inhibitors: Aurorix. Stablon. (Tianeptine). Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy Penggunaan Electroconvulsive Therapy (ECT) dengan cara shock therapy untuk pasien yang tidak memberi respon positif terhadap, obat antidepresan dan psikoterapi. ECT bekerja untuk menyeimbangkan unsur kimia pada otak, dirasa. cukup aman dan efektif serta dapat diulang 3 kali seminggu sampai pasien menunjukan perbaikan. Efek samping ECT adalah kehilangan kesadaran sementara.pada pasien namun cukup efektif untuk mengurangi resiko bunuh diri pada pasien tertentu. Terapi sulih hormone Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) b. Terapi psikososial (psikoterapi) bertujuan mengatasi masalah psikoedukatif, yaitu mengatasi kepribadian maladaptif, distorsi pola berpikir, mekanisme koping yang tidak efektif, hambatan relasi interpersonal. Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah sosiokultural, seperti keterbatasan dukungan dari keluarga, kendala terkait faktor kultural, perubahan peran sosial.

14

Psikoterapi yang dapat ditempuh dengan sesi pembicaraan dengan psikiater dan psikolog dapat membantu pasien melihat bahwa perasaan yang dialaminya juga dapat terjadi pada orang lain namun karena menderita depresi ia mengalami kondisi yang berlebihan atas perasaannya sendiri. Seluruh instrunien yang terdapat pada diri perawat merupakan alat praktek yang memiliki efek terapi apabila digunakan secara tepat. Mata dengan pandangan yang penuh perhatian, mimik muka dan ekspresi wajah simpati, sikap yang tepat merupakan alat perawat untuk membantu klien untuk mengembalikan rasa percaya diri serta perasaan diperhatikan dan dihargai sebagai manusia yang bermartabat. Penerimaan yang tulus dari perawat tanpa ada sentimen apapun berdasarkan latar belakang merupakan kepuasan tersendiri yang akan diterima oleh klien jika mendapatkan pelayanan dari perawat.

Dengan telinga perawat bisa mendengarkan segala keluh kesah pada klien yang mengalami depresi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa depresi timbul akibat adanya dorongan negatif dari super-ego yang diresepsi dan lambat laun akan tertimbun dialam bawah sadar. Sehingga depresi adalah sebentuk penderitaan emosional. Kekecewaan ataupun ketidakpuasan secara emosional yang direpresi tidak secara otomatis akan hilang, melainkan sewaktu-waktu akan muncul (return of the repressed). Tugas perawat adalah mernbantu klien memahami realitas apa yang sesungguhnya dialami, sehingga klien bisa keluar dari kondisi yang membuatnya depresi. Bercerita, berkeluh kesah, mendesah, mengadu, curhat, ataupun menangis bahkan berontak adalah merupakan cara alamiah untuk mengernbalikan keseimbangan dan kestabilan emosional klien serta akan melepaskan energi-energi negatif yang menggantung dan menyesakkan jiwanya. Jika klien meminta saran dan tanggapan, maka berikanlah saran dan tanggapan dengan selogis dan serealistis mungkin, jawaban tidak harus kepastian, tapi usahakan klien diajak berpikir untuk, menemukan solusi yang paling tepat. Klien perlu dirangsang untuk berpikir secara positif dan realisitis dalam menghadapi situasi sulit.
15

c. Perubahan gaya hidup Aktivitas fisik terutama olah-raga. Pasien dibiasakan berjalan kaki setup pagi atau sore sehingga energi dapat ditingkatkan serta mengurangi stress karena kadar norepinefrin meningkat. Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga untuk menenangkan pikirannya. d. Diet sehat untuk mengurangi asupan gizi yang menambah kadar stress juga perlu dilakukan. Memperhatikan jenis makanan yang akan disajikan kepada lanjut usia yang mengalami depresi. Depresi berhubungan dengan tingkat kesadaran yang rendah. Kesadaran mengacu pada proses psikologis yang meliputi hal-hal seperti misalnya kemampuan untuk memusatkan perhatian seseorang dan kemampuan untuk bekerja secara efektif. Makanan berat secara otomatis akan memicu tindakan bagian syaraf parasimpatik yakni cabang dari sistem syaraf otonom yang menurunkan kesadaran. 3. Demensia Pengobatan diarahkan pada tujuan jangka panjang yaitu mempertahankan kualitas hidup penderita gangguan degeneratif dan progresif ini. Pendekatan tim multidisipliner meliputi upaya kolaboratif dari profesional keperawatan, kedokteran, nutrisi, psikiatri, psikologi, pekerjaam sosial, farmasi, dan rehabilitasi (misalnya ahli terapi okupasi, fisik, dan aktivitas). Fokus keluarga. Statistik menunjukan bahwa 7 dari 10 orang dengan dernensia jenis alzheimer tinggal di rumah dan 75% diantara mereka diurus oleh keluarga dan teman-teman. Jadi, fokus keluarga pada pengobatan dan penatalaksanaan merupakan hal yang sangat penting. Penatalaksanaan berfokus komunitas 1. Kunjungan rumah dilakukan oleh perawat komunitas. 2. Adult day care service memberikan layanan aktivitas terapetik, layanan rehabilitas, rekreasi, dan respite service bagi pemberi asuhan keluarga. 3. Fasilitas perawatan residensial (perawatan pribadi) memberikan bantuan bagi klien.
16

4. Skilled nursing facilities. 50% dari klien rumah perawatan adalah penderita demensia jenis alzheimer. 5. Alzheimer asosiation menyediakan kelompok pendukung, penyuluhan

masyarakat dan keluarga, pengumpulan dana dan aktivitas melobi untuk penelitian dan tindakan legislatif. Intervensi farmakologik Tujuan intervensi farmakologik adalah memperlambat laju penurunan kondisi klien dengan obat yang meningkatkan kadar asetilkolin dan membantu mempertahankan fungsi neuronal serta menatalaksanakan perilaku dan gejala yang menimbulkan stress. Terapi eksperimen. Gangguan amnestik. Pengobatannya sama dengan delirium bila gangguan amnestik tersebut merupakan masalah yang akut dan sama dengan demensia bila gangguannya bersifat kronis.

17

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN A. Fokus Pengkajian 1. Riwayat Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fisik untuk adanya tanda dan gejala karakteristik yang berkaitan dengan gangguan tertentu yang didiagnosis. 2. Kaji adanya demensia. Dengan alat-alat yang sudah distandardisasi, meliputi Mini Mental Status Exam (MMSE) Short portable mental status quetionnaire 3. Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang tepat, seperti geriatric depresion scale. 4. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan kepada klien dan keluarga 5. Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga. Lakukan observasi langsung terhadap : Perilaku. Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas hidup sehari-hari? Apakah klien menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial? Apakah klien sering mengluyur dan mondarmandir? Apakah ia menunjukkan sundown sindrom atau perseveration phenomena? Afek. Apakah kilen menunjukkan ansietas? Labilitas emosi? Depresi atau apatis? lritabilitas? Curiga? Tidak berdaya? Frustasi? Respon kognitif. Bagaimana tingakat orientasi klien? Apakah klien mengalami kehilangan ingatan tentang halhal yang baru saja atau yang sudah lama terjadi? Sulit mengatasi masalah, mengorganisasikan atau mengabstrakan? Kurang mampu membuat penilaian? Terbukti mengalami afasia, agnosia, atau, apraksia? 6. Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga

18

Identifikasi pemberian asuhan primer dan tentukan berapa lama ia sudah menjadi pemberi asuhan dikeluarga tersebut. (demensia jenis alzheimer tahap akhir dapat sangat menyulitkan karena sumber daya keluarga mungkin sudah habis). ldentifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan dan anggota keluarga yang lain. Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan sumber daya komunitas (catat hal-hal yang perlu diajarkan). Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga. Identilikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran pemberi asuhan tentang dirinya sendiri. B. Diagnosa Keperawatan 1. DEPRESI Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas berat. Gangguan pola tidur b.d ansietas Resiko membahayakan diri b.d perasaan tidak berharga dan putus asa. 2. DEMENSIA Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi neuron ireversible . Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis daan kognitif. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit neurologist) Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau psikologis. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan pengaruh penyimpangan jangka panjang dari proses penyakit

19

C. Intervensi 1. DEPRESI Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas berat. Intervensi 1) Bicara secara langsung dengan klien; hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat 2) Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan 3) Susun sasaran aktivitas progresif dengan klien 4) Bantu klien memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini Gangguan pola tidur b.d ansietas Intervensi 1) Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya 2) Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur 3) Kurangi asupan kafein pada sore dan malam hari 4) Anjurkan klien untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk memfasilitasi agar pasien dapat tidur. Resiko membahayakan diri b.d perasaan tidak berharga dan putus asa. Intervensi 1) Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri 2) Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri 3) Mendiskusikan koping positif yang pernah dimiliki klien dalam menyelesaikan masalah 2. DIMENSIA Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi neuron ireversible
20

Intervensi 1) Kaji derajat gangguan derajat kognitif, orientasi orang, tempat dan waktu 2) Anjurkan untuk mempertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan kognitif Intervensi 1) Anjurkan klien untuk pertahankan tindakan kewaspadaan 2) Hadir dekat pasien selama prosedur atau pengobatan yang dilakukan Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit neurologis ) Intervensi 1) Kaji derajat sensori/ gangguan persepsi pada klien 2) Bantu klien mempertahankan hubungan orientasi realita dan lingkungan Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau psikologis Intervensi 1) Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri 2) Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai kebutuhan Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan pengaruh penyimpngan jangka panjang dari proses penyakit Intervensi 1) Berikan dukungan emosional 2) Rujuk klien ke kelompok pendukung

21

D. Evaluasi DEPRESI 1) Klien mampu berpartisipasi dalam menentukan perawatan diri klien 2) Klien mampu melakukan kegiatan positif dalam menyelesaikan masalah 3) Klien mampu mengungkapkan penyebab gangguan tidur 4) Klien mampu menetapkan cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tidur 5) Klien mampu mengungkapkan ide bunuh diri 6) Klien mampu mendukung koping positif yang masih di miliki oleh klien 7) Keluarga dan klien dapat mengenali cara cara untuk mencegah bunuh diri 8) Keluarga mampu mendemonstrasikan cara menyelesaikan masalah yang konstruktif. DIMENSIA 1) Klien mampu membantu masalah-masalah klien terkait dengan penyakitnya (demensia) 2) Klien mampu mengulang pengertian demensia dan cara merawat lansia demensia 3) Klien mampu mendukung koping positif yang masih di miliki oleh klien

22

BAB IV PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Usia lanjut bukan hanya diprhadapakn pada permasalahan jasmaniah / fisik saja tetapi juga permasalahan gangguan mental / psikologis. Memahami psikologis lanjut usia; lansia tak semudah kita mengerti akan psikologis anak-anak, walapun banyak yang berpendapat bahwa ketika seseorang sudah memasuki usia lanjut maka, kejiwaan nya akan berubah kembali seperti anak-anak. Pada lansia berkurang kemampuan menyembunyikan apa yang dirasa, namun sekaligus ingin

memberitahukan kepada setiap orang apa yang sesungguhnya dirasa. Lansia itu labil, dapat dengan mudah dan cepat sekali dari senang ke sedih, suka ke tidak suka atau sebaliknya. Tanpa ada kesadaran telah berubah dan sedikit keinginan sadar; sengaja untuk merubah. Semua tampak diluar kendali dirinya dalam artian lebih banyak dikendalikan oleh situasi. Situasi yang juga sering tak terpahami adalah situasi yang terstimulasi oleh teman imajiner nya atau barangkali tokoh-tokoh yang tersimpan dalam alam bawah sadarnya, hingga bisa manafikkan segala yang nyata dihadapannya. 4.2 Saran Peran perawat sangat diperlukan untuk mempertahankan derajat kesehatan pada lansia dalam taraf setinggi-tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan kesehatan seperti gangguan psikologis lansia. Dengan demikian, lansia masih dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Oleh karena itu perkembangan ilmu dan praktik dalam pembelajaran sangat penting untuk memenuhi kualitas sumber daya yang dibutuhkan

23

DAFTAR PUSTAKA

Patricia, dkk. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta : EGC Watson. R. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta : EGC Nugroho, dkk. 2000. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta : EGC www.scibd.com/askep-klien-dengan-depresi.html www.scibd.com/askep-klien-dengan-demensia.html http://deasbatamisland.blogspot.com/2007/11/askep-lansia-dengan-gangguan.html

24

You might also like